Anda di halaman 1dari 9

VEERTINOIS AND 7 SHINE

Nur Miim As Salamah

Kala itu, awan hitam menyelubungi seluruh kota Veertinois. Tak satu pun bagian kota
yang tak dilanda kegelapan. Suara teriakan dan erangan kesakitan menyayat hati terdengar
di sana-sini. Darah bercucuran di mana-mana. Bau busuk menyengat dari mayat yang
bergelimpangan tak terhindarkan oleh indera penciuman.
Sekali lagi, kejadian itu terulang kembali, saat portal yang menjadi penghubung
antara dunia manusia dan dunia para Diabel kembali terbuka. Portal itu hanya terbuka
setiap 100 tahun sekali dan tertutup kembali setelah 24 jam. Para Diabel menyeberangi
portal untuk memusnahkan manusia. Setiap mereka berhasil menyeberang melalui portal,
maka dapat dipastikan pembantaian besar-besaran pasti terjadi. Tak ada yang bisa
menghentikan pembantaian itu. Semua orang hanya bisa menerima kematian mereka
dengan pasrah.
Diabel adalah makhluk yang tak berbentuk. Mereka hanya berupa gumpalan asap
hitam pekat namun mematikan. Hanya orang-orang yang memiliki voorlon yang bisa
mengalahkan mereka. Voorlon adalah suatu jenis kekuatan yang dimiliki seseorang sejak ia
terlahir. Voorlon juga biasa diperoleh berdasarkan keturunan. Voorlon terbagi menjadi 5
kekuatan yaitu: pengendali air, api, udara, alam, dan darah. Namun, sangat jarang ada orang
yang memiliki kekuatan mengendalikan darah.
Hari itu, seluruh pemilik voorlon dari berbagai klan dikumpulkan untuk melawan
para Diabel di sebelah selatan kota. Saat peperangan telah berhasil dimenangkan, hanya 2
orang dari klan air yang selamat, 4 orang dari klan api, 3 orang dari klan angin, 9 orang dari
klan alam, dan 1 orang dari klan darah. Pertarungan itu memang memakan banyak korban.
Lagi-lagi, kota Veertinois kembali kehilangan banyak orang-orang magisnya.
Peperangan yang menyakitkan di setiap 100 tahunnya membuat 19 korban selamat
mendirikan sebuah sekolah di puncak gunung Pristov, tepat dimana portal terakhir kali
terbuka. Dengan tujuan untuk membantu kota Veertinois mempersiapkan diri menghadapi
peperangan selanjutnya. Dan sekolah itu dikenal dengan nama Woollim School.
###
97 tahun telah berlalu. Sekolah itu kembali mengumpulkan anak-anak usia remaja
yang memiliki voorlon. Remaja-remaja yang dikumpulkan berusia 16-18 tahun. Namun ada
seorang remaja berusia 14 tahun yang dimasukkan ke Woollim School.
“Apakah menurut Bapak dia tidak terlalu muda untuk dimasukkan ke sekolah ini?”
Tanya seorang guru kepada kepala sekolah Woollim School. “Tidak. Kita harus
memasukkannya ke sekolah ini sebelum terlambat,” jawab kepala sekolah itu dengan tegas.
Sementara itu, di sebuah bangunan tua yang merupakan aula sekolah, upacara
pembukaan sedang berlangsung. Seluruh siswa baru, mendengarkan dengan baik
penyampaian yang disampaikan. Setelah upacara selesai, seluruh siswa dituntun menuju
asrama mereka masing-masing. “Baiklah anak-anak. Saya yakin kalian pasti sudah merasa
lelah. Senior-senior yang berada di hadapan kalian ini, akan menuntun kalian menuju
asrama kalian masing-masing. Setiap asrama terdiri dari 4 siswa dan 1 orang mentor.
Baiklah. Selajutnya saya serahkan kepada kalian,” ujar kepala sekolah diakhiri dengan
menatap para senior.
Terdapat 333 kamar di Woollim School. Artinya ada 1665 siswa yang menempuh
pendidikan di sekolah ini. Namun, terdapat sebuah kamar yang terdiri dari 7 orang yaitu
kamar nomor 234. Enam orang siswa baru dan satu mentor nampak sedang membereskan
barang-barang bawaan mereka di kamar itu. “Halo semuaya, namaku Andrew Ananta, tapi
kalian bisa memanggilku kak Andrew. Umurku 19 tahun. Dan aku seorang pengendali
udara sekaligus mentor kalian,” sapa Andrew berusaha mengakrabkan diri.
“Ekhem.. Namaku Bryan Umurku 16 tahun. Aku seorang pengendali air.”
“Namaku Tero. Umurku 17 tahun. Aku seorang pengendali alam.”
“Aku Kelvin. Umurku 17 tahun. Aku seorang pengendali api,”
“Aku Kristov. Umurku 16 tahun. Seorang pengendali api.”
“Leo. 18. Udara.” “Hey Leo. Apa kau selalu berbicara seperti itu? Tidakkah
menurutmu kau terlalu irit bahasa?” Tanya Andrew. “Ya,” jawab Leo. Jawaban Leo
berhasil mengundang tawa semua orang, kecuali satu orang yang sejak awal memasuki
ruangan hanya diam membisu sambil merapikan barang-barangnya. “Hei kau,” panggil
Andrew. Yang dipanggil hanya mendongakkan kepalanya sebentar dan kemudian kembali
menunduk untuk merapikan buku-bukunya. “Kenapa kau diam saja? Siapa namamu?”
Tanya Kristov. Seluruh perhatian tertuju sosok itu. Merasa risih diperhatikan, akhirnya dia
menjawab “Clyr.” “Nama yang aneh. Apa keahlianmu? Berapa umurmu?” tanya Bryan.
Clyr tidak menjawab, dia lebih memilih merebahkan dirinya dan mulai menempuh
perjalanan menuju alam mimpi. Bryan yang merasa terabaikan menjadi kesal. “What!?
Hey! Apa-apaan dia? Aku hanya bertanya. Dan soal aku mengatai namanya aneh, aku
hanya bercanda. Kenapa dia harus mengabaikanku seperti itu?” gerutu Bryan tak terima
diabaikan. “Sudahlah. Sebaiknya kita juga beristirahat,” ujar Andrew berusaha
menenangkan Bryan. Walaupun, dalam hatinya dia juga memiliki sebuah tanda tanya besar
tentang seorang Clyr.
Malam yang dingin telah berlalu. Mentari terbit dengan anggunnya, seolah-olah
sedang menyombongkan diri akan sinarnya. Seluruh siswa telah berkumpul di ruang makan
untuk melakukan sarapan pagi sekaligus mendengarkan pembagian kelas. “Anak-anak,
saya akan membacakan kelas kalian masing-masing,” ujar Ms. Catrine.
Pembagian kelas telah usai. Suasana di ruang makan kembali riuh. Namun, keriuhan
itu tidak berlangsung lama, karena bel sekolah telah berbunyi. Seluruh siswa segera
beranjak dari kursinya menuju kelas masing-masing. Kecuali Clyr. Langkahnya bukan
menuju ke kelas, melainkan ke taman belakang sekolah. Kristov yang kebetulan melihat
Clyr segera berlari untuk menghentikanya atau sekedar mengajaknya ke kelas bersama-
sama. Jarak antara Kristov dan Clyr tidak terlalu jauh. Namun entah kenapa, tepat di
pembelokkan Clyr tiba-tiba menghilang dari pandangan Kristov. “Kemana dia? Kenapa
perginya cepat sekali?” Tanya Kristov dalam hati. “Ya sudahlah,” lanjutnya kemudian
berbalik arah menuju kelas.
Sementara itu, Clyr sedang berada di pinggir sebuah sungai yang berada di taman
belakang sekolah. Duduk diam termenung. Matanya hanya menatap kosong. Pikirannya
melayang jauh. Keadaan itu berlangsung lama. Hingga tanpa ia sadari, hari mulai gelap.
Dalam merahnya langit sore, seekor burung phoenix menghapirinya. Segera ia ulurkan
tangannya, dan burung phoenix itu bertengger dengan manis di lengan Clyr. “Kau tidak
apa-apa? Apa kau kesepian? Kau takut ya?” Tanya Clyr kepada burung itu. Burung itu
hanya diam menatapnya. Hal itu membuat Clyr tertawa kecil. “Tenang saja. Tinggal 3
tahun lagi. Dan semuanya akan berakhir.”
“Apanya yang akan berakhir?” tiba-tiba terdengar suara dari belakang Clyr. Tanpa
aba-aba, Clyr segera berbalik dan menatap orang yang berada di belakangnya itu dengan
tatapan datar. “Kau tahu aku kan? Aku Andrew, mentormu,” kata Andrew sambil
mengulurkan tangannya. Clyr tidak menghiraukannya dan kembali berbalik menghadap
burung phoenix. Andrew yang merasa diabaikan segera menurunkan tangannya dengan
canggung dan mengambil posisi di samping Clyr. “Kenapa kau ada di sini? Ah! Apa
maksudmu dengan semuanya akan berakhir? Apa yang akan berakhir?” Tanya Andrew.
“Bukan urusanmu,” jawab Clyr dengan singkat seraya melepaskan burung phoenix untuk
terbang menjauh. “Kenapa kau datang ke sini?” Tanya Clyr. “Tidak ada. Aku hanya
penasaran saja dengan dirimu. Tunggu sebentar. Apa barusan kau memanggilku dengan
sebutan ‘kau’? Hey! Aku ini seniormu. Harusnya kau menghormatiku dengan
memanggilku kakak, senior atau apalah. Tapi jangan memanggilku ‘kau’!” omel Andrew.
Clyr tidak merespon, seolah-olah tidak perduli dengan semua omelan Andrew. Andrew
yang mengetahui itu, segera mengganti topik pembicaraan sebelum keadaan semakin
canggung. “Oh, ya. Besok kalian akan dites,” ujar Andrew. Mendengar hal itu, ekspresi
Clyr berubah. “Kenapa wajahmu seperti itu?” Tanya Andrew yang menyadari perubahan
pada Clyr. “Apa maksudmu dengan tes?” Tanya Clyr. “Ya, iya. Memangnya kenapa?
Kalian hanya dites untuk mengetahui voorlon jenis apa yang kalian miliki. Itu saja. Tes itu
juga akan menentukan apakah kalian layak diperjuangkan untuk bersekolah di sini atau
tidak,” jawab Andrew dengan santai.
Ketegangan mulai memenuhi kerongkongan Clyr. Dia tidak mungkin
memperlihatkan voorlonnya pada semua orang. Dia telah berjanji kepada kedua orang
tuanya untuk tidak menggunakan voorlon apa pun dan kapan pun.
“Hey Clyr! sudah cukup melamunnya?” Tanya Andrew mengagetkan Clyr. “Aku
sedang tidak melamun,” jawab Clyr. Setelah menjawab perkataan Andrew, Clyr lantas
meninggalkan seniornya itu sendirian tanpa pamit. “Clyr! Apa kau sangat membenciku?
Kenapa kau selalu mengabaikan kami semua?” teriak Andrew yang belum beranjak dari
tempatnya sambil menatap kepergian Clyr dengan kesal. Namun kemudian pandangannya
melembut, “Siapa kau sebenarnya? Kenapa aku merasa ada yang berbeda darimu?”
tanyanya pada angin yang berhembus.
Keesokan harinya, seluruh siswa kembali dikumpulkan di aula sekolah setelah jam
sarapan pagi. Tero, Bryan, Kelvin, dan Leo nampak bersemangat. Sedangkan Andrew dan
Kristov nampak celingukkan mencari keberadaan Clyr. “Kak, kira-kira Clyr kemana?
Sebentar lagi tesnya akan segera dimulai,” ujar Kristov gelisah. Andrew hanya bisa
menjawab dengan angkatan bahu. Lelah mencari di balik kerumunan, Andrew dan Kristov
memutuskan untuk mencari Clyr di luar gedung. Kristov mencari Clyr ke seluruh bangunan
sekolah yang mungkin saja didatangi oleh Clyr. Sedangkan Andrew mencari di luar
bangunan sekolah, termasuk taman belakang sekolah. Namun, kemana pun mereka
mencari, mereka tak menemukan keberadaan Clyr. Rasa panik kembali memenuhi pikiran
mereka kala suara mic berbunyi tanda tes akan segera dimulai.
“Kak Andrew, kau dimana?” Tanya Kristov melalui telepati. “Hey, sejak kapan kau
bisa menggunakan telepati?” Andrew balik bertanya. “Sudahlah, nanti saja ku jelaskan.
Sekarang kakak ada dimana?” Kristov kembali bertanya. “Aku ada di tepi sungai di taman
belakang sekolah,” jawab Andrew. “Kenapa? Apa kau sudah menemukan Clyr?” lanjutnya.
Namun, belum sempat mendapat jawaban, Kristov telah memutuskan telepatinya. “Bocah
sialan. Apa-apaan dia? Aku belum selesai berbicara. Seenaknya saja memutuskan
telepatinya. Tidak sopan,” gerutu Jin. Tiba-tiba, terdengar suara teriakan dari belakang
Andrew, “Kak Andrew.” Dengan kecepatan kilat Andrew berbalik. “Kristov?” Tanya
Andrew memastikan. “Ya, ini aku,” jawab Kristov setelah berada di hadapan Andrew.
“Apa kau menemukannya?” Tanya Andrew. "Tidak. Tapi aku menemukan ini. Aku
menemukannya di bawah tempat tidur Clyr.” Kristov menunjukkan sebuah kertas yang
bertuliskan :

“Semuanya akan berakhir. Penderitaan berabad-abad


lamanya, akan berakhir dalam hitungan detik. Saat 7 sinar
melaksanakan tugas yang diberikan oleh takdir.”

“Semuanya akan berakhir? Penderitaan? 7 sinar? Tugas dari takdir? Apa maksudnya
ini?” Tanya Andrew. Kristov tak dapat memberikan jawaban apa pun. Ia hanya bisa
mengedikkan bahunya. “A-A... Tes…Tes…” Suara mic kembali berbunyi. Itu tandanya, tes
sudah dimulai. Andrew dan Kristov segera berlari menuju ruang aula. Sesampainya mereka
di sana, Andrew berhenti sejenak di depan pintu, menatap Clyr yang rupanya sudah berada
di dalam ruangan dengan penuh tanda tanya. “Apa sebenarnya yang sedang coba kau
sembunyikan?” Tanya Andrew dalam hati.
Tes sudah dimulai. Seluruh siswa bersorak kala ada seorang siswa yang menampilkan
keahlian mengendalikan voorlonnya dengan sangat baik dan berteriak meremehkan kala
ada siswa yang tidak bisa mengendalikan voorlonnya. Kini giliran Clyr untuk menunjukkan
voorlonnya.
“Maafkan aku, ayah, ibu . Hanya satu. Aku janji hanya satu” ujar Clyr dalam hati
sebelum menuju ke arena. Pertunjukkan dimulia. Semua tatapan kagum terarah kepada Clyr
saat Clyr memperlihatkan bagaimana kelihaiannya dalam mengendalikan voorlon airnya.
Penampilan Clyr dihujani oleh sorak sorai siswa lainnya. Sejak saat itu, Clyr mulai menjadi
terkenal. Tak sedikit siswi yang menyatakan perasan padanya. Walaupun selalu ia tolak.
Tak hanya para siswi, siswa pria juga mendekati Clyr untuk berusaha menjadi temannya.
Walaupun tak pernah dihiraukan olehnya.
Tanpa terasa, 11 bulan telah berlalu. Persiapan menghadapi ujian kenaikan tingkat
mulai dilakukan. Seluruh siswa sibuk berlatih. Begitu pula dengan seluruh penghuni kamar
nomor 234. Mereka berlatih di tepi sungai taman belakang sekolah. Jarang ada siswa yang
mau ke sana, karena tempat itu merupakan tempat terakhir kali munculnya para Diabel.
Latihan Tero, Kelvin, Leo, Bryan, Kristov, Andrew, dan Clyr berlangsung dengan baik.
Clyr mulai mau membuka diri pada teman-teman sekamarnya. Walaupun ia tidak
memberitahukan apa-apa tentang voorlon miliknya. Dalam latihan itu, mereka saling
melatih apa yang telah mereka pelajari di kelas. Andrew mengajari junior-juniornya
bagaimana cara mengendalikan emosi dan tekanan kekuatan mereka. Kristov mengajari
bagaimana caranya bertelepati dan memberi tekanan pada lawan melalui telepati itu.
Sedangkan Clyr mengajari mereka bagaimana caranya berteportasi, menciptakan perisai
pelindung, dan cara bertahan lama di arena pertandingan.
Saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari ujian kenaikan tingkat telah datang.
Seluruh siswa nampak percaya diri dan sangat bersemangat. Bryan, Kelvin, Leo, Tero,
Kristov, dan Clyr berhasil memenangkan hati para tim penilai. Bahkan, mereka mendapat
peringkat tertinggi. Andrew juga ikut merasa senang walaupun ia tidak mengikuti ujian,
karena tugasnya hanya membantu mereka menjalani masa-masa sekolahnya. Sejak saat itu,
persahabatan mereka bertujuh menjadi semakin kuat.
###
2 tahun kemudian. Siklus 100 tahun kedatangan para Diabel sebentar lagi akan
terulang. Seluruh siswa mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi kedatangan para
Diabel.
“Kak, persiapanmu?” Tanya Leo pada Andrew “Sempurna. Kalian sendiri
bagaimana?” Tanya Andrew. “Biasa saja,” jawab Bryan. “Sombong,” ujar Leo singkat
menimpali ucapan Bryan dan berhasil mengundang perdebatan kecil yang membuat siapa
saja yang melihatnya akan tertawa terbahak-bahak. Sementara itu, Clyr hanya termenung.
Ia memikirkan tentang akhir dari peperangan ini. Ia sadar bahwa merekalah 7 sinar yang
dimaksudkan di dalam pesan yang diberikan oleh buyutnya. “Hei, apa yang kau pikirkan?”
Tanya Tero yang berhasil membuat Clyr melompat saking kagetnya. “Tidak. Bukan apa-
apa,” jawab Clyr. “Benarkah? Kau kelihatan tidak sehat. Apa kau membutuhkan sesuatu?
Katakanlah,” tanya Tero berusaha membantu kegelisahaan yang nampak di wajah Clyr.
“Bukan apa-apa. Kau tidak perlu khawatir,” jawab Clyr. Tero hanya membalas dengan
mengangkat sebelah alisnya. Untuk beberapa saat, keheningan mengambil alih. Namun
kemudian, “Ada sesuatu yang harus kuberitahukan pada kalian,” ujar Clyr akhirnya.
Ketujuh penghuni kamar 234 itu, berkumpul di tengah ruangan untuk mendengar
pengakuan Clyr.
“Jadi begini,” Clyr memulai. “Sebenarnya aku memasuki sekolah ini secara khusus.
Aku tidak seumuran dengan kalian. Aku lebih muda beberapa tahun dari kalian.”
“Memangnya berapa umurmu?” Tanya Kelvin.
“17 tahun,” jawab Clyr. Jawaban Clyr berhasil membuat seluruh penghuni ruangan
terkejut. “Tidak mungkin. Tapi bagaimana bisa? Itu artinya kau masuk ke sekolah ini ketika
kau baru berusia 14 tahun? Bukankah itu melanggar aturan?” Tanya Bryan tidak percaya
yang kemudian diikuti oleh anggukan setuju dari kelima orang lainnya.
Tero membenarkan perkataan Bryan, “Ya. Itu memang melanggar aturan. Hal itu
sudah diterangkan dalam sejarah Woollim School. Tapi itu bisa saja terjadi jika kau
memiliki sesuatu yang spesial. Apa jangan-jangan..”
Semua mata tertuju kepada Clyr, menunggu jawaban. “Huft. Ya. Aku memang
memilikinya. Aku memiliki 3 jenis voorlon dalam diriku,” jawab Clyr.
“WHAT??” teriak keenam orang lainnya secara bersamaan.
“Tapi bagaimana mungkin? Sebuah tubuh tidak bisa menampung dua voorlon
sekaligus. Apalagi tiga. Aku pernah mendengar seseorang yang memiliki dua voorlon.
Hidupnya bahkan tidah mencapai umur 10 tahun,” bantah Kelvin.
“Itu karena voorlon yang dia miliki saling berlawanan, yaitu air dan api. Sedangkan
aku, aku juga memiliki kedua voorlon itu. Tapi aku mempunyai penetralnya,” ujar Clyr.
“Voorlon Darah,” kata mereka berenam secara bersamaan.
“Andrew, Kristov. Apa kalian masih ingat kertas yang kalian temukan di bawah
tempat tidurku 3 tahun yang lalu?” Tanya Clyr kepada Andrew dan Kristov.
“Hey! Panggil kami kakak!” teriak Andrew dan Kristov bersamaan.
“Aku masih ingat. Tapi dari mana kau tahu kalau kami menemukan kertas itu?”
Tanya Andrew.
“Cih.. Asal kalian tau, aku tau segalanya. Aku bisa mengetahui apapun jika itu
menyangkut diriku”.
“Wow, luar biasa!!” teriak Kelvin kagum diakhiri dengan mengacungkan kedua
jempolnya kepada Clyr.
Clyr hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman kecil, kemudian melanjutkan,
“Kertas itu berisi tentang takdir dunia yang berada di tangan 7 sinar. Apa kalian tidak
menyadari sesuatu? Hanya kamar kita yang dihuni oleh 7 orang. Bukankah setiap kamar
harusnya dihuni oleh 5 orang saja? Itu karena kita tidak boleh terpisahkan. Kitalah ketujuh
sinar itu,” jelas Clyr panjang lebar.
“Jadi maksudmu takdir dunia ada di tangan kita? Benar begitu? Dan kau baru
memberitahu kami sekarang?” Tanya Leo tidak habis pikir. Dia hanya tidak paham dengan
jalan pikir seorang Clyr. Bisa-bisanya dia memberitahukan sebuah fakta luar biasa saat
sebuah badai besar akan segera melanda.
“Aku bukannya tidak ingin memberitahu kalian. Hanya saja…” belum selesai Clyr
menjelaskan, perkataannya kembali disanggah.
“Hanya saja apa? Kau tidak percaya kepada kami? Apa persahabatan kita selama ini
hanya sebuah omong kosong bagimu? Dan,, apa kau pikir dengan memberitahukan hal itu
pada kami sekarang, kami akan siap bertarung?” tukas Kristov dengan penuh amarah dan
kemudian berlalu disusul oleh Leo, Tero, Bryan, dan Kelvin.
“Clyr. Aku tau kau punya alasan. Tapi kau tidak bisa memperlakukan kami seperti
ini. Aku selalu percaya bahwa pasti ada sesuatu yang kau sembunyikan dari kami. Tapi aku
tidak bisa mempercayainya bahwa kau menyembunyikan fakta sebesar ini dari kami. Kalau
saja itu tidak akan memberi dampak terlalu besar pada kami, mungkin kami akan dengan
mudah memaafkanmu dan menerima semuanya. Tapi tidak dengan ini. Nasib seluruh umat
manusia ada di tangan kami dan bahkan kami tidak tau apapun tentang itu. Kau pikir
bagaimana kami bisa menerima ini? Aku kecewa padamu Jungkook-ah” ujar Jin panjang
lebar, kemudian menyusul teman-temannya yang lain, meninggalkan Jungkook sendirian.
“Bukan begitu. Maafkan aku.” Jungkook tak mampu berkata apa-apa lagi selain kata
maaf yang keluar dari belahan bibirnya bersamaan dengan jatuhnya setetes demi tetes
liquid bening dari mata indahnya. Sekarang tinggallah dia sendiri, tertunduk lemah, tak
berdaya.
###
Hari pertarungan telah tiba. Seluruh siswa dan guru-guru berkumpul di taman
belakang sekolah yaitu tempat dimana portal terakhir kali muncul. Semuanya sudah
menempati posisinya masing-masing. 5 jam telah berlalu dari waktu yang seharusnya.
Namun, portal belum juga terlihat.
“Pak kepala sekolah! Pak kepala sekolah!” teriak seseorang yang berlarian dengan
pakaian compang-camping dan luka di sekujur tubuhnya.
“Ada apa?” Tanya kepala sekolah kepada orang itu.
“Pak kepala sekolah, Diabel telah menyerang kota. Kenapa kalian tidak
menghentikan para Diabel itu? Tolong kami,” adu orang itu.
Mendengar pernyataan orang itu, seluruh siswa serta guru-guru menjadi riuh.
“Maafkan kami. Kami tidak tahu kalau portal akan terbuka di tempat lain,” kata kepala
sekolah berusaha menenangkan orang itu.
Tanpa aba-aba, Jungkook berlari menjauh dari barisan menuju kaki gunung.
Pergerakan Jungkook diikuti oleh seluruh siswa dan guru-guru lainnya. Pemandangan yang
mengerikan, mayat bergelimpangan sejauh mata memandang, hampir tak ada sejengkal
tanah pun yang luput dari genangan darah manusia. Perjalanan mereka menuju pusat kota
dirundung duka yang mendalam. Perasaan bersalah memenuhi rongga dada. Hal itu
berhasil membuat kemurkaan mereka memuncak. Mereka sudah muak dengan keberadaan
para Diabel. Dan untuk itu, pertarungan akan segera dimulai.
Sesampainya mereka di pusat kota, para Diabel sedang berpesta pora tanpa
memperhatikan kedatangan pasukan Woollim School. Bola-bola api segera dilontarkan,
membuat para Diabel terkejut dan marah. Tanpa ragu, para Diabel membalas serangan
pasukan Woollim School. Pertarungan berlangsung sengit. Korban-korban semakin banyak
yang berjatuhan. Hari mulai gelap. Tinggal beberapa jam lagi dan portal akan kembali
tertutup. Jungkook berusaha mencari teman-temannya di antara kerumunan. “Jin, Jimin,
Hoseok, Yoongi, Taehyung, Namjoon. Apa kalian mendengarku?” Tanya Jungkook kepada
teman-temannya melalui telepati. Namun, tak ada yang menjawabnya. “Jin, Jimin, Hoseok,
Yoongi, Taehyung, Namjoon. Kalian dimana?” sekali lagi, tak ada jawaban. Jungkook
mulai putus asa. Ia berfikir bahwa ia telah gagal menjadi salah satu dari tujuh sinar. Tiba-
tiba, seseorang menarik lengannya dari belakang dan membawanya ke tempat yang aman.
“Jin?” Tanya Jungkook berusaha memastikan. “Eoh, ini aku,” jawab Jin.
Dimana yang lainnya?” Tanya Jungkook.
“Yak! Tak bisakah kau sekali saja memanggil kami dengan sebutan hyung?” celetuk
Jimin yang mulai menampakkan dirinya dari balik kegelapan diikuti oleh teman-temannya
yang lain.
“Dan berhentilah berteriak melalui telepati. Itu membuat kepalaku sakit,” Yoongi ikut
menimpali.
“Jadi bagaimana rencananya?” Tanya Namjoon.
Jungkook tidak menjawab. Dia terlalu senang melihat teman-temannya masih dalam
keadaan utuh tanpa goresan apa pun. Tanpa disadarinya, air mata kebahagian mengalir di
pipinya. “Aku senang kalian baik-baik saja hyungdeul”
“Kau menangis? Dan apa tadi? Barusan kau memanggil kamu hyung?” Tanya
Taehyung semangat.
“Ani. Aku tidak menangis dan aku tidak mengatakan apa-apa tadi. Kalian mungkin
salah dengar,” jawab Jungkook berusaha menyangkal perkataan Taehyung seraya
menghapus air matanya.
Semua orang tersenyum melihat tingkah Jungkook. Ada rasa damai dan sebuah
kerinduan besar yang mereka rasakan terhadap keberadaan Jungkook.
“Umm.. Baiklah. Jadi begini rencananya.” Jungkook mulai menjelaskan rencananya
pada keenam temannya.
“Apa kalian siap?” Tanya Jungkook setelah menjelaskan rencananya yang kemudian
disusul dengan anggukan ragu dari teman-temannya.
“Geureunde, gwenchana? Aku tidak berfikir ini benar. Tidak adakah cara lain?” tanya
Hoseok cemas.
“Ani. Eopseo” jawab Jungkook dengan tegas.
Hanya helaan nafas dan kepasrahan yang bisa ditunjukkan oleh keenam temannya.
Jungkook menanggapinya dengan sebuah senyuman yang diharap dapat menenangkan
keenam temannya.
“Mianhae hyungdeul. Aku tau kalian sangat mengkhawatirkanku. Tapi inilah satu-
satunya cara agar dunia bisa bebas dari serangan Diabel. Sejujurnya aku juga merasa takut.
Tapi tidak ada pilihan lain. Setelah semua ini berakhir, aku ingin kalian semua hidup
bahagia. Berbahagialah, demi diriku, ” batin Jungkook
###
7 sinar mulai melaksanakan tugasnya. Mereka berlari menuju portal tempat para
Diabel menyembrang. Kemudian mereka mengepung portal itu dari berbagai arah.
Beruntung, sudah tidak ada lagi Diabel yang keluar dari portal. Namun saat itu, Jungkook
tiba-tiba kehilangan kendali.
“Jangan lakukan ini Jungkook. Atau kau tidak akan pernah melihat teman-temanmu
lagi”
“Pergilah sebelum terlambat”
Bisikan-bisikan itu seolah ingin mengambil alih kendali tubuhnya, membuat
kepalanya serasa terbakar. Erang frustasi dikeluarkannya. Hal itu tentu saja membuat
teman-temannya merasa panik dan berusaha menyadarkan Jungkook. Taehyung berusaha
mendekati Jungkook untuk membantu menyadarkannya. Namun Jungkook melarangnya
untuk beranjak dari tempat dimana seharusnya dia berdiri. Dengan usaha yang keras,
Jungkook akhirnya berhasil mendapatkan kesadarannya kembali.
“Jungkook-ah gwenchana?” tanya Jin cemas.
“Eoh, nan gwenchana” jawab Jungkook.
Lalu mereka bertujuh kembali melanjutkan apa yang seharusnya mereka lakukan.
Mereka mengulurkan kedua tangan ke depan dan menyerang portal itu dengan semua
voorlon yang mereka miliki secara bersamaan.
Tiba-tiba, langit menghitam. Seluruh Diabel tersedot ke dalam portal. Sesaat sebelum
tertutupnya portal, Jungkook mengucapkan selamat tinggal dan kemudian ikut terjun ke
dalam portal. “Saranghae hyungdeul. Annyeong” Bersamaan dengan itu, portal antar dua
dunia itu tertutup dan menghilang.
Jimin, Jin, Yoongi, Hoseok, Namjoon, dan Taehyung hanya bisa menatap kepergian
Jungkook dengan tak rela. Tetesan air mata tak luput dari wajah lelah mereka. Tapi mereka
tak dapat berbuat apa-apa. Inilah rencana mereka. Inilah tugas mereka. Jungkook harus
menutup portal dari dalam dan menghilang untuk selamanya. Karena hanya dia yang
memiliki voorlon darah. Dan dia sudah menjalankan tugasnya dengan baik.
Langit kembali cerah. Burung-burung mulai berkicau lagi. Peperangan telah berakhir.
Namun tak ada sorak-sorak kegembiraan. Hanya kesedihan yang terpancar di wajah
mereka. Sejak saat itu, portal tidak pernah terbuka lagi. Diabel-Diabel tidak pernah
berdatangan lagi. Pengorbanan Jungkook sudah terbayarkan.

Anda mungkin juga menyukai