Dalam melakukan pemeriksaan pada korban kekerasan seksual, terdapat beberapa aspek etik dan medikolegal yang harus diperhatikan. Karena korban juga berstatus sebagai pasien, dan yang akan diperiksa adalah daerah sensitif, hal utama yang harus diperhatikan adalah memperoleh informed consent. Informasi tentang pemeriksaan harus diberikan sebelum pemeriksaan dimulai dan antara lain, mencakup tujuan pemeriksaan dan kepentingannya untuk pengungkapan kasus, prosedur atau teknik pemeriksaan, tindakan pengambilan sampel atau barang bukti, dokumentasi dalam bentuk rekam medis dan foto, serta pembukaan sebagian rahasia kedokteran guna pembuatan Visum et Repertum.1 Apabila korban cakap hukum, persetujuan untuk pemeriksaan harus diperoleh dari korban. Syarat-syarat cakap hukum adalah berusia 21 tahun atau lebih, atau belum 21 tahun tapi sudah pernah menikah, tidak sedang menjalani hukuman, serta berjiwa sehat dan berakal sehat. Apabila korban tidak cakap hukum persetujuan harus diminta dari walinya yang sah. Bila korban tidak setuju diperiksa, tidak terdapat ketentuan undang-undang yang dapat memaksanya untuk diperiksa dan dokter harus menghormati keputusan korban tersebut. Selain itu, karena pada korban terdapat barang bukti (corpus delicti) harus diperhatikan pula prosedur legal pemeriksaan. Setiap pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum harus dilakukan berdasarkan permintaan tertulis (Surat Permintaan Visum/SPV) dari polisi penyidik yang berwenang.1