Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

LABIRINITIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing : dr. Ahmad Muzayyin, M.Kes, Sp. S

Oleh :
Virgi Parisa, S.Ked
J 510 170 114

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD IR. SOEKARNO SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019

1
REFERAT
LABIRINITIS

Disusun Oleh:
Virgi Parisa, S.Ked J 510 170 114

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing
dr. Ahmad Muzayyin, M.Kes, Sp. S (...........................................)

Dipresentasikan di hadapan
dr. Ahmad Muzayyin, M.Kes, Sp. S (...........................................)

2
BAB I

PENDAHULUAN

Labirinitis adalah sebuah inflamasi pada labirin yang terletak pada telinga
sebelah dalam. Salah satu fungsi dari telinga dalam adalah untuk mengatur
keseimbangan. Bila fungsi ini terganggu secara klinis, akan terjadi gangguan
keseimbangan dan pendengaran yang menghilang secara tiba - tiba dan dapat
mengenai satu telinga atau keduanya. Etiologi labirinitis kebanyakan disebabkan
oleh bakteri atau virus. Labirinitis yang disebabkan oleh proses autoimmune
menyebabkan proses iskemia pada pembuluh darah yang bisa mengakibatkan
disfungsi yang menyerupai labirinitis akut 11.
Labirinitis virus biasanya mengenai usia 30-60 tahun dan ini jarang diamati
pada anak-anak. Meningogenic suppurative labirinitis biasanya mengenai anak-
anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Otogenic suppurative labirinitis dapat
diamati pada orang-orang dari segala usia. Serouse labirinitis lebih umum dalam
anak kelompok usia, di mana sebagian besar kedua kasus akut dan kronis otitis
media diamati 11.
Gagguan keseimbangan diperkirakan mempunyai prevalensi 85% pada
individu 65 tahun. Prevalesi labirinitis di Jerman, usia 18-79 tahun adalah 30%,
24% diantaranya diasumsikan karena kelainan vestibuler 2. Penelitian di Perancis
menemukan prevalensi labirinitis 48%. Gangguan pada sistem keseimbangan
akan menimbulkan keluhan , diantaranya berupa sensasi berputar yang sering
disebut vertigo. Angka kejadian vertigo di Amerika Serikat berkisar 4 dari
100.000 orang, wanita cenderung lebih ering terserang (64%), kasus Benigna
Paroxysmal Positional Vertigo Disease (BPPV) sering terjadi pada usia rata-rata
51-57 tahun, jarang pada usia 35 tahun tanpa riwayat trauma kepala 6.

3
Di Indonesia angka kejadian labirinitis (gangguan keseimbangan, vertigo)
pada tahun 2012 darai usia 40-50 tahun sekitar 50%, yang merupakan keluhan
nomor tiga paling sering dikeluhkan oleh penderita yang datang ke praktek
umum, setelah nyeri kepala dan stroke 6.
Data epidemiologi labirinitis masih kurang, namun dari beberapa referensi
didapatkan penyebab terbanyak adalah virus. Prevalensi orang dengan
pendengaran yang hilang secara tiba-tiba diperkirakan 1 kasus di 10.000 orang.
Satu studi yang melaporkan bahwa 37 pasien 240 menyajikan dengan vertigo
posisional disebabkan oleh labirinitis virus 11.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
LABIRINITIS

A. Anatomi
Pada telinga bagian dalam terdapat organ pendengaran dan keseimbangan
yang terletak pada pars petrosa os temporal. Labirin terdiri dari labirin tulang
yaitu kanalis semisirkularis, vestibulum dan koklea sedangkan labirin membran
yang terletak di dalam labirin tulang terdiri dari duktus semisirkularis, utrikulus
dan duktus koklearis (Gambar 1). Antara labirin tulang dan labirin membran

4
terdapat ruang yang berisi cairan perilimfe. Vestibulum adalah suatu ruangan
kecil yang berbentuk oval dengan ukuran ± 5x3 mm dan memisahkan koklea dari
kanalis semisirkularis.

Gambar 1. Anatomi labirin tampak anterolateral


Koklea menyerupai rumah siput yang merupakan organ pendengaran dengan
panjang sekitar 3,1-3,3 cm. Koklea membentuk 2,5 kali putaran dengan tinggi
sekitar 0,5 cm. Koklea dan organ vestibuler terdapat didalam tulang temporal.
Pada koklea terdapat tiga kanal yaitu: skala vestibuli, skala media dan skala
timpani (Gambar 2).9 Skala media terletak ditengah koklea yang dipisahkan dari
skala vestibuli oleh membran reissner’s dan dari skala timpani oleh membran
basiler.
Organ corti melintasi sepanjang membran basiler. Dimana terdapat satu baris
selsel rambut bagian dalam dan tiga baris sel-sel rambut bagian luar. Setiap
telinga ditemukan sekitar 3500 sel rambut bagian dalam yang disokong oleh sel
falangeal. Sekitar 12.000 sel rambut bagian luar dimana disokong oleh sel
deiters. Serat saraf kranial ke-8 melintasi terowongan menuju ke sel-sel rambut
luar.

5
Gambar 2. Struktur koklea dan organ corti
Struktur dari sel-sel rambut dalam organ corti mencerminkan fungsinya
sebagai reseptor sensoris, yang mentransduksi sinyal mekanik menjadi aktivitas
elektrokemikal. Sensoris sel-sel rambut koklea berinteraksi dengan sistem saraf
melalui cabang saraf pendengaran dari saraf kranialis ke-8 (vestibulokoklear).
Koklea dipersarafi oleh 3 jenis serabut saraf yaitu serabut saraf aferen
pendengaran, serabut saraf eferen pendengaran dan serabut saraf otonom. Serabut
saraf aferen pendengaran merupakan sel bipolar, sel tubuh yang terletak di
ganglion spiral yang terletak di kanal tulang, yaitu Rosenthal’s canal. Pada
manusia saraf pendengaran memiliki sekitar 30.000 serabut saraf aferen. Dua
jenis serat saraf aferen telah diidentifikasi. Tipe I adalah berselubung mielin dan
memiliki large cell bodies dan merupakan 95% dari serat-serat saraf
pendengaran. Tipe II yaitu sekitar 5% dari saraf pendengaran adalah tidak
berselubung myelin dan memiliki small cell bodies.
Nervus VIII pada dasarnya adalah tiga komponen yang berbeda dimana ada
dua saraf vestibuler yaitu superior dan inferior serta saraf koklearis. Saraf-saraf
tersebut bersama-sama melalui tulang kepala di meatus auditori internal. Kanal
ini juga berisi nervus VIII dan pasokan darah ke telinga bagian dalam yaitu arteri
auditori internal. Saraf melewati meningen menuju ke batang otak. Saraf

6
vestibuler menuju ke nukleus vestibularis dan saraf koklearis menuju ke nucleus
Koklearis.
Suplai darah ke koklea berasal dari arteri labirin. Arteri ini berasal dari arteri
serebelum antero inferior dan mengikuti nervus viii di meatus auditori internal,
kemudian bercabang sebagai arteri vestibularis anterior dan aparatus vestibularis.
Lebih lanjut melalui meatus auditori internal arteri labirin bercabang membentuk
arteri vestibulokoklear yang menyuplai bagian-bagian dari koklea. Cabang
lainnya adalah arteri modiular spiralis yang berfungsi menyuplai darah kolateral
ke koklea. Arteri labirin adalah end-artery dengan sedikit atau tanpa suplai darah
kolateral ke koklea. Penting untuk dicatat bahwa arteri labirin yang berjalan di
meatus auditori internal bukan arteri tunggal, namun berupa arteriol kecil,
hamper seperti pleksus arteri.
B. Definisi
Labirinitis adalah infeksi pada telinga dalam (labirin). Keadaan ini dapat
ditemukan sebagai bagian dari suatu proses tunggal pada labirin. Labirinitis
dapat disebabkan oleh bakteri atau virus 1,2,4,11.
Labirinitis bakteri (supuratif) mungkin terjadi sebagai perluasan infeksi dari
rongga telinga tengah melalui fistula tulang labirin oleh kolesteatom atau melalui
foromen rotundum dan foramen ovale tetapi dapat juga timbul sebagai perluasan
infeksi dari meningitis bakteri melalui cairasn yang menghubungkan ruangan
subaraknoid dengan ruang perilimfe di koklea, melalui daerah kribosa pada dasar
modiolus koklea 11.
Labirinitis Viral adalah infeksi labirin yang disebabkan oleh berbagai macam
virus, penyakit ini dikarakteristikan dengan adanya berbagai penyakit yang
disebabkan virus dengan gejala klinik yang berbeda seperti infeksi mumps, virus
influenza 11.
C. Klasifikasi

7
Labirinitis secara klinis terdiri dari 2 subtipe, yaitu :
1. Labirinitis Lokalisata ( labirinitis sirkumkripta, labirinitis serosa) merupakan
komplikasi otitis media dan muncul ketika mediator toksik dari otitis media
mencapai labirin bagian membran tanpa adanya bakteri pada telinga dalam11.
Gejala yang timbul pada labirinitis lokalisata merupakan hasil dari
ganguan fungsi vestibular dan ganguan koklea yaitu terjadinya vertigo dan
kurang pendengaran derajat ringan hingga menengah secara tiba- tiba,
sebagian besar kasus membaik sejalan dengan waktu, kerusakan terjadi
bersifat reversible 11,2.
2. Labirinitis Difusa ( labirinitis purulenta, labirinitis supuratif) merupakan
suatu keadaan infeksi pada labirin yang lebih berat dan melibatkan akses
langsung mikroorganisme ke labirin tulang dan membran11.
Pada labirinitis difusa ( supuratif) gejala mirip dengan labirinitis
lokalisata namun perjalanan penyakit labirinitis difusa lebih cepat dan
berlangsung hebat, ganguan vestibular, vertigo yang hebat, mual, muntah
dengan disertai nistagmus, gangguan pendengaran menetap tipe
sensorineural, tidak ada demam dan sakit pada telinga 11,2 .
D. Patofisiologi Alat Vestibuler
Rangsangan normal akan selalu menimbulkan gangguan vertigo, misalnya
pada tes kalori. Rangsangan abnormal dapat pula menimbulkan gangguan vertigo
bila terjadi kerusakan pada sistem vestibulernya, misalnya orang dengan paresis
kanal akan merasa terganggu bila naik perahu. Rangsanga normal dapat pula
menimbulkan vertigo pada orang normal, bila situasinya berubah, misalnya
dalam ruang tanpa bobot.
Sistem vestibuler sangat sensitif terhadap perubahan konsentrasi O2 dalam
darah, oleh karena itu perubahan aliran darah yang mendadak dapat
menimbulkan vertigo. Vertigo tidak akan timbul bila hanya pada perubahan

8
konsentrasi O2 saja, tetapi harus ada faktor lain yang menyertainya, misalnya
sklerosis pada salah satu dari arteri auditiva interna, atau salah satu arteri tersebut
terjepit. Dengan demikian bila ada perubahan konsentrasi O2, hanya satu sisi saja
yang mengadakan penyesuaian, akibatnya terdapat perbedaan elektro potensial
antara vestibuler kanan dan kiri. Akibatnya akan terjadi serangan vertigo.
Perubahan konsentrasi O2 dapat terjadi, misalnya pada hipertensi,
spondiloartrosis servikal. Pada kelaianan vasomotor, mekanisme terjadinya
vertigo disebabkan oleh karena terjadi perbedaan perilaku antara arteri auditiva
interna kanan dan kiri, sehingga menimbulkan perbedaan potensial antara
vestibuler kanan dan kiri 3.

9
Bagan 1. Patofisiologi labirinitis

10
E. Manifestasi Klinis
1. Vertigo (perubahan posisi)
2. Penurunan fungsi pendengaran secara tiba- tiba tipe koklear (unilateral atau
bilateral, ringan sampai berat, reversible)
3. Gangguan Keseimbangan
4. Nistagmus spontan
5. Tinitus
6. Otorrhea
7. Mual, Muntah
8. Demam
9. Flu like sindrome 11
Gejala klinis mula-mula hanya terdapat gangguan keseimbangan dan tuli
saraf ringan. Pada keadaan yang lebih lanjut terdapat vertigo yang berat yang
disertai nausea, dan muntah, dan terdapat nistagmus horizontal 19.
F. Etiologi
Labirinitis dapat terjadi karena infeksi virus dan infeksi bakteri, beikut
contoh penyebab terjadinya labirinitis :
Tabel 1. Etiologi Labirinitis
Virus Bakteri
1. Cytomegalovirus 1. S pneumonia
2. Mumps virus 2. Moraxella catarrhalis
3. Varicella-zoster virus 3. N meningitides
4. Rubeola virus 4. Streptococcus species
5. Influenza virus 5. Staphylococcus species
6. Parainfluenza virus 6. Proteus species
7. Rubella virus 7. Bacteroides species
8. Haemophilus influenza 8. Escherichia coli

11
9. Herpes simplex virus 1 (HSV 1) 9. Mycobacterium tuberculosis
10. Adenovirus
11. Coxsackievirus
12. Respiratory syncytial virus

Faktor predisposisi pada labirinitis, sebagai berikut :


1. Usia 40- 50 tahun
2. Infeksi Saluran Pernafasan Atas mendahului onset gejala cochleovestibular
di hingga 50% dari kasus
3. Allergies (allergic rhinitis)
4. Komplikasi Temporal dan Infeksi Telinga Tengah (OMA dan OMSK)
5. Benign positional vertigo
6. Obat-obatan tertentu diketahui menyebabkan peradangan apabila
digunakan dalam jangka panjang atau penggunaan yang berlebihan dapat
mengakibatkan labirintritis (atau orang-orang yang sensitif, mudah alergi ),
obat-obatan seperti: Aspirin, (loop diuretic) Lasix, Phenytoin (anti-
epileptic) serta beberapa inhibitor ACE dan beta blockers (digunakan untuk
mengelola penyakit jantung)
7. Gaya hidup (Asupan alkohol berlebihan) - alkoholik adalah faktor risiko
untuk mengembangkan labirintritis, sehingga disarankan untuk membatasi
asupan alkohol untuk mengurangi risiko berkembangnya penyakit ini4,11,15
G. Prosedur Diagnostik
1. Anamnesis
a. Perjelas apa yang pasien maksud dengan vertigo, apakah berpengaruh
terhadap perubahan posisi secara cepat, onset, apakah sering timbul,
berapa lama apabila keluhan vertigo muncul (durasi), aktivitas atau

12
saat tertentu yang membuat keluhan muncul, tingkat keparahan
sehingga kegiatan sehari- hari terganggu.
b. Terkait dengan gejala diatas (tinnitus, gangguan pendengaran tiba- tiba
(tuli sensori neural), sakit kepala, penglihatan ganda, mati rasa,
kesulitan menelan)
c. Gejala penyerta : mual, muntah, demam nyeri pada telinga
d. Kebiasaan pribadi yang rutin dilakukan yang kira- kira terkait dengan
keluhan penyakit (minum obatan- obatan yang bersifat ototoksik dalam
jangka waktu lama dan berlebihan, peminum alkohol.
e. Apabila sifat episodik : Perjelas urutan dari peristiwa , kegiatan awal
yang memicu timbul gejala, tingkat keparahan, amnesia dan
sebagainya
2. Pemeriksaan Fisik
a. Melakukan pemeriksaan eksternal untuk tanda-tanda mastoiditis,
selulitis.
b. Memeriksa telinga kanal otitis externa, otorrhea, atau vesikel.
c. Pasien yang datang dengan kesulitan berjalan ( keseimbngan) biasanya
setelah mendapatkan serangan akut, dengan didapatkan Nistagmus
(gerakan bolak–balik bola mata yang involunter) (+).
d. Lakukan tes Romberg dan tes keseimbangan lainnya (disdiadokinesis,
tes jalan ditempat, Tes Nylan Barani), biasanya pasien tidak dapat
berjalan lurus atau tidak mampu mempertahankan posisi seimbang
dalam jangka waktu yang ditentukan.
e. Pada Tes fistula dengan menekan tragus atau memompa balon Siegel
maka penderita akan merasa pusing atau rasa berputar, kadang- kadang
dengan pemberian obat tetes telinga akan menimbulkan keluhan
vertigo.

13
f. Tes menggunakan garpu tala untuk mengetahui kualitas pendengaran (
Tes Rinne, Tes Weber, Tes Schwabach) untuk membedakan tuli
konduktif, tuli sensorineural dan Tes berbisik untuk mengetahui
kuantitas pendengaran. Pada tes garpu tala maka akan di dapatkan Tuli
saraf.
g. Harus tidak ada bukti defisit neurologis lain seperti kelemahan
ekstremitas atas atau ekstremitas bawah, kelemahan pada wajah.
h. Fungsi cerebellar harus diperiksa oleh meminta pasien untuk
melakukan tunjuk jari untuk hidung, tumit - tumit, dan gerakan cepat
bolak-balik.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Pada radiologik selain tanda- tanda mastoiditis juga tampak fistel labirin
pada kanalis semisirkularis horizontal 1.
a. CT-Scan
Pertimbangan dilakukannya CT-Scan pada kasus labirinitis,
sebaikanya dilakukan sebelum dilakukan pengambilan sampel LCS
pada yang dicurigai meningitis akibat infeksi labirinitis yang
berkelanjutan atau infeksi intrakranial yang meluas ke telinga dalam.
CT- Scan juga berguna untuk membantu mengesampingkan
mastoiditis sebagai sebuah penyebab yang potensial . CT-Scan tulang
temporal akan membantu dalam pengelolaan pasien dengan
cholesteatoma dan labirintritis. CT-Scan noncontrast adalah yang
terbaik untuk menggambarkan fibrosis dan kalsifikasi dari labirin
membranous pada orang dengan labirintritis kronis atau labirintritis
ossificans 11.
b. MRI

14
MRI dapat digunakan untuk membantu mencegah neuroma
akustik, stroke, abses otak atau hematoma epidural sebagai potensi
penyebab vertigo dan kehilangan pendengaran. Koklea, depan dan
kanal-kanal semicircular meningkatkan pada t1 weighted postcontrast
gambar pada orang dengan akut dan subacute labirintritis. Temuan ini
sangat spesifik dan berkorelasi dengan subjektif penilaian objektif dan
beberapa pasien mengalami perbaikan dalam teknik MRI ini dan dapat
dijadikan studi pilihan untuk dicurigai labirintritis 11 .
2. Pengujian Vestibular
a. Tes kalori dan electronystagmogram dapat membantu dalam
mendiagnosa kasus-kasus sulit dan mendirikan prognosis untuk
pemulihan.
b. Orang dengan labirintritis virus memiliki nistagmus dengan respon
kalori vestibular hipofungsi.
c. Orang dengan suppurative labirintritis (bakteri) memiliki nistagmus
dan respons kalori absen di sisi yang terpengaruh.
d. Orang dengan serous labirintritis (bakteri) biasanya memiliki hasil
electronystagmogram yang normal, tetapi mereka mungkin memiliki
penurunan respons kalori di telinga. Namun, kehadiran efusi telinga
tengah dapat meredam respon kalori dan menyebabkan menemukan
positif palsu
I. Diagnosis Banding
1. Benign paroxysmal positional vertigo
2. Vestibular neuritis
3. Meniére disease
4. Perilymph fistula
J. Komplikasi

15
1. Kehilangan pendengaran secara permanen, labirinitis yang tidak
mendapatkan pengobatan akan menjadi bertambah buruk dan gejala-
gejalanya menjadi menetap akibat kerusakan permanen pada organ telinga
dalam (mengalami pembengkakan, pembentukan jaringan ikat sehingga akan
mengganggu proses pendengaran secara keseluruhan telinga, kehilangan
pendengaran permanen.
2. Gangguan Keseimbangan, Akibat tidak diobati secara tepat dan tuntas,
komplikasinya dapat juga mempengaruhi pusat keseimbangan secara
permanen, seperti dijelaskan sebelumnya organ vestibuler mengalami
peradangan hebat dan terus- menerus sehingga akan terbentuk jaringan
granulasi sehingga menghambat kemampuan koklea dalam mempertahan
tubuh agar dapat tetap seimbang 7,8,9.

K. Penatalaksanaan

Terapi lokal harus ditujukan ke setiap infeksi yang mungkin ada. Pemberian
antibiotik jika labyrinthitis disebabkan oleh infeksi bakteri. Beberapa obat
antivirus mungkin berguna jika kondisi ini disebabkan oleh infeksi virus. obat-
obatan antiemetik dan obat penenang atau hypnotics membantu mengontrol
gejala dan membantu agar pasien tetap tenang selama serangan Vertigo
berlangsung. Antihistamin dapat diberikan jika kondisi berhubungan dengan
alergi. Obat yang menghambat aksi sistem saraf simpatik (anticholinergics) juga
dapat diberikan. Individu mungkin perlu istirahat di tempat tidur selama
beberapa hari, Cukup minum dan membatasi sedikit aktivitas fisik yang berat
untuk mempertahankan hidrasi dan mencegah timbulnya keluhan vertigo.

Drainase bedah atau eksenterasi labirin tidak di indikasikan, kecuali suatu


fokus di labirin atau daerah perilabirin telah menjalar atau dicurigsi menyebar ke

16
struktur intrakaranial dan tidak memberi respons terhadap terapi antibiotika. Bila
ada indikasi dapat dilakukan mastoidektomi. Bila dicurigai ada fokus infeksi
dilabirin atau di os petrosus, dapat dilakukan drainase labirin dengan salah satu
operasi labirin. Setiap sekuestrum yang lepas harus dibuang, harus dihindari
terjadinya trauma N VII. Bila saraf fasial lumpuh, maka harus dilakukan dengan
kompresi saraf tersebut. Bila dilakukan operasi tulang temporal, maka harus
diberikan antibiotika sebelum dan sesudah operasi. Jika kehilangan pendengaran
secara permanen maka alat bantu dengar akan bermanfaat 17.

L. Pencegahan

1. Menghindari paparan allergen


2. Menghindari paparan asap rokok (tidak merokok)
3. Menghindari konsumsi alkohol secara berlebihan
4. Mengindari taruma kepala atau telinga yang menyebabkan kerusakan pada
telinga dalam
5. Hindari makanan yang diproses setengah matang
6. Hindari dan lebih berhati - hati infeksi saluran nafas atas dan sinusitis yang
berulang- ulang

M. Prognosis
Pemulihan spontan umumnya terjadi dalam beberapa hari sampai beberapa
minggu. Fungsi labirin dapat kembali normal tergantung pada kecepatan dan
keefektifan dari pengobatan yang didapat. Gejala vertigo yang berat biasanya
akan hilang dalam beberapa hari sampai 3 minggu, tetapi gangguan
keseimbangan mungkin bertahan selama beberapa minggu atau bahkan berbulan-
bulan, terutama bila melakukan gerakan-gerakan cepat. Setelah gejala
labyrinthitis telah diselesaikan, maka resiko terjadinya kekambuhan labirinitis

17
akan sama dengan individu yang belum pernah menderita labirinitis.
Kekambuhan yang terjadi biasanya lebih ringan. Pada umumnya, prognosis
jangka panjang untuk pasien labyrinthitis baik dan sebagian besar pasien sembuh
sempurna.
Dalam beberapa kasus, peradangan dapat menyebabkan kerusakan yang
parah pada labirin, yang mengakibatkan hilangnya pendengaran secara
permanen. Bahkan ketika terjadi kerusakan permanen, otak masih dapat
beradaptasi cukup baik untuk mengatasi gejala dalam periode hari atau bulan.
Prevalensi terjadinya tuli sensorineural yang terjadi tiba-tiba pada
labyrinthitis adalah 10 dari 100.000 individu (Strasnick). Pada pembedahan
(myringotomy), hanya dibutuhkan sayatan kecil di gendang telinga untuk
menghindari penumpukan tekanan cairan di telinga, atau jika penyisipan
grommet di gendang telinga (myringotomy tabung) diperlukan untuk
memperbaiki kondisi, hasilnya biasanya sangat baik, dan penyembuhan lengkap
terjadi, jika perdengaran sudah kembali normal dalam waktu satu bulan.
Komplikasi dari operasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan, infeksi dan
hilangnya pendengaran 17,18.

18
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Labirinitis adalah infeksi pada telinga dalam ( labirin ) yang disebabkan oleh
bakteri atau virus. Labirinitis merupakan komplikasi intratemporal yang paling
sering dari radang telinga tengah. Labirinitis yang mengenai seluruh bagian
labirin, disebut labirinitis umum (general), dengan gejala vertigo berat dan tuli
saraf berat, sedangkan labirinitis yang terbatas (labirinitis sirkumskripta)
menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saraf saja. Labirinitis terjadi oleh
karena penyebaran infeksi ke ruang perilimfa. Terdapat dua bentuk labirinitis,
yaitu labirinitis serosa dan labirinitis supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk
labirinitis serosa difus dan labirinitis serosa sirkumskripta. Labirinitis supuratif
dibagi dalam bentuk labirinitis supuratif akut difus dan labirinitis supuratif kronik
difus. Gejala klinis yaitu ganguan vestibular, vertigo, nistagmus, mual, muntah
serta ganguan fungsi pendengaran sensorineural. Terapi lokal harus ditujukan
keseiap infeksi yang mungkin ada. Drainase bedah atau eksenterasi labirin tidak di
indikasikan, kecuali suatu fokus di labirin atau daerah perilabirin telah menjalar
atau dicurigsi menyebar ke struktur intrakaranial dan tidak memberi respons
terhadap terapi antibiotika. Bila ada indikasi dapat dilakukan mastoidektomi.
Terapi dilakukan secara pengawasan yang ketat dan terus menerus untuk
mencegah terjadinya progresifitas penyakit dan kerusakan vestibulokoklea yang
permanen 1,4

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Aboet A, Labirinitis. Majalah Kedokteran Nusantara. Departemen Telinga


Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara: Medan: September 2006; Vol.39(3). Hlm.294-5. Diakses pada
20 Maret 2019. Dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20692/1/mkn-sep2006-
%20sup%20(18).pdf.
2. Vestibular Disorders Association. Labyrinthitis and vestibular neuritis. Diakses
pada 20 Maret 2019. Dari: http://vestibular.org/labyrinthitis-and-vestibular-
neuritis.
3. Boston ME, Strasnick B, Egan RA, Gionali GJ, Hoffer ME, Steinberg AR et al.
Labyrinthitis: Agust 2015; p.1-3. Diakses pada 20 Maret 2019. Dari:
http://emedicine.medscape.com/article/856215-overview#showall.
4. Snell RS. Telinga dalam atau labyrinthus. Dalam: Anatomi Klinik. Edisi
Keenam. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. 2006. Hlm.790-1.
5. Rahman S, Hanifatryevi. Asfiksia perinatal sebagai faktor resiko gangguan
pendengaran pada anak. Majalah Kedokteran Andalas. Bagian Ilmu Kesehatan
Telinga dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas; 2012; Vol.36(1). Hlm. 2-4. Diakses pada 20 Maret 2019.
Dari:
http://repository.unand.ac.id/18125/1/Asfiksia%20Perinatal%20Sebagai%20Fa
ktor%20Resiko%20Gangguan%20Pendengaran%20Pada%20Anak.pdf
6. Soetirto I, Hendarmin H, Bashirudin J. Gangguan pendengaran dan kelainan
telinga. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi Keenam. Buku Penerbit FKUI: Jakarta. 2007. Hlm.13.

20
7. The Choclea. Diakses pada tanggal 20 Maret 2019. Dari:
https://ccrma.stanford.edu/~jos/psychoacoustics/Cochlea.html
8. Irawati L. Fisika medik proses pendengaran. Majalah Kedokteran Andalas;
2012; Vol.36(2). Hlm. 159-61. Diakses pada 20 Maret 2019. Dari:
http://mka.fk.unand.ac.id/images/articles/No_2_2012/hal_157-162-isi.pdf
9. Salmon MC. Otogelin: A glycoprotein specific to the acellular membranes of
the inner ear; Vol.94(26). Diakses pada 20 Maret 2019. Dari:
http://www.pnas.org/content/94/26/14450/F1.expansion.html
10. Boston ME, Strasnick B, Egan RA, Gionali GJ, Hoffer ME, Steinberg AR et al.
Labyrinthitis Clinical Presentation: Agust 2015; p.1-2. Diakses pada 20 Maret
2019. Dari: http://emedicine.medscape.com/article/856215-clinical
11. Boston ME, Strasnick B, Egan RA, Gionali GJ, Hoffer ME, Steinberg AR et al.
Labyrinthitis Workup: Agust 2015; p.1. Diakses pada 20 Maret 2019. Dari:
http://emedicine.medscape.com/article/856215-workup
12. Boston ME, Strasnick B, Egan RA, Gionali GJ, Hoffer ME, Steinberg AR et al.
Labyrinthitis Differential Diagnoses: Agust 2015; p.1. Diakses pada 20 Maret
2019. Dari: http://emedicine.medscape.com/article/856215-differential
13. Boston ME, Strasnick B, Egan RA, Gionali GJ, Hoffer ME, Steinberg AR et al.
Labyrinthitis Treatment and Management: Agust 2015; p.1. Diakses pada 20
Maret 2019. Dari: http://emedicine.medscape.com/article/856215-treatment
14. Boston ME, Strasnick B, Egan RA, Gionali GJ, Hoffer ME, Steinberg AR et al.
Labyrinthitis Medication: Agust 2015; p.1-2. Diakses pada 20 Maret 2019.
Dari: http://emedicine.medscape.com/article/856215-medication.

21

Anda mungkin juga menyukai