Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4
2.1 Anatomi Sinus Paranasal .............................................................................. 4
2.2 Difinisi .......................................................................................................... 5
2.3 Patofisiologi .................................................................................................. 6
2.4 Etiologi & Faktor Predisposisi .....................................................................10
2.5 Gejala Klinis.................................................................................................10
2.6 Pemeriksaan Fisikk ......................................................................................11
2.7 Pemeriksaan Radiologi ................................................................................12
2.8 Penatalaksanaan ...........................................................................................17
LAPORAN KASUS ............................................................................................. 21
ANALISA KASUS .............................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................28

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dan merupakan penyakit


yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari hari, bahkan dianggap sebagai
salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Menurut
Gluckman, kuman penyebab sinusitis akut tersering adalah Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus infuenza yang ditemukan pada 70% kasus. Secara
epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris.
Bahaya dari sinusitis adalah komplikasi ke orbita dan intrakranial, komplikasi ini
terjadi akibat tatalaksana yang in-adekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat
dihindari.1
Sinusitis menjadi masalah kesehatan penting hampir di semua negara dan
angka prevalensinya makin meningkat tiap tahunnya. Sebanyak 24-31 juta kasus
sinusitis ditemukan di United States. Sinusitis paling sering dijumpai dan
termasuk 10 penyakit termahal karena membutuhkan biaya pengobatan cukup
besar.1 Prevalensi sinusitis di Indonesia cukup tinggi. Hasil penelitian tahun 1996
dari sub bagian Rinologi Departemen THT FKUI-RSCM, dari 496 pasien rawat
jalan ditemukan 50 persen penderita sinusitis kronik. Pada tahun 1999, penelitian
yang dilakukan bagian THT FKUI-RSCM bekerjasama dengan Ilmu Kesehatan
Anak, menjumpai prevalensi sinusitis akut pada penderita Infeksi Saluran Nafas
Atas (ISNA) sebesar 25 persen. Angka tersebut lebih besar dibandingkan data di
negara-negara lain.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang sinus paranasal,
sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan
tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga
hidung.1,

2
3

Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang
sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah
dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan
sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar
hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan jaringan
mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan
signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan
atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari (lebih dari
tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik. 1,2
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
untuk dideskripsikan karena bentuknya yang bervariasi pada setiap individu.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang sinus paranasal, sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid. Anatominya dapat
dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrum highmore) dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan
mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui
ostium masing-masing.3
Pada meatus medius yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris
sebagai muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.3
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap
5

berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto anak-anak
belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk.4

Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
berbentuk seperti piramid. Dinding anterior sinus maksila dibentuk oleh
permukaan fasial os maksila (fosa kanina), dinding posterior terbentuk oleh
permukaan infra-temporal maksila, bagian medial sinus maksila adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superior terbentuk oleh dasar orbita, dan dinding
inferior terbentuk oleh prosesus alveolaris dan palatum.4
Secara klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
dasar dari sinus maksila (dinding inferior) sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan
terjadinya sinusitis. Sinusitis maksila dapat menimbulkan terjadinya komplikasi
orbita karena dinding superior sinus maksila dibenuk oleh dasar orbita. Ostium
sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari pergerakan silia.3,4

Fungsi Sinus Paranasal4


 Membentuk pertumbuhan wajah
 Sebagai pengatur udara (air conditioning)
 Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
 Membantu keseimbangan cranium
 Membantu resonansi suara
 Peredam perubahan tekanan udara
 Membantu produksi mukus

2.2. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid.1,2,3 Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan
sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
6

Sinus maksila disebut juga dengan antrum highmore, merupakan sinus


yang sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar,
(2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase
dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus
medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan jaringan
mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan
signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan
atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari (lebih dari
tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik. 1,2,5
2.3 Patofisiologi
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara
dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.1,3
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik
lokal maupun sistemik.2,3,5 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga
terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak
secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti
jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.

Gambar 2. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus


7

Gambar 3. Perubahan silia pada sinusitis

Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya


berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir
tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus,
sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus
menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering ditemukan
pada sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus,
kuman anaerob jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.1,2,3
8

Gambar 4. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi

Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas.


Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan
mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding
pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi
pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan
produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni
sebagai nanah, tetapi mukopus.5

Gambar 5. Sinusitis akut menjadi sinusitis kronik

Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu:5
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
9

2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.


3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.

Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan


Biasanya mulai pada masa kanak-kanak. Serangan infeksi terjadi
berulang-ulang. Waktu antara dua serangan makin lama makin pendek. Kekebalan
makin terkalahkan dan resolusi terjadi hampir tidak pernah sempurna. Pengaruh
terhadap mukosa adalah penebalan dengan disertai infiltrasi limfosit yang padat.
Fibrosis sub epitel menyebabkan pengurangan jumlah kelenjar karena iskemia dan
bila berlangsung lebih lanjut akan menyebabkan ulserasi mukosa. Pada tahap
berikutnya periosteum akan terkena dan hiperemia meluas ke tulang-tulang yang
kemudian menjadi osteoporosis dan akhirnya menjadi sklerotik.5

Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas


Penderita memiliki salah satu dari dua tipe alergi. Pertama adalah alergi
umum diatesis yang timbul pada permulaan bersama asma, eksema, konjungtivitis
dan rinitis yang kemudian menjadi rinitis musiman (hay fever) pada anak lebih
tua. Kedua mngkin tidak didapatkan keluhan dan tanda dari alergi sampai umur 8
atau 9 tahun secara berangsur-angsur mukosa semakin “penuh terisi air” yang
menyebabkan bertambahnya sumbatan dan sekret hidung. Polip dapat timbul
karena pengaruh gaya berat terhadap selaput mukosa yang penuh dengan air dan
dapat memenuhi rongga hidung.5

Gambar 6. Mekanisme terjadinya sinusitis kronis


10

2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks osteo-meatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindroma Kartegener, dan di luar negeri adalah
penyakit fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok.
Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.

2.5 Gejala klinis


Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala
sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus
kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring.
Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang
menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi
dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu
membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan
dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring
sudah ditiadakan.1,2,5,6
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).1,5,6
11

Gambar 7. Pus pada meatus medius

Gambar 8. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis

2.6 Pemeriksaan Fisik


Untuk melihat tanda-tanda klinis dapat dilakukan pemeriksaan :1,2
a. Rhinoskopi anterior, tampak mukosa hidung hiperemis dan edema, terlihat
pus pada meatus nasi media.
b. Rhinoskopi posterior, tampak sekret kental di nasofaring (post nasal drip).
c. Transiluminasi. Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit yang
terang di bawah mata, dan bila ada sinusitis, sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna apabila salah satu
sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan sisi yang
normal.
12

Tabel 1. Kriteria diagnosis sinusitis 9,10


Mayor Minor
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala
Sekret nasal dan post nasal purulen Batuk
Demam (fase akut) Rasa lelah
Kongesti nasal Halitosis (bau mulut)
Obstruksi nasal Nyeri gigi
Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan /penuh pada
telinga

Untuk mengakkan diagnosis sinustis memerlukan dua kriteria mayor atau


satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien, dengan gejala lebih
dari 7 hari.

2.7 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk
mengevaluasi sinus paranasal adalah: pemeriksaan foto kepala dengan berbagai
posisi yang khas, pemeriksaan CT-Scan, pemeriksaan MRI, pemeriksaan USG.
Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan
gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus
paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis
yang lebih dini.11

Pemeriksaan Foto Kepala


Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas
berbagai macam posisi antara lain:
a. Foto kepala posisi Caldwell
Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang midsagital
kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum
diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai
apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan membentuk 150 ̊ kaudal. 11
13

Gambar 9. Foto posisi Caldwell

b. Foto kepala lateral


Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar
kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu

sama lain.11

Gambar 10. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksila

c. Foto kepala posisi Water’s


Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis
orbito meatus membentuk sudut 37 ̊ dengan film. Pada foto ini, secara ideal
piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga
kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi sepenuhnya. Foto Water’s umumnya
dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat
menilai dinding posterior sinus sfenoid dengan baik. 11
14

Gambar 11. Foto posisi Waters Gambar 12. Foto posisi


mulut terbuka Waters

d. Foto kepala posisi Submentoverteks


Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien
menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak
lurus film dalam bidang midsagital melalui sella turcica kearah vertex. Posisi ini
biasa untuk melihat sinus frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris. 11

Gambar 13. Foto posisi submentoverteks

Pemeriksaan foto polos kepala air fluid level merupakan gambaran yang
paling umum pada sinusitis bakteri akut dan umumnya tidak terlihat dalam bentuk
lain dari sinusitis. Pemeriksaan ini paling baik dan paling utama untuk
mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan
lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan
jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari
sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.11
15

Pemeriksaan CT-Scan
CT scan sinus bidang koronal telah menjadi metode pencitraan standar
internasional untuk mengevaluasi sinus paranasal yang terkena sinusitis.
Pemeriksaan harus mencakup penilaian terhadap pola, batas, dan kemungkinan
penyebab penyakit, serta rincian anatomi yang relevan dan diperlukan untuk
perencanaan penatalaksanaan.6,9
Pada sinusitis akut dapat dilihat tingkat air-fluid, penebalan mukosa, dan
completeopacification sinus. Apabila terdapat darah di sinus karena trauma ini
mungkin dapat meniru air fluid level dalam sinus, namun mudah dibedakan
dengan pengukuran kepadatan. 11
Dalam sinusitis kronis, sinus etmoid umumnya terlibat. Temuan meliputi
penebalan mukosa, completeopacification, remodeling tulang dan penebalan
karena osteitis, dan poliposis. 6,9

Gambar 14. Foto CT scan posisi Gambar 15. Foto CT scan posisi
coronal menggambarkan Sinusitis coronal menggambarkan sinusitis pada
jamur. Jaringan lunak menempati sisi kanan sinus spenoethmodal.
sinus maksilaris kanan dan ethmoid
dengan daerah hyperattenuating
pusat khas jamur sinusitis. Dinding
medial sinus yang terkena terkikis.

Pemeriksaan MRI
Meskipun CT scan tetap menjadi modalitas utama untuk kriteria standar
diagnosis sinusitis, tetapi MRI diindikasikan pada kasus-kasus klinis yang
dicurigai dapat menjadi komplikasi, terutama pada pasien dengan komplikasi
intrakranial dan infeksi yang besifat extension atau pada mereka yang suspek
superior sagittal venous thrombosis. 9
16

MRI meningkatkan diferensiasi jaringan lunak, tetapi itu tidak membantu


dalam mengevaluasi tulang. MRI jelas menggambarkan tumor dari inflamasi pada
jaringan sekitar dan sekresi pada sinus. Pada MRI T2-weighted, membran edema
dan lendir jelas terlihat hiperintens.9

Gambar 16. Foto MRI Gambar 17. Foto MRI


menggambarkan sinusitis ethmodal menggambarkan sinusitis ethmodal
bilateral. dengan ekstensi intrakranial dan
juga perluasan ke orbit kiri.

Gambar 18. Foto MRI Gambar 19. Foto MRI axial


menggambarkan sinusitis ethmodal menggambarkan sinusitis yg
kanan dengan ekstensi intraorbital. menyebabkan extensi intraorbital
kanan dengan perpindahan M.
Rectus medialis ke arah medial.

Pemeriksaan USG
Secara umum, ultrasonografi belum dianggap berguna dalam diagnosis
sinusitis. Namun, beberapa karya yang diterbitkan telah menunjukkan bahwa
USG menjadi lebih akurat daripada MRI atau radiografi polos dalam
17

mendiagnosis sinusitis maksilaris. Ultrasonografi telah menjadi alat yang handal


dalam diagnosis sinusitis maksilaris akut. Namun, kontroversi masih ada
mengenai keandalan ultrasonografi dalam mendeteksi retensi cairan atau
pembengkakan mukosa pada pasien dengan rinosinusitis polypous kronis atau
dalam transantrally operated-on maxillary sinuses.9
Ultrasonografi memiliki beberapa keterbatasan dalam diagnosis sinusitis
tetapi ultrasonografi juga dapat menunjukkan hasil diagnosa positif dengan
adanya cairan antral, tapi sonogram tidak mendefinisikan penyebab cairan.
Sonogram tidak bisa memberikan informasi tentang detil tulang, dan sulit
mendiagnosis sinus apa yg terkena. Ultrasonografi juga tidak dapat digunakan
untuk membedakan penyakit sinus dari bakteri, virus, jamur, dan penyebab alergi.

2.8 Penatalaksanaan
Terapi sinusitis maksilaris umumnya terdiri dari : 9,10
1. Istirahat
2. Antibiotika
Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas yang relatif murah
dan aman. Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh beberapa
kepustakaan juga bervariasi tergantung kondisi penderita. Pada kasus akut,
antibiotika diberikan selama 5-7 hari sedangkan pada kasus kronik diberikan
selama 2 minggu hingga bebas gejala selama 7 hari. Antibiotika yang dapat
diberikan antara lain :
a. Amoksisilin 3 kali 500 mg
b. Ampicillin 4 kali 500 mg
c. Eritromisin 4 kali 500 mg
d. Sulfametoksasol – TMP
e. Doksisiklin
3. Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan Alpha
adrenergik agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga memperlancar drainase
sinus.
a. Sol Efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung
b. Sol Oksimetasolin HCL 0,05% (semprot hidung untuk dewasa)
c. Oksimetasolin HCL 0,025% (semprot hidung untuk anak-anak)
18

d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60 mg (dewasa)


4. Analgetika dan antipiretik: parasetamol atau metampiron
5. Antihistamin
Antagonis histamine H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada
reseptor H1 sel target. Bekerja dengan menghambat hipersekresi kelenjar mukosa
dan sel goblet dan menghambat peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
mencegah rinore dan sebagai vasokontriksi sinusoid untuk mencegah hidung
tersumbat. Antihistamin berguna untuk mengurangi obstruksi KOM pada pasien
alergi yang menderita sinusitis akut. Terapi antihistamin ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien dengan sinusitis akut,
karena dapat menimbulkan komplikasi melalui efeknya yang mengentalkan dan
mengumpulkan sekresi sinonasal.
6. Mukolitik
Secara teori, mukolitik seperti bromehexin atau ambroxol hidroklorida
memiliki kelebihan dalam mengurangi sekresi dan memperbaiki drainase. Namun
tidak biasa digunakan dalam praktek klinis untuk mengobati sinusitis akut.
7. Tindakan operatif
a. Pungsi dan Irigasi sinus maksilaris (antrum wash out)
Tujuan dilakukan Irigasi antrum adalah 1) sebagai tindakan diagnostik
untuk memastikan ada tidaknya sekret pada sinus maksilaris, 2) untuk
mengeluarkan sekret yang terkumpul didalam rongga sinus maksilaris, 3)
memperbaiki aliran mukosiliar, 4) jika dalam waktu 10 hari, penderita tidak
menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan terapi konservatif, atau telah
didapatkan adanya air fluid level dalam antrum, 5) untuk memperoleh material
yang dapat digunakan untuk kultur dan tes sensitifitas.
Tindakan ini dapat dilakukan dengan :
 Mukosa hidung disemprot dengan larutan 10% kokain dan adrenalin 1/1000.
kemudian dengan sepotong kapas yang dibasahi dengan larutan yang sama
ditempatkan pada meatus inferior. Ditunggu selama 15 menit.
 Dengan menggunakan trokar (misal Trokar dari Lichwits) dibuat drainase
melalui meatus inferior atau celah bukalis gusi menembus fosa insisiva
dengan menempatkan ujung trokar pada bagian atas dari meatus nasi inferior,
19

kearah kanthus lateralis 1-1/2 inch dari lobang hidung atau tepi atas daun
telinga. Trokar didorong masuk dengan arah sedikit memutar sampai terasa
menembus tulang. Trokar dicabut dengan meninggalkan kanul.
 Dilakukan irigasi antrum dengan larutan salin steril hangat ke dalam antrum
maksilaris. Selanjutnya mengalirkan larutan saline hangat, akan mendorong
pus ke luar melalui ostium alami ke rongga hidung atau mulut. cairan irigasi
ditampung dan dikirim untuk pemeriksaan bakteriologi dan uji kepekaan
kuman.
 Antrum wash out dilakukan lima-enam kali dengan selang waktu 4- 5 hari (2
kali dalam seminggu). Bila tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak
sekret purulen, berarti mukosa sinus tidak dapat kembali normal (perubahan
irreversible), maka perlu dilakukan operasi radikal.
 Antibiotika diberikan sesuai dengan pemeriksaan bakteriologi dan tes uji
kepekaan.
8. Pembedahan radikal
Indikasi pembedahan radikal ini adalah 1) kegagalan respon terapi konservatif
yakni sinusitis kronik refrakter terhadap terapi medis yang maksimal terhadap
terapi antibiotik, 2) tindakan irigasi terutama pada sinusitis kronik dan persisten
dengan mukosa sinus yang irreversible. Sinusitis akut jarang membutuhkan
pembedahan, kecuali jika terjadi komplikasi seperti bentukan mukopiokele
dengan kecurigaan penyebaran ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang
hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
Terapi radikal dilakukan dengan pembedahan Caldwel-luc, yaitu dengan
mengangkat mukosa yang patologis dan membuat drainasesinus.
9. Pembedahan tidak radikal
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS) merupakan tehnik penanganan terkini dari sinusitis oleh karena
pembedahan dengan metode Caldwel-luc sudah jarang dipakai. Prinsipnya ialah
membuka dan membersihkan daerah KOM yang menjadi sumber penyumbatan
dan infeksi, sehingga ventilasi sinus dan drainase sinus dapat lancer kembali
melalui ostium alami dan mengembalikan fungsi mukosilier. Pendekatan
terdahulu untuk membuat saluran nasoantral dalam sinus maksilaris (untuk
20

memfasilitasi gravitasi drainase) adalah tidak efektif, karena pembersihan normal


mukosilier adalah satu arah dan melawan gravitasi. Oleh karena itu, pembersihan
normal mukosilier tidak akan berubah walaupun telah dibuatkan saluran
nasoantral.

BAB IV
ANALISIS MASALAH

Seorang laki-laki, 51 tahun datang berobat ke Poliklinik THT-KL dengan


keluhan hidung tersumbat sejak 4 minggu SMRS. Keluhan hidung tersumbat
dirasakan hilang timbul. Pasien juga mngeluhkan adanya cairan yang keluar
melalui hidung. Cairan berwarna kuning kehijauan dan berbau. Kadang, pasien
juga meraskan ada cairan yang turun dari belakang hidung ke tenggorok. Pasien
juga mengeluhkan nyeri yang dirasakan pada kedua pipinya. Dalam satu minggu
terakhir pasien juga mengeluhkan sakit kepala.
Berdasarkan anamnesis pasien mengaku hidung terasa sumbat serta
adanya pengeluaran cairan bening yang lama kelamaan berubah kuning kehijauan,
kental dan berbau. Hal ini sesuai dengan teori bahwa organ-organ yang
membentuk KOM (kompleks osteo meatal) letaknya berdekatan dan apabila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak
dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi berupa serous. Kondisi ini
biasanya di anggap sebagai rhinosinusitis non bacterial dan biasanya akan sembuh
dalam beberapa hari. Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus
akan menjadi mediator yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga sekter
akan berubah purulen.
Sinusitis akut dapat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi faring, infeksi gigi
rahang atas (dentogen), trauma. Gejala klinis dapat berupa demam dan rasa lesu.
21

Pada hidung dijumpai ingus kental. Dirasakan nyeri didaerah infraorbita dan
kadang-kadang menyebar ke alveolus. Penciuman terganggu dan ada perasaan
penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Pada pemeriksaan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di
nasofaring (post nasal drip). Terapi medikamentosa berupa antibiotik selam 10-14
hari. Pengobatan lokal dengan inhalasi, pungsi percobaan dan pencucian.
Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh pneumatisasi yang tidak memadai,
makanan yang tak memadai, reaksi atopik, lingkungan kotor, sepsis gigi dan
variasi anatomi. Gejala berupa kongesti atau obstruksi hidung, nyeri kepala
setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip), gangguan
penciuman dan pengecapan.
Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pengobatan
sinusitis kronik dilakukan secara konservatif dengan antibiotik selama 10 hari,
dekongestan lokal dan sistemik, juga dapat dilakukan diatermi gelombang pendek
selama 10 hari di daerah sinus maksila, pungsi dan irigasi sinus.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya:
1. Transluminasi: pemeriksaan ini akan memberikan hasil yang bermkna apa
bila hanya salah satu sinus yang terkena. Hasil pemeriksaan transluminasi
positif menunjukkan adanya adanya perbedaan cahaya antara sinus yang
normal dan sinus ang sakit
2. Foto water: merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat
membantu dalam penegakan siagnosa sinusitis. Hasil pemeriksaan foto
waters menunjukkan adanya gambaran perselubungan dengan gambaran
penebalan dari mukosa atau dapat ditemukan adanya gambaran air fluid level.
3. CT Scan merupakan tes yang paling sensitive dalam mengungkapkan
kelainan anatomis selain melihat adanya cairan dalam sinus. tetapi karena
mahal, CT scan jarang dipakai sebagai skrining awal dalam menegakan
diagnose sinusitis.
Pada pasien ini diberikan terapi kortikosteroid spray yaitu fluticasone,
dekongestan spray yaitu xylometazoline. Penatalaksanaan lini pertama pada
22

sinusitis maksilaris menggunakan dekongestan nasal topikal dan irrigasi saline


dari cavum nasi. Dekongestan topikal seperti ephedrine atau xylometazoline dapat
melebarkan ostium sinus paranasal yang akan melancarkan drainase dengan
aktivitas siliaris. Kebanyakan dekongestan berbentuk spray sehingga
penghantaran zatnya lebih efektif. Penggunaan dekongestan berlebihan dapat
menyebabkan nasal discomfort dan rebound mucosal swelling sehingga
penggunaannya dianjurkan tidak lebih dari tujuh hari. Namun pada sinusitis
kronik, penggunaan dekongestan nasal lebih lama namun dibatasi pengunaanya
satu kali dalam sehari.
23

DAFTAR PUSTAKA

1. Hall dan Collmans Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and Neck
Surgery. Fourtheenth ed, 2005, 49 – 53.
2. Dykewicz MS, Hamilos DL February 2010. Rhinitis and Sinusitis. The Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 125: S103–15.
3. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N
(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th Ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.pp.150-154.
4. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA, editor.
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
5. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
6. Rosenfeld RM. Picirrilo JF. Chandrasekhar SS. Brook I. Kumar KA. Kramper M. Orlandi
RR. Et al. 2015. Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis. Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 2015. 152 : (2S).p.1-24.
7. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p.81-91.
8. Desrosiers M. Evans GA. Keith PK. Wright ED, Kaplan A, Ciavarella A. Doyle PW,
Javer AR, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic rhinosinusitis.
Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011. 7:2.p.1-38.
9. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd SM,
Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed. Philadelphia, PA:
Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001.
10. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p 2-9
11. Bell GW, Joshi BB and Macleod RI.Maxillary sinus disease: diagnosis and treatment.
British Dental Journal. 2011. 210: (3). 113-118.

Anda mungkin juga menyukai