Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut WHO sehat adalah keadaan keseimbangan yang sempurna


baik fisik, mental dan social, tidak hanya bebas dari penyakit dan
kelemahan. Menurut UU Kesehatan RI no. 23 tahun 1992, sehat adalah
keadaan sejahtera tubuh, jiwa, social yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara social dan ekonomis.Sakit adalah
ketidakseimbangan fungsi normal tubuh manusia, termasuk sejumlah
system biologis dan kondisi penyesuaian.

Kesehatan jiwa adalah satu kondisi sehat emosional psikologis, dan


social yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku
dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosionl
(Videbeck, 2008)

Gangguan jiwa didefenisikan sebagai suatu sindrom atau perilaku


yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitakan
dengan adanya distress (misalnya gejala nyeri) atau disabilitas (kerusakan
pada satu atau lebih area fungsi yang penting) (Videbeck, 2008)

Waham atau delusi adalah keyakinan tentang suatu pikiran yang


kokoh, kuat, tidak sesuai dengan kenyataan, tidak cocok dengan
intelegensia dan latar belakang budaya, selalu dikemukakan berulang-
ulang dan berlebihan biarpun telah dibuktikan kemustahilannya atau
kesalahannya atau tidak benar secara umum

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Waham?
2. Etiologi Waham
3. Klasifikasi Waham?

1
4. Tanda dan Gejala Waham?
5. Manifestasi Klinik?
6. Mekanisme Koping?
7. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Waham?

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Waham
Menurut (Depkes RI, 2000) Waham adalah suatu keyakinan klien
yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat
diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran
klien yang sudah kehilangan kontrol (Direja, 2011).Waham curiga adalah
keyakinan seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan atau
mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan (Kelliat, 2009).
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses
stimulus internal dan eksternal secara akurat.Gangguannya adalah berupa
waham yaitu keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau
dibuktikan dengan realitas.Keyakinan individu tersebut tidak sesuai
dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya, serta tidak dapat
diubah dengan alasan yang logis.Selain itu keyakinan tersebut diucapkan
berulang kali (Kusumawati, 2010).
Gangguan orientasi realitas adalah ketidakmampuan menilai dan
berespons pada realitas.Klien tidak dapat membedakan lamunan dan
kenyataan sehingga muncul perilaku yang sukar untuk dimengerti dan
menakutkan. Gangguan ini biasanya ditemukan pada pasien skizofrenia
dan psikotik lain. Waham merupakan bagian dari gangguan orientasi
realita pada 10 isi pikir dan pasien skizofrenia menggunakan waham untuk
memenuhi kebutuhan psikologisnya yang tidak terpenuhi oleh kenyataan
dalam hidupnya.Misalnya : harga diri, rasa aman, hukuman yang terkait
dengan perasaan bersalah atau perasaan takut mereka tidak dapat
mengoreksi dengan alasan atau logika (Kusumawati, 2010).

3
B. Etiologi

1. Faktor predisposisi

a. Genetik, faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam


perkembangan suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota
keluarga dengan kelainan yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak
saudara lain).

b. Neurobiologis, adanya gangguan pada kosteks pre frontal dan korteks


limbic.

c. Neurotransmiter : abnormalitas pada dopamine, serotonin, dan glutamate.

d. Virus : paparan virus influenza pada trimester III.

e. Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.

2. Faktor presipitasi

a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan.

b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.

C. Klasifikasi
Jenis Waham Pengertian Perilaku Waham
Waham Kebesaran Keyakinan secara “Saya ini pejabat di
berlebihan bahawa kementrian semarang!”
dirinya memiliki “Saya punya perusahaan
kekuatan khusus atau paling besar lho “.
kelebihan yang berbeda
dengan orang lain,
diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak
sesuai dengan

4
kenyataan
Waham Agama Keyakinan secara “ Saya adalah tuhan
berlebihan bahawa yang bisa menguasai
dirinya memiliki dan mengendalikan
kekuatan khusus atau semua makhluk”.
kelebihan yang berbeda
dengan orang lain,
diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak
sesuai dengan
kenyataan
Waham Curiga Keyakinan seseorang “ Saya tahu mereka mau
atau sekelompok orang menghancurkan saya,
yang mau merugikan karena iri dengan
atau mencederai kesuksesan saya”.
dirinya, diucapkan
berulang-ulang tetapai
tidak sesuai dengan
kenyataan.
Waham Somatik Keyakinan seseorang “ Saya menderita
bahwa tubuh atau kanker”. Padahal hasil
sebagian tubuhnya pemeriksaan lab tidak
terserang penyakit, ada sel kanker pada
diucapkan berulang- tubuhnya.
ulang tetapi tidak
sesuai dengan
kenyataan.
Waham Nihlistik Keyakinan seseorang “ ini saya berada di
bahwa dirinya sudah alam kubur ya, semua
meninggal dunia, yang ada disini adalah
diucapkan roh-roh nya”
berulangulang tetapi

5
tidak sesuai dengan
kenyataan.

D. Tanda dan Gejala

Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :

1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)


Cara berfikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk,
danpengorganisasian bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial).
2. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi.
3. Fungsi emosi
Afek tumpul kurang respons emosional, afek datar, afek tidak
sesuai,reaksi berlebihan, ambivalen.
4. Fungsi motorik.
Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme,
stereotipikgerakan yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak
dipengaruhi stimulusyang jelas, katatonia.
5. Fungsi sosial kesepian.
Isolasi sosial, menarik diri, dan harga diri rendah.Dalam tatanan
keperawatan jiwa respons neurobiologis yang seringmuncul adalah
gangguan isi pikir: waham dan PSP: halusinasi.

Tanda dan Gejala Menurut Direja, (2011) yaitu :


Tanda dan gejala pada klien dengan Waham Adalah :
Terbiasa menolakmakan, tidak ada perhatian pada perawatan diri,
Ekspresi wajah sedih danketakutan, gerakan tidak terkontrol, mudah
tersinggung, isi pembicaraantidak sesuai dengan kenyataan dan
bukan kenyataan, menghindar dariorang lain, mendominasi
pembicaraan, berbicara kasar, menjalankankegiatan keagamaan
secara berlebihan.

6
E. Manifestasi klinik

Perilaku yang dapat ditemukan pada klien dengan Waham antara


lainmelakukan percobaan bunuh diri, melakukan tindakan, agresif,
destruktif gelisah, tidak biasa diam, tidak ada perhatian terhadap
kebersihan diri, adagangguan eliminasi, merasa cemas, takut. Kadang-
kadang panik perasaanbahwa lingkungan sudah berubah pada klien
depersonalisasi(Stuart,2007).

F. Mekanisme Koping
Menurut Direja (2011), Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi
diri sendiri dari pengalaman berhubungan dengan respon neurobioligi :
1. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya
untukmenanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang
tertinggaluntuk aktivitas hidup sehari-hari.
2. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan keracunan persepsi
3. Menarik diri.

G. Pohon Masalah

Perilaku Kekerasan

Waham

Menarik diri

Harga diri Rendah

7
Skema 2 pohon masalah (Fitria,2009, dikutip Direja, 2011

BAB III

JURNAL

A. Jurnal 1
terlampir
B. Jurnal 2
terlampir
C. Jurnal 3
terlampir
D. Jurnal 4
terlampir
E. Jurnal 5
Terlampir

8
BAB IV

ANALISIS JURNAL

A. Jurnal 1
1. Nama peneliti :
Hartono
2. Waktu penelitian : Tahun 2015
3. Tempat Penelitian : DI RSJD Dr. RM. SOEDJARWADI PROVINSI
JAWA TENGAH
4. Tujuan : Tujuan dari Penelitian ini untuk menguji apakah terapi aktivitas
kelompok dapat meningkatkan ketrampilan sosial dasar pasien skizofrenia
5. Judul : PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK TERHADAP
PENINGKATAN KETRAMPILAN SOSIAL DASAR PADA PASIEN
SKIZOFRENIA DI RSJD Dr. RM. SOEDJARWADI PROVINSI JAWA
TENGAH
6. Metode : metode eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
randomized control group pretest-posttest-follow up design
7. Hasil penelitian :
Berdasarkan hasil uji Mann Whitney terhadap gain score kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol diperoleh hasil p=0.012 (p < 0.05), hal
tersebut berarti bahwa terdapat perbedaan peningkatan skor antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini berarti bahwa
pemberian intervensi terapi aktivitas kelompok dapat meningkatkan skor
skala kemampuan sosial dasar pada pasien skizofrenia pada kelompok
eksperimen, dan kelompok kontrol tidak mengalami peningkatan skor
skala kemampuan sosial dasar pada pasien skizofenia

8. Hasil analisis skala kemampuan sosial dasar antara skor pre test dan post
test dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan skor
Z = - 2.522 dan p=0.012, berarti nilai p < 0.05 (signifikan), sehingga dapat
dikatakan bahwa ada perbedaan skor kemampuan sosial dasar pada pasien
skizofrenia yang signifikan antara skor pre test dan post test pada

9
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, kemudian pada tahap follow
up hasil analisis Friedman test menunjukkan p=0.009, berarti nilai p < 0.05
dapat diartikan signifikan. Berdasarkan uji hipotesis diatas, dapat
disimpulkan bahwa terapi aktivitas kelompok dapat meningkatkan
kemampuan sosial dasar pasien skizofrenia, peningkatan kemampuan
sosial dasar dapat dilihat dari skor pre test, post test dan follow up.

Dari ke empat aspek tersebut aspek yang paling berkembang adalah:

a. Aspek ke 3, yaitu ketrampilan mengekspresikan perasaan yang


menyenangkan
b. Aspek ke 4, yaitu ketrampilan mengekspresikan perasaan tidak
menyenangkan.
c. Aspek ke 1, yaitu ketrampilan mendengarkan dengan baik
d. Aspek ke 2, yaitu ketrampilan untuk mengajukan permintaan.
Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang telah dilakukan,
selanjutnya dilakukan diskusi hasil dari analisis atas pengaruh terapi
aktivitas kelompok untuk meningkatkan keterampilan sosial dasar
pada pasien skizofrenia. Hasil uji hipotesis menyatakan bahwa terapi
aktivitas kelompok dapat meningkatkan keterampilan sosial dasar pada
pasien skizofrenia. Hal tersebut terlihat dari adanya perbedaan antara
hasil pre test, post test dan follow up pada kelompok eksperimen
sebelum diberikan terapi aktivitas kelompok dan sesudah diberikan
terapi aktivitas kelompok dan juga observasi serta wawancara.
9. Kelebihan :
Desain penelitian randomized control group pretest-posttest-follow up
design. Perbandingan post test dengan follow up Modul dibuat sesuai
dengan tema penelitian dan kelayakan modul dinilai kelayakannya oleh
Psikolog dan Psikiater yang sudah berpengalaman
10. Kelemahan :
Peserta terapi harus dapat membaca dan menulis, atau kalau diberikan
kepada pasien skizofrenia, maka kemampuan membaca atau menulisnya
harus sudah ada kembali.Terapi ini efektif jika diberikan kepada pasien

10
skizofrenia yang sudah komunikatif dan kooperatif.Data identitas pasien
kurang komplit terutama data pendidikan dan tanggal lahir yang tidak
semuanya ada.

11. Kesimpulan :

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terapi Aktivitas Kelompok memiliki


pengaruh terhadap peningkatan ketrampilan sosial dasar pada pasien
skizofrenia. Berdasarkan analisis statistik penelitian ini juga diketahui
bahwa ada kenaikan skor ketrampilan sosial dasar pasien skizofrenia dari
pre test ke post test dan follow up secara signifikan dan secara kualitatif
masing-masing subjek merasakan manfaat dari Terapi Aktivitas
Kelompok, misalnya dalam hal ketrampilan mendengarkan dengan baik,
ketrampilan untuk mengajukan permintaan, ketrampilan mengekspresikan
perasaan yang menyenangkan, ketrampilan mengekspresikan perasaan
tidak menyenangkan.

a. Dari ke empat aspek tersebut aspek yang paling berkembang


adalah:
b. Aspek ke 3, yaitu ketrampilan mengekspresikan perasaan yang
menyenangkan
c. Aspek ke 4, yaitu ketrampilan mengekspresikan perasaan tidak
menyenangkan.
d. Aspek ke 1, yaitu ketrampilan mendengarkan dengan baik
e. Aspek ke 2, yaitu ketrampilan untuk mengajukan permintaan.
Berdasar hasil yang diperoleh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Terapi Aktivitas Kelompok terbukti dapat meningkatkan ketrampilan
sosial dasar pasien skizofrenia secara signifikan.
Saran untuk Rumah Sakit, terapi aktivitas kelompok dapat
direkomendasikan untuk meningkatkan kemampuan sosial dasar pada
pasien skizofrenia khususnya rawat inap di RS.
Saran untuk penelitian selanjutnya, supaya memberikan terapi aktivitas
kelompok tidak hanya pada ketrampilan sosial dasar namun juga pada

11
kecemasan, dan tingkat agresifitas pasien skizofrenia. Perlu juga
selama waktu post test sampai dengan pemberian follow up untuk
tidak diberikan intervensi terapi lain dan bekerja sama dengan tenaga
paramedis yang lain supaya lebih terlihat jelas pengaruh terapi
aktivitas kelompok yang diberikan, misalnya tidak diberikan terapi
farmakoterapi dan Elektro Compulsive Therapy (ECT).
Saran untuk keluarga, supaya pasien setelah pulang dari rumah sakit
dan berada di rumah untuk dilibatkan dalam aktivitas kegiatan sehari-
hari di rumah, diajak untuk berkomunikasi dan dilatih untuk dimintai
pendapatnya dalam pemecahan masalah sehari-hari.

B. Jurnal 2
1. Nama peneliti : Chandra Kiran, Suprakash Caudhury
2. Waktu penelitian : Januari-Juni, 2009
3. Tempat Penelitian : Department of Psychiatry, Ranchi Institute of
Neuropsychiatry and Allied Sciences, Kanke, Ranchi - 834 006,
Jharkhand, India
4. Tujuan : To get any data about understanding delusions
5. Judul : Understanding delusions
6. Hasil penelitian :
Once a simple delusional belief is adopted with conviction, the
subsequent course is very variable.
• Some patients have fleeting or brief delusional states, spontaneously
remitting and returning to normal.
• Others respond well to standard treatment.
• Others elaborate and develop their belief into a comprehensive
system which may remain unaltered even with regular medication. The
multidimensionality of delusional experience also has implications for
the conceptualization of the temporal course of psychotic
decompensation and resolution. Individual dimensions of delusional
experience often change independently of one another during the
course of a psychotic episode, so that recovery can be determined by
changes in one of the several dimensions (Garety and Freeman,1999).
7. Kesimpulan :
Delusions are a key clinical manifestation of psychosis and have
particular significance for the diagnosis of schizophrenia. Although
common in several psychiatric conditions, they also occur in a diverse
range of other disorders (including brain injury, intoxication and

12
somatic illness). Delusions are significant precisely because they make
sense for the believer and are held to be evidentially true, often making
them resistant to change. Although an important element of psychiatric
diagnosis, delusions have yet to be adequately defined. The last decade
has witnessed a particular intensification of research on delusions, with
cognitive neuroscience-based approaches providing increasingly useful
and testable frameworks from which to construct a better
understanding of how cognitive and neural systems are involved.
There is now considerable evidence for reasoning, attention,
metacognition and attribution biases in delusional patients. Recently,
these findings have been incorporated into a number of cognitive
models that aim to explain delusion formation, maintenance and
content. Although delusions are commonly conceptualized as beliefs,
not all models make reference to models of normal belief formation. It
has been argued that aberrant prediction error signals may be important
not only for delusion formation but also for delusion maintenance
since they drive the retrieval and reconsolidation-based strengthening
of delusional beliefs, even in situations when extinction learning ought
to dominate. Given the proposed function of reconsolidation, in
driving automaticity of behavior it is argued that in an aberrant
prediction error system, delusional beliefs rapidly become inflexible
habits. Taking this translational approach will enhance our
understanding of psychotic symptoms and may move us closer to the
consilience between the biology and phenomenology of delusions.

C. Jurnal 3
D. Nama peneliti :
Yu-Chen Liu, RN • Chia-Chun Tang, RN, PhD • Tsai-Tzu Hung, RN •
Pei-Ching Tsai, RN • Mei-Feng Lin, RN, PhD
E. Waktu penelitian : Tahun 2018
F. Tempat Penelitian : Randomized of schizophrenia patients
G. Tujuan :To get any data about the efficacy of metacognitive training for
delusions.
H. Judul : The Efficacy of Metacognitive Training for Delusions in Patients
With Schizophrenia:A Meta-Analysis of Randomized ControlledTrials
Informs Evidence-Based PracticeMetode : metode eksperimen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah randomized control group pretest-
posttest-follow up design

13
I. Hasil penelitian :
The average participant age was 32.8–51.0 years. Nine of the 11 studies
had been conducted in western countries. Nine studies were group-based
interventions, with a group size of 4–8 people. The therapy sessions were
commonly eight sessions, with each session 45–60 min long. Seven
studies lasted for
4weeksandtheotherfourlastedfor8weeks.Participantswhoreceived the
homework assignments were presented in only three studies.
The included studies of this meta-analysis indicated no significant pre-
intervention difference in the severity of delusion
betweentheexperimentalandcontrolgroups.Ourfindingsimply that MCT is
beneficial for patents with schizophrenia who have delusional symptoms.
The results indicated that postintervention MCT immediately lowered the
severity of delusion, which was similar to the conclusion of Eichner and
Berna’s (2016) meta-analyses with 11 RCT and non-RCT studies. Both
meta-analysis, our study and the Eichner and Berna’s study,
confirmedtheimmediatepostinterventioneffectofMCTtobe small to
moderate. However, a contradictory conclusion was drawn from the
otherconcurrentmeta-analysis,whichcontainedonlyfourand seven RCT
studies of MCT, respectively (Jiang et al., 2015; van
Oosterhoutetal.,2016).Thediscrepancymayhavebeengenerated due to the
number of studies and the time range wherein 11 RCT studies of MCT
were recruited from 2007 to 2016 for analysis in this current study.
Compared to the 2016 meta-analysis of van Oosterhout et al., the current
meta-analysis added four high-quality RCT studies, in which MCT was
implementedbywell-preparedtrainers,togeneratethecontrasted conclusion
that is crucial to the knowledge translation of MCT and facilitation for
clinical practice.
J. Kesimpulan :
MCThaseffectivelyimprovedtheexperienceofdelusionsinpatients with
schizophrenia immediately postintervention, with the change lasting for 6
months. To preserve the effect of MCT, the patient’s delusion severity

14
should be reevaluated after 6 months and then the patient should undergo
another cycle of MCT to reduce the recurrence of distorted cognition.
Individualized MCT, compared to a group-based approach, is
moreflexibleandbeneficialtomodifycognitionerrorsofparticipants. The
participants’ region reflects diverse cultural backgrounds that can influence
the MCT effect. The interaction between teacher and student, or the
learning behavior in eastern culture, may be the important factor that
contributes to the effect of MCT, reducing the delusion of schizophrenia in
eastern culture. For similar future studies, including additional variables
(e.g., cognitive bias) for outcome evaluation may be needed. A greater
comprehension of the mechanism and factors that improve the
effectiveness of MCT may be helpful for designing a
successfulMCTinthefuture.Forpatientswithdelusions,their dysfunctional
thought processes cannot be corrected by medication alone. Individualized
MCT can be a valuable approach and is recommended to healthcare
professionals as a resource for patients with schizophrenia or delusional
disorder

15
DAFTAR PUSTAKA

Hartono.2015.Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Terhadap Peningkatan


Ketrampilan Sosial Dasar Pada Pasien Skizofrenia Di Rsjd Dr. Rm.
Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015.Jurnal Keperawatan.1-
21.

Liu,Yu-Chen et al.2018.The Efficacy of Metacognitive Training for Delusions in


Patients With Schizophrenia: A Meta-Analysis of Randomized
Controlled Trials Informs Evidence-Based Practice. Worldviews on
Evidence-Based Nursing, 2018; 15:2, 130–139.

Sari, S.P & Wijayanti, D.Y. 2014.Keperawatan Spiritualitas Pada Pasien


Skizofrenia. Jurnal Ners Vol. 9 No. 1 April 2014: 126–132.

Wulan, W.R. 2015.Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa Terhadap Klien Dan


Keluarga. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015,
hal 59-66 pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203.

16
Lampiran 1

17

Anda mungkin juga menyukai