2. Penyebab demensia
Sunberk, Winebarge, dan Taplin (2007) mengemukakan bahwa
dimensia disebabkan oleh perubahan pada otak yang tidak dapat
dipulihkan meliputi penyakit dan kematian jaringan otak. Papalia dan
Feldman (2014) mengemukakan bahwa dimensia timbul disebabkan
oleh penyebab fisiologis. Penyebab fisiologis utama dimensia yaitu
penyakit alzheimer dan parkinson.
3. Gejala dimensia
Davison, Neale, dan Kring (2014) mengemukakan bahwa simtom
utama penyakit demenisa yaitu kesulitan dalam mengingat banyak hal
dan peristiwa baru. Dimensia mengakibatkan penderitanya mengalami
kesulitan dalam memahami pemikiran abstrak, dan gangguan emosi
menjadi hal umum, termasuk simtom depresi, afek datar, dan ledakan
emosional secara berkala.
Davison, Neale, dan Kring (2014) mengemukakan bahwa individu
yang menderita demensia memiliki kemungkinan gangguan pola bicara
yang membingungkan. Meskipun sistem motorik tetap berfungsi namun
penderita demensia mengalami kesulitan berbagai aktivitas motorik,
seperti mengosok gigi, melambaikan tangan, dan berpakaian. Davison,
Neale, dan Kring (2014) mengemukakan bahwa lebih dari 50 persen
penderita demensia mengalami delusi dan halusinasi.
b. Alzheimer
1. Pengertian alzheimer
Davison, Neale, dan Kring (2014) mengemukan bahwa alzheimer
merupakan pengklasifikasian paling umum dari dimensia. Davison,
Neale, dan Kring (2014) mengemukakan bahwa alzheimer istilah untuk
rusaknya jaringan otak yang tidak dapat diperbaiki. Sunberk,
Winebarge, dan Taplin (2007) mengemukakan bahwa penyakit
alzheimer disebabkan oleh perubahan besar pada otak yaitu
pembentukan daerah yang mengeras pada bagian otak. Plak merupakan
bagian yang mengeras pada otak. Letak dari plak mempengaruhi gejala
yang muncul. Davison, Neale, dan Kring (2014) mengemukakan bahwa
penyakit alzheimer lebih umum terjadi pada perempuan. Papalia dan
Feldman (2014) mengemukakan bahwa penyakit alzheimer secara
perlahan merampas kecerdasan, keawasan, dan bahkan kemampuan
penderitanya untuk mengontrol fungsi tubuh mereka dan pada akhirnya
menyebabkan kematian.
2. Gejala alzheimer
Papalia dan Feldman (2014) mengemukakan bahwa gejala klasik
dari alzheimer berupa kerusakan memori, kemunduran bahasa,
kekurangan dalam pemrosesan visual dan ruangan. Salah satu gejala
yang paling jelas adalah ketidakmampuan mengingat kejadian baru atau
memproses informasi baru. Gejala lain yang cenderung muncul diawal
penyakit yaitu gangguan kepribadian secara cepat menjadi kaku, apatis,
egosentris, dan kontrol emosi yang terganggu.
Papalia dan Feldman (2014) mengemukakan bahwa semakin banyak
gejala yang mengikuti seperti mudah tersinggung, cemas, depresi,
delusi, delirium, dan berkeliaran, mengakibatkan kerusakan pada
ingatan jangka panjang, penilaian, konsentrasi, dan orientasi serta
gangguan bicara. Individu yang mengalami alzheimer mengalami
kesulitan melakukan aktivitas rutin dikehidupan sehari-hari. Cummings
(Papalia dan Feldman, 2014) mengemukakan bahwa pada akhirnya
individu tidak bisa memahami atau menggunakan bahasa, tidak
mengenali anggota keluarga, tidak bisa makan tanpa bantuan, tidak bisa
mengatur kapan buang air, dan kehikangan kemampuan untuk berjalan,
duduk dan menelan makanan padat. Kematian biasanya datang sekitar 8
samapai 10 tahun setelah gejala muncul.
3. Penyebab alzheimer
Papalia dan Feldman (2014) mengemukakan bahwa penyebab
utama perkembangan penyakit alzheimer yaitu kekusustan neurofibriler
(massa neuron mati yang terpelintir) dan sejumlah lilin plak amiloid
(jaringan yang tidak berfungsi). Otak manusia tidak dapat
membersihkan plak karena plak tersebut tidak dapat larut. Lama
kelamaan jaringan tersebut akan mengeras / membaur dan
menghancurkan neuron disekitarnya.
c. Gangguan anxitas
1. Pengertian anxietas
Liftiah (2009) mengemukakan bahwa anxietas merupakan perasaan
khawatir yang tidak nyata, tidak masuk akal, tidak sesuai, yang
berlangsung intens, atas dasar prinsip yang terjadi dan nyata. Davidson
dan Neale (Liftiah, 2009) mengemukakan bahwa anxietas juga dapat
diartikan sebagai kondisi mood yang negatif yang ditandai dengan
simtom simptom tubuh, ketegangan fisik, dan keakutan terhadap
kejadian yang akan datang.
2. Penyebab anxietas
Anxietas pada individu berusia lansia merupakan kecemasan yang
umumnya khawatir pada munculnya berbagai macam penyakit dan
mengalami kelemahan fisik dan khawatir tidak mampu berperan penting
sehingga akan tersingkir dari kehidupan sosial. Davison, Neale, dan
Kring (2014) mengemukakan bahwa masalah kecemasan lansia sering
kali dihubungkan dengan penyakit medis.orang orang yang mengidap
demensia seperti alzheimer mungkin mencerminkan kecemasan yang
timbul akibat kebingungan dan frustasi saat mereka tidak mampu
melakukan hal yang tampak kecil seperti memakai jaket.
d. Parkinson
Santrock (2012) mengemukakan bahwa parkinson merupakan penyakit
kronis dan progresif yang ditandai oleh gemetar pada otot, gerakan yang
melambat, kelumpuhan sebagian wajah. Papalia dan Feldman (2014)
mengemukakan parkinson merupakan penyakit yang melibatkan degenerasi
neurologis yang progresif, ditandai dengan tremor, kekakuan, pergerakan
lambat dan postur tubuh yang tidak stabil.
Penyakit parkinson ditangani dengan memberikan obat yang
meningkatkan dopamin kepada penderita yang berada ditahap awal
penyakit, dan L-dopa, yang dapat diubah menjadi dopamin oleh otak.
Penanganan lainnya yaitu dengan menstimulasi otak secara mendalam yang
mencakup implantasi elektroda di dalam otak. Elektroda tersebut di
stimulasi oleh alat yang mirip alat pacu jantung (Santrock, 2012)
e. Delirium
Davison, Neale, dan Kring (2014) mengemukakan bahwa delirium
merupakan penggambaran untuk kondisi kaburnya kesadarana. Individu
yang menderita delirium kadang secara mendadak mengalami kesulitan
untuk berkonsentrasi dan memusatkan perhatian serta tidak mampu
mempertahankan alur pemikiran yang teratur dan terarah. Liftiah (2009)
mengemukakan bahwa delirium merupakan keadaan kebingungan mental
yang mengakibatkan penderitanya sulit berkonsentrasi dan berbicara secara
jelas dan masuk akal.
Individu yang menderita deirium tidak mungkin dapat terlibat dalam
percakapan karena perhatian mereka yang tidak dapat terfokus pada satu hal
dan pikirannya terpecah-pecah. Pada kondisi parah, cara berbicara menjadi
parah dan tidak karuan. Delisah dan bingung, penderita delirium dapat
mengalami disorientasi waktu, tempat, dan kadang diri yaitu mereka tidak
dapat mengetahui dengan pasti hari apa sekarang dan dimana mereka
sekarang (Davison, Neale, dan Kring, 2014). Penderita delirium sering
mengalami gangguan perseptual dengan menganggap bedara dalam rumah
bukan dalam rumah sakit. Halusinasi umum terjadi, namun delusi tidak
selalu terjadi dan cenderung berubah ubah, tidak terlalu nyata, dan singkat.
f. Hipokonriasis
Siegler dan Costa (Davison, Neale, dan Kring, 2014) mengemukakan
bahwa secara luas hipokondriasis sangat umum terjadi dalam populasi
lansia. Lansia dapat mengalami berbagai macam masalah fisik, diantaranya
sakit pada kaki dan punggung, pencernaan yang buruk, sembelit, sesak
napas dan keinginan yang amat sangat.secara kelompok para lansia
cenderung kurang melaporkan simpom somatik yang ia derita, sekali lagi
mungkin karena permasalahan kekhawatiran.
Davison, Neale, dan Kring (2014) mengemukakan bahwa para ahli
klinis setuju bahwa secara umum tidak ada gunanya meyakinkan orang yang
bersangkutan bahwa ia sehat karena orang tersebut tidak peduli dengan hasil
tes laboratorium yang negatif atau pendapat otoritatif dari berbagai sumber
resmi. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengajaknya
berjalanmjalan dan membantunya mengalihkan pikirnnya dari rasa sakit.
Pengalihan aktivitas dapat membuat para individu bekerja lebih baik
terlepas dari penyakitnya dan lebih memperoleh kepuasan.
g. Gangguan tidur
Davison, Neale, dan Kring (2014) mengemukakan bahwa insomnia
merupakan gangguan yang umum terjadi pada lansia. Miles dan Dement
(Davison, Neale, dan Kring, 2014) mengemukakan bahwa masalah tidur
yang paling sering dialami oleh lansia adaah sering terjaga pada malam hari,
sering terbangun pada dini hari, sulit untuk tidur, dan rasa lelah yang amat
sangat di siang hari. Waktu tidur lansia agak singkat dan sering terputus
secara spontan. Selain itu lansia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
dapat tertidur setelah mereka terbangun.
Gangguan tidur pada lansia disebabkan oleh penyakit, obat-obatan,
kafein, stres, kecemasan, depresi, kurang beraktivitas, dan kebiasaan tidur
yang buruk. Prinz dan Raskin (Davison, Neale, dan Kring, 2014)
mengemukakan bahwa rasa sakit terutama arthritis merupakan penyebab
utama gangguan tidur pada lansia. Penanganan insomnia pada lansia dapat
melalui pemberian obat obatan, namun obat-obatan juga memiliki efek
samping berupa ketergantungan. Davison, Neale, dan Kring (2014)
mengemukakan bahwa penggunaan obat tidur secara terus menerus dapat
mengakibatkan berkurangnya kefektifitasan obat dan bahkan
mengakibatkan tidur cenderung terputus putus dan terganggunya tidur
dalam kondisi REM.
DAPUS
Davison, G. C., Neale, J. M., Kring A. M. (2014). Psikologi abnormal (9th ed.).
Depok: Kharisma Putra Utama.