Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Resistensi bakteri terhadap antimikroba telah menjadi masalah kesehatan

yang mendunia, dengan berbagai dampak yang merugikan sehingga dapat

menurunkan mutu pelayanan kesehatan. Pertumbuhan dan perkembangan

resistensi antimikroba terjadi karena proses seleksi yang berkaitan dengan

penggunaan dan penyebaran antibiotik. Proses seleksi dapat dihambat dengan cara

meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijaksana, sedangkan proses

penyebaran dapat dihambat dengan cara melaksanakan pengendalian infeksi

(standard precaution) secara benar (Hadi dkk., 2010; Hadi dkk., 2008; Hadi dkk.,

2008a, 2008b).

Pemberian antibiotik merupakan pengobatan utama dalam

penatalaksanaan penyakit infeksi. Manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu

diragukan lagi, akan tetapi penggunaannya yang berlebihan akan segera diikuti

dengan munculnya kuman kebal antibiotik, sehingga manfaatnya akan berkurang.

Infeksi oleh kuman kebal terhadap berbagai antibiotik akan menyebabkan

meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian, sehingga akan diperlukan

antibiotik pilihan kedua, bahkan ketiga, yang mana efektivitasnya lebih kecil dan

kemungkinan mempunyai efek samping lebih banyak, serta biaya yang lebih

mahal dibanding dengan pengobatan standar. Munculnya kuman kebal didorong

oleh selective pressure di mana antibiotik membunuh populasi bakteri yang

sensitif pada tubuh penderita dan kuman yang kebal akan berkembang dengan

1
pesat. Faktor lain yang berperan terhadap adanya kuman kebal di institusi

pelayanan kesehatan adalah adanya penyebaran/perpindahan di bagian tubuh lain

pasien, ke tangan petugas, ke lingkungan sekitar pasien, pasien lain, keluarga

pasien/pengunjung, maupun masyarakat. Oleh sebab itu pencegahan

penyebaran/perpindahan/transmisi bakteri kebal dari satu pasien ke lingkungan,

harus dilaksanakan dengan menerapkan standar precaution, khususnya hand

hygiene/kebersihan tangan dengan benar (Gould, 1999; Gould dan Meer, 2006;

Hadi dkk., 2010; Hadi dkk., 2008; Lestari dkk., 2008).

Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada pola kuman dan pola resistensi,

karena mikroorganisme dan sensitivitasnya terhadap antibiotik senantiasa

berubah. Society for Healthcare Epidemiology of America (SHEA) menyatakan

bahwa terdapat beberapa bukti yang menunjukkan adanya hubungan pemakaian

antibiotik di rumah sakit dengan resistensi antibiotik (Shlaes dkk., 1997). Pada

sejumlah patogen, terjadinya resistensi selama menerima antibiotik terapi atau

profilaksis diperkirakan merupakan faktor yang lebih berperan pada terjadinya

infeksi tambahan oleh organisme yang resisten, dibanding perpindahan organisme

dari satu pasien ke pasien yang lain. SHEA juga menyebutkan bahwa dari review

beberapa penelitian yang dipublikasikan, ditemukan fakta bahwa :

1. Perubahan pada pemakaian antibiotik sebanding dengan perubahan pada

prevalensi resistensi;

2. Resistensi antibiotik lebih sering ditemukan pada strain bakteri nosokomial

dibanding bakteri yang berasal dari komunitas;

2
3. Selama terjangkit infeksi nosokomial, pasien yang terinfeksi dengan strain

yang resisten tampaknya adalah yang lebih sering menerima antibiotik

profilaksis;

4. Ruang di rumah sakit yang memiliki tingkat resistensi antibiotik tertinggi

adalah ruang dengan tingkat penggunaan antibiotik yang paling tinggi;

5. Peningkatan durasi pasien terpapar antibiotik meningkatkan kemungkinan

kolonisasi oleh organisme yang resisten.

Data mengenai rasionalitas penggunaan antibiotik di Indonesia masih

terbatas. Hasil penelitian “Antimicrobial Resistance in Indonesia, Prevalence and

Prevention (AMRIN Study)” membuktikan adanya masalah resistensi antimikroba,

yakni penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana, serta pengendalian infeksi yang

belum dilaksanakan secara benar. Penelitian tim AMRIN di dua rumah sakit

pendidikan di Indonesia mendapatkan hanya 21% peresepan antibiotik yang

tergolong rasional (Hadi dkk., 2008), dan menghasilkan juga rekomendasi berupa

metode yang telah divalidasi (validated method) untuk mengendalikan resistensi

bakteri secara efisien dan baku. Melalui Kementerian Kesehatan RI, hasil

penelitian tersebut disebarluaskan di seluruh rumah sakit di Indonesia, dengan

harapan agar hasil rekomendasi tersebut dapat segera dilakukan (The AMRIN

study, 2005; Kementerian Kesehatan, 2011). Pelaksanaan rekomendasi ini

disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing rumah sakit yang

bersangkutan, sehingga secara bersama-sama dapat mengumpulkan data dan dapat

dibandingkan dalam hal : resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik, dan

3
pengendalian infeksi; dalam rangka gerakan pengendalian antimikroba secara

nasional, agar dapat berjalan dengan baik.

Di banyak negara telah diupayakan berbagai cara untuk menanggulangi

terjadinya peningkatan resistensi antimikroba, baik perorangan, institusi/lembaga

pemerintahan maupun kerja sama antar institusi dari satu negara atau dengan

negara lain. WHO telah berhasil merumuskan poin rekomendasi guna

mengendalikan peningkatan resistensi antimikroba tersebut. Seperti halnya di

Indonesia, rekomendasi ini nampaknya masih dilaksanakan secara parsial baik

dalam program maupun institusional. Perlu pemahaman dan kepercayaan tentang

adanya masalah global resistensi antimikroba, yang kemudian dilanjutkan dengan

gerakan nasional melalui program terpadu, serentak, dan berkesinambungan

antara masyarakat, rumah sakit, profesi kesehatan, perusahaan farmasi,

pemerintah daerah yang dikoordinasi oleh Kementerian Kesehatan, untuk dapat

melakukan secara bersama-sama melaksanakan penanggulangan resistensi

antimikroba paripurna, yang disebut dengan Program Pengendalian Resistensi

Antimikroba (PPRA). Untuk mengetahui tingkat keberhasilan PPRA di rumah

sakit, diperlukan beberapa indikator penilaian kinerja sebagai berikut :

1. Kuantitas penggunaan antimikroba baik jenis dan jumlah

Berkurangnya jenis antimikroba yang digunakan sebagai terapi

baik empiris maupun definitif, serta menurunnya Defined Daily

Dose/100 patient_days (DDD/100 patient_days) dari penggunaan

antimikroba.

2. Kualitas penggunaan antibiotik

4
Meningkatnya penggunaan antibiotik secara bijak (skor 0 menurut

Kriteria “Gyssens”), dan menurunnya penggunaan antibiotik tanpa

indikasi.

3. Adanya perbaikan pola sensitivitas antibiotik dan penurunan

bakteri kebal yang tergambar dalam pola kepekaan antibiotik dan

pola resistensi secara periodik tiap 6 bulan sekali.

4. Adanya penurunan angka infeksi rumah sakit yang disebabkan

kuman Multi-Drug Resistant Organisms (MDRO).

5. Peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin,

melalui forum kajian kasus infeksi dan terbentuknya “Infectious

Disease Service Integrated Team”.

Evaluasi penggunaan obat pada dasarnya merupakan salah satu tugas

seorang farmasis dalam memberikan nilai tambah terhadap sistem pelayanan

kesehatan (The Academy of Managed Care Pharmacy/AMCP, 2004). Salah satu

manfaat adanya evaluasi tersebut adalah dapat dicegahnya terapi obat yang tidak

perlu atau tidak tepat, sehingga secara langsung dapat meningkatkan kualitas

pelayanan pada pasien, yang pada akhirnya diharapkan dapat memperbaiki

outcome terapi dan meminimalkan efek samping obat maupun biaya perawatan.

Evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui

kebijakan penggunaan antibiotik. Gyssens dkk., mengembangkan evaluasi

penggunaan antibiotik, untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotik seperti;

ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan antibiotik berdasarkan efektivitas,

toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute, dan waktu

5
pemberian (Gyssens, dkk., 2001). Metode “Gyssens” merupakan suatu alat untuk

mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik yang sudah dipakai secara luas di

berbagai negara (The AMRIN Study, 2005; Gyssens 1996; Gyssens 1997).

Sebagai upaya untuk mengendalikan resistensi di rumah sakit, pada kurun

waktu tahun 2009 - 2011, di RSUD Dr. Moewardi (RSDM) telah dilakukan

berbagai kampanye penggunaan antibiotik secara bijak yang diikuti oleh semua

Kelompok Staf Medik (KSM) Rumah Sakit, dengan pembentukan Tim Program

Pencegahan Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA). Kampanye tersebut

diantaranya meliputi kegiatan sosialisasi penggunaan antibiotik secara bijak,

pelatihan dokter, farmasis, maupun perawat, penyusunan pedoman penggunaan

antibiotik di rumah sakit, maupun penetapan Pilot Project PPRA yakni di Ruang

Rawat Inap Intensive Care Unit (ICU). Namun setelah berbagai kampanye

tersebut dilakukan, belum pernah dilaksanakan evaluasi untuk melihat respon dari

semua tim medis, terutama untuk penggunaan antibiotik secara bijak. Berdasarkan

beberapa alasan tersebut di atas, maka peneliti memandang perlu untuk

melakukan evaluasi terhadap penggunaan antibiotik di RSUD Dr. Moewardi,

yakni audit kualitas penggunaan antibiotik, berupa penggunaan antibiotik secara

bijak menurut Kriteria “Gyssens” di ruang rawat ICU, sebagai Pilot Project

PPRA.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini diharapkan dapat mengobservasi dan mengevaluasi penggunaan

antibiotik dengan Metode “Gyssens” pada pasien di Ruang Rawat Intensive Care

6
Unit (ICU) RSDM. Adapun permasalahan yang akan diobservasi dan dianalisis

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah gambaran penggunaan antibiotik di ruang rawat ICU

RSDM?

2. Bagaimanakah kualitas penggunaan antibiotik dengan metode “Gyssens”

di Ruang Rawat Inap ICU RSDM (kategori 0, I sampai dengan VI)?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui kualitas ketepatan pemakaian antibiotik di ICU RSUD Dr.

Moewardi, berdasarkan diagram alir Metode “Gyssens”.

2. Mengetahui kualitas ketidaktepatan pemakaian antibiotik di ICU RSUD

Dr. Moewardi, berdasarkan diagram alir Metode “Gyssens”.

3. Mengetahui pola penggunaan antibiotik, berdasarkan jenis terapi antibiotik

di ICU RSUD Dr. Moewardi.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Menambah referensi atau bahan evaluasi dan data-data ilmiah mengenai

penggunaan antibiotik di RSUD Dr. Moewardi.

2. Mendukung proses terapi terutama pada penggunaan antibiotik secara bijak,

dengan dukungan klinisi, Tim Farmasi Klinik, Tim Mikrobiologi Klinik,

7
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), maupun Panitia Farmasi

dan Terapi (PFT) dalam penanganan kasus infeksi di RSUD Dr. Moewardi

Surakarta.

3. Sebagai bahan peningkatan mutu bagi apoteker, dalam perannya pada

penggunaan antibiotik pada ruang intensive di rumah sakit.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti lain yang terkait

dengan evaluasi penggunaan antibiotik di ruang rawat inap rumah sakit

dirangkum pada tabel 1:

8
Tabel 1. Penelitian Evaluasi Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit

Nama Judul Metode dan Kesimpulan


penulis, Subyek
tahun Penelitian
Van der Quality of Non Adanya peresepan antibiotik yang tidak tepat di
Meer and antimicrobial drug eksperimental, Ruang Rawat Penyakit Dalam maupun Bedah.
Gyssens, prescription in rancangan
2001 hospital deskriptif
evaluatif secara
retrospektif
AMRIN Antimicrobial Retrospektif dan Dilakukan di dua rumah sakit di Indonesia, yakni
study resistance, antibiotic prospektif RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dan RSUP Dr.
group, usage and infection Kariadi Semarang, membuktikan adanya masalah
2005 control. A self resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik
assessment program yang tidak bijak, serta pengendalian infeksi yang
for Indonesian belum dilaksanakan secara benar.
Hospitals
Dertarani, Kajian Rasionalitas Penelitian Rasionalitas penggunaan antibiotik sebesar 35,5
2009 Penggunaan Antibiotik deskriptif % dengan persentase kategori V tanpa indikasi
di Bagian Ilmu Bedah dengan sebesar 52,3%
RSUP Dr Kariadi pendekatan
Periode Agustus- retrospektif
Desember 2008
Ningrum, Evaluasi Penggunaan Penelitian Berdasarkan tipe terapi dari 43 catatan medis
2009 Antibiotik Berdasar deskriptif 37,40% ADE; 16,03% ADET; 9,92% ADD;
Kriteria Gyssens dengan 0,76% ADP; 35,87% ADU dan 51,90% termasuk
Pasien Rawat Inap pendekatan kategori I (rasional).
Kelas III di Bagian retrospektif.
Ilmu Penyakit Dalam Pengambilan
RSUP Dr. Kariadi sampel dengan
Periode Agustus- consecutive
Desember 2008 random
sampling
Yuniftiadi, Kajian Rasionalitas Penelitian ini Ditemukan ketidaksesuaian antara dosis maksimal
2010 Penggunaan Antibiotik merupakan dengan dosis minimal sebesar 89,47%.
di Intensive Care Unit penelitian Seftriakson merupakan obat yang paling banyak
RSUP Dr. Kariadi observasional digunakan yaitu sebesar 62,2 DDD/100 pasien.
Semarang Periode Juli deskriptif Berdasarkan tipe terapi dari 40 catatan medik
– Desember 2009 dengan terdiri atas 57,9% ADE; 38,2% ADET; dan 3,9%
pendekatan studi ADP. Berdasar kategori Gyssens sebesar 19,7%
cross sectional. termasuk kategori I (rasional); 1,3% kategori II a
Data (tidak rasional karena dosis tidak tepat); 2,6%
yang diambil kategori Gyssens II b (tidak rasional karena
adalah data interval pemberian antibiotik yang tidak tepat);
retrospektif. 30,3% kategori Gyssens III a (tidak rasional
karena pemberian antibiotik yang terlalu lama);
5,3% kategori Gyssens III b (tidak rasional karena

9
pemberian antibiotik yang terlalu singkat);
36,8% kategori Gyssens IV a (tidak rasional
karena ada antibiotik lain yang lebih efektif) dan
3,9% kategori Gyssens IV d (tidak rasional karena
ada antibiotik lain yang spektrumnya lebih
sempit).
Pamela, Evaluasi Kualitatif Penelitian Penggunaan antibiotik di ruang infeksi anak kelas
2011 Penggunaan Antibiotik dilakukan secara 3 sebesar 78,82% dari 170 pasien. Evaluasi
Dengan Metode prospektif kualitatif dengan Metode Gyssens mendapatkan
Gyssens di Ruang selama periode bahwa penggunaan antibiotik yang rasional
Kelas 3 Infeksi Januari – April sebesar 60,4%, sedangkan yang tidak rasional
Departemen Ilmu 2011 dengan sebesar 39,6%.
Kesehatan Anak pendekatan
RSCM Secara deskriptif-
Prospektif korelatif
Fauziyah, Hubungan Antara Rancangan Dengan hasil seftriakson merupakan antibiotika
2011 Penggunaan studi potong yang paling besar memberikan hubungan terhadap
Antibiotika pada lintang (Cross resistensi bakteri, dalam penelitian ini disarankan
Terapi Sectional), agar dilakukan perputaran penggunaan antibiotika
Empiris dengan pengambilan (antibiotic cycling) berdasarkan pada pola
Kepekaan Bakteri di data secara penggunaan antibiotika dan pola kepekaan
Ruang Perawatan ICU retrospektif bakteri.
(Intensive Care Unit) terhadap rekam
RSUP Fatmawati medik
Jakarta

Penelitian mengenai “Evaluasi Kualitatif Penggunaan Antibiotik dengan

Metode “Gyssens” di Ruang Rawat Intensive Care Unit (ICU) RSUD Dr.

Moewardi Surakarta, serupa dengan penelitian-penelitian sebelumya, namun

terdapat beberapa perbedaan, yakni tempat, waktu, maupun metode penelitian.

10

Anda mungkin juga menyukai