Anda di halaman 1dari 10

UJIAN AKHIR SEMESTER

Disusun untuk Memenuhi Ujian Mata Kuliah Komunikasi dan Konseling


Dosen Pengampu : Dr. Leny Latifah, S.Psi,Psi,MPH

DISUSUN OLEH :

DIAH ULFA HIDAYATI


P1337424718029

PROGRAM STUDI MAGISTER TERAPAN KEBIDANAN


PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TERAPAN KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2019
1. Kasus 1 : seorang wanita berusia 25 tahun dengan bayi berusia 4 bulan datang ke tempat
praktek bidan untuk imunisasi anaknya. Pada waktu konsultasi, klien menceritakan bahwa
sesudah berhasil menghentikan kebiasaan merokoknya selama hamil, akhir-akhir ini dia
kembali merokok sesudah kembali bekerja sesudah cuti. Klien menyatakan bahwa ia merokok
karena merasa tertekan akibat beban pekerjaannya serta peran baru sebagai seorang ibu. Klien
bertanya, apakah perilaku merokoknya dapat berdampak pada bayinya? Klien berupaya
“bersih dari rokok” ketika berinteraksi dengan bayinya, dengan merokok jauh dari rumah,
mandi dan mengganti baju sebelum memegang bayinya.
a. Analisis critical thinking untuk menjawab pertanyaan klien
- Ibu kembali merokok karena merasa tertekan dengan beban pekerjaan dan peran
sebagai seorang ibu. Mungkin ibu merasa bahwa merokok dapat membuatnya lebih
rileks dan ibu belum mengetahui cara lain untuk mengurangi tekanan yang dirasakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Choi et al. (2015) menunjukkan bahwa merokok dapat
mengurangi gairah seseorang dan meringankan stress.1 Selain itu, penelitian Lawless
et al. (2015) tentang pendidikan pasien untuk menghentikan penggunaan nikotin
menunjukkan bahwa sebagian pasien mengalami gejala stress seperti cemas, mudah
marah, dan frustasi setelah berhenti menggunakan nikotin.2
- Ibu sebelumnya pernah merokok, tetapi berhenti selama hamil hingga bayi berusia 4
bulan. Hal ini menunjukkan ibu mengerti bahwa merokok tidak boleh untuk ibu hamil
karena dapat membahayakan bayi dalam kandungan.
- Ibu sudah berupaya untuk “bersih dari rokok” ketika berinteraksi dengan bayi. Ibu
merasa khawatir perilaku merokoknya akan berdampak pada bayinya. Hal ini
menunjukkan bahwa ibu belum mengetahui dampak rokok bagi bayi.
- Ibu memerlukan konseling tentang dampak rokok bagi bayi serta cara-cara untuk
mengurangi stress pada ibu nifas. Pengaruh rokok dapat dirasakan bayi melalui ASI.
ASI dapat mengeluarkan bahan kimia yang terkandung dalam rokok.3 Penelitian yang
dilakukan Mennella et al. (2015) menunjukkan bahwa bayi yang disusui oleh ibu yang
merokok mengalami gangguan tidur. Waktu tidur bayi menjadi lebih sedikit.4
b. Mind map masalah klien

Beban
Dampak
pekerjaan Ibu merasa Ibu kembali
rokok bagi
dan peran tertekan merokok
bayi
sebagai ibu

c. Analisis critical thinking untuk konseling


- Ibu merasa tertekan. Konselor harus meyakinkan apakah menurut ibu merokok
memang dapat mengurangi tekanan yang ibu rasakan?
- Mungkin ibu beranggapan bahwa rokok dapat mengurangi tekanan yang ibu rasakan
tersebut. Namun bagaimana dengan kesehatan organ-organ ibu lainnya, seperti paru-
paru? Apakah ibu tahu dampak rokok bagi bayi?
- Ibu telah berusaha bersih dari rokok sebelum menyentuh bayinya. Namun, bayi ibu
tetap dapat merasakan dampak rokok melalui ASI. Tentunya ibu tidak ingin bayinya
menerima dampak rokok yang lebih berat
- Selain itu, bagaimana tanggapan orang-orang disekitar ibu mengenai masalah ini?
- Menurut ibu, apakah ada cara lain selain merokok untuk membantu ibu keluar dari
tekanan yang ibu rasakan? Atau mungkin ada saran dari orang-orang sekitar yang
dapat dijadikan alternative untuk pemecahan masalah ibu?
- Ibu harus memikirkan kesehatan dirinya yang masih berstatus ibu menyusui dan juga
kesehatan bayinya yang masih berusia 4 bulan.
- Saat hamil hingga saat ini bayi ibu berusia 4 bulan, ibu telah berhasil untuk tidak
merokok. Jadi saat ini jika ibu ingin berhenti merokok juga, ibu pasti dapat
melakukannya, karena sebelumnya sudah ada pengalaman.

2. Penerapan 5 langkah penting shared clinical decision


a. Dorong pasien berpartisipasi
Pasien harus ikut berpartisipasi dalam rangka menyelesaikan masalahnya sendiri.
Konselor berperan sebagai fasilitator yang memberikan saran alternatif pemecahan
masalah terbaik. Dalam kasus ini, ibu harus ikut memikirkan apakah merokok memang
dapat meringankan beban yang dirasakan atau tidak. Selain itu, ibu harus memikirkan
dampak rokok tersebut bagi dirinya dan bayinya.
b. Bantu pasien menjelajahi dan membandingkan pilihan tindakan
Pasien harus mencoba menjelajahi alternatif pemecahan masalah yang ada dan
membandingkan alternatif-alternatif tersebut sehingga nantinya ditemukan beberapa
alternatif terbaik. Konselor harus memberikan pandangan kepada klien berkaitan dengan
masalah yang dialami berdasarkan teori-teori keilmuan dan evidence based yang ada.
Sehingga klien memiliki dasar untuk menetapkan pemecahan masalahnya. Dalam kasus
tersebut, bidan harus memberikan gambaran kepada klien tentang pengaruh merokok bagi
kesehatan ibu sendiri dan bayinya. Merokok memang dapat meredakan stress sehingga
ibu merasa bebannya berkurang. Namun, efek samping yang lebih berat dapat dirasakan
ibu dan bayi di kemudian hari. Ibu harus mempertimbangkan apakah akan tetap merokok
untuk mengurangi tekanan yang dialami sementara akan berimbas pada kesehatannya dan
bayinya, atau ibu mencari solusi lain seperti yoga atau rileksasi untuk meredakan stress
dan harus kembali untuk mencoba berhenti merokok.
c. Nilai value dan preferensi pasien
Setiap individu memiliki karakteristik dan cara pandang yang berbeda dalam menanggapi
suatu masalah. Hal ini dipengaruhi oleh faktor bio-psiko-sosio-kultural serta pengetahuan
masing-masing individu. Mereka memiliki hak dan pilihan yang berbeda-beda. Sehingga
kita tidak dapat memaksakan kehendak kepada orang lain. Begitu pun dalam proses
pengambilan keputusan. Seorang konselor harus memperhatikan nilai-nilai yang melekat
pada diri klien dan memberikan hak penuh pada klien untuk menentukan solusi dari
permasalahan yang dihadapi. Seperti hal nya kasus tersebut, bidan sebagai konselor hanya
bertugas memaparkan pengetahuan yang dimilikinya berkaitan dengan pengaruh rokok
bagi ibu menyusui dan bayi. Bidan harus menghormati klien dengan memperhatikan
nilai/value yang melekat pada diri klien. Ibu menganggap merokok dapat mengurangi
tekanan yang dirasakan. Bidan tidak boleh serta-merta menyalahkan ibu atas tindakan
yang dilakukan. Karena mungkin ibu tidak tahu bahwa rokok dapat membahayakn
bayinya. Bidan juga dapat memberikan apresiasi pada ibu karena telah mencoba “bersih
dari rokok” sebelum menyentuh bayi. Hal ini menunjukkan bahwa ibu telah berupaya
untuk mencegah paparan asap rokok pada bayinya. Dalam memberikan alternatif
pemecahan masalah harus memperhatikan nilai yang dianut klien. Misalnya bidan
menyarankan yoga untuk meredakan stress dan tekanan yang dirasakan. Bidan harus
memahami apakah ibu open-minded terhadap yoga. Karena beberapa orang menganggap
bahwa yoga merupakan sejenis meditasi yang biasa dilakukan oleh umat Hindu, sehingga
tidak dilakukan untuk masyarakat umum. Dengan memperhatikan nilai-nilai pada klien,
klien akan lebih nyaman selama proses konseling dan biasanya akan lebih mudah
menerima saran dari konsoler.
d. Capai keputusan bersama pasien
Pada akhir proses konseling, diharapkan klien dapat mengambil keputusan sebagai solusi
pemecahan masalah yang dihadapi, berdasarkan alternatif pemecahan masalah yang telah
dirancang dan saran dari konselor atau pihak lain yang bersangkutan, misalnya keluarga
atau sahabat. Klien harus menimbang mana keputusan terbaik diantara semua pilihan
yang ada. Keputusan yang diambil nantinya merupakan keputusan bersama, karena
keputusan tersebut diambil juga berdasarkan saran dari konselor. Dalam kasus 1, bidan
harus mengarahkan ibu untuk mengambil keputusan terbaik. Ibu harus memutuskan
langkah apa yang harus diambil agar mengurangi tekanan yang dirasakan serta tidak
membahayakan bayinya. Misalnya terdapat beberapa alternatif pilihan seperti yoga, terapi
musik, berkumpul dengan grup ibu nifas, atau melakukan hobi yang diinginkan.
Kemudian ibu memilih untuk melakukan yoga agar terhindar dari stress. Bidan sebagai
konselor sekaligus fasilitator harus memfasilitasi keputusan ibu, misalnya dengan
memberitahu ibu trainer yoga yang dapat datang ke rumah sehingga ibu tidak perlu repot-
repot untuk pergi. Dengan begitu, keputusan atau pilihan yang diambil klien dapat
dijalankan dengan mudah.
e. Evaluasi keputusan pasien
Setelah mencapai keputusan bersama, klien akan menjalani keputusan yang telah dipilih.
Tentunya hal tersebut tidaklah mudah, karena mungkin diluar kebiasaan klien. Sehingga
diperlukan adanya suatu evaluasi untuk mengetahui keefektifan langkah yang telah
diambil. Konselor dapat meminta klien untuk datang control kembali atau mengkontak
klien melalui telepon. Dalam kasus tersebut, bidan dapat menganjurkan ibu untuk datang
kembali pada saat imunisasi bayi selanjutnya. Sehingga bidan dapat mengevaluasi
pengaruh yoga untuk mengurangi tekanan yang dirasakann ibu serta apa saja kesulitan
atau hambatan yang dialami.
3. Kasus 2 : seorang bidan tinggal di daerah pedesaan dengan prevalensi stunting tinggi, dengan
keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi. Hasil tes HB dan antropometri pada ibu di
kelas ibu yang dipimpin bidan ternyata menunjukkan 6 dari 8 ibu mengalami anemia, 5 dari
8 ibu mengalami KEK.
Keuntungan komunikasi kelompok pada kasus diatas :
a. Menanamkan harapan
Adanya komunikasi kelompok memberikan harapan kepada anggota kelompok tersebut
untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi secara bersama-sama. Pada kelas
ibu yang dipimpin bidan, bidan akan memberikan informasi dan melakukan pemeriksaan
sehingga ibu hamil berharap kehamilannya akan selalu dan bayi yang dilahirkan akan
terhindar dari stunting. Harapan ini akan menimbulkan keinginan dan usaha masyarakat
untuk mengatasi masalah yang ada di daerahnya.
b. Universalitas
Universalitas berarti mencakup secara keseluruhan. Komunikasi kelompok dapat
mencakup keseluruhan kelompok tersebut. Apabila suatu masalah kelompok dapat
terselesaikan, berarti masalah masing-masing individu dalam kelompok tersebut juga
dapat terselesaikan, karena masalah kelompok merupakan masalah bersama. Dalam kelas
ibu yang dilakukan, bidan melakukan pemeriksaan HB dan status gizi ibu hamil. Hal ini
dilakukan bidan untuk mencegah prevalensi stunting tinggi yang merupakan masalah
utama di desa tersebut.
c. Memberi informasi
Pada kelas ibu, bidan memberikan informasi kepada ibu hamil terkait kesehatannya.
Dalam komunikasi di kelas ibu ini, ibu hamil lain juga dapat saling sharing informasi dan
pengalaman yang dimiliki, sehingga dapat menambah pengetahuan ibu hamil lainnya.
d. Altruisme
Altruisme merupakan perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan
diri sendiri. Hal ini menunjukkan sikap saling peduli antar anggota kelompok. Setiap
anggota kelompok peduli dengan masalah kelompok tersebut, sehingga mereka akan
mengesampingkan ego masing-masing dan mendahulukan kepentingan kelompok
daripada kepentingan sendiri. Dengan begitu, permasalahan dalam kelompok akan cepat
terselesaikan. Dalam kelas ibu tersebut, bidan sebagai pemimpin kelas ibu
mengesampingkan kepentingan pribadinya demi melakukan pemeriksaan pada ibu hamil
untuk mencegah kejadian stunting.
e. Pemodelan
Setiap kelompok memiliki ciri khas nya masing-masing. Dalam proses komunikasi
kelompok, setiap kelompok memiliki model tersendiri yang harus diikuti. Dengan model
tersebut, komunikator dapat dengan mudah menyampaikan maksud atau tujuan
komunikasi kepada komunikan. Pada kelas ibu, bidan telah mengetahui bahwa desa
tersebut prevalensi stuntingnya sangat tinggi, sehingga bidan melakukan pemeriksaan HB
dan status gizi untuk deteksi dini stunting.
f. Rekapitulasi korektif
Dalam komunikasi kelompok, apabila terjadi kesalahan, proses perbaikan dapat lebih
mudah dilakukan karena koreksi dilakukan oleh anggota kelompok lainnya. Mereka akan
memberikan saran untuk proses perbaikan sehingga masalah dapat terselesaikan. Pada
kelas ibu, bidan dan ibu hamil mencoba untuk mencegah kejadian stunting. Bidan
memberikan informasi sesuai ilmu yang dimiliki. Ibu hamil dan masyarakat lainnya
berpartisipasi untuk memperbaiki masalah yang ada dan menentukan tindakan apa yang
harus dilakukan untuk mencegah stunting.
g. Kohesivitas kelompok
Kohesivitas kelompok merupakan kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk
tetap tinggal dalam kelompok tersebut. Pada kasus 2 di atas, kelompok ibu hamil yang
mengikuti kelas ibu memiliki masalah yang sama. Mereka sama-sama mengalami anemia
dan KEK serta berupaya untuk mencegah stunting pada bayi mereka. Sehingga terdapat
kekuatan bersama untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
h. Pembelajaran interpersonal
Komunikasi kelompok pada kelas ibu hamil memungkinkan adanya pembelajaran
interpersonal. Bidan sebagai pemimpin kelas ibu mencoba memahami masing-masing
anggota kelas ibu. Begitu pun dengan ibu-ibu lainnya yang saling berinteraksi satu sama
lain dalam kelas ibu tersebut.
i. Faktor eksistensial
Setiap kelompok memiliki eksistensi tersendiri. Komunikasi kelompok yang dilakukan
dapat bertujuan untuk menunjukkan keeksistensian kelompoknya. Pada kelas ibu hamil,
ibu hamil memiliki permasalahan yang sama yaitu anemia dan KEK. Mereka ingin
menyelesaikan permasalahan tersebut untuk mencegah kejadian stunting sehingga
eksistensi kelompok mereka dapat diakui.
j. Catharsis
Dalam suatu kelompok, sebagian besar anggotanya memiliki karakteristik yang hampir
sama, sehingga anggota kelompok tersebut dapat dengan leluasa menuangkan segala
perasaan dan isi hatinya, karena mereka beranggapan bahwa anggota kelompok lainnya
akan memahami hal tersebut. Dalam kelas ibu, semua anggotanya adalah ibu hamil, jadi
mereka dapat menyampaikan segala hal yang dirasakan tanpa sungkan, karena
kemungkinan mereka mengalami masalah yang sama sangat besar.
k. Pengembangan teknik sosialisasi
Dalam kelas ibu, bidan dan ibu hamil dapat saling bersosialisasi sehingga dapat membina
hubungan baik dan mengembangkan kemampuan sosialisasinya. Kemudian kemampuan
tersebut dapat diterapkan pada komunitas lainnya.

4. Potensi kesulitan yang mungkin dihadapi dalam konseling kelompok pada kasus diatas :
a. Penerimaan yang berlebihan
Sebagai bidan desa yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, tentunya penerimaan
masyarakat sangat tinggi, baik terhadap bidan sendiri dan apapun yang disampaikan bidan.
Hal ini membuat masyarakat bergantung pada bidan. Mereka tidak memiliki kemampuan
untuk menentukan keputusan pemecahan masalahnya sendiri.
b. Lebih banyak menasihati daripada membina hubungan
Bidan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih banyak daripada masyarakat
memiliki kecenderungan untuk lebih banyak menasihati sehingga hubungan baik tidak
dapat tercipta dengan optimal. Karena masyarakat akan lebih segan kepada bidan yang
notabene nya sebagai penasihat mereka
c. Konselor melakukan kesalahan
Masyarakat biasanya memiliki kepercayaan yang tinggi kepada bidan desa, karena bidan
memberikan pelayanan kesehatan yang terdekat dengan masyarakat. Namun, apabila
bidan melakukan kesalahan, misalnya salah dalam menangani pasien sehingga penyakit
pasien semakin parah atau bidan tidak menghormati nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
tersebut, kepercayaan masyarakat dapat berkurang atau bahkan hilang sehingga
menyulitkan proses konseling.
d. Klien menolak bantuan konselor
Hal ini dapat terjadi karena adanya ketidakpercayaan kepada bidan sebagai konselor.
Klien menganggap bidan tidak mampu membantu menyelesaikan masalahnya. Klien
menolak bantuan konselor juga dapat terjadi bila klien merasa mampu dan percaya diri
untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan merasa tidak membutuhkan bantuan orang
lain.
e. Konselor dan Klien sudah saling kenal
Bidan dan masyarakat di desa tersebut biasanya sudah saling mengenal dengan baik. Jika
bidan sebagai konselor sudah kenal dengan baik kliennya, klien akan lebih terbuka dalam
menceritakan masalahnya. Tidak jarang klien akan bercerita diluar topik pembahasan
sehingga tujuan utama konseling tidak tercapai.
Referensi :

1. Choi D, Ota S, Watanuki S. Does cigarette smoking relieve stress? Evidence from the event-
related potential (ERP). Int J Psychophysiol. 2015;98(3):470-476.
doi:10.1016/j.ijpsycho.2015.10.005
2. Lawless MH, Harrison KA, Grandits GA, Eberly LE, Allen SS. Perceived stress and
smoking-related behaviors and symptomatology in male and female smokers. Addict Behav.
2015;51:80-83. doi:10.1016/j.addbeh.2015.07.011
3. Parrott AC. Does Cigarette Smoking Cause Stress? Smoking and Stress in Adult Regular
Smokers. 1998.
4. Lauria L, Lamberti A, Grandolfo M. Smoking behaviour before, during, and after
pregnancy: The effect of breastfeeding. Sci World J. 2012;2012. doi:10.1100/2012/154910

Anda mungkin juga menyukai