Anda di halaman 1dari 104

i

ROBERT KERESMIS SEMBIRING MELIALA

Sebuah Autobiografi

Penulis: Robert Keresmis Sembiring Meliala


Penyunting: Yudha Patria Yustianto

Satya Wacana University Press


2019

ii
ROBERT KERESMIS SEMBIRING MELIALA

Sebuah Autobiografi

Penulis: Robert Keresmis Sembiring Meliala

Penyunting: Yudha Patria Yustianto

Cetakan Pertama: 2019

ISBN: 978-602-5881-27-5

All rights reserved. Save Exception stated by the law, no part of this publication may be
reproduced, stored in a retrieval system of any nature, or transmitted in any form or by
any means electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, included a
complete or partial transcription, without the prior written permission of the author,
application for which should be addressed to author.

Diterbitkan Oleh:
Satya Wacana University Press
Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711
Telp (0298) 321212 Ext. 1229, Fax. (0298) 311995

iii
Pada mulanya saya hanya ingin mengumpulkan data
tentang apa saja yang telah saya kerjakan.
Setelah pensiun banyak waktu untuk merenung,
melihat ke belakang.
Apa yang telah saya kerjakan dalam hidup ini.
Rekaman ini merupakan sebahagian dari kegiatan tersebut.
Semoga bermanfaat bagi generasi selanjutnya.

RKS

iv
KATA PENGANTAR

Sebelumnya, penyunting hendak mengucap segala puji dan


syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya buku autobiografi
Robert Keresmis Sembiring ini. Sejak pertama kali mengenal Bapak RK
Sembiring hingga selesainya penyuntingan buku ini, saya mengenal
beliau sebagai sosok yang sangat cerdas. Ingatannya begitu tajam bagi
seorang yang telah berusia 80 tahun lebih. Beliau juga senang bicara
apa adanya, santai, dan menyenangkan.
Dari pengalaman-pengalaman yang Bapak RK Sembiring
ceritakan, banyak pelajaran hidup yang bisa diambil untuk diterapkan
dalam kehidupan ini. Salah satu pelajaran terpenting bagi saya adalah
sikap beliau ketika menemui kesulitan. Banyak kesulitan itu pasti,
kebosanan pun bisa datang menghampiri, tetapi langkah tidak boleh
berhenti. ―Semakin sulit, semakin menantang buat saya,‖ ujar beliau
sambil tersenyum. Tak salah memang jika beliau menjadi salah satu
tokoh matematika yang penting bagi Indonesia.
Penyunting berharap pengalaman-pengalaman Bapak RK
Sembiring yang tertuang dalam buku ini dapat menginspirasi dan
memotivasi orang lain, terutama untuk menjalani kehidupan dengan
sikap optimis. Akhir kata, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
Bapak E. Kosasih—dosen FPBS UPI Bandung— dan Ibu Rudangta
Arianti Sembiring yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk
bekerja sama dengan pemrakarsa Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia, Bapak RK Sembiring Meliala.

Bandung, 25 Desember 2018


Penyunting,

Yudha Patria Yustianto

v
DAFTAR ISI

Bagian Pertama – Kampung Halaman ............................................. 1

Hari Lahir di Tanah Karo ............................................................. 1

Kampung Seberaya ..................................................................... 3

Masa SD di Zaman Jepang .......................................................... 6


Masa SMP di Kabanjahe............................................................. 11

Masa SMA di Medan ................................................................. 13

Libur Panjang ............................................................................ 15

Berangkat ke Bandung ............................................................... 17

Bagian Kedua – Institut Teknologi Bandung ................................... 20


Kuliah di ITB ............................................................................ 20

Kehidupan di Bandung .............................................................. 21

Bekerja di Taspen ..................................................................... 25

Susiana Joenarti ........................................................................ 26

Keluar dari ITB ......................................................................... 32

Beasiswa The Ford Foundation ................................................. 33

vi
Bagian Ketiga – Menuntut Ilmu Sampai ke Amerika ........................ 36

Berangkat ke Bloomington........................................................ 36

Kehidupan di Berkeley ............................................................... 41

Pindah ke Boston ..................................................................... 43

Bagian Keempat – Kesederhanaan Adalah Keindahan ..................... 48

Pulang...................................................................................... 48

Membangun Rumah ................................................................. 49

Bekerja di BP3K ......................................................................... 51

Yayasan Pembina Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam


(PMIPA) ................................................................................... 56

Surat Protes untuk Menteri ....................................................... 56

Bagian Kelima – Matematika dan PMRI ......................................... 59

Tim Basic Sciences (BS) LPTK ....................................................... 59

Pendidikan Aktuaria ITB ............................................................. 62


P4M ITB .................................................................................... 64

KerMa (Kerjasama Matematika) Indonesia-Belanda ..................... 64

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) ..................... 71

Forum Rektor ............................................................................. 77

Kegiatan Lainnya ........................................................................80

Kegiatan Saya Saat Ini ................................................................. 82

vii
Bagian Terakhir ........................................................................... 85

Ibu Meninggal .......................................................................... 85

Renungan................................................................................. 86

Profil .......................................................................................... 89

Kuliah dan Pendidikan secara Umum......................................... 89

Makalah ................................................................................... 90

Penulisan Buku Ajar .................................................................. 92

Terjemahan .............................................................................. 92

Editor....................................................................................... 93
Tulisan Populer dan Ceramah ................................................... 93

viii
BAGIAN PERTAMA
KAMPUNG HALAMAN

Hari Lahir di Tanah Karo


Menurut Ibu, saya dilahirkan di kampung Seberaya, Kabupaten
Karo. Jaraknya sekitar tujuh puluh kilometer dari kota Medan, atau
delapan kilometer dari ibukota kabupaten, Kabanjahe. Saya lahir di
rumah adat Karo dengan delapan keluarga yang tinggal di dalamnya.
Ibu memberi saya nama sesuai dengan tanggal kelahiran, yaitu hari
Kerstmis. Diambil dari bahasa Belanda yang artinya hari Natal.
Tidak ada yang ingat tahun berapa saya lahir. Tidak ada catatan
resmi apapun mengenai kelahiran saya. Berbeda dengan abang saya
yang bernama Kamar. Sewaktu Abang Kamar lahir, ayah saya masih
bekerja sebagai mantri atau perawat di rumah sakit di Kabanjahe.
Beliau sempat membuatkan catatan tanggal kelahiran Abang, yaitu 11
Juni 1933. Menurut Ibu, selisih umur saya dan Abang adalah empat
tahun. Dari situlah, saya bisa mengira-ngira bahwa saya lahir pada
tanggal 25 Desember 1937.

Ayah saya bernama Robah S. Meliala, dan ibu saya bernama


Sangkut br. K. Bukit. Dari pernikahan merekalah, Abang Kamar dan
saya lahir. Ayah kemudian menikah lagi dengan seorang janda muda
cerai tanpa anak bernama Nangkeli br. Karo Sekali. Saya
memanggilnya dengan sebutan Nande Nguda, yang artinya ibu yang
lebih muda. Pernikahan kedua ini kelihatannya lebih direstui oleh
kedua orangtua Ayah. Nini Bulang, kakek saya, yang bernama
1
Manguni Sembiring Meliala, dan Nini Karo, nenek saya, yang bernama
Cala br. Karo Barus, sepertinya memang kurang merestui pernikahan
Ayah dengan Ibu. Menurut mereka, mahar yang dituntut keluarga Ibu
pada saat itu terlalu tinggi. Mungkin, pihak keluarga Ibu menganggap
kedudukan keluarganya lebih tinggi dari pihak keluarga Ayah. Hal ini
disebabkan keluarga Sembiring termasuk pendatang baru di kampung
saya.
Gambar 1.1

Dari kiri ke kanan: Nini Bulang, Nini Karo, Nini Biring, Ibu, dan seorang anak dari
saudara Ibu
Dokumentasi Pribadi

Sepanjang yang saya tahu, Ayah adalah Lurah Seberaya. Selain


menjadi lurah, Ayah juga bekerja di kedai kopi di bagian rumah orang
tua Nande Nguda. Ibu tiri saya itu kelihatannya lebih memanjakan
Ayah. Padahal menurut pandangan saya, Ibu lebih cantik dari
madunya. Badan Ibu lebih tinggi dan lebih kuat dari Nande Nguda.
Sering ketika Ayah sedang berada di rumah Ibu, Nande Nguda datang
menjemput sambil marah-marah. Tentu saja, Ibu yang badannya lebih
tinggi dan kuat pun berusaha melawannya. Kalau sudah begitu,

2
keluarga-keluarga lain yang tinggal di rumah adat kami akan berusaha
menengahi pertengkaran Ibu dan madunya. Dan demi ketenteraman,
pada akhirnya Ayah pun ikut pulang ke rumah Nande Nguda.

Perhatian Ibu pada anak-anaknya jadi terganggu akibat dimadu.


Menurut penuturan beberapa orang, suatu waktu ketika saya masih
merangkak, saya berkeliaran di jalan dan dilangkahi seekor kuda.
Kejadian itu dilihat oleh Raja Urung (nama jabatan yang saat ini
setingkat camat), dan saya pun dibawa ke rumah adatnya. Raja Urung
masih memiliki kekerabatan dengan ayah saya, dan saat itu, beliau
belum punya anak. Malamnya, Ibu menjemput saya dengan rasa takut
dimarahi, dan menemukan Raja Urung sedang bermain-main dengan
saya yang masih bayi.

Ayah selalu memanggil saya dengan sebutan kam (pengganti


kata kamu dengan konotasi halus), dan tidak pernah menggunakan
engkau (pengganti kata kamu dengan konotasi yang lebih kasar) walau
sedang marah. Kalaupun dia marah pada saya, paling-paling matanya
melotot dan berkedip-kedip, dan itu pun jarang terjadi. Sedangkan
kepada Abang, Ayah selalu perengko (memanggil dengan sebutan
engkau) dan sering memarahi, malah pernah sampai menempeleng.
Saya menduga, Ayah merasa berdosa pada saya karena dia menikah
lagi sewaktu saya baru lahir.

Kampung Seberaya
Saya masih ingat, bahwa dulu di Seberaya, rumah-rumahnya
masih berupa rumah adat yang ditinggali delapan sampai sepuluh
keluarga. Keluarga yang tinggal di rumah adat tersebut tidak harus
saling memiliki hubungan kekeluargaan. Semua tergantung bagaimana
kesepakatan sebelum rumah tersebut dibuat. Rumah adat Karo dibuat
dengan kayu-kayu yang besar, dan sepertinya tidak mungkin lagi
membuat rumah seperti itu di zaman modern seperti sekarang ini.

3
Gambar 1.2

Lukisan Rumah Adat Karo


Dokumentasi Pribadi

Sewaktu saya masih sangat kecil, saya sering menginap di rumah


keluarga dari pihak Ibu. Ayah dari Ibu bernama Ngesah K. Bukit, saya
juga memanggilnya dengan sebutan Nini Bulang –sama seperti
panggilan kakek dari pihak Ayah. Istrinya, yaitu nenek saya, bernama
Guri br. Sembiring Meliala. Saya biasa memanggilnya Nini Biring.
Rumah mereka ditinggali oleh 10 keluarga yang masing-masing
beranggotakan empat sampai lima orang. Ketika waktu makan tiba,
kami makan dengan capah. Capah adalah sebuah piring besar dari
kayu yang di tengah-tengahnya terdapat cekungan untuk menampung
kuah sayuran. Nasi beserta semua lauk pauk seperti sayuran, sambal,
dan ikan asin, dihidangkan di atas capah itu. Kami sekeluarga makan di
satu capah bersama-sama. Benar-benar kebersamaan yang sangat
tinggi.

Nini Bulang (kakek dari pihak Ibu) adalah seorang pensiunan


opas atau penjaga kantor kecamatan. Beliau sering tinggal di pondok
ladang sendirian. Pada suatu malam, Nini Bulang meninggal dibunuh

4
oleh tetangganya sendiri karena masalah perbatasan tanah. Saya masih
terlalu kecil di masa beliau hidup, sehingga wajahnya hanya samar-
samar saja teringat.

Nini Bulang (kakek dari pihak Ayah) dan Nini Karo tinggal di
kampung Sukanalu, kira-kira 3–4 km dari Seberaya. Untuk menuju ke
sana, perlu melewati sawah ladang dan dua sungai. Satu sungai yang
agak besar, yaitu Sungai Lau Biang. Pada saat itu, kami harus
menggunakan jembatan titian bambu untuk menyeberangi sungai besar
yang lebarnya mencapai delapan meter itu. Suatu ketika, saya yang
baru berusia sekitar lima tahun, diajak oleh Tammat Sembiring, anak
dari adik Nini Karo yang berusia setahun lebih tua dari saya, ke
Sukanalu. Kami berangkat tanpa pamit kepada Ibu. Malam-malam, Ibu
dan Ayah datang dengan perasaan yang sangat khawatir dan
menemukan saya di pangkuan Nini Karo yang sedang masak. Nini
Bulang termasuk orang yang gigih. Badannya kekar, pekerja keras,
namun agak pelit. Sawahnya luas, dan juga punya kerbau beberapa
ekor. Kalau menginap di rumahnya, saya sering diminta untuk
menginjak-injak punggung beliau. Nini Bulang hanya makan dua kali
sehari –siang dan malam, tetapi porsi makanannya sangatlah banyak.

Sejak kecil, saya termasuk anak yang pemalu dan kurang


percaya diri, tidak pernah berani menampilkan diri. Good for nothing
boy. Berlainan dengan Abang, dia jauh lebih percaya diri dan cukup
pintar. Ini juga terlihat dari prestasinya di sekolah. Dia sering menjadi
juara kelas. Abang harus sekolah di Kabanjahe untuk melanjutkan kelas
5 dan 6 SD. Setiap hari, Abang pulang pergi ke sekolah dari kampung
yang berjarak sekitar 4 km. Sekali jalan, dia bisa menempuh waktu
atau satu setengah sampai dua jam perjalanan. Karena itulah, Ayah
berjanji pada Abang bahwa dia akan berusaha sekuatnya, kalau perlu
sampai hanya berpakaian kaos, untuk membiayai sekolah setinggi-
tingginya. Sayang, Abang hanya akan bersekolah sampai tamat SD saja
dan harus mencari pekerjaan, sampai akhirnya masuk TNI.

5
Masa SD di Zaman Jepang

Saya mulai sekolah di kampung Seberaya pada tahun 1944, saat


pendudukan Jepang. Umur saya sekitar tujuh tahun waktu itu. Ketika
pertama sekolah SD, saya diajari nyanyian Jepang berjudul Kimigayo.
Saya juga belajar meletakkan tangan di atas kepala, dan harus
mencapai telinga di sebelahnya. Kenangan masa kecil seperti itu saya
ingat terus, tak pernah lupa hingga saat ini.

Tidak jarang, tentara Jepang datang ke kampung kami dalam


rangka patroli. Mereka menghakimi warga yang dianggap bersalah,
misalnya pencuri, dengan menghajar secara fisik di depan umum.
Akibatnya, rata-rata penduduk takut dan hampir tidak ada lagi
pencurian. Pada bagian akhir pendudukannya, beberapa tentara
Jepang datang ke Seberaya merampas babi, termasuk punya kami
sebanyak dua ekor yang merupakan tugas saya memberi dan mencari
makanannya. Belanda mulai muncul di Tanah Karo tahun 1947. Waktu
itu, saya duduk di kelas 3 SD. Mereka datang dari Siantar, menduduki
Kabanjahe dan Berastagi, menghindari pegunungan bila datang dari
arah Medan. Tidak lama kemudian, puluhan gerilyawan datang ke
Seberaya bersama seorang tentara Jepang sebagai pelatih. Ibu ikut jadi
juru masak, dan sebagai imbalannya, beliau mendapat pensiun di hari
tuanya.

Suatu hari, patroli Belanda menyerbu Seberaya dan membakar


sebagian rumah adat. Beruntung, rumah kami selamat. Sejak itu, kami
pun mulai mengungsi. Mula-mula, kami mengungsi ke sawah Nini
Bulang. Kami mengungsi membawa apa saja yang dapat dibawa,
termasuk tiga ekor kerbau Nini Bulang yang sering saya tunggangi
dalam perjalanan. Karena kesulitan dalam pengungsian, akhirnya
kerbau-kerbau itu kembali dibawa pulang oleh Nini Bulang ke
Sukanalu. Beliau tidak mau meninggalkan lumbung padinya yang terus
menjadi sumber makanan kami pada masa pengungsian. Secara teratur,

6
Nini Bulang membawa beras dari Sukanalu, dan tinggal di sawah
sendirian bersama kerbau dan anjingnya.

Setelah beberapa saat mengungsi di sawah, keluarga kami


bersama keluarga Nande Nguda kemudian mengungsi ke suatu dusun
yang bernama Kampung Dokan. Di dusun itu rumahnya tidak cukup
banyak sehingga kami harus tinggal di pondok atau gubuk tempat
pekerja ladang biasa beristirahat. Kami tinggal di dua pondok yang
agak jauh satu sama lain, mungkin jaraknya sekitar beberapa ratus
meter. Pada suatu malam, rupanya Nande Nguda melakukan sesuatu
hal yang membuat Ibu marah. Keesokan paginya, Ibu diam-diam
datang ke pondok Nande Nguda membawa sepotong bambu runcing.
Dia lalu menusukkan bambu itu hingga merobek pipi Nande Nguda.
Saya melihat sendiri kejadian itu karena sedang ikut dengan Ayah di
pondok Nande Nguda. Suasana pun menjadi ramai. Hingga akhirnya,
pihak Ibu dan Nande Nguda pun sepakat berdamai. Sampai saat ini,
saya tidak tahu dengan pasti apa yang menyebabkan Ibu melakukan
hal tersebut.

Sementara itu, Belanda makin berkuasa dan keluarga kami harus


mengungsi lebih jauh lagi. Kedua keluarga pun berpisah tempat
pengungsiannya. Kami bersama Nini Karo dan Ayah mengungsi ke
gunung di atas kampung Talingkuta, sedangkan keluarga Nande Nguda
ke Mardingding, yang tempatnya sangat berjauhan. Di sana, anak
kedua Nande Nguda yang bernama Katarina, meninggal. Nande
Nguda pun hanya tinggal memiliki dua anak kandung. Anak
pertamanya bernama Rosman yang usianya satu tahun lebih muda dari
saya, dan anak ketiga bernama Nurdin, yang berusia tujuh tahun lebih
muda dari saya.

Saya tidak ingat berapa lama kami tinggal di pengungsian,


rasanya lebih dari tiga bulan. Selama di pengungsian, Ayah bekerja
sebagai intelijen Republik Indonesia. Beliau sering pergi bersama
teman-temannya ke daerah perbatasan seperti Kabanjahe dan Berastagi

7
untuk memantau keadaan. Hampir seluruh Tanah Karo akhirnya
dikuasai Belanda, dan pada akhirnya semua pengungsi disarankan
kembali ke kampungnya masing-masing. Kalau tidak salah, ini terjadi
pada tahun 1947. Kami anak-anak sekolah disarankan kembali ke
kelasnya sebelum pengungsian, jadi saya kembali ke kelas 3 di
Seberaya. Di sekolah, pelajaran berhitung dianggap yang paling
penting dan siswa dianggap pintar kalau nilai berhitungnya baik. Nilai
saya dalam berhitung, walupun bukan yang terbaik, tetapi tidak
pernah jelek.

Ayah pun kembali ke pekerjaannya semula, bekerja di kedai


kopi dan terpilih kembali menjadi lurah di kampung Seberaya. Di
kalangan pendukung Republik, muncullah prasangka atau anggapan,
bahwa orang yang menjabat lurah berarti mendukung Belanda.
Mungkin karena itu, ayah saya kemudian ditangkap oleh gerilyawan
dan dituduh sebagai pengkhianat Republik.

Pada malam itu, dua orang penduduk Seberaya meninggal


ditembak gerilyawan, yang satu di rumahnya sendiri disaksikan
keluarganya karena benar mata-mata Belanda. Sedangkan yang satu
lagi, adalah ayah saya. Ayah dibawa dari kedai kopinya ke luar
kampung, dan saat itu kami saksikan sendiri. Saya masih dipangku Ibu
sewaktu melihat Ayah bersama rombongan gerilyawan berjalan lewat
di depan rumah. Tak berapa lama, kedengaran letusan senjata dua
kali. Firasat kami ayah sudah dibunuh. Saya masih ingat, seorang laki-
laki yang tinggal di rumah adat kami mengatakan, ―Ini kelihatannya
tidak baik…‖ Maksudnya, telah terjadi sesuatu pada ayah saya.

Beberapa pria dari rumah kemudian pergi menyusul dan


kembali melaporkan bahwa betul Ayah telah tewas ditembak. Beliau
ditemukan tergeletak di jalan, kurang dari 1 km dari rumah.
Jenazahnya kemudian dibawa ke rumah sakit Kabanjahe untuk
diotopsi. Satu peluru bersarang di otaknya dan satu lagi menembus

8
dadanya. Peristiwa itu terjadi pada malam hari pada Agustus 1948,
kuartal terakhir saya kelas 3 SD.

Sampai sekarang, saya tidak yakin ayah saya seorang


pengkhianat, malah menurut pendapat saya, dia merupakan seorang
yang sangat berjasa bagi negara. Ketika kami dewasa dan Abang
Kamar sudah menjadi anggota TNI, Abang menyelidiki kematian Ayah
dari dokumen-dokumen arsip yang ada di Kabanjahe. Dia menemukan
bahwa Ayah dibunuh bukan karena menjadi mata-mata Belanda,
tetapi karena masalah pribadi seorang gerilyawan penduduk
sekampung. Besar kemungkinan, hal itu terjadi karena posisi Ayah
sebagai lurah, sehingga ada pihak-pihak yang tidak menyukainya. Kini,
sudah tidak ada gunanya lagi dipermasalahkan.

Tidak lama setelah Ayah meninggal, saya dan Abang ditugasi


Ibu memanen arcis di ladang Lepartiga, dekat Tigapanah. Dari
kampung, kami harus menyeberangi dua sungai, menggunakan
jembatan titian dari bambu untuk menyeberangi Sungai Lau Biang.
Karena sudah sore dan belum selesai, Abang menyuruh saya pulang
duluan dan dia bilang, akan menyelesaikannya sendirian. Sesudah hari
gelap, mungkin sekira pukul 18.30, Abang tak kunjung pulang, dan Ibu
mulai khawatir. Karena gelisah, saya mulai dimarahi, ―Kenapa pulang
duluan?‖ Saya pun ditugaskan menyongsong abang ke ladang kembali.
Saya tidak punya pilihan, kendati sangat takut karena gelap, saya pun
kembali ke ladang. Ada dua jalan ke ladang itu, dan saya tidak tahu
yang mana yang akan diambil Abang pulang. Saya terpaksa memilih
salah satu dan untungnya, jalan diterangi cahaya bulan. Akhirnya, saya
sampai di ladang dan ternyata Abang baru saja selesai memanen arcis.
Kami pun pulang bersama-sama. Seumur hidup, rasanya saya belum
pernah saya merasa setakut itu.

Kematian Ayah membuat kehidupan keluarga berantakan.


Abang diajak oleh Mamatua, saudara Ibu yang paling tua untuk
mengikuti dia. Ibu memiliki empat orang saudara kandung. Anak

9
pertama bernama Raleng atau biasa saya panggil Mamatua, anak
kedua yaitu Ibu, anak ketiga bernama Nuhit atau Mama Nguda,
keempat yaitu Nampat atau Bibi Tengah, dan yang kelima bernama
Serta atau Bibi Nguda. Mamatua saya ini bekerja sebagai polisi lalu
lintas di Siantar sejak pendudukan Jepang, dan tidak pernah menikah
sepanjang hidupnya. Abang Kamar pun akhirnya pergi mengikuti
Mamatua.
Tidak lama setelah Ayah meninggal, Nande Nguda minta cerai.
Nini Bulang berusaha menahannya, tetapi Nande Nguda mengancam,
kalau tidak diizinkan maka dia akan menghanyutkan anaknya, Nurdin,
di Sungai Lau Biang. Ancaman ini jelas hanya gertak sambal, tapi tanpa
dia sadari, pengaruhnya sangat besar dari segi psikologi anaknya.
Karena tidak berhasil menahan Nande Nguda, maka akhirnya dia cerai
dan menikah lagi dengan partner Ayah di kedai kopi, sebagai istri
ketiga. Nurdin terpaksa diasuh Nini Bulang di Sukanalu ketika berusia 4
tahun, sedangkan Rosman tetap tinggal dengan ibunya.
Kematian Ayah yang dituduh sebagai pengkhianat membuat
saya merasa tidak diterima di kampung, dan setidaknya, saya
merasakan ada beberapa orang yang menunjukkan kegembiraan atas
meninggalnya Ayah. Sekitar setahun di Siantar, Abang disuruh pulang
oleh Mamatua, dan kemudian bekerja sebagai pembantu di kedai kopi
tempat Ayah dulu bekerja, bersama orang yang mengawini Nande
Nguda. Rupanya, setelah pendudukan Jepang, Mamatua lebih memilih
menjadi gerilyawan RI daripada menjadi polisi Belanda. Tak lama
kemudian, dia tertembak Belanda dalam suatu pertempuran, dan
dimakamkan di Taman Pahlawan Medan. Ketika itu terjadi, saya sudah
duduk di kelas 6 SD di Tigapanah.

Kelas 5 dan 6 SD tidak tersedia di Seberaya. Jadi, semua anak-


anak Seberaya yang mau melanjutkan sekolah harus melanjutkannya
ke Tigapanah, sekitar 3–4 km dari Seberaya. Sekolah kami berbatasan
dengan tebing di seberang jalan. Waktu di kelas 6, guru menyuruh

10
kami, para siswa, mengambil tanah dari tebing tersebut untuk
menutupi bagian pekarangan yang digenangi air. Tak terduga,
tebingnya runtuh dan saya terlempar ke pinggir jalan. Untuk beberapa
lama, saya sulit bernapas, sedangkan seorang teman saya tertimbun
tanah. Kami berdua dibawa ke rumah sakit di Kabanjahe, sekitar 4 km
jauhnya dengan andong, sangat sedikit mobil pada masa itu. Ibu
diberitahu oleh pihak sekolah dan segera menyusul. Setelah diperiksa,
saya langsung diizinkan pulang bersama ibu naik andong kembali,
sedangkan teman saya yang tertimbun harus dirawat selama sebulan.

Masa SMP di Kabanjahe

Saya masuk SMP Negeri Kabanjahe dengan nilai minimum. SMP


tersebut adalah satu-satunya SMP negeri di kabupaten itu, sedang dua
lainnya adalah swasta (Masehi dan Katolik). Hanya 4 orang dari siswa
SD Tigapanah yang berhasil masuk ke SMP Negeri Kabanjahe ini.
Ketika itu, saya merasa perlu memakai sepatu dan untuk pertama
kalinya, saya dibelikan sepatu oleh ibu. Bukan main, jalannya makin
cepat. Ternyata, rata-rata siswa masih pakai cakar ayam ke sekolah.

Selama sekolah di Kabanjahe, saya masak sendiri, beras dan


kayu bakar dikirim ibu dari kampung. Biasanya saya memasak nasi
untuk satu hari, dengan lauk ikan asin dan cabai yang digiling. Setiap
bulan Agustus, sekolah libur panjang. Saya sering membantu Ibu di
ladang, menjaga padi dari gangguan burung.
Tahun pertama di SMP, saya menumpang di rumah keluarga
bernama Rusia Karo Sekali, saya biasa memanggilnya Abang Rusia.
Nenek saya (ibunya Ibu) bersaudara dengan nini bulangnya Abang
Rusia ini. Dia adalah seorang tentara, sama dengan Abang Kamar yang
diterima masuk TNI tidak lama setelah pulang kampung. Abang Rusia
awalnya bertugas di Kabanjahe namun sewaktu saya mulai masuk
SMP, batalionnya dikirim ke Sulawesi. Istri Abang Rusia adalah guru
saya ketika SD kelas 1 dan 2. Dulu dia pernah melempar saya dengan
11
bingkai batu tulis sewaktu menyanyikan Kimigayo sehingga mengenai
kening dekat mata saya. Selama ditinggal Abang Rusia, istri dan dua
anaknya tinggal di asrama, bekas Rumah Sakit Zending Belanda, dan
saya ikut tinggal di situ. Saya masak sendiri, tidur di lantai semen pakai
tikar, dan menjadi mangsa nyamuk. Kira-kira setahun kemudian, para
tentara beserta Abang Kamar dan Abang Rusia pulang dari Sulawesi,
dan saya pun harus pindah tempat tinggal.

Melihat keadaan demikian, Nini Bulang bersama temannya


kemudian membuatkan gubuk dari bambu di suatu lahan di pinggir
kota untuk saya dan dua orang teman keluarga jauh sekampung. Ada
sekitar delapan gubuk di situ dengan penghuni sekitar 15 orang pelajar.
Gubuk itu berdiri di tanah seorang kakek yang rumahnya berada di
dekat kami. Kakek tersebut termasuk keluarga yang sukses, dan ikhlas
menyediakan buat kami lahan dan air mandi serta minum secara gratis.
Betul-betul bantuan yang jarang bisa diperoleh. Seingat saya, dulu
kalau hendak menggunakan kamar mandi, saya dan teman-teman
sering masuk lewat jendela agar tidak melewati dapurnya.

Sewaktu pertengahan kelas 3 SMP, beberapa gubuk tempat


tinggal siswa dibakar orang. Tidak ada yang melihat siapa pelakunya,
namun orang-orang menduga bahwa kebakaran itu dilakukan oleh
seorang menantu kakek yang punya tanah. Gubuk yang saya tinggali
pun terpaksa kami hancurkan agar tidak ikut terbakar. Setelah kejadian
itu, saya pindah tempat tinggal lagi.
Saya beruntung bisa tinggal bersama dua teman lain ke bagian
belakang suatu perusahaan kontraktor, dan kami pun dianggap sebagai
penjaga malam. Menjelang ujian akhir, kami disuruh pindah. Saya bisa
tinggal di rumah sanak keluarga dari pihak Ibu sehingga ujian tidak
terganggu. Di luar dugaan, nilai ujian matematika saya mendapat
peringkat kedua tertinggi se-kabupaten dan diberitakan di koran
terbitan Medan.

12
Sehabis ujian, sekolah kami yang terbuat dari anyaman bambu
dan sudah reot diruntuhkan atas arahan beberapa guru. Pemerintah
kemudian mendirikan gedung baru serta sebuah SMA.

Masa SMA di Medan

Saya melamar ke empat sekolah lanjutan di Medan: SMA


Negeri I, SMA Negeri II, SMEA Negeri, dan STM Negeri. Semuanya
berhasil lulus, dan saya memilih yang pertama. Selama sekolah di
Medan, saya harus indekos dan tak lagi masak sendiri. Saya juga
dibelikan sepeda karena jarak sekolah ke tempat indekos cukup jauh.
Saya pernah tinggal di dua tempat yang berlainan, dalam keadaan
badan kurus kerempeng, kurang makan.

Pada masa tinggal di Medan, saya suka sekali nonton bioskop,


apalagi film India dan film koboy. Bintang film kesukaan saya waktu
itu antara lain Raj Kapoor, Robert Mitchum, dan Robert Wagner.
Karena begitu sukanya, saya berpikir untuk menambahkan nama
Robert ke dalam nama saya.
Gambar 1.3

Aktor Robert Mitchum, inspirasi nama saya. Mirip, bukan?


Sumber: en.wikipedia.org

13
Bagi orang kampung, nama Kerstmis itu susah disebutkan. Ibu
memanggil saya Keresmis, sedangkan Nini Bulang memanggil saya
Kerasmis. Anak-anak sepermainan memanggil saya Mimis, orang-orang
di kampung memanggil saya Keris, dan umumnya, termasuk di
sekolah, saya dipanggil Kerismis. Dahulu, saya kurang senang dipanggil
demikian karena rasanya kurang gagah. Selesai mengikuti ngawan –
istilah bahasa Karo untuk belajar Alkitab sebelum baptis, saya pun
akhirnya menambahkan nama Robert dan dibaptis di Gereja Batak
Karo Protestan (GBKP) Medan tahun 1956. Jadilah akhirnya nama saya
Robert Keresmis Sembiring.
Di sekolah, pelajaran yang paling saya sukai sejak dulu adalah
matematika dan fisika. Guru matematika dan fisika di SMA cukup
menyenangkan dan besar pengaruhnya dalam menentukan jalan hidup
saya. Khususnya, Pak Lolo Panggabean, guru fisika saya, seorang
mahasiswa tugas belajar dari IKIP Bandung (sekarang UPI Bandung).

Sedangkan, pelajaran yang paling saya benci adalah ilmu hayat


–sekarang biologi, dan kimia karena masalah hafal-hafalan. Guru ilmu
hayat di SMA senang menunjukkan bahwa dia tahu nama Latin dari
pohon-pohon di sekitar sekolah, ―Ini dalam bahasa latinnya ini… Itu
bahasa latinnya itu…‖ begitu susah saya menghafal nama-nama
tersebut.

Ketika ada tes saat saya kelas 3, nilai yang diberikan guru ilmu
hayat ini tidak cocok menurut saya. Jadi, saya pun protes. Tidak puas
dengan penjelasan dari guru ini, kertas ulangan saya buang ke lantai.
Saya pun dihadiahi sekali tempelengan di pipi, ―Kalau kau tidak
senang, keluar!‖. Saya pun jadi terkenal di sekolah karena tempelengan
itu. Pasalnya, guru tersebut terkenal sangat sopan dan lemah lembut,
dan sudah agak berumur. Jadi, aneh kalau sampai dia menempeleng
siswa. Saya pikir, waktu itu saya memang sudah keterlaluan.
Selain matematika dan fisika, saya juga senang belajar bahasa
Inggris, dan kebetulan, gurunya juga menyenangkan. Ada beberapa

14
guru bahasa Inggris yang pernah mengajar saya, namun pada suatu
ketika diambil alih oleh direktur SMA. Saya senang menghafal kata-
kata dan belajar berbicara dalam bahasa Inggris. Kebetulan, teman
indekos saya yang bekerja di bank meminjamkan novel berjudul 1984
karangan George Orwell yang terkenal itu. Dengan susah payah, saya
selesaikan membacanya. Saya sering bertanya kepada guru bahasa
Inggris mengenai kata-kata yang tidak saya mengerti dalam novel itu.
Saya senang dengan cara mengajarnya yang serius dan banyak
berbicara bahasa Inggris.

Libur Panjang

Saya pulang kampung sewaktu ada libur panjang kenaikan kelas


3 SMA. Kali itu, saya menginap di rumah Raja Urung yang sudah
meninggal. Raja Urung adalah orang yang dahulu membawa saya yang
masih bayi ke rumahnya setelah dilangkahi kuda. Beliau menikah lagi
karena yang istrinya yang pertama mandul. Bersama istri mudanya,
Raja Urung memiliki lima orang anak. Sepeninggal Raja Urung, rumah
itu ditempati oleh putra tertuanya sehingga saya bisa menginap di
sana.

Di rumah adat tempat keluarga almarhum Raja Urung ini, ada


seorang mantan penghulu yang tinggal di kamar lain. Mantan
penghulu ini mengidap penyakit TBC. Ketika Ayah saya meninggal
dibunuh dulu, ada beberapa orang yang senang dengan kematiannya.
Saya tidak mengerti mengapa mereka membenci ayah saya. Salah satu
orang yang tidak suka dengan Ayah adalah mantan penghulu yang
sakit TBC ini. Suatu waktu, anak dari Raja Urung mengeluarkan saya
dari rumah itu. Dugaan saya, mantan penghulu itulah yang
meyakinkan anak Raja Urung untuk mengusir saya.

Di kampung pada masa itu sering didatangi gerombolan orang


yang kerjanya meminta uang dari rumah ke rumah. Beberapa kali
gerombolan itu datang ke kampung meminta sumbangan. Salah
15
seorang anggota gerombolan itu bernama Moesin, teman sekolah saya
dulu di SD. Pada suatu malam, menjelang habis libur sekolah,
gerombolan itu datang kembali, mungkin sebanyak tujuh orang
termasuk Moesin. Sesudah makan sekira jam 8 malam, saya duduk-
duduk di kedai kopi mendiang Ayah. Saya tahu ada gerombolan di
luar, karena itu, saya malas keluar dan duduk di kursi sambil
menidurkan kepala di atas meja. Tiba-tiba, pimpinan gerombolan itu
masuk dan menanyakan apakah orang bernama Kerismis ada di dalam.

―Tidak ada,‖ kata orang-orang yang ada di dalam, padahal


mereka tahu saya ada di situ. Saya sangat kaget dan merasa harus jujur,
karena gerombolan itu pasti tahu saya ada di dalam. Saya segera
bangkit keluar dan menjelaskan bahwa sayalah yang mereka cari.
Belum habis bicara, saya kena tendang dan terjatuh di depan kedai.
Mereka pun berdiri mengelilingi saya. Pimpinannya menginterogasi
saya dan menuduh bahwa saya telah melaporkan mereka ke polisi.
Rupanya, ada orang yang mengatakan kepada gerombolan itu bahwa
saya melapor ke polisi di Kabanjahe tentang aktivitas mereka di
kampung. Benar-benar suatu fitnahan yang keji.

Saya membantah dan berani dipertemukan dengan orang yang


mengatakan demikian. Moesin mengusulkan agar diselesaikan saja di
ladang –maksudnya, saya akan dibunuh di ladang. Akan tetapi,
pimpinan gerombolan itu mungkin mulai yakin bahwa saya berkata
jujur. Dia menolak usulan Moesin, dan memutuskan untuk
menyelesaikan masalah saat itu juga. Dia minta agar saya tidak keluar
kampung dalam seminggu. Saya jelaskan bahwa saya harus sekolah
dan mohon agar boleh pergi lusa ke Medan. Permintaan itupun
disetujui.

Rupanya, Abang Rusia – yang telah berhenti jadi tentara dan


tinggal di kampung, mengikuti peristiwa itu sambil tiarap di parit.
Setelah diinterogasi, saya pun kebingungan dan hendak pulang ke
rumah untuk melapor kepada Ibu. Abang Rusia segera mendekap saya

16
dan melarang saya pulang ke rumah. Dia mengajak saya tidur di
rumahnya di dekat situ. Keesokan paginya, barulah Abang Rusia
memanggil Ibu. Tentunya, Ibu sangat ketakutan. Besoknya, akhirnya
saya kembali ke Medan untuk melanjutkan sekolah.

Berangkat ke Bandung

Menjelang waktu ujian akhir SMA, saya kena flu sehingga


khawatir mempengaruhi hasil ujian. Kepercayaan saya akan takdir
membuat saya bertanya-tanya ―Kenapa saya sakit di waktu penting
seperti ini?‖. Saat itu, saya marah betul pada Tuhan. Walau demikian,
akhirnya saya bisa lulus juga, dengan hasil taksebagus yang diharapkan.

Ibu sangat ingin agar saya masuk kedokteran di Universitas


Sumatera Utara (USU) Medan, tapi saya sama sekali tidak ingin.
Melihat darah apalagi mayat sangat menakutkan, dan juga saya tidak
senang dengan ilmu hayat. Saya berpikir bahwa sejak dulu saya senang
sekali pelajaran matematika, dan guru fisika saya sering mengatakan,
―Kalau mau belajar matematika, pergilah ke Bandung!‖. Kata-kata guru
fisika tersebut begitu mempengaruhi saya.

Bandung, kedengarannya sangat menarik hati saya. Tanpa


banyak tahu tentang Bandung, saya memutuskan harus pergi ke sana,
dan waktu itu Ibu sangat tidak setuju. Sedikit sekali yang saya ketahui
tentang Bandung, tak ada orang yang saya kenal di sana. Saya belum
pernah naik kapal, tak punya pengalaman apapun. Kalau dipikirkan
secara rasional, memang keputusan itu gila dan nekat. Pertama, soal
biaya. Ibu hanya seorang petani kecil, penghasilannya pun tidak tetap.
Bantuan dari Abang Kamar juga belum dapat diharapkan karena
pangkatnya masih prajurit sersan. Untung, Nini Bulang yang terkenal
agak pelit, mau menjual seekor kerbaunya sehingga ada modal untuk
saya berangkat ke Bandung. Dengan uang hasil menjual kerbau itu
pula, saya kemudian bisa membeli sepeda baru dan hidup satu atau

17
dua bulan di Bandung. Dengan menangis, Ibu pun akhirnya harus rela
melepas saya.

Hari keberangkatan telah tiba. Ibu dan Abang Kamar waktu itu
mengantar saya sampai ke Pelabuhan Belawan. Abang Kamar
kebetulan sedang pulang kampung sehingga bisa ikut menemani Ibu.
Saat itu, Abang sudah menjadi tentara di bagian komunikasi dan baru
menyelesaikan pendidikan ketentaraan di Cimahi. Beberapa hari
sebelum berangkat, Abang menuliskan nama-nama penginapan yang
bisa saya tinggali di Bandung nanti, kalau belum dapat indekos sendiri.
Saya terima saja bekal itu, tanpa tahu apa yang akan terjadi nanti.
Kapal yang akan saya tumpangi untuk menyeberang pulau
adalah kapal berukuran kecil, biasa dipakai untuk membawa ternak
sapi. Persis sebelum kapal itu berangkat, Abang bertemu dengan
seorang kawan yang sama-sama menempuh pendidikan tentara di
Cimahi, namanya Situmorang. Saat itu, Pak Situmorang hendak
kembali ke Bandung. Abang pun meminta kepada beliau supaya
menolong saya mencari tempat tinggal di Bandung nanti.

―Baik,‖ kata Pak Situmorang. ―Nanti, tinggal dengan saya saja


dulu!‖

Akhirnya saya pun dititipkan Abang ke kawannya itu. Ketika


kapal berangkat, saya melihat Ibu melepas kepergian saya sambil
menangis.

Saya duduk di geladak kapal beralaskan tikar. Malam-malam,


ketika melewati Selat Sunda, kapal diterpa ombak yang begitu besar.
Rasanya mau muntah sampai-sampai semalaman saya tidak bisa
makan. Mengingat masa itu, saya pun merenung, hidup saya sedari
kecil tidak pernah punya rencana mau jadi apa. Saya hanya senang
bekerja. Ada keinginan yang kuat untuk maju dan berhasil, tetapi saya
tidak ingin menonjolkan diri. Saya ini orangnya pemalu, kurang
percaya diri, bahkan cenderung introvert, tetapi nekat kalau melihat
ada peluang maju atau sesuatu yang menarik hati. Mungkin hal itulah
18
yang membuat saya berani mengambil langkah untuk pergi merantau
seorang diri. Saya tidak bisa membayangkan kalau tidak bertemu Pak
Situmorang bagaimana nanti jadinya saya. Sungguh Tuhan telah
memberi suatu pertolongan yang besar, dan membuat hati saya
menjadi tenang.

19
BAGIAN KEDUA
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Kuliah di ITB
Kapal yang saya naiki berlayar selama satu malam dua hari, dan
berlabuh di Perlabuhan Tanjung Priok. Saya bersama Pak Situmorang
pun kemudian melanjutkan perjalanan ke Bandung naik kereta api.
Beliau yang waktu itu sudah menikah, tidak keberatan menampung
saya di rumahnya di kawasan Dago Pojok. Karena sudah mendapat
tumpangan, saya jadi tidak memerlukan lagi bekal nama-nama
penginapan yang diberikan oleh Abang Kamar.
Saya mendaftar di Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas
Indonesia (FIPIA UI) Bandung. Waktu itu, tidak ada tes masuk
perguruan tinggi seperti sekarang ini. Tanpa tes pun, calon mahasiswa
yang mendaftar ke FIPIA jumlahnya masih sedikit sekali. Berbeda
dengan sekolah kedokteran yang ramai mahasiswanya.
Kesimpulannya, saya waktu itu memilih fakultas yang paling tidak
menarik bagi banyak orang. Saya juga memilih Jurusan Astronomi
semata-mata karena ingin tahu, di sebelah mana surga itu? Aneh.

Tahun pertama, seluruh mahasiswa baru FIPIA kuliah secara


bersama-sama, sekarang ini disebut Tahap Persiapan Bersama (TPB).
Pada masa itu, hubungan negara Belanda dan Indonesia sedang jelek.
Padahal, beberapa dosen yang mengajar di FIPIA UI adalah orang
Belanda. Ketika hubungan antarnegara semakin memanas, dosen-
dosen dari Belanda pun berpulangan ke negerinya. Karena di Jurusan
20
Astronomi tidak ada lagi dosen yang bisa mengampu, akhirnya saya
pindah ke Jurusan Matematika. Saya masih sempat mengikuti kuliah
Kalkulus dengan dosen Belanda bernama Prof. Lehmann yang bisa
mengajar menggunakan Bahasa Indonesia. Satu lagi, seorang dosen
keturunan Jerman bernama Von Krauss yang mengampu mata kuliah
Kimia.

Tahun berikutnya, perkuliahan terganggu kembali karena FIPIA


ingin direbut oleh Universitas Padjadjaran (UNPAD). Saat itu, Mayor
Jenderal Moestopo menginginkan agar FIPIA UI Bandung menjadi
bagian dari UNPAD. Ada pihak yang menentang usaha tersebut karena
waktu itu, UNPAD adalah perguruan tinggi yang bersifat kedaerahan,
sedangkan FIPIA bersifat nasional. Pertengkaran mengenai hal ini
cukup sengit, hingga akhirnya Presiden Soekarno turun tangan. FIPIA
disatukan dengan Fakultas Teknik, dan kemudian secara mandiri
dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB). Selama peristiwa
tersebut berlangsung, praktis perkuliahan terganggu selama setahun,
yaitu dari tahun 1958 sampai 1959. Selama setahun hampir tak ada
perkuliahan, waktu banyak saya habiskan untuk bermain catur dengan
teman-teman.

Kehidupan di Bandung

Sewaktu tiba di Bandung, saya menumpang di rumah Pak


Situmorang hanya sebentar saja. Pada tahun pertama, saya mendapat
indekos di Jl. Progo 1, tinggal di rumah seorang yang berasal dari
Tapanuli selama kurang lebih tiga bulan. Kebetulan, waktu itu saya
indekos bersama dengan teman satu SMA di Medan dulu. Saya
kemudian pindah ke Jl. Buton 7, dan tinggal sekitar tiga tahun. Lalu,
saya pindah lagi ke kawasan Balubur, di Jl. Kebun Bibit, kira-kira
selama setahun. Setelah itu, saya pindah lagi ke Jl. Kejaksaan supaya
berdekatan tempat tinggal dengan Abang Kamar. Abang Kamar waktu
itu sudah berkeluarga dan ditempatkan di Bandung. Dia bersama istri

21
dan satu anak perempuannya tinggal di Hotel Naripan. Mereka
menyediakan makan siang dan makan malam untuk saya. Lumayan
juga, penghematan untuk saya yang masih indekos.

Istri Abang bernama Veronica br. Sitepu, saya memanggilnya


Kakak. Dia sedang mengandung anak kedua pada waktu itu. Pada
suatu waktu, Abang ditugaskan ke Irian dan Kakak berpesan kepada
saya yang sedang makan siang untuk menemaninya pergi ke Rumah
Sakit Bersalin Sariningsih di Jl. Riau. ―Nanti tolong antarkan saya‖, dia
bilang.

Saya pun datang kembali jam 6 sore, dan Kakak meminta, ―Kita
harus segera berangkat. Rasanya sudah mau melahirkan.‖ Jadi, saya
pun mengantarnya pergi naik becak. Sesampainya di perempatan Jl.
Aceh dengan Jl. Sumatera, Kakak berteriak-teriak, ―Bayinya mau
keluar!‖

Saya pun panik. Kebetulan, saya melihat sebuah mobil datang


dari utara Jl. Sumatera. Waktu itu, keadaan Kota Bandung masih sepi
sekali, tidak ramai seperti sekarang. Dan begitu melihat ada mobil
datang, saya loncat dari becak, dan berdiri di tengah-tengah
perempatan untuk menyetop mobil itu. Untung mobil itu tidak
menggilas saya.

Saya memohon kepada supir mobil itu, ―Ini kakak saya mau
melahirkan, tolong antarkan ke situ!‖ sambil menunjuk ke arah Rumah
Sakit Bersalin Sariningsih yang jaraknya mungkin tidak ada 1 km lagi.
―Baik!‖ sopir itu pun membelokkan mobilnya arah kembali ke
arah utara Jl. Sumatera. Saya menyuruh tukang becak untuk menyusul
ke rumah sakit, tetapi dia tidak mau. Jadi, terpaksa saya bayar di situ
juga dalam keadaan terburu-buru.

Mobil yang kami tumpangi adalah sebuah Holden pick-up.


Kakak duduk dipangku saya di depan dalam keadaan ketuban sudah
pecah. Kami duduk di samping sopir, seorang keturunan Tionghoa,

22
yang masih muda. Kalau dipikir sekarang, baik sekali orang itu mau
mengantarkan kami dan membiarkan mobilnya basah oleh air ketuban
Kakak. Dua atau tiga menit kemudian, kami tiba di RS Bersalin
Sariningsih. Sesampainya di sana, Kakak kena omel oleh suster,
―Kenapa masih pakai celana dalam?‖

Untunglah semua jadi beres, Kakak selamat melahirkan anak


perempuan. Saya tidak tahu apa lagi apa yang harus dikatakan kepada
si pemilik mobil Holden itu, tetapi dia mengerti. Kejadian itu menjadi
sebuah pelajaran, bahwa ketika bertemu dengan keadaan yang
membuat kita harus melakukan sesuatu, semuanya harus dikerjakan
dengan cepat, tidak ada waktu untuk berpikir, nekat.

Setelah pulang dari tugas di Irian, Abang mencari-cari orang


yang menolong kami itu, dan ketemu. Anak perempuan yang
dilahirkan dalam keadaan darurat itupun akhirnya dinamai Holdiani
br. Sembiring, sesuai dengan merek mobil yang membawa kami,
Holden. Ke depannya, Abang dan Kakak akan memiliki dua anak laki-
lagi lagi.

Peristiwa tadi terjadi ketika saya telah menjadi Sarjana Muda


(SM). Pendidikan SM tersebut ditempuh dalam waktu tiga tahun, dan
saya lulus pada September 1961. Setelah menjadi SM, langkah
berikutnya adalah menjadi Sarjana Satu, selama satu tahun. Barulah
nanti menjadi Sarjana pada tahun berikutnya lagi. Jadi, untuk menjadi
Sarjana secara penuh, diperlukan waktu paling sedikit lima tahun. Pada
September 1962, saya diangkat menjadi asisten dengan kepangkatan
pegawai negeri. Untuk menambah penghasilan sekaligus mencari
pengalaman, saya juga mengajar matematika di STM Merdeka di Jl.
Merdeka. Saya mengajar di sana kira-kira selama setahun, dan saat ini,
STM itu sudah tidak ada lagi. Hasil honorarium dari mengajar STM
dan menjadi asisten di ITB itu sebenarnya tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi lumayan juga meringankan
beban Ibu membiayai saya.

23
Pada masa-masa itu, ada namanya Berita ITB, suatu harian yang
pertama kali diterbitkan oleh mahasiswa ITB. Harian itu mulai terbit
sekira tahun 1962. Saya ikut menjadi reporter angkatan pertama dan
mendapat tugas sebagai kepala tata usaha. Salah satu tugas khusus saya
adalah mengantar harian Berita ITB, setebal 4 halaman folio, ke
beberapa redaksi koran. Untuk itu, ITB menyediakan sebuah motor
BMW besar yang bisa saya bawa pulang. Saya membawa motor itu ke
tempat menginap di Balubur dan Jl. Naripan, karena kebetulan di Jl.
Kejaksaan tidak ada tempat. Bisa dibilang, sayalah satu-satunya
mahasiswa yg dapat motor dinas. Kalau ada mahasiswa lain yang mau
memakai motor itu, harus dengan izin saya dulu.

Sebagai asisten di kampus, saya ditugaskan membantu Dr. Karl


Reichel, seorang aktuaris Jerman dari UNESCO yang bertugas di
Jakarta dan memberi kuliah tiap Sabtu di ITB sejak 1961 sampai 1963.
Beliau mengampu mata kuliah Mathematical Insurance. Pada saat
menjadi asisten beliau itulah, saya merasa bahwa kesukaan saya
terhadap Bahasa Inggris sangat membantu. Saya menjadi asisten
sekaligus mengikuti perkuliahan yang Dr. Reichel ampu. Dr. Reichel
kemudian meninggalkan Indonesia berkaitan dengan peristiwa
keluarnya Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam waktu tersebut, adik tiri saya –Nurdin, tamat SMA di


Kabanjahe. Hal ini menjadi persoalan bagi Abang Kamar dan saya.
Apakah Nurdin bakal dibiarkan tinggal dengan Nini Karo, atau kami
bantu untuk bersekolah di Bandung? Ibu jelas masih belum bisa
menerima gagasan membantu Nurdin, rasa sakitnya dimadu masih
belum hilang. Tetapi, Abang dan saya beranggapan bahwa Nurdin
hanyalah produk dari sistem yang jelek. Lagi pula, ada rasa kasihan
kalau dia tidak ditolong, bagaimanapun juga, dia adalah saudara
seayah. Kami lalu memutuskan untuk menyekolahkannya di Bandung.
Tetapi, karena Nurdin tidak diterima di Jurusan Mesin ITB, dia pun
didaftarkan di Akademi Tekstil Bandung dan akhirnya diterima.

24
Nantinya, Nurdin mendapat pekerjaan di Bekasi, kemudian menikah
dan menetap di sana.

Bulan September 1964, saya lulus Sarjana Satu, dan dimulailah


pengerjaan tugas akhir untuk menjadi Sarjana. Tugas-tugas akhir
tersebut antara lain tugas statistik (Analisis Covariansi) dengan
pembimbing Prof. Ang Han Liang (kemudian mengganti namanya
menjadi Suryadi), serta tugas analisis di bawah bimbingan Prof.
Moedomo. Ada yang lucu –malah sedikit kurang ajar, yaitu pada
pertengahan presentasi tugas analisis. Ketika Prof. Moedomo sedang
meninggalkan ruangan, dosen-dosen yang hadir dalam presentasi itu
mulai banyak mengajukan pertanyaan. Saya berusaha melayaninya,
tetapi kemudian mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
melenceng dari topik presentasi. Saya yang mulai kewalahan dan
terganggu lantas menolak untuk menjawab. Saya minta para hadirin
menunggu kembalinya Prof. Moedomo, baru nanti presentasinya
diteruskan kembali. Semua terdiam, termasuk beberapa dosen senior.
Presentasi pun diteruskan dan kembali lancar setelah Prof. Moedomo
hadir. Tidak lagi muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.
Saya pun lulus menjadi Sarjana secara penuh pada Maret 1965.

Bekerja di Taspen

Selagi menjadi asisten Dr. Karl Reichel yang mengampu mata


kuliah Mathematical Insurance, saya pun mulai berkenalan dengan
Perusahaan Negara Tabungan Asuransi dan Pegawai Negeri (PN
Taspen). Awalnya, saya bekerja di Taspen sebagai tenaga honorer, dan
mulai berkantor di Jl. Merdeka no. 64. Waktu itu, Taspen masih baru
dibentuk, dan saya bekerja tanpa tugas yang jelas. Pokoknya, hanya
tahu terima honor.

Suatu waktu, saya mendapat tugas dari Taspen untuk dinas ke


Kota Medan. Tugas saya waktu itu mendatangi beberapa kantor di
kota-kota sekitar Medan. Sebetulnya, tugas itu terlalu dibuat-buat, dan
25
alasannya hanya karena saya sangat ingin pulang kampung. Saya
belum pernah pulang ke kampung halaman semenjak jadi mahasiswa
di Bandung. Pada saat saya dinas ke kampung halaman itulah, pecah
peristiwa Gerakan 30 September (G30S).
Situasi politik di tanah air jelas terasa pengaruhnya di Taspen,
terutama sekali tahun 1965. Ada dua kelompok dominan di Taspen,
yaitu kelompok pendukung Partai Nasional Indonesia (PNI) Ali
Sastroamidjojo dan kelompok agama yang dipengaruhi oleh Sarikat
Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dan Partai Kristen Indonesia
(Parkindo). Saya sendiri lebih condong kepada kelompok PNI dan
Parkindo. Di luar sana, banyak orang mendukung PKI karena janji-janji
politik yang manis dan ketidakpuasan terhadap kondisi negara pada
masa itu. Sempat ada yang mengira saya ikut G30S, karena saya tidak
berada di tempat ketika peristiwa itu berlangsung. Padahal, saya
sedang ditugaskan ke Medan, sekaligus pulang kampung setelah sekian
lama.
Dengan pecahnya peristiwa G30S, keadaan di Taspen pun
semakin runcing. Kedua direktur yang pro nasionalis kurang disenangi
dan dibuat tidak berdaya. Pintu kantor Kepala Biro Aktuaria yang
pada waktu itu dijabat oleh Prof. Sunardi, senior saya, dipalang
sehingga dia tidak bisa masuk dan ketakutan. Sesungguhnya, dia hanya
orang tak ikut berpolitik tapi dianggap masuk kelompok PNI Ali
Sastroamidjojo. Akibatnya, beliau minta berhenti sehingga jabatan
Kepala Biro itu kosong dan langsung dipegang oleh Direktur Utama,
lalu saya ditunjuk sebagai pembantunya.

Susiana Joenarti

Sebelum melanjutkan cerita di Taspen, saya ingin kembali dulu


ke masa saya masih mahasiswa. Setelah indekos di Jl. Kejaksaan yang
dekat dengan tempat tinggal Abang Kamar, saya pindah ke asrama ITB
di Jl. Sawunggaling. Saya tinggal di sana dengan status sebagai
26
penghuni gelap. Satu kamar biasanya dihuni oleh dua atau tiga orang
mahasiswa. Pada masa itulah, saya berkenalan dengan seorang
mahasiswi pindahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dan mulai
tertarik kepadanya. Dia seagama dengan saya, berpenampilan
sederhana, dan wajahnya cukup cantik. Mahasiswi itu bernama Susi.
Gambar 2.1

Susi saat mahasiswi


Dokumentasi Pribadi

Susiana Joenarti, begitu nama panjangnya, adalah anak ke-4


dari 13 bersaudara. Dia lahir pada tanggal 8 Januari 1937 di Wates,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Bapaknya bernama dr. Soenoesmo, dulu
menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Umum Tegalyoso, Klaten, dan
ibunya bernama Maryam Natanael.

Dahulu, dr. Soenoesmo bekerja di rumah sakit di Yogyakarta


yang sekarang menjadi RS Bethesda. Beliau kemudian dipindahkan ke
Klaten pada tahun 1941 ketika Susi baru berusia empat tahun. Susi

27
tinggal di kota kecil itu sampai lulus SD. Bapaknya kemudian mengirim
Susi untuk sekolah di Yogyakarta, karena menurut beliau, Klaten waktu
itu kelihatannya kurang maju. Jadi ketika masuk SMP, Susi bersama
ketiga kakaknya mulai diindekoskan di Yogyakarta.
Tahun 1952, bapak Susi meninggal dunia. Keluarganya tidak
diizinkan lagi menempati rumah dinas di Klaten, sehingga ibu Susi
memutuskan untuk menetap di Yogyakarta, demi menyelesaikan
pendidikan anak-anaknya. Setelah lulus SMA, Susi meneruskan
pendidikan ke Fakultas Matematika UGM.

Pada masa itu, UGM belum menerapkan sistem kredit semester


(SKS). Kalau ada satu mata kuliah yang tidak lulus, maka seluruh
perkuliahan di semester itu dianggap gagal, dan harus mengulanginya
lagi. Suatu waktu, ada rombongan ITB datang ke UGM dan
memberikan ceramah tentang SKS. Dari situ, Susi mengetahui bahwa
dengan sistem tersebut, mahasiswa masih bisa lanjut kuliah ke semester
berikutnya meskipun ada mata kuliah yang tidak lulus.
Susi dan satu orang teman perempuannya kemudian bertanya
pada pimpinan rombongan ITB tersebut, ―Pak, kalau saya pindah ke
Bandung, bisa nggak?‖ Susi lalu menjelaskan keadaan di kampusnya
yang masih belum menggunakan sistem seperti ITB.

―Ya, bisa! Kamu datang aja ke Bandung‖, jawab pimpinan


rombongan yang ternyata adalah Prof. Moedomo, dosen pembimbing
tugas akhir saya. Oleh Prof. Moedomo, Susi disuruh menemui
Pembantu Rektor ITB, yaitu Pak Sosro. Maka, jadilah Susi pindah ke
Bandung. Untuk masalah biaya, waktu itu Susi mengurus berkas
beasiswa di Kementrian Pendidikan, dan mendapat tempat tinggal di
asrama ITB. Saat itu, Susi terpilih menjadi pimpinan asrama, dan dia
tahu kalau saya menjadi penghuni gelap di asrama ITB.

Pertama kali mengenal Susi, saya merasa kurang percaya diri jika
ingin menemuinya. Maka, saya meminta seorang dosen muda, Drs.
Suhartono, yang sudah seperti teman, untuk menemani saya bertemu
28
Susi. Rupanya, ada sambutan yang baik dari Susi. Kami pun jadi makin
sering bertemu seperti di kampus atau di gereja, sehingga saya tidak
lagi memerlukan bantuan.

Sesudah lulus dari ITB dan mulai bekerja di Taspen, saya punya
rencana untuk melamar Susi. Ibu sebenarnya tidak setuju, dia ingin
saya menikah dengan calon pilihannya, yaitu beru Bukit, tetapi saya
tidak tertarik. Begitu pula dengan ibu Susi yang menginginkan anaknya
menikah dengan orang yang bisa berbicara bahasa Jawa.
―Kalau aku disuruh ngomong bahasa Melayu (bahasa
Indonesia), nggak ngerti aku…‖, begitu kata ibunya. Meski mendapat
tanggapan demikian, saat itu saya merasa sudah yakin akan pilihan
saya. Mungkin karena keseriusan itulah, ibu kami berdua akhirnya
setuju dengan lamaran tersebut. Saya pun memberanikan diri pergi ke
Yogyakarta seorang diri demi melamar Susi kepada ibunya.
Gambar 2.2

Ibu Maryam Natanael saat ulang tahunnya ke-70 pada 1982


Dokumentasi Pribadi

29
Kami kemudian menikah secara resmi di gereja Jawa di
Yogyakarta pada tanggal 22 Juni 1966. Kami dinikahkan bersama adik
perempuan Susi, yaitu Kus Sumardani –atau Dani, anak nomor 10.
Suaminya bernama Endarsono, lulusan Teknik Kimia UGM yang baru
menyelesaikan studi S2 di Kanada. Pernikahan kami cukup unik, karena
terdiri atas dua pasangan, yaitu Susi dan adiknya. Saat itu, Mbah dari
Endarsono punya permintaan supaya cucu tunggalnya itu segera
menikah selagi beliau masih hidup. Tetapi, ibunya Susi keberatan,
karena nantinya Dani yang merupakan anak ke-10 akan meloncati
kakak-kakaknya yang belum menikah. Kebetulan, saya melamar Susi
pada waktu tersebut, sehingga disepakati bahwa kami akan menikah
bersama-sama.
Gambar 2.3

30
Gambar 2.4

Dari kiri ke kanan: saya, Susi, Endarsono, dan Dani


Dokumentasi Pribadi

Pencatatan nikah dilakukan di Catatan Sipil Bandung dengan


bantuan keluarga paman Susi, Pak Soediono, di Jl. Sukabumi 1, tempat
kami sering pacaran. Saya dan Susi kemudian berbulan madu ke
Kampung Kadek di Bantul, Yogyakarta, dan tinggal di rumah orang
tuanya Paman Soediono.
Setelah menikah, kami tidak bisa tinggal di asrama ITB karena
selama menjadi pimpinan asrama, Susi membuat peraturan bahwa
yang boleh tinggal di asrama itu hanya mahasiswa yang masih single.
Jadi, Susi terkena peraturan yang dibuatnya sendiri. Kami pun mencari
tempat tinggal, dan kebetulan Abang Kamar dipindahtugaskan ke
Cianjur. Abang menawarkan tempat tinggalnya di Hotel Naripan
untuk kami tinggali, sementara keluarganya pindah ke Cianjur.

31
Keluar dari ITB

Selama menjadi tenaga honorer di Taspen, saya masih berstatus


sebagai dosen muda di ITB. Di sela-sela itu, saya juga sempat memberi
kuliah kalkulus di Universitas Parahyangan, di Akademi Teknik
Pekerjaan Umum (ATPU), serta di Perguruan Tinggi Achmad Yani di
Cimahi.

Waktu baru berencana untuk menikah, saya membuat ajuan


kepada Panitia Perumahan ITB agar diberi rumah dinas. Menurut
peraturan, sebagai dosen yang masih single saya boleh tinggal serumah
dengan dosen lain yang juga masih single. Kebetulan waktu itu masih
ada rumah yang lowong.

Panitia menunjuk rumah yang sudah dihuni oleh seorang dosen


Teknik Mesin, lulusan Belanda –dan katanya punya pengaruh, yang
sama-sama masih single. Begitu dosen tersebut tahu bahwa akan ada
penghuni baru, dia mengambil tindakan memalang pintu rumah tanda
tidak setuju ada orang lain masuk. Pejabat Panitia Perumahan yang
orang Geologi kebetulan mencari orang yang berani menghadapi
dosen tersebut dan saya, karena terpaksa, menyatakan mau.
―Pokoknya, beri saya izin dan saya akan menghadapinya.‖

Tanpa disangka-sangka, pejabat Panitia Perumahan diganti, dan


jabatan yang baru diberikan kepada seorang dosen Matematika.
Pejabat yang baru ini tidak berani mengambil tindakan atas perbuatan
dosen yang memalang pintu itu, padahal pejabat sebelumnya justru
mendorong saya agar melawan. Saya pun marah, dan mengajukan
permintaan berhenti dari ITB karena mau menikah dan perlu rumah.
Permohonan itu ditolak. Saya tetap ngotot sampai mogok memberi
kuliah, padahal saat itu ada di tengah-tengah semester.

Pada waktu itu, Pembantu Rektor (PR 1) ITB dijabat oleh Prof.
Moedomo, dosen pembimbing tugas akhir saya, salah seorang dosen
yang paling besar pengaruhnya dalam membantu saya berpikir secara
matematika, dan betul-betul membuat saya cinta matematika. Beliau
32
berusaha keras menahan saya agar tidak keluar dari ITB, tetapi tidak
berhasil. ITB terpaksa menerima permohonan saya, dan saya keluar
dari ITB pada akhir tahun 1966.
Gambar 2.5

Prof. Dr. Moedomo bin Soedigdomarto


Orang yang paling memengaruhi saya dalam bidang matematika
Sumber: Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung

Karena saya sudah keluar dari ITB, maka tidak ada lagi halangan
bagi Taspen untuk menetapkan saya jadi Kepala Biro Aktuaria, biro
terbesar di Taspen. Kami kemudian ditawari tinggal di bagian kantor
sehingga kamar di Hotel Naripan dapat kembali ditinggali oleh
keluarga Abang.

Tidak lama setelah menjadi Kepala Biro Aktuaria, saya


berhadapan dengan seorang pegawai dari Biro Umum (orang
berpengaruh dari Sarbumusi), dan rupanya ingin menguasai ruangan
kantor untuk dia tinggali dan sudah menguasai kunci ruangan itu. Saya
minta agar dia segera mengembalikan kunci ruangan itu ke kantor. Dia
marah-marah di depan direktur utama dan direktur umum dengan
bicara keras sambil memukul-mukul meja direktur. Saya marah sekali

33
dan mengancam akan melemparkannya keluar jendela kalau bicaranya
tidak sopan. Kedua direktur diam saja, padahal direktur umum itu
pensiunan Polri dari Madura. Melihat saya marah, orang itu pun
akhirnya diam dan mau menyerahkan kunci tersebut. Aneh, padahal
badannya lebih tegap dan lebih tinggi dari saya. Suasana dapat
dikuasai dan kantor akhirnya menjadi tenang kembali.

Beasiswa The Ford Foundation

Direktur Utama Taspen berganti, begitupun Kepala Biro


Keuangan, dipegang oleh kelompok baru. Persoalan baru muncul.
Mereka yang merasa berjasa mulai bertingkah dan membuat suasana di
kantor jadi tidak enak. Direktur utama kelihatan kesulitan menangani
permasalahan tersebut.

Tepat pada waktu itulah, Prof. Moedomo, yang dahulu


menolak permohonan saya keluar dari ITB, mengutus Prof. Sunardi
untuk menawari saya kesempatan belajar statistika ke Amerika Serikat
dengan biaya dari The Ford Foundation. Rupanya, ITB ditawari oleh
The Ford Foundation untuk mengirimkan dosennya ke Amerika
Serikat, tetapi mereka belum bisa memenuhi kuota keberangkatan.
Mereka pun menawari saya, padahal saya sudah tidak lagi bekerja di
ITB. Tawaran itu saya laporkan ke Direktur Utama Taspen dan
mendapat jawaban yang kurang enak.

Dia mengatakan, ―Saat ini, sudah ada beberapa orang yang ahli
dalam aktuaria, jadi tidak masalah.‖ Saya tahu betul bahwa itu tidak
benar. Waktu itu, hanya ada segelintir orang yang paham aktuaria di
Indonesia.

Karena merasa tertantang, saya pun memproses lamaran


beasiswa The Ford Foundation secara diam-diam. Satu hari sebelum
berangkat, saya diantar oleh Mas Sutarno, seorang kerabat dari pihak
Susi, yang kebetulan ada di Jakarta, mendatangi direktur utama di

34
rumahnya malam-malam, dan memberitahukan kepadanya bahwa
saya akan berangkat besok sore ke Amerika Serikat. Saya bilang sore,
padahal sesungguhnya saya berangkat pagi hari –sengaja bohong
karena takut dihalangi. Dia berusaha menahan kekagetannya dan
bicara baik-baik, walau jelas sekali terlihat sangat kaget. Begitulah.
Dengan demikian, saya sudah keluar dari Taspen, walupun secara tidak
hormat alias dipecat.

Sebelum berangkat, saya pamit kepada Prof. Moedomo. Beliau


minta agar saya berjanji kalau pulang nanti dari Amerika, jangan minta
rumah dari ITB. Janji itu masih saya ingat sewaktu pulang, dan
berusaha agar secepat mungkin punya rumah sewaktu kembali dari
Amerika Serikat.

35
BAGIAN KETIGA
MENUNTUT ILMU SAMPAI KE AMERIKA

Berangkat ke Bloomington
Saya berangkat ke Amerika Serikat bulan Juni 1967, dari
Bandara Internasional Kemayoran di Jakarta. Dulu, pesawatnya belum
menggunakan jet, jadi masih memakai baling-baling. Dari Jakarta, saya
terbang ke Bangkok, lalu ke Hongkong. Saya membeli jas di Hongkong
dengan uang yang disediakan oleh Ford Foundation. Perjalanan
dilanjutkan ke Hawaii, lalu lanjut ke San Fransisco. Dari San Fransisco,
saya terbang lagi ke Chicago. Dari Chicago, saya ke Ibukota Negara
Bagian Michigan, yaitu East Lansing.

Saya mengikuti orientation course, yaitu belajar bahasa Inggris


dan budaya Amerika, termasuk tinggal di keluarga Amerika selama
seminggu. Orientation course ini dilaksanakan di Michigan State
University, East Lansing, selama bulan Agustus 1967. Kami ditempatkan
di asrama, dan saya sekamar dengan mahasiswa junior, orang Amerika.
Setelah ikut kursus bahasa Inggris sebulan lebih, ternyata nilai bahasa
Inggris saya tidak naik, malah turun. Aneh.

Pada saat mengikuti orientation course itulah, saya bertemu lagi


dengan guru Fisika saya semasa SMA dulu, Pak Lolo Panggabean yang
sedang studi lanjutan. Beliau adalah orang yang menginspirasi saya
untuk melanjutkan kuliah ke Bandung, dan kami dipertemukan lagi
saat menuntut ilmu di negeri orang. Waktu itu, saya juga berkenalan

36
dengan Liek Wilardjo, seorang mahasiswa Fisika yang nantinya akan
menikahi adiknya Susi.

Selesai mengikuti orientation course, saya terbang ke


Bloomington, Indiana. Di sana, saya dipersiapkan sebagai mahasiswa
jenjang Master, dan masuk asrama Graduate School di Indiana
University –satu kamar dengan mahasiswa Amerika keturunan Jepang
dari Hawaii. Sesungguhnya, Indiana bukan tempat yang cocok untuk
belajar statistika, tetapi Ford Foundation telanjur sudah membuat
kontrak. Beasiswa Ford Fondation untuk gelar Master itu berjangka
dua tahun. Sebelum saya, ada beberapa orang mahasiswa Indonesia
yang terlebih dahulu mengambil program beasiswa tersebut.
Kebetulan, tahun itu mahasiswa yang mendapat beasiswa Ford
Fondation hanya saya. Jadi, totalnya ada tujuh orang mahasiswa
Indonesia yang tinggal di Indiana dari berbagai angkatan dengan
koordinator Prof. W. Andrews dari Jurusan Ekonomi.

Istri saya belum diperbolehkan ikut ke Amerika Serikat. Dia akan


menyusul, asal nilai semester pertama saya cukup baik. Ini memberi
tekanan besar bagi saya untuk berhasil. Di semester pertama, saya
disarankan oleh Head of the Math Department agar hanya mengambil
dua mata kuliah, yaitu Theory of Probability (mayoritas mahasiswanya
dari India sebanyak lima orang, lainnya saya dan dari Inggris), dan
Real Analysis atau Fungsi Riil (pengikutnya campuran). Keduanya
merupakan ilmu teoretis.
Mata kuliah Theory of Probability sangat sulit buat saya karena
latar belakang saya yang kurang baik dalam bidang itu. Saya terpaksa
belajar tunggang langgang sampai kurang tidur. Syukurnya, di akhir
semester, nilai saya termasuk dua terbaik di kelas. Dosen mata kuliah
tersebut memberitahu Prof. Andrews, ―he is a Ph. D student.‖ Artinya,
saya disarankan agar melanjutkan ke jenjang Ph.D. Dari semua peserta
beasiswa Ford Foundation dalam bidang statistika, baru saya yang
mendapat rekomendasi seperti itu. Di situlah saya ambil pelajaran,

37
bahwa kesulitan itu sebenarnya bukan masalah. Karena, kalau kita
kerja keras, segala sesuatu itu tentu bisa dilakukan. Tidak ada yang
tidak sulit, yang tidak sulit itu malah yang tidak menarik.

Setelah menerima nilai yang bagus, saya pun mendapat apa


yang saya ingin-inginkan, Susi menyusul saya ke Amerika pada Februari
1968. Karena kedatangannya, saya yang tadinya tinggal di asrama lalu
pindah ke apartemen. Setelah tinggal beberapa lama di apartemen,
saya dan Susi memutuskan untuk pindah ke mobile home atau trailer,
semacam gerbong karavan yang bisa ditarik dengan mobil. Lumayan
menghemat biaya. Kedatangan Susi itu membuat hidup semakin santai,
dan berakibat pada prestasi saya jadi pas-pasan.
Gambar 3.1

Istri saya sedang memasak, saat masih tinggal di apartemen


Dokumentasi Pribadi

38
Gambar 3.2

Memotret dengan kamera pertama saya


Dokumentasi pribadi

Pada bulan Agustus 1968, dokter menyatakan bahwa Susi


tengah mengandung. Padahal sewaktu di Bandung, istri saya
didiagnosa mengidap kanker di rahimnya sampai delapan kali harus
melakukan pembestralan sinar-X di rumah sakit. Belakangan, kami
ganti dokter khusus kandungan, dan dia mengatakan bahwa hal itu
tidak benar. ―Ah, nggak ada apa-apa ini. Stop radiasinya, ya‖. Dokter
kandungan itu menyangkal diagnosa dokter sebelumnya. Saat itu, kami
kira Susi sudah tidak bisa lagi mengandung. Rupanya, kami salah. Di
Amerika, Susi dinyatakan hamil. Sungguh suatu surprising good news.
Maka, lahirlah seorang anak laki-laki dan kami namakan Ukur Arianto
Sembiring pada 11 Mei 1969. Kami memanggilnya Uky. Anak yang
sehat dan cukup besar, sampai-sampai waktu dilahirkan, kepalanya
perlu ditarik dan mengakibatkan kepalanya jadi agak bengkak.

39
Gambar 3.3

Saya sekeluarga di rumah mobile home di Bloomington saat mendapat kunjungan


dari istri Roeslan Abdulgani, Duta Besar Indonesia untuk PBB pada 1969
Saya menggendong anak kecil, dan Susi memakai baju lengan panjang putih.
Dokumentasi Pribadi

Gambar 3.4

Kiri ke kanan:
Ibu Sihwati Nawangwulan (istri dari Roeslan Abdulgani), Susi (istri saya), dan tiga
anggota rombongan lainnya
Dokumentasi pribadi

40
Kehidupan di Berkeley

Setelah menyelesaikan studi Matematika di Indiana University


selama setahun lebih, saya akhirnya mendapat gelar Master of Arts
(MA). Setelah lulus, pada Agustus 1969 saya pindah ke Berkeley untuk
belajar statistika di University of California. Saya pindah ke sana karena
pada saat itu, Bloomington bukanlah tempat terbaik untuk belajar
statistika. Salah satu tempat terbaik adalah University of California di
Berkeley, didirikan oleh Prof. Jerzy Neyman. Beliau adalah salah satu
dari dua orang statistikawan terbesar di dunia dan waktu itu masih
aktif. Seorang lagi bernama Ronald Fisher dari Inggris yang
keilmuannya berangkat dari experimental design –salah satu
pengikutnya adalah Andi Hakim Nasution. Sedangkan, Jerzy Neyman
keilmuannya berangkat dari matematika. Lucunya, kedua statistikawan
besar tersebut tidak saling bicara satu sama lain.
Gambar 3.5

Jerzy Neyman
Sumber: commons.wikimedia.org

41
Saya sering bertemu dengan Neyman ketika jam makan siang di
kampus, bersama-sama dengan para dosen dan mahasiswa S3 lainnya.
Prof. Neyman suka makan telur rebus dan roti, dan saya pun begitu.
Kadang-kadang, ada dosen yang mengajak kami, para mahasiswa,
untuk bermain pingpong ataupun catur, maka saya juga ikut main
bersama mereka. Yang saya ingat, hubungan antara mahasiswa dan
dosennya begitu erat, seperti dengan sesama teman saja.

Sewaktu masih di Bloomington, sekira satu bulan setelah istri


datang, seorang teman menganjurkan saya supaya membeli mobil
bekas. Waktu itu saya dan Susi memang tidak punya kendaraan untuk
berpergian. Kami pun memutuskan untuk membeli sebuah mobil
bekas, yaitu Corvair transmisi otomatis dengan mesin di belakang.
Ketika hendak membuat Surat Izin Mengemudi (SIM) di Indiana,
ternyata SIM yang saya pakai di Bandung juga diakui. Jadi, untuk
urusan SIM, saya hanya perlu mengikuti ujian tertulis. SIM Indiana
tidak diakui di California, jadi perlu ujian praktik. Tetapi, hal itu tidak
jadi masalah karena saat pindah ke California, saya sudah mahir
menyetir mobil.

Dengan mobil Corvair itulah, kami sekeluarga mulai perjalanan


panjang dari Bloomington ke Berkeley. Saya, Susi, dan Uky yang baru
berusia tiga bulan, menyusuri jalanan Amerika melewati East Lansing,
ke Chicago, dan mengunjungi Iowa State University –menemui Prof.
Sunardi yang sedang berada di sana. Kami jalan-jalan ke Salt Lake,
mencoba berenang di danau sambil baca koran, karena bisa
mengapung-apung akibat kadar garam yang tinggi. Kami mengunjungi
Tabernacle Choir di gereja Salt Lake City. Melewati Wyoming,
Nevada, barulah sampai di California. Perjalanan itu memakan waktu
dua minggu. Selama perjalanan, kami menginap di camping ground. Di
tempat-tempat itulah kami bisa memasak dan ada kamar mandinya.
Di Berkeley, saya mengikuti kuliah Statistika dan Teori Peluang
dari para ahli terbaik di dunia. Saya lulus qualifying examination, yang

42
artinya boleh lanjut ke jenjang Ph.D. Masalahnya ialah mencari topik
disertasi beserta pembimbingnya. Di Berkeley, saya berkenalan dengan
Prof. Nathan Keyfitz, dan kenal baik dengan Prof. Widjojo Nitisastro,
Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Prof.
Nathan Keyfitz adalah salah seorang demograf terbaik di dunia saat itu
dan sudah beberapa kali datang ke Indonesia dan pernah datang ke
Bandung bersama istrinya dan memberi ceramah dalam bidang
demografi di ITB. Saya mengambil kuliah demografi –yaitu ilmu
mengenai kependudukan, dari Prof. Keyfitz ini dan menjadi asistennya
sejak Juli 1970. Sebagai asisten, tugas saya umumnya adalah melakukan
perhitungan demografi menggunakan komputer. Dia menerbitkan
banyak paper dan menulis beberapa buku, nama saya ada tertulis di
situ.

Department of Statistics lalu memperbolehkan saya mengambil


demografi sebagai topik disertasi, dengan pembimbing Prof. Nathan
Keyfitz (dari Sociology Department). Saya tidak mengambil statistika
sebagai topik disertasi karena menganggap demografi lebih berguna
jika pulang ke Indonesia nanti. Pihak Keyfitz menyarankan agar topik
ini diteliti secara matematis. Dalam proses pengerjaannya kelak, saya
menemukan bahwa topik tersebut ternyata sangat sulit diteliti dan
tidak mungkin diselesaikan secara matematis.

Pergi ke Boston
Pada suatu hari, mobil Corvair yang saya miliki rasa-rasanya
perlu diperbaiki. Jadi, saya pun membawanya ke bengkel. Teknisi yang
menangani mobil saya mengatakan bahwa biaya perbaikannya lebih
mahal dari harga mobil itu sendiri. Artinya, mobil Corvair itu harus
dibuang. Akhirnya, mobil itu pun saya bawa ke junkyard dengan
bantuan teman saya, Sutrisno. Bannya yang masih bagus kami jual
seharga 20 dollar. Pembelinya janji akan mengirim uangnya, tetapi tak
pernah dia kirim sampai sekarang. Begitulah akhir riwayat mobil

43
Corvair tersebut, kami tinggalkan di San Fransisco. Beberapa bulan
setelah itu, saya kemudian membeli mobil bekas kepunyaan mahasiswa
yang baru lulus dan akan meninggalkan daerah itu. Mobil tersebut
bermerk Chevrolet –atau Chevy, mobilnya tua dan agak besar.
Saat itu, Prof. Nathan Keyfitz sudah berusia 59 tahun dan akan
pensiun dari pekerjaannya di University of California. Beliau lalu
ditawari pekerjaan di Harvard University yang mau
mempekerjakannya sampai usia 70 tahun. Maka, Prof. Keyfitz pun
pindah ke Havard University pada tahun 1972. Saya akhirnya ikut
dengan beliau ke Boston mulai Agustus 1972, dengan status masih
menjadi mahasiswa S3 University of California.
Gambar 3.6

Prof. Nathan Keyfitz


Sumber: commons.wikimedia.org

Saya sekeluarga melanjutkan perjalanan ke Boston, dari Selatan


ke Utara dengan mobil Chevy. Hitung-hitung sambil keliling Amerika.
Perjalanan dimulai dari Berkeley ke Los Angeles, melalui Phoenix,
Arizona, Grand Canyon, lalu ke Texas, Louisiana yang masih
menerapkan hukum pemisahan ras kulit berwarna atau segregasi. Saya
44
melihat ada toilet bertuliskan: for white only, yang berarti toilet khusus
orang kulit putih. Perjalanan dilanjutkan ke South dan North Carolina,
lalu ke Washington DC dan tinggal seminggu mengunjungi Population
Division dari US Bureau of the Census. Kami ke Arlington, makam
Kennedy, melewati New York, melihat-lihat dan naik ke Patung
Liberty, dan akhirnya sampai di Boston dan menyewa sebuah
apartemen.

Di Boston, saya bertemu orang-orang Indonesia yang belajar di


Havard University dan di Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Mengikuti Prof. Keyfitz ke Havard, saya disediakan ruang kerja
bersama mahasiswa lain. Saya mengerjakan apa yang bisa dikerjakan
mengenai penelitian disertasi saya, hingga akhirnya menemui jalan
buntu. Setelah melihat masalah yang saya hadapi, Prof. Keyfitz dan
pakar-pakar yang lain ternyata juga tidak mengetahui solusinya. Beliau
mengakui, ―I have told you everything I know about the problem‖.
Dia sudah memberitahu semua yang dia tahu.
Ketika disertasi saya buntu itulah, Uky jatuh sakit. Suatu malam,
hidungnya pendarahan sampai membasahi bantal yang dia tiduri. Saya
dan Susi membawanya ke dokter. Kami kaget karena dokter
mendiagnosis bahwa Uky tidak kuat dengan udara dingin di
Massachusetts. Dia mengatakan, ―Sebaiknya anakmu tinggal di daerah
yang lebih hangat, seperti Florida.‖ Mendengar itu, Susi mengusulkan
supaya kami pulang saja ke Indonesia.
Saya akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan disertasi di
Indonesia dan minta izin untuk pulang. Prof. Keyfitz lalu menyuruh
saya untuk mengunjungi University of California terlebih dahulu
sebelum pulang kampung. Saya dan Susi pun bersepakat agar dia dan
Uky pulang duluan lewat Eropa, sekira Februari 1973. Di perjalanan,
mereka berdua hampir saja tidak bisa singgah di Amsterdam, Belanda,
karena Susi tidak punya visa. Tetapi, karena Uky dianggap warga
Amerika, maka mereka pun akhirnya diizinkan masuk. Sesampainya ke

45
Indonesia, istri dan anak saya tinggal terlebih dahulu di Yogyakarta
sebelum pulang ke Bandung. Sementara itu, saya harus kembali dulu ke
Berkeley untuk menyelesaikan administrasi akademik.

Rencananya, saya akan berangkat ke Berkeley dengan mobil


Chevy. Akan tetapi, beberapa hari sebelum kepergian, terjadi kejadian
yang tidak saya duga. Saya mengalami kecelakaan di sebuah
perempatan di Boston. Waktu itu, lampu lalu lintas sudah berwarna
kuning dan saya kira, masih terburu untuk dilewati. Rupa-rupanya,
dari sebelah kanan, muncul mobil yang melanggar lampu merah.
Belakangan saya ketahui, supir itu sedang melihat seorang perempuan
sehingga dia tidak melihat saya hendak lewat. Mobil saya pun
tertabrak hingga berputar 360o. Pintu belakang sebelah kanan pun
sampai peot, sedangkan mobil si penabrak hancur mesinnya. Karena
tidak ada yang terluka, polisi tidak ikut campur (no fault insurance).
Maka untuk kedua kalinya, mobil harus dibuang. Bedanya, sekarang
saya tinggalkan begitu saja di pinggir jalan, dan plat nomornya saya
ambil agar tidak dicari-cari polisi.
Gambar 3.7

Chevy tua yang kami pakai berkeliling Amerika


Dokumentasi Pribadi

46
Setelah kejadian itu, saya naik bus ke Ottawa, Kanada, untuk
mengunjungi Duta Besar Indonesia saat itu, Jenderal Djamin Ginting.
Kebetulan, kami sama-sama orang Karo. Saya kemudian kembali ke
Amerika Serikat melewati air terjun Niagara, terus naik bis ke
Bloomington untuk melapor kepada Prof. W. Andrews. Saya lanjutkan
naik pesawat ke San Francisco, terus naik helikopter, dan akhirnya
kembali ke Berkeley.

Sesampainya di University of California, ketua departemen di


sana mengatakan kepada saya, ―Kamu penuhi dulu syarat-syarat yang
harus dikerjakan supaya kalau disertasimu selesai, kamu tidak perlu
datang ke sini lagi‖. Artinya, saya bisa menyelesaikan disertasi di
Indonesia tanpa harus ke Amerika lagi. Saya pun lalu memberikan
seminar mengenai penelitian yang buntu tadi, sehingga tidak perlu lagi
mempertahankan bila nantinya para promotor serta penilai sudah
menerima disertasi saya. Barulah pada akhirnya, saya bisa pulang ke
Indonesia.

47
BAGIAN KEEMPAT
KESEDERHANAAN ADALAH KEINDAHAN

Pulang
Jalur pesawat terbang yang saya ambil ternyata melalui Kutub
Utara, dan saya melihat matahari yang tidak pernah terbenam selama
24 jam. Pesawat yang saya tumpangi sempat transit di London,
sampailah saya di Eropa.

Perjalanan pun dimulai dari Amsterdam, dan saya melihat masih


banyak hippies waktu itu. Di sana, saya menjadi tamu Kondar Siahaan,
dosen Matematika ITB yang sedang belajar di Jerman. Lanjut
perjalanan ke Jerman, mengunjungi Kota Aachen, Kota Koeln, naik
kapal di Sungai Rhine sampai Die Lorelei, lalu ke Heidelberg.
Perjalanan dilanjutkan dengan naik kereta api ke Paris, melihat lukisan
Mona Lisa di Museum Louvre, pergi ke Pantheon, Champs-Elysees, dan
lain-lain. Setelah itu, saya ke Roma, bertemu rombongan pengusaha
keturunan Tiongkok dari Medan di bandara. Saya ditawari ikut mereka
naik taksi ke Hotel Sheraton. Hotel itu begitu mewah dan untungnya,
ada kamar murah untuk saya. Saya diajak makan malam ke restoran
mewah, dan diminta menjadi penerjemah. Di situ, ada seorang
penyanyi wanita dan ketua rombongan ingin menciumnya. Dengan
rasa tidak enak, saya minta izin dulu pada suami penyanyi itu, lantas
ketua rombongan mendapat apa yang dia inginkan. Betul-betul
memalukan. Besoknya, saya sendirian berjalan-jalan kaki mengelilingi

48
Vatikan dalam 2 jam. Waktu itu, Vatikan belum begitu ramai. Saya
pun melihat-lihat catacomb di sana.

Dari Roma, perjalanan dilanjutkan terus ke Kuala Lumpur,


Malaysia, dan saya menjadi tamu Arifin, seorang kolega selama di
Berkeley yang diterima bekerja di sana. Setelah itu saya sempatkan diri
pergi ke Medan, pulang kampung dulu, barulah ke Jakarta untuk
kemudian bertemu dengan keluarga yang sudah lama menunggu.

Membangun Rumah

Pada tanggal 15 Juli 1973, saya kembali ke ITB. Waktu itu, saya
menjadi dosen dengan pangkat paling rendah karena sebelumnya
pernah berhenti bekerja. Semuanya harus diulang dari awal lagi. Ketua
jurusan lalu memberi saya tugas sebagai kepala perpustakaan. Karena
sistem klasifikasi buku masih menggunakan yang kuno, maka dengan
persetujuan pimpinan, sistem saya ubah mengikuti sistem Dewey.
Perubahan ini membuat saya cukup sibuk, dan untungnya, ada
bantuan dari Perpustakaan Pusat ITB.

Saya ingat betul pesan Prof. Moedomo ketika akan berangkat


ke Amerika Serikat, ―Pulang dari Amerika nanti, jangan minta rumah
dari ITB, ya.‖ Karena belum punya tempat tinggal, saya pun menyewa
sebuah rumah bersama seorang teman lama. Kebetulan, teman Susi
sewaktu tinggal di asrama ITB menyewa rumah di Dago Timur. Jadi,
keluarga saya dan keluarga teman ini tinggal serumah dan membagi
dua biaya sewanya. Kami tinggal di sana selama dua tahun, sebelum
akhirnya membeli tanah di daerah Dago Pojok.

Pada tahun 1974, karena takut kena inflasi, tabungan yang


dibawa dari Amerika dibelikan tanah bekas sawah di Dago Pojok
seharga satu juta rupiah, dengan luas 1000 m2. Waktu itu, kami belum
mampu membangun rumah di atas tanah tersebut, sehingga harus
mengontrak rumah lagi di Jl. Ambon, lalu pindah lagi ke Jl. Lombok.

49
Di sela-sela waktu tersebut, tepatnya ketika masih tinggal di
Dago Timur, Susi rupanya punya keinginan untuk bekerja sebagai guru.
―Bosan di rumah‖, katanya. Saya coba yakinkan dia agar selesaikan
dulu studi S1-nya, baru nanti cari pekerjaan yang lebih baik. Susi
kemudian kembali ke Matematika ITB, melanjutkan studinya yang
tertunda. Pada masa itulah, Susi mengandung anak kedua. Susi pun
berkuliah dalam keadaan hamil, dan ternyata cukup merepotkan dia.
Syukurnya, lahirlah anak kedua kami. Seorang anak perempuan yang
sehat lahir di Rumah Sakit Advent pada 20 Juli 1974. Kami
memberinya nama Rudangta Arianti Sembiring, panggilannya Anti.
Setelah kelahiran Anti, kami memutuskan, dua anak saja sudah cukup.
Gambar 4.1

Dari kiri ke kanan: Istri, Anti, Uky, dan saya pada tahun 1982
Dokumentasi Pribadi

Beberapa kali, keluarga kami pindah rumah kontrakan dan


sedikit demi sedikit, keadaan ekonomi pun mulai membaik. Dengan
50
hasil jerih payah kami, akhirnya dimulailah proses pembangunan
rumah di tanah bekas sawah yang sudah dibeli. Saya sering ikut
membantu tukang. Malahan, sebagian dari tombol listriknya, saya
yang mengerjakan demi menghemat biaya. Proses pembangunan
rumah saya lakukan bersamaan dengan pengerjaan disertasi yang
tertunda. Setelah rumah mulai terlihat layak ditempati, kami sekeluarga
pun pindah ke Dago Pojok, dan menempatinya hingga hari ini.

Bekerja di BP3K

Sewaktu baru pulang dari Amerika Serikat, kebetulan ada teman


yang mengajak saya membantu pekerjaannya di Badan Penelitian,
Pengembangan, Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K, nantinya berubah
menjadi Balitbang P&K). ITB mengizinkan saya mengambil pekerjaan
tambahan di BP3K tersebut, maka saya mulai bekerja sejak tahun 1974.
Saya diterima di bagian penelitian dan harus ke Jakarta empat hari
dalam seminggu. Setelah beberapa tahun, jam kerja saya berkurang
menjadi tiga hari seminggu, lalu dua hari, sampai saya mengundurkan
diri pada tahun 1982. Mula-mula, saya berkantor di Jl. Cikini Raya,
kemudian pindah ke Jl. Gatot Subroto, dan akhirnya ke Senayan.

Penelitian di BP3K banyak menggunakan komputer besar yang


disewa dari Pertamina –sebelumnya, menggunakan komputer milik
Pemerintah DKI). Kesempatan ini saya pergunakan untuk mulai
membuat percobaan atau simulasi mengenai disertasi saya. Persoalan
utama dalam disertasi tersebut ialah tidak adanya solusi dari segi
matematika, jadi harus mencari cara yang lain. Pada tahun 1975, saya
mendapat ide memecahkan persoalannya secara numerik. Ide itu saya
kemukakan kepada Prof. Keyfitz dan mendapat dorongan darinya.
The Ford Foundation Jakarta ikut mendukung dengan bantuan dana,
begitu pula dengan ITB. Ide untuk menyelesaikan disertasi secara
numerik pun dikabulkan dengan batas waktu Desember 1977. Isi surat
dari Dekan Pascasarjana University of California waktu itu, ―normal

51
time for Ph.D (after qualifying exam) is 2 years. In my case, deadline:
Dec. 31, 1977.‖ Artinya, saya diberi waktu dua tahun untuk
menyelesaikan disertasi.

Secara formal, disertasi sudah diseminarkan sebelum pulang.


Jadi, hasil penelitian itu nantinya tidak perlu lagi ―dipertahankan‖,
cukup dikirim dan ditandatangani oleh promotor dan co-promotors.

Dalam proses pengerjaannya, sudah beberapa kali saya


mencoba model fungsi pada masalah dalam disertasi itu, namun
berakhir mengecewakan. Saya pun mulai merasa tertekan di dalam
diri. Selama tiga bulan lamanya, saya seperti orang demam. Seperti
kerasukan. Sampai-sampai, mimpi pun mengenai pencarian model
untuk menjawab persoalan dalam disertasi tersebut. Pada suatu ketika,
saya mendapat sebuah ide yang datang tiba-tiba untuk mencobakan
salah satu model. Rasanya seperti mendapat ilham. Tanpa menunggu
lama, saya pun mencoba model tersebut, dan terbukti sangat baik.
―Eureka!‖, mungkin begitu yang dirasakan oleh Archimedes. Saya
merasa lega dan senang luar biasa.

Hasil dari mendapatkan ilham itu tidak saya sia-siakan. Saya


curahkan segala kemampuan saya untuk menyelesaikan disertasi dari
model tersebut selama satu tahun penuh. Selama setahun itu, proses
pengerjaan disertasi bukannya tanpa hambatan. Ada rasa bosan yang
seringkali singgah ketika mengerjakan detil-detil persoalan. Namun,
saya tetap maju sampai akhirnya disertasi dapat diselesaikan. Secara
formal, ijazah Ph.D pun saya peroleh pada tahun 1978 melalui kiriman
pos. Semua biaya ditanggung oleh The Ford Foundation Jakarta.
Selesailah satu tahap dalam kehidupan, dilanjutkan dengan
permasalahan yang lain lagi.

Setelah mendapat gelar Ph.D, saya menjadi lebih banyak


mendapat proyek-proyek seperti penelitian, dan beberapa kunjungan
menyangkut bidang yang saya kuasai. Ada dua penelitian BP3K yang
melibatkan saya di dalamnya, yaitu mengenai prestasi murid di seluruh

52
Indonesia: National Assessment of the Quality of Indonesian
Education: Grade 9 and Grade 12.
BP3K banyak memberi saya pengalaman seperti bertemu para
ahli dan peneliti dalam bidang pendidikan, baik dari dalam maupun
luar negeri. Pada waktu itu, rapat-rapat di BP3K sering diadakan di
hotel-hotel di dalam dan luar Jakarta, sehingga hampir semua hotel di
sekitar Puncak, Cipanas, Cisarua, pernah saya kunjungi. Perjalanan
Bandung-Jakarta biasanya menggunakan kereta-api. Dalam suatu
perjalanan pulang Jakarta-Bandung tahun 1980 saya numpang mobil
VW sedan Dr. Ibrahim yang juga bekerja di BP3K dan tinggal di
Bandung. Di suatu tikungan di daerah Cipatat datang truk dengan
kecepatan tinggi. Untuk menghindari tabrakan supir VW yang kami
tumpangi mengemudikan mobilnya terlalu kekiri dan jatuh ke jurang.
Saya tertidur waktu itu dan baru sadar sewaktu mobil itu jatuh bebas
sejauh 5m kemudian berputar sekali dan baru berhenti ditahan oleh
pohon kira-kira 10 m di bawah jalan. Ada empat orang di mobil itu,
saya duduk di belakang. Tidak ada yang luka dan mobilpun tidak
rusak. Mobil ditarik ke atas dengan derek.

Saya sempat membantu perhitungan statistik penelitian disertasi


Sekretaris BP3K yang menjabat pada saat itu, Pak Moegiadi di IKIP
Bandung (sekarang UPI). Sewaktu beliau sidang promosi doktor, saya
jadi ikut diuji bersamanya. Kami diuji oleh seorang ahli statistika dari
Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Andi Hakim Nasution.
Untuk menambah pengetahuan dalam penelitian pendidikan,
saya ditugaskan meninjau beberapa pusat penelitian pendidikan di luar
negeri. Mulai dari Jepang, Meguroku, Tokyo, seminggu, Denver,
Colorado mengenai national test seminggu, University of Michigan di
Ann Arbor mengenai sampling selama seminggu.

Sewaktu di Tokyo 16-20 September 1980 dalam mengikuti


kursus mengenai pendidikan untuk orang BP3K yang diadakan di
Tokyo atas biaya Jepang dengan penatar orang Inggris dan Jerman,

53
saya baru sadar bahwa biaya perjalanan saya dalam bentuk travel
check tertinggal di kantor di Senayan. Dengan menggunakan tilpon
kantor di Jepang saya interlokal agar travel check tersebut dikirim ke
alamat di Denver, Colorado. Saya terpaksa pinjam uang teman
sekantor yang ikut pelatihan di Tokyo untuk biaya ke Amerika. Dari
Tokyo mengunjungi Berkeley, kemudian pusat pengujian pendidikan
di Denver. Ternyata travel check sudah dibawa rekan sekantor ke
California dan janji akan mengirimnya ke Ann Arbor. Michigan, Ann
Arbor, selama seminggu jadi tamu bagian statistik khusus untuk
sampling. Beruntung, travel check tiba lewat pos.
Setelah itu, saya ke Amerika Serikat, mengunjungi dua tempat
yaitu Kota Denver, Colorado, tugasnya mengenai national test, dan ke
University of Michigan di Kota Ann Arbor mengenai sampling, masing-
masing selama satu minggu. Setelah berkunjung ke Amerika, saya
ditugaskan ke University of Stockholm di Swedia selama tiga minggu,
mulai tanggal 3 sampai 25 Oktober 1980. Tugasnya mengenai
organisasi pendidikan secara umum dengan tema: Institute for the
Study of International Problems in Education. Tamu di acara itu antara
lain Dr. Noonan dan direktur institut tersebut, Prof. Torsten Husen,
yang pada waktu itu menjadi Direktur International Association for the
Evaluation of Educational Achievement (IEA). Di sini saya belajar path
analysis yang kemudian menjadi paper untuk dipresentasikan di
konferensi matematika di Surabaya.
Setelah menyelesaikan tugas-tugas dari BP3K tersebut, saya
kemudian berkunjung ke Wina, Austria, pada tanggal 25 sampai 27
Oktober. Saya menjadi tamu seorang kerabat bernama Ratno yang
waktu itu menjadi perwakilan Indonesia di Atomic Energy Commision.
Saya kemudian terbang ke Athena, Yunani, pada tanggal 27 sampai 29
Oktober, dan terakhir, pulang kampung ke Medan pada tanggal 30
Oktober 1980.
Ada sebuah cerita menarik sewaktu saya bekerja di BP3K,
terjadi sekira tahun 1980-an. Untuk pulang dan pergi bekerja, saya
54
biasanya naik kereta api Jakarta-Bandung. Suatu hari, saya dan rekan-
rekan sedang beristirahat di asrama BP3K di Jakarta. Seorang rekan
bernama Ibrahim menawari saya pulang ke Bandung naik mobilnya,
sebuah sedan Volkswagen –VW. Ibrahim ini adalah pegawai BP3K
bagian kurikulum dari IKIP Bandung. Karena cukup mengenalnya dan
kami pun satu tujuan, saya sepakat untuk menumpang mobilnya.
Zaman dulu, tidak ada jalan tol. Kami harus melalui jalan yang
menanjak, menurun, dan berlika-liku. Ketika saya tertidur di bangku
belakang, tiba-tiba Ibrahim kehilangan kendali, dan mobil VW kami
jatuh bebas ke jurang! Kami jatuh ke jurang sedalamnya 5 meter
sampai mobil terguling-guling. Saya baru terbangun ketika mobil itu
sedang terguling-guling. Beruntung, ada pohon kemiri yang
menghentikan mobil kami. Kalau tidak ada pohon itu, barangkali
mobil kami sudah menabrak rumah warga yang ada di bawah jurang.
Sewaktu berhenti, posisi mobil yang saya tumpangi sudah kembali
normal. Mobil pun diderek naik kembali ke jalan, dan dari situlah saya
baru menyadari bahwa tidak ada satupun dari kami yang terluka.
Body mobil VW yang jatuh tadi pun masih utuh, dan semua dalam
keadaan baik! Itu membuktikan kalau VW adalah mobil yang hebat.
Kami pun pulang dengan selamat.

Seiring berjalannya waktu, saya mendapat banyak pekerjaan


dari luar BP3K yang lebih menarik hati saya dan bisa dilakukan di
kampus ITB. Lagi pula, BP3K sepertinya sudah tidak lagi memerlukan
saya seperti dahulu. Jadi, saya berpikir, untuk apa repot pulang–pergi
ke Jakarta lagi? Sempat saya membantu perhitungan statistik penelitian
disertasi Sekretaris BP3K yang menjabat pada saat itu, Pak Moegiadi di
IKIP Bandung (sekarang UPI). Sewaktu beliau sidang promosi doktor,
saya bertemu dengan seorang ahli statistika dari Institut Pertanian
Bogor (IPB), Prof. Andi Hakim Nasution. Seperti yang saya sebut
sebelumnya, Andi Hakim Nasution ini adalah pengikut statistikawan
besar dunia, Ronald Fisher yang saling tidak berbicara dengan
statistikawan besar lainnya, Jerzy Neyman yang merupakan guru saya

55
di University of California. Begitulah pengalaman-pengalaman menarik
selama bekerja di sana. Pada tahun 1982, akhirnya saya pun minta
berhenti dari kantor BP3K.

Yayasan Pembina Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA)

Pada November 1978, Yayasan Pembina Matematika dan Ilmu


Pengetahuan Alam (PMIPA) dibentuk oleh beberapa dosen
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Saya ditunjuk jadi sekretaris
dan Pak Bambang Hidayat sebagai ketua. Yayasan ini memberikan
hadiah uang pada lulusan terbaik FMIPA tiap tahun. Sudah sekitar 10
orang yang telah mendapat hadiah. Dana kami peroleh dari
sumbangan mahasiswa yang belajar di luar negeri, termasuk dari saya
waktu dulu studi di AS, juga dari harian KOMPAS, PT Gudang Garam,
dan lain-lain. Pada suatu ketika, rektor ITB pada waktu itu
mencampuri calon peserta yang akan mendapat hadiah, berlainan
dengan yang telah disepakati oleh rapat anggota sebelumnya. Saya
naik pitam, dan membentak rektor di depan umum, kemudian minta
berhenti sebagai sekretaris. Sejak saya berhenti, tidak ada lagi yang
melanjutkan, dan akhirnya kegiatan yayasan mati, hanya hidup
beberapa tahun. Untung saya tidak dipecat oleh rektor.

Surat Protes kepada Menteri

Pada Desember 1987, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,


Prof. Fuad Hasan, menerbitkan peraturan mengenai angka kredit bagi
pengajar perguruan tinggi dan metode ilmiah penelitian sebagai
berikut:

1. SK Menpan No. 59/1987 menentukan bahwa karya ilmiah


dinilai berdasarkan ketebalan.

56
2. Surat Edaran Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN tahun
1987 tentang metode ilmiah yang mengacu ke Akta V mengenai
penelitian yang harus menggunakan pengujian hipotesis.

Jadi, kualitas paper itu ditentukan dari tebalnya halaman.


Semakin tebal halaman, semakin tinggi nilainya. Di matematika
berbeda. Jika ada satu hal yang bisa dijelaskan dalam satu kalimat,
sebaiknyalah dinyatakan dalam satu kalimat. Mengenai butir satu,
kualitas diukur dengan kuantitas, saya kemukakan bahwa dalam
matematika, kesederhanaan merupakan keindahan.
Dalam matematika, salah satu keindahannya ialah kalau bisa
menyatakan sesuatu dengan pendek dan penuh. Contohnya ada
disertasi Ph.D di University of California Berkeley yang hanya satu
halaman. Disertasi tersebut hanya berisi ―Menurut ini di jurnal ini,
menurut itu di jurnal itu, maka kesimpulannya begini.‖, namun sudah
lima tahun para peneliti matematika mencoba permasalahan tersebut,
dan tak ada yang berhasil memecahkannya kecuali si pembuat disertasi
satu halaman itu. Begitu terkenalnya disertasi itu. Intinya, peraturan
yang keluar pada saat itu sangat bertentangan dengan prinsip
matematika.

Mengenai butir yang kedua, dalam matematika tidak ada


pengujian hipotesis atau survey pengumpulan data. Untuk naik dari
golongan III ke IV, harus lulus Akta V dan saya mengalaminya. Saya
pun harus belajar statistika dari penulis bahan ajar statistika yang
pendidikan statistikanya lebih rendah dari saya. Dalam Akta V,
penelitian harus mengumpulkan data. Matematika berbeda dengan
sains, tidak ada pengujian hipotesis.

Saya lihat, teman-teman saya di bidang Matematika tidak ada


yang mau angkat bicara. Jadi, saya tulis surat langsung ke menteri.
Surat protes itu, pertama saya kirim lewat Dekan FMIPA ITB, dan
kabarnya berhenti di kantor rektor ITB. Pada saat itu, Prof. Bambang
57
Hidayat, waktu itu anggota AIP, mendengar bahwa saya lagi ―marah-
marah‖ karena keputusan Mendikbud tersebut. Dia pun minta salinan
surat protes yang terhenti di kantor rektor tadi, ‖Mana fotokopi
suratmu itu?‖. Prof. Bambang Hidayat bersama anggota AIP lainnya
membawa surat itu ke pihak kementerian. Tidak lama kemudian,
kedua keputusan itu pun ditarik oleh Menteri.

58
BAGIAN KELIMA
MATEMATIKA DAN PMRI

Tim Basic Sciences (BS) LPTK


Gambar 5.1

Dokumentasi pribadi

Pada 25 Mei 1987, DIKTI membentuk Tim Basic Science atau


Tim BS. Tim ini bertugas menaikkan kemampuan dalam bidang studi
para dosen PMIPA di semua LPTK Negeri di Indonesia yang berjumlah
30 institusi. Tugas utamanya ialah membuat kurikulum PMIPA LPTK,
mempersiapkan pelatihan singkat di dalam dan luar negeri,

59
menyiapkan program pra-S2 di UGM dan ITB bagi dosen muda
PMIPA, penulisan bahan ajar PMIPA, dan menetapkan lima calon
Growth Center PMIPA LPTK sebagai pengganti Tim BS LPTK. Hal yang
pertama kami kerjakan ialah mengubah kurikulum PMIPA, studi S2, –
termasuk pra-S2, di ITB atau UGM bagi para dosen. Karena banyak
dosen mereka yang belum siap mengikuti S2, maka disiapkan juga
pelatihan pra-S2 selama setahun di ITB atau UGM. Bagi yang mampu,
diberi kesempatan studi lanjut S3 di dalam atau luar negeri.

Tim Basic Sciences LPTK beranggotakan sembilan orang, empat


dari ITB (Prof. Susanto Imam Rahayu, Prof. Estiti Bambang Hidayat,
Dr. Sutrisno, dan saya) serta lima orang dari IKIP Bandung (Prof. Ratna
Wilis Dahar, Dr. Utari Sumarmo, Dr. Ahmad Hinduan, Dr. Dadi
Setiadi, dan Dr. R. Ibrahim). Saya ditunjuk jadi ketua walaupun saat itu
bukan yang paling senior pangkatnya, dengan wakil. Dr. A. Hinduan
dari IKIP Bandung.

Di sini, Kerjasama Matematika (KerMa) Indonesia-Belanda


banyak terlibat, khususnya dalam matematika, karena Belanda
menjanjikan untuk dua mahasiswa yang dibiayai Indonesia, satu akan
dibiayai Belanda. Jadi, biayanya lebih murah dibandingkan dengan ke
negara lain. Ada sekitar 30 orang yang mendapat gelar doktor dari
Belanda, tidak semua dari LPTK, karena untuk yang ketiga saya bisa
kirim dari ITB, atau dari universitas lain. Tim Basic Science ini banyak
membantu dalam mewujudkan Kerjasama Matematika Indonesia–
Belanda dan lahirnya PMRI.

Satu hasil yang tidak diharapkan ialah semua IKIP di Indonesia


berubah menjadi universitas, dengan modal telah cukup banyak dosen
di bidang non-kependidikan, seperti lulusan luar negeri dalam bidang
MIPA. Berkat tim ini pula, saya banyak terlibat dalam proyek
Canadian International Development Agency (CIDA) Kanada dalam
proyek Eastern Indonesian Universities Development Project (EIUDP)
yang meliputi semua universitas di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku

60
dan Irian. Semua universitas negeri di Indonesia sudah saya kunjungi,
termasuk Dili, Timor Leste, kecuali Universitas Jember.

Berikut adalah pengalaman saya bekerja sebagai konsultan EIUDP:

1. Workshop on Science Teaching, dikontrak CIDA, Canada bersama


beberapa dosen dari Simon Fraser University, Kanada, selama dua
minggu, Mei 1988 di Ambon dan Jayapura.

2. Workshop with FKIP UNCEN, Jayapura, selama 3 minggu Januari


1989 dengan beberapa dosen dari Simon Fraser University (SFU).

3. Bali Meeting on Science Teaching Upgrading Models, Maret 1989,


peserta dua orang Indonesia dan empat orang Kanada dari SFU.
4. Assessment of Workshop di Universitas Cendrawasih, 1 Maret –
8April 1989

5. Lesson Learned Seminar 18-19 Feb 2002 di Hotel Century Jakarta,


end of the CIDA project 1987-2002
6. Hickling Corporation, Kanada, sebagai Associate Consultant pada:

 Mid-Term Evaluation of Eastern Island University Development


Project – Phase I, Indonesia, Proyek CIDA Kanada, 1991. Ini
pengalaman pertama saya bekerja dengan perusahaan asing.

 Mid-Term Evaluation IAIN Institutional Development Project,


Proyek CIDA Kanada, 1992

 Education Finance Study, 1996–1997. Proyek Bappenas dibiayai


oleh ADB. Bekerja empat hari seminggu di Jakarta dan
mengunjungi beberapa sekolah di Indonesia. Hickling dikontrak
oleh proyek Bank Dunia untuk menaksir biaya sekolah.

Karena banyak berpergian, maka banyak waktu menunggu di


airport. Waktu luang itu saya gunakan untuk menerjemahkan buku
Walpole & Myers, serta buku Dudewicz & Mishra.
Akhirnya, tim Basic Science berakhir sekira tahun 2000.

61
Pendidikan Aktuaria ITB

PT Asuransi Jiwasraya membuat kerjasama dengan ITB untuk


melatih karyawannya dalam bidang aktuaria. Pelaksanaannya
diserahkan ke Departemen Matematika. Pelatihan kemudian dirancang
untuk tiga taraf: A, B, dan C (setara D3), masing-masing selama satu
semester. Untuk itu, Jiwasraya mendirikan gedung khusus di kampus
dan tenaga aktuarianya adalah Prof. Sunardi dan saya. Untuk urusan
administrasi, saya kemudian merekrut Handoko. Pelatihan ini
berlangsung sampai 1986. Cukup banyak karyawan Jiwasraya yang
telah dilatih, termasuk dari Departemen Keuangan, Bumiputra, PT
Reasuransi Umum, dan beberapa perusahaan asuransi swasta. Tidak
lama sesudah pelatihan, hampir di setiap cabang perusahaan ada
alumninya.

Setelah kegiatan ini berakhir pada tahun 1986, Badan


Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPLK) Departemen Keuangan
melanjutkannya menjadi Pendidikan D3 di Jakarta sejak 1987, dan
pembuatan kurikulumnya dipercayakan ke ITB. Saya dan Prof. Sunardi
masih terlibat sebagai dosen selama sekitar dua tahun.

Tahun 1998, ITB memutuskan membuka program S2 Aktuaria,


dan saya ditunjuk sebagai ketua program. Ini adalah program
pendidikan aktuaria yang pertama di Indonesia. Peminatnya cukup
banyak karena kebutuhan akan tenaga aktuaris sangat besar. Tahun
2000, program ini diakreditasi dan hasilnya Unggul. Tahun 2000,
dibuatlah kerjasama dengan University of Groningen (RUG) Belanda.
Kerjasama ini adalah hasil rintisan saya dengan memanfaatkan
Kerjasama Matematika (KerMa) dengan Belanda yang memungkinkan
saya menemukan orang-orang yang cocok diajak bekerjasama di
Belanda. Kegiatan ini sering saya kerjakan dengan mengeluarkan biaya
sendiri, khususnya untuk perjalanan di Belanda. Program double
degree ini disebut Integrated International Master Programme (IIMP)
in Actuarial Science between ITB and RUG. Soft launching diadakan

62
pada 4 Mei di Erasmus Huis, Jakarta, dihadiri oleh Rektor ITB dan
Dirjen DIKTI, Prof. Satryo Sumantri beserta Dekan Pascasarjana ITB.
Program ini juga meliputi Chemical Engineering. Sayang, program ini
hanya bertahan dua angkatan dengan jumlah hanya 15 lulusan.
Sebagian disebabkan karena krisis ekonomi di sekitar tahun 2001.

Kedatangan para ahli dari RUG juga dimanfaatkan oleh PAI


(Persatuan Aktuaris Indonesia) untuk diskusi dan seminar. Perlu
diketahui, bahwa banyak anggota PAI lulusan Matematika ITB. Juga
ujian masuk profesi PAI sering dipercayakan ke ITB. Tahun 2001, atas
usaha PAI, dengan dana ADB, diadakan proyek: Financial Governance
and Social Security Reform yang penanganannya dipercayakan pada
Claude Pichet dari Kanada, Suryadi Slamet dari UI, dan saya sendiri
dari ITB. Kami ditugasi untuk merevisi ujian masuk PAI,
merekomendasikan sistem baru, mervisi kurikulum aktuaria di UI dan
ITB dan mengadakan workshop dengan dosen UI, IPB, ITB, dan UGM
bersama PAI. Sejak itu pembuatan ujian masuk PAI dipercayakan ke
ITB sampai dengan 2003.

Atas rekomendasi PAI saya diundang ke Manila oleh IAA


(International Actuarial Association) untuk mengikuti seminar Third
International Provessional Seminar of Leaders on the Actuarial
Profession and Actuarial Education in Asia and the Pasific, pada tanggal
10–12 Oktober 2003. Saya juga diundang ke Bali menghadiri Fourth
International Provessional Seminar on Leaders of the Actuarial
Profession and Actuarial Education in Asia and the Pasific, pada tanggal
16–17 September 2005.

Karena pensiun, terhitung mulai 1 Januari 2003, saya berhenti


dari Program Aktuaria ITB.

63
P4M ITB

Rektor ITB membentuk P4M (Pusat Penelitian, Pengembangan


dan Penerapan Matematika), 5 Juni 1994, dengan ketua Prof. Ansyar,
saya sebagai wakil ketua dan sekretaris Maman Djauhari. Tujuannya
ialah untuk mendorong penggunaan matematika dalam industri, baik
melalui penelitian maupun kerjasama dengan pihak industri. Karena
kami belum punya pengalaman dalam bidang ini, maka kami berusaha
belajar dari Australia. Untuk itu, kami (ketua dan wakilnya) mengikuti
kegiatan MISG (Mathematics and Industry Study Group) yang
diadakan tiap tahun dan pada tahun 1996 diadakan dari 27 Januari
sampai dengan 3 Februari di Melbourne. Dalam kegiatan ini, beberapa
problem dari industri dipilih untuk disajikan pada para matematikawan
dalam 2 hari, untuk kemudian para matematikawan berusaha mencari
solusinya dalam 3 hari untuk dipresentasikan pada hari terakhir.
Gagasan ini kemudian kami cobakan di Indonesia dengan mengundang
problem dari industri ke ITB. Kegiatan ini telah dikerjakan beberapa
kali. Kerjasama dengan Belanda dalam matematika juga dimanfaatkan
untuk mendorong kegiatan. Salah satu di antaranya ialah dengan
mengadakan Research Workshop Mathematics in Industry, 5 Agustus
sampai dengan 27 September 1996. Persoalan utamanya ialah terlalu
sedikit matematikawan yang terlibat. Dengan Pertamina, kegiatan ini
berlangsung cukup lama.

P4M, dalam prakteknya, lebih banyak menangani kegiatan


Kerjasama Matematika Indonesia-Belanda (KerMa Indo-Belanda).

KerMa (Kerjasama Matematika) Indonesia-Belanda

Pada Juli 1990, Profesor E. van Groesen (Brenny) datang ke


Jurusan Matematika ITB menjajaki kemungkinan kerjasama
matematika antara ITB dengan Universiteit Twente (UT) dari Kota
Enschede, Belanda. Setahun sebelumnya, Rektor ITB, Prof. Wiranto
Arismunandar dan Rektor Magnificus UT, Prof. Jos de Smit telah
64
menandatangani MoU kerjasama antara kedua institusi. Saya dilibatkan
dalam pertemuan sebagai mantan Ketua Jurusan dan Ketua Tim BS
LPTK (ketua jurusan Nyoman Susila). Kedatangan Brenny sudah
diberitahukan sebelumnya oleh Prof. Jos de Smit (waktu itu saya masih
jadi ketua). Sebagai awal percobaan kerjasama, direncanakan
mengirim Leo Wiryanto sebagai persiapan program S3 ke UT selama
sepuluh bulan, mulai sejak Februari sampai November 1991, dengan
dana dari Kedutaan Belanda yang pada waktu itu mudah tersedia.
Kemudian, Brenny akan ke ITB mulai pertengahan Juni 1991 selama
tujuh minggu dan Frits van Beckum menyusul selama enam minggu.
ITB menyambut baik kerjasama ini, tetapi kelihatannya cuma saya
yang mau menanganinya (tidak ada honornya).
Gambar 5.2

Saya disambut di Universiteit Twente (UT), Enschede, Belanda


Berdiri paling depan, dari kiri ke kanan:
E. van Groesen (Brenny), Presiden UT, saya, Rektor Magnificus UT, dan paling kanan
saya lupa. Pria berkumis berdiri di kanan belakang: Frits van Beckum
Dokumentasi Pribadi

Pada mulanya, saya tidak menganggap kerjasama ini secara


serius, karena tidak melihat keuntungan bagi Belanda. Pada perjalanan

65
pulang dari Columbus, Ohio, pada Maret 1991, setelah mengikuti
program Senior staff di Ohio State University dan singgah seminggu di
Simon Fraser University Canada, saya singgah di Enschede (24–30
Maret) untuk membahas kelanjutan kerjasama. Di luar dugaan, saya
disambut hangat oleh pimpinan UT, jamuan makan siang, dihadiri oleh
Presiden Universitas dan Rektor Magnificus. Kunjungan saya masuk
Koran UT Nieuws, halaman 3 dengan judul: Samenwerking TW met
Bandung.
Kerjasama direncanakan untuk periode 1991–1995 dan menurut
rektor, Prof. Jos de Smit, UT telah menganggarkan dana sebesar
10.000 gulden. UT sangat tertarik membuat program S2 untuk
mahasiswa Indonesia, dengan harapan sebagian di antaranya akan
melanjutkan ke S3. Rupanya, profesor di Belanda kekurangan
mahasiswa, itulah motif utama UT melakukan kerjasama. Waktu itu,
dana dari pihak ITB berasal dari Pusat Antar Universitas (PAU).

Tanggal 1 Juni 1991, secara resmi dapat dianggap sebagai awal


KerMa (Kerjasama Matematika Indonesia-Belanda), dan berakhir pada
tahun 2005 hingga nantinya diperpanjang dan diperluas lagi.

Dalam prosesnya, Brenny ternyata kurang cocok dengan Leo


Wiryanto. Masalahnya, Brenny orangnya agak kasar dan kalau ada hal
yang tidak cocok dengan dirinya, dia akan ngomel. Sedangkan, Leo
orangnya agak kurang terbuka, seperti bila menemukan masalah, dia
tidak akan mengatakan pada siapapun dan menghadapinya sendirian.
Saya pun mengusulkan agar Leo diganti dengan Sri Redjeki (sekarang
menjadi Guru Besar), dan Brenny pun cocok dengannya.

Suatu saat, Frits van Beckum mengunjungi ITB dan ternyata


menggunakan kunjungannya itu untuk menyelesaikan disertasinya. Dia
mempertahankan disertasinya pada tanggal 17 November 1995 dengan
promotor Prof. Brenny van Groesen. Saya diundang khusus
menghadiri promosi itu. Dalam resepsinya, saya dengan beberapa

66
mahasiswa Indonesia di sana menyanyikan lagu Batak berjudul Lisoi-
lisoi.
Untuk menunjukkan kesungguhannya, saya diundang untuk
berkunjung dua bulan di UT. Saya pun tiba di Kota Enschede pada
tanggal 30 November 1993, bersama dengan Pontas Hutagalung.
Waktu itu, dia datang dengan biaya sendiri dan tinggal seminggu
dengan saya di Campus Laan. Susi datang sebelum Natal, dan pada
akhir kunjungannya, kami mengunjungi Berlin untuk melihat-lihat
tembok Berlin. Kami mengunjungi Heidelberg dan kemudian hendak
ke Itali, namun hanya sampai di Chiasso. Rupanya, visa kami sudah tak
berlaku lagi sehingga disuruh kembali ke Swiss, dan kami pun
menginap semalam di tepi Danau Lugano. Kami melanjutkan
perjalanan ke Geneva, lalu ke Paris lihat museum, makam Napoleon,
lalu kembali ke Amsterdam dan menyempatkan diri berkunjung ke
rumah seorang rekan bernama Ed van den Berg di dekat pantai Barat.
Ed van den Berg ini lama tinggal di Salatiga untuk membantu
Universitas Kristen Satya Wacana. Dari Amsterdam, kami pulang ke
Indonesia.

J. Simonis dan AHP van der Burgh dari TUDelft meminta saya
menemani mereka mengunjungi beberapa perguruan tinggi di Jawa
pada tanggal 5–17 April 1991. Dari kunjungan tersebut, kami membuat
usulan kerjasama dengan Belanda dalam matematika selama lima
tahun, dan baru bisa dimulai 1995. Kegiatan ini sebagai implementasi
dari MoU antara kedua pemerintah pada Oktober 1992.

Kegiatan KerMa kemudian terganggu selama lebih setahun


karena hubungan kedua negara memburuk. Ini diakibatkan oleh
pernyataan seorang menteri Belanda yang tidak disenangi Soeharto,
yang dikenal sebagai Peristiwa Pronk. Pada tahun 1991, Menteri
Kooperasi Pembangunan Belanda yang juga Ketua IGGI
(Intergovernmental Group on Indonesia –sekarang telah berubah nama
menjadi Consultative Group on Indonesia), Jan Pronk, membuat

67
pernyataan yang tidak mengenakkan mengenai insiden di Timor
Timur. Pemerintah RI kemudian mengancam akan menolak bantuan
dari IGGI, selama organisasi tersebut masih dipimpin oleh Belanda.
Pencekalan ini terjadi pada tahun 1992. Peristiwa tersebut membuat
hubungan kerjasama Belanda-Indonesia dalam bidang matematika jadi
seperti hampir putus semangat, dan hubungan mencapai titik nadir
sekitar 1994. Baru pada tahun 1995, kerjasama ini dapat dilanjutkan
lagi.

KerMa kemudian dirancang untuk dua tahap: Fase I, 1995–


1999, dan Fase II, 2000–2005. Fase II disebut EPAM (Extended
Programme in Applied Mathematics). Koordinator dari pihak Belanda
dipegang oleh A. van der Burgh, karena Brenny menjadi ketua Team
Science and Engeneering dari Majelis Ilmu Pengetahuan Belanda
(KNAW) yang memberi sebagian besar dananya dari Belanda.
Administrasi di pihak Belanda ditangani oleh Centre for International
Cooperation and Appropriate Technology (CICAT) Delft, sedangkan
dari Indonesia oleh P4M ITB (Pusat Penelitian Pengembangan dan
Penerapan Matematika ITB).

KerMa ini akhirnya meliputi sembilan universitas di Belanda dan


semua universitas negeri di Indonesia. Dana dipikul bersama oleh
DIKTI dan Pemerintah Belanda, khususnya KNAW. Koordinator dari
pihak Belanda ialah A. van der Burgh dari Delft, dan saya dari pihak
Indonesia. Tim BS LPTK berperan penting dalam kerjasama ini. Salah
satu program dalam KerMa ini ialah Program Magister Sains dengan
UT (Universitas Twente). Salah satu hasilnya ialah Anna dan Ita. Anna
adalah anaknya Nurdin, adik saya, dan Ita adalah anak dari Liek
Wilardjo, yang menikahi adik dari istri saya.

Kami memutuskan agar koordinasi KerMa Indo-Belanda


dikerjakan dari P4M ITB dan saya menyarankan Prof. Ansyar sebagai
koordinatornya. Akan tetapi, belum setahun, Prof. Ansyar bertengkar
dengan Brenny dan jabatan koordinator terpaksa saya ambil alih.

68
Memang tidak mudah bekerja sama dengan Brenny, orangnya terasa
sedikit kasar dan orang lain mudah tersinggung karenanya. Bagi saya,
hal itu bukan masalah besar, yang penting kerjanya bagus.

Dana untuk P4M, sebagiannya kami peroleh dari honor tenaga


asing dari pemerintah Indonesia yang tidak mereka terima karena
urusan pajak, dan disumbangkan kepada P4M ITB. Calon mahasiswa
S3 yang akan belajar di Belanda direkrut melalui workshop selama 2–3
minggu di ITB atau UGM, diikuti oleh 20-30 calon, dan langsung
dipilih oleh profesor dari Belanda. Workshop ini dibiayai oleh DIKTI.
Saya ikut menentukan bidang studi dan profesor yang akan ikut dalam
KerMa. Untuk itu, saya sering mengunjungi universitas di Belanda dan
berdiskusi dengan profesor yang akan terlibat. Dalam kunjungan
tersebut, saya juga berusaha membuat kerjasama dalam bidang
pendidikan matematika dan aktuaria. Untuk itu, terkadang saya harus
mengeluarkan uang untuk ongkos kereta api di Belanda, khususnya ke
Groningen.
Hasil kerjasama di bidang pendidikan matematika ini di
antaranya ialah PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) dan
ijazah double degree S2 dalam bidang aktuaria. Sayang, hanya
bertahan dua tahun karena Prof. Steerneman dari RUG meninggal dan
saya pun kemudian pensiun.

Melalui kerjasama ini, pada tahun 1986, dikirim enam orang


dosen muda PMIPA LPTK sebagai calon mahasiswa S3 di UT dalam
bidang Realistic Mathematics Education (RME). Mereka nantinya akan
maju sebagai tenaga ahli awal Indonesia di bidang pendidikan
matematika yang kemudian diberi nama PMRI. Keberangkatan mereka
tertunda lebih setahun karena UT tidak ingin melibatkan Freudenthal
Institute (FI) Universitas Utrecht, tempat bermulanya Realistic
Methematics Education (RME), padahal saya minta RME itu sebagai
syarat yang harus dipenuhi UT. Akhirnya, pihak UT pun menerima
kerjasama dengan FI.

69
Akibat kerjasama ini, hampir tiap tahun saya ke Belanda dan
telah mengunjungi hampir semua daerah di Belanda. Dalam salah satu
kunjungan itu, pada November 1998, saya minta Albert, anak dari
Nurdin, untuk memesan kendaraan untuk mengantar saya ke Bandung
dari Cengkareng. Waktu tiba di Cengkareng, ternyata kendaraan itu
membatalkan jemputannya karena ada huru-hara di Jakarta dan Albert
beserta Nurdin memberanikan diri menjemput saya. Seram, sangat
menegangkan. Saya duduk di depan memegang sebatang besi karena
takut pada kerusuhan itu. Kami lihat, banyak sekali kendaraan yang
dibakar.
Ada permasalahan besar dengan Adriaan. Bulan Maret 2000,
saya ke Delft untuk melakukan evaluasi 15 mahasiswa S3 PGSM. Dua di
antaranya di bawah bimbingan Adriaan. Permasalahan yang muncul
ialah bahwa Adriaan akan pensiun sebelum kedua mahasiswa itu
selesai studinya. Solusi yang disepakati di tingkat fakultas ialah agar
Adriaan diangkat jadi profesor di TU Delft. Dia ingin sekali saya
memperjuangkannya dengan Presiden TU Delft (Dr. N. de Voogd).
Saya kenal baik presiden itu dan pada suatu kunjungan, saya diantar
Adriaan, seperti biasanya, dan dia menunggu di luar ruangan. Saya
memasalahkan permohonan Adriaan dan saya bilang dia sangat
berjasa dan sedang menunggu di luar kantor. Presiden de Voogd minta
agar Adriaan dipanggil dan saya perkenalkan ke presidennya.
Rupanya, baru sekali itu dia bertemu dengan presidennya dan saya
yang memperkenalkannya. Presiden berjanji akan berusaha menolong
sedapat mungkin. Setahun kemudian, 8 Maret 2001, karena belum
juga diangkat, saya menulis khusus ke president Dr. N. de Voogd
tentang kehawatiran saya mengenai nasib kedua mahasiswa di bawah
bimbingan Adriaan. Dalam suratnya kepada saya, Presiden de Voogd
mengatakan bahwa Adriaan telah ditawari sebagai Extraordinary
Professorship di ITB. Adriaan menolaknya karena dia ingin profesor
yang biasa di TU Delft. Bagi ITB, tidak ada masalah asal honornya dari
Delft. Usaha itu gagal dan Adriaan tidak mau lagi bertemu saya karena

70
merasa saya kurang keras memperjuangkannya dengan pinpinan TU
Delft. Kedua mahasiswa itu akhirnya dibimbing oleh professor lain
tanpa mengubah problemnya, dan sekarang sudah kembali ke
institusinya semula.
Pada kunjungan ke Universitas Groningen bulan Maret 2000
saya diundang oleh Theo Jurriens, seorang teman dari Jurusan
Astronomi RUG, menonton balapan sepeda Dokkum Woudenomloop
yang ke 16, Sabtu 18 Maret. Theo rupanya ketua dewan juri balapan
itu, dan saya diperkenalkan kepada para hadirin sebagai tamu
kehormatan dari Indonesia. Untuk saya disediakan satu sedan dengan
supir seorang anak muda juara balapan tahun yang lalu. Hanya mobil
kami yang boleh melewati jalan-jalan yang dilalui pembalap.

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Matematika Modern mulai ditinggalkan di seluruh dunia dan


Indonesia juga meninggalkannya sejak 1990. Persoalannya kemudian
ialah, apa penggantinya? Melalui Tim BS LPTK, saya sering bertemu
dengan pakar pendidikan matematika di tanah air. Kepada mereka,
saya lontarkan permasalahan, agar pengganti Matematika Modern
tidak diserahkan penentuannya pada Pemerintah RI, tetapi merupakan
kewajiban kita untuk menemukannya. Mereka (sekitar enam atau
tujuh orang) setuju dan berusaha menemukannya lewat jurnal atau
kunjungan ke luar negeri.
Sejak adanya Tim BS, saya secara teratur menghadiri konferensi
pendidikan matematika regional di luar negeri. Dalam salah satu
konferensi itu, Regional Conference of Mathematics Education di
Shanghai, 1994, salah satu pembicara undangan ialah Dr. Jan de Lange
dari Freudenthal Institute, Universitas Utrecht. Dia memperkenalkan
Realistic Mathematics Education (RME) yang tengah digunakan di
Belanda. Saya sangat terpengaruh oleh presentasinya, dan menanyakan
pendapat para ahli yang hadir tentang presentasi tersebut. Semua
71
mengatakan, ―Bagus sekali!‖ Makalah itu kemudian saya perbanyak
dan bagikan ke teman-teman di Tim BS agar mereka pelajari dan
diskusikan.

Dalam beberapa kesempatan kunjungan ke Belanda, saya


usahakan bertemu dengan Jan de Lange di kantornya di Universitas
Utrecht. Saya kemukakan kepadanya bahwa saya sangat tertarik pada
RME yang digunakan di sekolah-sekolah di Belanda. Beliau senang
dengan kunjungan tersebut dan akan berusaha membantu sebisanya.
Di Tim BS, kami pun mulai tertarik mempelajari RME ini, dan berusaha
meyakinkan pihak-pihak yang berpengaruh untuk melaksanakannya di
Indonesia. Kami semua sadar itu pekerjaan yang sangat berat. Salah
satu yang penting diyakinkan ialah Dirjen DIKTI, waktu itu Prof. Satryo
S., dan baru setelah itu, kami harus meyakinkan beberapa rektor.
Perjuangan tersebut membutuhkan waktu dan kesabaran karena
bidang saya bukan pendidikan matematika, maka saya usahakan agar
yang maju ke depan ialah para pakar pendidikan.
Kami sepakati bahwa salah satu yang harus dikerjakan ialah
mengirim dosen muda ke Belanda belajar RME yang akan menjadi
tenaga inti pengembangan. Karena di Universitas Utrecht belum ada
program pendidikan untuk menanganinya, maka kami tawarkan ke UT
dengan syarat bahwa UT harus bekerjasama dengan FI di Utrecht. UT
mula-mula meyakinkan saya bahwa mereka dapat mengerjakannya
tanpa bantuan FI. Saya menekankan bahwa syarat kerjasama dengan
FI suatu keharusan, dan Jan de lange mendukungnya. Karena dari
pihak UT, yaitu Prof. T. Plomp, tetap tidak mau, maka saya katakan
kepadanya bahwa saya akan mencari universitas lain. Akhirnya, setelah
tertunda hampir dua tahun, pada 1998, UT menyatakan bersedia
bekerja sama dengan FI Universitas Utrecht. Seleksi calon pun
dilakukan. Waktu itu, Jan de Lange bersama T. Plomp datang
melakukan workshop dengan sekitar 30 calon dosen matematika dari
seluruh tanah air di ITB, dan kemudian memilih enam orang untuk
berangkat ke UT. Mereka mulai studi setingkat Master dan setahun
72
kemudian baru S3. Dalam program S3, saya minta agar dosen ko-
pembimbing harus dari Indonesia. Tujuannya adalah memaksa para
dosen senior untuk mempelajari RME. Penelitian mengenai RME juga
harus dilakukan di sekolah di Indonesia, agar para lulusan mengenal
permasalahan di Tanah Air, bukan ahli tentang persoalan di negara
lain. Para calon dosen ini termasuk dalam program KerMa Indo-
Belanda. Sekarang, mereka merupakan tenaga inti PMRI, semuanya
sudah jadi professor. Seorang saat ini menjadi Rektor UNLAM
Banjarmasin. Semua kegiatan tersebut dibiayai dari dana
Pengembangan Guru Sekolah Menengah (PGSM).
APS, suatu lembaga peningkatan kualitas sekolah di Utrecht,
mengetahui kegiatan kami, dan datang menawarkan bantuan
kerjasama. Bantuan ini kami sambut dengan antusias. Bantuan tersebut
berbentuk tiga tenaga konsultan Belanda, satu dari FI dan dua dari
APS, dengan ketua Kees Hoogland dari APS. Pendanaan berasal dari
Pemerintah Belanda selama tiga tahun (PBSI, 2003–2005). Berkat
bantuan DIKTI 4 LPTK yaitu UPI Bandung, UNY dan USD Yogyakarta,
dan UNESA Surabaya, kami mengadakan semacam uji coba di 12
SD/MIN. Setiap LPTK bekerjasama dengan 4 SD/MIN. Keikutsertaan
MIN adalah atas permintaan Kementerian Agama yang mengetahui
usaha kami. Maka tahun 2001, dimulailah uji coba selama satu
semester dan dievaluasi pada November, bersama konsultan Belanda
karena biayanya melalui Kedutaan Belanda. Hasil uji coba tersebut
terbukti sukses, dan akhirnya, diputuskanlah untuk melaksanakan
program ini secara penuh.

Model pengembangannya ialah dengan membuat workshop


yang diikuti oleh para dosen yang terlibat dengan para guru. PMRI
langsung diterapkan di sekolah setelah workshop dan para dosen
membantu guru melalui pertemuan rutin berkelompok. Di setiap LPTK
yang ikut diadakan oleh pengurus lokal, dan menjadi pusat lokal
pengembangan PMRI. LPTK dan sekolah ikut atas permintaan sendiri,
tidak ada keharusan. Di tingkat pusat, secara nasional, ada pengurus
73
awal pusat dengan Dirjen DIKTI sebagai ketua Dewan Pengarah dan
anggotanya beberapa pejabat tinggi. Sedangkan, saya ditunjuk
pengurus menjadi ketua dengan anggota Prof. Soedjadi dari UNESA,
Prof. Suryanto dari UNY, Dr. Y Marpaung dari USD, Prof. Ruseffendi
dari UPI, dan Drs. P. Hutagalung sebagai sekretaris. Kami berkantor di
ITB, dengan pendanaan dari DIKTI. Gerakan ini dinamakan PMRI.

Salah satu hal yang membuat saya senang kepada PMRI ialah
bahwa dengan PMRI, siswa menjadi lebih aktif. Mereka belajar
berdiskusi dan jadi menghargai pendapat orang lain. Guru dicegah
untuk menggurui, tidak boleh berkhotbah di dalam kelas. Menurut
saya, inilah salah satu cara bagi siswa untuk belajar berdemokrasi.

Tahun 2005, Netherlands Organisation for International


Cooperation in Higher Education (NUFFIC) menawarkan bantuan
baru ke Indonesia. Untuk mendapatkannya, saya harus membuat
proposal selama tiga bulan untuk dipertandingkan dengan proposal
yang lain. Untungnya, saya dibantu oleh seorang konsultan Belanda
dan DIKTI untuk menempatkan usulan PMRI sebagai prioritas utama.
Usulan kami akhirnya diterima dan dengan dana yang jauh lebih besar
untuk periode 2006–2009, kemudian diperpanjang sampai akhir 2010.
Proyek ini ditenderkan di Belanda dan pemenangnya berasal dari
kerjasama FI dengan APS, dengan diketuai oleh Kees Hoogland.

Bantuan ini disebut Development of PMRI (DoPMRI), melibat-


kan empat tenaga konsultan dan delapan anggota International
Advisory Board. Dalam bantuan ini, ada pendidikan Master untuk
tujuh orang di Utrecht dalam RME, dan biaya mengikuti konferensi
internasional di luar negeri setiap tahun. Kesempatan ini kami man-
faatkan untuk memperkenalkan PMRI ke luar negeri, mulai dari
Florida pada 2006, Slovenia pada tahun 2007, Auckland di Selandia
Baru pada 2008, Vancouver pada 2009, Kuala Lumpur pada 2010,
dan berakhir di Cyprus pada 2011. Tim PMRI beserta konsultan

74
Belanda menjadi pembicara utama dengan judul Indonesia, Show
Case.
Program untuk tujuh Master dianggap sukses dan sesudah tahun
2009, dilanjutkan dengan dana bersama antara DIKTI dan Stuned dari
pemerintah Belanda untuk lima tahun. Dalam studi ini, setiap
mahasiswa belajar satu tahun di Indonesia; UNESA atau UNSRI, dan
setahun di Utrecht. Penelitian dilakukan di Indonesia. Pada akhir
kerjasama, sudah ada sekitar 100 orang dosen muda bergelar Master
dari hasil program ini.
Gambar 5.3

―Majalah PMRI‖
Dokumentasi Pribadi

Dari dana PBSI, Majalah PMRI mulai terbit empat kali setahun,
dan dibagikan gratis ke sekolah dengan saya sebagai ketua dewan
redaksi. Penulisan bahan ajar mulai diadakan dengan bantuan
DoPMRI, mulai dari kelas 1 SD. Para penulis, yaitu lima orang yang
semuanya dosen, dilatih seminggu di Belanda sambil melihat
pelaksanaan RME di sekolah. Mereka kemudian melatih tenaga

75
pengajar dan tim penulis, terdiri atas dosen dan beberapa guru.
Sewaktu bantuan DoPMRI habis, buku yang selesai dibuat baru buku
murid dan buku guru kelas 1 saja. Oleh karenanya, Balitbang P&K
kemudian membiayai penerbitan buku kelas 2 serta draft kelas 3.
Gambar 5.4

Buku bahan ajar kelas 1 SD/MIN


Dokumentasi Pribadi

Pada waktu bantuan DoPMRI berhenti pada tahun 2010, telah


ada 18 LPTK yang ikut serta dan pada akhir 2014, bertambah menjadi
23 LPTK. Di samping itu, sejak 2011, telah diadakan Kontes Literasi
Matematika (KLM) untuk menyiapkan para guru dan siswa
menghadapi tes PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional).

Untuk melanjutkan kegiatan PMRI, maka dibentuk Yayasan


Pembina Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang secara resmi
berdiri sejak September 2015 dengan pendiri Pontas Hutagalung dan
saya. Dewan Pembina yaitu Bambang Subianto (mantan Menteri

76
Keuangan), Fasli Jalal (mantan Wakil Menteri Pendidikan), Satrio
Sumantri (mantan Dirjen DIKTI), Mukhlas Samani (mantan Direktur
DIKTI dan Rektor UNESA), dan Bana Kartasasmita, dengan anggota
Tim PMRI sebanyak sepuluh orang.
Gambar 5.5

Dokumentasi pribadi

Penjelasan formal tentang PMRI dapat dibaca di A Decade of


PMRI in Indonesia, terbitan Utrecht, tahun 2010, dan buku Sejarah
PMRI, editor Suryanto dan kawan-kawan, yang terbit pada tahun
2010.

Forum Rektor

Forum Rektor didirikan di Bandung 7 Juli 1998 oleh 176


pimpinan perguruan tinggi di Indonesia. Salah satu keputusannya ialah
ikut memantau Pemilu pada tanggal 7 Juni 1999, pemilihan pertama

77
yang bebas. Pada pertemuan kedua Februari 1999 di Bali, diputuskan
membentuk Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia dengan
pengurus sembilan orang rektor yang dipimpin oleh Rektor ITB, Lilik
Hendrajaya, dan pelaksana yaitu Sudjana Sapiie dari ITB. Khusus untuk
pemilu yang akan dipantau menggunakan metode PVT (Parallel Vote
Tabulation), diperlukan metode statistik dan saya ditunjuk sebagai
ketua tim statistika serta Sudjana Sapiie sebagai ketua tim pemantau.
Tim ini dibantu oleh seorang konsultan bernama Prof. Dr. Neil Nevitt
dari Department of Political Science, University of Toronto dan NDI
(National Democratic Institute) dari Partai Demokrat Amerika Serikat.
Rencana semula, saya akan diundang ke Toronto dan Washington
untuk persiapan, tetapi setelah diskusi tiga arah lewat telepon,
diputuskan bahwa saya cukup paham permasalahannya sehingga
kepergian tidak lagi diperlukan. Padahal, saat itu visa sudah
dikeluarkan.

Pemerintah Finlandia mengundang Tim Pemantau Pemilu untuk


meninjau pemilu yang akan diadakan di sana. Kami meninjau
pemilihan umum di Helsinki, Finlandia pada tanggal 17–23 Maret
1999, dan saya ditunjuk untuk mewakili Forum Rektor. Saat itu,
pemilu di Finlandia dianggap salah satu yang terbaik dan paling bebas
di dunia. Rombongan terdiri atas 12 orang mewakili empat kelompok
organisasi yang dipimpin oleh Andi Malarangeng. Kami berangkat
pada 16 Maret melalui Amsterdam dan Stockholm, selama lebih dari
24 jam perjalanan. Setelah sejam beristirahat, pada tanggal 17 Maret,
kami diundang makan malam oleh duta besar Indonesia.

Banyak kegiatan yang kami ikuti selama tanggal 18–20 Maret


1999. Di antaranya adalah meninjau gedung parlemen, makan siang
dengan Sekjen Parlemen dan para ombudsman, mengikuti kampanye
di warung, makan malam dengan anggota parlemen. Kami juga
mengikuti debat di TV antara semua wakil partai di Press Club. Setelah
itu, kami mengunjungi kementerian kehakiman yang bertanggung
jawab melaksanakan pemilu, dan disambut dengan cocktail reception
78
oleh Under-Secretary of State bagi tamu dari berbagai negara, lalu
meninjau Nokia Headquaters. Pada hari pemilu hari Minggu tanggal 21
Maret, kami mengunjungi 3 TPS, pusat perhitungan suara, Press-Club
yang telah menyiapkan segala fasilitas bagi kurang lebih 120 wartawan
asing. Perhitungan suara selesai dalam tempo 3 jam setelah kotak suara
ditutup pukul 20.00 waktu setempat. Jadi, sebelum tengah malam,
hasil pemilu sudah diketahui. Senin, 22 Maret, kami mengikuti analisis
pascapemilu di Kementerian Luar Negeri oleh seorang profesor dari
Universitas Helsinki dan juga dari Direktur Statistika Finlandia.
Terakhir, kami mengikuti seminar pemilu dan demokrasi di Finlandia
di Universitas Helsinki, lalu kami pun pulang pada tanggal 23 Maret
1999.

Di Indonesia, terhitung ada 305.000 TPS dari 27 provinsi, 306


kabupaten dan 68.500 desa. Dari situ, sekitar 3% TPS yang akan
dimonitor, yaitu sekitar 9.000 TPS. Dibutuhkan pemantau PVT sekitar
18.000, dua orang per TPS.
Tim pemantau dilatih melalui beberapa kali pelatihan secara
berjenjang. Tim statistik semuanya dari ITB, sebagian besar dari
Jurusan Matematika dibantu Tata Usaha Jurusan Matematika dan
beberapa programmer, di antaranya anak saya, Uky. Tim Pemantau
dikirim ke TPS dan begitu selesai perhitungan di TPS yang dipantau,
mereka segera melaporkan hasilnya ke pusat di Jakarta. Hasil ini segera
ditabulasi oleh Tim Statistik dan membuat taksiran hasil dari tiap
daerah pemilu. Hasilnya cukup akurat dan bisa menetukan daerah
yang dianggap curang.

Tahun 2000, saya diundang ke Malaysia dalam rangka pesiapan


pemilihan umum di sana, tetapi saya hanya dapat bertemu dengan
pihak oposisi, dan terlihat para dosen di beberapa perguruan tinggi
yang saya kunjungi, mereka tidak merasa bebas bicara.

79
Kegiatan Lainnya

Selain pekerjaan-pekerjaan yang telah saya sebutkan, ada pula


pekerjaan ataupun kegiatan lain di mana saya turut berkontribusi di
dalamnya.
1. Pada tanggal 10–28 Maret 1975, Kuala Lumpur, saya menjadi
peserta kursus Demographic Analysis and Data Evaluation yang
diadakan oleh Bureau of the Census USA.

2. Saya pernah dikontrak oleh Badan Sandi Negara menjadi


konsultan sebanyak dua hari seminggu, selama tiga bulan
lamanya.
3. Dr. Manase Malo dari Universitas Kristen (UKI) Jakarta, teman
baik saya selama di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI), meminta saya untuk memberikan kuliah Statistika di
Jurusan Sosiologi UKI. Baru dua kali kuliah, saya minta berhenti
karena mahasiswanya kurang tertarik pada kuliah tersebut.

4. TVRI Jakarta meminta saya memberi ceramah sosiometri di


TVRI dan disiarkan ke seluruh tanah air.

5. Pada tanggal 30 Juli – 18 Agustus 1979, saya mengikuti


Multivariate Data Analysis Workshop di Asian Institute of
Technology di Bangkok. Waktu mau pulang dari Bangkok, saya
sempat singgah di Rangon, mengunjungi Abang Kamar yang
menjadi atase militer di Birma.

6. Kelompok Teknometrika
Bersama dengan tiga dosen ITB, satu dari Fisika Teknik, satu
dari Matematika Terapan, dan satu lagi dari Statistik, kami
mendirikan Kelompok Tenometrika sekira tahun 1982. Proyek
pertama ialah dari PT Pupuk Kujang, masalah pengadaan dan
penggudangan (inventory) material. Proyek kedua mengenai
proyeksi pendapatan Perumtel, tahun 1984. Ini permasalahan

80
statistik yang harus menggunakan komputer besar di Jakarta
dan di kelompok itu, cuma saya yang bisa mengerjakannya.

7. Sipenmaru

Saya menjadi anggota tim khusus penyeleksi soal untuk Seleksi


Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). Saya bergabung sejak
awal Sipenmaru dibuat, sekira 1983. Namanya terus berubah-
ubah sesuai dengan keikutsertaan perguruan tinggi yang
dicakup, seperti UMPTN, SPMB, SNMPTN, dan entah sampai
kapan mau berganti nama terus seperti itu.

8. Kelompok Energi ITB


Saya menjadi anggota Kelompok Energi ITB sejak 1985, ketua
Prof. Saswinadi. Salah satu pekerjaan yang kami tangani ialah
Proyek Kesesuaian Kependudukan dan Lingkungan Hidup, pada
tahun 1986. Lewat Kerjasama dengan LAPI ITB menjadi anggota
tim menangani proyek dengan Otorita Jatiluhur dan Pupuk
Kujang. Minta berhenti karena menjadi ketua Jurusan
Matematika.

9. Menjadi Ketua Jurusan Matematika, FMIPA ITB untuk periode


1986–1989.

10. Diundang JSPS Jepang sebulan pada awal 1988 ke Kyoto


Institute of Technology. Naskah awal buku Analis Regresi ditulis
di sini.

11. Mengikuti program Senior staff, Proyek Bank Dunia XXI DIKTI,
tiga bulan di Ohio State University, Columbus, Ohio, pada
Januari–Maret 1990. Naskah awal buku Analisis Regresi
diselesaikan disini.

12. Menjadi Ketua Himpunan Matematika Indonesia pada tahun


1996–2000.
13. Diangkat jadi Profesor pada tahun 1999.

81
14. Pada tahun 1999, saya terlibat dalam program Freeport
Indonesia untuk menangani permasalahan relationship with
local people and sedimentation (telling).
15. Pusat Perbukuan
Permasalahan buku ajar berbeda-beda padahal kurikulumya
sama. Perlu ada pedoman penulisan bahan ajar. Tim
beranggotakan 13 orang dari IKIP Bandung dan Balitbang
dengan penanggung jawab saya. Saya bekerja di sana selama
tiga tahun, sejak tahun 2000.

16. Bekerja di ADB Bumiputra, dari 2005-2006.


17. Anggota Dewan Pembina Akademik DEL 2004–2007 dan ITHB.

18. Kompujasa Aktuaria

Bersama Prof. Sunardi dan Kondar Siahaan, saya mendirikan


perusahaan bernama Kompujasa Aktuaria dengan tujuan
membantu perusahaan asuransi dalam melakukan perhitungan
komputer. Modal awalnya berasal dari dana yang diperoleh
dari kegiatan sebelumnya. Akan tetapi, karena cuma Kondar
yang aktif mencari nasabah dan dia juga sibuk, maka akhirnya,
setelah beberapa tahun, perusahaan ditutup. Kalau tidak
ditutup, pajaknya akan terus harus dibayar.

Kegiatan Saya Saat Ini

Saya senang membaca dan bermain catur. Kalau dulu, melawan


kawan sekolah atau teman kuliah, sekarang melawan komputer.
Senang main pingpong dan bulutangkis, sekarang sudah berhenti total.
Dari kecil biasa berenang, mula-mula di sungai. Anak laki-laki di
kampung harus bisa berenang di sungai, kalau tidak, jadi bahan ejekan.
Berenang di kolam renang mulai waktu SMA dengan guru orang
Belanda, tapi hampir tidak ada yang saya pelajari dari dia. Berenang

82
menjadi olah raga saya sampai tua. Kalau dulu saya bisa berenang
sejauh 2 km dalam waktu kurang dari sejam, sekarang 1 km saja sudah
amat susah. Ikut klub diving ITB angkatan pertama dan dalam ujian di
Pulau Seribu, berkenalan dengan bulu babi, seram! Saya sudah
menyelam di pulau Menjangan di Bali, Ambon dan Bunaken. Bertemu
ikan hiu di Bali dan Ambon, tapi mereka tidak mengganggu. Olah raga
sekarang, di samping berenang, jalan kaki dan jogging, dan memotong
rumput di halaman rumah.
Gambar 5.6

Kenang-kenangan dari Acara di ITB

Beberapa waktu lalu, pada bulan Agustus 2018, saya diundang


ke ITB tanpa tahu betul, mengenai apa undangan tersebut. Karena
undangan tertulis tidak diberi (ternyata ada tapi saya sengaja tidak
diberi) maka saya minta ditulis di secarik kertas waktu dan tempatnya.
Pada waktu yang ditentukan, saya agak ragu untuk datang ke acara ini.
Istri saya tidak mau datang karena dia juga tidak tahu, untuk apa itu?
Akhirnya, saya pun berangkat sendiri. Sesampainya di aula timur ITB,
saya masuk dan saya lihat ada foto-foto saya dipamerkan. Saya pun
kaget. Ternyata, itu adalah acara peringatan ulang tahun saya yang ke-

83
80 (terlambat 8 bulan). Ada pidato-pidato dari Dekan dan orang-
orang dari Jurusan Matematika. Saya disuruh untuk memberi kata
sambutan tetapi saya tidak tahu persis apa yang harus saya sampaikan.
Sepertinya, acara itu sudah dipersiapkan dengan matang, karena ada
tamu dari Belanda juga hadir, E van Groesen.

84
BAGIAN TERAKHIR

Ibu Meninggal

Bulan Juni 2004, saya diberitahu bahwa ibu terjatuh dalam


perjalanan ke gereja. Saya mengira ibu terjatuh karena tersandung
sesuatu di jalan. Ternyata, maksudnya adalah terjatuh karena kena
serangan jantung, dan dibawa ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe.
Mendengar keadaannya kurang baik, maka saya putuskan untuk
menjenguk dan mengajak serta Rosman pulang ke Kabanjahe. Kami
naik bis dari Medan dan lanjut ke rumah sakit.

Di luar kamar ibu, sudah banyak keluarga dan kenalan ibu


datang menjenguk. Melihat keadaan ibu yang kurang baik dan
perawatan yang sangat sederhana, maka saya putuskan
memindahkannya ke Rumah Sakit Santa Elisabeth di Medan. Setelah
minta izin dari rumah sakit dan dokter yang merawatnya, maka
dengan ambulans, Ibu kami bawa ke Medan disertai dengan seorang
perawat.

Setelah tiga hari, terlihat keadaan Ibu membaik dan mengingat


pekerjaan saya, maka saya beritahu Ibu bahwa saya harus pulang dulu,
dan akan datang lagi setelah membereskan pekerjaan. Ibu sangat
keberatan kalau saya tinggalkan, tapi pekerjaan saya memerlukan saya
segera pulang dulu. Setelah sekitar seminggu di rumah sakit, Ibu
diizinkan pulang oleh dokternya, kemudian beliau ditampung di
rumah Rosman.
Setelah sekitar seminggu di rumah, tanggal 10 Juli 2004, Sabtu,
sekitar tengah hari, sewaktu Ibu mau diberi makan siang, Rosman
85
menelepon saya bahwa Ibu susah bernafas dan kondisinya
mengkhawatirkan. Saya minta Rosman agar segera memeriksakan
keadaan Ibu ke dokter. Tak lama kemudian, Rosman melaporkan
bahwa Ibu sudah pergi.
Saya berusaha menenangkan Rosman dan memberitahu bahwa
kami akan segera datang, dan supaya Ibu diberi suntikan formalin.
Semua keluarga kemudian diberitahu, dan kami baru bisa dapat tiket
pesawat pada hari Minggu bersama Nurdin dan istrinya, Sri. Kakak
Veronica dan anak laki-lakinya yang ketiga, Gorisa, kemudian datang
bersama Anti dari Salatiga. Jenazah Ibu sudah dibawa pulang ke
rumahnya di Seberaya. Rumah itu dibeli oleh Abang Kamar dan saya
tahun 1980, karena rumah adat tidak lagi sesuai untuk tempat
tinggalnya. Sesuai permintaan Ibu, kelak kalau dia meninggal diadakan
upacara kematian secara adat Karo, dan biaya penguburannya sudah
Ibu siapkan di bank. Jadi, kami cukup menanggung biaya perjalanan
saja. Ternyata, dana yang dia siapkan melebihi keperluan, sehingga
kami menggunakannya untuk membeli tiket pesawat pulang, dan itu
pun masih bersisa. Sisa uang tersebut kami serahkan ke perkumpulan
janda anggota gereja GBKP di kampung. Ibu meninggal dalam usia
yang cukup panjang, dekat 90 tahun, dikuburkan pada hari Senin 12
Juli 2004 dalam satu kuburan bersama Ayah. Abang Kamar sudah
terlebih dahulu meninggal, habis operasi batu kencing tahun 1983.

Dalam perjalanan pulang di bandara Medan, Gorisa yang


membawa tiket kami semua, kena copet sewaktu mau mencari troli.
Untuk menebus tiket itu, kami pun harus membayar sejumlah uang.

Renungan

Dalam hidup ini saya tidak pernah punya rencana mau jadi apa.
Pengalaman hidup dari Seberaya sampai ke Bandung, lalu bisa
bersekolah ke Amerika, dan berkeliling dunia tidak pernah terlintas
sedikit pun dalam pikiran saya saat masih anak-anak. Saya hanya
86
melalui hidup sambil melaju dengan sedikit malu-malu, kadang juga
nekat.

Pengalaman hidup di Amerika sangat memengaruhi pandangan


hidup saya, khususnya mengenai kepercayaan terhadap diri sendiri,
belajar berdemokrasi, menghargai pendapat orang lain walupun tidak
setuju dengan pandangan sendiri, juga kemampuan untuk
mengutarakan pendapat saya, seperti ketika mengirim surat protes
kepada menteri.
Dari semua hal yang pernah saya alami, mungkin hal yang
paling memengaruhi saya adalah Ibu. Ibu sangat gigih mendorong saya
agar terus sekolah, dia bekerja setengah mati untuk menyekolahkan
saya. Beliau menyambung hidup dengan menyewakan ladang, dan
berjualan babi dari pasar ke pasar.

Bila direnungkan kembali, kecil sekali peluangnya saya bisa


kuliah, apa lagi menyelesaikannya. Biaya hidup saya, setidaknya untuk
tiga tahun pertama, hanya bergantung dari kiriman wesel Ibu –
seorang janda, petani miskin yang menggantungkan hasil dari sayuran
yang harganya sangat fluktuatif serta sangat tergantung musim. Ibu
tidak bisa membaca, maka untuk mengirim uang, Ibu menitipkannya
pada saudara yang bekerja di kantor Penerangan di Kabanjahe.
Sungguh suatu pengorbanan yang luar biasa dari seorang Ibu.

87
Gambar 6.1

Salam dari kami, keluarga R.K. Sembiring


Kiri, keluarga Uky dan kanan, keluarga Anti
Golden anniversary

88
PROFIL

Kuliah dan Pendidikan Secara Umum

1. Guru STM Merdeka, 1962–1963

2. Memberi kuliah kalkulus di UKI (sebelum terbentuknya UK


Maranatha) 1965–1966.

3. Memberi kuliah kalkulus di Universitas Katolik Parahyangan 1966–


1967

4. Memberi kuliah kalkulus di ATPU (Akademi Teknik PU) 1966–1967

5. Memberi kuliah kalkulus di Yayasan Kartika Eka Paksi Achmad Yani,


Cimahi, 1974–1975.

6. Ikut melatih karyawan PT Tambang Timah Soroako di ITB dalam


sampling statistics di ITB selama 3 bulan, kemudian diundang ke
Soroako untuk meninjau lapangan, 1975. Perjalanan menggunakan
pesawat kecil berpenumpang sekitar 4 orang.

7. Memberi kuliah statistika di FIPIA UI, April 1976 sampai Desember


1980, bersama Dr. M Ansyar, diperbantukan ke FMIPA UI.

8. Memberi kuliah demografi untuk S2 & S3 di Pasca IKIP Jakarta


1979–1985.

9. Di samping itu, saya juga dikontrak Badan Sandi Negara menjadi


konsultan 2 hari seminggu selama 3 bulan. Juga Dr. Manase Malo
dari UKI Jakarta (kenal baik sejak mahasiswa di GMKI) minta saya
memberi kuliah statistika di Jurusan Sosiologi UKI. Setelah dua kali
kuliah, saya minta berhenti karena mahasiswanya kurang tertarik

89
pada kuliah itu. Selama sekitar 2 tahun permulaan di Jakarta, saya
menginap di rumah Sudi Sudiarso di Pasar Minggu. BP3K kemudian
menyediakan rumah tempat nginap bagi karyawan yang tinggal di
Bandung di daerah Setiabudi, Kuningan.
10. Memberi kuliah aktuaria di Pendidikan D3 Aktuaria BPLK
Departemen Keuangan (sebagai kelanjutan Pendidikan Aktuaria
Jiwasraya–ITB) 1987–1989.

11. Memberi kuliah Aktuaria di Pendidikan Aktuaria di Sekolah Bisnis


Fakultas Ekonomi UI (tahun 1999).

12. Memberi kuliah demografi di Pasca IKIP Bandung.


13. Memberi kuliah Analisis Regresi di Pascastatistik UNPAD, 2010–
2012.

14. Anggota Tim Penatar Penerjemah, 1985.

15. Ikut membuat kurikulum Universitas Terbuka sebelum


pembukaannya dan kemudian membuat dua modul untuk UT,
Demografi dan Asuransi.
16. TVRI: Dalam acara Ilmu Pengetahuan Populer LIPI di TVRI,
memberi ceramah Psikometrika dan Sosiometrika, 1 Desember 1981.

Makalah

1. Suatu Percobaan Atas Kin, Badan Riset ITB, 1977.

2. Demographic Treatment of Kinship, Ph.D. Dissertation, UC


Berkeley, 1978.
3. Path Analysis. Konferensi Matematika Nasional 1979, ITS Surabaya.

4. Proyeksi Penduduk dengan Contoh Penduduk Indonesia, Badan


Riset ITB, 1980

90
5. National Assessment of the Quality of Indonesian Education, Grade
9 report, with Ch. Mangindaan and Ian Livingstone, BP3K Jakarta
& NZER New Zealand, 1978

6. National Assessment of the Quality of Indonesian Education, Grade


12 report, with Ch. Mangindaan and Ian Livingstone, BP3K Jakarta
& NZER New Zealand, 1981

7. Kuadrat Terkecil Parsial, DIKTI, 1984

8. Project Preparation for Science and Mathematics Education at


Institutes and Faculties of Teachers Education and Pedagogy (IKIPs
and FKIPs), coauthor, LAPI ITB/DGHE, World Bank Project, 1985
9. Studi Persamaan Diferensial Stokhastik, anggota peneliti, , ITB 1988

10. Efficiency of PMIPA IKIPs and Comparison of D3 Program in the 9


Universities with D3 in IKIPs and FKIPs. Research Coordinator, LAPI
ITB, World Bank Project, 1990

11. Studi Korelasi Antara Angket Mahasiswa dengan kemajuan Belajar,


anggota peneliti, dana PPI 1990/91
12. Pencilan dan Data Berpengaruh, Tim BS Universitas (Bank Dunia),
1992

13. Tinjauan Selayang Pandang Perkembangan Sains Dasar di Beberapa


Negara, SEMLOK FPMIPA di IKIP Medan, April 1993.

14. On the Existence of Solution of Second Order Stochastic Differential


Equations, coauthor, dana DIKTI

15. Pengaruh Gabungan Suatu Peubah dan Suatu Pengamatan, ketua


peneliti, DIKTI, 1994

16. Pengaruh Lokal, 1995, dana DIKTI.

17. Analisis Regresi, Suatu Tinjauan Makalah, konferensi Nasional


Matematika, Ujung Pandang, Juli 1995.

91
18. Improving Science and Mathematics Teacher Education in
Indonesia dalam Science Teacher Education and Leadership vol 6,
#1

19. Smooth Threshold Autoregressive (STAR) Time Series Model, Hibah


Bersaing, DIKTI, 1997

20. Siffat Asimtotis dari Beberapa Ukuran Data Berpengaruh dan


Pencilan Dalam Model Linear, MIHMI vol. 3, Nov 1997.

21. Studi Model Deret Waktu Tak-Linear Menunjang Prakiraan


Penggunaan Energi, kepala proyek peneliti, DIKTI, 1995.

22. Reforming mathematics learning in Indonesian classrooms through


RME, with Sutarto Hadi and Maarten Dolk, in ZDM Mathematics
Education, Aug 2008.

Penulisan Buku Ajar

 Analisis Regresi, Penerbit ITB, 1996


 Asuransi, Modul Universitas Terbuka, UT, 1986
 Demografi, Penerbit Universitas Terbuka, Februari 2006.

Terjemahan

1. Memahami Data oleh B.H.Erickson dan T.A. Nosanchuck, LP3ES,


Jakarta, 1983.
2. Peluang dan Terapan Statistikanya, oleh F. Mosteller dan R.E.
Rourke, Penerbit ITB, 1988.

3. Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan Ilmuan, oleh R.E.


Walpole and R.H. Myers, edisi ke 2 Penerbit ITB, 1986, edisi ke 4,
Penerbit ITB, 1995.

92
4. Statistika Matematika Modern, oleh E.J. Dudewicz dan S.N. Mishra,
Penerbit ITB, 1995.

Editor
1. Research Workshop MATHEMATICS in INDUSTRY, Scientific
Cooperation between the Netherlands and Indonesia in
Mathematics, koordinator, Bandung, 5 Agustus – 27 September
1996.

2. A Decade of PMRI in Indonesia, tim editor, Bandung, Utrecht,


2010.
3. Sejarah PMRI, anggota tim editor, DIKTI, Jakarta 2010.

Tulisan Populer dan Ceramah

1. Seandainya Einstein Lahir di Indonesia, (sekitar tahun 1976). Tulisan


dibuat karena pemecatan Iwan Kurniawan oleh Badan Tenaga
Nuklir Nasional (Batan).
2. Nonsampling Errors: Mengevaluasi dan Mengontrolnya. Ceramah
di Sekolah Tinggi Statistik BPS Jakarta, Agustus 1977.

3. Statistik, Statistikawan, dan Survival Models, orasi ilmiah pada


wisuda Sekolah Tinggi Statistik BPS di Taman Mini, 23 September
2000

4. Sosiometri, ceramah di TVRI Jakarta, 1 Desember 1981

5. Pendidikan Statistika di Perguruan Tinggi di Indonesia, Majalah


Prisma, atas permintaan redaksi, Juli 1984.
6. Gambaran Kasar Perkembangan Matematika di Indonesia, dengan
Utari Sumarmo, Konferensi Nasional Matematika di UNPAD, Juli
1991.

93
7. Pembinaan dan Pengembangan PMIPA LPTK. Ceramah pada
SEMLOK IV se-Indonesia di Medan, 5–7 Februari 1992.

8. Reformasi Pendidikan Matematika di Indonesia, Harian Kompas 16


September 2002.
9. Bermatematika yang Menyenangkan, Harian Kompas, 28 Mei
2015.

10. Kajian pada UPMP dan UAN SMP, SMA Matematika, bersama
Iwan Pranoto, Harian Pikiran Rakyat, 8 Juli 2004.

11. MIPA Sebagai Kesatuan dan TPB, naskah ceramah pada FKIP,
Universitas Mulawarman Samarinda, Mei 1994.
12. Pengembangan Basic Sciences di LPTK, IKIP Medan, April 1993.

13. TPB dan MIPA. Ceramah wawasan MIPA pada pelatihan PMIPA
LPTK di UGM 27 Agustus 1994.

14. Pengembangan PMIPA LPTK dan masa Depannya, IKIP Jakarta,10


Juli 1996.

15. Sumbangan ITB dalam Pengembangan Matematika di Indonesia,


dalam AURA BIRU, Catatan Para Pelaku Sejarah ITB, 2009.

16. Prospek Profesi Aktuaria di Indonesia, Seminar Nasional


Matematika UGM, Agustus 2003.

17. PMRI dari KNM 2000–2012. Bersama Zulkardi, mengisi ceramah


pada Konferesi Nasional Matematika (KNM) di UNPAD Bandung,
2012.

7. Salasan Associates Inc., Kanada, sebagai Associate Consultant pada


Mid-Term Performance Assessment Eastern Indonesia University
Development Project – Phase II, Indonesia. Proyek CIDA Kanada,
1996 Mid-term Performance Assessment, oleh Salasan Associates
Inc., perusahaan Kanada yang dikontrak CIDA, Kanada, untuk
mengevaluasi semua bantuannya di universitas di Indonesia,

94
termasuk UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, dan univesitas di bagian
Indonesia Timur. Kontrak dari November sampai Desember 1995.

8. FinancialGovernment and Social Security Reform, Asian


Development Bank, 25 September 2006 – Maret 2007. Bersama
Claude Pichet dari Kanada dan Suryadi Slamet. Tugas: merevisi
kurikulum Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI), merekomendasikan
sistem yang baru, serta menyesuaikan kurikulum Aktuaria ITB dan
UI dengan sistem ujian yang baku International Association of
Actuaries (IAA). Tujuannya untuk menghasilkan kurikulum untuk
PAI dan ujiannya.
9. Penelitian Polis Bebas Premi dan Hutang Klaim, kepala proyek
peneliti, LAPI ITB dan Asuransi AJB Bumiputra, 2006.

95
Billy:
Bulang merupakan orang yang baik. Bulang suka berkebun, dan juga berenang
bareng kami. Terkadang kami suka olahraga bareng.

Ryu:
Bulang itu bagiku orang yang bijaksana dan baik, ia sering membantuku
dan juga menyemangatiku saat aku kesusahan.

Satya Wacana University Press


2019 96

Anda mungkin juga menyukai