Sebuah Autobiografi
ii
ROBERT KERESMIS SEMBIRING MELIALA
Sebuah Autobiografi
ISBN: 978-602-5881-27-5
All rights reserved. Save Exception stated by the law, no part of this publication may be
reproduced, stored in a retrieval system of any nature, or transmitted in any form or by
any means electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwise, included a
complete or partial transcription, without the prior written permission of the author,
application for which should be addressed to author.
Diterbitkan Oleh:
Satya Wacana University Press
Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711
Telp (0298) 321212 Ext. 1229, Fax. (0298) 311995
iii
Pada mulanya saya hanya ingin mengumpulkan data
tentang apa saja yang telah saya kerjakan.
Setelah pensiun banyak waktu untuk merenung,
melihat ke belakang.
Apa yang telah saya kerjakan dalam hidup ini.
Rekaman ini merupakan sebahagian dari kegiatan tersebut.
Semoga bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
RKS
iv
KATA PENGANTAR
v
DAFTAR ISI
vi
Bagian Ketiga – Menuntut Ilmu Sampai ke Amerika ........................ 36
Berangkat ke Bloomington........................................................ 36
Pulang...................................................................................... 48
vii
Bagian Terakhir ........................................................................... 85
Renungan................................................................................. 86
Profil .......................................................................................... 89
Makalah ................................................................................... 90
Terjemahan .............................................................................. 92
Editor....................................................................................... 93
Tulisan Populer dan Ceramah ................................................... 93
viii
BAGIAN PERTAMA
KAMPUNG HALAMAN
Dari kiri ke kanan: Nini Bulang, Nini Karo, Nini Biring, Ibu, dan seorang anak dari
saudara Ibu
Dokumentasi Pribadi
2
keluarga-keluarga lain yang tinggal di rumah adat kami akan berusaha
menengahi pertengkaran Ibu dan madunya. Dan demi ketenteraman,
pada akhirnya Ayah pun ikut pulang ke rumah Nande Nguda.
Kampung Seberaya
Saya masih ingat, bahwa dulu di Seberaya, rumah-rumahnya
masih berupa rumah adat yang ditinggali delapan sampai sepuluh
keluarga. Keluarga yang tinggal di rumah adat tersebut tidak harus
saling memiliki hubungan kekeluargaan. Semua tergantung bagaimana
kesepakatan sebelum rumah tersebut dibuat. Rumah adat Karo dibuat
dengan kayu-kayu yang besar, dan sepertinya tidak mungkin lagi
membuat rumah seperti itu di zaman modern seperti sekarang ini.
3
Gambar 1.2
4
oleh tetangganya sendiri karena masalah perbatasan tanah. Saya masih
terlalu kecil di masa beliau hidup, sehingga wajahnya hanya samar-
samar saja teringat.
Nini Bulang (kakek dari pihak Ayah) dan Nini Karo tinggal di
kampung Sukanalu, kira-kira 3–4 km dari Seberaya. Untuk menuju ke
sana, perlu melewati sawah ladang dan dua sungai. Satu sungai yang
agak besar, yaitu Sungai Lau Biang. Pada saat itu, kami harus
menggunakan jembatan titian bambu untuk menyeberangi sungai besar
yang lebarnya mencapai delapan meter itu. Suatu ketika, saya yang
baru berusia sekitar lima tahun, diajak oleh Tammat Sembiring, anak
dari adik Nini Karo yang berusia setahun lebih tua dari saya, ke
Sukanalu. Kami berangkat tanpa pamit kepada Ibu. Malam-malam, Ibu
dan Ayah datang dengan perasaan yang sangat khawatir dan
menemukan saya di pangkuan Nini Karo yang sedang masak. Nini
Bulang termasuk orang yang gigih. Badannya kekar, pekerja keras,
namun agak pelit. Sawahnya luas, dan juga punya kerbau beberapa
ekor. Kalau menginap di rumahnya, saya sering diminta untuk
menginjak-injak punggung beliau. Nini Bulang hanya makan dua kali
sehari –siang dan malam, tetapi porsi makanannya sangatlah banyak.
5
Masa SD di Zaman Jepang
6
Nini Bulang membawa beras dari Sukanalu, dan tinggal di sawah
sendirian bersama kerbau dan anjingnya.
7
untuk memantau keadaan. Hampir seluruh Tanah Karo akhirnya
dikuasai Belanda, dan pada akhirnya semua pengungsi disarankan
kembali ke kampungnya masing-masing. Kalau tidak salah, ini terjadi
pada tahun 1947. Kami anak-anak sekolah disarankan kembali ke
kelasnya sebelum pengungsian, jadi saya kembali ke kelas 3 di
Seberaya. Di sekolah, pelajaran berhitung dianggap yang paling
penting dan siswa dianggap pintar kalau nilai berhitungnya baik. Nilai
saya dalam berhitung, walupun bukan yang terbaik, tetapi tidak
pernah jelek.
8
dadanya. Peristiwa itu terjadi pada malam hari pada Agustus 1948,
kuartal terakhir saya kelas 3 SD.
9
pertama bernama Raleng atau biasa saya panggil Mamatua, anak
kedua yaitu Ibu, anak ketiga bernama Nuhit atau Mama Nguda,
keempat yaitu Nampat atau Bibi Tengah, dan yang kelima bernama
Serta atau Bibi Nguda. Mamatua saya ini bekerja sebagai polisi lalu
lintas di Siantar sejak pendudukan Jepang, dan tidak pernah menikah
sepanjang hidupnya. Abang Kamar pun akhirnya pergi mengikuti
Mamatua.
Tidak lama setelah Ayah meninggal, Nande Nguda minta cerai.
Nini Bulang berusaha menahannya, tetapi Nande Nguda mengancam,
kalau tidak diizinkan maka dia akan menghanyutkan anaknya, Nurdin,
di Sungai Lau Biang. Ancaman ini jelas hanya gertak sambal, tapi tanpa
dia sadari, pengaruhnya sangat besar dari segi psikologi anaknya.
Karena tidak berhasil menahan Nande Nguda, maka akhirnya dia cerai
dan menikah lagi dengan partner Ayah di kedai kopi, sebagai istri
ketiga. Nurdin terpaksa diasuh Nini Bulang di Sukanalu ketika berusia 4
tahun, sedangkan Rosman tetap tinggal dengan ibunya.
Kematian Ayah yang dituduh sebagai pengkhianat membuat
saya merasa tidak diterima di kampung, dan setidaknya, saya
merasakan ada beberapa orang yang menunjukkan kegembiraan atas
meninggalnya Ayah. Sekitar setahun di Siantar, Abang disuruh pulang
oleh Mamatua, dan kemudian bekerja sebagai pembantu di kedai kopi
tempat Ayah dulu bekerja, bersama orang yang mengawini Nande
Nguda. Rupanya, setelah pendudukan Jepang, Mamatua lebih memilih
menjadi gerilyawan RI daripada menjadi polisi Belanda. Tak lama
kemudian, dia tertembak Belanda dalam suatu pertempuran, dan
dimakamkan di Taman Pahlawan Medan. Ketika itu terjadi, saya sudah
duduk di kelas 6 SD di Tigapanah.
10
kami, para siswa, mengambil tanah dari tebing tersebut untuk
menutupi bagian pekarangan yang digenangi air. Tak terduga,
tebingnya runtuh dan saya terlempar ke pinggir jalan. Untuk beberapa
lama, saya sulit bernapas, sedangkan seorang teman saya tertimbun
tanah. Kami berdua dibawa ke rumah sakit di Kabanjahe, sekitar 4 km
jauhnya dengan andong, sangat sedikit mobil pada masa itu. Ibu
diberitahu oleh pihak sekolah dan segera menyusul. Setelah diperiksa,
saya langsung diizinkan pulang bersama ibu naik andong kembali,
sedangkan teman saya yang tertimbun harus dirawat selama sebulan.
12
Sehabis ujian, sekolah kami yang terbuat dari anyaman bambu
dan sudah reot diruntuhkan atas arahan beberapa guru. Pemerintah
kemudian mendirikan gedung baru serta sebuah SMA.
13
Bagi orang kampung, nama Kerstmis itu susah disebutkan. Ibu
memanggil saya Keresmis, sedangkan Nini Bulang memanggil saya
Kerasmis. Anak-anak sepermainan memanggil saya Mimis, orang-orang
di kampung memanggil saya Keris, dan umumnya, termasuk di
sekolah, saya dipanggil Kerismis. Dahulu, saya kurang senang dipanggil
demikian karena rasanya kurang gagah. Selesai mengikuti ngawan –
istilah bahasa Karo untuk belajar Alkitab sebelum baptis, saya pun
akhirnya menambahkan nama Robert dan dibaptis di Gereja Batak
Karo Protestan (GBKP) Medan tahun 1956. Jadilah akhirnya nama saya
Robert Keresmis Sembiring.
Di sekolah, pelajaran yang paling saya sukai sejak dulu adalah
matematika dan fisika. Guru matematika dan fisika di SMA cukup
menyenangkan dan besar pengaruhnya dalam menentukan jalan hidup
saya. Khususnya, Pak Lolo Panggabean, guru fisika saya, seorang
mahasiswa tugas belajar dari IKIP Bandung (sekarang UPI Bandung).
Ketika ada tes saat saya kelas 3, nilai yang diberikan guru ilmu
hayat ini tidak cocok menurut saya. Jadi, saya pun protes. Tidak puas
dengan penjelasan dari guru ini, kertas ulangan saya buang ke lantai.
Saya pun dihadiahi sekali tempelengan di pipi, ―Kalau kau tidak
senang, keluar!‖. Saya pun jadi terkenal di sekolah karena tempelengan
itu. Pasalnya, guru tersebut terkenal sangat sopan dan lemah lembut,
dan sudah agak berumur. Jadi, aneh kalau sampai dia menempeleng
siswa. Saya pikir, waktu itu saya memang sudah keterlaluan.
Selain matematika dan fisika, saya juga senang belajar bahasa
Inggris, dan kebetulan, gurunya juga menyenangkan. Ada beberapa
14
guru bahasa Inggris yang pernah mengajar saya, namun pada suatu
ketika diambil alih oleh direktur SMA. Saya senang menghafal kata-
kata dan belajar berbicara dalam bahasa Inggris. Kebetulan, teman
indekos saya yang bekerja di bank meminjamkan novel berjudul 1984
karangan George Orwell yang terkenal itu. Dengan susah payah, saya
selesaikan membacanya. Saya sering bertanya kepada guru bahasa
Inggris mengenai kata-kata yang tidak saya mengerti dalam novel itu.
Saya senang dengan cara mengajarnya yang serius dan banyak
berbicara bahasa Inggris.
Libur Panjang
16
dan melarang saya pulang ke rumah. Dia mengajak saya tidur di
rumahnya di dekat situ. Keesokan paginya, barulah Abang Rusia
memanggil Ibu. Tentunya, Ibu sangat ketakutan. Besoknya, akhirnya
saya kembali ke Medan untuk melanjutkan sekolah.
Berangkat ke Bandung
17
dua bulan di Bandung. Dengan menangis, Ibu pun akhirnya harus rela
melepas saya.
Hari keberangkatan telah tiba. Ibu dan Abang Kamar waktu itu
mengantar saya sampai ke Pelabuhan Belawan. Abang Kamar
kebetulan sedang pulang kampung sehingga bisa ikut menemani Ibu.
Saat itu, Abang sudah menjadi tentara di bagian komunikasi dan baru
menyelesaikan pendidikan ketentaraan di Cimahi. Beberapa hari
sebelum berangkat, Abang menuliskan nama-nama penginapan yang
bisa saya tinggali di Bandung nanti, kalau belum dapat indekos sendiri.
Saya terima saja bekal itu, tanpa tahu apa yang akan terjadi nanti.
Kapal yang akan saya tumpangi untuk menyeberang pulau
adalah kapal berukuran kecil, biasa dipakai untuk membawa ternak
sapi. Persis sebelum kapal itu berangkat, Abang bertemu dengan
seorang kawan yang sama-sama menempuh pendidikan tentara di
Cimahi, namanya Situmorang. Saat itu, Pak Situmorang hendak
kembali ke Bandung. Abang pun meminta kepada beliau supaya
menolong saya mencari tempat tinggal di Bandung nanti.
19
BAGIAN KEDUA
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Kuliah di ITB
Kapal yang saya naiki berlayar selama satu malam dua hari, dan
berlabuh di Perlabuhan Tanjung Priok. Saya bersama Pak Situmorang
pun kemudian melanjutkan perjalanan ke Bandung naik kereta api.
Beliau yang waktu itu sudah menikah, tidak keberatan menampung
saya di rumahnya di kawasan Dago Pojok. Karena sudah mendapat
tumpangan, saya jadi tidak memerlukan lagi bekal nama-nama
penginapan yang diberikan oleh Abang Kamar.
Saya mendaftar di Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas
Indonesia (FIPIA UI) Bandung. Waktu itu, tidak ada tes masuk
perguruan tinggi seperti sekarang ini. Tanpa tes pun, calon mahasiswa
yang mendaftar ke FIPIA jumlahnya masih sedikit sekali. Berbeda
dengan sekolah kedokteran yang ramai mahasiswanya.
Kesimpulannya, saya waktu itu memilih fakultas yang paling tidak
menarik bagi banyak orang. Saya juga memilih Jurusan Astronomi
semata-mata karena ingin tahu, di sebelah mana surga itu? Aneh.
Kehidupan di Bandung
21
dan satu anak perempuannya tinggal di Hotel Naripan. Mereka
menyediakan makan siang dan makan malam untuk saya. Lumayan
juga, penghematan untuk saya yang masih indekos.
Saya pun datang kembali jam 6 sore, dan Kakak meminta, ―Kita
harus segera berangkat. Rasanya sudah mau melahirkan.‖ Jadi, saya
pun mengantarnya pergi naik becak. Sesampainya di perempatan Jl.
Aceh dengan Jl. Sumatera, Kakak berteriak-teriak, ―Bayinya mau
keluar!‖
Saya memohon kepada supir mobil itu, ―Ini kakak saya mau
melahirkan, tolong antarkan ke situ!‖ sambil menunjuk ke arah Rumah
Sakit Bersalin Sariningsih yang jaraknya mungkin tidak ada 1 km lagi.
―Baik!‖ sopir itu pun membelokkan mobilnya arah kembali ke
arah utara Jl. Sumatera. Saya menyuruh tukang becak untuk menyusul
ke rumah sakit, tetapi dia tidak mau. Jadi, terpaksa saya bayar di situ
juga dalam keadaan terburu-buru.
22
yang masih muda. Kalau dipikir sekarang, baik sekali orang itu mau
mengantarkan kami dan membiarkan mobilnya basah oleh air ketuban
Kakak. Dua atau tiga menit kemudian, kami tiba di RS Bersalin
Sariningsih. Sesampainya di sana, Kakak kena omel oleh suster,
―Kenapa masih pakai celana dalam?‖
23
Pada masa-masa itu, ada namanya Berita ITB, suatu harian yang
pertama kali diterbitkan oleh mahasiswa ITB. Harian itu mulai terbit
sekira tahun 1962. Saya ikut menjadi reporter angkatan pertama dan
mendapat tugas sebagai kepala tata usaha. Salah satu tugas khusus saya
adalah mengantar harian Berita ITB, setebal 4 halaman folio, ke
beberapa redaksi koran. Untuk itu, ITB menyediakan sebuah motor
BMW besar yang bisa saya bawa pulang. Saya membawa motor itu ke
tempat menginap di Balubur dan Jl. Naripan, karena kebetulan di Jl.
Kejaksaan tidak ada tempat. Bisa dibilang, sayalah satu-satunya
mahasiswa yg dapat motor dinas. Kalau ada mahasiswa lain yang mau
memakai motor itu, harus dengan izin saya dulu.
24
Nantinya, Nurdin mendapat pekerjaan di Bekasi, kemudian menikah
dan menetap di sana.
Bekerja di Taspen
Susiana Joenarti
27
tinggal di kota kecil itu sampai lulus SD. Bapaknya kemudian mengirim
Susi untuk sekolah di Yogyakarta, karena menurut beliau, Klaten waktu
itu kelihatannya kurang maju. Jadi ketika masuk SMP, Susi bersama
ketiga kakaknya mulai diindekoskan di Yogyakarta.
Tahun 1952, bapak Susi meninggal dunia. Keluarganya tidak
diizinkan lagi menempati rumah dinas di Klaten, sehingga ibu Susi
memutuskan untuk menetap di Yogyakarta, demi menyelesaikan
pendidikan anak-anaknya. Setelah lulus SMA, Susi meneruskan
pendidikan ke Fakultas Matematika UGM.
Pertama kali mengenal Susi, saya merasa kurang percaya diri jika
ingin menemuinya. Maka, saya meminta seorang dosen muda, Drs.
Suhartono, yang sudah seperti teman, untuk menemani saya bertemu
28
Susi. Rupanya, ada sambutan yang baik dari Susi. Kami pun jadi makin
sering bertemu seperti di kampus atau di gereja, sehingga saya tidak
lagi memerlukan bantuan.
Sesudah lulus dari ITB dan mulai bekerja di Taspen, saya punya
rencana untuk melamar Susi. Ibu sebenarnya tidak setuju, dia ingin
saya menikah dengan calon pilihannya, yaitu beru Bukit, tetapi saya
tidak tertarik. Begitu pula dengan ibu Susi yang menginginkan anaknya
menikah dengan orang yang bisa berbicara bahasa Jawa.
―Kalau aku disuruh ngomong bahasa Melayu (bahasa
Indonesia), nggak ngerti aku…‖, begitu kata ibunya. Meski mendapat
tanggapan demikian, saat itu saya merasa sudah yakin akan pilihan
saya. Mungkin karena keseriusan itulah, ibu kami berdua akhirnya
setuju dengan lamaran tersebut. Saya pun memberanikan diri pergi ke
Yogyakarta seorang diri demi melamar Susi kepada ibunya.
Gambar 2.2
29
Kami kemudian menikah secara resmi di gereja Jawa di
Yogyakarta pada tanggal 22 Juni 1966. Kami dinikahkan bersama adik
perempuan Susi, yaitu Kus Sumardani –atau Dani, anak nomor 10.
Suaminya bernama Endarsono, lulusan Teknik Kimia UGM yang baru
menyelesaikan studi S2 di Kanada. Pernikahan kami cukup unik, karena
terdiri atas dua pasangan, yaitu Susi dan adiknya. Saat itu, Mbah dari
Endarsono punya permintaan supaya cucu tunggalnya itu segera
menikah selagi beliau masih hidup. Tetapi, ibunya Susi keberatan,
karena nantinya Dani yang merupakan anak ke-10 akan meloncati
kakak-kakaknya yang belum menikah. Kebetulan, saya melamar Susi
pada waktu tersebut, sehingga disepakati bahwa kami akan menikah
bersama-sama.
Gambar 2.3
30
Gambar 2.4
31
Keluar dari ITB
Pada waktu itu, Pembantu Rektor (PR 1) ITB dijabat oleh Prof.
Moedomo, dosen pembimbing tugas akhir saya, salah seorang dosen
yang paling besar pengaruhnya dalam membantu saya berpikir secara
matematika, dan betul-betul membuat saya cinta matematika. Beliau
32
berusaha keras menahan saya agar tidak keluar dari ITB, tetapi tidak
berhasil. ITB terpaksa menerima permohonan saya, dan saya keluar
dari ITB pada akhir tahun 1966.
Gambar 2.5
Karena saya sudah keluar dari ITB, maka tidak ada lagi halangan
bagi Taspen untuk menetapkan saya jadi Kepala Biro Aktuaria, biro
terbesar di Taspen. Kami kemudian ditawari tinggal di bagian kantor
sehingga kamar di Hotel Naripan dapat kembali ditinggali oleh
keluarga Abang.
33
dan mengancam akan melemparkannya keluar jendela kalau bicaranya
tidak sopan. Kedua direktur diam saja, padahal direktur umum itu
pensiunan Polri dari Madura. Melihat saya marah, orang itu pun
akhirnya diam dan mau menyerahkan kunci tersebut. Aneh, padahal
badannya lebih tegap dan lebih tinggi dari saya. Suasana dapat
dikuasai dan kantor akhirnya menjadi tenang kembali.
Dia mengatakan, ―Saat ini, sudah ada beberapa orang yang ahli
dalam aktuaria, jadi tidak masalah.‖ Saya tahu betul bahwa itu tidak
benar. Waktu itu, hanya ada segelintir orang yang paham aktuaria di
Indonesia.
34
rumahnya malam-malam, dan memberitahukan kepadanya bahwa
saya akan berangkat besok sore ke Amerika Serikat. Saya bilang sore,
padahal sesungguhnya saya berangkat pagi hari –sengaja bohong
karena takut dihalangi. Dia berusaha menahan kekagetannya dan
bicara baik-baik, walau jelas sekali terlihat sangat kaget. Begitulah.
Dengan demikian, saya sudah keluar dari Taspen, walupun secara tidak
hormat alias dipecat.
35
BAGIAN KETIGA
MENUNTUT ILMU SAMPAI KE AMERIKA
Berangkat ke Bloomington
Saya berangkat ke Amerika Serikat bulan Juni 1967, dari
Bandara Internasional Kemayoran di Jakarta. Dulu, pesawatnya belum
menggunakan jet, jadi masih memakai baling-baling. Dari Jakarta, saya
terbang ke Bangkok, lalu ke Hongkong. Saya membeli jas di Hongkong
dengan uang yang disediakan oleh Ford Foundation. Perjalanan
dilanjutkan ke Hawaii, lalu lanjut ke San Fransisco. Dari San Fransisco,
saya terbang lagi ke Chicago. Dari Chicago, saya ke Ibukota Negara
Bagian Michigan, yaitu East Lansing.
36
dengan Liek Wilardjo, seorang mahasiswa Fisika yang nantinya akan
menikahi adiknya Susi.
37
bahwa kesulitan itu sebenarnya bukan masalah. Karena, kalau kita
kerja keras, segala sesuatu itu tentu bisa dilakukan. Tidak ada yang
tidak sulit, yang tidak sulit itu malah yang tidak menarik.
38
Gambar 3.2
39
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Kiri ke kanan:
Ibu Sihwati Nawangwulan (istri dari Roeslan Abdulgani), Susi (istri saya), dan tiga
anggota rombongan lainnya
Dokumentasi pribadi
40
Kehidupan di Berkeley
Jerzy Neyman
Sumber: commons.wikimedia.org
41
Saya sering bertemu dengan Neyman ketika jam makan siang di
kampus, bersama-sama dengan para dosen dan mahasiswa S3 lainnya.
Prof. Neyman suka makan telur rebus dan roti, dan saya pun begitu.
Kadang-kadang, ada dosen yang mengajak kami, para mahasiswa,
untuk bermain pingpong ataupun catur, maka saya juga ikut main
bersama mereka. Yang saya ingat, hubungan antara mahasiswa dan
dosennya begitu erat, seperti dengan sesama teman saja.
42
artinya boleh lanjut ke jenjang Ph.D. Masalahnya ialah mencari topik
disertasi beserta pembimbingnya. Di Berkeley, saya berkenalan dengan
Prof. Nathan Keyfitz, dan kenal baik dengan Prof. Widjojo Nitisastro,
Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Prof.
Nathan Keyfitz adalah salah seorang demograf terbaik di dunia saat itu
dan sudah beberapa kali datang ke Indonesia dan pernah datang ke
Bandung bersama istrinya dan memberi ceramah dalam bidang
demografi di ITB. Saya mengambil kuliah demografi –yaitu ilmu
mengenai kependudukan, dari Prof. Keyfitz ini dan menjadi asistennya
sejak Juli 1970. Sebagai asisten, tugas saya umumnya adalah melakukan
perhitungan demografi menggunakan komputer. Dia menerbitkan
banyak paper dan menulis beberapa buku, nama saya ada tertulis di
situ.
Pergi ke Boston
Pada suatu hari, mobil Corvair yang saya miliki rasa-rasanya
perlu diperbaiki. Jadi, saya pun membawanya ke bengkel. Teknisi yang
menangani mobil saya mengatakan bahwa biaya perbaikannya lebih
mahal dari harga mobil itu sendiri. Artinya, mobil Corvair itu harus
dibuang. Akhirnya, mobil itu pun saya bawa ke junkyard dengan
bantuan teman saya, Sutrisno. Bannya yang masih bagus kami jual
seharga 20 dollar. Pembelinya janji akan mengirim uangnya, tetapi tak
pernah dia kirim sampai sekarang. Begitulah akhir riwayat mobil
43
Corvair tersebut, kami tinggalkan di San Fransisco. Beberapa bulan
setelah itu, saya kemudian membeli mobil bekas kepunyaan mahasiswa
yang baru lulus dan akan meninggalkan daerah itu. Mobil tersebut
bermerk Chevrolet –atau Chevy, mobilnya tua dan agak besar.
Saat itu, Prof. Nathan Keyfitz sudah berusia 59 tahun dan akan
pensiun dari pekerjaannya di University of California. Beliau lalu
ditawari pekerjaan di Harvard University yang mau
mempekerjakannya sampai usia 70 tahun. Maka, Prof. Keyfitz pun
pindah ke Havard University pada tahun 1972. Saya akhirnya ikut
dengan beliau ke Boston mulai Agustus 1972, dengan status masih
menjadi mahasiswa S3 University of California.
Gambar 3.6
45
Indonesia, istri dan anak saya tinggal terlebih dahulu di Yogyakarta
sebelum pulang ke Bandung. Sementara itu, saya harus kembali dulu ke
Berkeley untuk menyelesaikan administrasi akademik.
46
Setelah kejadian itu, saya naik bus ke Ottawa, Kanada, untuk
mengunjungi Duta Besar Indonesia saat itu, Jenderal Djamin Ginting.
Kebetulan, kami sama-sama orang Karo. Saya kemudian kembali ke
Amerika Serikat melewati air terjun Niagara, terus naik bis ke
Bloomington untuk melapor kepada Prof. W. Andrews. Saya lanjutkan
naik pesawat ke San Francisco, terus naik helikopter, dan akhirnya
kembali ke Berkeley.
47
BAGIAN KEEMPAT
KESEDERHANAAN ADALAH KEINDAHAN
Pulang
Jalur pesawat terbang yang saya ambil ternyata melalui Kutub
Utara, dan saya melihat matahari yang tidak pernah terbenam selama
24 jam. Pesawat yang saya tumpangi sempat transit di London,
sampailah saya di Eropa.
48
Vatikan dalam 2 jam. Waktu itu, Vatikan belum begitu ramai. Saya
pun melihat-lihat catacomb di sana.
Membangun Rumah
Pada tanggal 15 Juli 1973, saya kembali ke ITB. Waktu itu, saya
menjadi dosen dengan pangkat paling rendah karena sebelumnya
pernah berhenti bekerja. Semuanya harus diulang dari awal lagi. Ketua
jurusan lalu memberi saya tugas sebagai kepala perpustakaan. Karena
sistem klasifikasi buku masih menggunakan yang kuno, maka dengan
persetujuan pimpinan, sistem saya ubah mengikuti sistem Dewey.
Perubahan ini membuat saya cukup sibuk, dan untungnya, ada
bantuan dari Perpustakaan Pusat ITB.
49
Di sela-sela waktu tersebut, tepatnya ketika masih tinggal di
Dago Timur, Susi rupanya punya keinginan untuk bekerja sebagai guru.
―Bosan di rumah‖, katanya. Saya coba yakinkan dia agar selesaikan
dulu studi S1-nya, baru nanti cari pekerjaan yang lebih baik. Susi
kemudian kembali ke Matematika ITB, melanjutkan studinya yang
tertunda. Pada masa itulah, Susi mengandung anak kedua. Susi pun
berkuliah dalam keadaan hamil, dan ternyata cukup merepotkan dia.
Syukurnya, lahirlah anak kedua kami. Seorang anak perempuan yang
sehat lahir di Rumah Sakit Advent pada 20 Juli 1974. Kami
memberinya nama Rudangta Arianti Sembiring, panggilannya Anti.
Setelah kelahiran Anti, kami memutuskan, dua anak saja sudah cukup.
Gambar 4.1
Dari kiri ke kanan: Istri, Anti, Uky, dan saya pada tahun 1982
Dokumentasi Pribadi
Bekerja di BP3K
51
time for Ph.D (after qualifying exam) is 2 years. In my case, deadline:
Dec. 31, 1977.‖ Artinya, saya diberi waktu dua tahun untuk
menyelesaikan disertasi.
52
Indonesia: National Assessment of the Quality of Indonesian
Education: Grade 9 and Grade 12.
BP3K banyak memberi saya pengalaman seperti bertemu para
ahli dan peneliti dalam bidang pendidikan, baik dari dalam maupun
luar negeri. Pada waktu itu, rapat-rapat di BP3K sering diadakan di
hotel-hotel di dalam dan luar Jakarta, sehingga hampir semua hotel di
sekitar Puncak, Cipanas, Cisarua, pernah saya kunjungi. Perjalanan
Bandung-Jakarta biasanya menggunakan kereta-api. Dalam suatu
perjalanan pulang Jakarta-Bandung tahun 1980 saya numpang mobil
VW sedan Dr. Ibrahim yang juga bekerja di BP3K dan tinggal di
Bandung. Di suatu tikungan di daerah Cipatat datang truk dengan
kecepatan tinggi. Untuk menghindari tabrakan supir VW yang kami
tumpangi mengemudikan mobilnya terlalu kekiri dan jatuh ke jurang.
Saya tertidur waktu itu dan baru sadar sewaktu mobil itu jatuh bebas
sejauh 5m kemudian berputar sekali dan baru berhenti ditahan oleh
pohon kira-kira 10 m di bawah jalan. Ada empat orang di mobil itu,
saya duduk di belakang. Tidak ada yang luka dan mobilpun tidak
rusak. Mobil ditarik ke atas dengan derek.
53
saya baru sadar bahwa biaya perjalanan saya dalam bentuk travel
check tertinggal di kantor di Senayan. Dengan menggunakan tilpon
kantor di Jepang saya interlokal agar travel check tersebut dikirim ke
alamat di Denver, Colorado. Saya terpaksa pinjam uang teman
sekantor yang ikut pelatihan di Tokyo untuk biaya ke Amerika. Dari
Tokyo mengunjungi Berkeley, kemudian pusat pengujian pendidikan
di Denver. Ternyata travel check sudah dibawa rekan sekantor ke
California dan janji akan mengirimnya ke Ann Arbor. Michigan, Ann
Arbor, selama seminggu jadi tamu bagian statistik khusus untuk
sampling. Beruntung, travel check tiba lewat pos.
Setelah itu, saya ke Amerika Serikat, mengunjungi dua tempat
yaitu Kota Denver, Colorado, tugasnya mengenai national test, dan ke
University of Michigan di Kota Ann Arbor mengenai sampling, masing-
masing selama satu minggu. Setelah berkunjung ke Amerika, saya
ditugaskan ke University of Stockholm di Swedia selama tiga minggu,
mulai tanggal 3 sampai 25 Oktober 1980. Tugasnya mengenai
organisasi pendidikan secara umum dengan tema: Institute for the
Study of International Problems in Education. Tamu di acara itu antara
lain Dr. Noonan dan direktur institut tersebut, Prof. Torsten Husen,
yang pada waktu itu menjadi Direktur International Association for the
Evaluation of Educational Achievement (IEA). Di sini saya belajar path
analysis yang kemudian menjadi paper untuk dipresentasikan di
konferensi matematika di Surabaya.
Setelah menyelesaikan tugas-tugas dari BP3K tersebut, saya
kemudian berkunjung ke Wina, Austria, pada tanggal 25 sampai 27
Oktober. Saya menjadi tamu seorang kerabat bernama Ratno yang
waktu itu menjadi perwakilan Indonesia di Atomic Energy Commision.
Saya kemudian terbang ke Athena, Yunani, pada tanggal 27 sampai 29
Oktober, dan terakhir, pulang kampung ke Medan pada tanggal 30
Oktober 1980.
Ada sebuah cerita menarik sewaktu saya bekerja di BP3K,
terjadi sekira tahun 1980-an. Untuk pulang dan pergi bekerja, saya
54
biasanya naik kereta api Jakarta-Bandung. Suatu hari, saya dan rekan-
rekan sedang beristirahat di asrama BP3K di Jakarta. Seorang rekan
bernama Ibrahim menawari saya pulang ke Bandung naik mobilnya,
sebuah sedan Volkswagen –VW. Ibrahim ini adalah pegawai BP3K
bagian kurikulum dari IKIP Bandung. Karena cukup mengenalnya dan
kami pun satu tujuan, saya sepakat untuk menumpang mobilnya.
Zaman dulu, tidak ada jalan tol. Kami harus melalui jalan yang
menanjak, menurun, dan berlika-liku. Ketika saya tertidur di bangku
belakang, tiba-tiba Ibrahim kehilangan kendali, dan mobil VW kami
jatuh bebas ke jurang! Kami jatuh ke jurang sedalamnya 5 meter
sampai mobil terguling-guling. Saya baru terbangun ketika mobil itu
sedang terguling-guling. Beruntung, ada pohon kemiri yang
menghentikan mobil kami. Kalau tidak ada pohon itu, barangkali
mobil kami sudah menabrak rumah warga yang ada di bawah jurang.
Sewaktu berhenti, posisi mobil yang saya tumpangi sudah kembali
normal. Mobil pun diderek naik kembali ke jalan, dan dari situlah saya
baru menyadari bahwa tidak ada satupun dari kami yang terluka.
Body mobil VW yang jatuh tadi pun masih utuh, dan semua dalam
keadaan baik! Itu membuktikan kalau VW adalah mobil yang hebat.
Kami pun pulang dengan selamat.
55
di University of California. Begitulah pengalaman-pengalaman menarik
selama bekerja di sana. Pada tahun 1982, akhirnya saya pun minta
berhenti dari kantor BP3K.
56
2. Surat Edaran Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN tahun
1987 tentang metode ilmiah yang mengacu ke Akta V mengenai
penelitian yang harus menggunakan pengujian hipotesis.
58
BAGIAN KELIMA
MATEMATIKA DAN PMRI
Dokumentasi pribadi
59
menyiapkan program pra-S2 di UGM dan ITB bagi dosen muda
PMIPA, penulisan bahan ajar PMIPA, dan menetapkan lima calon
Growth Center PMIPA LPTK sebagai pengganti Tim BS LPTK. Hal yang
pertama kami kerjakan ialah mengubah kurikulum PMIPA, studi S2, –
termasuk pra-S2, di ITB atau UGM bagi para dosen. Karena banyak
dosen mereka yang belum siap mengikuti S2, maka disiapkan juga
pelatihan pra-S2 selama setahun di ITB atau UGM. Bagi yang mampu,
diberi kesempatan studi lanjut S3 di dalam atau luar negeri.
60
dan Irian. Semua universitas negeri di Indonesia sudah saya kunjungi,
termasuk Dili, Timor Leste, kecuali Universitas Jember.
61
Pendidikan Aktuaria ITB
62
pada 4 Mei di Erasmus Huis, Jakarta, dihadiri oleh Rektor ITB dan
Dirjen DIKTI, Prof. Satryo Sumantri beserta Dekan Pascasarjana ITB.
Program ini juga meliputi Chemical Engineering. Sayang, program ini
hanya bertahan dua angkatan dengan jumlah hanya 15 lulusan.
Sebagian disebabkan karena krisis ekonomi di sekitar tahun 2001.
63
P4M ITB
65
pulang dari Columbus, Ohio, pada Maret 1991, setelah mengikuti
program Senior staff di Ohio State University dan singgah seminggu di
Simon Fraser University Canada, saya singgah di Enschede (24–30
Maret) untuk membahas kelanjutan kerjasama. Di luar dugaan, saya
disambut hangat oleh pimpinan UT, jamuan makan siang, dihadiri oleh
Presiden Universitas dan Rektor Magnificus. Kunjungan saya masuk
Koran UT Nieuws, halaman 3 dengan judul: Samenwerking TW met
Bandung.
Kerjasama direncanakan untuk periode 1991–1995 dan menurut
rektor, Prof. Jos de Smit, UT telah menganggarkan dana sebesar
10.000 gulden. UT sangat tertarik membuat program S2 untuk
mahasiswa Indonesia, dengan harapan sebagian di antaranya akan
melanjutkan ke S3. Rupanya, profesor di Belanda kekurangan
mahasiswa, itulah motif utama UT melakukan kerjasama. Waktu itu,
dana dari pihak ITB berasal dari Pusat Antar Universitas (PAU).
66
mahasiswa Indonesia di sana menyanyikan lagu Batak berjudul Lisoi-
lisoi.
Untuk menunjukkan kesungguhannya, saya diundang untuk
berkunjung dua bulan di UT. Saya pun tiba di Kota Enschede pada
tanggal 30 November 1993, bersama dengan Pontas Hutagalung.
Waktu itu, dia datang dengan biaya sendiri dan tinggal seminggu
dengan saya di Campus Laan. Susi datang sebelum Natal, dan pada
akhir kunjungannya, kami mengunjungi Berlin untuk melihat-lihat
tembok Berlin. Kami mengunjungi Heidelberg dan kemudian hendak
ke Itali, namun hanya sampai di Chiasso. Rupanya, visa kami sudah tak
berlaku lagi sehingga disuruh kembali ke Swiss, dan kami pun
menginap semalam di tepi Danau Lugano. Kami melanjutkan
perjalanan ke Geneva, lalu ke Paris lihat museum, makam Napoleon,
lalu kembali ke Amsterdam dan menyempatkan diri berkunjung ke
rumah seorang rekan bernama Ed van den Berg di dekat pantai Barat.
Ed van den Berg ini lama tinggal di Salatiga untuk membantu
Universitas Kristen Satya Wacana. Dari Amsterdam, kami pulang ke
Indonesia.
J. Simonis dan AHP van der Burgh dari TUDelft meminta saya
menemani mereka mengunjungi beberapa perguruan tinggi di Jawa
pada tanggal 5–17 April 1991. Dari kunjungan tersebut, kami membuat
usulan kerjasama dengan Belanda dalam matematika selama lima
tahun, dan baru bisa dimulai 1995. Kegiatan ini sebagai implementasi
dari MoU antara kedua pemerintah pada Oktober 1992.
67
pernyataan yang tidak mengenakkan mengenai insiden di Timor
Timur. Pemerintah RI kemudian mengancam akan menolak bantuan
dari IGGI, selama organisasi tersebut masih dipimpin oleh Belanda.
Pencekalan ini terjadi pada tahun 1992. Peristiwa tersebut membuat
hubungan kerjasama Belanda-Indonesia dalam bidang matematika jadi
seperti hampir putus semangat, dan hubungan mencapai titik nadir
sekitar 1994. Baru pada tahun 1995, kerjasama ini dapat dilanjutkan
lagi.
68
Memang tidak mudah bekerja sama dengan Brenny, orangnya terasa
sedikit kasar dan orang lain mudah tersinggung karenanya. Bagi saya,
hal itu bukan masalah besar, yang penting kerjanya bagus.
69
Akibat kerjasama ini, hampir tiap tahun saya ke Belanda dan
telah mengunjungi hampir semua daerah di Belanda. Dalam salah satu
kunjungan itu, pada November 1998, saya minta Albert, anak dari
Nurdin, untuk memesan kendaraan untuk mengantar saya ke Bandung
dari Cengkareng. Waktu tiba di Cengkareng, ternyata kendaraan itu
membatalkan jemputannya karena ada huru-hara di Jakarta dan Albert
beserta Nurdin memberanikan diri menjemput saya. Seram, sangat
menegangkan. Saya duduk di depan memegang sebatang besi karena
takut pada kerusuhan itu. Kami lihat, banyak sekali kendaraan yang
dibakar.
Ada permasalahan besar dengan Adriaan. Bulan Maret 2000,
saya ke Delft untuk melakukan evaluasi 15 mahasiswa S3 PGSM. Dua di
antaranya di bawah bimbingan Adriaan. Permasalahan yang muncul
ialah bahwa Adriaan akan pensiun sebelum kedua mahasiswa itu
selesai studinya. Solusi yang disepakati di tingkat fakultas ialah agar
Adriaan diangkat jadi profesor di TU Delft. Dia ingin sekali saya
memperjuangkannya dengan Presiden TU Delft (Dr. N. de Voogd).
Saya kenal baik presiden itu dan pada suatu kunjungan, saya diantar
Adriaan, seperti biasanya, dan dia menunggu di luar ruangan. Saya
memasalahkan permohonan Adriaan dan saya bilang dia sangat
berjasa dan sedang menunggu di luar kantor. Presiden de Voogd minta
agar Adriaan dipanggil dan saya perkenalkan ke presidennya.
Rupanya, baru sekali itu dia bertemu dengan presidennya dan saya
yang memperkenalkannya. Presiden berjanji akan berusaha menolong
sedapat mungkin. Setahun kemudian, 8 Maret 2001, karena belum
juga diangkat, saya menulis khusus ke president Dr. N. de Voogd
tentang kehawatiran saya mengenai nasib kedua mahasiswa di bawah
bimbingan Adriaan. Dalam suratnya kepada saya, Presiden de Voogd
mengatakan bahwa Adriaan telah ditawari sebagai Extraordinary
Professorship di ITB. Adriaan menolaknya karena dia ingin profesor
yang biasa di TU Delft. Bagi ITB, tidak ada masalah asal honornya dari
Delft. Usaha itu gagal dan Adriaan tidak mau lagi bertemu saya karena
70
merasa saya kurang keras memperjuangkannya dengan pinpinan TU
Delft. Kedua mahasiswa itu akhirnya dibimbing oleh professor lain
tanpa mengubah problemnya, dan sekarang sudah kembali ke
institusinya semula.
Pada kunjungan ke Universitas Groningen bulan Maret 2000
saya diundang oleh Theo Jurriens, seorang teman dari Jurusan
Astronomi RUG, menonton balapan sepeda Dokkum Woudenomloop
yang ke 16, Sabtu 18 Maret. Theo rupanya ketua dewan juri balapan
itu, dan saya diperkenalkan kepada para hadirin sebagai tamu
kehormatan dari Indonesia. Untuk saya disediakan satu sedan dengan
supir seorang anak muda juara balapan tahun yang lalu. Hanya mobil
kami yang boleh melewati jalan-jalan yang dilalui pembalap.
Salah satu hal yang membuat saya senang kepada PMRI ialah
bahwa dengan PMRI, siswa menjadi lebih aktif. Mereka belajar
berdiskusi dan jadi menghargai pendapat orang lain. Guru dicegah
untuk menggurui, tidak boleh berkhotbah di dalam kelas. Menurut
saya, inilah salah satu cara bagi siswa untuk belajar berdemokrasi.
74
Belanda menjadi pembicara utama dengan judul Indonesia, Show
Case.
Program untuk tujuh Master dianggap sukses dan sesudah tahun
2009, dilanjutkan dengan dana bersama antara DIKTI dan Stuned dari
pemerintah Belanda untuk lima tahun. Dalam studi ini, setiap
mahasiswa belajar satu tahun di Indonesia; UNESA atau UNSRI, dan
setahun di Utrecht. Penelitian dilakukan di Indonesia. Pada akhir
kerjasama, sudah ada sekitar 100 orang dosen muda bergelar Master
dari hasil program ini.
Gambar 5.3
―Majalah PMRI‖
Dokumentasi Pribadi
Dari dana PBSI, Majalah PMRI mulai terbit empat kali setahun,
dan dibagikan gratis ke sekolah dengan saya sebagai ketua dewan
redaksi. Penulisan bahan ajar mulai diadakan dengan bantuan
DoPMRI, mulai dari kelas 1 SD. Para penulis, yaitu lima orang yang
semuanya dosen, dilatih seminggu di Belanda sambil melihat
pelaksanaan RME di sekolah. Mereka kemudian melatih tenaga
75
pengajar dan tim penulis, terdiri atas dosen dan beberapa guru.
Sewaktu bantuan DoPMRI habis, buku yang selesai dibuat baru buku
murid dan buku guru kelas 1 saja. Oleh karenanya, Balitbang P&K
kemudian membiayai penerbitan buku kelas 2 serta draft kelas 3.
Gambar 5.4
76
Keuangan), Fasli Jalal (mantan Wakil Menteri Pendidikan), Satrio
Sumantri (mantan Dirjen DIKTI), Mukhlas Samani (mantan Direktur
DIKTI dan Rektor UNESA), dan Bana Kartasasmita, dengan anggota
Tim PMRI sebanyak sepuluh orang.
Gambar 5.5
Dokumentasi pribadi
Forum Rektor
77
yang bebas. Pada pertemuan kedua Februari 1999 di Bali, diputuskan
membentuk Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia dengan
pengurus sembilan orang rektor yang dipimpin oleh Rektor ITB, Lilik
Hendrajaya, dan pelaksana yaitu Sudjana Sapiie dari ITB. Khusus untuk
pemilu yang akan dipantau menggunakan metode PVT (Parallel Vote
Tabulation), diperlukan metode statistik dan saya ditunjuk sebagai
ketua tim statistika serta Sudjana Sapiie sebagai ketua tim pemantau.
Tim ini dibantu oleh seorang konsultan bernama Prof. Dr. Neil Nevitt
dari Department of Political Science, University of Toronto dan NDI
(National Democratic Institute) dari Partai Demokrat Amerika Serikat.
Rencana semula, saya akan diundang ke Toronto dan Washington
untuk persiapan, tetapi setelah diskusi tiga arah lewat telepon,
diputuskan bahwa saya cukup paham permasalahannya sehingga
kepergian tidak lagi diperlukan. Padahal, saat itu visa sudah
dikeluarkan.
79
Kegiatan Lainnya
6. Kelompok Teknometrika
Bersama dengan tiga dosen ITB, satu dari Fisika Teknik, satu
dari Matematika Terapan, dan satu lagi dari Statistik, kami
mendirikan Kelompok Tenometrika sekira tahun 1982. Proyek
pertama ialah dari PT Pupuk Kujang, masalah pengadaan dan
penggudangan (inventory) material. Proyek kedua mengenai
proyeksi pendapatan Perumtel, tahun 1984. Ini permasalahan
80
statistik yang harus menggunakan komputer besar di Jakarta
dan di kelompok itu, cuma saya yang bisa mengerjakannya.
7. Sipenmaru
11. Mengikuti program Senior staff, Proyek Bank Dunia XXI DIKTI,
tiga bulan di Ohio State University, Columbus, Ohio, pada
Januari–Maret 1990. Naskah awal buku Analisis Regresi
diselesaikan disini.
81
14. Pada tahun 1999, saya terlibat dalam program Freeport
Indonesia untuk menangani permasalahan relationship with
local people and sedimentation (telling).
15. Pusat Perbukuan
Permasalahan buku ajar berbeda-beda padahal kurikulumya
sama. Perlu ada pedoman penulisan bahan ajar. Tim
beranggotakan 13 orang dari IKIP Bandung dan Balitbang
dengan penanggung jawab saya. Saya bekerja di sana selama
tiga tahun, sejak tahun 2000.
82
menjadi olah raga saya sampai tua. Kalau dulu saya bisa berenang
sejauh 2 km dalam waktu kurang dari sejam, sekarang 1 km saja sudah
amat susah. Ikut klub diving ITB angkatan pertama dan dalam ujian di
Pulau Seribu, berkenalan dengan bulu babi, seram! Saya sudah
menyelam di pulau Menjangan di Bali, Ambon dan Bunaken. Bertemu
ikan hiu di Bali dan Ambon, tapi mereka tidak mengganggu. Olah raga
sekarang, di samping berenang, jalan kaki dan jogging, dan memotong
rumput di halaman rumah.
Gambar 5.6
83
80 (terlambat 8 bulan). Ada pidato-pidato dari Dekan dan orang-
orang dari Jurusan Matematika. Saya disuruh untuk memberi kata
sambutan tetapi saya tidak tahu persis apa yang harus saya sampaikan.
Sepertinya, acara itu sudah dipersiapkan dengan matang, karena ada
tamu dari Belanda juga hadir, E van Groesen.
84
BAGIAN TERAKHIR
Ibu Meninggal
Renungan
Dalam hidup ini saya tidak pernah punya rencana mau jadi apa.
Pengalaman hidup dari Seberaya sampai ke Bandung, lalu bisa
bersekolah ke Amerika, dan berkeliling dunia tidak pernah terlintas
sedikit pun dalam pikiran saya saat masih anak-anak. Saya hanya
86
melalui hidup sambil melaju dengan sedikit malu-malu, kadang juga
nekat.
87
Gambar 6.1
88
PROFIL
89
pada kuliah itu. Selama sekitar 2 tahun permulaan di Jakarta, saya
menginap di rumah Sudi Sudiarso di Pasar Minggu. BP3K kemudian
menyediakan rumah tempat nginap bagi karyawan yang tinggal di
Bandung di daerah Setiabudi, Kuningan.
10. Memberi kuliah aktuaria di Pendidikan D3 Aktuaria BPLK
Departemen Keuangan (sebagai kelanjutan Pendidikan Aktuaria
Jiwasraya–ITB) 1987–1989.
Makalah
90
5. National Assessment of the Quality of Indonesian Education, Grade
9 report, with Ch. Mangindaan and Ian Livingstone, BP3K Jakarta
& NZER New Zealand, 1978
91
18. Improving Science and Mathematics Teacher Education in
Indonesia dalam Science Teacher Education and Leadership vol 6,
#1
Terjemahan
92
4. Statistika Matematika Modern, oleh E.J. Dudewicz dan S.N. Mishra,
Penerbit ITB, 1995.
Editor
1. Research Workshop MATHEMATICS in INDUSTRY, Scientific
Cooperation between the Netherlands and Indonesia in
Mathematics, koordinator, Bandung, 5 Agustus – 27 September
1996.
93
7. Pembinaan dan Pengembangan PMIPA LPTK. Ceramah pada
SEMLOK IV se-Indonesia di Medan, 5–7 Februari 1992.
10. Kajian pada UPMP dan UAN SMP, SMA Matematika, bersama
Iwan Pranoto, Harian Pikiran Rakyat, 8 Juli 2004.
11. MIPA Sebagai Kesatuan dan TPB, naskah ceramah pada FKIP,
Universitas Mulawarman Samarinda, Mei 1994.
12. Pengembangan Basic Sciences di LPTK, IKIP Medan, April 1993.
13. TPB dan MIPA. Ceramah wawasan MIPA pada pelatihan PMIPA
LPTK di UGM 27 Agustus 1994.
94
termasuk UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, dan univesitas di bagian
Indonesia Timur. Kontrak dari November sampai Desember 1995.
95
Billy:
Bulang merupakan orang yang baik. Bulang suka berkebun, dan juga berenang
bareng kami. Terkadang kami suka olahraga bareng.
Ryu:
Bulang itu bagiku orang yang bijaksana dan baik, ia sering membantuku
dan juga menyemangatiku saat aku kesusahan.