Anda di halaman 1dari 21

GLOBAL WARMING

ANCAMAN NYATA SEKTOR PERTANIAN DAN UPAYA


MENGATASI KADAR CO2 ATMOSFER

DISUSUN OLEH,
NAMA : 1. HAFIZ SULTAN FIRJATULLOH.Z
2. ANISA SYLVIA INDRI
3. NORMALA
KELAS : 1B
SEMESTER : SATU
JURUSAN : TEKNIK ELEKTRO

UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG


PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
2018 – 2019

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 1
GLOBAL WARMING
ANCAMAN NYATA SEKTOR PERTANIAN DAN UPAYA
MENGATASI KADAR CO2 ATMOSFER
Oleh : Made Suarsana dan Putu Sri Wahyuni

A. Abstrak
Pemanasan global atauGlobal Warmingadalah adanyaproses
peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.Sebagian
besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-
20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi
gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah
kaca. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas
karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan
konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran
bahan bakar minyak. Upaya khusus mengatasi Global Warming
adalah menanam pohon dan menggunakan bioenergi.
Ulasan Materi : Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan
suhu rata-rata atmosfer laut dan daratan bumi yang disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca dan upaya mengatasinya
adalah dengan melakukan penanaman pohon (reboisasi),
menggunakan bioenergi, dan menggunakan energi fosil secukupnya.

B. Pendahuluan
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74
± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir.
Intergovernmental Panel on ClimateChange (IPCC) menyimpulkan
bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak
pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas
manusia" melalui efek rumahkaca. Simpulan dasar ini telah
dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik,
termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 2
Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju
dengan beberapa simpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan
suhu permukaan global akan meningkat 1.1°C hingga 6.4°C (2.0°F
hingga 11.5°F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka
perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda
mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta
model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian
besar penelitian terfokuspada periode hingga 2100, pemanasan dan
kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih
dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.
Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan
perubahan-perubahan yang lain, seperti naiknya permukaan air laut,
meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem, serta
perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan
global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya
gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah
mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa
depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang
terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain.
Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia
mengenai tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau
membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap
konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan
negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi
Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas
rumah kaca.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 3
Ulasan Materi : Para ilmuwan telah menyatakan suhu permukaaan
rata-rata di bumi meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama
seratus tahun terakhir, dan kemungkinan besar disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas
manusia" melalui efek rumahkaca. Dan akibat yang di sebabkan
pemanasan global cukup serius dan sangat banyak sekali. Ada
beberapa hal yang menjadi permasalahan yaitu mengenai jumlah
pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan
bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi
tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain.

C. Efek Rumah Kaca


Efek rumah kaca, yang pertama kali diusulkan oleh Joseph
Fourier pada 1824, merupakan proses pemanasan permukaan suatu
benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh
komposisi dan keadaan atmosfernya.
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari
Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi
gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba di
permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang
menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian
panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini
berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.
Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat
menumpuknya jumlah gas rumah kaca, antara lain uap air,
karbondioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang
radiasi ini.
Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi
gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut
akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus
sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus
meningkat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 4
rumah kaca. Dengan makin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di
atmosfer, makin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas
karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan
konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran
bahan bakar minyak, batubara dan bahan bakar organik lainnya yang
melampaui kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk
menyerapnya.
Energi yang masuk ke Bumi:
• 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer
• 25% diserap awan
• 45% diserap permukaan bumi
• 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi
Energi yang diserap dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi
inframerah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar
inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2
dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam
keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek
rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak
terlalu jauh berbeda.
Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca
adalah belerang dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen
dioksida (NO2) serta beberapa se-nyawa organik, seperti gas metana
dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut me-megang peranan
penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.
Ulasan Materi : Banyak yang bisa menyebabkan efek rumah kaca
selain CO2, seperti belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO),
dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti
gas metana dan klorofluorokarbon (CFC).

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 5
D. Dampak Efek Rumah Kaca
Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya
perubahan iklim yang sangat ekstrem di bumi. Hal ini dapat
mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga
mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di
atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-
gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya
permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan
meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi
kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan
akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah
meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5°C. Bila kecenderungan
peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan
menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C
sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di
atmosfer, maka akan makin banyak gelombang panas yang
dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan
mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.
Ulasan Materi : Perubahan iklim yang ekstrim di bumi, mencairnya
gunung es dikutub, meningkatnya volume air laut.

E. Dampak Pemanasan Global


Para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur,
pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan
global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat
beberapa perkiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap
cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan
liar, dan kesehatan manusia.
1. Iklim Mulai Tidak Stabil
Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama pemanasan
global, daerah bagianUtara dari belahan Bumi Utara (Northern

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 6
Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di
Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan
akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan
Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju
ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan
di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan makin sedikit
serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang
di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari
akan cenderung untuk meningkat.

2. Peningkatan permukaan laut


Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah
dengan lingkungan yang stabil secara geologi. Ketika atmosfer
menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat,
sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi
permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di
kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak
volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah
meningkat 10–25cm (4-10inchi) selama abad ke-20, dan para
ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88cm (4-
35inchi) pada abad ke-21.

Gambar 1. Perubahan tinggi muka laut dari tahun ke tahun

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 7
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi
kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100cm (40inchi) akan
menenggelamkan 6% daerah Belanda, 17,5% daerah
Bangladesh, dan banyak pulau-pulau lainnya. Erosi dari tebing,
pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan
mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat
di daratan. Negara-negara kaya akan meng-habiskan dana yang
sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan
negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi
dari daerah pantai.

3. Suhu global cenderung meningkat


Orang mungkin beranggapan bahwa bumi yang hangat akan
menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal
ini sebenarnya tidak sama di bebe-rapa tempat. Bagian Selatan
Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan
dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di
lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian
Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang
menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat
menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang
berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak
bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat
mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

4. Gangguan ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit
menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan
telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan
cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas
pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya,
mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 8
hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi
perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau
selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian
mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu
secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

5. Dampak sosial dan politik


Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya
penyakit-pe-nyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke)
dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan
gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi.
Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air
laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan
penyakit-penyakit yang berhu-bungan dengan bencana alam
(banjir, badai, dan kebakaran) dan kematian akibat trauma.
Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan
penduduk ke tempat-tempat pengungsian di mana sering muncul
penyakit, seperti: diare, malnu-trisi, defisiensi mikronutrien, trauma
psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Ulasan Materi : Iklim mulai tidak stabil, peningkatan permukaan laut,
suhu global cenderung meningkat, gangguan ekologis, dampak sosial
dan politik.

F. Ancaman Global warming Terhadap sektor Pertanian Indonesia


Kekhawatiran orang akan menipisnya persediaan bahan pangan
di dunia ini bagi pemenuhan kebutuhan umat manusia telah bergaung
sejak beberapa abad lalu. Malthus, dalam karyanya yang
menimbulkan perdebatan sengit, Essay on the Principleof Population,
mengungkap kekhawatiran tersebut. Malthus mensinyalir
bahwa,kelahiran yang tidak terkontrol, menyebabkan penduduk
bertambah menurut deret ukur, sementara persediaan makanan tak
akan mampu tumbuh lebih besar dari deret hitung.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 9
Kekhawatiran Malthus, dan juga banyak orang lainnya, jelas
beralasan. Indikasi yang ditunjuknya telah hampir menjadi kenyataan.
Menurut Bank Dunia, populasi global diperkirakan akan meningkat
menjadi lebih 8,3 milyar pada tahun 2025, dari hanya sekitar 5,3
milyar saat ini. Dengan begitu, berpegang pada asumsi bahwa seluruh
manusia yang ada harus tetap makan, dengan standar gizi yang
meningkat, maka produksi makanan harus dinaikkan beberapa ratus
persen, dari tingkat pro-duksi saat ini. Artinya, beban itu utamanya
harus diberikan pada sektor pertanian, sebagai sektor utama
penghasil bahan pangan.
Kenyataan di atas dikhawatirkan akan makin memburuk dengan
makin terwujudnya perdagangan bebas. Perdagangan bebas sering
dilihat sebagai hal yang menciptakan ruang berkembang bagi proses
akumulasi gas-gas rumah kaca. Ini terjadilewat dorongan terhadap
peningkatan produksi dan konsumsi yang pesat, yang tidak disertai
dengan teknologi produksi yang ramah lingkungan (environmental
friendlytechnology). Tulisan singkat ini, dengan menggunakan model
Computable General Equilibrium, bertujuan mencari relasi antara
perdagangan bebas, peningkatan suhu global warming, dan
dampaknya pada sektor pertanian di Indonesia.
Sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis,
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap
ancaman dan dampak dari perubahan iklim. Letak geografis dan
kondisi geologisnya menjadikan negeri ini semakin rawan terhadap
berbagai bencana alam yang terkait dengan iklim. Menurut laporan
IPCC, Indonesia diperkirakan akan menghadapi berbagai ancaman
dan dampak dari per-ubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut,
meluasnya kekeringan dan banjir, menurunnya produksi pertanian,
dan meningkatnya prevalensi berbagai penyakit yang terkait iklim
merupakan beberapa dampak perubahan iklim yang sudah dan akan
terjadi di Indonesia.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 10
Sebagian besar, kota-kota di negeri ini yang berpenduduk padat
berada di daerah pesisir pantai. Kota-kota ini beberapa dekade
mendatang terancam akan tenggelam akibat kenaikan permukaan air
laut. Penelitian yang dilakukan oleg Gordon Mc Grahanan dari
International Institute for Environment and Development, Inggris,
menemukan bahwa sekitar 10% dari total penduduk bumi yang
bermukim sekitar 10 meter dari pinggir pantai terancam akan
tenggelam ketika es di kutub mencair akibat perubahan iklim. Jakarta,
Makassar, Padang, dan beberapa kota di Jawa Barat akan tenggelam
beberapa dekade mendatang, jika kita merujuk pada penelitian ini.
Menurunnya produksi pangan akibat gagal panen yang
disebabkan oleh banjir dan kekeringan juga diperkirakan akan makin
sering terjadi, beberapa daerah di bagian timur Indonesia seperti
Papua dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang paling
rawan terhadap ancaman ini. Meningkatnya suhu memicu
peningkatan prevalensi beberapa penyakit yang terkait iklim seperti
malaria, diare, dan penyakit saluran pernapasan. Untuk kasus malaria,
peningkatan suhu menyebabkan nyamuk, vektor malaria, yang
sebelumnya hanya hidup di daerah rendah, kini dapat hidup di daerah
dataran tinggi yang sebelumnya bebas malaria. Hal ini menyebabkan
peningkatan penyakit malaria di berbagai daerah di Indonesia.
Kelangkaan air bersih akibat kekeringan dan merembesnya air asin
karena kenaikan permukaan air laut, memicu peningkatan penyakit
diare di masa depan.
Orang mungkin beranggapan bahwa bumi yang hangat akan
menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini
sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada,
sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih
tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak,
lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin
tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air
irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 11
(kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir
alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam.
Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga
dan penyakit yang lebih hebat.
1. Panen padi kosong di Indramayu
Bencana yang dialami petani Indramayu, oleh pemerintah
daerah dianggap dampak meningkatnya suhu bumi, alias
pemanasan global. Menanam varietas Talimas itu gagal panen di
sini karena gabuk selap. Kena angin bugang. Kalau dihitung rata-
rata kerugian petani untuk satu hektar mencapai satu juta lebih.
Meningkatnya suhu bumi membuat iklim terus berubah, menjadi
sulit untuk diraba. Sehingga Sering terjadi keterlambatan tanam.
Ini pertanda telah terjadi dampak pemanasan global.
2. Musim yang tidak menentu (Anomali Iklim)
Pemanasan global yang memicu anomali iklim.Sederhananya,
iklim menyimpang dari biasanya. Penyimpangan iklim ini terus
meningkat, baik seringnya, gawatnya, maupun lamanya. Namun
dampak perubahan iklim terhadap pertanian tidak langsung.
Biasanya diawali dengan musim yang kacau serta munculnya
bencana banjir dan kekeringan.
Para petani, nelayan dan semua pihak yang berkaitan
langsung dengan kondisi cuaca dibuat pusing oleh anomali cuaca
ekstrem. Musim kemarau seolah bertumpuk dengan musim hujan
sehingga sepanjang waktu selalu basah. Bahkan di sejumlah
tempat hujan lebat tempat telah mengakibatkan banjir bandang
yang menenggelamkan ratusan hektar sawah, dan ladang.
Anomali cuaca ini juga menggandeng angin puting beliung yang
memporak porandakan sejumlah rumah dan pepohonan.
Anomali cuaca ekstrem ini merupakan salah satu dampak dari
global warming. Fenomena global ini membuat kalang kabut para
petani dan pengusaha agribisnis. Tidak hanya banjir yang diterima
juga terdapat peningkatan populasi hama. Banyak terjadi kasus

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 12
ratusan hetar lahan benih milik sebuah BUMN yang hancur tidak
dapat dipanen akibat adanya wereng. Serangan hama penggerek
juga mengalami peningkatan sehingga mengganggu petani padi.
Dampak ini juga berpengaruh kepada petani tebu, karena
mengakibatkan kadar air yang tinggi, sehingga terjadi penurunan
rendemen tebu.

3. Kalender tanam berubah


Di Subang yang merupakan sentra produksi pangan, hasil
studi menunjukkan: jika intensitas anomali kuat, maka masa
tanam mundur 30 hari. Itu terjadi jika musim kemarau maju lebih
cepat tiga puluh hari dan musim hujan mundur 20 hari. Tapi kalau
anomalinya sedang, mundurnya cuma 20 hari.
Iklim yang sulit diperhitungkan menyebabkan petani sulit
menyusun kalender tanam. Jadi kalau musim kemarau, lahan
pertanian kekeringan. Sedang kalau musim hujan, yang dialami
cuma banjir. Petani jelas rugi.
Karena ramalan iklim susah ditebak. Kita kecolongan terus di
lapangan. Yang kita mampu adalah menyiasati bagaimana
sebelum kekeringan, panen sudah selesai. Ternyata perkiraan
meleset. Seperti sekarang, kita perkirakan tanam Oktober 2010,
tapi sekarang belum menanam. Apa ada prediksi kalau Januari
2011 tidak banjir? Sangat sulit untuk memprediksi hal tersebut.
Sukar ditentukan kapan persisnya dampak perubahan iklim
terjadi. Ada pakar yang berpendapat perubahan iklim sudah terjadi
pada tahun 1970an, tapi ada juga yang bilang baru tahun 1997.
Pemerintah sendiri melalui Direktur Pengelolaan Air Departemen
Pertanian, mengakui dampak perubahan iklim untuk sektor
pertanian di Indonesia baru diawasi 1997.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 13
4. Penurunan Produksi Pertanian Indonesia
Global Warming yang selanjutnya berakibat pada
ketidakpastian perubahan iklim, seperti banyak disinyalir oleh para
pakar iklim, disebabkan oleh meningkatnya kadar CO2, CFCs, gas
Metana, dan gas-gas lainnya tergabung dalam gas ‘rumah kaca’ di
atmosfir. Seperti diketahui, emisi gas-gas rumah kaca biasanya
dihasilkan oleh proses produksi dari industri-industri, terutama
yang menjadikan bahan kimia sebagai salah satu bahan
dasarnya. Untuk menghindari keadaan tersebut, maka tak ada
jalan lain kecuali mengurangi kadar/akumulasi gas-gas rumah
kaca dalam atmosfer, lewat pembatasan/pengendalian terhadap
pola produksi dan konsumsi yang polutif.
Namun, tampaknya, masih dibutuhkan waktu yang panjang
untuk sampai pada keadaan tersebut. Kondisi mutakhir
menunjukkan bahwa kecenderungan emisi gas-gas rumah kaca
ternyata makin meningkat dari waktu ke waktu. Di Indonesia,
pengaruh pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim,
antara lain terlihat dari curah hujan di bawah normal, sehingga
masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah hujan di
sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan
sistem irigasi yang buruk makin memicu terjadinya banjir,
termasuk di area persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995
hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah
1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di antaranya
mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun
waktu tersebut berjumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar
di antaranya gagal panen.
Adapun tahun lalu, 189.773 hektare tanaman padi mengalami
gagal panen, dari 577.046 hektar sawah yang terkena banjir dan
kekeringan. Dengan rata-rata produksi 5 ton gabah per hektar,
gabah yang terbuang akibat kekeringan dan banjir pada 2006
mencapai 948.865 ton. Untuk tahun ini, Menteri Pertanian Anton

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 14
Apriyantono mengatakan lahan pertanian yang mengalami puso
karena banjir dan kekeringan hingga Februari mencapai 33 ribu
hektar. Jumlah tersebut bukan angka tetap karena pada Maret lalu
puluhan hektar tanaman juga terkena banjir. Akibat curah hujan
yang tinggi dan pengelolaan irigasi yang tidak optimal, air yang
diidentikkan sebagai rezeki dari langit tidak memberi berkah bagi
penduduk bumi.
Rosamond Naylor, Direktur Program Ketahanan Pangan dan
Lingkungan dari Stanford University, melansir anomali cuaca El
Nino, yang diperburuk oleh pemanasan global, akan menimbulkan
kerugian bagi produksi beras di kawasan Jawa-Bali karena
mundurnya musim hujan. Diperkirakan pada masa kekeringan
Juli-September nanti, tanaman pangan terancam mati tanpa irigasi
memadai. Sebelumnya, pada 2002, Rasamond Naylor, Water
Falcon, dan kawan-kawan telah melakukan penelitian tentang
"penggunaan data klimatologi El Nino/Osilasi Selatan untuk
memprediksi produksi dan perencanaan kebijakan pangan
Indonesia". Penelitian ini menyebutkan bahwa anomali iklim pada
El Nino dapat mengurangi produksi padi hingga 4,8 juta ton gabah
atau setara dengan 2,88 juta ton beras.
Pemanasan global juga turut mempengaruhi peningkatan
magnitude dan frekuensi kehadiran El Nino, yang memicu makin
besarnya kebakaran hutan. Inilah yang terjadi di Indonesia pada
1987, 1991, 1994, dan 1997/1998. Kerugian ekonomi akibat
kebakaran hutan pada 1997/1998 saja, menurut Konsorsium
Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia, mencapai
US$ 8.855, termasuk di dalamnya kerugian sektor perkebunan
(berdasarkan luas area lahan yang terbakar) US$ 319 juta dan
kerugian sektor tanaman pangan (berdasarkan penurunan
produksi beras) mencapai US$ 2.400 juta. Melihat berbagai
realitas di atas, tidak salah jika Intergovernmental Panel on
Climate Change dalam laporan yang berjudul "Climate Change

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 15
Impacts,Adaptation and Vulnerability" pada 6 April 2007
menyimpulkan perubahan iklimmakin mengancam produksi
pangan Indonesia.
Ulasan Materi :Ancaman global warming terhadap sektor pertanian
Indonesia: 1) Panen padi kosong di Indramayu, musim yang tidak
menentu, kalender tanam berubah, penurunan produksi pertanian di
Indonesia.

G. Upaya Umum Mengatasi Global Warming


Upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi Global Warming
antara lain :
• Konferensi Climate Change (UNFCCC)
Isu perubahan iklim mulai mendapat perhatian dunia sejak
diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de
Janeiro, Brazil, pada tahun 1992. Pada pertemuan itu para
pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi sebuah perjanjian
mengenai perubahan iklim yang dikenal dengan Konvensi
Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC).
Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menjaga kestabilan
emisi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang aman,
sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Konsentrasi
emisi gas rumah kaca di atmosfer yang tak terkendali adalah
penyebab terjadinya perubahan iklim secara global. Di Indonesia
sendiri, isu perubahan iklim belakangan ini mulai mendapat
perhatian luas dari berbagai kalangan. Laporan para ahli
perubahan iklim yang tergabung dalam IPCC (Intergovern-mental
Panel on Climate Change) yang dipublikasikan pada awal april ini,
menjadi salah satu pemicu munculnya kesadaran berbagai
kalangan terhadap ancaman per-ubahan iklim di negeri ini. Laporan
yang bertajuk Climate Change Impacts, Adaptation,and
Vulnerability menunjukkan ancaman-ancaman perubahan iklim

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 16
yang sudah ter-jadi dan diperkirakan akan terjadi di masa depan.
Selain itu, posisi Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi
Perubahan Iklim tahunan yang akan diselenggarakan di Nusa Dua,
Bali, pada akhir tahun ini, mau tidak mau mewajibkan pemerintah
untuk meningkatkan perhatian dan kesadarannya terhadap isu ini.

• Mitigasi
Komitmen dunia dalam mitigasi pemanasan global dengan
menurunkantingkat emisi secara kolektif 5,2 persen dari tingkat
emisi pada 1990 tetap harus di-usahakan. Sejauh ini negara maju
memang mengucurkan banyak dana untuk berbagai skema
penyelamatan hutan di Indonesia, antara lain melalui program
Clean Development Mechanism. Namun, tidak bisa tidak, mereka
juga harus menurunkan tingginyatingkat konsumsi energi fosil yang
menyumbang besar pada pemanasan global dan secara bertahap
menggantinya dengan energi yang ramah lingkungan.
Indonesia, yang tercatat sebagai penyumbang terbesar ketiga
karbon dioksida,salah satu jenis gas rumah kaca akibat kebakaran
hutan, perlu mengambil langkah yang revolutif. Meski terlambat,
inilah saatnya memprogramkan restorasi ekosistem nasional,
pembangunan, dan pengelolaan hutan lestari serta moratorium
logging di daerah-daerah tertentu. Pilihan kita, menahan sesaat
kalkulasi ekonomi sektor ini atau bencana berkepanjangan. Dari
data Badan Planologi (2004), diketahui kerusakan hutan di
kawasan hutan produksi mencapai 44,42 juta hektare, di kawasan
hutan lindung mencapai 10,52 juta hektare, dan di kawasan hutan
konservasi mencapai 4,69 juta hektare. Departemen Kehutanan
menyebutkan pada 2000-2005, laju kerusakan hutan Indonesia
rata-rata 1,18 juta per tahun. Klimaks kerusakan hutan negeri ini
disebabkan oleh praktik ilegal, sehingga menempatkan Indonesia
sebagai negara paling masif dalam laju kerusakan hutan.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 17
• Adaptasi
Langkah adaptasi juga perlu dijalankan karena sekuat apa pun
usaha kita mengurangi gas rumah kaca, kita tidak akan mampu
sepenuhnya terhindar dari dampak perubahan iklim. Di berbagai
negara, upaya adaptasi mulai dilakukan, misalnya pembuatan
strategi manajemen air di Australia dan Jepang atau pembangunan
infrastruktur untuk melindungi pantai di Maldives dan Belanda.
Inilah yang kita perlukan di Indonesia. Setidaknya pemerintah
membangun sistem identifikasi dan informasi mengenai dampak
perubahan iklim serta mengembangkan sistem peringatan dini dan
manajemen dampak perubahan iklim. Untuk sektor pertanian,
sistem penyuluhan sebagai pusat informasi cuaca dan perubahan
iklim harus dibangun serius. Menghadapi perubahan iklim yang kian
nyata menjelang 2050, perlu dikembangkan jenis padi yang tahan
kekeringan atau cara budidaya padi yang lebih efisien terhadap air.
Selain itu, pembangunan dan manajemen irigasi penting dibenahi.
Kita perlu mempertanyakan bagaimana pemetaan wilayah yang
rawan kekeringan, informasi perubahan dan prediksi iklim, peta
zona agroekologi potensial, teknologi pemanenan hujan, serta
embung yang selama ini diklaim telah dikembangkan pemerintah.
Pada kenyataannya, bila El Nino tiba, selalu menyebabkan
sebagian besar wilayah dan lahan pertanian kita mengalami defisit
air. Penghijauan/reboisasi, pem-bangunan dan manajemen irigasi,
serta penataan daerah resapan air dan daerah aliran sungai yang
telah diprogramkan sejak Orde Baru tidak jelas hasilnya. Bahkan
dalam rapat dengar pendapat Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat
RI dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen
Pekerjaan Umum (8 Maret 2007) terungkap sebagian besar sungai
yang ada di Pulau Jawa dalam keadaan kritis.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 18
H. Upaya Khusus Mengatasi Global Warming
Upaya khusus untuk mengatasi global warming adalah dengan
menanam pohon sebanyak-banyaknya, khususnya pohon dengan
kemampuan menyerap karbondioksida tinggi dan mengganti bahan
bakar fosil dengan sumber energi baru yang tanpa emisi karbon.
1. Menanam Pohon Trembesi
Penanaman pohon merupakan langkah awal yang dapat
dilakukan oleh setiap orang untuk mengatasi masalah pemanasan
global yang ramai diperbicangkan saat ini. Konferensi Tingkat
Tinggi Puncak Perubahan Iklim yang baru selesai terselenggara
adalah di Copenhagen Denmark 18 Desember 2009. Konferensi
yang diselenggarakan PBB ini menuntut adanya pengurangan
emisi karbon dunia harus di bawah ambang batas yang ditargetkan,
yaitu 25 hingga 40 persen.
Mengutip dalam situs resmi Kementrian KESRA disebutkan
bahwa Pemerintah Indonesia dalam konferensi tersebut
berkomitmen akan mengurangi 26 persen emisi karbon pada 2020.
Penanaman pohon bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi
karbon dan Pohon Trembesi efektif menyerap karbon dari udara.
Maka pada 13 Januari 2010 Presiden Republik Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono menyelenggarakan pencanangan pohon
trembesi untuk menyerap karbondioksida (CO2) sebagai salah satu
cara guna mengurangi pemanasan global.
Pohon Trembesi atau dikenal dengan Pohon Hujan atau Ki
Hujan adalah pohon berkanopi seperti payung yang memiliki
ukuran daun yang tak lebih dari koin Rp 100, namun paling unggul
dalam menyerap karbondioksida. Menurut Dr. Ir. H. Endes N.
Dahlan, Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
mengungkapkan bahwa Pohon Trembesi suatu terobosan untuk
mengatasi pemanasan global, karena memiliki daya rosot gas CO2
yang sangat tinggi. Satu batang pohon Trembesi mampu menyerap
28,5 ton gas CO2 setiap tahunnya (diameter tajuk 15 m).

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 19
Penanaman jenis ini secara luas dapat menurunkan konsentrasi
gas ini secara efektif dalam waktu yang lebih singkat.
Soal kehebatan Pohon Trembesi, Doktor Ilmu Kehutanan
alumnus Institut Pertanian Bogor itu meriset 43 pohon yang
dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan. Hasilnya, Pohon
Trembesi terbukti paling banyak menyerap karbondioksida dan
memiliki kemampuan menyerap air tanah yang kuat. Dalam
setahun, tanaman yang didatangkan Belanda dari Semenanjung
Yucatan, Meksiko, 16.400 km di se-berang Jakarta itu menyerap
28.488,39 kg karbondioksida.

2. Pohon Nipah sebagai sumber energi baru


Sebuah sumber energi baru ditemukan untuk menggantikan
bahan bakar minyak, yakni ethanol dari pohon nipah yang
dipercaya dapat menghentikan pemanasan global. Dengan metode
penyulingan minyak ditemukan sebuah penemuan, yaitu
memproduksi ethanol secara komersial dari pohon nipah, yang bisa
ditemukan di negara-negara yang berada di wilayah ekuator, yang
bisa menjadi bahan bakar mulai dari kendaraan bermesin hingga
pembangkit listrik.
Nipah tumbuh di bagian belakang hutan bakau, terutama di
dekat aliran sungai yang memasok lumpur ke pesisir. Palma ini
dapat tumbuh di wilayah yang berair agak tawar, sepanjang masih
terpengaruh pasang-surut air laut yang mengantarkan buah-
buahnya yang mengapung. Di tempat-tempat yang sesuai, tegakan
nipah membentuk jalur lebar tak terputus di belakang lapisan hutan
bakau, kurang lebih sejajar dengan garis pantai. Nipah mampu
bertahan hidup di atas lahan yang agak kering atau yang kering
sementara air surut. Palma ini umum ditemukan di sepanjang garis
pesisir Samudera Hindia hingga Samudera Pasifik, khususnya di
antara Bangladesh hingga pulau-pulau di Pasifik. Nipah termasuk
jenis tumbuhan yang terancam punah di Singapura.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 20
Getah nipah akan digunakan dalam sebuah proses untuk
menghasilkan ethanol yang tidak memproduksi satupun emisi
karbon yang selama ini dianggap menyebabkan efek rumah kaca,
yakni pengubah cuaca dan penipisan ozon. Pohon nipah tidak
termasuk sumber bahan makanan dan getahnya bisa diambil setiap
hari tanpa harus memanen tanaman tersebut. Tanaman ini bisa
hidup hingga 50 tahun dan yang perlu dilakukan hanyalah
mengumpulkan getahnya dan disuling untuk menghasilkan bahan
bakar alternatif.
Ulasan Materi : Ada beberapa upaya untuk mengatasi global warming,
yaitu upaya umum dan upaya khusus. Upaya umum diantaranya
adalah UNFCCC, mitigasi, dan adaptasi. Upaya khusus diantaranya
adalah penanaman pohon trembesi, dan penggunaan pohon nipah
sebagai sumber energi baru.

I. Kesimpulan
Dari artikel diatas dapat di simpulkan bahwa pemanasan global
merupakan permasalahan lingkungan yang sangat serius.
Intergovernmental Panel on ClimateChange (IPCC) menyimpulkan
bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak
pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas
manusia" melalui efek rumahkaca. Menurut perhitungan simulasi, efek
rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5°C. Bila
kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang
akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C
sekitar tahun 2030.Dampak yang di sebabkan oleh pamanasan global
sangat banyak dan hal ini pun sudah dirasakan di berbagai wilayah di
Indonesia. Ada beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi
pemanasan global, ada upaya dan upaya khusus. Dari upaya-upaya
tersebut diharapkan dapat mengurangi dampak dari pemanasan
global.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 Page 21

Anda mungkin juga menyukai