Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan pada hakekatnya diarahkan guna

tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

orang yang menyangkut fisik, mental maupun sosial budaya dan ekonomi.

Pembangunan Sumber Daya Manusia di Sumatera Barat sebagai landasan

pembangunan secara keseluruhan masih menghadapi berbagai masalah

dan kendala, terutama bila dilihat dari beberapa indikator yaitu Angka

Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Berat Badan

Lahir Rendah (BBLR).

Masalah kematian dan kesakitan ibu di Indonesia masih merupakan

masalah besar yang menjadi indikator untuk menilai derajat kesehatan

masyarakat di suatu negara. Dengan masih tingginya angka kematian ibu

berarti pelayanan kesehatan ibu belum baik.

Angka Kematian Ibu (AKI) mengacu kepada jumlah kematian ibu

yang terkait dengan masa kehamilan, persalinan dan nifas. Laporan Survei

Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) terakhir memperkirakan AKI

adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Bahkan WHO,

UNICEF, UNFPA dan World Bank memperkirakan angka kematian ibu

yang lebih tinggi yaitu 420 per 100.000 kelahiran hidup (Trisnantoro L,

2011), sementara target yang ditetapkan oleh Dirjen Bina Gizi dan KIA
untuk tahun 2014 adalah sebesar 110 per 100.000 kelahiran hidup

(Rakornas PKH Kemenkes RI, 2011). Hal ini sejalan dengan target yang

ingin dicapai MDGs adalah menurunkan AKI sebesar tiga – perempatnya

antara tahun 1990 – 2015 dengan indikator tingkat kematian ibu (per

100.000) dan kelahiran yang dibantu tenaga terlatih.

Kondisi lingkungan dan pola fertilitas di banyak negara

berkembang menjadi penyebab utama kematian ibu. Keadaan menjadi

lebih buruk sebab kehidupan pada sebagian terbesar dari penduduk di

negara berkembang masih dilatar belakangi oleh kemiskinan, malnutrisi

dan masalah sosial budaya yang erat hubungannya dengan status wanita.

Sebagian besar dari kematian ibu terjadi di rumah karena pertolongan

persalinan oleh tenaga tidak terlatih.

Persalinan yang aman memastikan bahwa semua penolong

persalinan mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan alat untuk

memberikan pertolongan yang aman dan bersih, serta memberikan

pelayanan nifas kepada ibu dan bayi. Tenaga yang dapat memberikan

pertolongan persalinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tenaga

profesional dan dukun bayi. Berdasarkan indikator cakupan pelayanan

kesehatan ibu dan anak, pertolongan persalinan sebaiknya oleh tenaga

kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan (dokter spesialis

kebidanan, dokter umum, bidan, pembantu bidan, dan perawat bidan)

tidak termasuk oleh dukun bayi.


Fenomena dukun bayi merupakan salah satu bagian yang cukup

besar pengaruhnya dalam menentukan status kesehatan ibu dan bayi,

karena sekitar 40% kelahiran bayi di Indonesia dibantu oleh dukun bayi.

Keadaan ini semakin diperparah karena umumnya dukun bayi yang

menolong persalinan tersebut bukan dukun terlatih. Dalam konteks

budaya (tradisi) masyarakat kita sering terdapat kebiasaan-kebiasaan yang

kadang-kadang merugikan bahkan membahayakan kesehatan wanita hamil

dan ibu pasca bersalin.

Berdasarkan Survei Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)

2003, AKI di Indonesia merupakan angka yang tertinggi di Asia

Tenggara, yaitu sebesar 307/100.000 kelahiran hidup dan menjadi

262/100.000 kelahiran hidup (SDKI 2005), AKB tahun 2015 sebesar

35/1.000 kelahiran hidup dan menjadi 31/1.000 kelahiran hidup, kalau kita

lihat angka-angka tersebut penurunannya sangat lambat dan tidak

signifikan. Target Departemen Kesehatan RI tahun 2015 adalah AKI

226/100.000 kelahiran hidup dan AKB 26/1.000 kelahiran hidup.

Pemerintah Sumatera Barat dalam rangka pencapaian UHH (Usia Harapan

Hidup) pada tahun 2008, maka indikator utama yang harus di intervensi

yaitu menurunkan AKI dan AKB. Angka kematian ibu di Provinsi

Sumatera Barat cukup tinggi, yaitu pada tahun 2017, kasus kematian ibu

berjumlah 107 orang walaupun menurun jika disbanding tahun 2015 (111

orang). Adapun rincian AKI ini terdiri dari kematian ibu hamil 30 orang,

kematian ibu bersalin 25 orang dan kematian ibu nifas 52 orang.


Sementara jika dilihat dari umur, kurang dari 20 tahun 1 orang, 20-34

tahun sebanyak 64 orang dan diatas 35 tahun 42 orang. Trend kasus

kematian ibu setiap tahun bervariasi, secara umum mengalami naik turun,

seperti pada grafik berikut :

Adapun cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di

Sumatera Barat, dimana ibu hamil Resti adalah ibu hamil yang mengalami

resiko atau bahaya yang lebih besar pada waktu hamil maupun bersalin,

jika disbanding ibu hamil normal. Sasaran ibu hamil resti adalah 20% dari

jumlah ibu hamil. Sasaran ibu hamil resti tahun 2017 adalah 24.174 orang.

Sementara temuan ibu hamil resti sebanyak 18.313 orang. Jika

dibandingkan dengan tahun 2015 ada peningkatan jumlah temuan kasus

ibu resti ini, dimana tahun 2015 ditemukan dan ditangani kasus bumil resti

sebanyak 15.577 orang. Ibu hamil yang melakukan persalinan dengan

tenaga kesehatan tahun 2017 adalah 944.549 orang dari 113.586 orang

bersalin.
Sebagian besar penyebab utama kesakitan dan kematian ibu tersebut

sebenarnya dapat dicegah. Penyebab kematian ini adalah penyebab klasik

yang terjadi di negara berkembang atau miskin yang terjadi karena :

Pertama adalah keterlambatan mendapat pertolongan akibat dari

ketidaktahuan atau ketidakmampuan yang disebabkan faktor kemiskinan

dan sosial budaya yang menyebabkan terlambat mengambil keputusan.

Kedua karena keterlambatan mendapat pertolongan karena hambatan

geografis dan transportasi untuk akses terhadap pelayanan kesehatan

(hanya 64% ada bidan di desa, tetapi 100% desa ada dukun, perbandingan

jumlah bidan dengan dukun adalah 1 : 4). Dan yang ketiga karena

keterlambatan untuk mendapat pertolongan dengan benar karena

kemampuan atau keterampilan untuk memberikan pertolongan sesuai

standar masih kurang memenuhi standar minimal alat atau sarana atau

bahan untuk pelayanan pertolongan kegawat daruratan ibu dan anak.


Upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan tenaga dan sarana

pelayanan sedang dilaksanakan melalui berbagai pelatihan dan pengadaan

sarana dan alat atau obat. Namun kendala utama yaitu masih banyaknya

pertolongan persalinan oleh dukun karena tingginya kepercayaan,

keberadaannya yang dekat, ketelatenan dan biaya yang murah adalah

suatu faktor yang tidak boleh diabaikan.

Adapun kematian bayi disebabkan karena asfiksia, komplikasi pada

bayi BBLR dan infeksi, sedangkan penyebab tidak langsung kematian ibu

dan bayi salah satunya dapat disebabkan karena konsumsi makanan yang

kurang ditandai dengan antara 53% ibu hamil menderita anemia. Untuk

kabupaten Dharmasraya saat ini persalinan oleh tenaga kesehatan belum

mencapai target dan pertolongan persalinan oleh dukun masih sangat

tinggi. Adapun jumlah dukun di Nagari Bonjol ada berjumlah 3 orang dan

masih aktif. Masih ada sebagian ibu hamil yang masih melakukan

persalinan oleh dukun tanpa mengetahui resiko yang bisa terjadi namun

sampai saat ini angka kematian ibu dan balita di daerah Nagari Bonjol

Jorong Tuo tercatat tidak ada.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis akan mencoba untuk

mengadakan penelitian yang berjudul Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu

dalam memilih Persalinan di Wilayah Kerja Nagari Bonjol Jorong Tuo.


1.2. Identifikasi Masalah

Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan ibu dalam memilih

pertolongan persalinan di wilayah kerja nagari Bonjol Jorong Tuo?

1.3. Tujuan Penelitia

Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu dalam memilih

pertolongan persalinan pertolongan persalinan wilayah kerja nagari

Bonjol Jorong Tuo.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman bagi

penulis dalam meneliti secara langsung di lapangan.

b. Untuk memenuhi salah satu tugas peneliti dalam menjalani program

internsip dokter umum Indonesia.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan agar masyarakat tahu dan mengerti

mengenai pertolongan persalinan yang aman.

1.4.3 Bagi Tenaga Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Puskesmas Koto

Besar, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat dalam rangka meningkatkan

pelayanan kesehatan.
BAB II

DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

2.1. Data Geografis

Puskesmas Koto Besar merupakan salah satu puskesmas yang ada

di Kabupaten Dharmasraya. Puskesmas Koto Besar resmi berdiri menjadi

Puskesmas induk pada tanggal 1 Mei 2010, yang merupakan pecahan dari

Puskesmas Sungai Rumbai yang berdiri karena adanya pemekaran kecamatan

dari Kecamatan Sungai Rumbai menjadi Kecamatan Koto Besar dengan

lokasi seluas 2500 m2 yang merupakan tanah hibah dari masyarakat.

Puskesmas Koto Besar terletak di Kecamatan Koto Besar, dimana

jarak puskesmas dengan Kabupaten Dharmasraya sekitar 37 km, dengan

wilayah kerja seluas 488,19 km2 yang terdiri dari 7 Nagari dengan 32

jorong, yaitu :

- Nagari Koto Besar - Nagari Koto Tinggi

- Nagari Abai Siat - Nagari Koto Gadang

- Nagari Bonjol - Nagari Koto Laweh

- Nagari Koto Ranah

Batas-batas wilayah kerja Puskesmas Koto Besar sebagai berikut :

 Sebelah Utara : Berbatas dengan Koto Baru

 Sebelah Selatan : Berbatas dengan Kec. Asam Jujuhan

 Sebelah Timur : Berbatas dengan Kec. Sungai Rumbai


 Sebelah Barat : Berbatas dengan Kab. Solok Selatan

Wilayah kerja Puskesmas Koto Besar meliputi satu kecamatan dengan

faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografi dan keadaan

infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan

wilayah kerja. Sasaran penduduk yang dilayani oleh Puskesmas Koto Besar

adalah 24.606 jiwa.

Gambar 2.1. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Koto Besar


2.2. Data Demografis

Jumlah penduduk diwilayah kerja puskesmas Koto Besar berjumlah

22.495 jiwa dengan jumlah sasaran program kesehatan sebagai berikut :

 Jumlah penduduk : 24.606

 Jumlah bayi : 555

 Jumlah balita : 2.627

 Jumlah PUS : 5166

 Jumlah bumil : 707

 Jumlah bumil resti : 145

 Jumlah bulin : 675

 Jumlah lansia : 1352

2.3. Sumber Daya Ketenagaan

Sumber daya ketenagaan tenaga kesehatan Puskesmas Koto Besar

- Dokter Umum : 3 Orang

- Dokter Gigi : 1 Orang

- SKM : 2 Orang

- Apoteker : 1 Orang

- Keperawatan : 7 Orang

- Kebidanan : 18 Orang

- Rekam Medis : 2 Orang


- Kesehatan Gigi : 1 Orang

- Farmasi : 1 Orang

- Gizi : 1 Orang

- Sopir Ambulan : 2 Orang

- CS : 2 Orang

2.4. Sarana Pelayanan Kesehatan

Sarana Fisik Kesehatan :

- Puskesmas Induk : 1 Buah

- Puskesmas Pembantu : 2 Buah

- Poskesri : 5 Buah

- Polindes : 1 Buah

- Mobil Ambulance : 1 Buah

- Rumah dinas : 1 Buah


2.5. Data Demografis Nagari Bonjol

2.5.1 Demografis

Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan KK

Di Nagari Bonjol

NO Jorong KK Laki-laki Perempuan

1 JR. Baru 214 449 443

2 JR. TUO 160 310 307

3 JR. Psr Mayang 121 251 240

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah pasangan usia subur

pada Nagari Bonjol sebanyak 105 orang.

2.5.2 Pendidikan

Tabel 2. Sarana pendidikan yang ada diwilayah kerja Poskesri

Jorong Baru Nagari Bonjol Tahun 2013 s/d2015

No Sarana pendidikan Jumlah Nama sekolah

1 PAUD 1 PAUD Sakina

2 TK 1 TK Islam Bakti 110

Bonjol

3 SD 2 SDN 2 Koto Besar

SDS 15 Koto Besaar


2.5.3 Agama

Mayoritas penduduk beragama Islam.

2.5.4 Mata Pencarian

Adapun mata pencaharian penduduk yaitu :

• Tani : ± 75 %

• Buruh : ± 25 %

• Pedagang : ± 3,5%

• Pegawai Negeri : 0,1%

2.5.5 Transportasi

Jorong baru dan pasir mayang terletak ± 8 KM dari pusat kecamatan

yang menghubungkan dengan jalan poros. Jalan poros dan jorong

dihubungkan dengan jalan yang sudah di aspal sehingga dapat dilalui dengan

kendaraan roda 4 atau pun roda 2.

2.5.6 Organisasi Sosial

Organisasi yang ada di Jorong Baru dan Jr. Tuo adalah PKK, Wirid

Ibu ( WI ) dan kelompok yasinan. PKK dan WI ( Wirit ibu ) dilakukan satu

kali dalam satu bulan di nagari dan di kecamatan. Yasinan dilakukan satu kali

dalam satu minggu di jorong baru dan yasinan nagari dilakukan satu kali

dalam satu bulan


2.5.7 Peran Serta Masyarakat

 Jumlah posyandu : 2 ( dua ) buah

 Jumlah posyandu Lansia : 2 ( dua ) buah

 Jumlah kader posyandu : 15 (lima belas ) orang

 Jumlah kader dasa wisma : 20 ( dua puluh) orang

 Jumlah pos/sub KB : 3 ( tiga ) orang

 Jumlah kader poskesri : 2 ( dua) Orang

 Jumlah dukun : 3 ( tiga ) orang

 Kelompok dana sehat :0

2.5.8 Data Pelayanan Kesehatan

 Gedung Pustu

Telah adanya bangunan poskesri dan bidan tinggal di poskesri

tersebut.

 Sarana

Sarana dan prasarana untuk pelayanan maupun kendaraan

masih di tanggung oleh bidan secara pribadi.

 Tenaga

Tenaga Kesehatan: 2 orang bidan untuk 3 jorong


2.5.9 Data Sasaran KIA Nagari Bonjol Tahun 2016

Ibu P W Aksep
Nama Anak Jumlah
Ha bulin Bayi Balita U U tor
Jorong balita lansia
mil S S Aktif

Baru 21 20 25 82 107 158 248 109 139

Tuo 20 19 11 48 59 105 168 73 117

Psr. My 12 8 7 28 35 80 106 65 94

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah pasangan

usia subur di Nagari Jorong Tuo sebanyak 105 orang.


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Perilaku dalam Bentuk Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan

umumnya datang dari pengalaman juga dapat diperoleh dari informasi

yang disampaikan orang lain, di dapat dari buku, surat kabar, atau media

massa, elektronik.

Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra

penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (ever behavior). Pada dasarnya pengetahuan terdiri dari

sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang dapat memahami

sesuatu gejala dan memecahkan masalah yang dihadapi.

Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun

melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui

penyuluhan baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan

pengetahuan kesehatan yang bertujuan untuk tercapainya perubahan

perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam upaya mewujudkan

derajat kesehatan optimal.


Menurut Notoatmodjo, pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu:

1. Tahu (know)

Diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya, termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bagian

yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata lerja untuk

mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain :

menyebutkan, mendefinisikan, dan mengatakan.

2. Pemahaman (Comprehension)

Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui dan dapat mengiterpretasikan materi

tersebut secara benar. Orang telah memahami terhadap objek atau

materi atau harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,

menyampaikan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Aplication)

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya,

aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku,

rumus, metode, prinsip dalam konteks, atau situasi lain. Misalnya

adalah dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah

kesehatan dari kasus-kasus yang diberikan.


4. Analisis (Analysis)

Analisi adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materu

atau suatu objek dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam

stuktus organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisi ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja

seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk

menghubungkan bagian-bagian kedalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi yang ada.

Misalnya: dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan

dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusannya yang

telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini diberikan dengan kemampuan-kemampuan untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Penilaian-penilaian ini berdasarkan kriteria yang telah ditentukan

sendiri atau kriteria-kriteria yang ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara

atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari

subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin


kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-

tingkatan di atas.

3.2. Teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green

Menurut Green dalam Notoatmodjo bahwa faktor penyebab

masalah kesehatan adalah faktor perilaku dan non perilaku. Faktor

perilaku khususnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor

yaitu :

1. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), adalah

pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,

tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hala-hal yang

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh

masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan

lain sebagainya. Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Untuk perilaku kesehatan misalnya : pemeriksaan kesehatan

bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesehatan bagi

ibu hamil diperluklan pengetahuan kesadaran ibu tersebut

tentang manfaat periksa hamil, baik bagi kesehatan ibu

sendiri dan janinnya, disamping itu kadang-kadang

kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat

mendorong atau menghambat ibu tersebut untuk periksa

kehamilan. Misalnya orang hamil tidak boleh di suntik


(periksa hamil termasuk suntik anti tetanus), karena suntikan

bisa menyebabkan anak cacat. Faktor-faktor ini terutama

yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka

sering disebut faktor pemuda.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor-

faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau

fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya : air bersih,

tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja,

ketersediaan makanan yang bergizi dan sebaiknya/ termasuk

juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah

sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter

dan bidan praktek swasta, dan sebagainya. Untuk berprilaku

sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana

pendukung, misalnya : perilaku pemeriksaan kehamilan. Ibu

hamil yang mau periksa hamil tidak hanya karena dia tahu

dan sadar memanfaatkan periksa hamil saja, melainkan ibu

tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas

atau tempat periksa hamil, misalnya : puskesmas, polindes,

bidan prakter, ataupun rumah sakit. Fasilitas ini pada

hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya

perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor

pendukung, atau faktor pemungkin.


3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), adalah faktor-

faktor ini meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat

(toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas

kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-

peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang

terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku, masyarakat

kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap

positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan

perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh

agama, para petugas, lebih-lebih pada petugas kesehatan.

Disamping itu undangan-undang juga diperlukan untuk

memperkuat perilaku masyarakat tersebut seperti perilaku

periksa hamil, serta kemudahan memperoleh fasilitas

periksa hamil, juga diperlukan peraturan atau perundang-

undangan yang mengharuskan ibu hamil periksa hamil.

3.3. Teori Health Believe Model (HBM)

Teori kepercayaan kesehatan adalah salah satu teori paling sering

digunakan dalam aplikasi ilmu perilaku kesehatan yang dikembangkan

pada tahun 1950 oleh sekelompok psikologi untuk membantu menjelaskan

mengapa orang akan menggunakan pelayanan kesehatan. Sejak terbentuk

teori HBM telah digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku


kesehatan. Yang dihipotesis oleh teori HBM adalah tindakan-tindakan yang

berkaitan dengan kesehatan beberapa kejadian stimulasi yang terdiri 3

faktor yaitu :

a. Cukup motivasi (masalah kesehatan) untuk membuat masalah yang

ada menjadi relevan.

b. Keyakinan bahwa seorang rentan atau serius mengalami masalah

dari suatu penyakit atau kondisi. Hal ini sering dianggap sebagai

ancaman yang dirasakan.

c. Keyakinan bahwa mengikuti rekomendasi tertentu yang akan

bermanfaat dalam mengurangi ancaman yang dirasakan, pada

biaya yang dikeluarkan. Biaya mengacu pada hambatan yang

dirasakan harus diatasi dalam rangka untuk mengikuti rekomendasi

kesehatan, tetapi tidak terbatas pengeluran keuangan.

3.4 Aspek Sosial Budaya Dalam Pencarian Pelayanan Kesahtan

Masyarakat Indonesia terdiri atas banyak suku bangsa yang

mempunyai latar belakang budaya yang beraneka ragam. Lingkungan

budaya tersebut sangat mempengaruhi tingkah laku manusia yang

memiliki budaya tersebut, sehingga dengan keanekaragaman budaya,

menimbulkan variasi dalam perilaku manusia dalam segala hal, termasuk

dalam perilaku kesehatan menurut Kresno.


Walaupun jaminan kesehatan dapat membantu banyak orang yang

berpenghasilan rendah dalam memperoleh perawatan yang mereka

butuhkan, tetapi ada alasan lain disamping biaya perawatan kesehatan,

yaitu adanya celah diantara kelas sosial dan budaya dalam penggunaan

pelayanan kesehatan (Sarafino, 2002).

3.4.1. Faktor Sosial Dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan

a. Cenderung lebih tinggi pada kelompok orang muda dan orang tua

b. Cenderung leih tinggi pada orang berpenghasilan tinggi dan

berpendidikan tinggi.

c. Cenderung lebih tinggi pada kelompok yahudi dibandingkan

dengan penganut agama lain.

d. Persepsi sangat erat hubungannya dengan penggunaan pelayanan

kesehatan

3.4.2. Faktor Budaya Dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan

Faktor kebudayaan yang mempengaruhi penggunaan pelayanan

kesehatan diantaranya adalah :

a. Rendahnya penggunaan pelayanan kesehatan pada suku bangsa

terpencil.

b. Ikatan keluarga yang kuat lebih banyak menggunakan fasilitas

pelayanan kesehtan

c. Meminta nasehat dari keluarga dan teman-teman


d. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit. Dengan asumsi jika

pengetahuan tentang sakit meningkat maka penggunaan pelayanan

kesehatan juga meningkat.

e. Sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap provider sebagai

pemberi pelayanan kesehatan.

3.5 Persalinan

Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta, selaput ketuban

keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal, jika prosesnya terjadi

pada usia kehamilan cukup bulan (setelah kehamilan 37 minggu) tanpa

disertau adanya penyulit menurut Winkjosastro. Helen Varney mengatakan

persalinan adalah rangkaian proses yang berakhir dengan pengeluaran hasil

konsepsi oleh ibu. Proses ini dimulai dengan kontraksi persalinan sejati,

yang ditandai oleh perubahan progresif pada serviks, dan diakhiri dengan

kelahiran plasenta (Varney, H, 2007). Persalinan dan kelahiran normal

adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan,

lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam

18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Saifuddin,

2006). Tanda-tanda persalinan yaitu rasa sakit oleh adanya his yang datang

lebih kuat, sering dan teratur, keluar darah lendir yang banyak karenak

robekan-robekan kecil pada serviks, terkadang ketuban pecah dengan

sendirinya, pada pemeriksaan dalam didapatkan serviks yang mendatar dan

pembukaan jalan sudah ada menurut Yeyeh.


Proses dinamik dari persalinan meliputi empat komponen yang

saling berkaitan yang mempengaruhi baik mulainya dan kemajuan

persalinan. Empat komponen ini adalah passanger (janin), passage (pelvis

ibu), power (kontraksi uterus), dan Psikis (status emosi ibu). Bila

persalinan dimulai, interaksi antara passanger, passage, power, dan psikis

harus sinkron untuk terjadinya kelahiran pervaginam spontan (Wlash,

2007).

3.5.1 Bentuk Persalinan

Bentuk persalinan berdasarkan berdasarkan definisi adalah sebagai berikut :

a. Persalinan spontan, bila persalinan seluruhnya berlangsung dengan

kekuatan ibu sendiri.

b. Persalinan buatan, bila proses persalinan dengan bantuan tenaga

dari luar.

c. Persalinan anjuran, bila kekuatan yang diperlukan untuk persalinan

ditumbulkan dari luar dengan jalan rangsangan.

Beberapa istilah menurut Mauaba yang berkaitan dengan umur kehamilan

dan berat janin yang dilahirkan sebagai berikut :

a. Abortus (terhentinya dan dikeluarkannya hasil konsepsi sebelum

mampu hidup di luar kandungan)

b. Persalinan prematuritas (persalinan sebelum umur hamil 28 sampai

36 minggu)
c. Persalinan aterm (persalinan antara umur 37 sampai dengan 42

minggu)

d. Persalianan serotinus (persalinan malampaui umur hamil 42

minggu)

e. Persalinan presipitatus (persalinan berlangsung cepat kurang dari 3

jam)

3.5.2. Proses Terjadinya Persalinan

Bagaimana terjadinya persalinan belum diketahui secara pasti,

sehingga menimbulkan beberapa teori yang berkaitan dengan mulai

terjadinya kekuatan his (kontraksi otot rahim). Perlu diketahui bahwa ada

dua hormon yang dominan saat hamil yaitu:

a. Estrogen yang berfungsi unrtuk meningkatkan sensitivitas otot

rahim dan memudahkan penerimaan rangsangan dari luar seperti

rangsangan oksitosin, rangsangan prostaglandin, dan rangsangan

mekanis.

b. Progesteron yang berfungsi untuk menurunkan sensivisitas otot

rahim, menyulitkan penerimaan rangsangan dari luar seperti

rangsangan oksitosin, rangsangan prostaglandin, rangsangan

mekanis dan juga menyebabkan otot rahim dan otot polos relaksasi

(Manuaba).
Bagaimana terjadinya persalinan masih belum dapat dipastikan,

besar kemungkinan semua faktor bekerja bersama-sama, sehingga pemicu

persalinan menjadi multifaktor. Berdasarkan teori Manuaba yang

dikemukakan, persalinan anjuran (induksi persalinan) dapat dilakukan

dengan jalan:

a. Memecahkan ketuban

b. Induksi persalinan secara hormonal/kimiawi

c. Induksi persalinan dengan mekanis

d. Persalinan dengan tindakan operasi.

3.5.3. Tanda Persalinan

Gejala persalinan sebagai berikut :

a. Kekuatan his makin sering terjadi dan teratur dengan jarak kontraksi

yang semakin pendek.

b. Dapat terjadi pengeluaran pembawa tanda, yaitu berupa pengeluaran

lendir, dan lendir bercampur darah.

c. Dapat disertai ketuban pecah

d. Pada pemeriksaan dalam dijumpai perubahan serviks., dapat berupa

perlunakan, pendataran maupun pembukaan serviks


3.5.4. Faktor-faktor Penting dalam Persalinan

Terdapat beberapa faktor yang berperan penting dalam persalinan yaitu :

1. Power (his, kontraksi otot dinding perut, kontraksi diafragma pelvis

atau kekuatan mengejan, ketegangan dan kontraksi ligamentum

rotundum).

2. Passanger (janin dan plasenta).

3. Passage (jalan lahir lunak dan jalan lahir tulang).

Dalam persalinan masih terdapat subfaktor yang memengaruhi

jalannya persalinan sehingga dapat terjadi kemungkinan (1) persalinan

yang berlangsung dengan kekuatan sendiri yang disebut dengan persalinan

eutosia dan (2) persalinan yang berlangsung dan menyimpang dari

kekuatan sendiri disebut persalinan distosia. Persalinan letak belakang

kepala dan berlangsung spontan terjadi paling banyak. Persalinan di

Indonesia terutama di pedesaan sebagian besar ditolong oleh tenaga

nonmedis yang disertai berbagai penyulit kelahiran sampai kematian.

Penyebab kematian ibu adalah perdarahan, infeksi, pre-eklampsia

(Muala).

Dalam upaya menurunkan AKI, maka pemerintah menjalankan

berbagai program yang dicanangkan secara internasional diantaranya

adalah Safe Motherhood dan Making Pregnancy Safer (MPS). Safe

Motherhood dicanangkan di Nairobi Kenya 1987 dan memiliki empat pilar

yaitu:
a. Keluarga Berencana untuk menjamin tiap individu dan pasangannya

memiliki informasi dan pelayanan untuk merencanakan saat,

jumlah, dan jarak kehamilan.

b. Pelayanan Antenatal untuk mencegah komplikasi dan menjamin

bahwa komplikasi dalam persalinan dapat terdeteksi secara dini

serta ditangani secara benar.

c. Persalianan Aman untuk menjamin bahwa semua tenaga kesehatan

mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan peralatan untuk

melaksanakan perrsalinan yang bersih, aman dan menyediakan

pelayanan pasca persalinan kepada ibu dan bayi baru lahir.

d. Pelayanan Obstetrik Neonatal Esensial/Emergensi untuk menjamin

tersedianya pelayanan esensial pada kehamilan risiko tinggi dengan

gawat-obstetrik/GO, pelayanan emergensi untuk gawat-darurat-

obstetrik/GDO dan komplikasi persalianan pada setiap ibu yang

membutuhkannya.

Keempat pilar tersebut harus disediakan melalui pelayanan

kesehatan primer yang bertumpu pada pondasi keadilan (equity) bagi

seluruh kaum perempuan. Safe Motherhood merupakan upaya global untuk

mencegah/menurunkan kematian ibu dengan slogan ‘Making Pregnancy

Safer’ (MPS).

Making Pregnancy Safer (MPS) memiliki 3 pesan kunci yaitu: (1)

setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, (2) setiap

komplikasi obstetrik dan neonatal ditangani secara adekuat, dan (3) setiap
perempuan usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan

yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Making

Pregnancy Safer (MPS) memiliki empat strategi utama yaitu:

1. Meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi

baru lahir berkualitas.

2. Membangun kemitraan yang efektif melaui kerjasama lintas

program, lintas sektor dan mitra lainnya dalam melakukan advokasi

untuk memaksimalkan sumber daya yang tersedia.

3. Mendorong pemberdayaan perempuan dan keluarga melalui

peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku yang

menunjang kesehatan ibu/bayi baru lahir serta pemanfaatan

pelayanan yang tersedia.

4. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan

dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir

(Prawirohardjo, 2009).

3.6. Penolong Persalinan

Tenaga penolong persalinan adalah orang-orang yang biasanya

memeriksa wanita hamil atau memberian pertolongan selama persalinan

dan nifas. Tenaga yang dapat memberikan pertolongan selama persalinan

dapat dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kesehatan (meraka yang

mendapat pendidikan formal sepertu dokter spesalis, dokter umum, bidan


dan perawat) dan bukan tenanga kesehatan, yaitu dukun bayi yang terlatih

dan tidak terlatih menurut Prawirihardjo.

Berdasarkan Depkes RI, dalam rangka program KIA dikenal beberapa

jenis yang memmberikan pertolongan persalinan kepada masyarakat. Jenis

tenaga tersebut adalah:

a. Tenaga professional : dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan,

pembantu bidan dan perawat lain.

b. Dukun bayi

 Terlatih : dukun bayi yang mendapatkan latiahn oleh tenaga

kesehatan yang dinyatakan lulus.

 Tidak terlatih : dukun bayi yang belum pernah dilatih oleh

tenaga kesehatan atau dukun bayi yang sedang dilatih dan

belum dinyatakan lulus.

Tenaga Kesehatan

Komplikasi dan kematian ibu serta neonatal sering terjadi pada masa

sekitar masa persalinan. Oleh sebab itu intervensi ditekankan pada kegiatan

pertolongan persalinan yang aman yaitu oleh tenaga kesehatan. Persalinan

oleh tenaga kesehatan dianggap memenuhi persyaratan sterilitas, selain itu

bila mendadak terjadi resiko tinggi atau mengalami keadaan gawat darurat

maka penanganan atau pertolongan pertama serta rujukan dapat segera

dilakukan. Dalam menolong persalinan, teknik pertolongan persalinan dan

prinsip sterilisasi alat kesehatan diterapkan oleh tenaga kesehatan sehingga


diharapkan persalinan aman dapat diperoleh. Keterbatasan dari penolong

persalinan ini adalah pelayanan hanya terbatas pada pelayanan medis, tanpa

terjangkau oleh faktor budaya sehingga rasa aman secara psikologis kurang

terpenuhi. Kadang-kadang pelayanan tidak terjangkau dari segi keberadaan

dan jarak. Umumnya imbalan jasa berupa uang sehingga menyulitkan

masyarakat miskin.

Menurut Supartini diharapkan setiap ibu hamil memanfaatkan petugas

kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat dalam pertolongan persalinan.

Dengan memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan, ibu akan

mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prinsip bebas kuman dan

prosedur standar pelayanan. Jika ditemui adanya komplikasi dalam persalinan,

ibu akan mendapatkan pertolongan yang tepat.

Menurut Fatimah yang dikutip Manalu, bidan adalah seseorang yang

telah mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan bidan yang telah

diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

Bidan desa yang ditempatkan dan bertugas di desa, mempunyai wilayah kerja

1 sampai 2 desa dan dalam melaksanakan tugas pelayanan medik baik

didalam maupun diluar jam kerjanya harus tetap bertanggung jawab langsung

kepada kepala puskesmas.


Bukan Tenaga Kesehatan (Dukun Beranak)

Tenaga yang sejak dahulu kala sampai sekarang memegang peranan

penting dalam pelayanan persalinan adalah dukun bayi (dukun beranak,

dukun bersalin). Dalam lingkungannya, dukun bayi merupakan tenaga

terpercaya. Dukun bayi adalah seorang anggota masyarakat, pada

umumnya seorang wanita yang dapat kepercayaan serta memiliki

keterampilan menolong persalinan secara tradisional, dan memperoleh

keterampilan tersebut dengan secara turun temurun belajar secara praktis

atau cara lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan tersebut

serta melalui petugas kesehatan (Depkes RI).

Anggapan dan kepercayaan masyarakat terhadap keterampilan

dukun beranak berkaitan pula dengan sistim nilai budaya masyarakat

sehingga dukun bayi pada umumnya diperlakukan sebagai tokoh

masyarakat potensi sumber daya manusia. Pengetahuan tentang fisiologi

dan patologi dalam kehamilan, persalinan serta nifas sangat terbatas,

sehingga bila timbul komplikasi ia tidak mampu mengatasinya, bahkan

tidak mampu untuk menyadari arti dan akibatnya (Prawirohardjo)

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dukun bersalin adalah praktek

pelayanan kesehatan alternatif yang dilakukan oleh dukun yang khusus

menangani masalah kehamilan/kelahiran baik yang sudah pernah mendapat

pelatihan dari Departemen Kesehatan maupun belum. Istilah dukun bersalin

juga dikenal dengan paraji (Jawa Barat), atau dukun beranak (DKI Jakarta).

Dukun beranak di Bali dikenal dengan istilah balian manak. Praktek tenaga
kesehatan (nakes) adalah praktek pribadi/perorangan yang dilakukan oleh

perawat atau bidan yang dilakukan tidak dirumah sakit, puskesmas pembantu,

polindes, posyandu, dan klinik.

Hasil studi yang dilakukan Balitbang Kes (2006) menyatakan

bahwa kemampuan tenaga non profesional / dukun bersalin masih kurang,

khususnya yang berkaitan dengan tanda-tanda bahaya, resiko kehamilan

dan persalinan serta rujukannya. Menurut Suprapto (2003), kurangnya

pengetahuan dukun bayi dalam mengenal komplikasi yang mungkin timbul

dalam persalinan dan penanganan komplikasi yang tidak tepat akan

meningkatkan resiko kematian pada ibu bersalin.

Sedangkan dari hasil penelitian Zalbawi (2006) dikatakan bahwa

alasan ibu memilih dukun bayi dalam persalinan karena pelayanan yang

diberikan lebih sesuai dengan sistem sosial budaya yang ada, mereka sudah

dikenal lama karena berasal dari daerah sekitarnya dan pembayaran biaya

persalinan dapat diberikan dalam bentuk barang (Zalbawi, 2006).

Dukun beranak adalah seorang anggota masyarakat, pada umumnya

seorang wanita yang mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan

menolong persalinan secara tradisional dan memperoleh keterampilan

tersebut secara turun temurun, belajar secara praktis atau cara lain yang

menjurus kearah peningkatan keterampilan tersebut serta melalui petugas

kesehatan (Manalu, 2007). terjadi kejadian yang membahayakan, sehingga

memerlukan bantuan untuk memberikan pertolongan yang tetap menuju


persalinan aman. Penolong persalinan wajib menerapkan upaya pencegahan

infeksi seperti yang dianjurkan yaitu (Depkes) :

a. Sarung tangan

Sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau steril harus

dipakai dalam setiap pemeriksaan dalam, membantu kelahiran bayi,

melakukan episiotomi, menjahit laserasi, dan memberikan asuhan

bagi bayi baru lahir. Sarung tangan harus diganti apabila

terkontaminasi atau berlubang.

b. Perlengkapan Pelindung Pribadi

Mengenakan penutup tubuh yang bersih dan penutup kepala

atau ikat rambut pada saat menolong persalinan, Jika

memungkinkan, pakai masker dan kacamata yang bersih. Semua

perlengkapan tersebut harus dikenakan selama membantu kelahiran

bayi dan pada saat melaksanakan penjahitan laserasi atau luka

episiotomi.

c. Persiapan tempat Persalinan, Peralatan, dan Bahan

Runagan bersalina harus memiliki system

penerangan/pencahayaan yang cukup, baik dari jendela,

lampu di langit-langit kamar, maupun sumber cahaya

lainnya. Ruangan harus hangat dan terhalang dari tiupan

angina secara langsung. Harus tersedia perlengkapan dan


obat-obatan esensial yang diperlukan untuk persalinan

membantu kelahiran asuhan bayi baru lahir.

2.7. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Menurut Syahrial yang dikutip Simangunsong, proses pemanfaatan

pelayanan kesehatan terbagi dalam beberapa tahap yaitu :

1. Keinginan dan kebutuan apa yang mendorong pelanggan untuk

menggunakan suatu jas (need arousal)

2. Apakah pelanggan mengumpulkan informasi berkaitan dengan

kebutuhan yang dirasakan (information gathering)

3. Bagaimana pelanggan mengevaluasi alternatif (dicision evaluation)

4. Bagaimana pelanggan memanfaatkan jasa pelayanan (decision

execution)

5. Bagaimana sikap pelanggan setelah memanfaatkan jasa pelayanan

(post decision assessment)

Pemanfaatan (utility) pelayanan kesehatan oleh masyarakat dapat

terjadi pada saat masyarakat ingin memperbaiki status kesehatannya, dengan

tujuan untuk mencapai status kesehatan yang lebih baik. Alasan mengapa

masyarakat memerlukan status kesehatan yang lebih baik karena didorong

oleh adanya keinginan untuk dapat menikmati hidup sebaik mungkin

(Simangunsong, 2009). Menurut Arrow yang dikutip Tjiptoherijanto,

hubungan antara keinginan sehat dan permintaan akan pelayanan kesehatan


hanya kelihatannya saja sederhana, tetapi sebenarnya sangat kompleks.

Penyebab utamanya adalah karena persoalan kesenjangan informasi. Adanya

keinginan sehat menjadi konsumsi perawatan kesehatan melibatkan berbagai

informasi, yaitu aspek yang menyangkut status kesehatan yang membaik,

informasi tentang macam perawatan yang tersedia dan informasi tentang

efektifitas pelayanan tersebut. Dari informasi inilah masyarakat kemudian

terpengaruh untuk melakukan permintaan dan penggunaan (utility) pelayanan

kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai