Anda di halaman 1dari 52

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN


PEMATANGSIANTAR
2013

ABSTRAK

NAINGGOLAN, ROSELYN , NIP. 195506301983032001 : ANALISIS SEMIOTIK PADA


NOVEL “PULANG” KARYA TOHA MOCHTAR.

Karya sastra adalah karya seni, merupakan salah satu unsur kebudayaan yang
berfungsi mewujudkan sebuah sistem dalam kebudayaan. Dalam hal ini karya sastra
menggambarkan pengalaman-pengalaman bangsa atau suku, menggambarkan yang pernah
dipikirkan dan dirasakan.
Sebuah novel disamping memiliki unsur struktur pembangunnya, novel memiliki
unsur semiotik yaitu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti dan makna.
Sehubungan pernyataan tersebut maka peneliti melakukan penelitian ini untuk
menemukan sistem tanda atau lambang yang terdapat di dalam novel “Pulang” karya Toha
Mochtar. Setelah diteliti secara menjelimat, ternyata dalam novel “Pulang” karya Toha
Mochtar ini ditemukan banyak pemakaian bahasa secara semiotik yakni tanda atau lambang
berupa kata, tanda atau lambang berupa kalimat, berupa teks maupun berupa kode budaya.
Sesuai dengan judul penelitian ini peneliti menggunakan metode deskriptif analisis
yakni metode deskriptif yang disertai kegiatan analisis, dimana data diperoleh dengan cara
membaca novel “Pulang” karya Toha Mochtar. Tehknik pengumpulan data yang digunakan
adalah pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan.
Melalui analisis semiotik novel “Pulang” karya Toha Mochtar banyak ditemukan
tanda atau lambang yang tersurat. Melalui analisis ini perlu disampaikan kepada masyarakat
pembaca agar dapat menghayati dan menghargai karya sastra dan memahami sistem semiotik
yang terdapat dalam karya sastra tersebut.
Peneliti

Dra. Roselyn Nainggolan, M.Pd.

DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
1.2 Ruang Lingkup Masalah.................................................................. 3
1.3 Masalah Penelitian Masalah............................................................ 4
1.4 Tujuan Penelitian............................................................................ 5
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................... 5
1.6 Anggapan Dasar............................................................................. 6
1.7 Definisi Istilah ................................................................................ 6

BAB II KAJIAN KEPESTAKAAN


2.1 Pengertian Semiotik........................................................................ 8
2.2 Semiotik Sebagai Salah Satu Pendekatan dalam
Menganalisis Karya Sastra.............................................................. 12
2.3 Bahasa Sebagai Suatu Sistim......................................................... 14
2.3.1 Bahasa dalam Sastra.............................................................. 15
2.3.2 Budaya dan Lingkungan Pengarang dengan Sistim
Tanda.............................................................................................. 16
2.3.3 Kode Bahasa dalam Sastra.................................................... 16
2.4 Karya Sastra dalam Model Semiotik.............................................. 17
2.4.1 Sastra sebagai tanda Termasuk Bidang Semiotik
Oleh de Saussure.......................................................................... 18
2.4.2 Bahasa sebagai suatu sistem tanda oleh Karl Buhler 18
2.5 Novel “Pulang”Karya Toha Mohtar sebagai Salah Satu
Novel sastra.................................................................................. 20
2.6 Ringkasan Novel “Pulang”Karya Toha Mohtar........................... 21
2.7 Riwayat hidup Pengarang ........................................................... 26

BAB III METEDOLOGI PENELITIAN


3.1 Metode Penlitian.......................................................................... 31
3.2 Teknik Pengumpulan Data........................................................... 29
3.3 Teknik Analisis Data.................................................................... 30
3.4 Sumber Penelitian......................................................................... 30

BAB IV PEMBAHASAN PENELITIAN NOVEL PULANG


KARYA TOHA MOHTAR
4.1 Ringkasan Bab demi Bab Novel “Pulang”Karya
Toha Mohtar................................................................................ 31
4.2 Analisis Semiotik Terhadap Novel Pulang Karya Toha
Mohtar......................................................................................... 38
4.2.1 Pemakaian Bahasa Dalam Novel “Pulang”........................ 38
4.2.2 Kode Budaya dalam Novel “Pulang”................................. 40
4.2.3 Tanda atau Lambang yang Terdapat dalam Novel
Pulang Karya Toha Mohtar................................................ 43
4.2.3.1 Tanda atau Lambang yang Berupa Kata............... 43
4.2.3.2 Tanda atau Lambang yang Berupa Kalimat 57
4.2.3.3 Tanda atau Lambang yang Berupa Teks.............. 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan.................................................................................. 66
5.2 Saran............................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 68
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Belakang Masalah
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi
manusia untuk menyampaikan maksud seseorang kepada orang lain. De
ngan bahasa, seseorang dapat mengekspresikan dirinya
di dalam interaksi kemasyarakatan Bahasa itu akan berjalan
lancar jika adanya komunikasi yang searah, seimbang dan bisa
mengenai perasaan, pikiran, ilmu pengetahuan serta intelektual seseorang untu
k mempengaruhi dan
dipengaruhi. Konsep makna bahasa adalah konteks situasi yang meliputi keada
an berbahasa yakni dimana ,
kapan, dengan sebagainya. Setiap faktor keadaan ini dapat mengubah makna
unsur bahasa.
Bahasa merupakan sistem semiotik, sistem tanda. Setiap tanda sebagai
unsur bahasa punya arti tertentu yang secara konvensi disepakati oleh
masyarakat.Menurut Teeuw(1984:96) bahasa tanpa pengertian bukan
bahasa. Bahasa dan sastra
termasuk dalam semiotik karena mengandung lambang-
lambang (luxemburg,1992 : 44-47).
Sastra merupakan sistem tanda sehingga dengan mempelajari bahasanya dapat
di temukan lambang-lambang.
Dengan demikian semiotika menawarkan suatu sistem,suatu cara
memandang tanda-tanda yang sistematis seolah-olah setiap tanda itu strukturnya
jelas,dalam arti tanda itu seolah –olah bermakna tertentu pada hal bermakna yang lain.
Setiap tanda tetap boleh ditafsirkan semaunya tapi harus sistematis. Maksudnya harus
ada
1

Pertanggung jawaban dan harus ada argumentasi yang jelas dan dapat diterima
oleh akal.
Bila diperhatikan dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan sastra
Indonesia bahwa bahasa merupakan lambang atau simbol-simbo l
yang di gunakan pengarang untuk menuangkan ide-
idenya dalam menciptakan suatu hasil karya sastra khususnya novel.
Novel merupakan salah satu hasil karya sastra. Salah satu diantaranya
adalah
novel “Pulang” karya Toha Mohtar yang menggunakan bahasa sebagai tanda
atau lambang untuk menuangkan ide- ide pengarang dalam karya sastra tersebut.
Novel merupakan hasil karya sastra seni yang sekaligus bagian dari kebudayaan
sebagai salah satu hasil keseniaan yang memiliki makna tertentu di dalam kehidupan
terlebih – lebih
kaitannya dengan kebudayaan. Novel mengandung unsur keindahan yang
dapat menimbulkan perasaan senang, nikmat, terharu, menarik perhatiaan dan
menyegarkan penikmatnya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Horace dalam Wllek dan Warren (1995 : 25)bahwa hakekat dan fungsi seni harus
dikaitkan pada dulce dan utile yang artinya indah dan berguna.Kedua istilah ini
mempunyai kaitan yang erat untuk memahami makna sastra secara keseluruhan.
Makna dan keindahan sastra dapat ditemukan dalam penggunaan bahasa dan
sistem tanda atau lambang-lambang sebagai sistim semionik yang digunakan
oleh pengarang di dalam menciptakan karya sastranya. Oleh karena dalam
pendekatan semionik beranggapan bahwa karya sastra memiliki sistem tanda
yang bermakna estetik. Sistem lambang atau tanda dalam karya sastra memiliki
banyak interpretasi.
Dalam menafsirkan suatu sistem lambang, pembaca mengartikan gejala-gejala

2
Tertentu. Oleh karena itu dalam menafsirkan dan memahami karya
sastra,kita perlu mengetahui bagaimana sistem lambang atau semiotik yang
digunakan oleh pengarang di
dalam hasil karya sastranya.Dengan demikian ,sistem lambang/semiotik yang
digunakan oleh pengarang dalam novel sebagai salaha satu hasil karya sastra
Indonesia perlu diketahui dan di pahami.
Sehubungan dengan hal ini di atas maka penelitian ini di maksudkan
untuk menyimak dan
meneliti secara mendetail bagaimana sistem lambang atau semiotik yang di
gunakan oleh pengarang di dalam hasil karya sastranya yaitu pada novel
“Pulang” karya Toha Mohtar.
1.2 Ruang Lingkup Masalah
Dalam suatu penelitian, ruang lingkup masalah merupakan bagian yang
sangat penting .
melalui ruang lingkup tersebut pembatasan dan fokus masalah akan dapat
ditentukan. Hal ini dimaksudkan agar hasil yang di bicarakan lebih baik dan
terperinci serta dapat di pertanggung jawabkan.
Dengan memberikan batasan terhadap sesuatu masalah yang akan
di
bicarakan, maka seseorang peneliti sebuah karya sastra akan lebih muda
h mengerjakannya. Si peneliti akan dapat memfokuskan pemikiran pada hal-hal
yang
termasuk dalam penelitiannya. Sebaliknya jika suatu masalah tidak dibatasi, ma
ka pembicaraan nantinya akan menjadi luas dan tidak terarah serta dapat
membuahkan hasil yang tidak diharapkan.
Surakhmad dalam suharsimi( 1989 :36)menyatakan “Sebuah masalah yang
dirumuskan terlalu umum dan luas tidak pernah di pakai sebagai masalah.
3
Penyelidikan oleh karena tidak jelas batas- batas masalah itu.Oleh karena itu masalah
perlu pula memenuhi syarat dalam perumusan yang terbatas.Pembatasan ini di prlukan
bukan saja untuk memudahan pembahasan pnelitian tetapi juga untuk dapat
menetapkan lebih dahulu segala sesuatu yang di perlukan.
Sehungan dengan hal itu, mengigat banyaknya karya sastra indonesia yang
memiliki permasalahan yang berbeda-beda dan cukup rumit,sekaligus dengan
kemampuan dan waktu yang terbatas,maka peneliti tidak membicarakan
keseluruhannya . Oleh sebab itu,peneliti perlu membatasi permasalahn penelitian.
Adapun batasan masalah penelitian ini adalah sesuai dengan judul penelitian
yaitu analisis semiotik dalam novel “ Pulang” karya Toha Mocthar

1.3Masalah Penelitian
Suatu penelitian timbul karena adanya masalah. Munculnya suatu masa
lah bila ada kesenjangan antara yang semestinya ada dengan yang ad
a pada kenyataannya. Nazir (1985
:33) menyatakan bahwa “masalah timbul karena adanya tantangan, adanya
keasingan ataupun kebingungan terhadap suatu hal atau fenomena
adanya kemenduaan arti (ambiquity) ,
adanya halangan dan rintangan, adanya celah
(gap) baik antara kegiatan atau antar fenomena,
baik telah ada ataupun yang akan ada “.
Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi masalah penelitian adalah:
A. Unsur-unsur semiotik apa sajakah yang terdapat dalam novel “Pulang” karya Toha
Mohtar?
B. Apakah makna semiotik yang terdapat dalam novel Pulang karya Toha Mohtar?
4
1.4 Tujuan Penelitian
Setiap tulisan tentunya mempunyai tujuan .Tujuan merupakan titik akhir
dan pemberi arah terhadap suatu kegiatan penulisan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ali (1982 : 9) yang menyatakan bahwa : “Tujuan penelitian sangat
besar pengaruhnya
terhadap komponen atau elemen penelitian lainnya terutama teknik, alat
maupun generalisasi yang di peroleh. Oleh sebab i tu ketajaman seseorang dalam
merumuskan tujuan penelitian pada
dasarnya merupaka titik tujuan yang akan di capai seseorang melalui kegiatan
penelitian yang di lakukan.
Adapun tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengungkapkan unsur-unsur semiotik yang terdapat dalam novel “ Pulang”
karya Toha mohtar
b. Untuk mengetahui apakah makna semiotik yang terdapat dalam novel “Pulang” karya
Toha Mohtar
1.4 Manfaat Penelitian
Setelah melakukan penelitian seorang peneliti harus mengetahui
dan memahami manfaat penelitian yang di lakukan.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
a. Menjadi bahan perbandingan dan sekaligus sebagai sumber kajian ilmiah bagi para
siswa yang ingin mngadakan penelitian dalam bidang sastra.
b. Sebagai bahan informasi bagi guru-guru yang mengajarkan apresiasi sastra yang ingin
mengigatkan kemampuannya dalam mengapresiasi hasil karya sastra.
c. Dapat di pakai sebagai bahan kajian dalam pegajaran sastra.
d. Dapat digunakan sebagai bahan sumbangan pemikiran dan pertimbangan bagi guru
bahasa dan sastra Indonesia untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
mengapresiasi karya sastra.
5

1.6 Anggapan Dasar


Asumsi adalah suatu yang di yang di yakini kebenarannya oleh peneliti yang
akan berfungsi sbagai hal- hal untuk tempat berpijak bagi peneliti di dalam
melaksanakan penilaiannya. Sehubungan dengan definisi di atas,maka yang menjadi
Anggapan dasar semiotik tersebut mengandung makna tertentu”.
1.7. Definisi Istilah
Dalam penelitian ini ada beberapa istilah yang di pergunakan. Istilah ini
perlu diartikan dengan jelas ,sehingga tidak menimbulkan keragu-
raguan atau pengertian yang ganda bagi si pembaca.
Adapun istilah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Analisis adalah memberi pertimbangan ,menguraikan unsur-unsur yang terdapat
dalam suatu karangan. Dalam kritik sastra dewasa ini,analisis berarti penjelasan.
memecahkan unsur-unsur yang penting dalam suatu karangan sastra (KBBI,1991 :37)
b. Semiotik yang sering disebut dengan istilah semiologi adalah ilmu yang mengkaji
secara sistematis tentang tanda- tanda,lambang –lambang,proses peneciptaan yang
menyangkut karya sastra sebagai suatu sosok yang memiliki sistim sendiri (Semi,1993
:86)
c. Novel suatu karangan yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari tokoh
cerita.dimana kejadian – kejadian itu menimbulkan pergolakan batin yang mengubah
perjalanan nasib tokohnya.(Jasin dalam Zulfahnur,1999 : 67)

6
BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pengertian Semiotik

Ilmu sastra melingkupi bidang luas. Di dalamnya tercakup teori satra, sejarah

sastra dan kritik sastra. Ketiga bagian ilmu sastra tersebut saling berkaitan.

Keterkaitan itu menyebabkan saling ketergantungan. Sebuah karya sastra tidak dapat

dipahami dan dihayati, apalagi ditafsirkan dan dinilai dengan sempurna tanpa bantuan

ketiga bidang ilmu sastra. Teori sastra tidak akan pernah sempurna tanpa bantuan
sejarah sastra dan kritik sastra. Secara garis besar teori sastra bergerak pada empat

paradigma yaitu penulisan karya, pembaca, kenyataan dan semesta. Untuk memenuhi

keempat paradigma maka dirumuskan atau diciptakan teori-teori tentang karya sastra.

Salah satu teori tersebut adalah teori semiotik.

Semiotik atau semiologi berasal dari kata dalam Yunani yang berarti tanda,

lambang. Semiotik atau semiologi adalah ilmu yang mengkaji secara sistematis

tentang tanda-tanda, lambang-lambang, proses penciptaan yang menyangkut karya

sastra sebagai suatu sosok yang memiliki sistem sendiri (Semi, 1993 : 86). Dengan

demikian semiotik tidak lain dari pada sebuah nama lain bagi logika, yakni doktrin

formal tentang tanda-tanda ( The Formal Doktrin of Signs), dengan kata lain semiotik

adalah suatu cabang dari filsafat (Charles S. Pierce dalam Budiman, 2003 : 1).

Sedangkan ahli lain mengatakan bahwa semiologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji

kehidupan tanda- tanda di dalam masyarakat (A Science that studies the life of signs

within society) yang merupakan bagiam dari disiplin psikologi sosial (Ferdinand de

Saussure dalam Budiman, 2003 : 1).

Istilah semiotik daoat juga dikatakan dengan simbol ( Wellek dan Austin, 1995

: 239). Simbol adalh suatu istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotik dan

epistemologi. Dalam kata Simbol sebenarya ada unsur kata kerja bahasa Yunani yang

berarti mencampurkan, membandingkan, dan membuat analogi antara tanda dan objek

yang diacu. Simbol dipakai juga dalam bidang keagamaan yang didasarkan pada suatu

hubungan intrinsik antara tanda dabn objek yang diacu oleh tanda itu, contoh : salib,

anak domba, gembala yang baik.


Baik istilah semiotik maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk

kepada ilmu tentang tanda-tanda (The science og sign) tanpa adanya pengertian yang

terlalu tajam.

Satu-satunya perbedaan diantara keduanya menurut Hawkes dalam Budiman

(2003 : 4) adalah bahwa siswa semiologi lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi

tradisi linguistik SAUSSURE; sementara istilah semiotika cenderung dipakai oleh

para penutur bahasa inggris atau mereka yang mewarisi tradisi Piercean.

Teori semiotik melatarbelakangi atau mendukung kajian atau kritik sastra.

Kritik semiotik memusatkan kajiannya pada lambang-lambang, sistem lambang-

lambang dan proses perlambangan di dalam karya sastra, karena ia menggunakan

pendekatan semiotik (Zulfahnur, 1996 : 151). Sistem lambang atau tanda dalam karya

sastra ini memiliki banyak interpretasi. Dalam menafsirkan suatu sistem lambang,

pembaca mengartikan gejala-gejala tertentu (kata-kata, kalimat, gerak-gerik dan

sebagainya) berdasarkan sebuah kaidah atau sejumlah kaidah.

Dalam kegiantannya, kritik semiotik (dengan pendekatan semiotik) merupakan

semacam pengembangan lanjutan dari kritik dengan pendekatan struktur, dalam

menganalisis unsur-unsur formal karya sastra. Sedangkan hubungannya dengan

semiotik lingkup bahasannya lebih jauh lagi, bukan saja mempersoalkan pemakaian

bahasa, melainkan juga mencakupi sistem tanda/lambang yang terkait dengan sistem

sastra. Dalam kegiatan kritik/kajian semiotik masalah yang hendak disoroti adalah

keunikan, kekhasan suatu karya sastra, sehingga penelaah harus jeli melihat lambang-

lambang dan kode sastra yang membentu sistem dan keseluruhan karya sastra,

termasuk juga yang tidak masuk akal. Ketiga jenis sastra (puisi, fiksi dan drama)
punya hakikatnya sendiri. Karena ketiganya harus dinilai dalam konteks dirinya

masing-masing dengan menyoroti sistem lambang dan kodenya masing- masing pula.

Menurut semiotik sastra ala Charles Pierce dalam Luxemburg (1992 : 45-46),

bahasa merupakan salah satu tanda atau lambang dan lambang-lambang bahasa itu

berupa kata, kalima dan teks. Yang menentukan adanya tanda/lambang menurut

Pierce ada tiga faktor yaitu :

1.Tanda itu sendiri (yang berfungsi representasi/mewakili sesuatu)

2.Hal-hal yang ditandai (kenyataan yang diwakili oleh tanda, objek atau denotatum)

3.Tanda baru (hasil interpretasi/penafsiran, sesuatu yamg dibayangkan oleh penerima

tanda ketika ia mencerap tanda pertama)

Tanda itu merupakan suatu gejala yang dapat dicerap ataupun gejala yang

lewat penafsiran dapat dicerap. Antara tanda pertama dan apa yang ditandai (yang

diacu) terdapat suatu hubungan representasi (to represent = mengahadirkan,

mewakili). Tanda MEJA sebuah perabot rumah, menngacu kepada perabot itu. Unsur

dari kenyataan yang diwakili oleh tanda dinamakan “objek atau denotatum”.

Denotatum itu merupakan sesuatu yang konkret. Segala sesuatu yang menurut

anggapan kita ada atau dapat ada, mungkn merupakan sebuah denotatum. Tanda dan

representasi bersama-sama menuju interpretasi (tafsiran). Contoh hasil interpretasi

yaitu ringkasan sebuah teks sastra yang dirumuskan dengan kata-kata yang melahirkan

tanda baru. Pertama kali yang penting dalam lapangan semioti, lapangan sistem tanda

adalah pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip yaitu

penanda (signifer) atau yang menandai yangmerupakan tanda.


Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda ada tiga jenis tanda yang

pokok yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan

petandanya bersifat bentuk alamiah, misalnya potret orang yang menandai orang yang

dipotret. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara

tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat. Misalnya : Asap

itu menandai api, suara itu emnandai orang yang mengeluarkan suatu. Simbol adalah

tanda yang tidak menunjukan hubungan alamiah antara tanda dan petandanya.

Hubungan antaranya bersifat arbitrer atau semaunya, hubungannya berdasarkan

konvensi masyarakat. Arti simbol ditentukan oleh masyarakat, misalnya : kata ibu

berarti “orang yang melahirkan kita” itu terjadi atas konvensi atau perjanjian

masyarakat Indonesia.

Merujuk pada strukturalisme Mukarovsky masalah tanda ini ada persamaanya

: “ Tanda itu sendiri” (istilah Pierce) disebutnya artefaks (karya seni sebagai tanda),

“Hal yang ditandai” merupakan realistis kehidupan yang jadi objek proses kreatif, dan

tanda “tanda baru” dinamakannya objek estetik (pengkonkretan artefaks) artefaks

dicerap dan ditafsirkan menurut pengetahuan (pengalaman pembaca sesuai konvensi

sastra yang dikenalnya).

Dalam semiotik sastra ala Yuri Lotman dalam Luxemburg (1992 : 47), bahasa

sebagai sistem tanda ada dua macam yaitu:

a) Bahasa sebagai bahasa alami merupakan sistem tanda primer yang berupa kosakata,

kalimat, sintaksis dan lain-lain yang berfungsi untuk komunikasi dan berpikir.

b) Bahasa sastra adalah sistim tanda sekunder yang merupakan hasil bahasa dalam

bentuk estetik.
Berdasarkan uraian dan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa

semiotik adalah ilmu yang mengkaji secara sistematis tentang tanda, lambang ataupun

simbol yang menyangkut pada sebuah karya sastra. Hal tersebut bertitik tolak dari

asumsi bahwa karya sastra, memiliki sistim tanda/lambang bahasa yang bermakna

dengan media bahasa yang estetik. Berdasarkan semiotik bahasa merupakan salah satu

tanda atau lambang dan lambang-lambang bahasa itu berupa kata, kalimat, dan teks.

Sistim tanda tersebut mempunyai makna atau pengertian tertentu berdasarkan hasil

interpretasi si penerima tanda atau lambang bahasa bahasa tersebut. Karena sistim

lambang atau tanda dalma karya sastra memiliki banyak intrepretasi. Dalam kajian

semiotik analisisnya tidak terbatas pada pemakaian bahasa dan sistim tanda/lambang

yang terdapat dalam karya sastra saja tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang

berada di luar karya sastra tersebut. Yaitu kode seperti masalah sosial budaya dan

sistim tata nilai yang mewarnai karya sastra tersebut. Oleh karena itu masalah yang

hendak disoroti dalam kajian semiotik adalah keunikan, kekhasan suatu karya sastra

sehingga penelaah harus jeli melihat lambang-lambang dan kode sastra yang

membentuk sistim dari keseluruhan isi karya sastra itu sendiri.

2.2 Semiotik sebagai Salah Satu Pendekatan dalam Menganalisis Karya

Sastra

Pendekatan semiotik bertolak dari asumsi bahwa karya satra memiliki suatu

sistm senidri, yang memiliki dunianya sendiri sebagai suatu realitas yang hadir atau

dihadirkan dihadapan pembaca yang didalamnya terkandung potensi komunikatif

yang ditandai dengan adanya lambang-lambang kebahasaan yang yang khas yang
memiliki nilai artistik dan dramatik (Semi, 1993 : 86). Lambang kebahasaan yang

khas sastra yang memiliki artistik dan dramatik itu diakibatkan suatu dorongan kreatif

pengarang. Pemaknaannya mengacu kepada berbagai dimensi makna yang seringkali

bersifat kompleks.

Pendekatan semiotik beranggapan bahwa karya sastra memiliki sistim-

sistim tanda yang bermakna dengan media bahasa yang estetik. Sistim tanda atau

lambang dalm karya sastra ini memiliki banyak interpretasi. Pendekatan semiotik

menurut Semi (1993 : 89) mempunyai konsep dan kriteria sebagai berikut.

1. Karya sastra menurut pandangan semiotik memiliki sistim sendiri yang berupa sistim

tanda atau kode. Menurut Yunus dalam Semi (1993 : 87), tanda atau kode itu bersifat

estetis. Kode atau tanda itu mempunyai banyak interpretasi.

2. Pendekatan semiotik mempunyai pertallian struktural dan pendekatan stilitika.

Pendekatan semiotik tidak saja mempersoalkan pemakaian bahasa tetapi juga

menyangkut semua sistim tanda yang terkait dengan sistem sastra.

3. Pendekatam semiotik analisisnya tidak terbatas pada karya sastra itu sendiri, juga

berhubungandenga hal-hal yang berada di luarnya yaitu kode budayanya, seperti

masalah sosial budaya dan sistim tata nilai yang mewarnai karya sastra. Hal ini

berarti, bahwa kajian semiotik menyangkut aspek ekstrinsik dan intrinsik karya satra.

4. Pendekatan semiotik memberi pandangan bahwa tanda-tanda atau kode-kode sekecil

apapun yang terdapat dalam karya sastra penting untuk diperhatikan, karena ia ikut

membentuk sistem dan keseluruhan tersebut.

5. Dalam menggunakan pendekatan semiotik hendaknya hendaknya peneliti bersikap

jujur, bersikap terbuka menerima kenyataan baru yang sebelumnya tidak dikenalnya.
2.3 Bahasa sebagai Suatu Sistem

Bahasa merupakan sistem semiotik, sistem tanda. Setiap tanda sebagai unsur

bahasa punya arti tertentu, yang secara konvensi disepakati oleh masyarakat. Misalnya

“kursi haruslah bermakna kursi, tak dapat dinamakan meja”.

Sistem tanda dalam bahasa mengandungdua aspek yaitu :

a. Konsepsi sebagai dasar pemahaman dunia nyata, mengarahkan sikap dan penafsiran

kenyataan serta dasar komunikasi.

b. Sistem kemaknaan yaitu mempunyai pengertian tertentu misalnya “mamak” beda

dengan “pekde”, “paklik”, “oom”, dan “paman”.

Menurut Teeuw (1984 : 96) bahasa tanpa pengertian bukan bahasa. Bahasa dan sastra

termasuk dalam semiotik karena mengandung lambang-lambang (Luxemburg, 1992 :

44-47). Sastra merupakan sistem tanda sehingga dengan mempelajari bahasanya dapat

ditemukan lambang-lambang.

2.3.1 Bahasa dalam Sastra

Manusia sebagai makhluk berpikir dapat mengungkapkan pengalaman

batinnya, dengan menggunakan bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari G.F Kneller

dalam Zulfahnur (1996 : 8) menyatakan bahwa bahasa mempunyai tiga fungsi yaitu

afektif, simbolis dan emotif. Seni sastra merupakan kegiatan estetik yang banyak

menggunakan aspek dan simbolik emotif dari bahasa. Maksudnya ciri khas bahasa

sastra bersifat perasaan emotif dan menggunakan bahasa simbolik, simbol-simbol

dengan kata-kata yang konotatif, berjiwa ambiquitas dan mengandung kesan estetik

(aeshtetic effest). Istilah “estetika” di sini berasa dari bentuk ajektif “aesthetic”
(Bahasa Inggris) yang berkenaan dengan keindahan dalam alam, seni, sastra, musik

dan dapat menghargai macam-macam keindahan, memperhatikan rasa bagus, baik

dalam seni dan lain-lain (Homby dalam Zulfahnur, 1996 : 9).

Sesuai dengan hakekat karya satra sebagai karya yang kreatif, maka

penggunaan bahasa dalam sastra adalah juga penggunaan yang kreatif. Penggunaan

bahasa yang kreatif tidaklah berarti penggunaan bahasa yang menyimpang. Dalam

semiotik sastra ala Yuri Lotman dalam Luxemburg (1992 : 47) menyatakan “Bahasa

sastra adalah sistem tanda sekunder yang merupakan hasil bahasa dalam bentuk

bahasa estetik”.

2.3.3 Budaya dan Lingkungan Pengarang dengan Sistem Tanda

Bahasa sebelum dipakai oleh penulis, sudah merupakan sistem tanda, sistem

semiotik. Setiap tanda unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu, yang secara konvensi

disetujui dan dapat diteriam oleh anggota masyarakat. Misalnya kursi harus berarti

“kursi” dalam bahasa Indonesia, tidak dapat dikatakan/diartikan dengan meja. Tetapi

yang lebih penting lagi di dalam sistem tanda itu tersedia perlengkapan konseptual

yang sukar sekali kita hindari, sebab perlengkapan itu merupakan dasar pemahaman

dunia terpenting (Teeuw, 1988 : 96).

Untuk membantu pemahaman tentang karya sastra, perlu pengetahuan

mengenai kebudayaan yang melatarkanbelakangi karya sastra tersebut. Oleh karena

itu pengarang dalam menciptakan hasil karya sastranya terlebih dahulu harus

mengetahui bagaimana latar belakang budaya kehidupan tokoh dalam karangan yang

akan diciptakannya.
2.3.3 Kode Bahasa dalam Sastra

Kode bahasa dalam sastra disebut juga dengan istilah stiliska, atau penggunaan

bahasa dalam karya sastra (Barus, 1997 : 9). Pengertian ini dipertentangkan dengan

penggunaan bahasa biasa di luar karya sastra. Jadi disamping ada penggunaan bahasa

dalam karya sastra, juga ada pengalaman bahasa selain sastra. Adapun bahasa dalam

karya sastra bersifat estetis oleh karena itu stilistika mengkaji karya sastra dari segi

penggunaan bahasa.

Sesuai dengan pendapat Wellek dan Warren (1995 : 225) menyatakan bahwa

manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis. Membatasi lingkup bidang ini

khusus untuk studi karya sastra. Kemampuan informasi yang istimewa dalam sastra

disebabkan sastrawan menggunakan berbagai berbagai kode salah satunya adalah

kode bahasa. Sistem lambang atau tanda dalam karya sastra ini memiliki memiliki

banyak interpretasi. Luxemburg (1992 : 45) menyatakan dalm menafsirkan suatu

sistem lambang, pembaca mengartikan gejala-gejala tertentu (kata-kata, kalimat,

gerak-gerik, dan sebagainya) berdasarkan sebuah kaidah atau sejumlah kaidah.

Kaidah-kaidah ini merupakan sebuah kode.

Dari uraikan di atas dapat disimpulkan bahwa selain kode sastra dan kode

budaya, kode bahasa juga perlu diketahui dalam menafsirkan dan memahami karya

sastra.

2.4 Karya Sastra dalam Model Semiotik


Pembahasan karya sastra dalam model semiotik terdiri dari enam model tetapi

penulis hanya menguraikan dua model yaitu menurut model De Saussure dan model

Karl Buhler. Penulis hanya menguraikan dua model saja karena memang, model

tersebut sesuai dengan apa yang akan diteliti oleh penulis yaitu mengenai tanda bahasa

atau lambang yang mengacu kepada makna.

2.4.1 Sastra sebagai Tanda Termasuk Bidang Semiotik oleh De Saussure

Sastra bukanlah komunikasi yang bisa, dan mempunyai banyak segi yang aneh

dan luar biasa kalau dibandingkan kalau dibandingkan dengan tindak komunikasi lain.

Tetapi pemahaman gejala ini yang sesuai dan tepat tidak mungkin tanpa

memperhatikan aspek komunikatifnya, atau dengan istilah lain tanpa mendekati sastra

sebagai tanda (sign) atau dengan istilah yang sekarang sangat luas dipakai, sebagai

gejala semiotik. Ferdinand De Saussure, yang secara umum diakui sebagai tokoh yang

meletakkan dasarilmu bahasa modern. Dalam Cours de Linguistique yang diterbitkan

murid-muridnya (1916) setelahde Saussure meninggal diuraikan dengan panjang lebar

bahwa bahasa adalah sistem tanda ; dan merupakan kesatuan antara dua aspek yang

tak terpisahkan satu sama lain. Signifiant (penanda) dan signife (petanda). Signifiant

adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, padahal signife adalah aspek

kemakmuran atau konseptual; tetapi signifiant tidak identik dengan bunyi dan signifi

bukanlah denotatum. Jadi hal atau benda dalam kenyataan yang diacu oleh tanda itu.

De Saussure membiacarakan beberapa aspek tanda yang khas, tanda adalah

arbitrer, konvensional dan sistematik. De Saussure menjelaskan pula bahwa bahasa

bukanlah satu-satunya yang dipakai dalam masyarakat. Ada berbagai sistem tanda
lain, misalnya dalam masyarakat modern kita memakai sistem tanda lalu lintas, yang

prinsipnya sama dengan tanda bahasa. Tanda lalu lintas juga bersifat arbitrer (merah

sebagai larangan, hijau sebagai izin). Konvensional (manusia harus belajar sistem

tanda itu, sebab tidak bersifat wajar) dan sistematik. Ada hubungan intrinsik antara

sistem tanda lalu lintas yang berdasarkan oposisi tertentu.

Contoh lain yang umum terdapat tetapi mungkin berbeda menurut kebudayaan

adalah gerak-gerik misalnya tanda geleng kepala. Cabang antropologi yang secara

khusus meneliti sistematik tanda dalam masyarakat disebut cognitive atau symbolic

anthropology. Semua sistem tanda paling kompleks dan mendasar untuk komunikasi

antar manusia. Dari segi tertentu dapat dibandingkan dan diteliti bahwa, ilmu

pengetahuan yang bertugas untuk meneliti berbagai sistem tanda, De Saussure

menyebutnya dengan istilah semiologi atau ilmu tanda.

2.4.2 Bahasa sebagai Suatu Tanda oleh Karl Buhler

Buhler menguraikan ciri khas tanda bahasa sebagai gejala sosial. Gejala sosial

berarti gejala yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena tanda itu dipakai dalam

lingkungan masyarakat. Buhler menjelaskan bahwa tanda itu mempunyai fungsi

tertentu yang meyangkut hal simptom atau gejala, sinyal dan simbol terhadap

pengirim pesan , penerima pesan dan hal yang ditandai. Antara lain :

1. Simptom atau gejala dalm hubungannya dengan orang yang memakai tanda itu

(pengirim pesan) tanda itu mempunyai fungsi ausdruck (fungsi ekspresif).

2. Sinyal dalam hubungannya dengan penerima tanda atau penerima pesan, tanda itu

mempunyai fungsi appell (fungsi himbauan).


3. Simbol dalam hubungannya dengan hal yang ditandai atau diungkapkan, tanda itu

mempunyai fungsi darstellung (fungsi reference, acuan).

Bahasa sebagai alat komunikasi merupakan hasil dari ausdruck, appell dan

darstellung. Berdasarkan hal tersebut maka bahasa dapat menyampaikan sesuatu

kepada penerima tanda bahasa dengan baik. Fungsi yang dominan dalam pemakaian

bahasa yang biasa adalah fungsi darstellung (reference, acuan). Tetapi Teeuw (1984 :

49) berpendapat bahwa dalam situasi tertentu mungkin ekspresilah yang dominan,

misalnya kalau kaki saya tersandung saya mungkin berseru “aduh” sedangkan fungsi

appell bisa juga dominan misalnya kalau saya memanggil anak saya “dul”.

BAB IV
PEMBAHASAN PENELITIAN NOVEL PULANG
KARYA TOHA MOHTAR
4.1 Ringkasan Bab dwmi Bab Novel “ Pulang ‘’ Karya Toha Mohtar
Bab I
Setelah tujuh tahun menjadi Heiho dan tinggal di Jepang, akhirnya Tamin pulang
ke tanah airnya untuk menjumpai orangtua, adiknya Sumi dan Desa yang selalu
dirindukannya selama penggembaraan. Di dalam pelajaran pulang ke kampung halamanya,
Tamin membayangkan masa kecilnya di desa dengan penuh kebahagian akan kesuburan alam
desanya. Kemudian dia membayangkan orang tua dan adiknya. Dia membayangkan
seluruhnya, seperti waktu pengembaraanya tidak pernah ada. Akhirnya dia sampai di depan
rumahnya dan ia melihat rumahnya yang ditinggalkannya tujuh tahun yang lalu sama sekali
tidak ada perubahan. Dia menemukan orangtuanya sudah sangat tua sedangkan adiknya Sumi
sudah beranjak dewasa dan memiliki paras yang cantik.
Orang tua Tamin sangat terkejut dan merasa senang akan kedatangan anaknya. Sekian
lama ditunggu-tunggu dan tiba-tiba Tamin sudah ada dihadapan mereka. Kehadiran Tamin
dirumahnya membuat suasana semakin hidup. Orangtua dan adik Tamin banyak bercerita
tentang keadaan kampung halamannya, terlebih-lebih itu cerita mengenai Gamik dan Pardan,
teman Tamin pada waktu kecil yang rela meninggal untuk memperjuangkan bangsanya.
Taminpun akhirnya diminta orangtuanya dan adiknya untuk menceritakan bagaimana
pengalamannya memperjuangkan bangsanya. Tamin merasa takut untuk menceritakan
pengalamanya karena pengalamanya hanyalah seorang penghianat bangsa yang memerangi
bangsanya sendiri.
Tamin semula tidak mau bercerita pengalamannya yang walaupun cerita itu
merupakan rekayasa atau kebohongan belaka. Dia menceritakan kepada orangtuanya bahwa
dia berjuang untuk memperjuangkan bangsanya.
Bab II
Dengan kepulangan Tamin ke kampung halamannya, Tamin sangat berniat untuk
mengolah tanahnya. Dengan penuh semangat ia membersihkan kadang sapinya, sambil
bertanya kepada Sumi dimana sapinya. Sumi menjawab bahwa sapi tersebut sudah terjual.
Taminpun berniat untuk membeli sapi secepatnya, karena tanah milik orang tunya sudah
terjual. Orang tuanya bercerita kepada Tamin bahwa sapi dan sawah pusaka sudah dijual
demi kebutuhan hidup selama zaman Jepang dan revolusi. Tamin memahami kesulitan yang
dialami orangtuanya. Oleh sebab itu ia berniat untuk membeli sapi dan menebus sawah yang
sudah digadaikan orangtuanya itu. Tamin menebus sawah dengan uang simpanan dan
perhiasan yang dibawanya dari pengembaraanya. orang tuanya tidak mengetahui bahwa
simpanan TAMIN ADA, SEHINGGA ORANG TUA KHAWATIR tamin tidak dapat
menebus sawah mereka. Sumipun khawatir akan kepergiannya ke pasar untuk membeli baju
yang sudah dijanikannya sebelumnya tidak jadi.
Tetapi kekhawatiran orangtua dan adik Tamin hanya sebentar. Tamin penuh semangat
menjadi petani dan memiliki tanah sendiri. Tamin menegarkan hati orang tuanya dan berjanji
kepada Sumi adiknya untuk segera ke pasar membeli bajunya. Orangtua Tamin pun akhirnya
percaya kepada kekuatan hati anaknya.
Bab III
Tamin membuka ransel dan mengambil uang simpanan beserta persiapannya. Sejenak ia
teringat kepada perhiasan itu yang merupakan kenangannya selama pengembaran, kenangan
bersama dengan orang yang dicintainya yaitu istri dan anaknya. Tiba-tiba ayahnya
menyadarkanya dari lamunannya. Ayah amin kecewa akan keadaan yang berlaku pada waktu
zaman revolusi yang membuat saapi dan sawahnya dijual dan akhirnya yang menanggung
semuanya adalah ananknya, Tamin harus berjuang untuk mengembalikan tanah pusaka
mereka, tetapi tamin memberi semangat kepada ayahnya, bahwa Tamin akan segera
mengembalikan semua sawah ladangnya dan akan bertanggung jawab untuk
mengerjaakannya. Ayahnya pun percaya kepada Tamin, bahwa Tamin akhirnya dapat
membeli sapi dan menebus sawahnya dengan uang dan perhiasan yang di simpannya. Ia
mulai mengolah tanahnya tersebut menjadi sawah dan selalu rajin bekerja mengolah
tanahnya. Kegembiraan dalam rumahnya bertambah terasa. Ayah dan ibunya semakin sehat.
Suatu malam ia menembang atau menyanyika lagu Asmaradana, yang membuat masyarakat
desa manaru simpati padanya dan setiap masyarakat yang berpapasan selalu menegurnya
dengan ramah dan penuh rasa hormat.
Bab IV
Tamin bertemu dengan pak banji di sawah.Pak banji mnyuruh tamin agar datang ke
pertemuan yang akan di adakan untuk membicarakan perbaikan terhadap makam gamik,
teman karib tamin pada waktu kecil yang telah meninggal akibat perlawanannya terhadap
belanda.Tamin membayangkan perteman itu,dia akan dapat bertemu dengan wajah-wajah
lama yang belum di jumpainya sejak dia pulang. Pada sore hari karmin pulang dari sawah,
dia duduk sambil minum kopi dan tiba-tiba ibunya datang. Ibunya hendak menayakan sesuatu
tentang tamin yaitu mengenai pendamping hidup tamin. Ibunya berkata apakah belum ada
atau belum dipikirkan. Ibunya kawatir kalau tamin tidak ingin berumah tangga tetapi
kecemasan ibunya dapat di jawab oleh tamin. Tamin menceritakan bahwa dia sudah menikah
di pengembaraan nya di negri orang.dia pernah memiliki seorang istri yang baik yang
memiliki cita- cita untuk dapat bertemu dengan ibu tamin, tetapi apa boleh buat istri dan anak
nya meninggal di rumah bersalin.istrinya meninggalkan kenagan berupa perhiasan kalung
yang di berikan tamin kepadanya.
Sejak ibu tamin teringat dengan kalung yang di jual tamin. Tamin tau apa yang
tersirat di dalam hati ibunya,tamin mengatakan bahwa perhiasan itu tidak hilang. Perhiasan
itu sudah bersatu dengan tanah yang dibelinya. Akhirnya ibunya lega dan bangga akan
ketegaran hati anakya dalam menjalani atu mengahadapi hidupnya.ibunya merasabersyukur
kepada Tuhan yang telah membawa anaknya kembali kepadanya.
Bab V
Tamin meengikuti pertemuan yang di adakan di pendapat kelurahan untuk
membicarakan perbaikan terhadap makam gamik dan pardan. Suasana pendatang itu sangat
ramai sekali. Mereka duduk membentuk lingkaran. Setelah mereka selesaai membicarakan
bagaimna cara-cara dan hal apa yang di butuhkan dalam perbaikan makam tersebut,
merekapun beralih ke acara sendiri yaitu menceritakan bagaimana kematian gamik. Gamik
meninggal pada waktu mengadakan perlawanan terhadap belanda bersama dengan keenam
temannya. Dalam pembicaraan itu kematian gamik lah yang paling menarik bagi masyarakat
itu. Mereka menceritakan dengan penuh bangga mempunyai pemuda seperti gamik. Dengan
bergantian mereka menceritakan pengalaman- pengalaman mereka yang mmembanggakan
pada waktu terjadinya revolusi
Tamin hanya dapat menunduk mendengarkan cerita itu dan merasa bersalah terhadap
apa yang dilakukannya. Mendengar cerita itu hati tamin semakin tersiksa. Tiba-tiba
masyarakat memberikan giliran untuk menceritakan pengalamannya, tamin tidak tahu berbuat
apa karena ia tidak memiliki cerita seperti mereka. Dia hanya seorang penghianat bangsa
yang bertempur untuk melawan bangsanya sendiri. Tetapi karena terus didesak untuk
memberikan cerita,. Tamin pun akhirnya bercerita dan memberikan pengalaman yang
bohong. Dia telah membohongi masyarakat dan masyarakat tidak mengetahui kebohongan
tamin tersebut. Masyarakat percaya terhadap apa yang dikatakan tamin dalam ceritanya.
Bab VI
Tamin merasa bahwa dirinya bukan patriot yang rela mengorbankan nyawawnya demi
bangsanya. Tamin justru bertempur melawan bangsanya sendiri. Hal itu membuat batain
tamin semakin tersiksa, dan merasa bersalah. Rasa bersalah itu membuat tamin semakin di
cekam rasa ketakutan. Dia khawatir kalau-kalau kebohongannya selama ini terbongkar. Maka
iya memutuskan kembali untuk meninggalkan desa dan pergi mengembara ke kota. Pada
waktu meninggalkan desanya, sejenak terlintas di hati tamin untuk bunuh diri, tetapi tuhan
melindunginya. Seorang tukang rakit datang menghampirinya dan memberika nasihat-nasihat
kepada tamin. Tamin dan tukang rakit bersama-sama meningalkan desanya dengan menaiki
rakit sesudah tamin sampai di kota, hatinya bukan semakin merasa tenang justru hatinya
semakin tersiksa dan merasa ketakutan. Ia takut bagaimana jika rahasianya sudah diketahui
masyarakat di desanya.
Tamin mengembara dan berpindah-pindah tempat di kota dengan tujuan yang tidak
pasti. Tamin mendapat pekerjaan di kota dengan penghasilan yang lumayan dengan
mengandalkan kekuatan tubuhnya. Tetapi, itu tidak membuat hidupnya gembira. Dia hanya
mengingat kesalahanya dan tidak bisa melupakanya sam sekali.
Bab VII
Tamin bertemu dengan pak Banji yakni salah seorang tetangga di
kampungnya di Surabaya. Tamin merasa takut dan was-was menghadapi pak Banji. Ia
mengira jangan-jangan pak Banji dan penduduk desanya sudah mengetahui rahasia dirinya
sebagai penghianat bangsa. Tetapi, pak Banji tidak mengatakan hal tersebut ia hanya
menyampaikan kabar duka cita kepada Tamin yaitu bahwa ayah Tamin telah meninggal
dunia. Ibu dan adiknya sangat mengharapkan kepulangannya. Selain itu, penduduk desa juga
mengharapkan agar ia pulang. Mereka merindukan Tamin, merindukan tembang-tembang
yang selalu didendangkannya. Mendengar cerita pak Banji, Tamin merasa lega karena orang-
orang di kampungnya ternyata tidak mengetahui dirinya yang sebenarnya. Dari hal tersebut
Tamin tahu bahwa sesungguhnya penduduk desanya sangat tulus mencintai Tamin dan
mereka penuh pengharapan agar Tamin hadir di tengah-tengah mereka. Tamin pulang dengan
gembira, ia membayangkan wajah ibu dan adiknya.
Tamin akhirnya memutuskan untuk pulang ke desanya dengan tujuan pasti , dan
disertau dengan perasaan lega. Bahwa ia tetap dibutuhkan oleh penduduk desanya . ia juga
sadar, kepulangannya yang kedua kali sekaligus untuk membuktikan bahwa sesungguhnya ,
sejak dulu Tamin ingin berjuang untuk bangsanya . pembelaanya pada Jepang dan kepada
sekutu semata-mata akibat bujuk rayu pada Belanda. Menurutnya, kepulangannya ini
merupakan saat yang tepat untuk membuktikan diri pada bangsanya. Tamin pulang ke
kampungnya tidak langsung menjumpai ibu dan adiknya. Tetapi terlebih dahulu dia ke
makam ayahnya. Di makam ayahnya dia berjanji untuk melanjutkan harapnnya di atas bumi
ini. Kemudian Sumi datang dan ia terkejut melihat Tamin. Keduanya saling bertatapan dan
akhirnya mereka saling berpelukan di samping pusara ayahnya. Tamin membelai rambut
adiknya, matanya mencari pipi yang pernah membekas tangannya yang kasar itu. Tetapi ia
tidak menemukan apa-apa, lalu mereka ergi meninggalkan pusara ayahnya.
- Tema cerita : perasaan bersalah dan takut dalam diri seorang pemuda
pribumi yang menjadi anggota Heiho yang memerangi bangsanya sendiri.
- Setting cerita : Surabaya
- Tokoh-tokoh :
1. Tamin : seorang pemuda anggota Heiho yang dianggap sebagai pahlawan oleh orang-
orang sekampungnya.
2. Pak Banji : tetangga Tamin di surabaya
3. Ayah dan ibu : orang tua tamin yang sudah tua dan selalu sakit-sakitan.
4. sumi : adik Tamin, seorang gadis yang sederhana dan mempunyai paras cantik
4.2Analisis Semiotik Terhadap Novel “pulang” Karya Toha Mohtar
4.1 pemkaian Bahasa
Bahasa tidak dapat dilepaskan dari sastra. Tidak ada bahasa, tidak ada sastra .
keindahan sebuah sastra sebagian besar disebabkan oleh penulis mengeksploitasi kelenturan
bahasa sehingga menimbulkan keindahan dan kekuatan
Berhasil tidaknya seorang pengarang fiksi, justru tergantung pada kecakapannya
mempergunakan gya yang serasi pada karyanya misalnya tidak ada dua orang yang sama
betul, maka tidak ada dua pengarang yang sama dalam menggunakan gaya dalam karyanya.
Seorang penulis fiksi harus mampu memilih, menyusun kata demi kata, kalimat demi kalimat
menjadi rangkaian cerita yang dapat menarik minat pembaca.
Novel “pulang” disajikan dengan bahasa yang jernih sehingga mudah untuk dipahami.
Bahasa novel “pulang” disusun begitu indah oleh pengarang yang membuat pembaca tertarik
membacanya.pengarang menggunakan gaya dan lambang-lambang bahasa dalam rangkaian
ceritanya. Dalam novel “pulang” pengarang menciptkan bahasa yang estetik , dengan
menggunakan kata-kata yang ambiqiitas dan konotatif. Contohnya yaitiu: hari masih panas,
bayangan telah sepanjang hasta (48); duta semua hati (hal 73). Dalam novel ini keindahan
atau kesan estetika antara lain oleh keutuhan dan keharmonisan.
Struktur estetika dan estra estetiknya dengan stilistikanya(pemakaian bahasanya).
Bahasa yang digunakan pengarang dalam novel “pulang” bersifat perasaan dan menggunakan
bahasa simbolik, simbol-simbol dengan dengan kata-kata yang konotatif dan ambiquitis.
Seni kata (seni bahasa) . yang terdapat dala novel ini merupakan ekspresi jiwa pengarang
dengan menggunakan kata-kata yang melahirkan aspek estetika dari karya sastra tersebut.
Novel “pulang” memiliki rangkaian cerita yang harmonis, karena ceritanya disusun
dengan begitu koheren . artinya, dalam setiap unsur karya sastra mempunyai hubungan
dengan unsur yang lain. Begitu perlunya hubungannya itu sehingga apabila ditukar letaknya,
maka keseluruhan karya itu akan menimbulkan perubahan makna. Hal ini berkaitan dengan
fungsi-fungsi dalam struktur bahasa. Sebuah kata tidak dapat diganti dengan secara
sembarangan dengan kata lain. Sama halnya dengan pengarang tidak dapat menyamakan
makna ungkapan.
Bahasa dalam novel sudah disusun dengan sedemikian rupa sehingga menimbulkan
makna yang tertentu, maka dengan penyajian bahasa yang demikian di dalam novel “pulang”
, akan dapat membantu pembaca untuk memahami karya sastra tersebut secara lebih cepat.
Contohnya pemakaian kata di dalam cerita novel “pulang” yaitu duta semua hati tidak bisa
diganti dengan hati semua duta. Karena , hal itu sudah dapat menghilangkan makna yang
dimaksud sebelumnya dan berubah(melahirkan makna baru) . dapat kita simak perubahannya
dalam kalimat yaitu ia harus mampu jadi duta semua hati yang terjepit, dan ia harus dapat
melenyapkan pengertian sempit yang menimbulkan perang(hal 73) akan berubah makna jika
lambang bahasa itu dirubah menjadi ia harus nampu jadi semua duta yang terjepit, dan ia
harus mampu melenyapkan pengertian sempit yang menimbulkan perang. Kalimat pertam
bertujuan untuk menyatakan pelindung bagi orang susah , sedangkan kalimat kedua
menyatakan makna yang sebenarnya atau tidak merupakan kiasan lagi yaitu hati kepada
seluruh duta yang ada atau dengan kata lain kalimat tersebut sudah sulit dipahami karena
digabung dengan kalimat yang lain.
Oleh karena itu bahasa yang terdapat dalam cerita tidak boleh diganti kata-katanya
telebih struktur kalimatnya, karena jika hal tersebut di lakukan akan dapat membuyarkan
makna yang dimaksudkan oleh noveel tersebut. Bahasa novel “pulang” Toha Mohtar secara
jelas terdapat rangkaian kata demi kata sehingga karangan tersebut terasa lebih hidup.
Di dalam hasil karya sastra Toha Mohtar yaitu novel “pulang”, menggunakan
lambang bahasa baik itu berupa kata, kalimat maupaun teks yang tentunya mempunyai
makna tertentu. Lambang bahasa tersebut dipakai untuk menyatakan sesuatu atau mengacu
kepada sesuatu. Lambang bahasa itu harus dapat dipahami secara mendetail, dan dalam
pemahaman itu harus mempunyai pikiran yang sangat jeli agar dapat menemukan makna
yang tersirat dalam lambang bahasa tersebut . misalnya lambang Heiho (hal 15) , romusha
(hal 68), sepetak rumah bambu (hal 17),matahari sudah lurus di atas kepala...(hal 57),
yamaguchi (hal 60), alhamdudillah( hal 75), Tuhan (hal 40) , serdadu (hal 13), cikar (hal
5) dan lain sebagainya. Lambang-lambang tersebut memungkinkan pembaca untuk berpikir ,
berhubungan dengan apa lambang itu, dan pembaca akan dpat memberikan makna apa yang
ditampilkan oleh lambang bahasa dalm novel “pulang” tersebut. Oleh karena hal lambang-
lambang itu , lebih menonjolkan hubungan tanda –tanda dengan acuannya dan dengan
interprestasi , maka hal tersebut dikatakan semantik semiontik.
Manusia semua mempunyai sistem bahasa , yang antara lain merupakan sistem
kemaknaan yang berbeda-beda menurut bahasa yang dipakai sebagai anggota masyarakat
tertentu. Di dalam novel “pulang” ini terdapat sistem pemakaian bahasa jawa yang dapat
melahirkan interprestasi yang berbeda dari pembaca misalnya mbok (hal 28) , rabuk (hal 32)
kakang (hal 39), gluduk (hal 15) , pandir (hal 54) dan lain sebagainya.
4.2.2 Kode Budaya Novel “pulang” Karya Toha Mohtar
Pemahaman sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan . sedikit
banyaknya mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut dan tidak
langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya. Untuk memahami novel “pulang” kita
harus mengetahui sedikit banyaknya mengenai keadaan dan konvensi sosial budaya di Jawa.
Karena, cerita novel “pulang” karya Toha Mohtar ini disajikan dengan berlatarkan bahasanya
yaitu Gusti (gusti, alangkah beratnya menyambung hidup di zaman itu (hal 27), kakang ( saya
belum pernah bertemu dengan kakang sebelumnya, hal 30 ), doyong ( Tamin duduk di atas
kursi kayu duren yang setengah doyong, hal 38 ) dan sebagainya.
Adapun kode budaya yang dapat ditemukan dalam novel “ pulang “ karya Toha
Mohtar yaitu antara lain :
1. menembang pada malam hari sebagai pengantar tidur dengan menggunakan bahasa jawa. Hal
itu dinyatakan dalam kalimat “ Lalu sesudah itu, kartu dan buku-buku sejarah kuno yang
bertuliskan huruf Jawa dalam bentuk tembang akan jadi pengantar tidur “( hal 8 )
2. makan dengan duduk di atas tikar mendong tua. Hal itu dinyatakan dalam kalimat “Seisi
rumah duduk di ataas tikar mendong tua, hidangan makan malam telah di undurkan. Ibunya
menyapu tikar dengan satu merang ...” (Hal 15)
3. mengadakan remburg/rapat untuk membicarakan sesuatu. Hal itu dinyatakan dalam kalimat
“pendapakelurahan telah ramai. Orang telah banyak yang datang, mereka duduk bersila
membentuk lingkaran di atas tikar seperti hendak kenduri ...”(hal 65)
4. mengunjungi rumah demi rumah setelah berjalan jauh. Hal itu dinyatakan dalam kalimat “
lalu ia datang mengunjungi rumah demi rumah menemui orang-orang tua di kampung
sekedar memenuhi adat menampakkan diri sesudah berjalan jauh” ( hal 29 )
5. muda- mudi yang berlainan jenis dilarang adat untuk bertemu sebelum menikah. Hal itu
dinyatakan dalam kalimat “mereka Cuma anak desa yang diharamkan untuk bertemu” (hal
59)
6. ciri khas pada suku Jawa Barat yaitu bersalaman dengan mengulurkan kedua belah tangan
sambil mengangguk. Hal itu dinyatakan dalam kalimat “ Tamin berdiri pelan, mengulurkan
kedua belah tangannya dan mengangguk “ (hal 97 )
sesudah 40 hari seseorang meninggal maka keluarga dan handaitaulannya akan
mengadakan acara selamatan sekaligus kirim doa. Hal itu dinyatakan dalam kalimat “Besok
petang menjelang hari keempat puluh, kang engkau tahu ? kita hendak mengadakan
selamatan sebagai sedekahkiriman, dan seluruh kampung hendak kami undang”(hal 103)
selain budaya-budaya tersebut di atas dalam budaya Jawa khususnya petani, tanah pusaka
merupakan tanah yang paling dicintai. Mereka rela mengorbankan nyawa demi
mempertahankan tanah pusakanya. Karena tanah itu membuat mereka dapat bertahan hidup
dalam melangsungkan aktivitasnya sehari-hari. Dalam novel “pulang “ ada, ditemukan nilai
didaktis dimana orang tua mengajarkan kepada anaknya agar mencintai tanah pusaka.
Nampak secara jelas pada kalimat “ Engkau harus tahu, bahwa janji hidup dari keturunanmu
dalam tanah ini pula, seperti juga ia telah menghidupi nenek moyang kita. Inilah adalah
pusaka” (hal 26)
hal-hal tersebut di atas tergolong pada sosial budaya ( yang merupakan kode budaya )
yang di pergunakan oleh pengarang dalam menyajikan hsil karya sastranya yakni novel “
Pulang “
4.2.3 Tanda atau Lambang yang Terdapat dalam Novel “pulang “ Karya Toha Mohtar
Adapun tanda atau lambang-lambang yang digunakan pengarang dalam novel
“Pulang” karya Toha Mohtar adalah sebagai berikut :
4.2.3.1 Tanda atau Lambang yang berupa kata
1. Heiho
pasukan bala tentara. Tanda ini digunakan pengarang untuk menyatakan suasana
perang pada masa penjajahan. Melalui tanda bahasa Heiho, pengarang dapat melukiskan
suatu pengkhianatan yang dilakukan ileh tokoh utama dimana tokoh tersebut menjadi Heiho
dalam memperkuat tentara Jepang untuk menjajah bangsanya sendiri.
“aku pergi Cuma sebagai Heiho, Sumi “ (hal 15)
“Banyak Heiho yang dibawa Jepang ke sana “ (hal 16 )

2. Serdadu
Tanda tersebut digunakan pengarang untuk menggambarkan prajurit-prajurit atau
anggota tentara Belanda yang datang menjajah ke bumi pertiwi.
”Sebab waktu itu orang tahu, serdadu-serdadu Belanda mengangkat dua temanya ke dalam
prahoto mereka sebagai korban” (hal 14)

3. Prahoto
Tanda bahasa “prahoto “ mengacu kepada mobil gerobak (tempat memuat barang-
barang). Kata “Pratoho” dalam cerita novel tersebut mengambarkan para serdadu Belanda
yang mengunakan mobil tersebut dalam berperang.
“sebab waktu itu orang tahu, serdadu-serdadu Belanda mengangkat dua temannya ke dalam
Prahoto mereka sebagai korban “ (hal 14)
4.Kakang
Tanda bahasa “kakang” digunakan pengarang dalam karangannya untuk
mengambarkan bahwa tokoh yang diceritakannya adalah orang jawa. Kakang mengacu
kepada abang dalam bahasa jawa dan pemaknaan itu merupakan hasil konvensi oleh
masyarakat jawa.
“ saya belum bertemu dengan kakang sebelumnya”(hal 30)
“Pak makin sakit sejak semalam, kang Tamin”(hal 55)

5.Ibu
Tanda bahasa “ibu” digunkan pengarang untuk menyatakan orang yang melahirkan
kita. Tanda itu sangat sederhana, sehingga dapat secara cepat dipahami oleh masyarakat
pembaca, jika tanda ibu masuk dalam cerita. Itu terjadi atas konvensi masayarakat bahasa
indonesia. Jadi tanda “ ibu “ yang terdapat dapat novel “Pulang” mengacu kepada orang yang
melahirkan Tamin sebagai tokoh utama. Antara hubungan penanda dan pertanda, jenis tanda
tersebut merupakan tanda yang pokok yang bersifat simbolis karena tanda itu tidak
menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan pertandnya. Hubungan antaranya
bersifat arbiter atau semau-maunya.
“sekalipun ia telah membayangkan bahwa akan setua itu ibunya, tetapi peristiwa sekejap itu
mengubah derasnya air mata”(hal 9)
“namun ada sesuatu yang telah berubah dan ia tahu itu terletak di dasar hati. Bukankah
cara pengucapan ibunya itu menunjukkan adanya perubahan yang maha besar?”(hal 14)
“kandang itu aku yang membersihkan “ kata Tamin mendekati Ibunya (hal 23)
“sebentar ibunya tidak menyela lagi”(hal 24)
“min” kata ibunya ketika merekaberdua telah duduk di balai-balai...”(hal 24)

6.Tuhan
Kata “Tuhan” digunakan pengarang untuk meyakinkan pembaca bahwa seluruh
kehidupan ini kita serahkan kepadaNya dan tidak perlu khawatir apa yang akan terjadi dalam
kehidupan ini semuanya sudah direncanakan denagn baik. “Tuahn” dalam novel tersebut
mengambarkan kepercayaan dan keyakinan tokoh terhadap Tuhan bahwa Tuhan maha dalam
segala-galanya.
“Tuhan maha adil Tamin”(hal 13)
“tuhan telah menyelamatkan kita dari amiknya perang” (hal 18)
“Tuhan turunkan Hujan sebanyak-banyaknya”(hal 40)
“Namun , tidaklah seperti kehendak tuhan jika itu harus berlaku”(hal 62)
“Ya, Tamin doaku didengarkan Tuhan” (hal 64)
“Tuhan mengabulkan doaku siang dan malam” (hal 11)

7.Gusti
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menyatakan atau menagcu
kepada Tuhan, hanya saja pemakaian itu digunakan oleh orang jawa,dan
Sudah merupakan konvensi dari masyarakat jawa
.Jadi lambang bahasa “gusti” yang digunakan dalam cerita novel itu menandakan
bahwa tokoh yang diceritakan dalam novel tersebut adalah suku
jawa. “Gusti alangkah beratnya untuk menyambung hidup di zaman itu”(hal
27).
8.Kali
Tanda tersebut digunakan pengarang dalam cerita novel “Pulang”
untuk menyatakan
atau mengacu kepada sungai.Tanda tersebut dapat memberikan pengertian-
pengertian yang berbeda dari masyarakat pembaca dalam menafsirkannya.Misalnya kali
dapat ditafsirkan maknanya untuk menyatakan sangat, sungai dan ada juga menyatakan
pemuka agama islam.
Tetapi “kali” di dalam novel ini mengacu kepada sebuah sungai.
“Ingat Tamin,” kata
ayahnya,” Tanah ini adalah yang terbaik di seluruh desa, lantaran dibatasi oleh kali
yang tidak pernah kering sepanjang musim” (hal 25).
“Dan anak-
anak pemancing di pinggir kali yang pernah ditemuinya mengangkut kepada dalam tid
urnya” (hal 48)
9.Pusaka
Lambang tersebut digunakan pengarang untuk menyatakan suatu kepercayaan ba
hwa betapa bernilainya harta peninggalan nenek moyang bagi keturunannya sebagai pe
nerus hidupnya dan harta peninggalan tersebut harus dipertahankan sebagai penerus hid
upnya.
“Engkau harus tahu, bahwa janji hidup dari keturunanmu terletak dalam tanah ini pu
la, seperti juga ia telah menghidupi nenek moyang kita. Ini adalah pusaka.” ( hal 26)
“Tanah Tak ada yang lebih berharga dari pada itu.(hal 25)
10.Romusha
Lambang tersebut digunakan pengarang untuk memberitahukan kepada pembaca
bahwa pada masa penjajahan ada Romusha.
Romusha dipakai pengarang untuk mengacu kepada orang-
orang yang dipekerjakan secara paksa yang merupakan pekerjaan berat.
Tanda “Romusha” ada, sesuai
dengan konvensi masyarakat yang memakai tanda itu pada zamannya.
“Alangkah banyaknya cerita yang di bawa orang, tentang heiho dan romusha di nege
ri seberang laut yang dibawa jepang dahulu” (hal 28)

11.Mak
Mak itu digunakan sebagai panggilan kepada ibu yang melahirkan kita.
Tanda tersebut dipakai oleh masyarakat pemakai bahasa sesuai dengan konteks si pem
akai. Misalnya masyarakat Suku Jawa Barat.
“Aku Tamin Mak!” (hal 9)
“Dimana sekarang pardan, Mak?” (hal 12)
“Tidak, mana Mak?” (hal 20)
“Itu tak begitu banyak, Mak. Tepi kukira akan cukup untuk membeli seekor
, meskipun tidak yang terlalu besar.” (hal 24)

12.Mbok
Tanda tersebut dipakai pengarang dalam ceritanya untuk menggambarkan suku J
awa. Orang yang memanggil mbok adalah suku Jawa.
Mbok dalam bahasa Jawa digunakan sebagai panggilan terhadap orang tua perempuan.
“Ia bernama Mbok Min dan selalu menyatakan kepada siapa saja bahwa gigi yang s
atu itu akan dibawanya bersama ke kubur” (hal 20).
“Lalu dengan suara pelan seperti mengucapkan suatu yang rahasia,Mbok Min
berkata sambil mendekat.” (hal 28).

13.Bengawan
Tanda tersebut digunakan pengarang untuk menggambarkan keadaan
di Jawa Barat.
Yang mana bengawan merupakan sebuah sungai besar yang terletak di solo Jawa
Barat. Sungai tersebut dinamakan Bengawan Solo.
Nama itu merupakan nama tersendiri bagi sungai yang terletak di solo atau merupaka
n ciri khas dari Jawa Barat.
“Itu adalah pertama kali ia memasuki toko besar dan seramai itu sebab sebelumnya,
sekali setahun kalanya ia mampu memberi cita ke pasar di seberang Bengawan” (hal
43)
“Ia hendak memilih cita sutra yang berbunga merah dan dalam hatinya ia melihat di
ri sendiri dalam pakaian itu, kain batik solo”. (hal 22).

14.Yamaguchi
Tanda tersebut menggambarkan orang Jepang. Yamaguchi adalah merupakan tan
da yang khas bagi nama orang Jepang. Dalam novel tersebut tanda itu digunakan pen
garang untuk mengacu kepada nama bagi orang Jepang yang dilihat dari penyusunan f
onem yang sangat khas.
“Engkau ingat ketika aku mengisahkan kematian Yamaguchi yang baik itu? Ini terjadi
satu musim dengan kematiannya”. (hal 60).

15.Pendapa
Tanda tersebut digunakan pengarang untuk menggambarkan bahwa masyarakat s
ering mengadakan rapat atau pertemuan dalam membicarakan sesuatu hal. Kata “penda
pa” mengacu kepada tempat atau ruang besar dalam mengadakan pertemuan.
“Pendapa kelurahan telah ramai” (hal 65)
“Dari jalan depan pendapa, Tamin turun pematang mengambil jalan yang paling
pendek” (hal 70)

16.Medan
Tanda medan dipakai pengarang adalah karya sastranya untuk menggambarkan
suatu arena atau tempat terjadinya perang yang arenanya sangat luas.
Tetapi adakalanya tanda itu diinterpretasikan dengan makna lain,
karena kata medan dapat ditafsirkan untuk mengatakan nama kota di pulau Sumatra.
Hal ini bergantung kepada masyarakat pemakainya. Tetapi perlu diingat bahwa makna

yang dimaksud oleh pengarang adalah tempat, arena yang luas untuk melaksanakan pe
rang.
“Lalu ia ingat yang menyambung ceritanya”. Orang itu berkata, ia telah banyak men
gunjungi medan pertempuran dan bahwa ia pun pernah di front Jawa Barat”.(hal70)
“perginya banyak pemuda ke medan pertempuran” (hal 77)

17.Duta semua Hati


Lambang bahasa ini digunakan pengarang untuk menyatakan bahwa tokohnya di
harapkan dapat menjadi pelindung kepada setiap orang yang merasa susah. Kata duta
tersebut maknanya diambil dari makna kata duta sebenarnya lalu digabungkan dengan
kata lain sehingga dapat menimbulkan makna yang lain.
“Ia harus mampu jadi duta semua hati yang terjepit,
dan ia harus dapat melenyapkan pengertian sempit yang pernah menimbulkan perang”
(hal 73)

18.Alhamdulillah
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menyatakan bahwa seseor
ang itu adalah penganut agama Islam. Kata tersebut dapat diartikan sebagai ucapan sy
ukur kepada Tuhan.
“Alhamdulillah, ia telah dijadikan sakit, Tuhan telah menolong dia karenanya” (hal 75)
“Alhamdulillah, Tuhan melindungi engkau!” (hal 79)

19.Getek Bambu
Getek bambu mengacu kepada rakit. Lambang bahasa tersebut digunakan penga
rang dalam novelnya untuk menyatakan/menggambarkan bahwa getek bambu digunakan
masyarakat sebagai alat transportasi penyeberangan di Bengawan Solo untuk melaksan
akan aktifitas kehidupan sehari-hari yaitu berjualan kemuara Bengawan.
“Tamin lalu diajak berjalan keatas tanggul dan tak jauh telah kelihatan getek bambu.
Diatas getek itu telah disusun berates-
ratus buah kelapa yang telah dikupas sabutnya untuk dijual ke muara Bengawan.” (hal
90)
20.Jayakatong
Lamba tersebut digunakan pengarang dalam novelnya untuk menggambarkan su
atu cerita pada zaman peperangan yaitu pada masa Jayakatwang (1271-
1294) adipati Kediri, paman Raden Wijaya anak Narasingha. 1292 menyerang Tumape
l (Singasari), sehingga Kertanagara terbunuh. Pada akhirnya Jayakatwang dikalahkan te
ntara Tatar dengan bantuan Wijaya.
“Cerita pertempuran
di zaman Jayakatong dan bagaimana mereka lari menuju laut” (hal 91)

21.-Wayang Purwo
-Majapahit
-Bengawan
Tanda –
tanda bahasa ini digunakan pengarang dalam novelnya untuk menyatakan bahwa tokoh
– tokoh yang diceritakan adalah orang Jawa atau berada di daerah Jawa.
“Sejak kisah wayang purwa, sampai kepada zaman Majapahit yang kakang ceritakan,
dan kita sendiri pernah sendiri pernah hidup di zaman perang” (hal 91)

22.Chikaramaru
Lambang ini digunakan oleh pengarang dalam novelnya untuk menyatakan sebu
ah kapal pengangkut milik Jepang.
“Oleh suara itu, betapa terang mereka melihat dengan mata hatinya, ketika sebuah ka
pal pengangkut “chikamaru” yang ditumpangi Tamin meninggalkan Tanjung Periok .” (
hal 17)

23.Hayabusa
Lambang itu digunakan pengarang dalam novelnya untuk menyatakan/mengacu
kepada sebuah kapal pesawat terbang jepang yang dipakai dalam perang. Hal itu men
ggambarkan bahwa bangsa Jepang sudah maju pada saat itu.
“Waktu itu mereka telah berada pada jarak 30 mil dari singapura dan pesawat sekut
u itu lari ketika datang delapam Hayabusa melindunginya”. (hal 17).

24.Sapi
Tanda ini digunakan pengarang untuk menggambarkan masyarakat petani. Tanda
“sapi” mengacu kepada seeokor hewan yang digunakan oleh petani untuk mengolah s
awah. Hal itu menyatakan bahwa bangsa Indonesia pada saat itu masih belum maju, b
elum mengenal alat –
alat teknologi seperti sekarang yang digunakan untuk mengolah sawah yaitu misalnya
dengan tenaga mesin.
“Engkau berhajat hendak membeli sapi?” (hal 24)
“Betapa baiknya sapi untuk kita sekarang inilah yang
hendak ku katakan kepadamu, nak. Ketika engkau tak ada, rumah ini mengalami kesu
litan yang tak dapat dipikul dan jawaban untuk itu cuman satu.” (hal 24)

25.Cita Sutra
Tanda tersebut digunakan pengarang untuk menyatakan kain batik Solo dan jika
memakai cita tersebut seseorang itu dapat disebut sebagai orang yang mempunyai ke
hidupan mewah. Dan hal itu merupakan ciri khas Jawa Barat.
“Ia hendak memilih cita sutra yang berbunga merah dan dalam hatinya ia melihat di
ri sendiri dalam pakaian itu, kain batik Solo” ( hal 22).

26.Pinggan
Tanda tersebut digunakan pengarang dalam novelnya untuk menyatakan atau me
ngacu kepada sebuah perabot rumah tangga. Pinggan merupakan tempat nasi yang terb
uat dari batu yang digunakan untuk makan.
“Sumi menaruh pinggan dengan gelas itu di atas kayu di pojok kandang dan tanpa
..” (hal 21)

27.Asmaradana
Lambang tersebut digunakan pengarang untuk menyatakan atau mengacu pada s
uatu tembang atau nyanyian yang bisa didendangkan dalam bahasa Kawi pada waktu
malam hari dan sering dilakukan oleh suku
Jawa menjelang tidur. Lagu Asmaradana dinyanyikan untuk mengungkapkan perasaan
cinta dan rasa prihatin terhadap sesuatu.
“seperti ada sesuatu yang menggerakkan ia untuk duduk, dibuangnya punting rokok k
e samping dipan, lalu pelan –pelan suaranya naik dalam lagu Asmaradana” (hal 78).

28.Nippon
Lambang itu digunakan pengarang dalam bahasa novelnya untuk menyatakan su
atu kekuasaan yang berada di Indonesia pada waktu masa penjajahan Jepang.
“Kata demi kata
, ia seperti ingat kembali kini, bahwa orang itu juga dulu yang pernah datang ke de
sa, yang berbicara tentang Dai To
A, tentang kebaktian yang diminta oleh Nippon untuk menyelesaikan peperangan” (hal
78)

29. Dai To A
Tanda bahasa tersebut digunakan pengarang dalam cerita novelnya untuk menya
takan atau mengacu kepada suatu kebaktian yang diadakan Nippon untuk menyelesaika
n peperangan.
“Kata demi kata
, ia seperti ingat kembali kini, bahwa orang itu juga dulu yang pernah datang ke de
sa, yang berbicara tentang Dai To
A, tentang kebaktian yang diminta oleh Nippon untuk menyelesaikan peperangan” (hal
78)

30.Rabuk
Tanda tersebut digunakan pengarang dalam ceritanya untuk menyatakan atau me
ngacu kepada pupuk, kata rabuk merupakan bahasa yang disepakati oleh masyarakat J
awa.
“Tanah akan bertambah kaya rabuk karenanya dan tanaman akan bertambah
subur” (hal 32)

31.Ransel
Tanda ini digunakan oleh pengarang dalam ceritanya untuk menggambarkan jati
diri dari seorang prajurit yang selalu membawa ransel di punggungnya, dan ransel it
u merupakan salah satu alat dalam perang, karena di dalam ransel berisi hal –hal yang
dibutuhkan dalam perang.
“tidak lagi dirasanya berat ransel yang menekan punggung, sepatutnya yang penuh lu
mpur dan pakaiannya yang setengah basah” (hal 6)

32.Cikar
Lambang ini digunakan pengarang untuk menggambarkan kehidupan para petani
yang masih menggunakan kereta lembu.
Kereta lembu itulah yang dikatakan cikar yang dipakai dalam aktivitas kehidupan peta
ni sehari – hari.
“ia ingat betapa ia berlari –
lari di tanah becek di belakang cikarnya, sedangkan ayahnya yang telah tua itu mela
mbai-melambaikan cembuknya di atas kepala sapi penariknya sambil berteriak –
teriak untuk mengejar senja.” (hal 5)

33.Pulang
Lamabng bahasa itu digunakan oleh pengarang sebagai judul dalam cerita novel
yang penulis analisis untuk menggambarkan pengembaraan seseorang,
yang telah meninggalkan semula. Tanda “Pulang” digunakan pengarang dalam novelny
a untuk mengacu kepada seorang tokoh novel tersebut yang telah pergi ke luar negeri
untuk bergabung dengan tentara
Jepang dan memerangi bangsanya sendiri, dia rela meninggalkan kampong untuk hal t
ersebut, tetapi pada suatu saat dia kembali datang ke tanah airnya untuk menjumpai o
rang tua, adik dan masyarakat penduduk desanya.
“Tujuh tahun lamanya ia tak pernah mendengar suara batuk itu” (hal 9)
“Katakan engkau takkan pergi lagi Tamin” (hal 18)
“ Aku sudah pulang” (hal 23)

34. Balai –balai Bambu


Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menyatakan atau mengacu
pada tempat tidur atau tempat duduk yang terbuat dari bambu. Hal itu menunjukkan
suatu kesederhanaan hidup seseorang.

Barulah terasa betapa lelah badan dalam perjalanannya selama ini, sesudah dia mere
bahkan dirinya di atas balai –balai bambu” (hal 18)

35. Cahaya Tintir


Lambang ini digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan kehidupan yang
semakin gelap karena kehabisan suatu semangat hidup.
“Hitam sekali mata itu dalam cahaya tintir yang begitu kuat” (hal 15)
:Akan tetapi tak seorangpun dihadapannya menginsafiny, lampu tintir itu terlalu lemah
” (hal 16)

36.Gardu
Lambang gardu digunakan pengarang dalam karangannya untuk menyatakan ata
u mengambarkan pedesaan yang selalu mengadakan ronda. Kata gardu mengacu kepad
a rumah jaga tempat orang meronda.
“Seperti kemarin juga oarang kampung tak ada yang mau turun dari rumahnya, kecu
ali yang hendak dinas ronda digardu dekat tikungan jalan” (hal 38)

37. Ronda
Tanda bahasa ronda digunkan pengarang untuk menggambarkan atau mengacu k
epada perjalanan berkeliling untuk menjaga keamanan yang dilakukan orang di kampu
ng –kampung.
“Seperti kemarin juga oarang kampung tak ada yang mau turun dari rumahnya, kecu
ali yang hendak dinas ronda digardu dekat tikungan jalan” (hal 38)

38.Dipan
Tanda bahasa tersebut digunakan pengarang dalam cerita pulang untuk menyata
kan suatu kesederhanaan. Kata dipan mengacu pada tempat tidur yang terbuat dari pa
pan. Lambang tersebut merupakan konvensi dari masyarakat pemakainya.
“Tamin di atas kursi kayu duren yang setengah doyong, ibunya di atas kursi doyong
yang beralas anyaman rotan sambil mengunyah sirih, ayahnya di dipan kayu bersand
ar ke dinding dengan penahan bantal tua yang tipis” (hal 38)

39.-Tanah
-Arit
-Pacul
Lambang tersebut digunakan pengarang untuk menggambarkan masyarakat petan
i, yang mana lambang –lambang tersebut mengacu kepada alat –
alat yang digunakan petani untuk mengolah tanahnya. Tanah merupakan hal yang uta
ma yang harus dimiliki oleh petani untuk dapat memenuhi kehidupannya sehari-
hari. Melalui hasil pertanianlah mereka dapat hidup. Tak ada yang lebih berharga selai
n tanah.
“ Tamin yang tengah mengaru, meratakan tanah, yang telah terendam air” (hal 47)
“Aku hendak ke kebun sebentar, Sum! Kata Tamin sambil mengambil arit dari selitan
dinding. Aku ingin tahu apa isinya kebun kita” (hal 20)
“Sejak hari itu, Tamin menghabiskan siangnya di tengah sawah, pacul yang telah ber
karat di dapur mengilau kembali” (hal 47)

4.2.3.2 Tanda atau Lambang yang Berupa Kalimat


1.”Sumi tersenyum membawa segelas kopi dan sepinggan ubi rebus” (hal 21)
“Sepotong demi sepotong singkong itu tertelan dan akhirnya pinggan itu bersih tidak
bersisa” (hal 22)
“Diantara semak-
semak itu berdiri sepetak rumah bambu tempat ia dibesarkan, tempat ia menghabiska
n masa kanak-kanaknya” (hal 7)
“Tamin tersenyum seperti hendak tertawa, mengambil selembar daun jagung, digulun
gnya tembakau, dinyalahkan dan diisapnya dalam –dalam” (hal 15)
Lambang bahasa tersebut digunakan oleh pengarang dalam merangkai cerita tuj
uannya untuk menggambarkan bahwa tokoh yang terdapat dalam cerita novel yang dis
ajikan adalah orang yang sederhana.
2.
“Tak ada bedanya perempuan itu, tidak peduli apakah mereka yang manja hidup di k
ota, yang datang dari pantai, atau yang hidup di seberang laut jauh, atau ia seorang
Sumi, adiknya yang lahir dan besar di kaki gunung wilis” (hal 44)
“Bulan yang telah berkurang bulatnya naik pelan –
pelan meninggalkan puncak Gunung Kelud seperti hendak mengusir sisa mendung yan
g menghadang jalannya” (hal 38)
Lambang tersebut digunakan pengarang dalam menceritakan peristiwanya, bertuj
uan untuk menggambarkan bahwa daerah atau tempat peristiwa adalah di Jawa Barat,
karena Gunung Wilis, dan Gunung Kelud terletak di Jawa Barat.
3. “Lalu ia datang mengunjungi rumah demi rumah, menemui orang-
orang tua di kampung sekedar memenuhi adat menampakkan diri sesudah berjalan ja
uh” (hal 29).
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang dalam ceritanya untuk menggam
barkan suatu keramahan,
yang mana sistem keramahan masih bertahan atau dapat kita jumpai di desa dibanding
kan di kota. Sistem keramahan terhadap sesama sudah jauh berkurang bila dilihat den
gan yang terdapat dipedesaan.
4.”Matahari telah melewati kepala ketika ia berjalan menyusuri kali di pinggir sawah
” (hal 29)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menggambarkan suasana s
iang hari. Dikatakan melewati kepala orang itu menyatakan bahwa suasana siang hari
sudah lewat dari jam 12.00 siang.
5.”Matahari lurus di atas kepala, panasnya membakar kulit” (hal 57)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menggambarkan keadaan
peristiwa pada suasana siang hari yang terjadi pada jam 12.00 wib tepat.
6.”Hari masih panas, bayangan telah sepanjang hasta” (hal 58)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang dalam ceritanya untuk menggam
barkan suasana yang dialamai oleh tokoh berada pada suasana di siang hari yang suda
h lewat dan waktu akan menjelang sore hari.
7.”itu bohong” kata Sumi tertawa (hal 16)
“Lalu dengan suara terputus –putus, kata demi kata, mencari-
cari, ia menceritakan tentang pertempuran di gunung putri dan gunung Capu, dipingg
ir Tasik dan jika cerita itu berakhir daanya terasa kosong” (hal 69)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang dalam ceritanya untuk menggam
barkan suatu rasa ketakutan yang dialami oleh seorang tokoh cerita karena di dinyatak
an dalam cerita itu hanya seorang penghianat bangsa.
8.”penghianat !”ia tahu apa artinya kata itu.
Alangkah bodohnya ia telah berdusta semalam itu.
Akan lebih baik jika ia berani menceritakan kepada orang-
orang sedesanya tentang pengalamannya, betapa ia tertipu, betapa ia tidak mengerti s
emuanya” (hal 71)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menggambarkan adanya k
onflik batin oleh tokoh cerita tentang apa yang telah dilakukannya, dia merasa berdos
a telah melakukan sesuatu hal yang tidak diinginkan oleh masyrakat terlebih-
lebih orangtuanya, dia merasa bersalah telah melakukan hal itu semua.
9.”ia tak akan bisa menceritakan hal yang sesungguhnya kepada orang sedesanya.
Mereka takkan mengerti” (hal 71)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menggambarkan suatu kon
flik batin di dalam diri Tamin,
dia berpikir jika ia menceritakan keadaan dirinya yang sebenarnya mereka takkan perc
aya, maka dengan hal itu dia harus tetap bercerita kebohongan terhadap masyarakat d
esanya.
10.”oh, alangkah mudahnya, Cuma sekali lompat yang diperlukan, dan seterusnya yan
g jadi tanggungan hati akan hanyut ikut bersama
bangkainya ke dasar laut. Dan segala berlalu tanpa bekas”. (hal 59)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang dalam ceritanya untuk menggam
barkan suasana hati si tokoh atau Tamin yang sudah putus asa.
Dan untuk mengakhiri keputusannya dia hendak bunuh diri.
11.”Matahari telah menyembunyikan diri seluruhnya di balik Gunung Wilis, tinggal ca
hyanya yang bertambah lemah menembusi langit dan memberikan ciuman terakhir pad
a mendung yang berarak di atas kepala” (hal 7)
Lambang bahasa tersebut digunakan oleh pengarang dalam ceritanya untuk men
ggambarkan bahwa suasana sudah pada malam hari.
12.”ia telah mengalami enam belas kali Maulud” kata ayahnya (hal 11)
Lambang bahasa tersebut digunakan oleh pengarang dalam cerita novelnya untu
k menyatakan bahwa umur tokoh yang diceritakan (adik Tamin) sudah berumur 16 ta
hun yang dilihat dari 16 kali maulud mengacu kepada sudah 16 kali tahun kelahirann
ya dilalui. Karena Maulid dirayakan satu kali dalam satu tahun.
13.”Ia menunduk, mengambil segemgam tanah. Mesra tangan menegangnya,
dan hatinya menjerit.
Hendak direbut kembali tanah ini meski segemgam demi senggengam” (hal 31)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menyatakan rasa cinta.
Didalam karangannya Toha Mohtar menggambarkan lambang bahasa tersebut kepada t
okohnya Tamin yang mempunyai rasa cinta kepada tanah airnya.
14.”waktu tak ada dan kita harus telah kembali ke rumah sebelum lohor” (hal 42)
“menjelang lohor mereka telah sampai di rumah kembali” (hal 45)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang dalam ceritanya untuk menggam
barkan bahwa seseorang itu (tokoh cerita, Tamin) seorang penganut agama Islam.
15.”Puncak Gunung Kelud yang pernah memuntahkan lahar dan asap waktu mudanya
dahulu seperti bertambah cantik tampaknya” (hal 46)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menggambarkan suasana
Gunung Kelud yang Nampak semakin indah walaupun sudah pernah meletus.

4.2.3.3 Tanda atau Lambang yang berupa Teks


1.”Betapa tidak pintu depan rumahnya yang berdaun tunggal, masih saja pintu yang
dahulu ia kenal dari kayu taun yang bewarna coklat itu.
Dinding cetak dari kulit bambu seperti tak pernah dibongkar dan diganti.
Pagar yang mengelilingi seluruh tanah adalah pagar bambu yang dahulu jua.
Dan pohon-pohon pisang yang menyebar dalam pekarangan.
Siapa dapat menyatakan bahwa semuanya itu telah berganti?
Tidak, taka ada yang berubah, kecuali satu yang mencolok.
Pohon jambu yang dahulu setinggi tubuhnya kini telah melampaui atap rumahnya”.
(hal 8)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menyatakan bahwa keadaa
n rumahnya masih tetap pada keadaan semula pada waktu dia meninggalkannya.
2.”Lalu tiba-tiba ada suara yang mengurangi kecemasannya,
yang mampu mengubah warna mukanya dan bibirnya gemetar karenya. Suara itu
adalah suara batuk-batuk ayahnya.
Tujuh tahun lamanya ia tak pernah mendengar suara batuk itu, tetapi telinganya men
dengarkan begitu segar kini. Ia tahu benar itu adalah suara ayahnya.
Ayahnya masih hidup” (hal 9)
Lambang bahasa yang digunakan tersebut dapat diinterpretasikan untuk mengga
mbarkan adanya kehidupan,
adanya harapan yang dimiliki oleh tokoh cerita untuk bertemu dengan orang tuanya di
a mempunyai kepercayaan bahwa orangtuanya masih hidup karena ia mendengar batuk
. Hal itu dapat dikatakan merupakan suatu tanda indeks yaitu adanya hubungan sebab
akibat antara penanda dan petanda (kausal).
3.”Ya, Ia tahu gadis itu adalah Sumi,
adiknya, ia berdiri dihadapannya seperti patung, terpesona oleh lukisan yang tak pern
ah dibayangkan.
Rambutnya yang lebat sehitam orang, digulung bulat bola menutup kuduknya.
Wajah bulat hitam, sebulat matanya yang hening berkilau hidup.
Bibirnya yang ramping berkilau merah dan jelas sekali bahwa itu adalah warna dara
h yang tersembunyi di balik kulitnya basah.
Lehernya yang jenjang seperti emas menyangga kepalanya,
dadanya penuh, subur seperti buah datang waktunya mekar.
Tangannya hitam, panjang, lepas menggantung dari pundaknya yang bulat”. (hal 11)
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menyatakan atau mengacu
kepada seorang gadis yang mulai beranjak dewasa dan memiliki wajah dengan paras
cantik.
4.”kokok ayam yang pertama telah terdengar ketika Tamin ke belakang menutup pintu
. Langit tampak biru dan bersih sekali, tidak sisa mendung segumpal jua. Bulan penu
h tersenyum dengan jelita, cahayanya jatuh berkilau –kilau pada daun-
daun yang basah dan genangan air pekarangan. Namun udara bertambah dingin jua”
(hal 18)
Lambang tersebut menyatakan suasana malam yang sudah mulai dingin dan sud
ah mulai tampak menerangi bumi.
5.”Mengapa Tamin, mengapa engakau tak hendak bercerita untuk kami?
Kami ingin tahu!.
Lalu ia mendengar suara lain dalam pengucapan yang lain pula.”Mulailah kawan!,
Malukah kau terhadap kami?”. Kata malu menusuk hatinya seperti panah berbisa yan
g tajam sekali.
Mulailah mereka menaruh prasangka terhadap dirinya? Seperti terdakwa menghadapi
tuduhan jaksa, ia duduk tidak seperti di pengadilan, di sini tidak ada seorang pembel
a yang bisa bicara atas namanya” (hal 68)
Lambang tersebut menggambarkan keadaan diri tokohnya yang merasa bingung
dan merasa ketakutan menghadapi masyarakat yang memaksanya untuk bercerita tentan
g pengalamannya pada waktu mengalami perjuangan. Dia takut menceritakannya karen
a ceritanya hanyalah seorang penghianat bangsa.
6”kegembiraan dalam rumah itu bertambah hari bertambah terasa. Wajah ayah Tamin
bertambah merah, kekuatannya berangsur kembali sedikit demi sedikit. Dada ibunya t
ak lagi setipis dahulu dan kehidupan kulit Sumi bertambah kurang. Atap rumah yang

bocor sudah sedikit demi sedikit telah diganti. Hidup mereka mulai terisi oleh warna”
Lambang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menggambarkan suasana h
idup keluarga tokohnya semakin membaik, terlebih lebih keadaan orangtuanya sudah
mulai baik (sudah
kuat). Hal tersebut terjadi karena kepulangan Tamin dari tanah pengembaraan, selama
ia mengembara keluarganya sangat susah, dan setelah ia kembali pulang ke kampung
halamannya, kehidupan keluarganya semakin membaik.
7.”Namun, ketika Tamin
berhenti berkata, Pak Banji masih saja tidak menyahuti ia bertambah gelisah.
Apakah gerangan yang tersembunyi dalam hati orang tua dihadapannya
ini? Dan dengan cemas ia berkata lagi, apakah
itu Pak Banji? Katakanlah aku sedia untuk mendengarkannya,
apa pula bentuknya?” (hal 98)
Lambang itu digunakan pengarang untuk menyatakan suatu rasa penasaran oleh
tokoh cerita,
apakah rahasia pribadinya sudah terbongkar dan diketahui oleh masyarakat. Tetapi tern
yata yang rahasia pribadinya tidak terbongkar yang disampaikan Pak Banji kepadanya
hanyalah tentang orangtuanya yang sudah meninggal. Ia merasa bersyukur karena terny
ata keadaan/rahasia pribadinya tidak terbongkar malahan penduduk sangat mencintainya
.
8.”Dan satu persatu, wajah teman-teman itu jadi hidup dalam kenangan Tamin.
Tamin bertambah mengerti kini kampungnya telah banyak mengalami perubahan. Tida
k dalam lahirnya, jalannya yang pernah dikenalnya jalanan
itu pula, pendopo kelurahan tetap dahulu, perumahan tak banyak yang berubah,
jembatannya, kalinya, sawahnya, mesjidnya,
semuanya, adalah yang dahulu pernah dikenalnya di masa kecilnya. Namun, ada sesu
atu yang telah berubah dan ia tahu itu terletak di dasar hati” (hal 14)
Lambang itu digunakan pengarang untuk menggambarkan keadaan hidup di ka
mpung tokoh, bahwa ada yang berubah dan ada yang tidak berubah. Yang berubah ad
alah perjuangan teman-
temannya terhadap Belanda yang sangat tangguh, sedangkan yang tidak berubah hanya
lah keadaan darahnya.
9.”Lalu oarang itu mulai membuka amatnya, pelan mulanya dengan suara yang teran
g dan bersih, kemudian suara itu jadi bertambah nafsu dan bersemangat dan kedua t
angannya ikut bergerak-
gerak, kadang diangkat keatas, kadang semua jarinya dikepalkan untuk lebih memberi

tekanan suaranya dan menghidupkan isi amanatnya. Ia memuji desa itu karena jasany
a selama revolusi pengorbannya yang begitu, lalu satu persatu disebutkannya jasa –
jasa itu, dari pengorbanan
jiwa Gamik sampai kepada perginya banyak pemuda ke medan pertempuran, bantuan
desa terhadap tentera yang banyak bersembunyi di kaki gunung wilis waktu itu. Dan
Tamin mendengar itu dengan ketakutan, yang asing sekali terasa dalam kalbunya. Seb
ab ia jadi bertambah tahu sekarang, bahwa seluruh desanya bergerak melawan tenter
a Belanda dengan segala jalan pada zaman itu” (hal 77)
Lamabang bahasa tersebut digunakan pengarang untuk menyatakan adanya konfl
ik batin yang dialami tokoh Tamin. Dia merasa dan tahu bahwa oarang –
orang atau teman –
teman dikampungnya ikut berjuang untuk bangsanya sendiri dengan rela mempertaruhk
an nyawa. Sedangkan dia, dia hanyalah seorang penghianat bangsanya sendiri. Melihat

keadaan desanya yang semangat akan kemerdekaan dia merasa takut bagaimana jika m
asyarakat desa tahu kalau dia adalah penghianat bangsanya sendiri.
10.”Aku Cuma ingin ceritamu di pendopo dahulu,
Tamin. Engkau tahu aku tidak hadir kesana lantaran sakit.
Ceritakan, biar pagi segara datang,” menyela seorang. “
Apa salahnya jika aku sebagai sahabat meminta itu kepadamu?
“ Dan itu adalah benar, orang yang berkata itu tak hadir pada pertemuan di pendop
o beberapa hari yang lalu. Ia punya hak untuk bertanya.
“Itu tak ada harganya untuk diceritakan”, katanya dan suaranya jadi gemetar. “
Mengapa engkau tak hendak menceritakan itu,
Adakah sesuatu yang engkau hendak menyembunyikannya, Tamin?”, “ Ya,
ya, aku hendak menceritakan itu, “kata Tamin memotong,” (hal 84).
Lambang bahasa tersebut menggambarkan kepada pembaca bahwa Tamin selalu

takut menghadapi masyarakat yang memintanya untuk menceritakan pengalaman hidupn


ya pada masa perjuangan. Dia tidak kuat selalu berbohong kepada masyarakat akan ce
ritanya yang tidak benar.
Namun demikian selalu takut menghadapi peranan-peranan tidak dapat dikotak-
kotakkan setidak-tidaknya mereka dapat dibeda-
bedakan. Pendek kata di dalam tulisan ini harus banyak menghadapi implikasi terhada
p tindakan yang berhubungan dengan pengalaman hidup pada masa perjuangan. Kadang

kadang timbul perubahan sosial, di dadalam meningkatkan/menguatkan pamornya, dia t
idak kuat selalu tidak sesuai untuk meyakinkan sehingga keyakinan tersebut adalah ser
ing berbohong terhadap masyarakat , sehingga guru-
guru harus memperhatikan kuat tidaknya argumentasi di dalam membuktikan kebenaran
itu.
Seyogyanya menyadari dibarengi ketelitian demi keberhasilan atas keberhasilan bersama
.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setelah penulis menganalisis novel “ pulang dari segi semiotik,maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Sastra dalam bentuk novel merupakan salah satu cara untuk mengembangkan
sastra Indonesia.
2. Bahasa yang dipergunakan oleh Toha Mohtar dalam novelnya ,diwarnai oleh
pribadi pengarangnya. Dengan kata lain, bahasa yang disajikan itu sesuai pula
dengan zaman penciptaanya yaitu bahasa ndonesia sebagai bahasa
persatuan, yang tidak banyak mengandung ciri kedaerahan artiya istilah atau
dialek bahasa daerah belum menjadi bahasa Indonesia tidak banyak di guanakan, hal
ini sesuai dengan waktu yang melatarbelakangi.
3. Berdasarkan semiotik bahasa merupakan salah satu tanda atau lambang lambang.
Lambang-lambang bahasa tersebut dapat berupa kata, kalimat dan teks. Oleh
karena itu, novel sebagai salah satu hasil karya sastra memiliki sitem tanda
atau lambang yang bermakna dengan media bahasa yang estetik.
4. Tanda atau lambang memiliki banyak interpretasi,berdasarkan hasil interpretasi si
penerima lambang.
5. Berdasarkan analisis semiotik terhadap novel “pulang karya Toha Mohtar,maka tanda
atau lambang yang terdapat di dalamnya banyak di temukan. Tanda atau lambang
tersebut ada yang berupa kata, kalimat dan teks.

66
5.2 Saran – saran
1. Untuk mengajarkan bahasa Indonesia terutama pengajaran sastra, guru bahasa
Indonesia harus lebi mengigatkan siswa dalam menggauli karya-karya sastra dan
tidak hanya berpatokan pada buku paket.
2. Dalam mengajarkan apresiasi sastra, guru hendaknya memberikan variasi dalam
mengajarkannya. hal ini bermaksud untuk mengatasi rasa kejenuhan bagi siswa
sekaligus membangkitkan minatnya untuk mempelajari sastra terutama novel.
3. Dalam mengajarkan apresiasi sastra, guru hendaknya memperkenalkan kepada
anak didik, bahwa karya sastra sebagai salah satu novel memiliki tanda atau
lambang bahasa yang mempuyai makna tertentu yang digunakan oleh pengarang
dalam bahasa novelnya. Hal ini perlu diperkenalkan karena merupakan salah hal
yang perlu dikaji dalam mengapresiasikan karya sastra yaitu mengenai semiotik dari
karyasastra tersebut.Karena novel dibagun dengan bahasa yang estetik dengan
menggunakan tanda dan lambang bahasa.
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Karya sastra merupakan karya kreatif yang diciptakan oleh manusia, dimana didalam karya
sastra, bahasa digunakan sebagai mediumnya. Karya sastra juga digunakan sebagai sarana
hiburan bagi pembaca. Dengan membaca karya sastra, pembaca juga memperoleh kepuasan
tersendiri. Salah satu karya sastra tersebut adalah novel. Novel merupakan karya sastra yang
memaparkan kehidupan manusia yang ditulis secara bebas oleh pengarang. Novel juga
dianggap mampu mempengaruhi pembaca dalam bertindak. Karena cerita yang dipaparkan
dalam novel merupakan cerminan dari kehidupan manusia. Sehingga tak ayal, membuat
pembaca terkadang terbawa oleh alur yang diciptakan oleh pengarang.

Namun, dari beberapa penikmat karya sastra, khususnya novel, masih banyak yang tidak
mengerti maksud dari pengarang. Pembaca cenderung tidak dapat menafsirkan makna yang
hendak disampaikan oleh pengarang. Hal ini bisa disebabkan karena struktur novel yang sulit,
menggunakan bahasa yang tidak lazim, dan kompleks. Oleh karena itu, diperlukannya
analisis untuk dapat memahami makna yang disampaikan oleh pengarang, yaitu dengan
menguraikan tanda-tanda yang terdapat dalam novel.

Pembaca perlu membaca beberapa kali agar makna yang terdapat dalam novel dapat
dipahami. Akan tetapi, tidak setiap pembaca memiliki pandangan yang sama terhadap makna
yang terdapat dalam novel. Bisa jadi, tanda satu akan berbeda pemaknaannya ketika
ditafsirkan oleh pembaca yang lain.

Salah satu novel yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah novel yang berjudul Surat
Kecil untuk Tuhan. Dalam novel ini, diceritakan sebuah kisah nyata yang dialami oleh gadis
berusia tiga belas tahun, bernama Gitta Sessa Wanda Cantika, yang mengidap
Rabdiosarkoma atau kanker jaringan lunak. Dia bertahan hidup melawan kanker ganas paling
mematikan di dunia. Meski usianya tak akan lama, dia tetap tersenyum dan berusaha
membuat orang-orang disekitarnya bahagia.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan menganalisis novel berjudul Surat Kecil
untuk Tuhan karya dengan menggunakan kajian semiotika.

1. Rumusan Masalah

Dalam analisis ini, masalah yang akan diangkat adalah menganalisis tanda-tanda yang
terdapat dalam novel Surat Kecil untuk Tuhan menggunakan kajian semiotika.

1. Tujuan

Untuk memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai kalimat-kalimat yang dianggap


sulit dan kurang dipahami.

1. Landasan Teori
Studi sastra bersifat semiotik merupakan usaha untuk menganalisis karya sastra, di sini novel
khususnya, sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang
memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam
struktur novel atau hubungan dalam (internal) antara unsur-unsurnya akan dihasilkan
bermacam-macam makna.

Teori semiotik memperhatikan segala faktor yang ikut memainkan peranan dalam
komunikasi, seperti faktor pengirim tanda, penerimaan tanda, dan struktur tanda itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan diatas diketahui karya sastra itu merupakan struktur bermakna. Hal
ini mengingat bahwa karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang
mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Dalam usaha menangkap,
memberi, dan memahami makna yang terkandung didalam karya sastra, pembacalah yang
sangat berperan. Karya sastra tidak akan mempunyai makna tanpa ada pembaca yang
memberikan makna kepadanya.

Menganalisis novel bertujuan memahami makna yang terkandung dalam novel. Menganalisis
novel adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks novel. Karya sastra itu
merupakan struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan
sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa.

Semiotik (semiotics) berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda atau sign. Tanda
tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Mampu
menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan atau
dibayangkan (Broadbent, 1980). A. Teew (1984: 6) mendefinisikan semiotik adalah tanda
sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang
mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra
sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun.

1. Sumber Data

Novel yang dianalisis adalah sebuah novel yang berjudul Surat Kecil untuk Tuhan.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Sinopsis Novel Surat Kecil Untuk Tuhan

Novel ini menceritakan tentang kisah nyata yang dialami oleh Gitta Sessa Wanda Cantika
atau yang sering dipanggil Keke. Keke adalah seorang gadis berusia tiga belas tahun yang
memiliki kehidupan yang ceria dan harmonis. Dia tinggal bersama ayah dan kedua kakaknya.
Perceraian mengharuskan kedua orangtuanya berpisah dan membuatnya kehilangan kasih
sayang seorang ibu. Akan tetapi, meskipun begitu, Keke tetap bahagia.

Kebahagiaannya tak sampai disitu, di sekolah ia menghabiskan masa sekolahnya selayaknya


anak-anak lain. Dia memiliki banyak teman yang mengasihinya. Dan seperti pada umumnya
gadis remaja, Keke juga memiliki kisah cinta. Laki-laki itu bernama Andi.
Hingga pada suatu hari, Keke mengalami sakit mata. Kedua matanya memerah dan ia merasa
sulit bernafas. Hidungnya terasa mati rasa dan ia mengalami mimisan. Karena khawatir,
ayahnya mengajak Keke untuk berobat kepada dokter Fendy. Namun, setelah lima hari, tidak
ada perubahan yang terjadi. Kemudian, dokter Fendy menyuruh agar Keke dibawa ke Prof.
Lukman untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Prof. Lukman memvonis Keke mengidap penyakit Rabdiosarkoma yang merupakan kanker
paling ganas dalam kategori kanker. Kanker dapat disembuhkan melalui jalan operasi yang
mengharuskan Keke kehilangan sebagian wajahnya. Karena ingin menghindari operasi, Ayah
Keke mencoba mencari cara lain dengan menggunakan pengobatan tradisional.

Ayah Keke mendengar kabar bahwa ada seorang dokter yang ahli dalam penyakit kanker.
Namanya Prof. Hatta. Namun, menurut Prof. Hatta prosedur penyembuhannya sama, yaitu
dengan melakukan operasi yang mengakibatkan Keke kehilangan sebagian wajahnya. Prof.
Hatta memiliki salah satu alternatif penyembuhan yaitu dengan kemoterapi.

Proses kemoterapi berjalan enam tahap. Setelah tahap keenam selesai, perlahan-lahan
kankernya mengecil dan dinyatakan lenyap. Kemudian tak lama kemudian, sakit mata
menghampirinya kembali. Setelah melakukan pemeriksaan, Keke dinyatakan terserang
kanker dibagian pelipis mata. Kemoterapi kembali dilakukan, namun, ketika tahap ketiga zat-
zat kimia mulai menolak untuk dimasukkan kedalam tubuhny. Hingga pada akhirnya,
kankernya tak dapat di lenyapkan.

Pengobatan satu persatu dilakukan oleh Keke, bahkan sampai pergi ke Singapore. Namun,
kaknkernya tetap tak dapat disembuhkan. Keke mulai menyerah dan mengalah hidup bersama
kanker. Sampai akhirnya, Keke mengalami koma setelah kanker menyebar sampai ke paru-
paru dan otak. Beberapa hari kemudian, Keke meninggal dunia dikelilingi orang-orang yang
dicintainya.

1. Kajian Semiotika Novel “Surat Kecil untuk Tuhan”

Berikut ini adalah analisis mengenai tanda beserta kutipan yang terdapat dalam novel Surat
Kecil untuk Tuhan.

Bab satu: Istana dalam Dunia Kecilku (halaman 1)

Suara kicau burung di pagi hari, terdengar menembus langit-langit kamarku.

Kutipan tersebut menggambarkan waktu yang dilalui oleh tokoh Aku. Hal tersebut dapat
dilihat dari terdapatnya kalimat suara kicau burung di pagi hari. Jadi, waktu yang menjadi
setting adalah di pagi hari.

Bab satu: Istana dalam Dunia Kecilku (halaman 1)

Namun sepertinya matahari mulai marah padaku, karena masih saja Aku menutup mataku.
Cahaya matahari pagi itu mulai menyentuh seluruh isi ruangan di kamarku yang cukup
besar. Akhirnya, Aku mengalah pada alam dan Aku harus bangun, inikah hari dimana Aku
mulai harus sekolah.

Kutipan tersebut menggambarkan keadaan tokoh Aku untuk segera bangun lantaran matahari
telah telah tinggi atau menandakan bahwa hari semakin siang. Hal tersebut dilihat dari
kutipan cahaya matahari telah menyentuh seluruh isi ruangan.

Bab dua: Air Mata itu Mulai Ada (halaman 6)

Setelah Ayah memberikan obat mata, keadaan Kakak mulai membaik. Beberapa hari
kemudian penyakit itu menghilang.

Berdasarkan kutipan tersebut, digambarkan waktu yang dilalui oleh tokoh. Hal tersebut dapat
dilihat pada kata beberapa hari kemudian, itu menunjukkan waktu yang telah dialami atau
terjadi.

Bab dua: Air Mata itu Mulai Ada (halaman 8)

Hari demi hari berlalu, ada yang aneh dengan diriku. Mataku tidak kunjung memutih dan
terus memerah.

Kalimat hari demi hari yang berlalu menggambarkan bahwa tokoh Aku mengamati dari hari
ke hari tentang perubahan yang terjadi pada dirinya.

Bab dua: Air Mata itu Mulai Ada (halaman 12)

Ayah terlihat berbeda dari biasanya. Karena rasa penasaran Ayah hanya diam saja, Aku pun
mulai bertanya.

Kata berbeda tersebut menggambarkan perubahan sikap yang dirasakan oleh tokoh Aku. Kata
diam tersebut juga menggambarkan sikap yang tidak biasanya ditunjukkan oleh orang yang
dekat dengan seseorang.

Bab tiga: Ibu, Kakak itu Wajahnya Kenapa? (halaman 14)

Hal yang membuatku sedikit takut adalah ketika menghadapi Andi, kekasihku.
Kata takut tersebut menggambarkan perasaan cemas ketika akan bertemu dengan Andi, sang
kekasih.

Bab tiga: Ibu, Kakak itu Wajahnya Kenapa? (halaman 16)

Hingga akhirnya Aku mulai berontak untuk bertanya dan meminta penjelasan pada Ayah
akan penyakitku ini.

Kata berontak tersebut menggambarkan pemberontakan atas ketidaktahuan yang dialami


tokoh Aku. Sehingga wujud dari pemberontakannya adalah dengan bertanya kepada Ayahnya
tentang penyakit yang di deritanya.

Bab 6: Ujian Tengah Semester Telah Tiba (halaman 34)

Kanker itu telah kembali dalam hidupku. Dan dia tidak pergi dalam hidupku. Tuhan, cobaan
apalagi ini

Kata dia merujuk pada kanker. Kalimat tersebut menjelaskan bahwa kanker belum
sepenuhnya lenyap dari tubuh tokoh Aku.

Bab 7: Tuhan, Bolehkah Rambutku Tetap Ada? (halaman 37)

Tapi Ayah tidak ingin mengulur waktu selama itu. Kanker ini akan bisa merusak bagian
mataku dan akhirnya Aku menjadi buta.

Kata tidak mengulur waktu menjelaskan bahwa tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada.

Bab 8: Tuhan, Biarkan Cinta itu Terpendam dalam Hatiku (halaman 48)

Dan Aku tidak menangis saat itu. Aku ingin terlihat kuat disaat seperti ini. dan satu kata
terakhir untuk sahabatku sebelum kami tidak bertemu kembali..

Kata terlihat menggambarkan bahwa tokoh Aku tengah menyembunyikan kesedihannya. Ia


tidak benar-benar kuat karena tidak ingin membuat orang yang dicintainya bersedih.

Bab 8: Tuhan, Biarkan Cinta itu Terpendam dalam Hatiku (halaman 49)

Namun kali ini Aku bukan untuk bertamasya.. Aku pergi untuk menghitung hariku agar
menjadi lebih panjang.

Kalimat tersebut menggambarkan keberangkatan tokoh Aku bukan untuk bertamasya seperti
sebelumnya, ia justru hendak berusaha membuat usianya menjadi lebih lama.
Bab 9: Rumah Sakit Elisabeht. Singapore (halaman 50)

Dr. Peng. Orangnya cukup ramah dan ubannya yang putih menjadi ciri khasnya.

Kata ubannya yang putih menggambarkan bahwa Dr. Peng sudah tidak muda lagi.

Bab 13: Tuhan, Izinkan Aku Kembali, Walau Sesaat (Halaman 75)

Mungkin waktuku telah mulai berhitung untuk mundur.

Kalimat tersebut menandakan bahwa waktu yang dimiliki tokoh Aku sudah tidak banyak.

Bab 12: Tuhan, Izinkan Aku untuk Menulis Yang Aku Bisa Lakukan! (halaman 70)

Kepalaku seperti tertekan oleh sebuah penjepit jemuran beribu-ribu rasanya.

Kata beribu-ribu rasanya menggambarkan banyaknya yang dirasakan oleh tokoh Aku.

BAB III

PENUTUP

1. Simpulan

Memahami apa yang terdapat dalam novel merupakan salah satu cara untuk
menghibur pembaca serta memudahkan pembaca untuk memahami pesan yang disampaikan
oleh pengarang. Bahasa yang dijadikan sebagai medium sastra menjadi hal yang sangat
penting karena dalam bahasa sastra terdapat tanda atau makna yang terkadang tidak sesuai
dengan arti yang sebenarnya. Melalui pemahaman terhadap novel, pesan atau amanat yang
disampaik dalam bentuk tulisan dapat diserap oleh pembaca secara mudah.

Dalam novel Surat Kecil untuk Tuhan, terdapat kalimat-kalimat yang mengindikasikan
sebuah tanda dalam karya sastra. Tanda-tanda yang terdapat dalam novel bukan sekadar kata,
namun, kata-kata tersebut memiliki fungsi keindahan. Sehingga novel menjadi lebih menarik
untuk dibaca.
DAFTAR PUSTAKA

Danovar, Agnes. 2011. Surat Kecil Untuk Tuhan. Jakarta: Inandra Published
SEMIOTIK SASTRA

Semiotik adalah teori tentang tanda, ada pula yang mengatakan bahwa ini adalah
teori tentang gaya bahasa. A. Teew ( 1984 : 6 ) mendefinisikan semiotik adalah tanda
sebagai tindakan komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra
yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki, untuk pemahaman
gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas dalam masyarakat.
Semiotik merupakan bahasa yang mencerminkan bahasa sastra yang estetis,
sistematis dan memiliki pluralitas makna ketika dibaca oleh pembaca dalam
memberi pemahaman terhadap teks karya sastra.

Semiotik terbagi atas tiga konsep, yaitu :

1. Semiotik pragmatik, berkaitan dengan asal - usul tanda, kegunaan tanda


dalam penerapan, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikannya.
Semiotik pragmatik ini dalam batas perilaku objek.
2. Semiotik sintaktik, adalah kombinasi tanda tanpa memperhatikan maknanya
ataupun hubungannya terhadap perilaku subjek.
3. Semiotik semantik, adalah tanda dalam " arti " yang disampaikan.

Wawasan semiotik dalam studi sastra ( Amminudin ) :

1. Karya sastra merupakan gejala konsumsi yang berkaitan dengan pengarang,


wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca.
2. Karya sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem tanda yang
memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.
3. Karya sastra merupakan fakta yang harus direkrontruksikan pembaca sejalan
dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.

Teori semiotik
Charles Sander Pierce ( 1839 - 1913 ), mengemukakan tentang teori segitiga makna :

1. Tanda ( sign ), adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh
panca indera manusia dan meripakan sesuatu yang merujuk ( merepresentasi
) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda terbagi menjadi tiga yaitu simbol,
ikon, dan indeks. Simbol adalah tanda yang muncul dari kesepakatan atau
konvensi - konvensi bahasa. Ikon adalah tanda - tanda yang muncul dari
perwakilan fisik. Indeks adalah tanda yang muncul dari hubungan sebab
akibat. Dalam penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan semiotik,
tanda berupa indeks yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda-tanda yang
menunjukan hubungan sebab - akibat.
2. Interpretant atau penggunaan tanda, adalah konsep pemikiran dari orang
yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau
makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah
tanda.
3. Objek, adalah konteks sosial yang menjdi referensi dari tanda atau sesuatu
yang dirujuk tanda.

Ferdinad De Sausure, mengemukakan pembagian tanda menjadi :


1. Penanda ( Signifer ) adalah tanda yang dapat dilihat dari bentuk fisik
2. Pertanda ( Signifed ) adalah makna yang terungkap melalui konsep fungsi
atau nilai - nilai yang terkandung.

Rolan Barthes, membagi tanda menjadi dua yaitu :

1. Denotasi, yaitu tingkat pertanda yang menjelaskan hubungan penanda dan


pertanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti.
2. Konotasi, yaitu tingkat pertanda menjelaskan hubungan penanda dan
pertanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung, dan tidak pasti.

Kelebihan semiotik dalam menelaah karya sastra :

1. Memperindah karya sastra


2. Mengetahui keindahan karya sastra
3. Dalam penelitian analisisnya lebih spesifik dan komperhensif
4. Memberikan pemahaman makna dari simbolik baru dalam membaca karya
sastra
5. Kita pembaca minimal mengetahui dua makna yaitu makna bahasa secara
literlag dan maksna simbolik ( global ).

Kelemahan semiotik dalam menelaah karya sastra :

1. Kurang memperhatikan struktur, mengabaikan unsur intrinsik


2. Memerlukan banyak dukungan ilmu bantu lain seperti linguistik, sosiologi,
psikologi, dll
3. Perlu kematangan konsep luas tentang sastra wawasan luas, dan teorinya
4. Peranan peneliti sangat penting, ia harus jeli, teliti, dan menguasai materi
yang akan diteliti secara totalitas, karena kalau tidak itu tidak terpenuhi maka
makna yang ada dalam teks cenderung kurang tereksplor untuk diketahui
oleh pembaca, justru cenderung menggunakan subjektifitasnya yang
menampilkan itu semua dan itu sangat risjan untuk meneliti dengan teori ini.

Anda mungkin juga menyukai