Anda di halaman 1dari 82

PERAN DPR DALAM PENGANGKATAN DUTA BESAR RI

SETELAH PERUBAHAN UUD 1945

Disusun Oleh :
Edy Susanto
98410355

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2003
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suasana perpolitikan nasional pasca tumbangnya rezim orde baru

Suharto, disambut oleh semua kalangan sebagai masa kebebasan dan berekpresi.

Keadaan ini semakin bertambah seiring dengan dilakuakannya perubahan

terhadap UUD 1945 yang di anggap turut melindungi kekuasaan otoriter

tersebut selama 32 tahun dan kerap melahirkan kekuasaan tanpa batas.

Nuansa kehidupan demokratis semakin terasa ketika para elit politik

kembali melakukan peran dan fungsi masing-masing. Sentralisasi kekuasaan

yang menumpuk pada lembaga eksekutif pada masa lalu, berubah menjadi

pemerataan kekuasaan dengan saling kontrol di antara tiap lembaga negara.

Hal ini pula yang memulihkan kembali peran lembaga perwakilan.

Lembaga yang merupakan simbol dari keluhuran demokrasi di mana

didalamnya terdapat orang-orang pilihan yang dijadikan wakil rakyat yang

memiliki integritas, tanggung jawab, etika serta kehormatan, yang kemudian

dapat diharapkan menjadi perangkat penyeimbang dan pengontrol terhadap

kekuasaan eksekutif sebagi penggerak roda pemerintahan.

Bagi negara yang menganut kedaulatan rakyat keberadaan lembaga

perwakilan hadir sebagai suatu keniscayaan. Adalah tidak mungkin

membayangkan terwujudnya suatu pemerintah yang menjujung demokrasi tanpa

kehadiran institusi tersebut. Karna lewat lembaga inilah kepentingan rakyat


tertampung kemudian tertuang dalam berbagai kebijakan umum yang sesuai

dengan aspirasi rakyat.

Untuk itu menurut kelaziman teori-teori ketatanegaraan dalam hal mana

pada umumnya lembaga ini berfungsi dalam tiga wilayah, yaitu, Pertama,

wilayah legislasi atau pembuat aturan Perundang-undangan, Kedua, wilayah

penyusunan anggaran. dan Ketiga, wilayah pengawasan terhadap jalannya

pemerintahan.

Dalam UUU 1945 setelah perubahan pengaturan terhadap lembaga

perwakilan di Indonesia ini dapat kita lihat pada Pasal 1 ayat (2) dimana Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan pada Pasal 20A ayat (1),

DPR sendiri memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Selanjutnya dalam melaksanaakan fungsinya. sebagai mana dijelasakan pada

Pasal 20A ayat (2), DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak

menyatakan pendapat. Serta setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan

pertanyaan, hak menyatakan usul dan berpendapat sekaligus hak imunitas.

Sedangkan kedudukan DPR sangat kuat, karena presiden tidak dapat

membekukan ataupun membubarkan DPR sebagai mana tertera pada Pasal 7C.

Namun demikian keberadaan lembaga perwakilan yang baru tersebut

belum dapat berfungsi penuh sebagai mana mestinya, karna masih perlu di

tindak lanjuti dengan kesepakatan Undang-Undang yang akan menjadi aturan

main terbentuknya lembaga itu. Dan ini diharapkan tuntas setelah pemilu 2004

yang akan datang, di mana akan diadakan pemilihan langsung terhadap DPR dan

DPD serta Presiden dengan Wakil Presiden.


Sejalan dengan perubahan struktur Sistem kelembagaan negara dengan

di amandemen UUD 1945 serta perubahan dinamika perpolitikan yang terus

melangkah maju dengan kemudian menata kearah perpolitikan yang sehat dan

demokratis, maka pengamatan terhadap DPR sebagai salah satu lembaga

perwakilan berikut sebagai lembaga politik sangatlah penting dan urgen.

Kenyataan yang berkembang menunjukan adanya fenomena baru terhadap peran

lembaga perwakilan tersebut. Peran DPR seakan di sulap dari yang tak berdaya

tatkala berhadapan dengan pemerintah, tiba-tiba berubah menjadi lembaga yang

kuat terutama dalam fungsinya mengawasi gerak-gerik keberadaan lembaga

eksekutif.

Secara legal formal peran DPR terlebih dalam fungsi pengawasan

mengalami Perubahan besar setelah di lakukan amandemen terhadap UUD 1945

yang dilakukan sejak Sidang Umum MPR 1999. Dengan fungsi pengawasan

yang dimiliki legislatif misalnya, menjadikan setiap kebijakan pemeritah yang

akan di buat maupun akan dilaksanakan harus terlebih dahulu mendapat

persetujuannya. Hak prerogatif yang dimiliki presiden semakin sempit karna di

sisi lain DPR menempatkan diri sebagi lembaga penentu kata-putus dalam betuk

memberi persetujuan dan beberapa pertimbangan terhadap agenda-agenda

pemerintah. Dalam pembuatan undang - undang presiden kini hanya

memiliki kekuasaan mengusulkan rancangan Undang-Undang (RUU).

Sedangkan kekuasaan untuk menetapkan suatu RUU menjadi Undang-Undang

ada di tangan DPR. Dalam hal pengangkatan duta, Peresiden harus terlebih

dahulu memperhatikan pertimbangan DPR, kemudian Presiden menerima

penempatan duta dari negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR


pula. Selain itu, DPR juga telah memiliki peranan yang lebih besar dalam

pengangkatan Direktur Bank Indonesia dan dalam pengangkatan Ketua

Mahkamah Agung. Wewenang dan kekuasaan yang lebih besar juga

diindikasikan oleh frekuensi pemanggilan mentri yang menjadi lebih sering dan

melalui pembentukan panitia khusus untuk melakukan investigasi terhadap

dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh eksekutif.

Dalam pada itu kekuasaan DPR pada fungsi pengawasan terlihat pula

dalam pengangkatan Duta Besar Republik Indonesia (RI). Pasal 13 ayat (2)

UUD 1945 setelah perubahan, menyebutkan “Dalam hal pengangkatan duta,

Presiden memperhatikan pertimbangan DPR”. Menurut ketentuan yang baru

tersebut diisyaratkan bahwa dalam pengangkata duta besar (dubes) tidak hanya

merupakan hak prerogratif Presiden namun juga melibatkan peran DPR untuk

memberikan pertimbangan. Dubes yang akan ditempatkan di suatu negara oleh

pemerintah, harus terlebih dahulu melalui dengar pendapat yang dilakukan DPR.

Hal ini kemudian menjadikan hubungan antara Presiden dan DPR berkaitan

dengan pencalonan dubes mulai dipersoalkan oleh sekian banyak kalangan,

ketika keputusan DPR yang mempermasalahkan calon-calon dubes yang

diajukan oleh pemerintah.

Pada waktu melakukan uji visi dan misi terhadap 27 calon dubes tanggal

27 Juni 2002 Komisi I DPR yang mengurusi hubungan luar negeri, tidak

meloloskan tujuh calon dubes yang diajukan oleh Mentri Luar Negeri (Menlu) 1.

Dibagian lain sebaliknya bahwa dalam pemantauan kompas ada 37 pos

perwakilan RI yang kosong, tanpa kepala perwakilan atau duta besar2.

1
Kompas, 18 Juni 2002
2
Kompas, 23 September 2002
Permasalahan demikian dapat menggangu hubungan luar negeri Indonesia, di

mana pada saat ini bangsa kita sedang meyakinkan pihak luar untuk

memberikan pengakuan terhadap acaman disintegrasi, memberikan

kepercayaaan untuk menanamkan investasi serta dapat menjalin hubungan

(politik, ekonomi, sosial, budaya) terhadap bangsa yang selama ini sedang

mengalami krisis multidimensi.

Dalam pemahaman legal formal diasumsikan jika wewenang dan

kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan lebih besar, maka

kemampuannya untuk melakuakan pengawasan otomatis akan menjadi lebih

besar pula. Hal demikian apakah tidak mempengaruhi gerak langkah eksekutif

sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan rakyat lewat kebijakan-

kebijakannya. Menurut Jimly Asshiddiqy,3 gejala penambahan kewenangan atau

penumpukan kekuasaan pada DPR di satu segi baik dan positif, tetapi di

pihak lain dapat pula menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Apalagi

dikaitkan dengan aura euphoria dalam Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh

DPR cenderung meluap-luap seperti tidak dapat dikendalikan dan belum tentu

sehat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka

dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagai manakah pengaturan tentang tata cara pengangkatan duta besar RI?

3
Jimly Asshiddiqy sebagaimana di kutip Sumali, Reduksi Kekusaan Eksekutif di Bidang Peraturan
Pengganti Undang-Undang (Perpu), UMM Press, Malang, 2002, hlm 48.
2. Bagai manakah peran dan kekuasaan DPR dalam pengangkatan Duta Besar

RI setelah perubahan UUD 1945 ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang tata cara pengangkatan duta besar RI.

2. Untuk mengetahui peran dan kekuasaan DPR dalam pengangkatan Duta

Besar RI setelah perubahan UUD 1945

D. Kerangka Pemikiran

1. Kekuasaan dan Trias Political Pembagian Kekuasaan Menurut Fungsinya

Kekuasaan mempunyai peran yang amat penting dan dapat menentukan

berjuta-juta umat manusia. Oleh karna itu, kekuasaan (power) sangat menarik

perhatian para ahli ilmu sosial, politik, serta ahli hukum tata negara.

Mengenai pengertian kekuasaan sendiri sampai saat ini belum ada

difinisi yang seragam di antara para ahli. Namun demikian Menurut Mariam

Budiarjo4, kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok manusia

untuk mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau kelompok lain seseorang

sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan

tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.

Sedangkan menurut Max Weber5 mengatakan, kekuasaan adalah

kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat

4
Mariam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993,cet.Kelimabelas,
hlm 35
5
Max Waber sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, hlm 296-297
akan kemauan-kemauan sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap

tindakan-tindakan perlakuan dari orang-orang atau golongan tertentu.

Kekuasaan mempunyai aneka macam bentuk, dan bermacam-macam sumber.

Hak milik kebendaan dan kedudukan adalah sumber dari kekuasaan.

Umumnya kekuasaan itu berbentuk hubungan (relationship), dalam arti

bahwa ada satu fihak memerintah dan ada pihak yang diperintah (the rule and

the ruled); satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi

perintah. Selain itu sebagaimana dikemukakan Robert M. Maclver bahwa

kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramid. Ini terjadi karena

kenyataan bahwa kekuasaan yang satu membuktikan dirinya lebih unggul dari

pada lainnya, hal mana berarti bahwa yang satu itu lebih kuat dengan jalan

mensubordinasikan kekuasaan lainya itu.6

Dari sekian banyak bentuk kekuasaan yang ada, maka kekuasaan politik

mempunyai arti dan kedudukan sangat penting. Karena penting dan strategisnya

kekuasaan politik, maka kekuasaan itu harus diintergrasikan, dan intergrasi

kekuasaan politik itu diwujudkan dalam bentuk negara. Oleh karena negara

merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, maka dalam kenyataannya tindakan

negara itu dilakukan oleh kelompok orang dari kekuatan kelompok tertentu yang

terdapat dalam masyarakat negara melalui cara-cara tertentu. Pada hakekatnya

kelompok atau kekuatan politik yang sedang memegang kekuasan negara inilah

yang membuat keputusan-keputusan atas nama negara kemudian

melaksanakannya. Oleh kamanya bukan tidak mungkin bahwa kekuatan politik

6
Mariam Budiarjo, op.cit., hlm 35-36.
tertentu yang sedang memegang kekuasan dalam negara dapat menyalah

gunakan kekuasaan.7

Kecenderungan otoriter adalah kodrat yang melekat pada kekuasaan.

Kekuasaan berpotensi otoriter dan otoritarian membutuhkan kekuasaan.

Kekuasaan yang otoriter akhirnya melahirkan sistem bernegara yang korup.

Power tend to corrupt, absolute power lands to corrupt absolutely, begitulah

menurut Lord Action. Oleh karena itu pembatasan kekuasaan dari sejak dulu

telah diperbicangkan oleh para ahli politik maupun ahli hukum tata negara.

Mereka sependapat, agar supaya kekuasaan tidak disalahgunakan maka

kekuasaan itu perlu dibatasi dan dipisahkan, kemudian lalu di atur pada

seperangkat kaidah hukum yang tertuang dalam konstitusi.

Teori tentang pemisahan kekuasaan (separation of power) maupun

pembagian kekuasaan (distribution of power) yang menjadi salah satu muatan

konstitusi sebagai pijakan dalam penyelenggaraan negara sering disebut Sistem

penyelenggaraan negara. Gagasan pemisahan kekuasaan maupun pembagian

kekuasaan mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan doktrin trias politica.

Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam

kekuasaan, yaitu : Pertuma, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat

Undang-Undang (rule making function). Kedua, kekuasaan eksekutif atau

kekuasaan melaksanakan Undang-Undang {rule application). Ketiga, kekuasaan

yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang (rule

judication function). Trias politica merupakan suatu prinsip normatif bahwa

7
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta, 1993,
hlm 18
kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama

untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.8

Gagasan trias politica pertama kali dikemukakan oleh John Locke( 1632-

1704) dan ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan atau separation of power

dalam bukunya yang berjudul "Two Treatises on civil government" (1690)

menurut Locke kekuasan regara di bagi dalam tiga kekuasaan yaitu, kekuasaan

legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan fedaratif, yang masing-masing

terpisah satu sama lain.

Dalam kurun waktu selanjutnya tepatnya pada tahun 1798. Gagasan

separation of power yang dikemukakan oleh Locke dikembangkan kemudian

oleh seorang filsuf perancis Montesquieu dalam bukunya berjudul " L 'Espirit

Des Lois " (the spirit of law). Menurut Montesquieu kekuasaan pemerintah di

bagi dalam tiga jabatan, yaitu; kekuasan legislatif, kekuasan eksekutif, dan

kekuasan yudikatif. Ketiga kekuasan itu menurutnya harus terpisah sama sekali,

baik mengenai tugasnya maupun mengenai alat perlengkapan

penyelenggaranya.9 Montesquieu menekankan kebebasan yang sungguh-

sungguh (kemandirian) bagi kekuasaan yudikatif, oleh kekuasaan inilah yang

menjadi tulang punggung kemerdekaan individu dan sebagai tonggak penentu

dalam memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi.

Dari penegasan tentang pemisahan kekuasaan maupun pembagian

kekuasaan tersebut, pada kenyataannya ternyata menunjukan bahwa cara

pembagian kekuasan yang dilakukan oleh Montesquieu yang lebih di terima. 10

8
Mariam Budiarjo, op. cit., hlm. 151
9
Ibid., hlm.151,152,dan 153
10
Moh. Mafud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1993, hlm.83
Hal ini lebih disebabkan karena kekuasaan federatif diberbagai negara sekarang

ini dilakukan oleh eksekutif melalui departemen luar negennya masing-masing.

Kendatipun konsep trias politica Montesquieu sangat popular, namun

tidak diperaktekan secara murni karna tidak sesuai dengan kenyataan. Berbagai

kritik telah dilontarkan terhadap konsep tersebut, antaranya diungkapkan oleh

E.Utrecht,11 ia tidak sejalan dengan pemisahan kekuasaan yang dilakukan oleh

Montesquieu dengan mengajukan dua keberatan :

a. Pemisahan mutlak seperti yang dikemukakan oleh Cahales Montesquieu,

mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak ditempatkan di

bawah pengawasan suatu badan negara lain. Tidak ada pengawasan

itu berarti kemungkinan bagi suatu badan kenegaraan untuk

melampaui batas kekuasaannya dan oleh sebab itu kerja sama antara

masing-masing badan kenegaraan dipersulit. Oleh karena itu, tiap-tiap

badan diberikan kesempataan untuk saling mengawasi.

b. Dalam negara modern atau welfare state (mulai berkembang pada akhir

abad 19 awal abad 20) lapangan tugas pemerintahan bertambah

luas untuk mewujudkan berbagai kepentingan masyarakat. Dalam hal

demikian, tidak mungkin di terima asas pemisahan tegas (vast beginsel)

bahwa tiga fungsi tersebut masing-masing hanya diserahkan kepada

suatu badan kenegaraan tertetentu.

Terlepas dari apakah konsep trias politica itu dapat dilaksanakan secara murni

atau tidak, yang jelas pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk menjamin

kemerdekaan dan menghindari penumpukan kekuasaan negara pada pihak tertentu, serta

11
E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Emas, Jakarta, 1982,
hlm.20
melidungi rakyat dari keserakahan penguasa. Untuk itu, dalam mengupas konsep

pemisahan kekuasaan tidak dapat ditafsirkan secara harafiah, tetapi

disesuaikan dengan ide demokrasi.

Dengan bertitik tolak dari pemikiran pemisahan kekuasaan yang ditawarkan

Montesquieu yang mengarah pada keharusan menciptakan struktur kekuasaan

pemerintah di mana tugas dan fungsi masing-masing terpisah satu sama lain. Sebagai

langkah untuk menciptakan pemerintahan yang tidak korup, maka layak kiranya di

simak pendapat yang cukup moderat tentang penapsiran pemisahan kekuasaan yang

dilontarkan oleh Sir Ivan Jeninng,12 dalam bukunya yang berjudul The Law and

Constitution, menurutnya pemisahan kekuasan itu dapat di lihat dari dua sisi yaitu,

pemisahan kekuasaan dalam arti materiil dan pemisahan kekuasaan dalam arti formil.

Pemisahan dalam arti materiil berarti bahwa pembagian kekuasaan itu dipertahankan

dengan tegas dalam tugas ketatanegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan

adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian: legislatif, eksekutif, yudikatif.

Hal ini dikatakan sebagai Pelaksanaan dari teori trias politica Montesquieu secara

konsekwen dan pembagian seperti itu dapat di sebut sebagai pemisahan kekuasaan.

Sebaliknya apabila pembagian kekuasaan tidak dipertahankan secara tegas, maka di

buat pemisahan kekuasaan dalam arti formil.

Menurut ketentuan UUD 1945 sebelum di amandemen, keseluruhan aspek

kekuasaan negara di anggap terjelma secara penuh dalam Majelis Permusyawaratan

rakyat. Sumbernya berasal dari rakyat yang berdaulat. Dari majelis inilah kekuasaan

rakyat itu dibagikan secara vertikal kedalam fungsi-fungsi 5 lembaga Tinggi Negara,

12
Sir Ivan Jening sebagaimana dikutip, dalam Bintan R Saragih, Lembaga perwakilan dan Pemilihan
Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1988, hlm.14.
yaitu lembaga kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR, Mahkamah Agung,

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Dalampembagian fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif tersebut, sebelum

diadakannya perubahan terhadap UUD 1945 bisa dipahami bahwa fungsi kekuasaan

yudikatiflah yang tegas ditentukan bersifat mandiri dan tidak dicampuri cabang

kekuasaan lain. Sedangkan presiden meskipun merupakan lembaga eksekutif, juga

ditentukan memiliki kekuasaan membuat undang-undang, sehingga dapat dikatakan

memiliki fungsi legislatif dan sekaligus fungsi eksekutif. Kenyataan inilah yang

menyebabkan munculnya kesimpulan bahwa UUD 1945 tidak dapat disebut menganut

ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti dibayangkan Montesqiueu.13

Oleh karena itu, dimasa reformasi ini, berkembang aspirasi untuk lebih

membatasi kekuasaan presiden dengan menerapkan perisip pemisahan kekuasan yang

tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif itu.

2. Sistim Pemerintahan Presidensial

Baik teori pemisahan kekuasaan maupun teori pembagian kekuasaan yang telah

dijelaskan di muka, ternyata erat kaitanya dengan bangunan sistem pemerintahan

presidensial. Hal ini terlihat dari pada adanya pemisahan secara tegas antara badan

legislatif (parlemen) dengan eksekutif (pemerintah) dalam sistem pemerintahan

persidensial. Lebih lanjut dalam Sistem ini menentukan presiden sebagai kepala negara

sekaligus sebagai kepala pemerintahan, kemudian presiden dan parlemen dipilih oleh

rakyat secara langsung, sehingga presiden dan parlemen memperoleh mandat dari

13
Jimly Asshiddiqie, “Otonomi Daerah dan Peran Legislatif Daerah”, Makalah pada Lokakarya Tentang
Peraturan Daerah dan Budget Anggota DPRD SePropinsi (Baru) Banten, Di Anyer, Banten, 20 Oktober
2000, hlm.6
rakyat secara sendiri-sendiri dan keduanya terbuka untuk di nilai oleh rakyat, serta

eksekutif tidak bertanggung jawab kepada parlemen.

Hal diatas didasarkan oleh pandangan John Locke dan Montesquieu yang telah

diuraikan sebelumnva John Locke menegaskan bahwa konflik panjang antara raja

Inggris dan badan parlemen dipecahkan dengan baik melalui pemisahan raja Inggris

sebagai eksekutif dari badan parlemen sebagai legislatif. dipecahkan, dan masing-

masing mempunyai kekuasaan sendiri. Sedangkan Montesquieu yang mengamati

keadaan politik Inggris, menyatakan dukunganya kepada sistem pemerintahan Inggris

yang telah mewujudkan pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif yang

berbeda dengan despotisme Bourbons, namun demikian pada ahirnya Inggris lebih

memilih bentuk pemerintahannya dengan menggunakan Sistem parlementer. Secara

historis. yang diuraikan amat rinci oleh Locke dan Montesquieu sangat besar

pengaruhnyn terhadap terbentuknya konstitusi Amerika Serikat, yang mengatur secara

jelas pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, yudikatif dengan mengunakan

bangunan Sistem pemerintahan presidensial.

Munurut pendapat S.L. Whitman,14 yang menjadi ciri dalam pemerintahan

persidensial adalah:

1. Didasarkan atas pemisahan kekuasaan

2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan membubarkan badan legislatif dan

eksekutif tidak harus meletakan jabatanya apabila tidak mendapatkan

dukungan mayoritas angota badan legislatif.

14
S.L. Whitman sebagaimana terdapat pada "Catatan Kamal Firdaus", Kamal firdaus, Makalah, untuk
Diskusi Panel, Urgensi Undang-Undang Kepresidenan dalam Struktur Ketatanegaraan Republik
Indonesia, FH-UII,2001. hlm 1
3. Tidak ada pertanggung jawaban bersama kepada parlemen, antara presiden

dengan anggota-anggota kabinet; yang terakhir bertanggung jawab

sepenuhnya kepada presiden sebagai kepala pemerintahan.

4. Eksekutif (presiden) dipilih melalui badan perwakilan.

Dengan didasarkan pada pemisahan kekuasaan pada bagian 1 (satu) serta

presiden di pilih melalui lembaga pemilihan bagian 4 (empat) menurut hemat penulis,

untuk mendapat ligitimasi yang setara dengan parlemen maka, presiden haruslah dipilih

secara langsung oleh rakyat. Keberadaan lembaga perwakilan sebagai Badan Pemilih

(electoral college)15 yang telah dikemukakan di atas oleh S.L. Whitman hanya bertugas

menetapkan saja presiden yang sudah terpilih oleh rakyat, hal demikian di praktekan

oleh Amerika Serikat (AS) sebagi negara yang mengaku penganut murni sistem

presidensial. Dengan demikian dikarnakan presiden dipilih secara langsung oleh

rakyat, maka memaksa hubungan kelembagaan secara horizontal dijalankan

dengan semangat pengawasan dan perimbangan (checks and balance mechanism).

3. Lembaga Perwakilan

Walaupun Rousseau, menginginkan tetap berlangsung demokrasi langsung

seperti pada jaman Yunani Kuno, tetapi karena luasnya wilayah suatu negara,

bertambahnya jumlah penduduk dan bertambah rumitnya permasalahan-permasalahan

kenegaraan maka keinginan Rousseau tersebut tidak mungkin terealisir, maka munculah

sebagai gantinya demokrasi tidak langsung melalui lembaga perwakilan", yang

15
Secara formal menurut Konstitusi Amerika Serikat, Presiden di pilih oleh para pemilih (electros) yang
di dalam literatur di kenal dengan electoral college, yaitu badan pemilih yang keanggotaannya di pilih
langsung oleh rakyat di setiap negara bagian dengan jumlah yang sama dengan jumlah utusan dari negara
bagian yang bersangkutan dalam keanggotaan senat dan lembaga perwakilan (House of Representative)
di congress, untuk setiap kali diadakan pemilihan Presiden. Fungsi electoral college tidak lebih sebagai
party dummies dan mereka hanya sebagai rubber stamps
sebutannya serta jenisnya tidak sama di semua negara, dan sering di sebut "parlemen"

atau kadang-kadang disebut Dewan Perwakilan Rakyat".16

Perkataan parlemen asalnya dari bahasa Prancis "parler" yang artinya: berbicara.

Sebelum tahun 1789 di Perancis yang dinamakan perlemen itu adalah Mahkamah

Agung. Dewasa ini yang di maksud dengan parlemen adalah Lembaga Perwakilan

Rakyat, yaitu tempat rakyat memperdengarkan suaranya dalam pemerintah.

Parlemen merupakan badan perwakilan yang tertinggi dalam negara, yang

susunanannya ditetapkan dengan Undang-Undang.

Umumnya fungsi badan perwakilan ataupun lembaga legislatif di pelbagai

negara berbeda-beda, meskipun dalam garis besarnya sama saja, yaitu:17

1. Menentukan undang-undang;

2. Di beberapa negara seperti Inggris misalnya, juga berwenang

untuk mewujudkan perubahan terhadap konstitusi;

3. Menempatkan dan mengawasi jalanya pemerintahan dengan interpelasi,

mosi, hak angket dan sebagainya;

4. Menetapkan anggaran (keungan) negara (budget) dengan menentukan

cara-cara memperoleh dan menggunakan dana serta melakukan

pengawasan terhadap anggaran tersebut (melalui Badan Pemeriksa

Keuangan);

5. Dibeberapa negara juga memberikan rekomendasi (mengusulkan)

bagi jabatan-jabatan penting negara seperti anggota Mahkamah Agung,

Badan Pemeriksa Keuangan dan sebagainya;

16
Padmo Wahyono sebagi mana di kutip Bintan R. Saragih, op.cit., hlm 56
17
Ibid., hlm.65-66
6. Menentukan hubungan dengan negara-negara lain, termasuk juga

menentukan perang dan damai.

Dalam UUD 1945 setelah perubahan keberadaan lembaga perwakilan

tersebut dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) di mana MPR terdiri dari DPR dan DPD.

DPR sebagai salah satu lembaga perwakilan serta lembaga legislatif memiliki fungsi

sebagai mana di atur dalam UUD 1945 setelah perubahan, sebagai berikut : 18

Pasal 20A ayat 1

"Dewan Perwakilan Rakyat memiliki Fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan

fungsi pengawasan ''.

Pasal 20A ayat 2

"Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain

Undang Undang Dasar ini, Dewan perwakilan rakyat mempunyai hak

interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat".

Pasal 20A ayat 3

"Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang Undang Dasar ini, setiap

anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,

menyatakan usul dan pendapat serta hak imunitas”.

Pasal 20A ayat 4

"Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Penrwakilan Rakyat dan hak

anggota perwakilan rakyat di atur dalam Undang-Undang”.

Sedangkan dibagian lain dalam peraturan Tata Tertib DPR NO. 16/ DPR

RI/1/1999-2000 dalam Pasal 4, disebutkan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tugas

dan wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap :19

18
Lihat UUD 1945 Pasca Amandemen
19
Lihat Tat Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 1999 - 2000
1. Pelaksanaan UU

2. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

3. Kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan ketetapan MPR.

Kemudian untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut sebagai mana di

maksud dalam pasal 4 ayat (1), DPR dalam pasal 10 Tata Tertib DPR mempunyai

beberapa hak, yaitu:

a. Meminta keterangan kepada presiden

b. Mengadakan penyelidikan

c. Mengadakan perubahan terhadap rancangan Undang-Undang

d. Mengajukan pernyataan pendapat

e. Mengajukan rancangan Undang-Undang

f. Menganjukan seseorang untuk jabatan tertentu jika

ditentukan oleh suatu peraturan Perundang-undangan

g. Menentukan anggaran DPR

h. Memanggil seseorang

Selain dari Tata Tertib DPR NO. 16/DPR RI/I/ 1999-2000 yang lebih lanjut

mengatur tugas dan wewenang DPR, serta hak-hak yang dimiliki oleh DPR, hal serupa

juga terdapat dalam UU NO. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR,

dan DPRD, yang dapat dilihat pada Pasal 33 ayat (2), yakni sebagai berikut :20

(2) Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tugas dan wewenang :

a. Bersama-sama dengan presiden membuat UU

b. Bersama-sama dengan presiden menetapkan APBN

20
Lihat UU No.4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD
c. Melaksanakan pengawasan terhadap;

1. Pelaksanaan Undang-Undang

2. Pelaksanaan APBN

3. Kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan ketetapan

MPR

d. Membahas hasil pemeriksaan atas pertanggung jawaban keuangan negara

yang diberitahukan Badan Pemeriksa Keuangan, yang disampaikan dalam

rapat paripurna DPR, untuk dipergunakan sebagai pengawasan

e. Membahas untuk meratifikasi dan/atau memberi persetujuan atas pernyataan

perang serta pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang

dilakukan oleh presiden

f. Menampung dan menindak lanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat

g. Melaksanakan hal-hal yang ditegaskan oleh ketetapan MPR dan/atau

Undang-Undang kepada DPR

Kemudian dalam ayat (3) pada Pasal yang sama dan Undang-Undang yang sama

menyebutkan, bahwa :

(3) Untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagimana di maksud dalam ayat (20),

DPR mempunyai beberapa hak :

a. Meminta keterangan kepada presiden

b. Mengadakan penyelidikan

c. Mengadakan perubahan atas Rancangan Undang-Undang

d. Mengajukan pernyataan pendapat

e. Mengajukan Rancangan Undang-Undang


f. Mengajukan/menganjurkan seseorang untuk jabatan tertentu jika

ditentukan oleh suatu peraturan Perundang-undangan

g. Menetukan anggota DPR

Dengan fungsi, tugas dan wewenang serta hak yang dimiliki oleh DPR sebagai

mana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945, Pasal 4 dan 10 peraturan Tata Tertib DPR

N0.16/DPR RI/I/1999-2000 dan pasal 33 ayat (2) dan (3) UU No.4 Tahun 1999, maka

sebagi bentuk tanggung jawab sebagai wakil rakyat, DPR yang merupakan lembaga

legislatif senantiasa dapat melakukan/dapat selalu mengawasi penyelenggaraan

pemeritah.

E. Metode Penelitian

1. Obyek Penelitian

Tinjauan yuridis dan politis tentang peran dan kekuasaan DPR dalam

pengangkatan Duta Besar RI setelah perubahan UUD 1945.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan adalah data skunder dari bahan hukum primer

yaitu data yang digali dari peraturan dasar, peraturan Perundang-undangan,

buku-buku/literatur, hasil-hasil penelitian maupun dari sumber-sumber

lain yang berhubungan dengan dengan masalah penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Mengunakan Studi kepustakaan yaitu (library research) dengan mempelajari

UUD, peraturan UU. Peraturan Tata Tertib DPR, literature-literatur, Koran,

makalah dan hasil Studi terhadap masalah yang diteliti.

4. Metode Pendekatan
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

yakni pendekatan yang mengutamakan segi normatif dari obyek penelitian.

5. Analisa Data

Data dalam penelitian ini akan di analisa dengan metode deskriptif, yaitu data-

data yang diperoleh dari data skunder dan hasil penelitian akan diuraikan secara

sistematis dan logis menurut pola deduktif kemudian dijelaskan, dijabarkaan dan

diintergrasikan berdasarkan Hukum Tata Negara.

BAB II

TINJAUAN TERHADAP PEMBAGIAN KEKUASAAN DI INDONESIA

SETELAH PERUBAHAN UUD 1945


A. Kedaulatan (Sovereignity) dan Kedaulatan Rakyat

Kekuasaan merupakan konsep hubungan sosial yang terdapat baik dalam

kehidupan komunitas, masyarakat, negara dan umat manusia. Konsep hubungan sosial

itu meliputi hubungan personal di antara dua manusia yang berinteraksi, hubungan

institusional yang bersifat hierarkis, dan hubungan subyek dengan obyek yang

dikuasai.21

Sedangkan konsep kekuasaan dalam sebuah negara pada umumnya bersifat

hierarkis dan berjenjang, melaluai kekuasaan yang tertinggi sampai kekuasaan yang

terendah. Kekuasaan tertinggi dalam struktur negara adalah kedaulatan. Kedaulatan

sendiri merupakan hak kekuasaan yang mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung,

dan tak terkecuali.22 Kedaulatan menurut Jellinek adalah sesuatu kekuasaan yang tidak

mengenai kekuasaan lain diatasnya, ia sekaligus kekuasaan yang tidak tergantung pada

kekuasaan lain dan karenanya kekuasaan yang tertinggi. Sementara Jean Bodin

mendefinisikan arti kedaulatan ialah kekuasaan yang ketidak terbatasannya menguasai

semua rakyat, ia sendiri tidak dapat diikat oleh suatu Undang-Undang.23

Lebih lanjut mengenai kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara haruslah

bersifat:24

1. Asli, maksudnya bukan berdasarkan dari kekuasaan lain.

2. Tertinggi, maksudnya tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi di atasnya.

3. Tidak dapat dibagi-bagi, maksudnya kedalam maupun keluar negara itu

merupakan kekuasaan sepenuhnya.

21
Salman Luthan, Artikel, Dialektika Hukum dan Kekuasaan, Jurnal Hukum. NO. 14 Vol. 7. Agustus
2000, hlm 85-86
22
Frans Magnis Suseno dalam Salman Luthan, Ibid, hlm 93
23
Sumali, Op.Cit., hlm.17
24
C.S.T. Kansil dalam Syaiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Tata Negara, Tarsito, Bandung, 1996, hlm.57
Kedaulatan (sovereignity) sendiri merupakan ciri atau atribut hukum dari

negara-negara, dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang

berpendapat bahwa sovereignity itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri.25

Dalam perkembangan lebih lanjut, sesuatu yang tertinggi dalam negara

menimbulkan adanya bermacam-macam pandangan atau teori, yakni:26

a. Yang tertinggi dalam negara itu adalah Tuhan (Godssouvereiniteit)

b. Yang tertinggi dalam negara adalah negara itu sendiri (Staatssouvereiniteit)

c. Yang tertinggi dalam negara itu adalah hukum (Rechtssouvereinitiet)

d. Yang tertinggi dalam negara itu adalah rakyat (Volkssouvereintiet)

Sebagai teori, tidak satupun dari ajaran itu yang dapat disebut paling modern. Hanya

saja harus diakui, hampir semua negara modern dewasa ini, secara formil mengaku

menganut asas kedaulatan rakyat.27

Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat di suatu negara adalah rakyat.

Penguasa memperoleh kekuasaan untuk menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan

(pemerintah) karena mendapat persetujuan rakyat (kontrak sosial) yang dilakukan

melalui proses pemilihan umum (Pemilu). Karena pemilu merupakan mekanisme

demokratis untuk menegakan prinsip kedaulatan rakyat dalam tatanan kehidupan

kenegaraan. Esensi kedaulatan rakyat sama dengan Sistem demokrasi. Dengan

demikian negara yang berkedaulatan rakyat adalah negara demokrasi.28

Robert A. Dahl mengajukan lima kreteria bagi sebuah negara demokrasi yang

ideal, yaitu; (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang

mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara

25
Dahlan Tahib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 6
26
Ibid
27
Jimly Asshiddiqe dalam Dahlan Tahib, Ibid, hlm 7
28
Salman Luthan, Op Cit, hlm 94-95
dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebeneraan, yaitu

adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap

jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terahir terhadap

agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentuakan agenda

mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk

mendelegasikan kekuasaan itu pada orang atau lembaga yang mewakili masyarakat, dan

(5) pencakupan, yaitu terliputnya masyrakat yang tercakup semua orang dewasa dalam

kaitannya dengan hukum.29 Sementara itu Andrews dan Chapman30 dalam The Social

Construction of Democracy, 1870-1990: An Introduction, menyatakan ada enam ciri

penting dalam rezim Demokrasi: (1) hak suara yang luas, (2) pemilihan umum yang

bebas dan terbuka, (3) kebebasan berbicara dan berkumpul, (4) rule of law, (5)

pemerintahan yang tergantung pada parlemen, dan (6) badan pengadilan yang bebas.

Selanjutnya asas kedaulatan rakyat atau paham demokrasi menurut Dahlan

Tahib mengandung 2 (dua) arti : Pertama, demokrasi yang berkaitan dengan Sistem

pemerintahan atau bagaimana caranya rakyat diikutsertakan dalam penyelenggaraan

pemerintahan, dan yang Kedua, demokrasi sebagai asas yang dipengaruhi keadaan

kultur, historis suatu bangsa sehingga muncul demokrasai konstitusional, demokrasi

rakyat dan demokrasi Pancasila. Yang jelas bahwa di setiap negara dan setiap

pemerintahan modern pada akhirnya akan berbicara tentang rakyat. Dalam proses

bernegara rakyat sering dianggap hulu dan sekaligus muaranya. Rakyat adalah titik

sentral karna rakyat disuatu negara pada hakekatnya adalah pemegang kedaulatan,

artinya rakyat menjadi sumber kekuasaan.31

29
Suharizal, Reformasi Konstitusi 1998-2002 Pergulatan Konsep dan Pemikiran Amandemen UUD 1945,
Sinar Repro, Jakarta, 2002, hlm 37
30
Sumali, Op.Cit. hlm 15-16
31
Dahlan Tahib, Op.Cit, hlm 7.
Untuk memperkaya pemahaman kita tentang demokrasi patut dikutip pendapat

Samuel Hutington,32 yang menyatakan: “sebuah Sistem politik disebut demokratis bila

para pembuat keputusan kolektif yang lebih kuat dalam Sistem itu di pilih melalui

pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas

bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak

memberikan suara”.

Rumusan demokrasai tersebut dan banyak lagi pada hakekatnya merupakan

pemahaman prinsip kedaulatan rakyat yang diartikan suatu pemerintaha oleh rakyat,

dari rakyat dan untuk rakyat (The Goverment of the People, by the People and for the

People) Rumusan tersebut memberikan gambaran bahwa pada hakekatnya negara tidak

lain adalah suatu organisasi dalam bentuk pemerintahan sebagai alat untuk mencapai

tujuan yaitu untuk melindungi dan menjaga kepentingan rakyat. 33 Dengan demikian

negara tidak berhak untuk membenarkan segala macam tindakan dengan fakta

kedaulatannya, karenanya segala tindakan yang berkaitan dengan kebijakannya haruslah

mendapat legitimasi dari rakyat, dan segalanya harus dapat dipertanggung jawabkan.

Dalam hal tindakan yang bertentangan dengan kepentingan serta melanggar hak-hak

dasar rakyat tidaklah dibenarkan. Dan bahwa negara secara hakiki berfungsi untuk

melengkapi apa yang kurang dalam masyarakat dan untuk memecahkan permasalahan-

permasalahan yang dihadapi, untuk selanjutnya juga memberikan kepada rakyatnya rasa

aman, tentram, adil, makmur, dan sejahtera.

B. Pembagian Kekuasaan di Indonesia

Kecenderungan negara demokrasi modern dalam merefleksi kedaulatan rakyat

32
Samuel Hutington dalam Sumali, Op Cit, hlm 16.
33
Dahlan Tahib, Op.Cit.hlm 8.
dengan sistem perwakilan, artinya rakyat memilih seseorang yang dipercaya untuk

mewakili dirinya. Robert Dahl34 melihat bahwa pemerintahan rakyat dalam sekala

besar (negara bangsa) hanya dapat dibentuk dengan sistem perwakilan sebagai bentuk

pemerintahan yang demokratis, pemerintahan yang berkedaulatan rakyat.

Sri Sumantri,35 dalam kontek yang sama berpendapat bahwa, dengan masih

menganut paham kedaulatan rakyat harus dicari suatu sistem yang sesuai untuk

membicarakan masalah kenegaraan dan kemudian mengambil keputusan bagi negara

yang memiliki jumlah rakyat warga negaranya besar seperti Indonesia. Adapun sistem

yang dianut di negara Republik Indonesia ialah yang diatur dalam UUD 1945.

Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat, hal ini dapat kita lihat

dalam Pancasila dan UUD 1945. Sila keempat dari Pancasila, yakni menyebutkan

"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan". Dalam pancasila konsep kerakyatan dapat diartikan

sebagai pentingnya suara-suara rakyat di politik. Konsep kerakyatan juga bermakna

adanya kekuasaan rakyat untuk mengawasi dan berpartisipasi dalam pengabilan

keputusan publik. Dengan demikian konsep kerakyatan identik konsep kedaulatan

rakyat.36 Sedangkan prinsip kedaulatan rakyat di dalam UUD 1945 setelah perubahan

ditegaskan pada Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa "Kedaulatan ada ditangan

rakyat dan dilaksanakan oleh Undang-Undang Dasar". Hal ini merupakan Perubahan

mendasar mengenai paham kedaulatan rakyat dimana dalam naskah sebelumnya

menyebutkan "Kedaulatan ada ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat". Kedaulatan rakyat yang semula dilakukan sepenuhnya oleh

Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) sebagai lembaga kekuasaan negara tertinggi


34
Robert Dahl dalam Dahlan Tahib, Ibid, hlm 10
35
Sri Sumantri dalam Dahlan Tahib, Ibid.
36
Sumali, Op.Cit., hlm 17
(Supermacy of the People’s Consultative Assembly) kini pelaksanaannya diserahkan

kepada UUD. Dengan demikian dalam kosep teoritik, UUD sebagai hukum

fundamental (grundnorm), merupakan kristalisasi dari kesepakatan rakyat (kontrak

sosial) sebagai pemegang kedaulatan tetang bagai mana mereka hidup dalam

manifestasi kedaulatannya. Kemudian UUD yang menjadi instrument hukum dasar

rakyat dan juga pemegang kedaulatan, untuk seterusnya mendelegasikan kekuasaan

berupa kewenangan kepada lembaga negara untuk menjalankan roda negara.

Perubahan atau Amandemen UUD 1945 selain telah merubah pemahaman baru

tentang kedaulatan rakyat juga telah merubah secara mendasar bangunan Sistem

pemerintahan di Indonesia. Amandemen37 sendiri dilakukan secara bertahap dengan

Sistem adendum terhadap UUD 1945: Amandemen ke-1 (19 Oktober 1999),

Amandemen ke-2 (18 Agustus 2000), Amandemen ke-3 (10 November 2001),

Amandemen ke-4 (10 Agustus 2002). Sedangkan UUD 1945 sebelum perubahan terdiri

16 bab dan 37 pasal. Jika dihitung dalam bagian-bagian terkecil terdiri 65 butir

termasuk didalamnya bab, pasal, ayat, dapat dikatakan UUD tersimple di dunia. Dari 37

pasal UUD 1945 yang asli hanya lima pasal yang tidak di sentuh perubahan, yakni Pasal

4 tentang Kekuasaan Pemerintahan, Pasal 10 tentang Kekuasaan Presiden memegang

Kekuasaan Tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, Pasal

12 tentang Presiden menyatakan keadaan bahaya, Pasal 22 tentang Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Pasal 29 tentang Agama, Pasal 35.

Dengan menganalisis dari butir-butir hasil perubahan UUD 1945 yang semula 65 butir

kini bertambah menjadi 197 butir. Dari jumlah itu 20 butir diantaranya tetap, 45 butir

diubah, dan 128 butir merupakan tambahan baru.

37
Kompas, 1 Juli 2002
Hasil perubahan UUD 1945 yang dilakukan MPR itu sendiri terdapat beberapa

lembaga negara yang di ruduksi kekuasaannya serta ada juga yang di tambah. Di bagian

lain hasil perubahan tersebut juga mengintrodusir adanya lembaga-lembaga baru dan

ada juga lembaga yang di hapus dimana keberadaan lembaga tersebut dirasakan tidak

lagi relevan dengan tuntutan jaman dan kebutuhan demokrasi saat ini. Lembaga-

lembaga demokratis baru yang telah dilahirkan UUD 1945 dan perubahanya itu antara

lain Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Makamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.

Sedangkan lembaga yang di hapus dari struktur kenegaraan kita adalah Dewan

Pretimbangan Agung (DPA), Utusan Golongan serta peran Fraksi TNI/Polri yang sejak

Demokrasi Terpimpin tahun 1959 ikut serta dalam kancah percaturan politik di

parlemen. Hal ini semua merupakan kesepakatan bersama untuk menghadirkan

keseimbangan penyelenggaraan kekuasaan negara, serta dapat menjadi basis arah

terciptanya mekanisme checks and balances di Negara Republik Indonesia.

1. Kekuasaan MPR Setelah Perubahan UUD 1945.

Pasal 1 ayat (2) naskah asli UUD 1945 menyebutkan Kedaulata berada ditangan

rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan

dalam penjelasan naskah asli UUD 1945 disebutkan bahwa MPR memegang kekuasaan

negara tertinggi dan kekuasaannya tidak terbatas, sedangkan Presiden harus

menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh MPR.

Presiden di angkat oleh MPR, tunduk dan bertangguang jawab pada MPR. Presiden

adalah mandataris MPR. Presiden wajib menjalankan putusan-putusan MPR.

Apabila kita lihat redaksi pada naskah asli dari Pasal 1 ayat (2), dapat kita

interprestasikan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagi pelaksana dari


kedaulatan rakyat itu. Hal ini mengandung arti, bahwa kedaulatan dalam negara

Indonesia tetap berada ditangan rakyat. Menurut Sri Sumantri,38 bahwa secara

oprasional kedaulatan yang yang di pegang rakyat Indonesia dilaksanakan atau

dilakukan oleh:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dalam hal ini MPR adalah pelaksan kedaulatan rakyat atau the legal soverign

yang pertama, yang berposisi sebagi nasional policy

2. Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden bersama-

sama dengan DPR bersama sama adalah the legal soverign yang kedua, yang

berposisi sebagai public policy.

Sementara itu Muhamad Yamin menafsirkan kata "sepenuhnya" yang terdapat

pada pasal tersebut diatas berarti MPR memegang kekuasaan tertinggi dan bulat

scmpurna. MPR adalah badan yang paling tinggi dalam Republik Indonesia. Kekuasaan

ini kemudian dibagi-bagi kepada lembaga-lembaga negara. Anggota MPR juga boleh

dipilih, ditunjuk atau diangkat39

Perubahan UUD 1945 mengubah Pasal 1 ayat (2) itu menjadi Kedaulatan berada

di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu ditafsirkan

oleh beberapa kalangan termasuk para ahli hukum tata negara bahwa MPR tidak lagi

sebagai lembaga tertinggi negara. Lebih lanjut bahwa MPR adalah lembaga negara yang

tingkatannya sama dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka saling

menyeimbang satu sama lain dalam mekanisme checks and balances. Bahkan apabila

kita lihat Pasal 2 ayat (1) dimana dikatakan Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri

38
Sri Sumantri dalam Dahlan Tahib, Op Cit, hlm 12-13
39
Kompas, 12 Agustus 2002
atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang

dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang. Dapat

dikatakan MPR tidak lagi menjadi lembaga tinggi negara karena telah menjadi lembaga

dua kamar (bikameral), dengan demikian tidak lebih hanya dijadikan sidang gabungan

(joint session) oleh DPR dan DPD dengan memiliki kewenangan yang lebih terbatas.40

Kewenangan MPR juga telah dibatasi dalam perubahan UUD 1945. Pada Pasal

3 disebutkan bahwa MPR hanya berwenang dalam tiga hal. Pertama, mengubah dan

menetapkan UUD. Kedua, melantik Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, hanya dapat

memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

Dengan pemahaman baru terhadap paham kedaulatan rakyat itu, maka semua anggota

MPR harus dipilih melalui pemilihan umum. Utusan Golongan tidak lagi memenuhi

kriteria paham kedaulatan hasil dari perubahan UUD 1945 tersebut. Utusan Daerah

sebagai perwakilan aspirasi daerah kini terakomodasi dalam DPD yang juga harus

dipilih melalui pemilihan umum.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dalam studinya mengenai

Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia (Semua Harus Terwakili,

PSHK, 2000) menyebutkan bahwa ada sedikitnya tiga alasan yang menyebabakan

perlunya penyesuaian terhadap susunan, kedudukan, dan kekuasaan MPR menjadi suatu

lembaga perwakilan rakyat dengan dua kamar (bikameral). Pertama, kebutuhan dalam

pembenahan sistem ketatanegaraan sehubungan dengan berbagai Permasalahan dalam

sistem MPR yang lama. Anggota MPR yang bukan DPR yaitu Utusan Golongan dan

Utusan Daerah tidak berfungsi efektif dan tidak jelas oreientasi keperwakilannya. MPR

mempunyai kekuasaan yang rancu dalam sistem presidensial karena dapat menjatuhkan

40
Ibid
presiden dengan mekanisme sidang istimewa. Kedua, kebutuhan untuk mengakomodasi

kepentingan masyarakat daerah secara setruktural. Artinya, dengan adanya dewan yang

secara khusus mereperentasikan wilayah-wilayah, maka diharapkan maka kepentingan

masyarakat daerah akan terakomodasikan melalui institusi formal di tingkat nasional.

Ketiga, kebutuhan bagi Indonesia pada saat ini untuk mulai menerapkan Sistem checks

and balances dalam rangka memperbaiki kehidupan ketatanegaraan dan mendorong

demokrasi. Dengan adanya perwakiian rakyat dengan dua kamar, maka diharapkan

lembaga ini akan mampu menjalankan fungsi legislasi dan fungsi kontrolnya dengan

lebih baik.41

2. Hubungan Presiden dengan DPR Setelah Perubahan UUD 1945.

Reformasi konstitusi dalam bentuk amandemen ataupun perubahan UUD 1945

ini dilakukan oleh karena UUD 1945 mengandung kelemahan krusial, misalnya tidak

memberikan atribusi kewenangan yang jelas, dan tegas kepada lembaga tinggi negara,

memuat pasal-pasal ambigu, dan bersifat executive heavy.42

Setelah diadakannya amandemen terhadap UUD 1945, produk perubahan itu

ternyata telah mereduksi hal-ihwal yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden dan

sebaliknya meningkatkan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat di sisi lain. Dengan

kalimat berbeda implikasi perubahan tersebut mengakibatkan berkurangnya

kekuasaan Presiden (weak president). Sebaliknya yang terjadi dengan DPR justru

semakin mengkuatkan kedudukannya setelah dilakukan perubahan konstitusi tersebut.43

Adapun adanya perubahan hubungan Presiden dengan DPR menurut UUD 1945

setelah perubahan dapat kita lihat, sebagai berikut: Perihal kekuasaan legislatif.
41
Ibid
42
Mahfud. MD dalam Sumali, Op Cit. hlm 45.
43
Ibid, hlm 46.
Presiden tidak lagi memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang (UU), menurut

Pasal 5 perubahan UUD 1945 menyebutkan Presiden berhak mengajukan rancangan

Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat

(1) ditegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

Undang-Undang. Presiden hanya berhak mengajukan rancangan Undang-Undang

(RUU), sedangkan DPR lah yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.

Dengan demikian kekuasaan utama membuat undang-undang yang semula ada di

tangan Presiden beralih kepada kekuasaan legislatif yang sesungguhnya yaitu DPR.

Dalam soal pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi, Presiden tidak lagi

berwenang penuh. Menurut Pasal 14 perubahan UUD 1945, untuk memberikan grasi

dan rehabilitasi, Presiden memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).

Untuk memberikan amnesti dan abolisi, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.

Selanjutnya Pasal 11 ayat (2) yang tidak ada dalam naskah asli UUD 1945, juga

mempertegas bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainya yang

menmbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan

beban keuangan negara dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-

Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedang ketentuan lebih

lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-Undang Pasal 11 ayat (3),

ini tentunya melibatkan peran DPR juga. Demikian pula dalam pengangkatan dan

penerimaan duta, sekarang Presiden harus terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan

DPR. Adapun untuk penerimaan duta yang harus memperhatikan DPR banyak

mendapat kritik oleh beberapa kalangan karena dinilai terlalu berlebihan.

Hubungan Presiden dengan DPR juga dipertegas dalam Pasal 7C perubahan

UUD 1945 bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR.
Namun lain halnya dengan Presiden, pada Pasal 7A diterangkan bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan pada masa jabatannya oleh MPR atas usul

DPR. Hal demikian apabila Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum

berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela maupu apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagi Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

Adapun beberapa hak mutlak Presiden yang tercantum dalam konstitusi,

berdasarkan ketentuan yang baru implementasi kekuasaan prerogratif itu dikaitkan

dengan peran dan fungsi DPR. Ada yang ditentukan harus disetujui DPR, ada yang

harus mendapat pertimbambangan oleh DPR, atau adapula pelaksanaannya

ditentukan harus diatur terlebih dahulu dengan Undang-Undang yang tentunya

melibatkan peran DPR.

Sedangkan agenda pemerintah yang membutuhkan DPR sebagai lembaga yang

memberikan persetujuaan dan pertimbangan itu, antara lain (i) Presiden dalam membuat

perjanjian internasional yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat ( Pasal

11 ayat 2), (ii) peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Pasal 22 ayat 2), (iii)

pengankatan duta (Pasal 13 ayat 2), (iv) penerimaan penempatan duta negara lain (Pasal

13 ayat 3) (v) pemberian amnesti dan abolisi (Pasal 14 ayat 2) (vi) pengangkatan dan

pemberhetian Kapolri (Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000), (vii) Pengankatan dan

Pemberhentian Panglima TNI (Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000).44

Disamping itu untuk melaksanakan peran dan tugasnya, perubahan UUD 1945

juga memberikan DPR berbagai fungsi, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan

fungsi pengawasan yang tercantum pada Pasal 20A ayat (1). Sedangkan untuk

44
Ibid, hlm 48.
melaksanakan fungsinya dalam Pasal 20A ayat (2) DPR mempunyai hak interpelasi, hak

angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu ayat (3) dalam pasal yang sama

menyebabkan setiap anggota DPR mempunyai hak mcngajukan pertanyaan,

meyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.

Dengan berbagai hak yang dimiliki DPR jelaslah bahwa secara legal formal

Perubahan UUD 1945 telah memberikan kedudukan kuat kepada DPR untuk selalu

melakukan pengawasan kepada Presiden. Penyimpangan kebijakan yang dilakukan oleh

pemerintah akan selalu terkontrol dengan mempertanyakan melalui hak iterpelasi

misalnya dan lain sebagainya.

Dengan demikian Perubahan UUD 1945 ini telah menjadikan DPR kuat dan

sejajar dengan segala kewenagannya untuk berhadapan dengan Presiden. Hal demikian

wajar karena tugas DPR sebagi lembaga perwakilan menjadi alat kontrol bagi Presiden

sebagi penggerak roda pemerintahan. Kekuasaan yang dimiliki DPR telah dicantumkan

dalam UUD 1945 yang merupakan the suprime law of the land. Artinya, apa yang

dilakukan oleh DPR telah mempunyai legitimasi konstitusional. Hal ini seharusnya

menjadikan DPR lebih berani dalam melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.

Besarnya kekuasaan DPR hendaknya dipahami sebagi upaya untuk mewujudkan checks

and balances serta menciptakan pemeritahan yang bersih.

Tapi harus di ingat pada sejarah supremasi di tangan eksekutif yang tanpa

pengawasan telah menghasilkan pemeritah yang sentralis dan otoriter. Hal ini

hendaknya menjadi dasar pemahaman bahwa memberi kekuasaan atau memberi

supremasi kepada DPR tampa adanya pengawasan hanya akan mengulang sejarah masa

lalu yang buruk.


C. Tentang Lembaga Perwakilan di Indonesia

Dalam pemahaman demokrasi ada yang dilaksanakan secara langsung (direct

democracy) dan ada juga demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Namun

dengan melihat pertumbuhan masyarakat dengan segala perkembangannya serta

pemerintahan dalam suatu wilyah tidak lagi seperti polis-polis di jaman Yunani kuno,

tapi sudah berkembang menjadi negara yang luas berbentuk kesatuan ataupun federal

yang terdiri dari negara bagian-bagian. Bahkan pada jaman pasca kolonial ini banyak

negara-negara bekas jajahan yang merdeka membentuk negara bangsa (nation state).

Maka kecuali Swiss yang menerapkan direct democracy, keinginan untuk menerapkan

demokrasi secara langsung sepertinya akan sulit diterapkan bahkan dapat dikatakan

mustahil.

Sedangkan yang dimaksud dengan indirect democracy adalah suatu demokrasi

di mana kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan

melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat.45 Dengan demikian indirect democracy

adalah demokrasi dengan sistem perwakilan, artinya rakyat memilih seseorang yang

dipercaya untuk mewakili.

Sehubungan dengan dianutnya demokrasi tidak langsung sebagimana

dikemukakan di atas, kita mengenal dua macam sistem lembaga perwakilan yaitu :

1. Sistem dua kamar (bicameral system)

2. Sistem satu kamar (one bicameral system)46

1. Sistem Bikameral

45
Sri Sumantri. Tentang Lembaga-Lembaga negara menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993, hlm 27
46
Ibid
Sistem ini pada umumnya dianut dan dilaksanakan di dalam negara-negara yang

berbentuk federal atau pemerintahanya berbentuk kerajaan antara lain Inggris, Belanda,

Kekaisaran Jepang dan Amerika Serikat. Namun di samping dianut di dalam negara-

negara yang berbentuk kerajaan dan federal, bukan berarti negar-negara yang berbentuk

kesatuan tidak menganut Sistem ini. Republik Perancis, dalam Pasal 24 Kontstitusinya

menentukan, bahwa parlemennya terdiri dari Nasional Assembly dan Senate. Apabila

Nasional Assembly anggota-anggotany dipilih oleh rakyat Prancis di dalam pemilihan

umum secara langsung, sesuai dengan jumlah penduduk dan warga negaranya, maka

anggota-anggo Senate dipilih secara tidak langsung oleh kesatuan-kesatuan yang

dinamakan Comunals dan Depertments.47

Dalam UUD 1945 setelah perubahan berhasil merumuskan keberadaan

perwakilan di Indonesia menjadi dua kamar. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan "Majelis

Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut oleh Undang-

Undang \ Dengan adanya lembaga perwakilan yang terdiri dari DPR dan DPD maka

untuk pertama kalinya di introdusir sistem bikameral dalam Sistem perwakilan politik

di Indonesia.

Namun demikian terhadap dua kamar di MPR sekarang ini masih terdapat

perbedaan penafsiran. Adapun keberadaan dua lembaga DPR dan DPD itu merupakan

konsep bikameral yang sesungguhnya diperlukan telaah lebih lanjut Beberapa kalangan

berpendapat Sistem bikameral yang kita anut adalah Sistem bikameral lunak (soft

bicameral), sistem bikameral terbatas, week bicameral, dan sebaginya.

47
Ibid, hlm.27&29
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar yang juga anggota

PAH I Badan Pekerja (BP) MPR Theo L Sambuaga, sistem MPR yang dianut adalah

sistem bikameral yang lunak (soft bicameral). Lebih lanjut dikatakan sistem perwakilan

yang selama ini dinilai agak sentralislistis supaya lebih demokratis dan desentralisasi,

maka diperlukan ada perwakilan dua kamar tetapi lunak. Dalam sistem ini fungsi

legislasi dan pengawasan DPD tidak sama dengan DPR. DPD tidak membentuk

Undang-Undang karna kekuasaan membentuk Undang-Undang ada pada DPR.

Kemudian ada sistem checks and balances, dan lewat DPD, daerah punya kontnbusi

dalam perumusan kebijakan nasional.48

Sedangkan menurut Dahlan Thaib,49 sistem bikameral yang digariskan dalam

UUD 1945 setelah perubahan masih bukan bikameralisme murni yang menjamin

adanya keseimbangan atau checks and balances antara dua kamar di parlemen yakni

DPR dan DPD. Wewenang DPD lebih lemah dibandingkan dengan wewenang DPR.

DPD hanya memiliki hak legislasi dan pembahasan dalam hal-hal yang berkaitan

dengan otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan antara pusat dan daerah (Pasal 22D

ayat 1 dan 2). Maka untuk mempertahankan akutabilitas horizontal dan menjamin

keterwakilan suatu daerah, maka seharusnya DPD diberi kewenangan yang sejajar

dengan DPR, sehingga wakil daerah pun dapat memberikan suaranya mengenai

persoalan-persoalan nasional.

2. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)


48
Kompas, Op Cit.
49
Dahlan Tahib, “Telaah Kritis Nilai Substansi Amandemen Konstitusi; Prespektif Masyarakat Politik dan
Hukum, “Makalah, disampaikan dalam seminar, Amandemen Konstitusi dalam setting Indonesia Baru
Menuju Reformasi Jilid 2, KM UGM, Yogyakarta, 29 Juni 2002, hlm 5.
Terlepas dari perdebatan diatas keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

merupakan suatu kenyataan dan telah memberikan warna baru bagi Sistem perwakilan

kita dengan segala wewenang dan tugasnya yang terbatas.

Pengaturan tentang Dewan Perwakilan Daerah sendiri diatur dalam UUD 1945

dan perubahannya yaitu pada Pasal 22C dan 22D. Dikatakan pada Pasal 22C ayat (1)

DPD dipilih dari tiap provinsi melalui pemilihan umum. Pasal 22C ayat (2) jumlah

arggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD

tidak lebih dari sepertiga jumlah DPR. Kemudian menurut 22C ayat (3) DPD dalam

bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Dalam ayat (4) pasal yang sama susunan dan

kedudukan DPD diatur oleh Undang-Undang.

Selanjutnya sesuai Pasal 22D ayat (1), DPD juga berwenang mengajukan

rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR yang terbatas pada hal-hal yang

berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukan dan pemekarai

serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Pada

Pasal 22D ayat (2) DPD juga ikut membahas RUU yang terkait hal-hal diatas, serta

DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Pasal 22D ayat (3) mengatur DPD dapat melakukan pengawasan atas

Pelaksanaan berbagai undang-undang yang telah disebutkan diatas, dan menyampaikan

hasil pengawasannya kepada DPR sebagi bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.

Kemudian yang Pasal 22D ayat (4) menjelaskan bahwa angota DPD dapat

diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-

undang.
Dengan keberadaan DPD sebagi wakil politik daerah sedangkan DPR mewakili

kepentingan politik nasional maka Sistem lembaga pervvakilan kita kira-kira mirip

dengan sistem bikameral di Amerika Serikat (AS). Parlemen AS adalah kongres yang

terdiri atas Senat yang dipilih di setiap negara bagian dan House of Representatives

dipilih melalui populasi penduduk negara Amerika Serikat. Adapun keberadan DPD

sebagi lembaga perwakilan daerah, berfungsi untuk menyalurkan kepentingan-

kepentingan daerah, ikut mengawasi, membahas serta memberikan masukan-masukan

kepada DPR terhadap produk undang-undang yang mempunyai implikasi terhadap

Pembangunan yang ada di daerah

D. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

1. Pengaturan DPR Setelah Perubahan UUD 1945

Di dalam perubahan UUD 1945 pengaturan tegas mengenai Dewan Perwakilan

Rakyat dapat dilihat dalam Bab VII. Perubahan mendasar terjadi pada kekuasaan

Dewan Perwakilan Rakyat terutama dalam bidang legislasi dan bidang pengawasan.

Lebih lanjut mengenai pengaturan tehadap lembaga perwakilan tersebut dapat dilihat

dalam pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 19 ayat (1) “Anggota Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”.

(2) “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan Undang-

Undang”

(3) “Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam

setahun”.

Pasal 20 ayat (1) “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

undang- undang”.
(2) “Setiap rancangan Undang-Undang dibahas Dewan Perwakilan

Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.

(3) “Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan

bersama, rancangan Undang-Undang tidak boleh diajukan lagi

dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”.

(4) “Presiden mengesahakan rancangan Undang-Undang yang telah

disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang”.

(5) “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui

bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga

puluh hari semenjak rancangan Undang-Undang tersebut

disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi

Undang-Undang dan wajib diundangkan”.

Pasal 20A ayat(1) “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi

anggaran dan fungsi pengawasan “.

(2) Dalam melaksanakan fungsi nya, selain diatur dalam pasal-pasal

lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat

mempunyai hak iterpelasif hak angket, dan hak

menyatakan pendapat”.

(3) “Selain yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar

ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak

mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta

hak imunitas”.
(4) “Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat

dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-

undang”.

Pasal 21 ayat (1) “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul

rancangan Undang-Undang”.

Pasal 22 ayat (1) “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah sebagi pengganti Undang-

Undang”.

(2) “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”.

(3) “Jika tidak mendapat persetujuan maka peraturan pemerintah itu

harus dicabut”.

Pasal 22A

"Ketentuan lebih lanjut tentang tentang tata cara pembentukan Undang-Undang

diatur dengan Undang-Undang "

Pasal 22B

“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang

syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam Undang-Undang”.

Selain pada Bab VII pengaturan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat juga

terdapat pada Pasal 23 perubahan UUD 1945 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara.

Pasal 23 ayat (1) “Aggaran pendapatan dan belanja negara sebagi wujud dari
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan

Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan

bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat"

(2) “Rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja

negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan

Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan

Perwakilan Daerah”.

(3) “Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui

rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang


diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu”50

Dari beberapa ketentuan tentang Dewan Perwakilan Rakyat sebagi mana

dirumuskan dalam perubahan UUD 1945, dapat di simpulkan bahwa perumusam UUD

1945 setelah perubahan banyak memberi peluang kepada Dewan Perwakilan Rakyat

yang memungkinkan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melaksanakan apa yang

diharapkan dari pembuatnya juga dari rakyat, untuk berperan lebih besar di parlemen.

Tentang harapan itu tentunya agar Dewan Perwakilan Rakyat lebih mandiri, lebih

berani, dan lebih dapat memanfaatkan fungsi dan hak-hak konstitusionalnya.

2. Kedudukan, Fungsi, dan Wewenang DPR.

Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kuat, ini ditegaskan dalam

perubahan UUD 1945 tercantum dalam Pasal 7C yang menyebutkan "Presiden tidak

dapat membekukan dan atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat” Hal ini sesuai

dengan prinsip presidensial sebagi sistem pemerintahan Indonesia yang dipertahankan

dan lebih disempurnakan dalam perubahan UUD 1945. Presiden dan DPR dipilih

langsung oleh rakyat, sehingga keduanya memiliki legitimasi yang sama dan kuat serta

masing-masing tidak bisa saling menjatuhkan.

Selain ditentukan dalam UUD 1945 dan perubahannya, ketentuan fungsi dan

wewenang DPR juga diatur dalam Tata Tertib DPR NO. 16/ DPR RI/1/1999-2000

dalam Pasal 4, disebutkan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tugas dan wewenang

untuk melaksanakan pengawasan terhadap :51

50
Lihat UUD 1945 setelah perubahan
51
Lihat Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 1999-2000
1. Pelaksanaan UU

2. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

3. Kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan ketetapan MPR

Kemudian untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut sebagai mana

di maksud dalam pasal 4 ayat (1), DPR dalam pasal 10 Tata Tertib DPR

mempunyai beberapa hak, yaitu :

a. Meminta keterangan kepada presiden

b. Mengadakan penyelidikan

c. Mengadakan perubahan terhadap rancangan Undang-Undang

d. Mengajukan pernyataan pendapat

e. Mengajukan rancangan Undang-Undang

f. Mengajukan mengajurkan seseorang untuk jabatan tertentu jika

ditentukan oleh suatu peraturan Perundang-undangan

g. Menentukan anggaran DPR

h. Memanggil seseorang

Selain dari Tata Tertib DPR NO. 16/DPR RI/1/1999-2000 yang lebih lanjut

mengatur tugas dan wewenang DPR, serta hak-hak yang dimiliki oleh DPR, hal serupa

juga terdapat dalam UU NO. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR,

dan DPRD, yang dapat dilihat pada Pasal 33 ayat (2), yakni sebagai berikut :52

(2) Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tugas dan wewenang :

a. Bersama-sama dengan presiden membuat UU

b. Bersama-sama dengan presiden menetapkan APBN

c. Melaksanakan pengawasan terhadap:

52
Lihat UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD
1. Pelaksanaan undang-undang

2. Pelaksanaan APBN

3. Kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan

ketetapan MPR

d. Membahas hasil pemeriksaan atas pertanggung jawaban keuangan

negara yang diberitahukan Badan Pemeriksa Keuangan, yang

disampaikan dalam rapat paripurna DPR, untuk dipergunakan sebagai

pengawasan

e. Membahas untuk meratifikasi dan/atau memberi persetujuan atas

pernyataan perang serta pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan

negara lain yang dilakukan oleh presiden

f. Menampung dan menindak lanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat

g. Melaksanakan hal-hal yang ditegaskan oleh ketetapan MPR dan/atau

undang-undang kepada DPR

Kemudian dalam ayat (3) pada Pasal yang sama dan Undang-Undang yang sama

menyebutkan, bahwa :

(3) Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagimana dimaksud dalam ayat

(20), DPR mempunyai beberapa hak :

a. Meminta keterangan kepada presiden

b. Mengadakan penyelidikan

c. Mengadakan perubahan atas Rancangan Undang-Undang

d. Mengajukan pernyataan pendapat

e. Mengajukan Rancangan Undang-Undang


f. Mengajukan/menganjurkan seseorang untuk jabatan tertentu jika

ditentukan oleh suatu peraturan Perundang-undangan

g. Menentukan anggota DPR

Dengan fungsi, tugas dan wewenang serta hak yang dimiliki oleh DPR sebagai

mana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945, Pasal 4 dan 10 peraturan Tata Tertib DPR No.

16/DPR RI/1/1999-2000 dan pasal 33 ayat (2) dan (3) UU No.4 Tahun 1999, maka

sebagai bentuk tanggung jawab sebagai wakil rakyat, DPR senantiasa dapat melakukan

atau selalu mengawasi penyelenggaraan pemerintah.

Kemudian apabila kita analisis dari sekian banyak pasal-pasal dalam UUD

setelah perubahan yang menyangkut mengenai tugas pokok dari Dewan Perwakilan

Rakyat, juga dalam UU No.4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR,

DPRD, dipertegas lagi oleh Tata Tertib DPR No. 16/DPR/RI/l999-2000. dari wewenang

dan tugas DPR diatas maka dapat dirumuskan bahwa DPR mempunyai tugas pokok

sebagi berikut.

1. Fungsi di bidang pembuatan Undang-Undang (legislasi).

2. Fungsi di bidang anggaran (bageter).

3. Fungsi di bidang pengawasan.

Berikut peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam ketiga fungsinya tersebut

disertai dengan perubahan-perubahan yang dilakukan.

1.a. Fungsi di Bidang Pembuatan Undang-Undang (Legislasi)

Salah satu pilar pemerintah yang demokratis adalah menjunjung tinggi

supermasi hukum. Supermasi hukum dapat terwujud apabila di dukung oleh perangkat

peraturan Perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses legislasi. Oleh karena

itu, fungsi legislasi DPR dalam proses demokrasi sangatlah penting.


Menurut ketentuan konstitusi rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan

dibahas di DPR dapat berasal dari pemerintah dan dapat pula berasal dari DPR sebagai

RUU usul inisiatif. Untuk masa yang akan datang jumlah RUU yang berasal dari

inisiatif DPR diharapkan akan semakin banyak. Hal ini merupakan bagian penting

dari komitmen reformasi hukum nasional dan pemberian peran yang lebih besar kepada

DPR secara konstitusional dalam pembuatan undang-undang.

Peningkatan peran tersebut merupakan hasil dari perubahan UUD 1945. dalam

naskah asli UUD 1945 hak membuat undang-undang berada pada Presiden "Presiden

memegang kekuasaan membentuk undang-undang" (Pasal 5 ayat 1). Dari hasil

perubahan hak tersebut bergeser dari Presiden kepada DPR dan rumusan tersebut

dituangkan dalam perubahan UUD 1945 dalam Pasal 20 ayat (1) menyebutkan "DPR

memegang kekuasaan membentuk undang-undang".

Namun demikian kinerja dan produktifitas DPR dalam pembuatan undang-

undang dirasakan masih kurang. Tercatat rancangan undang-undang yang dibahas di

DPR Sebagian besar berasal dari pemerintah, sedangkan RUU usul inisiatif DPR sangat

lah minim sekali. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja dalam bidang legislasi

sebaiknya DPR tidak terjebak pada fungsi pengawasan saja yang pada akhirnya

menelantarkan fungsi legislasi.

2.a. Fungsi di Bidang Anggaran (Budgeter)

Untuk menjalankan fungsi pokok Dewan Perwakilan Rakyat di bidang anggaran

diatur dalam Pasal 23 perubahan UUD 1945. Ditegaskan bahwa Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN) ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. Kedudukan

DPR dalam APBN sangatlah kuat, karena apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak
menyetujui anggaran yang diusulkan oleh pemerintah, maka pemerintah menjalankan

anggaran tahun lalu.53

3.a. Fungsi di Bidang Pengawasan.

Tidaklah berlebihan, apabila rakyat Indonesia di semua tinggkatan

memprediksikan potret DPR di era reformasi ini mengalami perubahan yang sangat

signifikan. Perubahan UUD 1945 telah menggeser pradigma dari exsecutive heavy

menjadi legislative heavy.

Pada dasa warsa yang lalu, peraktek ketatanegaraan lebih di dominasi oleh peran

eksekutif atau pemerintah. Terlebih dominasi kekuasaan eksekutif pada waktu itu

mendapat legitimasi secara konstitusional, hal ini terlihat pada pasal-pasal dalam UUD

1945 sebelum diadakan perubahan.54 Pada Pasal 4 ayat (1) naskah asli UUD 1945

menyatakan "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut

Undang-Undang Dasar". Begitu pula kalau dilihat penjelasan umum angka IV

ditegaskan bahwa " Dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat Presiden ialah

penyelenggara pemerintahan tertinggi. Dalam menjalankan Pemerintahan negara,

kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan Presiden (comentration of power and

responsibility upon the president)55 Kemudian Pasal 5 ayat (1) Presiden membentuk

undang-undang bersama DPR, Presiden juga dapat menetapkan Peraturan Pemerintah

untuk menjalankan Undang-Undang (Pasal 5 ayat 2). Menurut pasal 10 Presiden

memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan

Udara. Pasal 11 Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian

dengan negara lain, dengan persetujuan DPR. Sedangkan Pasal 12 disebutkan Presiden
53
Dahlan Tahib. DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Libertty, Yogyakarta, 2000, hlm 96
54
Y. Hartono, Artikel, SI: Dari Supermasi Eksekutif ke Supermasi Legislatif ?, www. google. com
55
Dahlan Thaib Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, UUP AMP YKPN, Yogyakarta, 1990, hlm 79
dapat menyatakan keadaan bahaya menurut sarat-sarat yang ditetapkan undang-undang.

Pasal 13 Presiden mengangkat duta dan konsul, serta pada Pasal 14 Presiden memberi

grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasai. Dan Pasal 15 disebutkan Presiden memberi

gelar, tanda jasa dan lain-lain.56 Dominasi kekuasaan eksekutif semakin bertambah

ketika dengan kekuasaanya melakukan monopoli penapsiran terhadap Pasal 7.

Penapsiran ini menimbulkan implikasi yang sangat luas karna Presiden dapat dipilih

kembali untuk masa yang tidak terbatas.57

Dengan diadakan perubahan terhadap UUD 1945 kini peran itu mulai bergeser

dan berubah. Meskipun Presiden masih memegang kekuasaan pemerintah, tetapi

dengan adanya pergeseran ini, Presiden tidak lagi mempunyai kekuasaan di bidang

legislasi, sebab kekuasan tersebut sekarang ada pada tangan DPR. Pasal 20 ayat (1)

menyebutkan "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-

undang". Sedangkan Presiden hanya mempunyai hak mengajukan rancangan undang-

undang saja.

Dalam kontek pengawasan, perubahan dan pergeseran tersebut terlihat dengan

dicantumkanya fungsi pengawasan sebagi the orginal power DPR dalam perubahan

UUD 1945 dan melalui berbagi perturan Perundang-undangan yang dihasilkan. Pasal

20A ayat (1) DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Kemudian untuk melaksanakan fungsinya, sebagi mana dijelaskan pada Pasal 20A ayat

(2), DPR memiliki hak anggket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat Serta

pada ayat (3) pasal yang sama setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan

pertanyaan, hak menyatakan usul dan berpendapat sekaligus hak imunitas.

56
Lihat Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1977, hlm 199-200
57
Y.Hartono, Op Cit
Perubahan UUD 1945 telah memberikan peran yang kuat kepada DPR dalam

melaksanakan fungsi pengawasan. Pengawasan yang dilakukan DPR dalam

menjalankan pemerintahan, merupakan bagian dari sistem dalam kehidupan

ketatanegaraan dan kebangsaan yang mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi. Disaat

yang bersamaan situasi masyarakat yang berkembang demikin cepat dan kepercayaan

yang demikian besar untuk menggantungkan harapan serta kepentingan-kepentingannya

kepada lembaga perwakilan, kemudian gejala demikian disambut oleh DPR sebagai

salah satu lembaga perwakilan dengan meningkatkan kinerjanya dalam pelaksanan

fungsi kontrol atau pengawasan kepada pemerintah. Pelaksanaan fungsi pengawasan

dilakukan melalui mekanisme penggunaan beberapa hak yang pada sebelumnya tidak

digunakan seperti hak interpelasi ataupun hak angket. Melalui hak interpelasi, Presiden

diminta untuk memberikan keterangan atau klarifikasi atas kebijakannya. Sedangakan

melalui hak angket, DPR melakukan penyelidikan terhadap peryeimpangan penggunaan

dana-dana yang digunakan oleh Persiden.

Pengawasan DPR juga dilakukan melalui keterlibatan DPR dalam proses

pemilihan pejabat-pejabat publik yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan

Perubahan UUD 1945 dan Undang-Undang lainya. Dalam hal pengangkatan duta,

penempatan duta negara lain, pemberian amenesti, abolisi, Presiden harus

mendengarkan pertimbangan DPR. Kemudian dalam hal pengangkatan Dewan

Gubernur Bank Indonesia (UU No.23 Tahun 1999), pengangkatan dan pemberhentian

panglima TNI (Tap MPR No. IV/MPR/2000), pengankatan dan pemberhentian Kapolri

(Tap MPR No. IV/MPR/2000).

Selanjutnya tugas DPR dalam fungsi pengawasan lainnya adalah menindak

lanjuti hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23E). Tugas ini merupakan
suatu bentuk sikap pro-aktif DPR untuk mendorong penyelesaian kasus-kasus penyalah

gunaan keuangan negara.

Pada akhirnaya peningkatan peran DPR dalam bidang pengawasan bagian dari

upaya untuk menerapkan mekanisme checks and balances untuk menuju pemerintahan

yang demokratik. Hal ini mengharuskan DPR untuk bekerja optimal demi

melaksanakan fungsi-fungsi konstitusionalnya, dengan memanfatkan hak-haknya secara

maksimal.

E. Pengangkatan Duta Besar Setelah Perubahan UUD 1945.

Dalam pengangkatan duta yang akan ditempatkan di negara lain, Presiden

terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan DPR. Hal ini diatur dalam perubahan

UUD 1945 pada Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan "Dalam pengangkatan duta,

Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat". Ini

memungkinkan partisipasi DPR dalam pengangkatan duta, sehingga kekuasaan untuk

mengangkat duta tidak semata-mata hak prerogratif Presiden. Namun juga merupakan

hak DPR dalam fungsi pengawasan untuk mempertimbangkan setiap duta yang akan

ditempatkan di negara sahabat yang tentunya akan membawa kepentingan negara

berarti juga kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Adapun mekanisme pembahasan calon Duta Besar Republik Indonesia untuk

negara sahabat tertuang dalam Keputusan Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI

tanggal 23 Mei & 29 Agustus 2002 sebagai berikut:

1. surat mengenai pencalonan Duta Besar Republik Indonesia untuk Negara-

negara yang disampaikan oleh Presiden, setelah diterima oleh Pimpinan


Dewan, segera diberitahukan/diumumkan dalam Rapat Paripurna tanpa

menyebutkan nama negara penerima/pengirim

2. Hasil pembahasan Komisi I dilaporkan kepada Pimpinan Dewan untuk

selanjutnya disampaikan kepada Presiden secara rahasia.58

Terlepas dari hal itu ketentuan Pasal 13 ayat (2) tersebut menimbulkan polemik

dalam tingkat penafsiran. Bagi DPR Pasal ini dijadikan dasar untuk melakukan dengar

pendapat melalui penilaian uji visi dan misi kepada calon duta besar (dubes) yang

dipilih Presiden. Namun kemudian DPR lewat Komisi I membuat kreteria untuk

memperitimbangkan keabsahan seorang calon dubes. Kreteria tersebut diantaranya. 59

Pertama, soal umur. Kedua, kemampuan diplomasi seorang diplomat. Ketiga,

penampilan calon dubes. Keempat, kemampuan calon dalam mempersentasikan visi dan

misi. Kelima, pengetahuan materi politik luar negeri dan pengetahuan tentang negara

yang dituju. Dari keteria tersebut dapat dijadikan acuan bagi lulus atau tidaknya calon

dubes. Sedangkan bagi Presiden menganggap bahwa peran DPR hanya untuk

mengesahkan calon dubes yang dipilihnya.

Pengaturan lain tentang Duta Besar RI bisa dilihat dalam UU No. 37 Tahun

1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Pasal 6 menyebutkan kewenangan

penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan Pelaksanaan Politik Luar Negeri berada

ditangan Presiden. Presiden dapat melimpahkan kewenangan tersebut kepada Menteri.

Sedangkan dalam Pasal 29 dalam Undang-Undang yang sama menyebutkan Duta Besar

Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di angkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan

58
Keputusan Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI Tanggal 23 Mei & 29 Agustus 2002, mengenai
Penyempurnaan Mekanisme Pemberian Pertimbangan DPR RI terhadap Pencalonan Duta Besar Negara-
negara Sahabat untuk Republik Indonesia dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Negara-negara
Sahabat
59
Kompas, 24 Juni 2002
merupakan wakil negara dan bangsa serta menjadi wakil pribadi Presiden Republik

Indonesia.60

Dalam kontek yang lain namun masih terkait dengan keberadaan Dubes RI

sebagi wakil diplomatik dari negara serta mewakili kepentingan nasional bangsa

Indonesia. Untuk itu guna memulihkan kepercayaan pihak manca negara atas berbagai

situasi multikrisis yang dialami bangsa, ada baiknya dapat kita perhatikan pula Tap

MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2000

pada Bab IV mengenai Arah Kebijakan Hubungan Luar Negeri. Pada huruf c

menyebutkan "Meningkatkan kualitas dan kinerja aperatur luar negeri agar

mampu melakukan diplomasi pro-aktif dalam segala bidang untuk membangun citra

positif Indonesia di dunia internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan

terhadap warga negara dan kepentingan Indonesia, serta memanfaatkan setiap

peluang positif bagi kepentingan nasional". Sedangkan Pada huruf d disebutkan

Meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan

Pembangunan nasional, melalui kerjasama ekonomi regional maupun internasional

dalam rangka setabilitas, kerja sama dan Pembangunan kawasan.61

Bertitik tolak pada Tap MPR No. IV/MPR/1999, adapun peningkatan kualitas

kinerja aperatur luar negeri dalam hal ini calon Dubes RI untuk ditempatkan disuatu

negara sangatlah perlu dan penting, guna mampu melakukan diplomasi pro-aktif dalam

segala bidang untuk mengangkat dan membangun citra Indonesia di dunia internasional.

Calon Dubes RI pun harus mempunyai kualitas diplomasi, baik pemahaman maupun

pengalaman dalam bidang diplomasi. Hal ini untuk mepercepat pemulihan ekonomi dan

Pembangunan nasional serta berbagai krisis yang dihadapi.

60
Lihat UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
61
Lihat Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004
Menurut Hasjim Djalal sebagai mantan Dubes RI berpendapat bahwa Tap MPR

No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004 mengenai Arah Kebijakan Hubungan

Luar Negeri dapat dijadikan visi dan misi diplomasi Indonesia. Sedangkan mantan

Menlu Ali Alatas pernah menggariskan kreteria bagi diplomasi Indonesia, yaitu teguh

dalam pendirian dan prinsip namun luwes dalam pendekatan, efektif dan dinamis

menuju sasaran, senantiasa mencari keharmonisan/keserasian antara negara, menjauhi

konfrontasi/politik kekerasan, menjembatani kepentingan yang saling berbeda,

memperbanyak kawan dan mengurangi lawan, didukung profesionalisme yang tangguh

dan tanggap, aktif, kreatif, dan asertif.

BAB III
PERAN DPR DALAM PROSES PENGANGKATAN DUTA BESAR RI

SETELAH PERUBAHAN UUD 1945

A. Menguatnya Kekuasaan DPR dalam Fungsi Pengawasan.

Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR bermakna besar dan

meluas bagi penyelenggaraan tatanan kehidupan bernegara secara beradab dan

demokratis. Penyempurnaan arti pemisahan kekuasaan (separation of power) dan

pembagian kekuasaan (distribution of power) sebagai pijakan penyelenggaraan negara,

pengembalian makna kedaulatan kepada rakyat sepenuhnya, serta pengaturan secara

lengkap terhadap hak asasi manusia dalam UUD, telah menjadikan identitas bangsa

Indonesia sebagi negara hukum, negara konstitusional, dan negara yang berkedaulatan

rakyat atau negara demokrasi.

Di dalam negara yang menganut sistem demokrasi keberadan lembaga

perwakilan hadir sebagi suatu keniscayaan. Keberadaan DPR sebagi salah satu lembaga

perwakilan di Indonesia merupakan komponen pokok dalam politik dan kekuasaan yang

hadir sebagi bentuk kristalisasi dari kehendak rakyat serta penyalur aspirasi rakyat,

dengan memiliki fungsi dalam tiga wilayah yakni; fungsi legislasi atau pembuatan

Undang-Undang, fungsi penyusunan anggaran, dan fungsi pengawasan jalannya

pemerintahan.

Dalam UUD 1945 setelah perubahan fungsi DPR tersebut semakin dipertegas

dengan lebih menguatkan peran DPR dalam fungsi legislasi dan fungsi pengawasan.

Kenyatan in terlihat dari keberadaan Presiden yang tidak lagi memegang kekuasaan

dalam membuat Undang-Undang melainkan sudah berpindah tangan menjadi kekuasaan

DPR. Presiden hanya mempunyai hak saja untuk mengajukan rancangan Undang-
Undang. Akan tetapi apabila mengkaji perubahan itu dengan teori trias politica dari

Montesquieu dimana lembaga legislatif merupakan pemegang kekuasaan dalam bidang

legislasi, maka perubahan UUD 1945 kecil artinya. Kranenburg 62 menjabarkan trias

politika dalam dua arti yaitu : functie (fungsi) dan orgaan (badan atau lembaga).

Berdasarkan pendapat itu maka, yang bergeser adalah functie-nya., sedangkan orgaan

pembantuk Undang-Undang tetap sama yaitu, DPR dan Presiden.

Sedangkan dalam fungsi pengawasan perubahan kekuasaan itu semakin nampak

dengan diberikan hak-hak kepada DPR guna menjalankan fungsi pengawasannya, hak-

hak tersebuat yaitu; hak angket, hak iterpelasi, dan hak menyatakan pendapat.

Kemudian bagi anggota DPR diberikan hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan

usul dan berpendapat serta sekaligus hak imunitas. Pengawasan DPR juga terlihat dari

berbagai kebijakan dan agenda-agenda pemerintah yang terkait dengan peran dan

fungsi DPR. Ada yang melalui persetujuan, pertimbangan serta adapula yang

pelaksanaannya ditentukan dengan dibuatnya Undang-Undang yang tentunya

melibatkan peran DPR.

Pengawasan DPR juga dilakukan melalui keterlibatan DPR dalam proses

pemilihan dan pengangkataan pejabat-pejabat publik yang ditetapkan oleh pemerintah

berdasarkan perubahan UUD 1945 dan undang-undang lainnya. Dalam pengangkatan

duta dan penempatan duta negara sahabat, pengangkatan Gubernur BI, pengangkatan

dan pemberhentian panglima TNI serta pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus

terlebih dahulu melalui pertimbangan dan persetujuan DPR.

62
Kranenburg dalam A. Hamid S. Attamimi, Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV Desertasi Doktor, Universitas Indonesia,
1990, hlm 166.
Untuk pengangkatan duta yang akan ditempatkan pada negara sahabat Presiden

terlebih dahulu meminta pertimbangan DPR. Ketentuan demikian adalah isyarat dari

pasal 13 ayat 2 perubahan UUD 1945, dimana dalam pengangkatan duta besar tidak lagi

hak prerogratif Presiden sepenuhnya tetapi juga hak dari DPR untuk melaksanakan

fungsi pengawasan dan kotrolnya terhadap pemerintah untuk selanjutnya memberikan

pertimbangan kepada setiap calon duta besar yang diajukan oleh pemerintah. Duta besar

sebagi wakil negara guna melakukan tugas hubungan dan politik luar negeri dengan

membawa serta kepentingan bangsa yang juga kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Adapun DPR sebagi lembaga perwakilan yang dijadikan tempat untuk menyalurkan

setiap kepentingan rakyat, dianggap penting agar memberikan pertimbangan terhadap

dubes yang akan bertugas untuk menjalin hubungan dan kerjasama di negara sahabat.

Kiranya dengan kenyataan diatas dapat dikatakan perubahan UUD 1945 telah

meberikan kekuasaan yang besar kepada DPR sebagi lembaga perwakilan, terutama

dalam fungsi pengawasanya. Kcmudian perubahan juga telah menggeser pradigma dari

executive heavy menjadi legislative heavy. Hal ini dapat diperhatiakan dari reduksi

kekuasaan dalam ketentuan pasal-pasal mengenai Presiden. Sebaliknya terjadi

penguatan kekuasaan dalam ketentuan pasal-pasal mengenai DPR.

B. Pertimbangan DPR dalam Pengangkatan Duta besar RI Sebagi Pelaksanan

Fungsi Pengawasan terhadap Presiden (Pemerintah).

1. Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DPR.

Kalau kita kaji secara seksama pasal-pasal dalam perubahan UUD 1945 yang

mengatur fungsi DPR dapat dikatakan bahwa, DPR mempunyai tugas yang penting di

bidang Ketatanegaraan Indonesia. Secara implisit telah tercantumkan adanya 3 (tiga)


fungsi yang dimiliki oleh DPR. Fungsi yang diamanatkan dalam konstitusi Indonesia itu

antara iain; fungsi membentuk Undang-Undang, fungsi pengawasan, dan fungsi

anggaran. Ismail Suny63, membagi pengawasan dalam tiga bentuk, yaitu; control of

exsecutive, control of expenditure, control of taxation.

Kemudian fungsi-fungsi yang dimiliki DPR sebagai mana diamanatkan dalam

UUD 1945, diimplementasikan dalam sejumlah peraturan Perundang-undangan lainnya

dan dalam tatib DPR-RI yang ketiga fungsi DPR tersebut dengan tugas dan wewenang

DPR.

Dalam hal fungsi pengawasan yang dilakukan DPR dilakukan berdasarkan

ketentuan dalam UUD 1945, Undang-Undang No. 4 Tahun 1999, dan Tatib DPR.

Dalam dasar hukum tersebut disebutkan, fungsi utama pengawasan yang dilakukan

DPR adalah, pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh

Presiden. Selain itu fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR adalah menindak

lanjuti laporan dan/atau pengaduan dari perseorangan atau masyarakat atau kelompok

tertentu.

Setelah adanya perubahan terhadap UUD 1945, fungsi pengawasan DPR

dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada DPR untuk membatasi beberapa

hak prerogratif Presiden. Sebelumnya hak prerogratif Presiden tidak pernah melibatkan

DPR, dan sekarang harus melibatkan DPR misalnya, harus konsultasikan terlebih

dahulu atau mendapat persetujuan atau pertimbangan dari DPR. Perubahan mendasar

yang diberikan hasil perubahan UUD 1945 dibidang pengawasan antara lain;

1. Dalam hal pengangkatan Duta.

2. Dalam hal menerima penempatan duta negara lain, dan

63
Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1987, hlm 27-28
3. Dalam memberi amnesti dan abolisi.

Perubahan penting lainya ditindaklanjuti dengan memberikan hak sub poena

kepada DPR dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR,

DPRD. Penerapan sub poena ini sangat efektif untuk melengkapi fungsi pengawasan

yang diatur dalam Tatib DPR. Fungsi pengawasan ini dapat dirinci lagi atas;

1. Pengawasan terhadap Pelaksanaan undang-undang.

2. Pengawasan terhadap Pelaksanaan APBN, dan

3. Pengawasan terhadap segala kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD

1945 dan TAP MPR-RI.

Kemudian untuk menjalankan melakukan fungsi pengawasan sebagimana

disebutkan diatas, dilakukan oleh DPR melalui serangkaian rapat dan pengawasan di

lapangan dalam betuk kunjungan kerja ketika Masa Reses DPR. Masa Reses ialah

kegiatan DPR di luar masa sidang, yang dilakuakan oleh anggota secara perorangan

atau kelompok, terutama diluar Gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.

Adapun rapat yang digunakan DPR dalam melakukan pengawasan melalui

Rapat Kerja (Raker), Rapat Dengar Pendapat (RDP), dan Rapat Dengar Pendapat

Umum (RDPU). Serangkaian rapat tersebut dilakukan oleh DPR melalui alat

kelengkapan Dewan, seperti Komisi-komisi dan Subkomisi yang ada di DPR dan

Pansus yang dibentuk oleh DPR. Fungsi pengawasan dilakukan oleh masing-masing

Komisi dan Subkomisi dengan patner kerja dari pemerintah.

Keberadaan Jumlah Komisi dan Subkomisi sendiri berikut nama dan ruang

lingkupnya tidak dimasukan secara eksplisit di dalam peraturan batang tubuh Tatib

DPR-RI, namun diatur dalam Keputusan tersendiri, sehingga apabila dikemudian hari

Dewan berkehendak untuk mengembangkan Komisi mapun Subkomisi, maka


penyesuaiannya dapat dilakaukan tanpa harus merubah Peraturan Tata Tertib. Dalam hal

pembentukan Komisi dan Subkomisi tersebut, tidak mengunakan acuan

Departemen yang ada di lingkungan pemerintah, mitra kerja, melainkan pula pada

pendekatan isu atau masalah-masalah penting yang menjadi perhatian nasional.

Setelah melalui proses pembahasan yang panjang ahirnya Panitia Khusus

(Pansus) DPR menyepakati dibentuknya Komisi dan Subkomisi sebagi berikut :

I. KOMISI PERTAHANAN KEAMANAN, DAN LUAR NEGERI

1. Subkomisi Pertahanan dan Keamanan.

2. Subkomisi Luar Negeri.

3. Subkomisi Penerangan.

II. KOMISI HUKUM DAN DALAM NEGERI

1. Subkomisi Hukum dan Hak Asasi Manusia.

2. Subkomisi Dalam Negeri.

3. Subkomisi Pertanahan.

III. KOMISI PERTANIAN DAN PANGAN

1. Subkomisi Pertanian dan Pangan.

2. Subkomisi kehutanan.

3. Subkomisi Transmigrasi.

IV. KOMISI TRANSPORTASI DAN INFRASTRUKTUR

1. Subkomisi Perhubungan dan Telekomunikasi.

2. Subkomisi Pariwisata.

3. Subkomisi Pekerjaan Umum, Perumahan Dan Pemukiman.

V. KOMISI INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

1. Subkomisi Industri dan Investasi.


2. Subkomisi Perdagangan.

3. Subkomisi Koprasi.

VI. KOMISI AGAMA DAN SUMBER DAYA MANUSIA

1. Subkomisi Agama.

2. Subkomisi Pendidikan, Kebudayaan, Generasi Muda, dan Olah Raga.

3. Subkomisi Tenaga Kerja.

VII. KOMISI KEPENDUDUKAN DAN KESEJAHTRAAN

1. Subkomisi Kependudukan.

2. Subkomisi Kesehatan.

3. Subkomisi Sosial.

VIII. KOMISI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGl, DAN LINGKUNGAN.

1. Subkomisi RISTEK.

2. Subkomisi Lingkungan Hidup

3. Subkomisi Pertambangan dan Teknologi.

IX. KOMISI KEUANGAN DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN

1. Subkomisi Keuangan.

2. Subkomisi Perencanaan Pembangunan.

3. Subkomisi Perbangkan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank

Sedangkan dalam implementasi fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui

serangkaian hak yang dimiliki oleh DPR, adapun hak-hak yang dimiliki oleh DPR

adalah :

1. Hak meminta keterangan kepada Presiden (interpelasi)

2. Hak mengajukan pernyatan pendapat.


3. Hak mengadakan penyelidikan (angket)

4. Hak menghadirkan seseorang untuk diminta keterangan.

5. Hak untuk memberikan pertimbangan dalam pengangkatan seorang Duta

Besar dan penerimaan Duta negara sahabat.

6. Hak untuk memberikan amnesti dan abolisi, dan Hak untuk

mengajukan/menganjurkan seseorang berdasarkan perintah Undang-

Undang.

Fungsi pengawasan yang dilakukan baik secara aktif sebagai mana hak-hak yang

dimiliki diatas ataupun melaksanakan pengawasan karena adanya laporan dari

masyarakat tentang kasus-kasus tertentu. Biasanya komisi-komisi yang ada di DPR

meninindak lanjuti laporan dan/atau pengaduan dari delegasi masyarakat terhadap

kasus-kasus tertentu terhadap yang merugikan masyarakat. Adanya pengaduan dari

masyarakat ke DPR, sesungguhnya merupakan partisipasi aktif masyarakat terhadap

proses pembangunan demokrasi di Indonesia.

Dari berbagai uraian diatas, terlihat adanya peningkatan fungsi pengawasan

yang diberikan oleh sejumlah peraturan perundang-undang, khususnya perubahan UUD

1945, hal ini secara langsung ataupun tidak langsung telah meningkatkan peran dan

fungsi serta tanggung jawab DPR. Perubahan UUD 1945 juga telah menjadikan DPR

kuat dan sejajar dengan segala kewenagannya untuk berhadapan dengan Presiden. Hal

demikian wajar karena tugas DPR sebagi lembaga perwakilan menjadi alat kontrol bagi

Presiden sebagi penggerak roda pemerintahan. Kekuasaan yang dimiliki DPR telah

dicantumkan dalam UUD 1945 yang merupakan the suprime law of the land. Artinya,

apa yang dilakukan oleh DPR telah mempunyai legitimasi konstitusional. Hal ini
seharusnya menjadikan DPR lebih berani dalam melaksanakan apa yang menjadi

tugasnya.

2. Mekanisme Proses Pengangkatan Duta Besar RI

Perubahan UUD 1945 Pasal 13 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagi berikut :

(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.

(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan

pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dari ketentuan diataslah yang menjadi dasar bagi DPR untuk berperan dalam hal

pengangkatan duta besar berupa pemberian pertimbangan terhadap calon duta besar

yang diajuakan oleh Presiden. Kemudian DPR lewat pimpinan dewan melimpahkan

kekuasaan tersebut kepada komisi, dalam hal ini komisi yang membidangai masalah

yang bersangkutan.

Adalah Komisi I sebagai alat kelengkapan DPR yang membidangai hubungan

luar negeri, yang selanjutnya komisi ini menentukan agenda rapat kemudian memanggil

calon duta untuk melakukan pembahasan dengan melakukan Rapat Dengar Pendapat

Umum (RDPU). Pada Pasal 86 Tata Tertib DPR RI disebutkan "Rapat Dengar Pendapat

Umum ialah rapat antara Komisi, beberapa Komisi dalam Rapat Gabungan Komisi,

atau Panitia Khusus dengan perseorangan, kelompok, organisasi atau badan swasta, baik

atas undangan Pimpinan DPR ataupun atas permintnan yang bersangkutan, yang

dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Rapat Gabungan Komisi, atau Pimpinan

Panitia Khusus". Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum itulah dilakukan clarification

hearing, dengar pendapat ataupun pembahasan bersama antara DPR dengan calon Duta

Besar RI sebelum dilakukan prtimbangan oleh DPR.


Dalam hal Pelaksanaan diatas Komisi I juga mengacu pada Pasal 35 Undang-

Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR,

DPRD. Dan juga Peraturan Tata Tertib DPR RI No.16/DPR RI/1999-2000 Pasal 171

sebagi mana disebutkan: "DPR dalam melaksanakan fungsinya dapat meminta pejabat

negara, pejabat pemerintahan, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan

tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa,

pemerintahan, dan Pembangunan sebagi dimaksud dalam Pasal 35 Undang-Undang No.

4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPR,DPRD”

Dalam prakteknya berdasarkan UUD 1945, didahului oleh Presiden mengajukan

surat pencalonan duta besar kepada DPR untuk mendengarkan pertimbangan DPR.

Surat mengenai pencalonan Duta Besar RI untuk negara-negara sahabat yang

disampaikan oleh Presiden, setelah diterima oleh Pimpinan Dewan, segera

diberitahukan/diumumkan dalam Rapat Paripurna terdekat tanpa menyebut nama dari

negara penerima. Rapat paripurna tersebut langsung menugaskan kepada Komisi I

untuk membahasnya secara rahasia. Dalam pembahasan tersebut atau dalam melakukan

dengar pendapat dengan calon dubes tersebut, Komisi I satu wajib memberi saran,

masukan terhadap priroritas yang harus dikerjakan, pesan titipan yang perlu

diperhatikan, catatan atau keberatan, tetapi bukan penolakan. Setelah itu Komisi I

melakukan diskusi internal untuk membenkan pcnilaian untuk dijadikan pertimbangan

terhadap calon dubes yang diajukan oleh Presiden.

Ada tujuh kreteria dan dasar pertimbangan yang disiapkan Komisi I untuk

memberikan pertimbangan kepada Presiden. Pertama, memiliki kemampuan diplomasi

yang mencakup komunikasi, konseptual, dan kemampuan berargumentasi. Kedua,

memiliki kemempuan bahasa minimal bahasa Inggris dan/atau bahasa setempat. Ketiga,
memiliki latar pendidikan minimal strata satu (S1). Keempat, memiliki kemampuan

profesional dan menajerial. Kelima, tidak cacat moral dan tidak ada indikasi korupsi,

kolusi dan nepotisme. Keenam, memiliki integritas dan loyalitas tinggi terhadap bangsa

dan negara, ketujuh, memiliki pengalaman panjang terhadap profesi dalam bidangnya.

Adapun Kemudian seluruh hasil dari diskusi internal Komisi I berikut dengan

pertimbangannya tersebut dibawa ke Rapat Paripurna untuk pengesahan. Mengingat

seluruh fraksi terwakili di Komisi I, maka logikanya Rapat Paripurna hanya merupakan

tempat pengesahan. Setelah disahkan, lewat Pimpinan Dewan untuk selanjutnya

disampikan kepada Presiden secara rahasia.

Apapun hasil dari pembahasan di DPR itu tentunya tidak mengikat bagi

Presiden. Presiden dapat saja memperhatiakan pertimbangan tersebut, ataupun dengan

berbagai perhitungannya Presiden dapat saja mengabaikan hasil pertimbangan DPR itu.

Menurut kebiasaan diplomatik pada umumnya, setelah mendapat hasil keputusan

pertimbangan DPR, segera Presiden lewat Departemen Luar Negeri RI mengjukan

nama calon dubes kepada negara penerima untuk meminta persetujuan (agreement).

Dalam ukuran waktu yang tidak lama, tentunya melalui proses verfikasi, negara

peneriama menyampaikan persetujuan untuk menerima atau tidak menenma nama calon

yang akan ditempatkan.

Dengan mendapat persetujuan dari negara penerima, maka calon dubes yang

telah melewati perosedur yang telah dijelaskan diatas, sudah dapat ditempatkan, dan

dapat langsung menjalankan tugasnya secara maksimal untuk menjalin hubungan dan

kerjasama dengan negara penerima, yang tentunya membawa misi bangsa dan negara

serta pesan seluruh rakyat Indonesia.


B. Peran dan Kekuasaan DPR dalam Pengangkatan Duta Besar RI

Pada naskah asli UUD 1945 Pasal 13 ayat (1) menyebutkan "Presiden

mengangkat duta dan konsul". Untuk itu pada masa lalu pengangkatan duta merupakan

hak prerogratif Presiden sepenuhnya, dimana duta merupakan wakil dari Presiden,

diangakat dan diberhentikan Presiden serta merupakan bagian dari pemerintah berada

dibawah Departemen Luar Negeri untuk melaksanakan politik dan hubungan luar negeri

sebagi wakil bangsa dan negara Republik Indonesia.

Perubahan UUD 1945 pada Pasal 13 ayat (2) menyebutkan "Dalam hal

pengangkatan duta, Presiden memperhatikan penimbangan Dewan Perwakilan Rakyat".

Makna dari pasal tersebut berarti telah memberikan kewenangan kepada DPR untuk

terlibat dalam pengangkatan duta yang semula adalah hak prerogratif Presiden.

Keterlibatan peran DPR sebagai mana dikemukakan dalam pasal diatas adalah

kewenangan memberikan pertimbangan terhadap calon duta besar (dubes) yang telah

diajukan Presiden sebelum penempatanya di negara sahabat. Sedangkan

kewenangannya tersebut merupakan bagian dari Pelaksanaan fungsi pengawasan dalam

hal agenda pengangkata pejabat-pejabat negara yang memerlukan pembahasan bersama

antara Presiden dengan DPR

Sebelum melihat lebih jauh mengenai peran DPR dalam memberikan

pertimbangan, terlebih dahulu kita lihat dari berbagi sudut pandang yang berbeda

namun satu sama lain dapat saling berhubungan sehingga dapat menjelaskan maksud

dari kewenangan DPR tersebut, yaitu; dari sudut politik, sudut historis, dan sudut

hukum.

1. Dari sudut politik, kedudukan DPR sebagai lembaga representasi rakyat

merupakan komponen utama politik dan kekuasaan, disisi lain dubes yang
bertugas untuk melaksanakan hubungan dan kerjasama dengan negara lain

sebagi wakil bangsa dan negara Republik Indonesia yang berarti juga

membawa serta seluruh kepentingan rakyat. Maka guna mendapatkan duta

yang dapat mewakili dan mampu memperhatikan serta memperjuangkan

kepentingan rakyat secara sungguh-sungguh maka terhadap calon dubes yang

akan ditempatkan paling tidak dilakukan hearing terlebih dahulu dengan

DPR. Supaya duta-duta tersebut mengerti dan menangkap Semua pesan-pesan

politik rakyat yang selanjutnya akan memperjuangkan demi meningkatkan

kesejahteraan rakyat.

2. Dari sudut historis, Pada masa lalu pengangkatan duta besar merupakan ajang

menyingkirkan dan pembuangan lawan politik dari pemerintah, sehingga pada

waktu itu ada istilah "di-dubes-kan". Pengangkatan duta terkesan merupakan

pos akomodasi orang-orang tertentu sehingga aspek kualitas dan kepentingan

diplomasi itu sangat terabaikan. Padahal duta merupakan alat negara untuk

menjalin hubungan dan kerjasama dengan negara penerima baik dibidang

politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Begitu pentingnya arti duta besar

bagi sebuah negara untuk kepentingan diplomasi bangsa dan agar tidak terulang

lagi pengangkatan dubes sebagi tempat buangan lawan politk, pensiunan, dan

militer yang menjadikan tidak berbuat banyak dalam mejalankan tugasnya,

maka telah terjadi kesepakatan bersama dikalangan wakil-wakil politik di MPR,

bahwa demi meningkatkan kualitas dubes Indonesia hendaknya setiap calon

dubes yang diajukan Presiden melibatkan juga peran DPR untuk membahas

bersama melalui proses pertimbangan. Hal ini dilakukan agar tidak lagi ada

istilah "di-dubes-kan".
3. Dari sudut hukum, Peran DPR dalam memberikan pertimbanga kepada setiap

calon dubes adalah hak yang diberikan oleh konstitusi. Hak ini diberikan sebagai

bagian dari tugas DPR dalam fungsi pengawasan terhadap setiap kebijakan dan

agenda-agenda pemerintah yang akan dijalanakan. Di negara Amerika Serikat

yang menganut sistem presidensial secara mumi sekalipun dalam hal

pengangkatan dubes harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari parlemen.

Untuk itu kiranya tepat bagi konstitusi Indonesia untuk melibatkan peran DPR

dalam pengangkatan dubes sebelum ditempatkan di negara-negara sahabat.

Dengan adanya mekanisme pengangkatan dubes melalui pertimbangan DPR,

diharapkan di masa datang sosok duta besar RI adalah benar-benar orang yang

memiliki kemampuan menjalankan tugas dan perannya secara maksimal

sebagi wakil bangsa di negara lain untuk memajukan hubungan dan

kerjasama antara kedua negara.

Dari ketiga sudut pandang tersebut peran DPR dalam memberikan pertimbangan

terhadap calon dubes ternyata sangatlah perlu dan penting serta dijamin secara

konstitusional. Hal ini guna meningkatkan peran duta besar sendiri dimata internasional

dimana bangsa Indonesia sedang mengalami krisis identitas, pengakuan serta

kepercayaan dari negara-negara asing. Serta sesuai dengan apa yang telah diamanatkan

dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN mengenai Arah Kebijakan

Hubungan Luar Negeri, dimana perlunya peningkatkan kualitas dan kinerja aparatur

luar negeri serta meningkaatkan kulitas diplomasi agar mampu melakukan diplomasi

pro-aktif di segala bidang agar membangun citra positif Indonesia di dunia

internasional, yang pada ahirnya dapat mempercepat pemulihan krisis ekonomi dan

Pembangunan nasional.
Diplomasi sendiri merupakan usaha meyakinkan pihak/negara lain untuk dapat

memahami, membenarkan, mendukung pandangan dan kepentingan nasional kita

dengan membutuhkan pengetahuan dan profesionalisme tampa perlu menggunakan

kekerasan.

Dengan memperhatikan asas hukum, lex superion derogat legi in feriori, maka

dapat diketahui bahwa, semua peraturan Perundang-undangan dibawah UUD harus

mengacu pada UUD. Kedudukan UUD sebagi hukum fudamental (grundnorm) untuk

dijadikan hukum dasar bagi pengaturaan sebuah negara, maka dalam

Pelaksanaan pengangkatan Duta Besar RI pun harus merujuk pada hukum dasarnya,

yaitu UUD 1945.

Materi perubahan UUD 1945 pada Pasal 13 ayat (2) yang berkaitan dengan

pengangkatan duta, Presiden haruslah terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan

DPR. Pada masa lalu pengangkatan duta merupakan hak prerogratif Presiden yang tidak

dapta dikontrol dan diawasi sehingga dalam pengangkatan duta telah mengabaikan

unsur propesional dan tidak memperhatikan makna pentingnya duta di negara sahabat.

Oleh sebab itu, kekuasaan Presiden yang mutlak itu telah direduksi dengan

mengamanatkan perlunya memperhatikan pertimbangan DPR dalam pengangkatan

duta.

Sedangkan pada tingkatan Undang-Undang hal mengenai pengangkatan duta

merupakan sepenuhnya hak prerogratif Presiden, ini dapat kita lihat dalam UU No. 37

Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Dimana dikatakan kewenangan

penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan Pelaksanaan Politik Luar Negeri berada

ditangan Presiden. Presiden dapat melimpahkan kewenangan tersebut kepada Menteri.

Sedang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di angkat dan diberhentikan oleh
Presiden, dan merupakan wakil negara dan bangsa serta menjadi wakil pribadi Presiden

Republik Indonesia.

Sesuai dengan ketentuan konstitusi peran DPR dalam pengangkatan dubes

adalah memberikan pertimbangan. Dimulai dengan dipanggilnya calon duta untuk

dilakukan dengar pendapat yang sepenuhnya dilakukan oleh Komisi I. Melalui Rapat

Dengar Pendapat Umum sebagai mana diatur dalam Tatib DPR RI Pasal 86, Komisi I

melakukan clarification hearing bersama calon duta besar dengan memberikan saran,

masukan terhadap priroritas yang harus dikerjakan, titipan pesan yang perlu

diperhatikan, catatan serta keberatan tapi bukan penolakan.

Berbeda dengan persetujuan, dalam hal pertimbangan yang dilakukan oleh

Komisi I ini tidak perlu dilakukan fit and proper test terhadap calon yang akan

ditempatkan dalam suatu jabatan. Fit and proper test sediri adalah uji kelayakan ataupun

kepatutan misalnya pada calon Hakim Agung atau anggota Komisi Nasional (Komnas)

Hak Asasi Manusia (HAM) mengenai data pribadi, penjabaran terhadap visi dan misi

kerja serta pengalaman dalam berkarir. Hasil uji kelayakan itu sangat menentukan bagi

lulus atau tidaknya terhadap calon yang melakukan uji tersebut dan sifatnya mengikat.

Setelah dilakuakan dengar pendapat yang dilakukan oleh Komisi I terhadap

calon dubes, maka dilakukan diskusi intern di Komisi I untuk membahas hasil dari

dengar pendapat untuk memberikan penilaian terhadap apa yang akan dijadikan

pertimbangan. Kemudian hasil pertimbangannya dilaporkan kepada Pimpinan Dewan

untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden secara rahasia. Adapun kemudian untuk

memberikan pertimbangan kepada Presiden, Komisi I membuat kreteria dan dasar

pertimbangan yaitu; Pertama, memiliki kemampuan diplomasi yang mencakup

komunikasi, konseptual, dan kemampuan berargumentasi. Kedua, memiliki kemampuan


bahasa minimal bahasa lnggris dan/atau bahasa setempat. Ketiga, memiliki latar

pendidikan minimal strata satu (S1). Kempat, memiliki kemampuan profesional dan

menajerial. Kelima, tidak cacat moral dan tidak ada indikasi korupsi, kolusi dan

nepotisme. Keenam, memiliki integritas dan loyalifas tinggi terhadap bangsa dan

negara. Ketujuh, memiliki pengalaman panjang terhadap profesi dalam bidangnya.

Tetapi dari kreteria tersebut tidak bisa dijadikan acuan bagi lulus atau tidaknya calon

Dubes yang diajukan oleh Presiden. Kewenangan DPR hanya memberikan masukan

sebaiknya seorang calon dubes bisa diangkat atau tidak diangkat dengan aneka alasan

dan argumentasi.

Lebih jauh mengenai bentuk pertimbangan itu apakah sifatnya mengikat

(imperatif), ataukah sekedar sukarela (fakultatif). Dengan pertimbangan yang diberikan

DPR apakah dapat menimbulkan akibat hukum tertentu apabila tidak dilaksanakan oleh

Presiden. Menurut Satya Arinanto,64 dari sudut pandang yuridis sebuah pertimbangan

tidaklah mengikat, artinya bisa saja Presiden setelah memperhatikan pertimbangan

tersebut kemudian membuat pertimbangan sendiri. Lebih lanjut Satya mengatakan tidak

ada kewajiban mentaati yang ditimbulkan dari sebuah pertimbangan.

Kecuali itu memang pada setiap hasil dari pertimbangan DPR tersebut selalu

diperhatiakan kemudian dilaksanakan oleh Presiden secara berulang-ulang sehingga

telah menjadi konvensi (kebiasaan) ketatanegaraan di Indonesia. Menurut Ismail Suny,

konvensi ketatanegaraan dapat diartikan sebagai perbuatan ketatanegaraan yang

dilakukan berulang-ulang sehingga dapat diterima dan ditaati dalam praktek

ketatanegaraan suatu negara, walaupun perbuatan tersebut bukan hukum. Sedangkan

K.C. Wheare berpendapat bahwa konvensi merupakan suatu praktek tertentu berjalan

64
Satya Arinanto, DPR Seharusnya Hanya Beri Pertimbangan, Kompas, 19 Juni 2002
untuk jangka waktu yang lama bersifat persuasif, kemudian diterima sebagai suatu hal

yang wajib.65 Dengan demikian, suatu prektek ketataneraan yang berulang ualang dapat

menjadi suatu yang wajib dan kemudian ditaati oleh penyelenggara negara sebagai

bentuk perkembangan penyelenggaraan negara.

Namun demikian karena kewenangan DPR untuk memberikan pertimbangan

telah diatribusikan oleh konstitusi, dan hal itu bermakna sebagai implementasi dari

fungsi pengawasan DPR terhadap Presiden. Kemudian pelaku perubahan konstitusi kita

telah melihat bahwa hak prerogratif Presiden dalam pengangkatan duta tampa adanya

kontrol dan pengawasan telah mengabaikan profesionalitas dan pentingnya diplomasi

pada suatu negara. Untuk itu maka sebaiknya Presiden tetap memperhatikan

pertimbangan DPR tersebut. Dalam hal lain yang perlu diperhatikan Presiden mengenai

resiko politik yang harus ditanggung, apabila misalnya calon dubes yang oleh DPR

disarankan tidak dingkat, tetapi dengan pertimbangannya Presiden tetap mengangkat

dubes tersebut. Hal ini seandainya di tengah-tengah tugasnya dubes tersebut melakukan

kesalahan, tindakan lain yang merugikan bangsa dan negara atau telah gagal

menjalankan amanat negara, maka Presiden dapat dipertanyakan dalam hal itu, bahkan

DPR bisa saja mengunakan salah satu haknya, yaitu mengajukan hak iterpelasi Presiden

misalnya.

Presiden sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintah yang sebenarnya

lebih menentukan dalam hal pengangkatan duta besar, ini lebih dikarenakan diplomasi

merupakan wilayah eksekutif. Dan juga Presiden-lah dengan Menteri Luar Negeri

sebagi pembantu Presiden serta lewat Departemen Luar Negeri-nya yang dianggap

paling mengetahui dan mengerti tentang politik dan hubungan luar negeri suatu bangsa.

65
Ni'matul Huda, Hukum Tata Negara Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia, PSH.
FH. UII, Yogyakarta, 1999, hlm 180 & 182
Akan tetapi diberbagi negara seperti Amerika Serikat dalam hal pengangkatan dubes

turut juga melibatkan peran parlemen. Bagi setiap calon dubes yang akan ditempatkan

terlebih dahulu dilakukan hearing ataupun dengar pendapat dengan parlemen, walaupun

peran parlemen sebatas exchange of views tentang prioritas yang harus dijalankan dan

diperhatikan oleh setiap calon duta besar.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagaimana telah diketahui, perubahan UUD 1945 telah mengubah struktur

Ketatanegaraan secara mendasar. Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah

Konstitusi dan Komisi Yudisial merupakan lembaga-lembaga baru yang telah

diintrodusir dalam perubahan tersebut. Sedangkan Dewan Pertimbangan Agung, Utusan

Golongan, dan peran Fraksi TNI/Polri adalah lembaga yang dianggap tidak relevan

dengan tuntutan jaman dan kebutuhan demokrasi sekarang ini, sehingga keberadaan

lembaga tersebut di hapus dari struktur ketatanegaraan Indonesia. Kekuasan dalam

negara-pun telah bergeser dari executive heavy kepada legislative heavy, hal ini dapat

diperhatiakan dari reduksi kekuasaan dalam ketentuan pasal-pasal mengenai Presiden.

Sebaliknya terjadi penguatan kekuasaan dalam ketentuan pasal-pasal mengenai DPR.

Dalam pembuatan Undang-Undang Presiden tidak lagi memegang kekuasaan,

melainkan sudah berpindah tangan kepada DPR. Presiden hanya memiliki hak untuk

mengajukan rancangan Undang-Undang saja.

Sedangkan perubahan yang nampak dan berdampak pada kekuasaan dan peran

DPR adalah dalam hal Pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, telah

diberikan serangkaian hak kepada DPR yang diberikan oleh sejumlah Peraturan

Perundang-undangan diantaranya Tata Tertib DPR RI No.l6/DPR-RI/1999-2000,

Undang-Undang No. 4 Tahun 1999, serta hasil dari perubahan UUD 1945. Adapun hak

yang dimiliki oleh DPR yaitu; (i) hak meminta keterangan kepada Presiden

(interpelasi), (ii) hak mengajukan pernyataan pendapat, (iii) hak mengadakan


penyelidikan (angket), (iv) hak untuk menghadirkan seseorang untuk diminta

keterangan, (v) hak untuk memberikan pertimbangangan dalam pengangkatan Duta

Besar dan penerimaan Duta negara sahabat, (vi) hak untuk memberikan pertimbangan

amnesti dan abolisi, dan (vii) hak untuk menganjurkan seseorang berdasarkan perintah

Undang-Undang.

Pengawasan DPR juga terlihat dari berbagai kebijakan dan agenda-agenda

pemerintah yang terkait dengan peran dan fungsi DPR. Ada yang melalui persetujuan,

pertimbangan serta adapula yang pelaksanaannya dibuatkan Undang-Undang terlebih

dahulu yang tentunya melibatkan peran DPR. Perubahan UUD 1945 juga telah

memberikan kewenangan kepada DPR untuk mejalankan fungsi pengawasanya dengan

tnembatasi beberapa hak prerogratif Presiden. Dimana pada sebelumnya hak prerogratif

Presiden ini tidak pernah melibatkan peran DPR, dan sekarang harus melibatkan DPR,

salah satu misalnya dapat dilihat dalam hal pengangkatan Duta Besar Rl yang akan

ditempatkan di negara sahabat.

Pada Pasal 13 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan menyebutkan "Dalam hal

pengengkatan duta, Presiden memperha/ikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat".

Dari ketentuan inilah yang menjadi dasar bagi DPR untuk berperan dalam

pengangkatan duta besar (dubes) berupa pemberian pertimbangan kepada Presiden.

Kemudian DPR lewat Pimpinan Dewan melimpahkan kewenangan tersebut kepada

Komisi I yang dalam hal ini membidangi hubungan luar negeri.

Sebagai mana tercantum pada Pasal 86 dan 171 Tatib DPR RI N0.16/DPR

RI/1999-2000, dan juga pada Pasal 35 Undang-Undang No. 4 Tahun 1999, selanjutnya

Komisi I memanggil calon duta untuk dilakukan clarification hearing, dengar pendapat

ataupun pembahasan bersama dengan melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum


(RDPU) bersama setiap calon dubes yang diajukan oleh Presiden. Setelah itu kemudian,

Komisi I melakukan diskusi internal untuk melakukan penilaian terhadap apa yang akan

dijadikan pertimbanga yang diberikan kepada Presiden.

Adapun kemudian untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden, Komisi I

membuat kreteria dan dasar pertimbangan yaitu; Pertama, memiliki kemampuan

diplomasi yang mencakup komunikasi, konseptual, dan kemampuan berargumentasi.

Kedua, memiliki kemempuan bahasa minimal bahasa Inggris dan/atau bahasa setempat.

Ketiga, memiliki latar pendidikan minimal strata satu (S1). Kempat, memiliki

kemampuan profesional dan menajerial. Kelima, tidak cacat moral dan tidak ada

indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme. Keenam, memiliki integritas dan loyalitas tinggi

terhadap bangsa dan negara. Ketujuh, memiliki pengalaman panjang terhadap profesi

dalam bidangnya. Tetapi dari kreteria tersebut tidak bisa dijadikan acuan bagi lulus atau

tidaknya calon Dubes yang diajukan oleh Presiden.

Untuk memberikan pertimbangan terhadap calon dubes sebagai mana tercantum

dalam Pasal 13 ayat (2) perubahan UUD 1945 adalah merupakan hak dari pada DPR.

Akan tetapi kewenangan DPR dalam memberikan pertimbangan apabila ditinjau secara

yuridis tidaklah mengikat, artinya bisa saja setelah memperhatikan pertimbangan

tersebut, kemudian Presiden membuat pertimbangan sendiri. DPR hanya memberikan

masukan sebaiknya seorang calon dubes bisa diangkat atau tidak diangkat dengan aneka

alasan dan argumentasi.

Namun demikian hendaknya Presiden tetap memperhatikan hasil

pertimbangan DPR tersebut. Hal ini dikarnakan kewenangan DPR yang telah

diatribusikan oleh konstitusi itu bermakna sebagai implementasi fungsi pengawasan

DPR terhadap Presiden (Pemerintah). Dan juga bertitik tolak dalam sejarah
pengangkatan duta besar pada masalalu dimana tidak adanya pengawasan dari DPR,

Presiden telah mengabaikan aspek kualitas, profesionalisme, dan kepentingan

diplomasi. Hal inipun sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Tap MPR

No. IV/MPR/1999 tentang GBHN mengenai Arah Kebijakan Hubungan Luar Negeri,

dimana perlunya peningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri serta

meningkaatkan kulitas diplomasi agar mampu melakukan diplomasi pro-aktif

disegala bidang agar membangun citra positif Indonesia di dunia internasional, yang

pada ahirnya dapat mempercepat pemulihan krisis ekonomi dan Pembangunan

nasional.

Di samping itu aspek politik yang akan ditangguang dan akan terus menggangu

keleluasan Presiden dalam menjalankan roda pemeritahan, apabila misalnya dubes yang

tidak disepakati DPR tersebut ditengah-tengah tugasnya melakukan kesalahan yang

dapat merugikan bangsa dan negara. Dengan hak-haknya lain tentunya DPR dapat

mempersoalkan hal tersebut.

Kerjasama antara dua lembaga DPR dergan Presiden dalam pengangkatan Duta

Besar RI merupakan amanat dari konstitusi. Presiden mengangkat duta dan konsul,

namun dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan dari DPR

Dengan adanya ketentuan tersebut diharapkan pengangkatan dubes tidak lagi sebagai

tempat buangan politik, pensiunan pejabat, dan militer yang selanjutnya menghilangkan

pandangan terhadap istilah "di-dubes-kan". Dimasa datang sosok Duta Besar RI adalah

benar-benar orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas dan peranannya

secara maksimal sebagai wakil bagsa di negara lain untuk selanjutnya memajukan

hubungan dan kerjasama antara kedua negara.


B. Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan dengan melihat uraian dari skripsi ini

adalah: :

1. DPR sebagai lembaga repersentasi rakyat dan merupakan komponen utama

politik dan kekuasaan seharusnya ditempati oleh orang-orang yang memiliki

integritas, tanggung jawab dan kehormatan yang baik sehingga benar-benar

mampu mewakili, menyalurkan aspirasi serta memperjuangkan kepentingan-

kepentingan rakyat.

2. Perubahan UUD 1945 telah meberikan kekuasaan yang besar kepada DPR

terutama dalam fungsi pengawasannya. Dan juga kekuasaan yang dimiliki

DPR telah tercantum dalam UUD 1945 yang merupakan the suprime law of

the land. Artinya, apa yang dilakukan oleh DPR telah mempunyai legitimasi

konstitusional. Dengan demikian perlu adanya optimalisasi kinerja dari DPR

serta menjadikannya lebih berani dalam melaksanakan apa yang menjadi hak-

hak konstitusionalnya.

3. Kewenangan DPR sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) perubahan UUD 1945

dalam hal memberikan pertimbangan kepada Presiden pada pengangkatan

duta besar harus disabut dengan baik dan positif. Pada masa lalu

pengangkatan duta merupakan hak prerogratif Presiden yang tidak dapat

dikontrol dan diawasi sehingga aspek kualitas dan kepentingan diplomasi

sangat terabaikan. Dengan kententuan yang baru tersebut diupayakan dapat

terjalin kerjasama yang baik antara Presiden dan DPR dalam pengangkata

duta besar sehingga dapat meningkatkar. profesionalisme, kualitas, dan

netralitas kinerja dari Duta Besar RI.


4. Dari sudut pandang yuridis sebuah pertimbangan tidaklah mengikat, tetapi ada

baiknya Presiden tetap memperhatikan setiap pertimbangan DPR. Hal ini

disebabakan adanya beberapa hal yang harus diperhatiakan Presiden yaitu

mengenai resiko politik, pertimbangan sejarah, aspek kualitas, profesionalitas,

dan pentingnya diplomasi dalam suatu negara, serta supaya hubungan antara

DPR dengan Presiden tetap lerjalin dengan baik melalui mekanisme checks and

balances, untuk mengawasi dan mengimbangi, saling menjaga serta mengoreksi


DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid S. Attamimi, Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Negara - Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I -
Pelita IV, Desertasi Doktor, Universitas Indonesia, 1990.

Bintan.R.Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya


Media Pratama,Jakarta, 1988.

C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, 1995. Cetakan
Kedelapan.

Dahlan Thaib, Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, UUP AMP YKPN, Yogyakarta, 1990

----------, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberti,


Yogyakarta, 1993.
----------, Kedaulutan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty,
Yogyakarta, 1999.

----------, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Libertty, Yogyakarta, 2000.

E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Emas,


Jakarta, 1992.

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1977.

----------, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1987.

Mariam Budiharjo, Dasar-Dasar ilmu politik, Gramedia pustaka utama, Jakarta, 1993,
Cetakan Kelimabelas.

Moh. Mafud MD., , Dasar dan Struktur Ketata Negaraan Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, 1993.

Ni'matul Huda, Hukum Tata Negara Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi
Indonesia, PSH. FH. UII, Yogyakarta, 1999.

Ramdlion Naning, Aneka Asas Ilmu Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1982.

Sarjono Sukanto, Sosiologi Suatu Penghantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Sri Sumantri, Tentang Lembaga-Lembaga negara menurut UUD 1945, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1993.
Suharizal, Reformasi Konstitusi 1998-2002 Pergulatan Konsep dan Pemikiran
Amandemen UUD 1945, Sinar Repro, Jakarta, 2002.

Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang


(Perpu), UMM Press, Malang, 2002.

Syaiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Tata Negara, Tarsito, Bandung, 1996.

B. Makalah, Artikel dan Koran.

Dahlan Tahib, "Telaah Kritis Nilai Substansi Amandemen Konstitusi; Prespektif


Masyarakat Politik dan Hukum", Makalah, disampaikan dalam seminar,
Amandemen Konstitusi dalam setting Indonesia Baru Menuju Reformasi Jilid 2,
KM UGM, Yogyakarta, 29 Juni 2002.

Kamal Firdaus, " Catatan kamal Firdaus", Makalah, untuk diskusi panel, Urgensi
Undang-Undang Kepresidenan dalam Struktur ketatanegaraan Republik
Indonesia, FH-UII, 2001.

Jimliy Asshiddiqie, " Otonomi Daerah dan Peran Legislatif Daerah", Makalah, Pada
Lokakarya Tentang Peraturan Daerah dan Budget bagi Anggota DPRD Se-
Propinsi (Baru) Banten, Di Anyer, Banten, 20 Oktober 2000.

Hasjim Djalal, Artikel, DPR dan Calon Dubes RI, Harian Kompas, 24 Juni 2002

Salman Luthan, Artikel, Dialektika Hukum dan Kekuasaan, Jurnal Hukum. NO. 14 Vol.
7 Agustus 2000.

Y. Hartono, Artikel, SI: Dari Supermasi Eksekutif ke Supermasi Legislatif?, www.


google. Com

Koran

Harian Kompas, 18 Juni 2002.


----------, 24 Juni 2002.
----------, 1 Juli 2002.
----------, 12 Agustus 2002.
----------, 23 September 2002.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang Undang Dasar 1945 (Pasca Amandemen)

Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD.
Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Peraturan Tata Tertib DPR Republik Indonesia No. 16/DPR RI/1999-2000

Keputusan Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI Tanggal 23 Mei & 29 Agustus
2002, mengenai Penyempurnaan Mekanisme Pemberian Pertimbangan DPR RI
terhadap Pencalonan Duta Besar Negara-negara Sahabat untuk Republik
Indonesia dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Negara-negara Sahabat.

Anda mungkin juga menyukai