1Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Esa Unggul, Jl. Arjuna Utara No. 9
Jakarta 11510
Email: ashelomitaa@gmail.com
2Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Esa Unggul, Jl. Arjuna Utara No. 9
Jakarta 11510
Email: gusmirona@gmail.com
ABSTRAK
Pada kurva permintaan Losch diungkapkan bahwa pusat pasar adalah O sedangkan lokasi
yang berdekatan dengan pasar adalah P. Harga persatuan barang adalah OP dengan permintaan
sebesar PQ. Agak jauh dari pusat pasar, misalkan saja titik R, biaya pengangkutan menyebabkan
harga persatuan barang meningkat menjadi OR dengan permintaan RS. Jauh dari pusat pasar,
misalnya titik F, biaya pengangkutan menyebabkan harga per satuan barang menjadi sangat tinggi
sehingga permintaan sama dengan nol.
Berdasarkan ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa bila lokasi perusahaan tersebut
dekat dengan sumber input produksi atau pasar, maka biaya pengangkutan dapat diminimalisasi
oleh perusahaan. Tetapi bila lokasi perusahaan tersebut berjauhan dengan sumber input produksi
atau pasar, maka biaya transportasipun akan meningkat dan biaya tersebut akan dibebankan pada
produk yang dijual.
Berdasarkan kedua teori di atas dapat ditunjukkan pemilihan lokasi dalam rangka
pengembangan usaha ditentukan berdasarkan kedekatan dengan sumber bahan baku produksi,
pasar, dan biaya transfer. Hal tersebut dapat mempengaruhi keputusan individu, kelompok, atau
lembaga yang memiliki lahan dalam melepas status lahannya, terutama jika lahan tersebut
memiliki nilai jual yang tinggi.
2. Ketahanan Pangan
Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai mengemuka saat
terjadi krisis pangan dan kelaparan yang menimpa dunia pada 1971. Sebagai kebijakan pangan
dunia, istilah ketahanan pertama kali digunakan oleh PBB untuk membebaskan dunia, terutama
negara-negara sedang berkembang dari krisis produksi dan suplai makanan pokok. Fokus
ketahanan pangan pada masa itu, sesuai dengan definisi PBB adalah menitik beratkan pada
pemenuhan kebutuhan pokok dan membebaskan dunia dari krisis pangan. Definisi tersebut
kemudian disempurnakan pada International Conference of Nutrition pada 1992 yang disepakati
oleh pimpinan negara anggota PBB, yakni tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap
orang, baik dalam jumlah maupun mutu pada setiap individu untuk hidup sehat, aktif dan
produktif. Maknanya adalah tiap orang setiap saat memiliki akses secara fisik dan ekonomi
terhadap pangan yang cukup agar hidup sehat dan produktif (Hakim 2014).
World Food Summit pada tahun 1996 mendefinisikan ketahanan pangan terjadi apabila
semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk
pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan
pilihan makanan untuk hidup aktif dan sehat (Safa’at, S 2013).
Beberapa ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok,
yaitu ketersediaan pangan dan aksesesabilitas masyarakat terhadap pangan tersebut. Di
Indonesia konsep ketahanan pangan sudah dituangkan dalam Undang-undang No.7 Tahun 1996
tentang Pangan. Dalam definisi tersebut ditegaskan lima bagian dalam konsep tentang ketahanan
pangan tersebut, yaitu: terpenuhinya pangan yang cukup dari segi jumlah, terpenuhinya mutu
pangan, aman, merata, dan terjangkau.
Hasil dan Pembahasan
1. Konversi Lahan Sawah di Kota Sukabumi
Konversi lahan pertanian (sawah) ke non pertanian di Kota Sukabumi terus terjadi dan
sulit dihindari akibat pertumbuhan ekonomi sehingga mendorong terjadi peningkatan
kebutuhan lahan untuk kegiatan-kegiatan non pertanian. Data konversi lahan pertanian
(sawah) dapat diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan Pusat Statistik
(BPS). Data konversi lahan pertanian (sawah) dari BPN diperoleh dengan memanfaatkan data
berupa Izin Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT), izin lokasi rencana perolehan dan atau
penggunaan tanah dan surat pemberitahuan/klarifikasi rencana perolehan dan atau
penggunaan tanah. Data konversi lahan pertanian (sawah) dari BPS diperoleh dari perubahan
luas lahan sawah setiap tahunnya dan dari data konversi lahan sawah yang dikumpulkan dari
hasil monitoring dan pencatatan di lapang melalui sensus.
Data luas konversi lahan pertanian ke non pertanian yang diterbitkan oleh instansi
berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan ini bisa disebabkan karena metode pengukuran
yang digunakan berbeda. Menurut Irawan (2005), perbedaan data konversi lahan oleh
masing-masing instansi disebabkan oleh perbedaan organization interest dan metode
pengukuran yang digunakan. Data luas konversi lahan yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan peta tahun 2010. 2012 dan tahun 2015.
Peta Konversi Lahan Sawah di Kota Sukabumi Tahun 2010 - 2015
Sumber Peta : Bappeda Kota Sukabumi
Pada tahun 2010 luas sawah di Kota Sukabumi seluas 1.638,06 Ha. Pada tahun 2012 luas sawah
di Kota Sukabumi sebesar 1.578,56 hektar dan pada tahun 2015 menjadi 1.456,32 hektar.
Terjadi konversi lahan sebesar 181,74 hektar dalam kurun waktu lima tahun. Berikut sebaran
luas penggunaan lahan sawah tahun 2010, 2012 dan 2015, serta besar perubahannya.
2010 1769
2011 1751
2012 1589
2013 1551
2014 1540
2015 1486
2016 1470
2017 1404
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat kita lihat bahwa sebelum diberlakukannya
kebijakan mengenai LP2B, penurunan luas sawah di Kota Sukabumi cukup signifikan. Perbedaan
cukup terlihat setelah diberlakukannya kebijakan, dimana berkurangnya luas sawah tidak
sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan pengendalian alih
fungsi lahan cukup efektif dalam mengendalikan konversi lahan pertanian di Kota Sukabumi.
Pola pergeseran konversi lahan di Kota Sukabumi mengarah ke Barat Laut, di sekitar
Kecamatan Gunungpuyuh dan Kecamatan Warudoyong. Kecamatan Citamiang dan Kecamatan
Cikole merupakan Pusat kegiatan ekonomi, Kecamatan Warudoyong dan Kecamatan
Gunungpuyuh merupakan kecamatan di sekitarnya. Lahan sawah di kecamatan tersebut banyak
dikonversi menjadi lahan pemukiman untuk mendukung laju pertumbuhan dari Kecamatan
Cikole dan Citamiang.
Akibat dari penurunan luas lahan sawah dan peningkatan jumlah penduduk adalah
menyebabkan defisit terhadap kecukupan beras yang semakin tinggi. Kota Sukabumi hanya dapat
memenuhi kebutuhan beras 71,55% di tahun 2010 dan 64,61% di tahun 2012 (Munibah, et.al.
2014). Konversi lahan dikatakan wajar oleh pengusaha atau pemerintah daerah yang memacu
wilayahnya menjadi wilayah perkotaan yang berbasis pada sektor jasa. Namun jika dilihat dari
produktivitas lahan di Kota Sukabumi dan melihat peluang pasar mengenai permintaan beras
yang tinggi dari lokal dan daerah sekitar seharusnya dapat menjadi faktor penunjang untuk tidak
menkonversi lahan sawah.
Tabel Luas Panen Rata-Rata Hasil dan Produksi Padi Sawah di Kota Sukabumi Tahun
2010-2017
Rata-rata Hasil
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)
(Kw/Ha)
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat kita lihat bahwa hasil produksi padi pada tahun
2014 sampai tahun 2016 sempat mengalami kenaikan. Setelah sebelumnya pada tahun 2010
sampai tahun 2013 sempat mengalami penurunan hasil produksi yang cukup signifikan. Setelah
diberlakukan kebijakan mengenai LP2B, produksi padi mengalami penurunan tetapi tidak
sebanyak sebelum diberlakukannya kebijakan.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa penetapan kawasan pertanian
pangan berkelanjutan hanya mampu menyelamatkan sebagian kecil lahan sawah dari total area
sawah yang teridentifikasi. Penyebab lahan pangan belum terlindungi antara lain karena
keterbatasan data yang tersedia untuk pengambilan keputusan. Selain itu, keterlambatan
penyelamatan lahan pangan juga terkait dengan pertimbangan ekonomi dan politis yang ada di
Kota Sukabumi. Kebijakan mengenai lahan pertanian berkelanjutan kurang signifikan dalam
meningkatkan ketersediaan pangan. Hasil produksi tidak hanya dipengaruhi oleh luas lahan
namun juga terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil produksi, seperti
perubahan iklim, wabah hama, dan sebagainya. Selain itu penelitian ini hanya menganalisis data
satu tahun setelah ditetapkannya kebijakan mengenai LP2B. Oleh karena itu hasil yang di dapat
juga kurang signifikan. Alangkah baiknya evaluasi dilakukan minimal lima tahun setelah
dilakukannya kebijakan.
Daftar Pustaka
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2011. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2012. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2013. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2014. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2015. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2016. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2017. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2018. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2008. Land Utilization by Province in Indonesia. BPS, Jakarta. Diakses
melalui : www.bps.go.id.
Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi. 2016. Data Hasil Produksi
Pertanian. Diakses melalui : https://distan.sukabumikota.go.id/
Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi. 2015. Data Hasil Produksi
Pertanian. Diakses melalui : https://distan.sukabumikota.go.id/
Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi. 2014. Data Hasil Produksi
Pertanian. Diakses melalui : https://distan.sukabumikota.go.id/
Fajar, Yoga. Ismayani. Romano. 2018. ‘Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Sawah
Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seruway Kabupaten Aceh Tamiang’. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah - AGB, Vol. 3, No. 4, Hal. 321-332.
Kustamar, Togi H. Nainggolan, Agung Witjaksono, (2014), Kebutuhan Konservasi Sumberdaya Air
di Hulu DAS Brantas Untuk Pembentukan Model Desa Konservasi di Kota Batu, dalam
Proseding: ”Inovasi Struktur dalam Menunjang Konektivitas Pulau di Indonesia”, Seminar
Nasional X: Teknik Sipil ITS Surabaya. ISBN 978-979-99327-9-2 pp 689-698
Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan
Putra, Randa Nurianansyah. 2015. ‘Implementasi Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Pertanian Di Kota Batu Sebagai Kawasan Agropolitan’. Jurnal Kebijakan dan Manajemen
Publik. Vol. 3 No.2 ISSN 2303 - 341X.
Undang-Undang RI. Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan
Witjaksono, Agung. Kustamar. Sunaryo, Dedy Kurnia. 2015. ‘Identifikasi Perubahan Lahan
Pertanian Sebagai Pertimbangan Menyusun Kebijakan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan’. Jurnal Seminar Nasional Teknik Sipil V. Hal. 194-199 ISSN : 2459-9727.