Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KEBIJAKAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KOTA SUKABUMI

Ardelia Shelomita Teena1, Gusmirona2

1Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Esa Unggul, Jl. Arjuna Utara No. 9
Jakarta 11510
Email: ashelomitaa@gmail.com
2Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Esa Unggul, Jl. Arjuna Utara No. 9
Jakarta 11510
Email: gusmirona@gmail.com

ABSTRAK

Peningkatan jumlah penduduk dan taraf hidup masyarakat mengakibatkan meningkatnya


kebutuhan lahan untuk pemukiman atau kegiatan ekonomi lainnya. Sementara itu ketersedian
dan luas lahan relatif tetap, meskipun kualitas sumber daya lahan dapat ditingkatkan, namun tidak
dengan kuantitasnya. Kebutuhan lahan ini kemudian mengambil lahan sawah produktif yang
memiliki sarana dan prasarana yang baik untuk dijadikan lahan non pertanian seperti pemukiman
dan kawasan industri. Kota Sukabumi yang terletak di Provinsi Jawa Barat adalah salah satu
penyumbang sektor pertanian yang cukup besar di Indonesia. Meningkatnya kegiatan alih fungsi
lahan di kota ini berdampak pada aspek ekonomi, sosial, dan politik. Salah satunya adalah
berdampak pada menurunnya ketersediaan pangan, yang menjadi salah satu ancaman bagi
keberlanjutan ketahanan pangan. Untuk itu pemerintah Kota Sukabumi melakukan upaya untuk
mengendalikan alih fungsi lahan pertanian dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).
Kebijakan pembangunan sektor pertanian di Kota Sukabumi ini ditujukan untuk pengembangan
sektor pertanian secara terpadu dan sinergis dengan sistem agribisnisnya dari hulu ke hilir.
Melalui kebijakan ini juga diharapkan sektor pertanian dapat memberikan kontribusi terhadap
pembangunan Kota Sukabumi secara optimal dengan segala tantangannya. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis efektivitas kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah
terhadap ketahanan pangan di Kota Sukabumi. Metode penelitian yang digunakan dalam
mencapai tujuan tersebut yaitu analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif, melalui pendekatan
survei sekunder serta studi literatur. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian
alih fungsi lahan di Kota Sukabumi berdampak cukup baik bagi ketahanan pangan di Kota
Sukabumi. Namun tidak terlalu signifikan karena kebijakan baru berlaku selama dua tahun sejak
2016. Diharapkan dengan adanya kebijakan tersebut dapat terus menjaga ketahanan pangan di
Kota Sukabumi.
Kata Kunci: alih fungsi; kebijakan; ketahanan pangan; lahan; pengendalian; sawah
Pendahuluan
Perkembangan suatu wilayah dapat dilihat dari bagaimana pembangunan yang dilakukan, baik
dari segi fisik dan non-fisiknya. Pembangunan kota yang secara terus-menerus dilakukan
merupakan hasil integrasi dari kondisi yang ada di pedesaan yang terus berlanjut. Pembangunan
pesat yang terjadi pada suatu kota bersifat dinamis dan cenderung diiringi dengan proses
terjadinya perubahan penutupan lahan kota di masa mendatang, dimana lahan-lahan alami
maupun Ruang Terbuka Hijau semakin terdesak oleh dominasi lahan terbangun. Kota Sukabumi
saat ini dapat dikatakan sebagai kota berkembang dan menjadi salah satu kawasan andalan dari
8 kawasan andalan di Jawa Barat (RTRW Jawa Barat) yang berpotensi selain memacu
perkembangan wilayahnya juga mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah di sekitarnya
(hinterland). Hal inilah yang dapat berimplikasi terhadap proses terjadinya konversi lahan di kota
Sukabumi.
Kebutuhan manusia akan lahan terus meningkat, sedangkan ketersediaan dan luas lahan
relatif tetap. Kebutuhan akan lahan ini mendorong dilakukanya alih fungsi lahan untuk
kepentingan umum. Salah satu yang terkena dampak alih fungsi lahan ini adalah lahan pertanian.
Alih fungsi lahan pertanian untuk penggunaan lain akan menjadi salah satu ancaman terhadap
kelanjutan swasembada pangan. Faktor yang dapat mempengaruhi perubahan lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian yaitu perkembangan wilayah pedesaan menjadi wilayah perkotaan.
Indikasi perkembangan kota/kabupaten ditandai semakin meningkatnya pembangunan fisik
seperti infrastruktur, pemukiman, fasilitas perdagangan, perkantoran. Tingginya konversi lahan
pertanian ke penggunaan non pertanian akan membawa dampak yang serius terhadap ketahanan
pangan bangsa karena hampir semua penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan
pokok.
Kota Sukabumi merupakan kota yang memiliki tingkat produktivitas padi sawah di atas rata-
rata se-Jawa Barat, produktivitas tahun 2012 di Kota Sukabumi 6.7 ton sedangkan rata-rata di
Jawa Barat adalah 5.8 ton. Namun telah terjadi penurunan rata-rata hasil produksi padi sawah
pada tahun 2012 mencapai 67.49 ku/ha (BPS Propinsi Jawa Barat, 2013). Berkurangnya
produktivitas padi tersebut diduga akibat adanya konversi lahan-lahan produktif di wilayah Kota
Sukabumi.
Upaya pemerintah untuk mencegah laju konversi lahan pertanian dalam mendukung
pencapaian swasembada pangan yaitu dengan UU No. 41 tahun 2009, tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lahan pertanian pangan yang potensial dan telah sesuai kriteria
untuk dilindungi, perlu ditetapkan dan dimasukkan dalam Peraturan Daerah dan merupakan
bagian integral dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang rinci di Kabupaten/Kota. Gubernur
Jawa Barat dengan tanggap juga telah mengeluarkan Perda Nomor 27 tahun 2010 mengenai
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang menerangkan bahwa Jawa Barat
sebagai lumbung pangan nasional akan melindungi lahan pertanian pangannya untuk menjaga
kedaulatan pangan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas kebijakan pengendalian alih fungsi
lahan sawah terhadap ketahanan pangan di Kota Sukabumi.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder yang berasal dari Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian, Badan Pusat Statistik, Metode Analisis dengan menggunakan
pendekatan metode diskriptif, dengan hasil penelitian untuk melihat sejauh mana efektivitas
kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan terhadap ketahanan pangan di
kota Sukabumi.
Tinjauan Pustaka
1. Alih Fungsi Lahan
Teori yang berkaitan erat dengan alih fungsi lahan adalah teori lokasi. Dalam jurnal ini,
ada dua teori yang diungkap, yaitu teori Weber dan Losch. Kedua teori ini memiliki prinsip yang
sama dalam penentuan lokasi adalah adanya biaya terkecil. Penentuan lokasi merupakan salah
satu aspek penting dalam perencanaan pra- produksi sebab pemilihan lokasi yang salah akan
berdampak pada ketidakberhasilan usaha pertanian bahkan bisa menimbulkan kebangkrutan
pada usaha yang telah diinvestasikan.
Pengambilan keputusan tentang penentuan lokasi usaha oleh perusahaan terkait dengan
memaksimalkan keuntungan yang akan diperoleh terutama dalam meminimalisasi biaya produksi
(cost of production) dan biaya transportasi. Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan perusahaan
dalam menentukan lokasi, yaitu kemudahan dalam pengumpulan input produksi, proses
produksi, dan pemasaran (Budiharsono, 1988).
Menurut Alfred Weber yang dikutip oleh Budiharsono (1988) dan Richardson (1972)
mengungkapkan bahwa pendekatan biaya terkecil sebagai salah satu alternatif pemilihan lokasi.
Dasar Teori Weber adalah bahwa penentuan lokasi untuk suatu usaha didasarkan atas biaya
transportasi terkecil atau meminimumkan biaya transportasi. Weber mengemukakan ada tiga
faktor utama yang mempengaruhi lokasi usaha, yaitu biaya transportasi, biaya tenaga kerja, dan
kekuatan aglomerasi (terpusatnya industri yang memproduksi komoditas yang sama). Weber
mengasumsikan bahwa biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak yang ditempuh dan
berat barang sehingga titik yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan
pengumpulan berbagai input dan pendistribusian adalah minimum. Weber menggambarkan
teorinya dengan segitiga lokasi , di mana titik lokasi optimum (T) adalah titik keseimbangan
antara sumber bahan-bahan mentah (M1 dan M2) dengan pasar (Mk). Untuk menunjukkan bahwa
lokasi tersebut optimum terhadap sumber-sumber input produksi dengan pasar, Weber
mengemukakan suatu indeks yang disebut dengan indek bahan (material index) yang dirumuskan
sebagai berikut:

Gambar Segitiga Lokasi Weber

Menurut teori Losch yang menggunakan pendekatan Kerucut Permintaan yang


diturunkan menjadi kurva permintaan. Teori Losch tersebut dikenal dengan teori Loschian
Demand Curve atau kurva permintaan Losch. Teori Losch ini memperbaiki teori sebbelumnya
yang dipelopori oleh Weber. Adapun kurva permintaan dan kerucut permintaan seperti gambar
dibawah ini

Gambar Kurva Permintaan Losch dan Kerucut Permintaan

Pada kurva permintaan Losch diungkapkan bahwa pusat pasar adalah O sedangkan lokasi
yang berdekatan dengan pasar adalah P. Harga persatuan barang adalah OP dengan permintaan
sebesar PQ. Agak jauh dari pusat pasar, misalkan saja titik R, biaya pengangkutan menyebabkan
harga persatuan barang meningkat menjadi OR dengan permintaan RS. Jauh dari pusat pasar,
misalnya titik F, biaya pengangkutan menyebabkan harga per satuan barang menjadi sangat tinggi
sehingga permintaan sama dengan nol.
Berdasarkan ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa bila lokasi perusahaan tersebut
dekat dengan sumber input produksi atau pasar, maka biaya pengangkutan dapat diminimalisasi
oleh perusahaan. Tetapi bila lokasi perusahaan tersebut berjauhan dengan sumber input produksi
atau pasar, maka biaya transportasipun akan meningkat dan biaya tersebut akan dibebankan pada
produk yang dijual.
Berdasarkan kedua teori di atas dapat ditunjukkan pemilihan lokasi dalam rangka
pengembangan usaha ditentukan berdasarkan kedekatan dengan sumber bahan baku produksi,
pasar, dan biaya transfer. Hal tersebut dapat mempengaruhi keputusan individu, kelompok, atau
lembaga yang memiliki lahan dalam melepas status lahannya, terutama jika lahan tersebut
memiliki nilai jual yang tinggi.
2. Ketahanan Pangan
Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai mengemuka saat
terjadi krisis pangan dan kelaparan yang menimpa dunia pada 1971. Sebagai kebijakan pangan
dunia, istilah ketahanan pertama kali digunakan oleh PBB untuk membebaskan dunia, terutama
negara-negara sedang berkembang dari krisis produksi dan suplai makanan pokok. Fokus
ketahanan pangan pada masa itu, sesuai dengan definisi PBB adalah menitik beratkan pada
pemenuhan kebutuhan pokok dan membebaskan dunia dari krisis pangan. Definisi tersebut
kemudian disempurnakan pada International Conference of Nutrition pada 1992 yang disepakati
oleh pimpinan negara anggota PBB, yakni tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap
orang, baik dalam jumlah maupun mutu pada setiap individu untuk hidup sehat, aktif dan
produktif. Maknanya adalah tiap orang setiap saat memiliki akses secara fisik dan ekonomi
terhadap pangan yang cukup agar hidup sehat dan produktif (Hakim 2014).
World Food Summit pada tahun 1996 mendefinisikan ketahanan pangan terjadi apabila
semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk
pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan
pilihan makanan untuk hidup aktif dan sehat (Safa’at, S 2013).
Beberapa ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok,
yaitu ketersediaan pangan dan aksesesabilitas masyarakat terhadap pangan tersebut. Di
Indonesia konsep ketahanan pangan sudah dituangkan dalam Undang-undang No.7 Tahun 1996
tentang Pangan. Dalam definisi tersebut ditegaskan lima bagian dalam konsep tentang ketahanan
pangan tersebut, yaitu: terpenuhinya pangan yang cukup dari segi jumlah, terpenuhinya mutu
pangan, aman, merata, dan terjangkau.
Hasil dan Pembahasan
1. Konversi Lahan Sawah di Kota Sukabumi
Konversi lahan pertanian (sawah) ke non pertanian di Kota Sukabumi terus terjadi dan
sulit dihindari akibat pertumbuhan ekonomi sehingga mendorong terjadi peningkatan
kebutuhan lahan untuk kegiatan-kegiatan non pertanian. Data konversi lahan pertanian
(sawah) dapat diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan Pusat Statistik
(BPS). Data konversi lahan pertanian (sawah) dari BPN diperoleh dengan memanfaatkan data
berupa Izin Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT), izin lokasi rencana perolehan dan atau
penggunaan tanah dan surat pemberitahuan/klarifikasi rencana perolehan dan atau
penggunaan tanah. Data konversi lahan pertanian (sawah) dari BPS diperoleh dari perubahan
luas lahan sawah setiap tahunnya dan dari data konversi lahan sawah yang dikumpulkan dari
hasil monitoring dan pencatatan di lapang melalui sensus.
Data luas konversi lahan pertanian ke non pertanian yang diterbitkan oleh instansi
berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan ini bisa disebabkan karena metode pengukuran
yang digunakan berbeda. Menurut Irawan (2005), perbedaan data konversi lahan oleh
masing-masing instansi disebabkan oleh perbedaan organization interest dan metode
pengukuran yang digunakan. Data luas konversi lahan yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan peta tahun 2010. 2012 dan tahun 2015.
Peta Konversi Lahan Sawah di Kota Sukabumi Tahun 2010 - 2015
Sumber Peta : Bappeda Kota Sukabumi

Pada tahun 2010 luas sawah di Kota Sukabumi seluas 1.638,06 Ha. Pada tahun 2012 luas sawah
di Kota Sukabumi sebesar 1.578,56 hektar dan pada tahun 2015 menjadi 1.456,32 hektar.
Terjadi konversi lahan sebesar 181,74 hektar dalam kurun waktu lima tahun. Berikut sebaran
luas penggunaan lahan sawah tahun 2010, 2012 dan 2015, serta besar perubahannya.

Tabel Perubahan Luas Lahan Sawah Per Kecamatan


di Kota Sukabumi Tahun 2010-2015

Penggunaan Lahan Sawah (Ha) Perubahan Luas Lahan (Ha)

Kecamatan Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun


% %
2010 2012 2015 2012 2015

Baros 3.4 1.31% 64.01 24.97%


259.7 256.3 192.29
Cibeurueum 18.1 3.56% 13.17 2.69%
502.8 490.1 476.93
Cikole 11.62 11.39% 29.93 33.12%
102 90.38 60.45
Citamiang 1.99 2.94% 0 0.00%
67.79 65.8 65.8
Gunungpuyuh 4.78 5.87% 6.85 8.94%
81.41 76.63 69.78
Lembursitu 7.91 2.17% 5.1 1.43%
364.81 356.9 351.8
Warudoyong 11.7 4.60% 3.18 1.31%
254.15 242.45 239.27
Jumlah 59.5 3.63% 122.24 7.74%
1,638.06 1,578.56 1,456.32
Sumber: Dinas PPKP, Kota Sukabumi
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun terjadi alih fungsi lahan yang cukup
signifikan di setiap kecamatan di Kota Sukabumi. Dimana pada tahun 2015 perubahan luas lahan
sawah mencapai jumlah 7.74 %. Kecamatan Cikole merupakan kecamatan dengan perubahan
penggunaan lahan sawah terluas dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Hal ini wajar karena
Kecamatan Cikole merupakan pusat kota Sukabumi sehingga perkembangan lahan terbangun
relatif lebih cepat dibanding dengan kecamatan lainnya. Beberapa Kantor Pemerintahan pada
tahun 2015 telah dibangun atau dipindahkan ke Kecamatan Cibeureum dan Baros seperti
Bappeda, Badan Kepegawaian Daerah, dan terminal dengan maksud untuk pemerataan
pembangunan kecamatan.
Di Kecamatan Lembursitu dibangun Dinas Pertanian dan Dinas Perhubungan. Dengan adanya
perpindahan beberapa kantor pemerintahan ke kecamatan tersebut maka di sekitar kantor juga
mulai terjadi perubahan fungsi lahan menjadi pertokoan atau perumahan. Di Kecamatan
Gunungpuyuh sebelah utara (Kelurahan Karang Tengah) akan dilewati jalan tol Bogor – Sukabumi,
sehingga luas perubahan lahan sawah akan semakin meluas jika jalan tol tersebut telah terbangun.
Potensi terjadinya konversi lahan bisa terjadi dikarenakan kebutuhan dan besarnya
ketersediaan eksisting. Kecenderungan konversi suatu lahan menjadi lahan terbangun pada suatu
kota sangat besar. Oleh karena itu, potensi transisi melalui hasil analisis pada Gambar menjadi
informasi berharga dalam pengelolaan lahan pertanian ke depan terutama perhatian terhadap
subjek agraria yang mengelola sumber-sumber agraria tersebut. Oleh karena itu, jika
kepemilikan/ penguasaan lahan oleh petani yang menggantungkan hidup pada pertanian, maka
potensi tersebut akan bertambah kecil lagi untuk terkonversi.
2. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kota Sukabumi
Pencegahan dan pengendalian kegiatan konversi lahan pertanian, sejauh ini pemerintah Kota
Sukabumi lebih terfokus pada pendekatan hukum yaitu dengan membuat peraturan dan
perundang-undangan yang bersifat melarang konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah
beririgasi teknis. Dalam pelaksanaannya terdapat dua jenis acuan instrumen hukum yang
digunakan yaitu:
a. RTRW yang mengatur lokasi kegiatan pembangunan termasuk lahan pertanian yang
dapat dikonversi ke penggunaan di luar pertanian.
b. Peraturan-peraturan yang mengatur prosedur pelaksanaan konversi lahan pertanian.
Selama ini sudah cukup banyak peraturan pemerintah yang berkaitan dengan konversi
lahan pertanian tersebut.
c. Dibuatnya Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (PLP2B).
Walikota mempunyai wewenang memberikan ijin terkait kebijakan lahan saat ini melalui
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT). Dalam proses konversi lahan
pertanian ‘yang berijin’ perlu disepakati oleh tim. Tim ini terdiri dari BPMPT, Badan Pertanahan
Daerah, Dinas Pertanian, Dinas Tata Ruang dan Pemerintahan, Biro Hukum-Bappeda, DLAJR, Pol-
PP dan Dinas Ketenagakerjaan. Acuan dasar dari perijinan konversi lahan adalah RTRW yang
berlaku.
3. LP2B dalam RTRW Kota Sukabumi
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Sukabumi Tahun 2011-2031 telah membuat
rencana mengenai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Sebagaimana yang dimuat
dalam Pasal 56, mengenai Kawasan pertanian tanaman pangan yang meiputi pengembangan
kawasan pertanian tanaman pangan seluas kurang lebih 321 ha (tiga ratus dua puluh satu hektar)
di Kecamatan Baros, Kecamatan Lembursitu, dan Kecamatan Cibeureum yang selanjutnya akan
ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan, penyediaannya menjadi tanggung
jawab Pemerintah Daerah yang akan dilaksanakan secara bertahap per tahun sesuai prioritas.
Adapun bentuk upaya yang akan dilakukan adalah peningkatan rice proccesing complex di
Kecamatan Cibeureum dan pengembangan balai benih padi di Kecamatan Warudoyong.
Pelaksanaan rencana pengembangan tersebut dilakukan dengan cara kawasan pertanian
tanaman pangan diarahkan untuk budi daya tanaman pangan, peningkatan sistem irigasi non
teknis, pengupayaan sumber air bagi lahan sawah yang rawan kekeringan pada saat kemarau
melalui peningkatan saluran irigasi non teknis.
Pada Pasal 57 mengenai Pengembangan kawasan pertanian hortikultura yang dimuat dalam
pasal 55 mengenai Kawasan Pertanian adalah pengembangan kawasan pertanian hortikultura di
Kelurahan Cikundul dan peningkatan sub terminal agribisnis di Kecamatan Cibeureum.
4. Kebijakan LP2B terhadap Ketahanan Pangan Kota Sukabumi
Indikator ketahanan pangan suatu wilayah didasarkan pada dua aspek yaitu ketersediaan
pangan dan aksesibilitas pangan bagi masyarakat. Dalam penelitian ini kami menggunakan
ketersediaan pangan sebagai indikator. Kami memfokuskan penelitian ini pada hasil produksi
padi, karena padi merupakan sumber pangan utama di Indonesia. Salah satu faktor yang
mempengaruhi hasil produksi padi adalah luas lahan sawah, untuk itu yang pertama akan kita
bahas adalah implikasi kebijakan LP2B terhadap luas lahan pertanian

Tabel Luas Tanah Sawah di Kota Sukabumi Tahun 2010-2017

Tahun Luas Tanah Sawah (Ha)

2010 1769
2011 1751
2012 1589
2013 1551
2014 1540
2015 1486
2016 1470
2017 1404

Sumber : Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat kita lihat bahwa sebelum diberlakukannya
kebijakan mengenai LP2B, penurunan luas sawah di Kota Sukabumi cukup signifikan. Perbedaan
cukup terlihat setelah diberlakukannya kebijakan, dimana berkurangnya luas sawah tidak
sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan pengendalian alih
fungsi lahan cukup efektif dalam mengendalikan konversi lahan pertanian di Kota Sukabumi.
Pola pergeseran konversi lahan di Kota Sukabumi mengarah ke Barat Laut, di sekitar
Kecamatan Gunungpuyuh dan Kecamatan Warudoyong. Kecamatan Citamiang dan Kecamatan
Cikole merupakan Pusat kegiatan ekonomi, Kecamatan Warudoyong dan Kecamatan
Gunungpuyuh merupakan kecamatan di sekitarnya. Lahan sawah di kecamatan tersebut banyak
dikonversi menjadi lahan pemukiman untuk mendukung laju pertumbuhan dari Kecamatan
Cikole dan Citamiang.
Akibat dari penurunan luas lahan sawah dan peningkatan jumlah penduduk adalah
menyebabkan defisit terhadap kecukupan beras yang semakin tinggi. Kota Sukabumi hanya dapat
memenuhi kebutuhan beras 71,55% di tahun 2010 dan 64,61% di tahun 2012 (Munibah, et.al.
2014). Konversi lahan dikatakan wajar oleh pengusaha atau pemerintah daerah yang memacu
wilayahnya menjadi wilayah perkotaan yang berbasis pada sektor jasa. Namun jika dilihat dari
produktivitas lahan di Kota Sukabumi dan melihat peluang pasar mengenai permintaan beras
yang tinggi dari lokal dan daerah sekitar seharusnya dapat menjadi faktor penunjang untuk tidak
menkonversi lahan sawah.
Tabel Luas Panen Rata-Rata Hasil dan Produksi Padi Sawah di Kota Sukabumi Tahun
2010-2017

Rata-rata Hasil
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)
(Kw/Ha)

2010 4029 73 27921


2011 3757 74 27652
2012 3530 67 22979
2013 3670 65 22837
2014 3647 64 23358
2015 3880 68 25168
2016 3982 66 26384
2017 3733 61 22617
Sumber : Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat kita lihat bahwa hasil produksi padi pada tahun
2014 sampai tahun 2016 sempat mengalami kenaikan. Setelah sebelumnya pada tahun 2010
sampai tahun 2013 sempat mengalami penurunan hasil produksi yang cukup signifikan. Setelah
diberlakukan kebijakan mengenai LP2B, produksi padi mengalami penurunan tetapi tidak
sebanyak sebelum diberlakukannya kebijakan.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa penetapan kawasan pertanian
pangan berkelanjutan hanya mampu menyelamatkan sebagian kecil lahan sawah dari total area
sawah yang teridentifikasi. Penyebab lahan pangan belum terlindungi antara lain karena
keterbatasan data yang tersedia untuk pengambilan keputusan. Selain itu, keterlambatan
penyelamatan lahan pangan juga terkait dengan pertimbangan ekonomi dan politis yang ada di
Kota Sukabumi. Kebijakan mengenai lahan pertanian berkelanjutan kurang signifikan dalam
meningkatkan ketersediaan pangan. Hasil produksi tidak hanya dipengaruhi oleh luas lahan
namun juga terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil produksi, seperti
perubahan iklim, wabah hama, dan sebagainya. Selain itu penelitian ini hanya menganalisis data
satu tahun setelah ditetapkannya kebijakan mengenai LP2B. Oleh karena itu hasil yang di dapat
juga kurang signifikan. Alangkah baiknya evaluasi dilakukan minimal lima tahun setelah
dilakukannya kebijakan.

Daftar Pustaka

[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2011. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id

[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2012. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id

[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2013. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id

[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2014. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id

[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2015. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2016. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id

[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2017. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id

[BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2018. Kota Sukabumi Dalam Angka 2018. Diakses
melalui : www.bps.go.id

[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2008. Land Utilization by Province in Indonesia. BPS, Jakarta. Diakses
melalui : www.bps.go.id.

Budyatmojo, Winarno. Subekti, Rahayu. 2015. ‘Perlindungan Lahan Pertanian Dalam


Mengantisipasi Alih Fungsi Tanah Akibat Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan’. Jurnal
Yustisia. Vol. 4 No. 2 Hal. 439-455.

Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi. 2016. Data Hasil Produksi
Pertanian. Diakses melalui : https://distan.sukabumikota.go.id/
Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi. 2015. Data Hasil Produksi
Pertanian. Diakses melalui : https://distan.sukabumikota.go.id/

Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi. 2014. Data Hasil Produksi
Pertanian. Diakses melalui : https://distan.sukabumikota.go.id/

Fajar, Yoga. Ismayani. Romano. 2018. ‘Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Sawah
Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Kecamatan Seruway Kabupaten Aceh Tamiang’. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah - AGB, Vol. 3, No. 4, Hal. 321-332.

Kustamar, Togi H. Nainggolan, Agung Witjaksono, (2014), Kebutuhan Konservasi Sumberdaya Air
di Hulu DAS Brantas Untuk Pembentukan Model Desa Konservasi di Kota Batu, dalam
Proseding: ”Inovasi Struktur dalam Menunjang Konektivitas Pulau di Indonesia”, Seminar
Nasional X: Teknik Sipil ITS Surabaya. ISBN 978-979-99327-9-2 pp 689-698

Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan
Putra, Randa Nurianansyah. 2015. ‘Implementasi Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Pertanian Di Kota Batu Sebagai Kawasan Agropolitan’. Jurnal Kebijakan dan Manajemen
Publik. Vol. 3 No.2 ISSN 2303 - 341X.

Undang-Undang RI. Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan

Widayati, Wiwik. 2015. ‘Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di


Kabupaten Demak’. Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan. Vol 1, No. 1. Hal. 5-11.

Witjaksono, Agung. Kustamar. Sunaryo, Dedy Kurnia. 2015. ‘Identifikasi Perubahan Lahan
Pertanian Sebagai Pertimbangan Menyusun Kebijakan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan’. Jurnal Seminar Nasional Teknik Sipil V. Hal. 194-199 ISSN : 2459-9727.

Anda mungkin juga menyukai