ANESTESI UMUM
Judul referat “Anestesi Umum” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas
baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu
Anestesi RSAL dr Ramelan Surabaya.
Mengetahui,
Pembimbing
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmatNya, referat ilmu Anestesi yang berjudul “Anestesi Umum” ini dapat
terselesaikan. Referat ini kami susun sebagai bagian dari proses belajar kami
selama masa kepaniteraan klinik di bagian ilmu Anestesi. Kami menyadari bahwa
referat ini masih jauh dari sempurna serta masih banyak kekurangan. Untuk itu kami
mohon maaf atas segala kesalahan dalam pembuatan referat ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
a. Stadium I ( Analgesi)
b. Stadium II (Delirium/Eksitasi)
Semua anestesi inhalasi berbentuk cair pada suhu 20 0C. Tekanan uap
adalah tekanan yang diberikan oleh molekul dari fase uap pada fase
kesetimbangan saat molekul bergerak masuk dan keluar dari fase cair.
Tekanan uap bergantung pada suhu dan sifat fisik cairan anestesi inhalasi
dan tidak tergantung oleh tekanan atmosfer. Titik didih adalah suhu tertentu
pada saat tekanan uap obat anestetik setara dengan tekanan atmosfer.
Toksisitas CO telah mendapat banyak perhatian. CO beracun dalam
konsentrasi yang sangat rendah. Derajat beratnya toksisitas tergantung dari
lamanya paparan maupun konsentrasi yang dihirup. Dengan
karboksihemoglobin yang rendah, pasien dapat menderita hipoksia meskipun
tekanan parsial oksigen darah tinggi. Selain itu, CO juga meracuni sistem
enzim sitokrom, sehingga lebih menekan penggunaan oksigen. Desfluran
menghasilkan konsentrasi karbon monoksida tertinggi, diikuti oleh enfluran
dan isofluran. Halotan dan sevofluran tidak memiliki kelompok vinil, sehingga
produksi karbon monoksida akibat terpapar penyerap karbon dioksida
dianggap tidak mungkin terjadi. Namun demikian, ada resiko pembentukan
karbon monoksida pada pemakaian sevofluran dengan penyerap karbon
dioksida kering, terutama ketika reaksi eksotermik antara anestetika inhalasi
dan penyerap kering terjadi. Hal ini memberi kesimpulan bahwa potensi untuk
pembentukan karbon monoksida dimiliki oleh semua anestetika inhalasi
modern terkait penggunaan penyerap karbon dioksida kering yang
mengandung kalium hidroksida dan atau natrium hidroksida.
Kadar Alveolus Minimal (KAM) atau Minimum Alveolar Concentration
(MAC) adalah konsentrasi minimal fraksi gas atau uap obat anestetik di dalam
alveoli pada tekanan 1 atm yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada
50% pasien yang dilakukan stimulus standar (seperti insisi bedah). Tujuan
anestesia tentu bukan berdasarkan MAC, karena 50% pasien masih bergerak
pada konsentrasi ini. Pada umumnya imobolisiasi tercapai pada 95% pasien
jika kadarnya dinaikkan di atas 30% nilai MAC. Semakin kecil nilali MAC,
semakin poten zat anestetik tersebut. N2O memiliki nilai MAC tertinggi
(105%), hal ini membuat N2O tidak cukup poten bila digunakan sendiri
sehingga harus dikombinasikan.
MAC sadar adalah konsentrasi minimum alveolar dimana seorang
pasien dapat merespon perintah lisan, sering dilakukan pada akhir anestesia
untuk menentukan apakah pasien sudah tersadar atau belum. MAC ini
penting untuk membantu memperkirakan berapa banyak anestesia yang
diperlukan untuk mencegah pasien bangun. MAC akan meningkat pada usia
muda, alkoholik kronis, hipernatremia, hipertermi (>42 derajat C), peningkatan
neurotransmitter sentral (monoamine oxidase inhibitors, pemberian
amfetamin akut, kokain, efedrin dan lovedopa). MAC menurun pada asidosis
metabolik, usia lanjut, hipotensi(MAP<50mmhg), hipoosmolaritas, hipotermia,
hipertermia(<42 derajat celcius), intoksikasi alkoholisme akut, anemia
(HCT<10%), kehamilan, dll. MAC tidak dipengaruhi oleh hipo atau
hipertirodisme, hipo atau hiperkarbia, spesies, jenis kelamin, durasi anestesia,
tipe stimulus pembedahan.
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan
oleh:
1. Konsentrasi inspirasi. Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam
jaringan sudah penuh, maka ambilan paru berhenti dan konsentrasi uap
inspirasi sama dengan alveoli, tak pernah terjaid dalam praktek. Induksi
makin cepat kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjaid depresi
napas atau kejang laring. Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek
gas kedua).
2. Ventilasi alveolar. Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin
tinggi dan sebaliknya.
3. Koefisien darah/gas. Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam
darah, makin rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru. Makin tinggi curah jantung, makin
cepat uap diambil darah.
5. Hubungan ventilasi-perfusi. Gangguan hubungan ini memerlambat
ambilan gas anestetik.
Sebagian besar gas anestetik dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru.
Sebagian lagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450.
Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal. Eliminasi
N2O sangat cepat sehingga oksigen dan CO2 alveolar menjadi terdilusi;
akibatnya terjadi diluted hypoxia. Resiko demikian dicegah dengan
administrasi O2 100% selama 5-10 menit setelah menghentikan N2O.
Pasien dengan obesitas memiliki jaringan lemak yang lebih dibandingkan
orang normal. Hal ini menjadi pertimbangan bagi pemilihan anestetika
inhalasi karena:
1. Semakin tinggi koef lemak darah, semakin banyak anestika inhalasi
yang larut dalam jaringan lemak.
2. Jaringan lemak memiliki vaskularisasi yang rendah, sehingga butuh
waktu lebih lama untuk eliminasinya.
a. N2O
N2O (laughing gas) diperoleh dengan memanaskan amonium nitrat
sampai 2400C. berbentuk gas tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi, dan
tak terbakar. Pemberian N2O harus disertai O2 minimal 25%. Pada tahun
1878, Paul Bert ahli faal dari Perancis memberi sumbangan pengetahuan
yang penting mengenai tekanan gas darah pada perubahan tekanan
barometrik, menggunakan penggunaan campuran N2O dan O2 dengan
tekanan lebih dari 1 atm menghasilkan anestesia yang memuaskan tanpa
hipoksia. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat
sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan.
b. Halotan
Halotan pertama kali diperkenalkan oleh M. Johnstone pada 1954.
Dalam waktu singkat halotan menyebar luas dalam praktek anestesia.
Halotan adalah turunan etan. Kelebihan halotan adalah tidak mudah
terbakar, baunya enak dan tak merangsang jalan napas sehingga sering
digunakan sebagai induksi anestesia kombinasi dengan N 2O. keuntungan
lain halotan adalah rendahnya angka kejadian nausea dan vomitus.
Halotan harus disimpan dalam botol gelap supaya tidak dirusak oleh
cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.
Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan semprotkan
lidokain 4% sekitar faring laring.
Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah
otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi,
sehingga tidak disukai untuk bedah otak.
Kekurangan halotan yaitu mensensitisasi miokard terhadap
katekolamin, antara lain menimbulkan disritmia terutama bila digunakan
bersama adrenalin, khasiat analgetik lemah, sedikit atau tidak ada efek
analgetik post anestesia, menyebabkan menggigil atau tremor post
anestesia, menimbulkan hipotensi, dihubungkan mempunyai efek toksis
pada hepar.
Kelebihan dosis dapat menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis, hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Analgesi
lemah, anestetik kuat sehingga kombinasi dengan N2O ideal selama tidak
ada kontraindikasi.
Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol %, karena relaksasi
uterus kan menyebabkan perdarahan. Halotan menghambat pelepasan
insulin, meninggikan kadar gula darah.
Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidatif
menjadi komponen bromin, klorin, dan asam trikloroasetat. Secara reduktif
menjadi komponen fluorida dan produk non volatil yang dikeluarkan lewat
urin. Metabolisme reduktif ini menyebabkan hepar bekerja keras, sehingga
merupakan kontraindikasi penderita gangguan hepar, pernah dapat
halotan dalam waktu kurang tiga bulan, atau pada pasien obesitas.
c. Enfluran
Enfluran adalah anestetik inhalasi yang banyak digunakan pada era
1970an, pertama kali dikembangkan oleh Ross Terrel pada tahun 1963,
dan digunakan di klinik pertama kali oada 1966. Dr. Terrel mendapat
penghargaan karena penemuannya atas enfluran (Ethrane) dan isofluran
(Forane), suatu obat anestetik inhalasi yang paling luas digunakan di
seluruh dunia.
Pada EEG menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai
hipokapnia, karena itu hindari penggunaannya pada pasien riwayat
epilepsi. Enfluran dimetabolisme hanya 2-3% oleh hepar menjadin produk
nonvolatil yang dikeluarkan lewat urin. Sisanya dikeluarkan lewat paru
dalam bentuk asli. Induksi dan pulih sadar lebih cepat dari halotan.
Depresi napas dan lebih iritatif terhadap jalan napas. Efek relaksasi
terhadap otot lurik lebih baik.
d. Isofluran
Isofluran merupakan halogenisasi eter yang pada dosis anestetik atau
subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan TIC. Tapi hal ini dapat dikurangi
dengan teknik anestesia hiperventilasi, senhingga banyak digunakan
untuk bedah otak. Depresi jantung dan efek curah jantung minimal
sehingga cocok untuk pasien hipotensi dan gangguan koroner. Dosis
pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa.
e. Desfluran
Halogenasi eter yang mirip isofluran. Desfluran memiliki kelarutan yang
rendah dan lemak maupun darah. Sangat mudah menguap sehingga
mebtuhkan vaporizer khusus (TEC-6). Potensi rendah (MAC 6%).
Simpatomimetik sehingga takikardi dan hipertensi. Merangsang jalan
napas atas pada penggunaan >10% sehingga tidak digunakan untuk
induksi.
f. Sevofluran
Induksi dan pulih sadar lebih cepat dari isofluran. Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan napas. Efek kardiovaskular cukup
stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap SSP seperti isofluran
dan belum ada laporan tentang hepatotoksik. Setelah pemberian
dihentikan, sevofluran cepat dikeluarkan dari tubuh.
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena. Anestesi intravena dapat digunakan untuk induksi, rumatan
anestesi, tambahan pada anestesi regional maupun untuk membantu
prosedur diagnostik. Penggunaan anestesi intravena harus hati-hati karena
dosis yang berlebihan dapat menyebabkan pasien berhenti bernapas. Selain
itu, induksi intravena tidak boleh digunakan pada pasien dengan jalan
pernapasan yang sulit ditangani. Untuk pasien seperti itu, lebih aman
digunakan anestesi inhalasi. Contoh obat anetesi intravena yaitu thiopental,
propofol, ketamin, opioid, benzodiazepin dan etomidate.
1. Thiopental
Thiopental (penthothal, thiopentone, trapanal) merupakan obat
anestesi umum barbiturat short acting. Tersedia dalam ampul yang
berisi bubuk kuning, yang harus dilarutkan dalam air atau salin steril
untuk membuat larutan 2,5% (25 mg/ml). Thiopental dapat
mencapai otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat (30-45
detik). Thiopental ini berbau belerang dan tersedia dalam ampul
500 mg atau 1000 mg. Dosis rata-rata pada orang dewasa adalah
3-7 mg/kg dan disuntikkan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60
detik. Injeksi thiopental biasanya tidak sakit. Tetapi apabila pasien
mengeluh sakit, hentikan penyuntikkan segera karena ada
kemungkinan jarum keluar dari vena atau bahkan masuk ke dalam
arteri. Jika ujung jarum masuk ke dalam arteri, biarkan dulu, lalu
suntikkan 5 mL lidokain 1%, hidrokortison 100 mg dan heparin 1000
IU untuk mencegah trombosis arteri.
Suntikan thiopental akan menyebabkan pasien dalam keadaan
sedasi, hipnosis, anestesia atau depresi napas. Thiopental
menurunkan aliran darah ke otak, tekanan likuor, tekanan
intracranial dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan
O2. Dosis rendah bersifat anti-analgesi. Dosis yang berlebihan akan
menyebabkan hipotensi akibat depresi pusat vasomotor dan henti
napas akibat depresi pusat pernapasan.
Ion Na masuk sel dan ion K keluar sel, perpindahan ini menyebabkan
eksitasi serabut otot
b. EXCITATION-CONTRACTION COUPLING : potensial aksi pada
sarcolema mengaktifkan myofilament sehingga menyebabkan kontraksi
otot
c. CONTRACTION
d. RELAXATION
Berhentinya sinyak saraf pada neuromuscularjunction
Intermediet acting
Short acting
RINGKASAN
Anastesi umum adalah keadaan tidak sadar yang disertai hilangnya rasa sakit
diseluruh tubuh, melalui pemberian obat-obatan anastesi yang digunakan selama
prosedur pembedahan dan tindakan medis tertentu. Tujuan anastesi yang lain
adalah menghilangkan ingatan (amnesia), membuat tidur (narcosis), dan
melemaskan otot agar pembedahan berjalan lebih baik.
Anastesi umum dilakukan dengan obat yang diberikan secara inhalasi maupu
secara parenteral. Obat anastesi inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik
saat ini ialah N2O, Halotan, Erifluran, Isofluran, Desfluran dan Sevofluran. Pada
umumnya obat-obat anstesi inhalasi hanya memberikan sedikit efek relaksasi otot,
sehingga untuk mencapai relaksasi yang baik dilakukan dengan menambah obat
pelumpuh otot.
Anastesi intravea selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan
anastesi, tambahan pada analgesi regional atau untuk membantu prosedur
diagnostic. Obat-obat tersebut antara lain thiopental, ketamin, propofol dan opioid.
Kedalaman atau stadium anastesi dibagai dalam 4 tahap yaitu tahap 1 (analgesi),
tahap 2 (eksitasi), tahap 3 (pembedahan), tahap 4 (paralisis).
DAFTAR PUSTAKA
Vacanti EA, Sikka PK, Urman RD, Dershwith M, Segal BS. 2011. Essential Clinical
Anesthesia. New York : Cambridge University Press.
Dobson MB. 1988. Anaesthesia At The District Hospital. World Health Organization.
Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Ilmu Anestesi dan
Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta, 2010. P.49-65.