Anda di halaman 1dari 2

Pengaturan Waktu Kerja Shift

1. Ketentuan mengenai waktu kerja pekerja ini dapat kita temui dalam Paragraf 4 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), khususnya Pasal 77 s/d Pasal 85 UUK.

Pasal 77 ayat (1) UUK mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja.
Ketentuan waktu kerja ini telah diatur oleh pemerintah yaitu:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima hari kerja dalam 1
(satu) minggu.

Akan tetapi, ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu
seperti misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan
jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan (lihat Penjelasan Pasal 77 ayat [3]
UUK).

Di sisi lain, ada pula pekerjaan-pekerjaan tertentu yang harus dijalankan terus-menerus, termasuk pada
hari libur resmi (lihat Pasal 85 ayat [2] UUK). Pekerjaan yang terus-menerus ini kemudian diatur
dalam KepmenakertransNo. Kep-233/Men/2003 Tahun 2003 tentang Jenis dan Sifat
Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus. Dan dalam penerapannya tentu pekerjaan
yang dijalankan terus-menerus ini dijalankan dengan pembagian waktu kerja ke dalam shift-shift.

Sebelum berlakunya UUK, ada ketentuan yang mengatur bahwa pejabat yang berwenang juga
mengarahkan perusahaan untuk menambah jumlah tenaga kerja atau menggunakan sistem
kerja shift (Pasal 5 Instruksi Menteri Tenaga Kerja RI No. INS-03/M/BW/1991 tentang Pelaksanaan
Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Lebih Dari 9 Jam Sehari dan 54 Jam Seminggu). Lebih jauh,
simakWaktu Kerja Lembur Lebih Dari 54 Jam Seminggu.

Dengan berlakunya UUK, ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi sehingga ketentuan mengenai jam
kerja saat ini mengacu pada UUK. Karena tidak diatur secara spesifik mengenai berapa jam seharusnya 1
(satu) shift dilakukan, maka pimpinan (management) perusahaan dapat mengatur jam kerja (baik
melalui Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja maupun Perjanjian Kerja Bersama). Pengaturan jam
kerja tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan:
a. Jika jam kerja di lingkungan suatu perusahaan atau badan hukum lainnya(selanjutnya disebut
“perusahaan”) ditentukan 3 (tiga) shift, pembagian setiap shift adalah maksimum 8 (delapan) jam per-
hari, termasuk istirahat antar jam kerja (Pasal 79 ayat [2] huruf a UUK)
b. Jumlah jam kerja secara akumulatif masing-masing shift tidak boleh lebih dari 40 (empat puluh) jam per
minggu (Pasal 77 ayat [2] UUK).
c. Setiap pekerja yang bekerja melebihi ketentuan waktu kerja 8 (delapan) jam/hari per-shift atau melebihi
jumlah jam kerja akumulatif 40 (empat puluh) jam per minggu, harus sepengetahuan dan dengan surat
perintah(tertulis) dari pimpinan (management) perusahaan yang diperhitungkan sebagai waktu kerja
lembur (Pasal 78 ayat [2] UUK).

Terkait dengan pembagian jam kerja (terutama bagi satpam) dalam shift ini dapat Anda simak pula
dalam artikel Upah Lembur Satpam.

2. Kami tidak menemukan adanya peraturan yang secara spesifik mengharuskan perusahaan
untuk melaporkan kepada Dinas Ketenagakerjaan (“Disnaker”) jika perusahaan menambahkan waktu
kerja, yang semulanya normal, menjadi shift. Namun, pada beberapa perusahaan, waktu kerja ini
dicantumkan dalam Peraturan Perusahaan (“PP”). Sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (1) UUK,
PP mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk (biasanya Disnaker).
Sehingga, jika ketentuan mengenai waktu kerja normal menjadi shift ini kemudian diatur dalam PP, maka
perubahannya harus disampaikan ke Disnaker setempat untuk disahkan.

Dan berdasarkan penelusuran kami, dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
RI No. Kep-234/Men/2003 Tahun 2003tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor
Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu (“Kep-234/Men/2003”) juga
diatur bahwa jika perusahaan melakukan perubahan waktu kerja, maka Pengusaha memberitahukan
secara tertulis atas perubahan tersebut kepada Instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota(lihat Pasal 4 ayat [3] Kep-234/Men/2003). Akan tetapi,
ketentuan ini juga bukan mengatur secara spesifik mengenai perubahan waktu kerja normal menjadi
shift, dan hanya berlaku pada sektor usaha energi dan sumber daya mineral pada daerah tertentu.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik IndonesiaNomor Kep-233/Men/2003
Tahun 2003tentangJenis dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus;
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik IndonesiaNomor Kep-234/Men/2003
Tahun 2003 tentangWaktu Kerja Dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya Mineral
Pada Daerah Tertentu

Anda mungkin juga menyukai