Anda di halaman 1dari 28

PERSEPSI WAJIB PAJAK TERHADAP MODERNISASI ADMINISTRASI

PERPAJAKAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Program

Studi Akuntansi S1 Jenjang Sarjana

Disusun Oleh :

MUHAMMAD REZKY FACHREZA

A1021411RB5027

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANGGA BUANA – YPKP

BANDUNG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pajak merupakan sumber potensial dalam penerimaan negara. Dengan semakin

meningkatnya pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran masyarakat tentang pajak, akan

mendukung kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dana untuk kepentingan

peyelenggaraan negara, karena pajak memegang peranan penting bagi penerimaan negara.

Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 23A amandemen Undang-Undang Dasar 1945 bahwa

pajak dan pemungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara, diatur dengan

undang-undang. Hal tersebut menunjukan bahwa pajak merupakan peralihan kekayaan dari

masyarakat ke pemerintah untuk membiayai pengeluaran negara dengan tidak mendapatkan

kontraprestasi secara langsung. Undang-Undang yang mengatur perpajakan tersebut antara

lain memuat mengenai Undang-Undang pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai

dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), dan jenis pajak lainnya seperti

pajak bea materai, pajak bumi dan bangunan (PBB).

Dalam beberapa tahun terakhir, pajak merupakan sumber penerimaan negara yang

memberikan kontribusi besar terhadap APBN. Menurut data Kementrian Keuangan Republik

Indonesia (KEMENKEU, APBN-2017), bahwa penerimana pajak berkontribusi sebesar

85,6% atau 1.498,9 triliun dari 1.750,3 triliun, yang meliputi : Penerimaan perpajakan dari

PPh Migas Rp 35,934 triliun, PPh Nonmigas Rp 751,77 triliun, PPN dan PPnBM Rp 493,888

triliun, PBB Rp 17,295 triliun, Cukai Rp 157,158 triliun, pajak lainnya Rp 8,749 triliun, dan

pajak perdagangan internasionai Rp 34,075 triliun. Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

Kementerian Keuangan Republik Indonesia mencatat realisasi penerimaan pajak sampai


dengan 30 September 2017 mencapai Rp. 770,7 triliun atau 60% d Rp 1.283,57 triliun.

Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan,

penerimaan tersebut turun 2,79% secara year on year (yoy). Pada periode yang sama tahun

lalu, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 791,9 triliun. Oleh karena itu pemerintah

mencoba mengoptimalkan penerimaan pajak dengan melakukan perubahan-perubahan dari

semua aspek menuju ke arah yang lebih baik, agar dapat meningkatkan kepatuhan wajib

pajak dalam membayar pajak dan reformasi pajak dijalankan dari waktu ke waktu.

Tabel 1.1.
Realisasi Penerimaan Negara dari Pajak
KONTRIBUSI NAIK / TURUN
REALISASI PENERIMAAN PAJAK KONTRIBUSI
TAHUN PENERIMAAN PERPAJAKAN TERHADAP PAJAK DARI
NEGARA (miliyar rupiah) PENERIMAAN TAHUN
(miliyar rupiah) NEGARA SEBELUMNYA
(%)
2010 995.271,50 723.307,00 72,67 -
2011 1.210.599,70 873.874,00 72,19 Turun
2012 1.338.109,60 980.518,10 73,28 Naik
2013 1.438.891,10 1.077.306,70 74,87 Naik
2014 1.550.490,80 1.146.865,80 73,97 Turun
2015 1.508.020,37 1.240.418,86 82,25 Naik
2016 1.786.225,00 1.539.166,20 86,17 Naik
2017 1.737.629,40 1.495.893,80 86,09 Turun
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2017.

Berdasarkan Tabel 1.1. dapat diketahui bahwa prosentase penerimaan pajak

berkontribusi sebesar 69,37% sampai dengan 86,09% dari tahun 2010 sampai tahun 2017

terhadap penerimaan Negara. Dari data diatas, selama 7 tahun penerimaan pajak terhadap

penerimaan negara mengalami naik turun dari tahun ke tahun. Penurunan penerimaan pajak

terjadi pada tahun 2011, 2014 dan 2017 tidak terlepas dari peran serta wajib pajak dalam

melaksanakan kewajiban perpajakannya, dimana dari data tersebut dapat tercermin bahwa

tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah, sehingga berpengaruh terhadap target realisasi

penerimaan pajak. Sehingga, perlu ditingkatkan ketaatan dan kepatuhan wajib pajak agar
dapat memaksimalkan penerimaan pajak yang akan mendorong tercapainya realisasi target

penerimaan negara.

Di tengah beban pengamanan penerimaan negara yang terus meningkat dan tingkat

kepercayaan masyarakat yang masih rendah terhadap sistem perpajakan, Pemerintah perlu

melakukan reformasi yang komprehensif di bidang perpajakan. Tanpa strategi yang

mendasar, dikhawatirkan akan terjadi penurunan kepatuhan membayar pajak sehingga dapat

mengganggu kestabilan dan sustainability keuangan negara. Oleh karena itu, proses

pembayaran dan pelaporan pajak sangat melelahkan. reformasi perpajakan ini merupakan

faktor utama dalam rangka pemberdayaan strategi pemungutan pajak dengan pendekatan

holistik dan berkesinambungan. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dibawah

naungan Kementerian Keuangan telah dan akan terus melakukan reformasi perpajakan yang

selaras dengan dinamika perekonomian dan dunia usaha agar dapat mewujudkan sistem

perpajakan yang adil, kompetitif, dan memberikan kepastian hukum. Reformasi perpajakan

yang dilakukan mencakup dua bidang yaitu reformasi di bidang kebijakan dan reformasi di

bidang administrasi perpajakan.

Sebagai bentuk penghargaan atas peran serta masyarakat, pemerintah dalam hal ini

Direktorat Jenderal Pajak dibawah naungan Kementerian Keuangan senantiasa berusaha

untuk memberikan pelayanan yang efisien, profesional, dan adil dalam penyelenggaraan

administrasi perpajakan. Semenjak tahun 2002, Direktoran Jenderal Pajak telah meluncurkan

program perubahan atau reformasi administrasi perpajakan yang biasa disebut modernisasi.

Jiwa dari program modernisasi ini adalah pelaksanaan good governance, yaitu penerapan

sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem

informasi teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh adalah pemberian

pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada para Wajib Pajak. Jika program

modernisasi ini ditelaah secara mendalam, termasuk perubahan-perubahan yang telah,


sedang, dan akan dilakukan, maka dapat dilihat bahwa konsep modernisasi ini merupakan

suatu terobosan yang akan membawa perubahan yang cukup mendasar dan revolusioner.

Tujuan modernisasi yang ingin dicapai adalah meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib

Pajak, meningkatkan kepercayaan masyarakat, dan meningkatkan produktivitas dan integritas

aparat pajak. Untuk mewujudkan itu semua, maka program reformasi adminsitrasi perpajakan

perlu dirancang dan dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif. Perubahan-

perubahan yang dilakukan meliputi bidang-bidang berikut:

1. Struktur organisasi

2. Proses bisnis dan teknologi informasi dan komunikasi

3. Manajemen sumber daya manusia

4. Pelaksanaan good governance

(http://www.pajak.go.id/sites/default/files/Annual_Report%202007.pdf)

Dengan adanya modernisasi sistem administrasi pada perpajakan menunjukan adanya

peningkatan yang lebih efisien dan lebih produktif. Hal-hal yang mengindikasi efektifitas

sistem perpajakan yang saat ini dapat dirasakan oleh wajib pajak antara lain :

1. Adanya sistem pelaporan melalui e-SPT dan e-Filling.

2. Pembayaran melalui e-Banking yang memudahkan wajib pajak dapat melakukan

pembayaran dimana saja

3. Penyampaian SPT melalui drop box yang dapat dilakukan di berbagai tempat, tidak

harus di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar.

4. Peraturan perpajakan dapat diakses secara lebih cepat melalui internet, tanpa harus

menunggu adanya pemberitahuan dari KPP tempat wajib pajak terdaftar.


5. Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dapat dilakukan secara online

melalui e-Registration dari website pajak yang akan memudahkan wajib pajak untuk

memperoleh NPWP secara lebih cepat.

6. Dengan adanya Account Representative (AR) sebagai ujung tombak pelayanan yang

mempermudah sistem pelaporan pajak oleh wajib pajak dan tempat wajib pajak

berkonsultasi tentang perpajakan.

Perbaikan proses bisnis juga dilakukan antara lain melalui pemanfaatan teknologi

informasi dan komunikasi (TIK) dengan dibukanya fasilitas e-Filing (pengiriman SPT secara

online melalui internet), e-Payment (Modul Penerimaan Negara), dan e-Registration

(pendaftaran NPWP secara online melalui internet). Semua fasilitas tersebut disediakan untuk

memudahkan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya tanpa terkendala

selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu termasuk hari libur. Selain itu e-Billing pun salah

satu fasilitas tersebut adalah sistem pembayaran elektronik (Billing system). Sistem

pembayaran pajak secara elektronik adalah bagian dari sistem Penerimaan Negara secara

elektronik yang diadministrasikan oleh Biller Direktorat Jenderal Pajak dan menerapkan

Billing System. Billing System adalah metode pembayaran elektronik dengan menggunakan

Kode Billing. Saat ini Wajib Pajak dapat lebih mudah dalam pemenuhan kewajiban

perpajakan dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas elektronik yang telah disediakan

Direktorat Jenderal Pajak. Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran/penyetoran pajak

dengan sistem pembayaran pajak secara elektronik.

Kebutuhan akan teknologi infomasi semakin berkembang. Pemerintah dalam hal ini

Direktorat Jenderal Pajak dibawah naungan Kementerian Keuangan memperbaiki


infrastruktur reformasi perpajakan menjadi serba modern ditambah dengan meningkatkan dan

memperbaiki sistem administrasi perpajakan lebih mudah untuk wajib pajak dan lebih praktis

melakukan pembayaran, pelaporan dimana saja. Dan mempercepat proses ekerjaan yang

memakan waktu lama menjadi semakin simple dan cepat selesai dengan bantuan teknologi

informasi.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat diuraikan identifikasi masalah sebagai

berikut :

1. Realisasi penerimaan selama pajak selama ini masih dibawah target.

2. Proses pembayaran pajak dan pelaporan pajak bagi wajib pajak sangat melelahkan

3. Teknologi dan Informasi berkembang infrasturktur perpajakan yang mengarah

pada modernisasi dalam penggunaan teknogi komputerisasi dalam penyetoran,

pelaporan dan administrasi pajak mengharuskan wajib pajak mampu

menggunakan teknologi dalam pelaksanaan perpajakannnya.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah

yang akan diteliti di bawah ini :

1. Bagaimana penerimaan pajak sebelum dan setelah adanya administrasi

modernisasi perpajakan?

2. Bagaimana respon Wajib Pajak sebelum dan setelah adanya modernisasi

administrasi perpajakan?

3. Bagaimana persepsi Wajib Pajak terhadap modernisasi administrasi perpajakan?


1.4 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.4.1 Maksud Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi mengenai

persepsi Wajib Pajak terhadap Modernisasi Administrasi Perpajakan. Selain itu,

penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang

kesarjanaan program studi Akuntansi Universitas Sangga Buana YPKP Bandung.

1.4.2 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penerimaan pajak setelah dan sebelum adanya modernisasi

administrasi perpajakan.

2. Untuk mengetahui respon Wajib Pajak sebelum dan setelah adanya modernisasi

administrasi perpajakan.

3. Untuk mengetahui persepsi Wajib Pajak terhadap modernisasi administrasi

perpajakan.

1.5 Kegunaan Penelitian

Melalui penelitian ini, peneliti mengharapkan hasilnya dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang berkepentingan, antara lain sebagai berikut :

1.5.1 Kegunaan Akademis


a. Bagi Penulis, penelitian ini berguna dalam menerapkan dan mengembangkan ilmu

yang didapat selama masa perkuliahan serta untuk menambah wawasan dan

pengetahuan mengenai seberapa penting modernisasi administrasi pepajakan bagi

Wajib Pajak.

b. Bagi Peneliti atau Mahasiswa lain, bentuk penelitian ini dapat dikembangkan

untuk meneliti hal-hal yang berkaitan dengan modernisasi administrasi perpajakan

atau objek penelitian yang lainnya.

1.5.2 Kegunaan Praktis

a. Bagi instansi, diharapkan dapat memberikan pemikiran maupun masukan untuk

mengetahui tingkat kepuasan dan pelayan yang telah diberikan kepada masyarakat

yaitu Wajib Pajak.

b. Bagi wajib pajak, agar dapat memaksimalkan tingkat pemahaman tentang

modernisasi administrasi perpajakan sehingga dengan mudah Wajib Pajak

membayar dan melapor pajak.

1.6 Kerangka Pemikiran, Studi Empiris dan Hipotesis

1.6.1 Landasan Teori

Masalah perpajakan tidaklah sederhana hanya sekedar menyerahkan sebagian

penghasilan atau atau kekayaan seseorang kepada negara, tetapi coraknya terlihat

bermacam-macam bergantung kepada pendekatannya. Dalam hal inilah pajak di dapat


didekati atau ditinjau dari berbagai aspek, di antaranya adalah aspek ekonomi, hokum,

keuangan dan sosiologi (Waluyo, 2010 : 3 ).

Sebagai kontribusi penerimaan terbesar, penataan regulasi pajak harus terus di

tingkatkan dan disosialisasikan agar masyarakat semakin memahami arti penting dan

segala hal yang berkaitan dengan pajak. Maka pemerintah dalam hal ini Direktorat

Jenderal Pajak dibawah naungan Kementerian Keuangan telah melakukan berbagai

upaya strategis untuk memaksimalkan penerimaan pajak.

Definisi pajak menurut Prof. Dr. MJH. Smeets dalam buku De Economische

Betekenis Belastingen (terjemahan) :

“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-

norma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang

dapat ditunjukan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai

pengeluaran pemerintah”.

Adapun definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, dalam

bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pendapatan Pajak (1990:5) menyatakan :

“Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang

(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestrasi),

yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran

umum”.

Pemahaman perpajakan digunakan oleh wajib pajak sebagai informasi pajak

dalam melakukan tindakan pajak seperti menghitung, memperhitungkan, menyetor

dan melaporkan jumlah pajak yang terutang.

Berdasarkan konsep pengetahuan atau pemahaman pajak menurut Siti Kurnia

Rahayu (2010), wajib pajak harus memiliki di antaranya adalah pengetahuan


mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan, system perpajakan di Indonesia

dan fungsi perpajakan.

Modernisasi system administrasi perpajakan sebagai salah satu bentuk

reformasi dalam memberikan pelayanan yang dilakukan oleh kantor pajak dimana

akan mempengaruhi pula patuh tidaknya wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban

perpajakannya. Hal ini dikarenakan Wajib Pajak dalam melaporkan pajaknya dengan

cara mendatangi ke kantor-kantor pajak terdekat. Jika system yang ada telah

memberikan kepuasan terhadap Wajib Pajak maka Wajib Pajak sendiri akan lebih

patuh dalam melaksanakan kewajiban pepajakannya.

Menurut Sony Devano & Siti Kurnia Rahayu (2010), indikator-indikator

dalam modernisasi system administrasi perpajakan adalah sebagai berikut :

1. Sistem Administrasi

2. Efektifitas Pengawasan

3. Sumber Daya Manusia Profesional

Banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak, diantaranya mengenai

pemahaman tentang perpajakan, masih banyaknya pelanggaran perpajakan, kurangnya

keadaan masyarakat, dan kurangnya sosialisasi adanya sistem administrasi perpajakan yang

semakin modern. Maka dari penjelasan diatas dapat digambarkan kerangka pikir sebagai

berikut :
Realisasi Target
Penerimaan Pajak

Infrastruktur Reformasi
Sistem Pemungutan
Perpajakan Perpajakan

 Penggunanan  Official  Organisasi.


Teknologi Assessment  Sumber Daya
Komputerisasi System Manusia.
 Modernisasi  Self Assessment  Teknologi
Sistem System Informasi Dan
Administrasi  Witholding Basis Data.
 Peluncuran System  Proses Bisnis.
Aplikasi-Aplikasi  Peraturan
Perpajakan Perundang-
seperti e-Filling, undang.
e-Billing, e-SPT,
dll.
 Website Ditjen
Pajak sebagai
Saran Informasi
Online.

Pemahaman Persepsi Wajib Pajak

Modernisasi Administrasi
Perpajakan
Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran

Berdasarkan kerangka pemikiran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Wajib Pajak yaitu pemahaman wajib pajak, mordernisasi sistem administrasi dan saksi pajak.

maka disusunlah sebuah paradigma penelitian yang digambarkan sebagai berikut :

Persepsi Wajib Pajak Modernisasi Administrasi


Perpajakan
(X1)
(Y1)
Indikator :
Indikator :
1. Persepsi Wajib
Pajak mengenai 1. Sistem Administrasi
modernisasi sistem Perpajakan mudah dan
administrasi. Sederhana.
2. Persepsi Wajib 2. Penggunaan Teknologi
Pajak mengenai dalam Administrasi
aplikasi berbasis IT Perpajakan Lebih
yang diluncurkan Efektif dan Efisien.
DJP untuk 3. Aplikasi yang Berbasis
pembayaran dan IT yang diluncurkan
pelaporan pajak. DJP untuk pembayaran
dan Pelaporan Pajak IT
mudah digunakan oleh
Subjek Pajak.

Gambar 1.2
Paradigma Penelitian
1.6.2 Studi Empiris

Tabel 1.5.
Studi Empiris

Nama dan Tahun


No. Variabel Persamaan Perbedaan Kesimpulan
Penelitian
1 Sri Rahayu Dependen : Dependen : Independen : Variabel :
Tahun 2009 Kepatuhan Modernisasi Kepatuhan Hasil
Wajib Pajak Administrasi Wajib Pajak penelitian
(Y1) Perpajakan (X1) menunjukan
(Y1) bahwa
modernisasi
Independen : dalam sistem
Modernisasi administrasi
Administrasi perpajakan
Perpajakan secara positif
(X1) signifikan
mempengaruhi
kepatuhan
wajib pajak.

Dependen : Variabel :
Kepatuhan Modenisasi
Wajib Pajak sistem
Dependen :
Independen administrasi
Silke Ayu Modernisasi
2 : Kepatuhan berpengaruh
Pariningtyas Administras
Independen : Wajib Pajak dan signifikan
i Perpajakan
Modernisasi terhadap
Administrasi kepatuhan
Perpajakan Wajib Pajak.
1.6.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah


pada suatu penelitian (Sugiyono : 2012). Berdasarkan kerangka berpikir yang di jelaskan di
atas, maka penulis dapat menarik hipotesis penelitian sebagai berikut :
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 PAJAK

2.5.2 Pengertian Pajak

Pajak secara sederhana dapat dikatakan sebagai iuran yang memaksa yang dibebankan

kepada Wajib Pajak atas objek pajak yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan negara

berupa pembangunan dan rumah tangga negara, sebagai manfaat dari pajak dirasakan tidak

secara langsung. Berikut definisi pajak menurut para ahli :

1. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Waluyo (2014 : 3)

“Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang

dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang

langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran

umum”.

2. Prof. Dr. MJH. Smeets dalam buku De Economische Betekenis Belastingen

dalam Waluyo (2014 : 2 )

“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma

umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat
ditunjukan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai

pengeluaran pemerintah”.

3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dari definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur,

antara lain :

a. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan

pelaksanaannya yang bersifat dapat dipaksakan. Artinya iuran yang mau tidak mau harus

dibayarkan oleh rakyat kepada negara yang telah diatur dalam undang-undang. apabila

rakyat atau badan hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai wajib pajak

namun, tidak membayar pajak maka, akan dikenakan sanksi sesuai undang-undang yang

berlaku.

b. Tanpa jasa timbal (kontraprestasi) dari negara yang secara langsung dapat ditunjukan.

Pada dasarnya hasil pungutan pajak digunakan untuk membiaya pengeluaran pemerintah

secara umum, misalnya untuk membangun jalan, membayar pegawai negeri, menjaga

keamanan negara, dan memelihara ketertiban umum, dan semua itu merupakan jasa

negara kepada masyarakat. Karena jasa pemerintah bersifat umum maka, antara jumlah

pembayaran pajak oleh seseorang tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan jasa

atau kontraprestasi yang diterima dari negara. Jadi, jasa timbal atau kontraprestasi dari

negara itu jelas ada namun tidak dapat ditunjukan langsung pada tiap individu.

c. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
d. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.

e. Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan-pembiayaan

negara.

2.5.3 Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,

khususnya dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan

negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan.

Mardiasmo (2016:1-2) menyebutkan bahwa ada dua fungsi pajak yaitu :

1. Fungsi Budgeter
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya.
2. Fungsi Mengatur (Regulerend)
3. Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanankan kebijaksanaan pemerintah
dibidang sosial dan ekonomi.
Mardiasmo (2016:2) menyebutkan agar pemungutan pajak tidak menimbulkan

hambatan atau perlawanan, pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Pemugutan harus adil (syarat keadilan).

2. Undang-undang dan pelaksanaan pemungutan pajak harus dilakukan secara adil terhadap

wajib pajak. Adil dalam arti perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara

umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak.

3. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis).

4. Pemungutan pajak harus didasarkan kepada undang-undang, di Indonesia pajak diatur

dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2.

5. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis). Pemungutan pajak tidak boleh

mengganggu perekonomian, diantaranya kegiatan produksi dan perdagangan.

6. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansil). Biaya pemungutan pajak harus dapat

ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.


7. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Dibuat sederhana agar mendorong dan

memudahkan wajib pajak dalam memenuhi administrasi perpajakannya.

2.5.4 Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Siti Resmi (2014:11) dalam pemungutan pajak dikenal dengan beberapa

sistem pemungutan, yaitu :

a. Official Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk

menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan

menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan para aparatur perpajakan.

Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung

pada aparatur perpajakan (peran dominan ada pada aparatur perpajakan).

b. Self Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang memberikan kewenangan wajib pajak dalam

menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan

menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan wajib pajak. Wajib pajak

dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang

sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya

membayar pajak. Oleh karena itu, wajib pajak diberi kepercayaan untuk :

1. Menghitung sendiri pajak yang terutang;

2. Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang;


3. Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang;

4. Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang; dan

5. Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang.

c. With Holding System

Sistem pemungutan pajak yang memberikan kewenangan kepada pihak ketiga yang

ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini

dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan presiden, dan

peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetor, dan

mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. Berhasil atau tidaknya

pelaksanaan pemungutan pajak tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk.

2.2 Persepsi Wajib Pajak

2.2.1 Definisi Persepsi

Menurut Abizar (1998) dalam Prasetyo (2010) persepsi adalah suatu proses dengan

mana seorang individu memilih mengevaluasi dan mengorganisasi stimulus dari

lingkungannya. Persepsi juga menentukan cara kita berperilaku atas suatu objek atau

permasalahan, bagaimana segala sesuatu itu mempengaruhi persepsi seseorang nantinya akan

mempengaruhi perilaku yang dipilihnya. Persepsi terbentuk dari pengamatan melalui proses

melihat, mendengar, menyentuh, merasakan, menerima suatu hal yang selanjutnya seseorang

menseleksi, mengorganisasi dan menginterprestasikan informasi yang diterima menjadi suatu

gambaran.

Pengaruh persepsi dalam membentuk perilaku individu sebagai warga negara dalam rangka

memenuhi kewajiban membayar pajak sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku,


sebagai konklusi tentang persepsi individu bahwa persepsi adalah proses menerima,

mengorganisasikan dan mengartikan suatu obyek.

2.2.2 Definisi Wajib Pajak

Pengertian wajib pajak menurut Siti Resmi (2014:19) dalam Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan Pasal 1 UU No,8 Tahun 2007, menyatakan bahwa :

“Wajib pajak adalah orang pibadi atau badan, meliputi pembayar pajak dan
pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban pepajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”.
Hak wajib pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah :

1. Hak atas kelebihan pajak. Setiap pembayaran wajib pajak yang dilaporkan ke Kantor

Pelayanan Pajak ternyata terdapat kelebihan pembayaran maka dapat direstitusikan atau

dikembalikan kepada wajib pajak.

2. Hak dalam pemeriksaan misalnya hak untuk menanyakan Surat Perintah Pemeriksaan,

hak untuk meminta Tanda Pengenal petugas pemeriksa, hak untuk meminta penjelasan

alasan dilakukan pemeriksaan, hak untuk meminta penjelasan perbedaan atau selisih hasil

pemeriksaan dan untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan.

3. Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan peninjauan kembali atas hasil

pemeriksaan.

Kewajiban wajib pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah

:
1. Mendafratkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Apabila orang

pribadi sudah memiliki penghasilan diatas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) maka

sudah wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

2. Kewajiban untuk menghitung, membayar, memungut atau memotong dan melaporkan

pajak yang terutang.

3. Kewajiban dalam hal diperiksa contohnya, adalah wajib pajak menunjukan atau

meminjamkan dokumen-dokumen pendukung yang diminta oleh tim pemeriksa. Wajib

hadir memenuhi panggilan pada saat diperiksa dan lain-lain.

4. Kewajiban memberikan data. Bagi pihak ketiga pun termasuk intansi pemerintah, badan

lembaga asosiasi dan yang lain harus memberikan data yang diminta oleh Kantor

Pelayanan Pajak.

2.3 Modernisasi Administrasi Perpajakan

2.3.1 Definisi Modernisasi

Modernisasi adalah menjelaskan tentang proses transformasi masyarakat tradisional

atau terbelakang ke masyarakat modern. Selain itu modernisasi juga merupakan proses

perubahan terhadap sistem ekonomi, sosial dan politik.

Menurut Marcus Taufan Sofyan (2005:53) tentang Pengertian Sistem administrasi

Perpajakan Modern :

“Sistem administrasi perpajakan modern adalah penerapan sistem administrasi


perpajakan yang mengalami penyempurnaan atau perbaikan kinerjanya, baik
secara individu, kelompok, maupun kelembagaan agar lebih efisien, ekonomis
dan cepat yang merupakan perwujudan dari program dan kegiatan reformasi
administrasi perpajakan jangka menengah yang menjadi prioritas reformasi
perpajakan yang digulirkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sejak tahun 2001.”
Berdasarkan definisi tersebut diatas sistem administrasi perpajakan modern

merupakan perwujudan dari program dan kegiatan reformasi administrasi perpajakan yang

mengalami penyempurnaan atau perbaikan kinerjanya, baik secara individu, kelompok,

maupun kelembagaan agar sistem administrasi tersebut lebih efisien, ekonomis dan cepat.

Semenjak tahun 2002, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menjalankan program

perubahan (change program) atau reformasi administrasi perpajakan yang biasa disebut

Modernisasi. Berjalan atau tidaknya program modernisasi ini bergantung pada pelaksanaan

good governance, yaitu penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan

akuntabel dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal. Pelaksanaan dari

good governance di dasari konsep pelayanan prima dan pengawasan intensif. Modernisasi

dilakukan di KPP Wajib Pajak Besar, KPP Madia, dan KPP Pratama. KPP Wajib Pajak Besar

mengelola Wajib Pajak skala besar secara nasional dengan jenis badan dan terbatas

jumlahnya. KPP Madia mengelola wajib pajak besar jenis badan dalam skala regional

(lingkup Kantor Wilayah) dan juga terbatas jumlahnya. Sedangkan KPP Pratama mengelola

WP menengah ke bawah yakni jenis badan di luar yang telah dikelola di KPP Wajib Pajak

Besar dan KPP Madia serta orang pribadi.

Konsep umum modernisasi sistem administrasi perpajakan meliputi 3 hal, yaitu :

Pertama, modernisasi restrukturisasi organisasi. Kedua, modernisasi penyempurnaan proses

bisnis melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi. Ketiga, modernisasi

penyempurnaan manajemen sumber daya manusia. Tujuan modernisasi antara lain,

meningkatkan kepatuhan pajak, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan dan memacu

produktivitas pegawai pajak yang tinggi. Keberhasilan modernisasi perpajakan membutuhkan

kerja sama dan keterbukaan hati dari kedua belah pihak, baik dari Direktorat Jenderal Pajak

maupun wajib pajak.


Modernisasi penyempurnaan proses bisnis melalui pemanfaatan teknologi komunikasi

dan informasi diawali dengan adanya penerapan e-system yaitu, fasilitas e-filling (pengiriman

SPT secara online melalui internet), e-SPT (penyerahan SPT dalam media digital), e-payment

(fasilitas pembayaran online untuk PBB), dan e-registration (pendaftaran NPWP secara

online melalui internet). Adanya fasilitas pembayaran PBB yang dapat dilakukan di

ATM/teller atau biasa disebut TP-Elektronik. Dengan fasilitas ini wajib pajak dapat

melakukan pembayaran PBB selama 24 jam dan 7 hari seminggu termasuk hari libur.

Penyederhanaan formulir SPT tahunan pajak penghasilan dan penerbitan template SPT bagi

WP yang berbahasa inggris untuk memudahkan pengisian dan pencetakan SPT, serta

mempermudah persyaratan pendaftaran WP dan Pengusaha Kena Pajak terutama bagi warga

asing dengan tidak mewajibkan Surat Keterangan Domisili diganti hanya dengan

menyampaikan Surat Pernyataan. Fungsi pengawasan internal akan lebih efektif dengan

adanya built-in control system karena siapapun dapat mengawasi berjalannya proses

administrasi melalui sistem yang ada.

2.3.2 Definisi Sistem Administrasi Perpajakan

Pengertian sistem administrasi perpajakan modern menurut Chaizil Nasucha dalam

Siti Kurnia Rahayu (2010 : 93), menyatakan bahwa :

“Sistem administrasi perpajakan modern adalah penerapan sistem administrasi


perpajakan modern yang mengalami penyempurnaan atau perbaikan kinerja
administrasi, baik secara individu, kelompok, maupun kelembagaan agar lebih efisien,
ekonomis dan cepat”.

Siti Kurnia Rahayu (2010 : 93) mengatakan bahwa administrasi pajak dalam arti

sebagai prosedur meliputi antara lain tahap-tahap pendaftaran Wajib Pajak, pelaporan pajak

dan penagihan pajak.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Objek Penelitian

Pada dasarnya objek merupakan apa yang hendak diselidiki didalam

kegiatan penelitian. Menurut Sugiyono (2013:38) menyatakan bahwa :

“Objek penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari
orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya”.

3.2. Metode Penelitian

Metode penelitian berhubungan erat dengan prosedur, teknik, alat serta

desain penelitian yang digunakan. Menurut Sugiyono (2014:2) metode penelitian

adalah:

“Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.”

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode

penelitian adalah cara untuk menganalisis data secara rasional, empiris dan

sistematis untuk mendapatkan fakta dan kesimpulan dari masalah yang diteliti.
3.2.1. Metode yang Digunakan

Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelian ini adalah metode

deskriptif asosiatif.

Menurut Moh. Nazir (2011:54) Metode deskriptif adalah:

“Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok


manusia, suatu objek, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang.Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah
untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,
faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara
fenomena yang diselidiki”.

Adapun untuk menguji hubungan antara variabel digunakan metode asosiatif.

Menurut Sugiyono (2014:11) metode asosiatif adalah :

“Metode asosiatif merupakan metode yang bertujuan untuk mengetahui

adanya pengaruh atau hubungan antar dua variabel atau lebih”.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan survey yaitu penelitian yang

menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Menurut Sugiyono (2014:6),

mendefinisikan metode survei sebagai berikut :

“Metode survei digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu


yang alamiah (bukan buatan), tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam
pengumpulan data, misalnya dengan mengedarkan kuesioner, test,
wawancara terstruktur dan sebagainya (perlakuan tidak seperti dalam
experimen”.

Data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan diproses lebih lanjut

dengan dasar-dasar teori yang telah dipelajari sehingga pada akhirnya menghasilkan

suatu kesimpulan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memberikan suatu

kesimpulan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memberikan saran terbaik.

Anda mungkin juga menyukai