Anda di halaman 1dari 9

Ga dapat: patofisiologi trombositopenia, patofisiologi von willebrand disease, patofisiologi

perdarahan

1. Komponen homeostasis darah (Saskya, agung,eci)


2. Komponen pembekuan darah ( andreas, cahya,irfan)
Mekanisme ketiga untuk hemostasis ialah pembentukan bekuan darah. Bekuan
mulai terbentuk dalam waktu 15 sampai 20 detik bila trauma pada dinding pembuluh
sangat hebat, dan dalam 1 sampai 2 menit bila traumanya kecil. Zat-zat aktivator dari
dinding pembuluh darah yang rusak, dari trombosit, dan dari protein-protein darah yang
melekat pada dinding pembuluh darah yang rusak, akan mengawali proses pembekuan
darah. Faktor-faktor pembekuan darah yang paling penting tercantum ada tabel berikut:

Tabel 1. Faktor-faktor pembekuan dalam darah dan sinonimnya

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta: EGC; 2014.
3. Proses pembeukan darah ( dita, anggi,agung)
4. Respon tubuh ketika terjadi pendarahan ( eci, rosy,andreas)
5. Hemophilia :
a. Definisi (wawan,anggi)
Hemofilia adalah kelompok kelainan pembekuan darah dengan karakteristik sex-
linked resesif dan autosomal resesif, dimana perdarahan dapat terjadi tanpa penyebab
trauma yang jelas atau berupa perdarahan spontan.
Yoshua V, Angliadi E. Rehabilitasi medik pada hemofilia. Jurnal Biomedik (JBM).
2013; 5(2): 67-73.
b. Epidemiologi (irfan,rita)
Prevalensi hemofilia di Indonesia untuk pada tahun 2006 ialah 4,1 per 1 juta
kasus. Kasus hemofilia A lebih sering ditemukan dibandingkan dengan hemofilia B
yaitu tercatat sebanyak 1 per 10 ribu kasus sedangkan kasus hemofilia B 1 per 20-30
ribu kasus. Untuk kasus hemofilia C di Indonesia belum terdapat data resmi karena
kasus ini jarang ditemukan, diperkirakan 1 per 100 ribu kasus hemofilia.
Yoshua V, Angliadi E. Rehabilitasi medik pada hemofilia. Jurnal Biomedik (JBM).
2013; 5(2): 67-73.
c. Etiologi (saskya,cahya)
Hemofilia terjadi akibat gangguan pembekuan darah, sehingga jika penderita
mengalami pendarahan akan sulit untuk dihentikan. Seperti halnya dengan penyakit
keturunan lain, hemofilia diturunkan dari ibu (sebagai carrier) kepada anak laki-
lakinya sejak dilahirkan. Hemofilia terjadi oleh karena adanya defisiensi kongenital
atau gangguan fungsi salah satu faktor pembekuan yaitu faktor VIII pada hemofilia A
serta kelainan faktor IX pada hemofilia B dan faktor XI pada hemofilia C.
- Dipa Care. Booklet hemophilia. Jakarta: PT Dipa Pharmalab Intersains; 2011.
- Prasetyawaty F, Sukrisman L, Setyohadi B, Setiati S, Prasetyo M. Prediksi
kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien hemophilia dewasa di rumah sakit
cipto mangunkusumo. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 2016; 3(3): 116-24.
d. Faktor risiko (agung,andreas)
e. Klarifikasi ( dita,rosy)
f. Patofisiologi (eci, anggi)
g. Manifestasi klinis (wawan, rita)
h. Diagnosis (irfan, cahya)
a) Anamnesis
Pemeriksaan komprehensif pada pasien dengan suspek hemofilia sudah
harus dimulai saat ditemukan riwayat: penyakit hemofilia dalam keluarga; mudah
memar sejak periode neonatal; perdarahan spontan baik internal atau eksternal;
dan perdarahan masif ketika terjadi luka kecil.
Gejala yang paling sering terjadi pada hemofilia ialah perdarahan, baik
yang terjadi di dalam tubuh (internal bleeding) maupun yang terjadi di luar tubuh
(external bleeding). Internal bleeding yang terjadi dapat berupa: hyphema,
hematemesis, hematoma, perdarahan intrakranial, hematuria, melena, dan
hemartrosis. Terdapatnya external bleeding dapat bermanifestasi sebagai
perdarahan masif dari mulut ketika ada gigi yang tanggal atau pada ekstraksi gigi;
perdarahan masif ketika terjadi luka kecil; dan perdarahan dari hidung tanpa
sebab yang jelas.
b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak memicu
terjadinya perdarahan; dalam hal ini, komunikasi antara terapis dan pasien
menjadi kunci utama. Komponen pemeriksaan fisik terdiri dari observasi, lingkup
gerak sendi dan fungsi otot, serta pemeriksaan status neurologik.
Observasi meliputi respons pasien terhadap terapi faktor pembekuan darah
VIII atau IX; respons pasien terhadap aktivitas fungsional seperti duduk, berdiri,
atau berjalan; dan gangguan postur atau pola berjalan, dan ada tidaknya perbedaan
panjang kedua tungkai. Mengenai lingkup gerak sendi dan fungsi otot, perlu
dilakukan pencatatan keadaan sendi dan otot sebelum dan selama follow up
(edema, nyeri, lingkup gerak sendi, deformitas, dan lingkar sendi atau otot yang
terkena). Pemeriksaan status neurologik penting dilakukan karena komplikasi
muskuloskeletal dapat menyebabkan gangguan neurologik misalnya neuropati
perifer pada hemofilia berat.
c) Pemeriksaan penunjang
Kecurigaan ini kemudian ditindaklanjutkan dengan skrining laboratorium
untuk mengetahui fungsi homeostasis serta ada tidaknya kelainan perdarahan.16
Skrining utama untuk menentukan fungsi homeostasis ialah platelet count (normal
150.000- 450.000/mm3 ) dan bleeding time. Pada pemeriksaan platelet count,
pengambilan darah dilakukan melalui pungsi vena; dan perlu diperhatikan apakah
pasien sedang mengonsumsi obat-obatan seperti kloramfenikol, oral anti-
tuberculosis (OAT), colchicine, atau sulfonamid. Pemeriksaan bleeding time
menggunakan metode Ivy dengan nilai normal 1-6 menit, dan dikatakan
memanjang bila >15 menit.
Selain platelet count dan bleeding time, hal-hal lain yang harus diperiksa
ialah prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT),
thrombin time (TT), serta specific coagulation factor assay untuk FVIII dan IX.
Pada keempat pemeriksaan ini, pengambilan darah dilakukan melalui pungsi
vena. Pemeriksaan PT untuk menilai jalur pembekuan darah ekstrinsik, yaitu
keterlibatan faktor I, II, III, IV, V, VII, dan X dalam proses pembekuan darah,
dengan nilai normal 11-13 detik. Pemeriksaan aPTT untuk menilai jalur
pembekuan darah intrinsik yaitu keterlibatan faktor VIII, IX, XI, dan XII, dengan
nilai normal 15-35 detik. Pemeriksaan TT untuk menilai kemampuan membentuk
bekuan darah darah dari fibrinogen yaitu keterlibatan faktor XIII dalam proses
pembekuan darah. Pemeriksaan specific coagulation factor assay untuk FVIII dan
IX dilakukan untuk menilai aktivitas faktor VIII dan IX, dengan nilai normal dari
faktor VIII dan IX assay 60-100%.
Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas, hemofilia dikategorikan: ringan
bila aktivitas faktor pembekuan 5-35% dari normal; sedang, bila aktivitas faktor
pembekuan 1- 5% dari normal; dan berat, bila aktivitas faktor pembekuan <1%
dari normal.
Yoshua V, Angliadi E. Rehabilitasi medik pada hemofilia. Jurnal Biomedik (JBM).
2013; 5(2): 67-73.
i. Komplikasi (saskya, andreas)
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus hemofilia ialah komplikasi
muskuloskeletal dan reaksi auto-antibodi (inhibitor) terhadap faktor pembekuan darah
itu sendiri, baik terhadap faktor VIII atau faktor IX. Komplikasi muskuloskeletal
yang dapat terjadi ialah artritis hemofilik dan perdarahan otot.
Berdasarkan patofisiologinya, artritis hemofilik dapat dibagi menjadi tiga
stadium, yaitu hemartrosis akut, sinovitis kronis, dan artritis degeneratif. Pada
perdarahan sendi, posisi nyaman bagi pasien ialah cenderung posisi fleksi. Kondisi ini
akan memengaruhi otot-otot stabilisator di daerah tersebut. Kelemahan otot
stabilisator akan memicu kerja otototot mobilisator di dekatnya untuk menggantikan
fungsinya sebagai stabilisator, sehingga otot-otot mobilisator akan cenderung
overcontracted yang berakibat mudah terjadi fatique (otot mobilisator terdiri dari serat
otot tipe IIb). Kondisi ini rawan bagi otot untuk terjadinya perdarahan otot.
Yoshua V, Angliadi E. Rehabilitasi medik pada hemofilia. Jurnal Biomedik (JBM).
2013; 5(2): 67-73.
j. Tatalaksana (agung, dita)
Pada kasus hemartrosis, bila tidak didapatkan respons dengan pemberian terapi
hematologi, perlu dipikirkan tindakan joint aspiration (arthrocentesis). Tindakan ini
harus dilakukan 3-4 hari setelah onset hemartrosis untuk mengistirahatkan sendi yang
terkena, sehingga pada saat joint aspiration dilakukan, inflamasi yang terjadi tidak
terlalu hebat (joint aspiration sendiri sudah bersifat invasif). Joint aspiration ditujukan
untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi.
Kontraindikasi joint aspiration ialah adanya proses infeksi baik sistemik maupun
lokal yang sedang berlangsung. Pemilihan ukuran jarum sekitar 25-30G untuk
mengurangi nyeri saat penusukan dan inflamasi setelah joint aspiration selesai
dilakukan.
Yoshua V, Angliadi E. Rehabilitasi medik pada hemofilia. Jurnal Biomedik (JBM).
2013; 5(2): 67-73.
k. Prognosis ( rosy, anggi)
Prognosis pasien hemofilia sebenarnya baik bila semua pihak yang terlibat
senantiasa bekerja sama dalam menghadapi penyakit ini. Disabilitas berat dan
kematian akibat hemofilia serta komplikasinya hanya terjadi sekitar 5-7% pada
hemofilia berat. Penentuan prognosis pada hemofilia tidak sepenuhnya tergantung
pada komplikasi yang terjadi, melainkan harus dilihat secara keseluruhan termasuk
masalah psikososial yang terkait dan tingkat kepercayaan diri pasien.
Yoshua V, Angliadi E. Rehabilitasi medik pada hemofilia. Jurnal Biomedik (JBM).
2013; 5(2): 67-73.
l. Pencegahan (eci, wawan)
m. Edukasi (rita, irfan)
6. Trombositopenia :
a. Definisi (saskya,rosy)
Trombositopenia atau defisiensi trombosit, merupakan keadaan dimana trombosit
dalam sirkulasi jumlahnya di bawah normal (150.000-350.000/µL darah). Penderita
trombositopenia cenderung mengalami pendarahan yang biasanya berasal dari
venula-venula atau kapiler-kapiler kecil. Akibatnya, timbul bintik-bintik perdarahan
di jaringan tubuh. Pada kulit penderita menampakkan bercak-bercak kecil berwarna
ungu, sehingga disebut dengan trombositopenia purpura.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta: EGC; 2014.

b. Etiologi (andreas,eci)
Trombositopenia disebabkan oleh beberapa hal antara lain adalah kegagalan
produksi trombosit, peningkatan konsumsi trombosit, distribusi trombosit abnormal,
dan kehilangan akibat dilusi. Penggunaan obat-obat tertentu juga dapat menyebabkan
trombositopenia, salah satunya adalah kotrimoksazol. Suatu mekanisme imunologis
sebagai penyebab sebagian besar trombositopenia yang diinduksi obat.
Hoffbrand. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC; 2007.
c. Patofisiologi (cahya,anggi)

d. Manifestasi klinis (rosy,wawan)


e. Diagnosis (rita, dita)
f. Tatalaksana (irfan, agung)
7. Van wille broad’s disease
a. Definisi (eci,dita)
b. Etiologi (andreas,saskya)
c. Patofisiologi (cahya,agung)
d. Manifestasi klinis (rosy, rita)
e. Diagnosis (anggi, irfan)
f. Tatalaksana (dita, wawan)
8. Defisiensi vitamin K :
a. Definisi (rita,cahya)
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) merupakan penyakit yang
disebabkan oleh kurangnya vitamin K dalam tubuh. PDVK adalah terjadinya
perdarahan spontan atau perdarahan karena proses lain seperti pengambilan darah
vena atau operasi yang disebabkan karena berkurangnya aktivitas faktor koagulasi
yang tergantung vitamin K (Faktor II, VII, IX dan X) sedangkan aktivitas faktor
koagulasi yang tidak bergantung vitamin K. kadar fibrinogen dan jumlah trombosit
masih dalam batas normal. Kelainan tersebut akan segera membaik dengan
pemberian vitamin K dan setelah penyebab koagulopati lain disingkirkan.
Suoth S, Gunawan S, Pateda V. Pengetahuan, sikap, dan perilaku tenaga penolong
persalinan di puskesmas kota manado terhadap profilaksis vitamin k. Jurnal e-Clinic
(eCI). 2015; 3(2):617-20.
b. Etiologi (rosy, eci)
c. Patofisiologi (andreas, dita)
d. Manifestasi klinis (saskya, wawan)
e. Diagnosis (agung, irfan)
f. Tatalaksana (anggi, cahya)
Bayi yang dicurigai mengalami penyakit akibat defisiensi vitamin K harus segera
mendapat pengobatan vitamin K1 dengan dosis 1-2 mg/hari selama 3 hari berturut
turut. Kemudian dilanjutkan dengan transfusi fresh frozen plasma (FFP) pada bayi
dengan perdarahan yang luas dengan dosis 10-15 ml/kgBB selama 3 hari, mampu
meningkatkan kadar faktor koagulasi tergantung vitamin K sampai 0,1-0,2 unit/ml.
Respon pengobatan diharapkan terjadi dalam waktu 4-6 jam, ditandai dengan
berhentinya perdarahan dan pemeriksaan faal hemostasis yang membaik. Pada bayi
cukup bulan, jika tidak didapatkan perbaikan dalam 24 jam maka harus dipikirkan
kelainan yang lain misalnya penyakit hati. Transfusi packet red cell (PRC) berfungsi
untuk mengatasi anemia. Tatalaksana kejang dan peningkatan intrakranial dapat
diberikan manitol 0,5-1 gr/kgBB/kali atau furosemide 1 mg/kgBB/kali dapat
diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Perlu dilakukan pemantauan ketat
untuk terjadinya syok atau perdarahan yang bertambah serta konsultasi ke bedah
syaraf.
Tata laksana terdiri dari penatalaksanaan antenatal untuk mencegah terjadinya
penyakit akibat defisiensi vitamin K dan penatalaksanaan setelah bayi lahir untuk
mencegah dan mengobati bila terjadi perdarahan. Dalam mencegah terjadinya
defisiensi (bentuk klasik), pemberian vitamin K peroral lebih efektif, lebih murah
dan lebih aman daripada pemberian secara intramuscular (IM), namun untuk
mencegah penyakit yang terjadi (bentuk lambat), pemberian vitamin K oral tidak
seefektif pemberian intramuscular. Selain itu pemberian fresh frozen plasma (FFP)
dapat dipertimbangkan pada bayi dengan perdarahan yang luas dengan dosis 10- 15
ml/kgBB, mampu meningkatkan faktor koagulasi tergantung vitamin K sampai 0,1-
0,2 unit/ml. Respon pengobatan diharapkan terjadi dalam waktu 4-6 jam, ditandai
dengan berhentinya perdarahan dan pemeriksaan faal hemostasis yang membaik.
Pada bayi cukup bulan, jika didapatkan perbaikan dalam 24 jam maka harus
dipikirkan kelainan yang lain misalnya penyakit hati.
Ismy J. Dua kasus acquired prothrombin complex deficiency dengan perdarahan
intrakranial : laporan kasus. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2017; 17(3): 174-8.
9. Hubungan riwayat paman andi terhadap kasus? (rita,rosy)
10. Jelaskan patofisiologi :
a. Bengkak (eci, andreas)
b. Kemerahan (dita,saskya)
c. Nyeri (wawan, agung)
d. Pendarahan (irfan, cahya)

11. Jelaskan mengenai tranfusi darah! (anggi,wawan,rita)

Anda mungkin juga menyukai