Anda di halaman 1dari 291

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327890525

PENGANTAR IMULOGI UNTUK FARMASI

Preprint · September 2018

CITATIONS READS

0 621

2 authors, including:

Akrom Akrom
Ahmad Dahlan University
51 PUBLICATIONS   14 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Nigella sativa as chemopreventive and immunomodulator View project

Development of Nigella sativa oil as immunomodulator and antioxidant for metabolic syndroms patients View project

All content following this page was uploaded by Akrom Akrom on 26 September 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Modul Imunologi

Akrom
Akrom

PENGANTAR IMULOGI
UNTUK FARMASI

Pustaka Imany

1
Akmaa

2
Modul Imunologi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayahNYA kepada penulis sehingga buku ini dapat dis-
elesaikan.
Penyusunan buku ini bertujuan sebagai salah satu buku ajar imu-
nologi bagi mahasiswa farmasi S1 atau untuk memfasilitasi mahasiswa
farmasi belajar imunologi. Buku ini membahas konsep dasar tentang
imunologi mulai dari pengenalan istilah dasar, struktur system imun
dan mekanisme respon imun.
Penemuan obat baru banyak yang dikembangkan dari senyawa-
senyawa organic yang memiliki struktur dan sifat mirip senyawa zat
yang bekerja pada system imun, yang sering disebut sebagai produk
biosimilar. Perkembangan teknologi pengobatan semacam mengharus-
kan mahasiswa farmasi mempelajari imunologi sebagai dasar mema-
hami farmakodinamika dan sebagai dasar pengkajian farmakokinetika
produk biosimilar yang belum tentu ditemukan dalam literature farma-
kologi pada umumnya.
Tentu saja buku ini masih banyak kelemahan dan kesalahan sa-
ran dan masukan sangat diharapkan untuk perbaikan pada percetakan
berikutnya.

Yogyakarta, akhir 2013

Penyusun

3
Akmaa

4
Modul Imunologi

BAGIAN
I
~ BAB I ~
IMUNOLOGI BAGI FARMASIS
SUATU PENGANTAR

Tujuan :

Mampu menjelaskan pengertian imunologi dan imunofar-


makologi
Mampu menjelaskan konsep dasar imunologi dan istilah
penting pada kajian imunologi
Mampu menjelaskan perbedaan imuitas alami dengan imuni-
tas dapatan
Mampu menjelaskan urgensi imunologi dibidang farmasi
Mampu menjelaskan kedudukan imunologi dan imunofar-
makologi pada kajian kefarmasian
Mampu menjelaskan perkembangan terkini imunofarma-
kologi dan prospeknya untuk pengembangan teknologi terapi
obat kedepan

5
Akmaa

A. PENDAHULUAN
Manusia dan hewan mempunyai sistem pelacakan dan penjagaan
terhadap benda asing yang dikenal dengan sistem imun. Sistem imun
melindungi tubuh terhadap penyebab penyakit pathogen seperti virus,
bakteri, parasit, jamur. Sistem imun terbagi menjadi dua yaitu imun
non spesifik (innate immunity) atau system alamiah dan imun spesifik
atau system imun adaptif. Kedua system ini yang melindungi tubuh
dan mengeliminasi agen penyakit. Respon imun yang diselenggarakan
oleh system imun paling tidak memiliki 3 fungsi utama yaitu untuk
pertahanan tubuh, menjaga homeostasis dan melakukan surveilans
atau penjagaan.
Kajian imunologi diterima luas disemua cabang ilmu biologi, teru-
tama ilmu bidang kesehatan, termasuk dibidang ilmu kefarmasian. Se-
bagai ilmu alat, imunologi dapat membantu memecahkan kebuntuan
yang terjadi pada cabang ilmu lainnya. Imunologi telah dirasakan ke-
manfaatannya oleh para klinisi ketika membantu menguraikan ber-
bagai mekanisme patofisiologi dan pathogenesis berbagai penyakit,
termasuk penyakit yang jarang terjadi di masyarakat dan penyakit au-
toimun, misalnya bagaimana mekanisme asma alergi, rematoid arthri-
tis dan sistik fibrosis dapat dijelaskan dengan mudah dengan pendeka-
tan imunologis.

B. KONSEP DASAR IMUNOLOGI DAN ISTILAH PENTING

1. Pengertian imunitas dan imunologi


Imunitas berasal dari kata immune atau immunis (bahasa latin)
yang berarti kebal atau bebas penyakit. Dalam bahasa Indonesia dis-
ebut dengan system kekebalan, hanya saja istilah kekebalan dalam ba-
hasa Indonesia juga identik dengan “kedigdayaan” yang bersifat su-

6
Modul Imunologi

pranatural atau paranormal sehingga menurut hemat penulis istilah


imunitas tetap dipakai sebagaimana bahasa aslinya yaitu imunitas. Im-
unitas atau system kekebalan merupakan jawaban reaksi tubuh terha-
dap bahan asing baik secara molekular maupun seluler. Pada awalnya
system imun ini dikenal sebagai system yang melindungi tubuh dari
penyakit, terutama penyakit infeksi akibat masuknya kuman ke dalam
tubuh, misalnya kuman plasmodium yang menyebabkan malaria, ku-
man salmonella tifosa yang menyebabkan demam tifus dsb, namun
dengan perkembangan ilmu pengetahuan akhirnya diketahui system
imun tidak hanya melindungi terhadap adanya infeksi tetapi juga ter-
hadap proses karsinogenesis, degenerasi dan autoimun.
Imunologi berasal dari bahasa latin, immunis dan logos. Immunis
berarti bebas dari penyakit atau kuman. Logos berarti ilmu. Imunologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang imunitas atau kekebalan akibat
adanya rangsangan molekul asing dari luar maupun dari dalam tubuh
hewan atau manusia, baik yang bersifat infeksius maupun non infek-
sius. Pernyataan ini berkembang dengan pesat semenjak adanya pem-
buktian dari Edward Jenner. Selanjutnya berbagai pendekatan yang
dilakukan oleh para peneliti membuat model pencegahan melalui pen-
dekatan sistem imun seluler maupun humoral.
2. Sistem Imun Non Spesifik (Innate Immunity) dan Speifik (adaptive
immunity)
Secara umum, mekanisme respon imun terbagi menjadi dua yaitu
respon imun alamiah yang dikenal dengan imunitas alamiah (innate im-
munity) yang dikenal juga dengan imunitas bawaan atau imunitas tak
spesifik (non specific immunity). Sistem imunitas alami yaitu imunitas
yang sudah ada pada diri seseorang sejak dari kandungan. Sistem imu-
nitas adaptif atau imunitas dapatan (adaptive immunity) yang dikenal
juga dengan imunitas spesifik (specific immunity) adalah imunitas yang

7
Akmaa

dimiliki manusia setelah berinteraksi dengan lingkungan.

(a). Sistem imun alamiah (Innate immunity)


Sistem imun alamiah (Innate immunity) adalah pertahanan
tubuh yang mempunyai sifat tidak spesifik dan merupakan per-
tahanan pertama. Imunitas alami berfungsi sebagai system per-
tahanan terdepan pada awal terjadinya infeksi penyakit. Secara
umum imunitas alami berfungsi untuk:
(i). Menjadi penghadang terdepan terhadap antigen. Jaringan
epitel dan selaput mukosa merupakan pelindung tubuh dari
kemungkinan masuknya berbagai pathogen
(ii). Mengidentifikasi dan memusnahkan pathogen. Berbagai sel
fagosit yang tersebar pada berbagai jaringan senantiasa siap
memusnahkan setiap pathogen yang menginfasi jaringan.
(iii). Mengawali reaksi inflamasi. Setiap ada kerusakan jaringan
baik oleh karena infeksi pathogen maupan trauma akan mem-
bangkitkan reaksi inflamasi sebagai respon imun alami agar
kerusakan tidak meluas.
(iv). Membangkitkan respon imun adaptif. Reaksi inflamasi mem-
bangkitkan aktifitas sel proinflamasi. Sel proinflamasi yang
aktif kemudian sel2 tersebut mengeluarkan sitokin antara lain
TNF-a, IL-12 maupun IL-1 yang dapat membangkitkan respon
imun adaptif melalui aktifasi sel Th maupun sel TCD8.
Tabel 1.1. Karakteristik sistem imun alami dan sistem imun
adaptif (guide immunology)
karakteristik Imunitas alami Imunitas adaptif
Komponen Barier fisik (kulit, mukosa, vili, A n t i b o d y
fimbria, cilia), secret protein & non (immunoglobulin), sel
protein, fagosit, sel NK, eosinofil dan T dan sel B
sel K

8
Modul Imunologi

Ketergantungan Tidak tergantung pada paparan Tergantung pada


pada antigen antigen sebelumnya paparan antigen
sebelumnya
Antigen spesifik Tidak membedakan jenis antigen Membedakan dengan
detail jenis antigen
Waktu tunggu Spontan (menit – jam) Lambat (3-5 hari)
M e m o r i Tidak ada Ada
imunologis

Pathogen Terutama tersususn atas polisakarida Terutama tersususn


& polinukletida polipeptida (proten)
Rekognisis Pengenalan dilakukan oleh reseptor Pathogen dikenali
patogen yang terbentuk pada germline oleh reseptor yang
terbentuk secara acak
Spesifisitas Spesifisitas reseptor longgar, Spesifisitas sempit,
reseptor mengenali berbagai struktur molekul reseptor hanya
disebut pathogen – associated mengenal epitop
molecular pattern tertentu
Pembangkitan Dapat dibangkitkan oleh paparan antigen
aksi antigen melalui efek dari sitokin
eksistensi Pada semua metazoa Hanya terdapat pada
vertebrata

Benda asing yang berlaku sebagai bahan pemicu respon imun


disebut dengan antigen. Antibodi adalah protein produk respon
imun tubuh sebagai jawaban reaksi imun atas adanya benda asing.
Termasuk innate immunity adalah, makrofage, sel darah merah
dan sel assesories, selain itu juga bahan kimia dan fisik barier sep-
erti kulit yang mensekresi lisosim dan dapat merusak bakteri seperti
bakteri S. aureus. Oleh karena itu sistem ini spesifik untuk alam.
Sehingga jika ada organisme melakukan penetrasi melalui permu-
kaan epithel akan dianulir oleh sistem Retikulum Endothelium (RE)
yang merupakan turunan dari sel sumsum tulang yang berfungsi
menangkap, internalisasi dan merusak agen infeksius. Dalam hal ini

9
Akmaa

yang bertindak memfagositosit adalah sel kuffer. Selain itu juga sel
darah merah termasuk eosinophil, PMN dan monosit dapat migrasi
ke dalam jaringan secara invasive. Sel lainnya adalah natural kill-
er, leukosit, sel ini cocok untuk mengenali perubahan permukaan
pada sel yang terinfeksi, seperti mengikat dan membunuh sel yang
dipengaruhi oleh interferon. Interferon adalah termasuk sitokin
spesifik yang diproduksi oleh sel target atau sel terinfeksi.
Faktor lain yang termasuk innate immunity adalah protein se-
rum yang merupakan protein fase akut. Protein ini mempunyai
efek sebagai perlindungan melalui interaksi komplek dengan kom-
plemen, yang selanjutnya diikuti lisisnya agen penyakit.
Sebagai tanda awal dari respon imun adalah inflamasi yang
merupakan reaksi dari tubuh terhadap injuri seperti invasi agen
infeksius. Terjadinya proses ini dapat ditandai dengan 3 hal yaitu
pertama terjadi peningkatan aliran darah ke daerah infeksi, kedua
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan reaksi sel
endothel, sehingga terjadi reaksi silang antara molekul besar dan
sel endotelial dan ketiga adalah terjadinya migrasi leukosit (PMN)
dan makrofage dari kapiler ke jaringan sekitar.

(b). Sistem Imun Spesifik (Adaptive Immunity System)


Adaptive immunity adalah merupakan sistem pertahanan tu-
buh lapis kedua, jika innate immunity tidak mampu mengeliminasi
agen penyakit. Hal ini terjadi jika fagosit tidak mengenali agen in-
feksius, sebab hanya sedikit reseptor yang cocok untuk agen in-
feksius atau agen tidak bertindak sebagai faktor antigen terlarut
(soluble antigen) yang aktif. Jika hal ini terus menerus, maka akan
diperlukan model spesifik yang akan berikatan lansung dengan
agen infeksius yang dikenal dengan antibodi dan selanjutnya akan
terjadi pada poses fagositosis.

10
Modul Imunologi

3. Mekanisme aktifasi respon imun


Bagaimana mekanisme pembangkitan respon imun? Secara umum
mekanisme aktifasi respon imun ada 3 tahap yaitu tahap inisiasi/in-
duksi, tahap amplifikasi-regulasi dan tahap eksekusi. Masing-masing
tahapan memiliki mekanisme yang berbeda sebagaimana disajikan
pada table 2.

Tabel 1.2. Tahapan dan mekanisme aktifasi respon imun

Tahapan induksi Amplifikasi / Eksekusi


respon imun regulasi
Keterlibatan Sel/ APC; limfosit APC; Thelper A n t i b o d y
molekul (+komplemen/
sel sitotoksik);
l i m f o s i t
sitotoksik;
makrofag
Mekanisme Pemprosesan- Pelepasan sitokin; Lisis yang
presentasi antigen; penyebaran signal diperantarai
pengenalan antigen transduksi melalui komplemen;
oleh reseptor molekul membrane opsonisasi dan
spesifik limfosit sel fagositosis;
sitotoksisitas

Konsekuensi Aktifasi sel limfosit Proliferasi dan Eliminasi non­


T atau B diferensiasi limfosit self;net­r ali­s a­
T atau B si toksin atau
peng­­hancuran
virus atau mik­
r o ­­o r g a n i s a s i
lainnya

(a). Self dan Non self: Imunogen, Antigen, Epitop dan hapten
Sistem imun dilengkapi dengan kemampuan untuk mem-

11
Akmaa

bedakan diri sendiri (self) dengan benda asing (non self). Self ada-
lah istilah atau kata yang merujuk pada “diri sendiri”, baik itu ba-
gian sel, sel, jaringan maupun organ atau system organ dari tubuh
sendiri. Non self atau asing adalah istilah yang menunjukkan se-
gala sesuatu yang bukan diri sendiri, baik itu berupa virus, bakteri,
parasit maupun mikroorganisme yang lain. Respon imun diseleng-
garakan oleh system imun untuk menghadapi adanya benda asing
(non self) baik berupa virus, bakteri, plasmodium, sel kanker atau
mikroorganisme lainnya yang bukan bagian dari tubuh sendiri.
Sistem imun tidak membangkitkan respon imun terhadap bagian
tubuh sendiri (self) termasuk sel tubuh yang rusak akibat proses
degenerasi, misalnya eritrosit tua yang harus diganti sel muda.
Sistem imun memiliki cara tersendiri untuk membedakan antara
non self (virus, bakteri, parasit, jamur, sel kanker) dan self melalui
berbagai reseptor yang terdapat pada permukaan sel dan system
pengenal yang lain.
Respon imun terkait erat dengan adanya antigen yang me-
menuhi syarat sebagai imunogen. Antigen adalah substansi yang
dapat dikenali dan diikat dengan baik oleh sistem imun. Antigen
dapat berasal dari organisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
atau molekul asing bagi tubuh. Tidak setiap bagian dari antigen
dapat berinteraksi dengan molekul sistem imun. Bagian dari an-
tigen secara langsung berikatan dengan molekul reseptor (seperti
antibodi) yang dikenal dengan epitop. Hal ini menandakan, bahwa
antigen mempunyai beberapa epitop.
Hapten adalah molekul organik kecil yang dapat mengikat
bagian reseptor antigen. Meskipun molekul ini kecil tetapi dapat
menginduksi respon imun sendiri. Selain itu juga dapat mengin-
duksi antibodi dengan titer yang tinggi jika diikatkan dengan car-

12
Modul Imunologi

rier berupa protein yang mempunyai berat molekul tinggi atau


polimer sintetik.

(b). Major Histocompatability Complex (MHC)


Di dalam tubuh mempunyai sistem marker glikoprotein yang
dikode oleh gen yang dikenal dengan Histocompatability Complex
(MHC). Protein tersebut sangat berperan dalam komunikasi antara
sel dan respon imun dalam tubuh, termasuk kemampuan mere-
spon tipe antigen. Molekul MHC melekat pada permukaan mem-
bran sel terutama pada sel asessoris.

Gambar 1.1. Presentasi antigen oleh APC, MHC dan limfosit T


(Kuby-immunol)

Secara umum ada 2 jenis atau kelas molekul MHC yaitu MHC-
I dan MHC-II, meskipun ada yang menyebutkan ada 3 kelas MHC
dengan menambahkan kelas MHC yaitu MHC-III. Setiap klas
mempunyai peranan berbeda dalam regulasi imun. MHC –I digu-

13
Akmaa

nakan untuk menyajikan antigen kepada sel Tsitolitik (CTL/CD8)


sedangkan MHC-II untuk menyajikan antigen pada sel Thelper.

(c ). Basis Seluler dan Respon Imun


Dikenal beberapa jenis sel pada system imun. Secara original
sel imun merupakan keturunan dari leukosit termasuk kedua sel
limfoit dan sel myeloid. Sel stem dalam sumsum tulang migrasi
ke beberapa macam jaringan dan matang menjadi sel imun kom-
ponen yang berbeda.
(i). Sel T dan Sel B
Limfosit adalah sel darah putih kecil yang bertanggung jawab
untuk meningkatkan respon imun terhadap antigen. Limfosit
mempunyai dua tipe yaitu sel T dan sel B. Limfosit T bertanggung
jawab terhadap respon imun seluler. Limfosit B bertanggung jawab
pada respon imun seluler. Sel B pada saat distimulasi oleh antigen,
sel B akan merespon dengan cara mensekresi antibodi terlarut (sol-
uble antibody) yang mampu mengikat antigen spesifik yang dikenal
dengan imunitas humoral. Sedang sel T bertanggungjawab den-
gan cara membangkitkan sel asosiasi imun lainnya (immune asso-
ciated cells) atau langsung kontak dengan antigen, yang biasanya
berupa sel asing, virus atau sel kanker, respon ini dikenal dengan
imunitas seluler.
Membedakan jenis limfosit secara mikroskopis langsung
sulit dilakukan. Biasanya cara yang digunakan para ahli untuk
membedakan kedua jenis sel limfosit tersebut adalah dengan men-
guji marker protein pada permukaan sel yang disebut Cluster Def-
ferensiation (CD). Marker protein yang dijumpai pada semua sel T
adalah CD3, kecuali sel T supressor dan Tcytotoxic. Marker protein
Tsitotoksik adalah CD8, marker protein Treg adalah CD25 sedang

14
Modul Imunologi

sel T-helper marker proteinnya adalah CD4. Sel B marker protein-


nya adalah imunoglobulin M permukaan (Surface IgM) yang tidak
dijumpai pada sel T.

Gambar 1.2. Struktur CD8 limfosit Tsitolitik (i) dan CD4 limfosit
Thelper (ii)

Sel T dan sel B mengenali antigen melalui reseptor antigen.


Pada sel B reseptor antigennya disebut BCR (B cell receptor), meru-
pakan molekul antibodi yang mengikat membran (IgM atau IgD).
Ketika sel B mengikat antigen, maka sel B akan menjadi matang
untuk memproduksi sel plasma. Selanjutnya sel plasma mensekre-
si antibodi yang spesifik terhadap antigen dan identik dengan re-
septor yang original pada permukaan sel B.

Gambar 1.3. Tipe sel limfosit, reseptor dan marker protein per-
mukaan

15
Akmaa

Reseptor antigen pada sel T disebut TCR (T cell receptor) yang


merupakan immunoglobulin like molecule yang bereaksi dengan
molekul MHC yang mengikat antigen di permukaan dengan baik.
Jadi sel T pada saat aktif tidak memproduksi antibodi, tetapi mem-
produksi limfokin (lymphokines). Substansi ini mempunyai berat
molekul rendah yang berfungsi mengirim signal pada sel sistem
imun untuk bereaksi terhadap target sel mati, pengaktifan mak-
rofag, proliferasi sel limfosit dan migrasi sel.
(ii). Sel asesori, Antigen presenting cells (APC) & sel dendritik
Antigen Presenting Cells (APCs) adalah sel asessoris yang ber-
fungsi mempresentasikan antigen terhadap limfosit agar respon
imun berhasil dengan baik. Banyak antigen yang harus ditelan dan
diproses secara intraseluler kemudian dipresentasikan ke permu-
kaan sebagai peptide antigen agar dikenali oleh limfosit. Jenis sel
yang dapat bertindak sebagai APCs antara lain makrofage, sel den-
drite, sel B, dan sel Langerhans.
Respon imun terhadap antigen tergantung dari tipe anti-
gen dan macam partikel yang berinteraksi. Antigen intrasel akan
memacu respon imun seluler. Antigen ekstrasel yang terlarut
dalam cairan ekstra sel memacu respon imun humoral.
Tabel 1.3. Jenis sel dendritik dan distribusinya

Tipe Distribusi
Sel dendritik dalam aliran darah Darah & limpa

Sel langerhans Kulit dan membrane mujosa

Sel dendritik interdigitating Jaringan limfoid sekunder (dg sel T);


timus
Sel dendritik interstisial
Traktus GIT, liver, paru dan ginjal

16
Modul Imunologi

Pengaktifan sel B dapat melalui dua arah yaitu pertama secara


langsung kontak dengan antigen terlarut (soluble antigen) atau na-
tive antigen. Kedua pengaktifan sel B melalui sel T-helper (Th).
Sel B teraktifasi setelah berinteraksi dengan antigen sel Th, se-
lanjutnya sel B mempresentasikan antigen ke permukaan melalui
MHC-II agar dikenali oleh sel Th (CD4+) yang selanjutnya akan
mensekresi limfokin yang sesuai sebagai stimulator, sedang sel B
memproduksi antibodi. Adanya pengikatan sel B dan antigen akan
mengaktifkan komplemen (complement) yang berfungsi untuk
melisiskan sel target dan pengaktifan sel fagosit. Proses ini keban-
yakan terjadi pada makrofage untuk membersihkan infeksi mik-
roorganisme.
Jika APC mempresentasikan peptide antigen menggunakan
MHC-I, maka sel yang distimulasi adalah sel T cytotoxic (CD8+),
tetapi jika yang dipresentasikan peptide antigen dengan meng-
gunakan MHC-II, maka yang distimulasi adalah sel T-helper
(CD4Th). Sel T cytotoxic bertugas secara langsung membunuh sel
target, sedangkan sel T helper berfungsi untuk mensekresi berma-
cam-macam interleukin untuk memprovokasi aktivitas sel B dan
sel T untuk berinteraksi dengan sel imun lainnya seperti makrof-
age, granulosit, limfosit terhadap antigen.
(iii). Sel efektor: Fagosit dan sitolitik
Sistem imun memiliki kelompok sel yang memiliki kemam-
puan utama untuk membunuh atau menghancurkan semua path-
ogen melalui aktifitas fagositosis yang disebut fagosit. Berbagai
kelompok sel fagosit adalah monosit dan netrofil di dalam jaringan
darah dan makrofag di berbagai jaringan, misalnya makrofag peri-
tonel, makrofag alveolar di paru, sel langerhans di kulit, sel kupfer
di hepar, podosit di ginjal dan microglia di jaringan otak.

17
Akmaa

Tabel 1.4. Jenis makrofag dan tempat distribusinya


Nama Jenis jaringan
Makrofag alveolar Paru
Sel kupfer Liver
Sel Histiosit Jaringan ikat
Sel mikroglial Otak
Osteoklast Tulang
Sel mesangial ginjal

Tubuh juga meiliki sel pembunuh alami yang bertanggung


jawab untuk memusnahkan semua pathogen yang masuk ke
dalam tubuh yang dikenal dengan natural killer cell (sel pembuh
alami) dan killer cell (sel pembunuh). Sel NK dan K merupakan
mesin pembunuh atau efektor secara langsung setiap berpapasan
dengan pathogen atau pada respon alami. Mesin pembunuh terha-
dap pathogen khusus pada respon imun adaptif dilakukan oleh sel
Tsitolitik (cytolytic T cell/CTL).

(d). Antibodi-Imunoglobulin
Salah satu istilah yang popular dalam kajian imunologi ada-
lah antibody atau immunoglobulin (Ig). Antibodi adalah
protein imunoglobulin yang disekesi oleh sel B yang teraktifasi
oleh antigen. Berat molekul antibodi berkisar 150.000 Da sampai
950.000 Da yang tergantung pada kelasnya. Semua molekul anti-
bodi terdiri dari dua untaian peptida pendek yang sama dikenal
dengan light chain, sedang yang terdiri dari dua untaian peptida
yang panjang disebut heavy chains. Keduanya terjadi ikatan kova-
len bersama yang disebut dengan ikatan disulfida yang berbentuk
seperti pada Gambar 1.

18
Modul Imunologi

Gambar 1.4. Struktur antigen

Struktur imunoglobulin terdiri dari fragmen ab (Fab) dan fra-


men c (Fc) kedua fragmen ini dirangkai oleh untaian dua sulfida (s-
s). Bagian yang terdiri dari asam amino yang bertugas untuk mengi-
kat antigen dikenal dengan side binding antigen, sedang Fc terdiri
dari karbohidrat yang sering berikatan dengan komplemen.
Antibodi diproduksi oleh sel B yang merupakan molekul
fleksibel dan bertindak sebagai adaptor antara agen infeksius dan
fagosit. Antibodi mempunyai 2 fungsi selain mempunyai variabel
antibodi yang berbeda dan mengikat agen infeksius juga mengi-

19
Akmaa

kat reseptor sel dan selanjutnya mengaktifkan komplemen yang


diakhiri dengan terjadinya lisis. Masing-masing limfosit T dan B
hanya mampu mengenali satu epitop yang spesifik. Jadi adanya
respon imun yang diinduksi oleh banyak epitop (seperti bakteri
yang mempunyai banyak epitop), maka diperlukan pengaktifan
limfosit untuk berdiferensiasi menjadi bermacam-macam limfos-
it spesifik terhadap epitop. Pengaktifan masing-masing limfosit
tersebut dapat menumbuhkan banyak klon dari sel yang sama
untuk merespon antigen, sehingga mengakibatkan proliferasi dan
diferensiasi limfosit dengan spesifisitas yang berbeda, oleh karena
itu dikenal dengan antibodi poliklonal (polyclonal antibody). Tetapi
sebaliknya para peneliti sudah banyak membuat manipulasi sis-
tem imun dengan cara hibridoma (hybridoma), yang merupakan tu-
runan (derivate) klon tunggal (single clone) dari sel B yang teraktifasi
untuk memproduksi antibodi yang homogen atau single molecular
species of antibody yang hasilnya dikenal dengan antibodi monok-
lonal (monoclonal antibody).

C. Farmasi dan imunologi

1. Arti penting imunologi dalam ilmu farmasi


Mengapa imunologi penting bagi farmasis?
Ada beberapa alasan mengapa imunologi penting atau diperlukan
oleh farmasis. Apakah untuk mengembangkan aspek pelayanan asu-
han kefarmasian maupun untuk usaha menemukan obat baru dan alat
diagnostic, imunologi salah satu cabang ilmu yang penting bagi farma-
sis karena :
a. Imnologi memberikan kejelasan konseptual dan metode yang
diperlukan untuk mengembangkan metode diagnostic dan
obat-obatan baru yang berhubungan dengan penyembuhan

20
Modul Imunologi

dan penguatan system imun. Sebagai cabang ilmu biologi yang


mengkaji objek system imun, imunologi berkaitan dengan tu-
juan farmasi yaitu untuk mengetahui obat-obatan yang bergu-
na untuk menghilangkan gejala dan keluhan sakit, mengemba-
likan homeostasis tubuh dan penguatan system imun terutama
untuk penyakit autoimun. Banyak cabang imunologi yang
berkaitan dengan penyakit dan bidang kerja farmasi antara lain
imunofarmakologi, imunodiagnosis, imunopatologi dan imu-
nogenetika. Imunologi membantu metodologi pada riset-riset
ilmiah untuk pengembangan metode terapi dan metode diag-
nosis. Saat ini teknik pemeriksaan gejala dan tanda penyakit
baik pada manusia maupun pada hewan banyak yang meng-
gunakan prinsip-prinsip yang dikembangkan dari imunologi,
misalnya imunositokimia, imunohistokimia, imunogenotyping
dll.
b. Imunologi merupakan salah satu ilmu yang dapat menjelaskan
dan untuk menguraikan mekanisme patofisiologi penyakit.
Mengetahui bagaimana cara tubuh manusia melawan kuman
merupakan salah satu pengetahuan penting dalam kajian dibi-
dang farmasi. Imunologi menjelaskan berbagai mekanisme
patofisiologi penyakit dimana hal itu menjadi pengetahun yang
penting untuk mendapatkan obat baru. Baik untuk menyeleng-
garakan fungsi pelayanan asuhan kefarmasian maupun untuk
dasar pengembangan obat baru konsep penyakit merupakan
pengetahun dasar bagi seorang farmasis.
c. Perkembangan terbaru dibidang terapi penyakit banyak meng-
gunakan produk biosimilar hasil pengembangan riset dibidang
imunologi dan biomolekuler. Penelitian bagaimana pengatu-
ran respon imun, factor apa saja yang berpengaruh dan produk

21
Akmaa

biosimilar yang bagaimana yang bermanfaat untuk terapi men-


jadi focus dan tujuan utama saat ini. Telah dicoba berbagai vak-
sin DNA, sitokin sintetik, antibody antitumor, dan sebagainya.
d. Dalam perkembangannya imunologi berhubungan dengan
berbagai cabang ilmu farmasi, baik dengan farmakologi (imu-
nofarmakologi), terapi obat (farmakoterapi), metode diagnos-
tic (imunodiagnostik), teknologi farmasi maupun penemuan
obat baru.

2. Imunofarmakologi dan imunotoksikologi: perkawinan Imu-


nologi dan Cabang ilmu Farmasi
Imunofarmakologi merupakan salah satu cabang ilmu penting
dalam bidang pengobatan dan farmasi, yang merupakan hasil persi-
langan ilmu imunologo dengan farmakologi. Farmakologi sebagaima-
na yang sudah diketahui adalah cabang disiplin ilmu yang mengkaji
sifat dan karakteristik obat yang meliputi aspek farmakodinamik dan
farmakokinetika obat sedangkan imunologi adalah cabang disiplin
ilmu yang mempelajari system dan mekanisme pertahanan tubuh. Im-
unofarmakologi merupakan cabang ilmu farmakologi yang mengkaji
obat-obatan yang berhubungan dengan system imun dan bagaimana
mekanismenya.

Tabel 1.5. Golongan Obat imunosupresan


NO MEKANISME AKSI CONTOH
1 Inhibitor ekspresi gen limfosit Glukokortikoid
2 Inhibitor signaling limfosit:
a.Inhibitor calcineurin Siklosforin, takrolimus
b.Inhibitor mTOR Serolimus, everolimus

22
Modul Imunologi

3 Agen sitotoksik
a.antimetabolit Azatriopin, metotreksat,
b.alkilating agent leflunomid, siklofosfamid
4 Penghambat sitokin (antisitokin-
antibodi)
a.Inhibitor TNF-α Etanercept, Infliximab,
adalimumab,
b.Inhibitor IL-1 Anakinra
c.Inhibitor IL-2 Daclizumab, Basiliximab
5 Mol Antibodi terhadap sel imun
spesifik
a. Antibody poliklonal Antithymocyt Globulin
(ATG)
b. Antibody monoklonal Alemutuzmab (anti CD52
antibodi), Muromunab
(anti cD3-antibodi)
6 Inhibitor adesi sel imun Efalizumab (LFA-1
inhibitor)
7 Tolerogen atau inhibitor kostimulasi
sel imun
8 Lainnya Rho (D) immune Globulin

Beberapa istilah baru yang akrab pada kajian imunofarmakologi


antara lain imunodepresan/Imunosupresa, imunostimulan dan imu-
nomodulator. Imunodepresan adalah obat atau agen farmakologis
yang bersifat menekan system imun, misalnya obat-obatan golongan
kortikosteroid, NSAID, azatioprin, mikofenolat mofentil, siklofosfamid
dan beberapa agen untuk kemoterapi (doxorubicine) serta beberapa an-
tibody misalnya antibody antiCD3 (Muromonab-CD3 atau Orthoclone
OKT3®) dan antibody anti reseptor IL-2 atau anti CD25 (Daclizumab

23
Akmaa

dan Basiliximab).
Imunostimulansia adalah obat atau agen farmakologis yang ber-
sifat memacu respon imun, terutama digunakan pada pasien dengan
gangguan imunodefisinesi misalnya pada infeksi TBC, pasien AIDS
maupun pada pasien kanker dengan kemoterapi. Beberapa agen imu-
nostimulansia antara lain levamisol, talidomid, interferon dan vaksin
yang bersifat meningkatkan jumlah sel B, sel T maupun sel yang lain.

Gambar 1.5. Perkembangan penelitian obat-obat imunomodulator


broad spectrum untuk berbagai penyakit kanker dan autoimun dan
infeksi di dunia

Imunomodulator adalah obat atau agen farmakologis yang bersifat


memodulasi respon imun, yaitu pada sebagian bersifat memacu respon

24
Modul Imunologi

imun dan disisi lain bersifat menghambat sebagian respon imun.Seba-


gai cabang ilmu farmasi, imunofarmakologi saat ini mengalami perkem-
bangan yang sangat cepat. Produk biosimilar (biofarmasetika) obat-obat
baru kebanyakan berkaitan dengan system imun apakah berkaitan den-
gan system imun dari aspek farmakodinamiknya atau dari aspek ba-
han dasar atau senyawa asalnya sehingga mempercepat perkembangan
cabang ilmu ini.

25
Akmaa

Daftar Pustaka

Abbas. A.K., Litchman, A.H., 2004. Basic Immunology: Function and disor-
der and the immune system, Scond edition, Elsevier, Shang hai
Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Jakarta
�������������������������������
: Balai Penerbit Fakul-
tas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Bennett, C.L., Christie J, Ramsdell F, Brunkow ME, Ferguson PJ, White-
sell L, Kelly,TE, Saulsbury FT, Chance PF, Ochs HD., 2001b. The im-
mune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked
syndrome (IPEX) is caused by mutations of FOXP3. Nat Genet.
27(1):20-1
Bettelli, E, carrier, Y, Gao, W, Korn, T, Strom, T.B., Oukka, M, Weiner,
H.L, Kuchroo, V.K..,2005a. Reciprocal developmental pathways for
the generation of pathogenic effector TH17 and regulatory T cells.,
Nature. 441(7090):235-8
Bettelli, E., Dastrange, M., Oukka, M., 2005b. Foxp3 interacts with nu-
clear faktor of activated T cells and NF-kappa B to repress cytokine
gene expression and effector functions of T helper cells, Proc Natl
Acad Sci. 102(14):5138-43
Bettelli, E., Oukka, M., Kuchroo, V.K., 2007. T(H)-17 cells in the circle of
immunity and autoimmunity, Nat Immunol. 8(4):345-50
Bogdan, C., 2011. Regulation of lymphocytes by nitric oxide, Methods
Mol Biol. 677:375-93.
Colombo, M.P., and Trinchieri, G., 2002. Interleukin 12 in antitumor im-
munity and immunotherapy, Cytokine Growt Faktor Review. 13: 155
- 168

26
Modul Imunologi

Couper, K.V., Blount, D.G., Riley, E.M., 2008. IL-10: The Master Regu-
lator of Immunity to infection, J Immunol. 180: 5771-5777
Curiel, T.J., 2007. Tregs and rethinking cancer immunotherapy, J. Clin.
Invest. 117(5): 1157-74
Dunn, G.P., Bruce, A.T., Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. Can-
cer immunoediting from immunosurveillance to tumor escape, Na-
ture immunology. 3(11): 991-8
Dunn, G.P., Old,L.J., Schreiber, R.D., 2004. The Immunobiology of Can-
cer Immunosurveillance and Immunoediting, Immunity. 21: 137–
148,
Dunn, G.P., Koebel, C.M., Schreiber, R.D., 2006. Interferons, immunity
and Cancer immunoediting, Nature Reviews Immunology. 6: 836-48
Fehervari, Z. and Sakaguchi, S., 2004. CD4Tregs and Immune control,
J.Clin Invest. 114 (9):1209-17
Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. The roles of IFNγ in protec-
tion against tumor development and cancer immunoediting, Cy-
tokine Growth Faktor Rev. 13: 95–109
Kim, R., Emi, M., Tanabe, K., 2007. Cancer immunoediting from im-
mune surveillance to immune escape, Immunology. 121:1–14
Klunker, S., Chong, M.M., Mantel, P.Y., Palomares, O., Bassin, C., Zie-
gler, M., Rückert, B., Meiler, F., Akdis, M., Littman, D.R., Akdis,
C.A., 2009. Transcription faktors RUNX1 and RUNX3 in the induc-
tion and suppressive function of Foxp3+ inducible regulatory T
cells., J Exp Med. 206(12):2701-15
Knutson, K.L., Dang, Y., Lu, H., Lukas, J., Almand, B., Gad, E., Azeke,
E., Disis, M.L., 2006. IL-2 Immunotoxin Therapy Modulates Tu-
mor-Associated Regulatory T Cells and Leads to Lasting Immune-
Mediated Rejection of Breast Cancers in neu-Transgenic Mice, The J
Immunol. 177: 84–91.

27
Akmaa

Kresno, S.B., 2000, Imunologi : Dignosis dan Prosedur Laboratorium. Ed.


Keempat. UI: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Lin, W. and Karin, M., 2007. A cytokines-mediated link between innate
immunity, inflammation and cancer, J.Clin. Invest. 117(15):1175-83
Murphy, K.P., 2012. Janeway’s Immunobiology, Garland Science, New
York USA
Nelson, B.H., 2004. IL-2, Regulatory T Cells, and Tolerance, JI. 172:
3983–3988.
Parmiani, G. and Lotze, M.T., 2002, Tumor Immunology: molecularly de-
fined antigen and clinical application, Taylor and Francois, New York
USA
Parihar, R., Nadella, P., Lewis, A., Jensen, R., Hoff, C.D., Dierksheide,
J.E., 2004. A Phase I Study of Interleukin 12 with Trastuzumab in
Patients with Human Epidermal Growth Faktor Receptor- 2-Over-
expressing Malignancies: Analysis of Sustained Interferon _ Pro-
duction in a Subset of Patients, Clin Kankerncer Res. 10: 5027
Parslow, T.G., Stites, D.P., Terr, A.I., Imboden, J.B., 2003. Med. Immunol.,
tenth edition, Boston
Passerini, L., Allan, S.E., Battaglia, M., Nunzio, S.D., Alstad, A.N., Lev-
ings, M.K., Roncarolo, M.G., Bacchetta, R., 2008. STAT5-signaling
cytokines regulate the expression of FOXP3 in CD41CD251 regula-
tory T cells and CD41CD252 effector T cells, International Immunol-
ogy. 20(3): 421–431
Ramos, H.J., Davis, A.M., Cole, A.G., Schatzel, J.D., Forman, J., Far-
rar, J.D., 2009. Reciprocal responsiveness to interleukin-12 and
interferon-α specifies human CD8 effector versus central memory
T-cells fates, Immunobiology. 113(22):5516 - 5525

28
Modul Imunologi

Latihan Soal bagian 1


Jelaskan secara ringkas dan jelas pengertian dari istilah berikut:
1. Imunitas
2. Imunologi
3. Farmakoimunologi
4. Imunohistokimia
5. Imunositokimia
6. Imunoblotting
7. Imunologi klinik
8. Imunologi kanker
9. Imunisasi
10. Vaksinasi
11. Antigen
12. Sel B
13. Sel T
14. NK cell
15. Imunosupresan
16. Imunomodulator
17. Imunostimulansia
18. MHC
19. Antigen
20. Hapten

Jawablah dengan jelas pertanyaan berikut:


1. Apakah perbedaan system imun alami dengan system imun adap-
tif?
2. Sebutkan golongan obat imunomodulator dan contoh produknya
3. Apakah manfaat imunomodulator?
4. Apakah urgensi, peran dan fungsi imunologi di bidang farmasis

29
Akmaa

5. Apakah yang dimaksud dengan antibody poliklonal?


6. Apakah yang dimaksud dengan antibody monoclonal?
7. Apakah perbedaan antara imunotoksikologi dengan imunofarma-
kologi?
8. Sebutkan perkembangan imunologi dibidang farmasi dan pen-
emuan obat dan alat kesehatan baru
9. Apakah perbedaan antara antigen dengan antibody?
10. Apakah yang dimaksud dengan antigen presenting cell dan apa-
kah contohnya?

30
Modul Imunologi

BAGIAN
II

STRUKTUR PENYUSUN
SISTEM IMUN

31
Akmaa

32
Modul Imunologi

~ BAB II ~
Struktur Penyusun system imun alami

Tujuan :

Dapat menjelaskan komponen penyusun system imun alami


eksternal
Dapat menjelaskan komponen penyusun system imun alami
internal
Dapat menyebutkan komponen barier fisik, humoral dan seluler
sebagai struktur imun alami
Dapat menjelaskan peran dan karakteristik struktur penyusun
system imun alamiah barier fisik, protein reaktif C dan inflamasi.
Dapat menjelaskan fungsi dan peran system komplemen pada
system imun alami
Dapat menjelaskan karakteristik monosit/makrofag
Dapat menjelaskan karakteristik granulosit
Dapat menjelaskan karakteristik dan jenis sel dendritik
Dapat menjelaskan karakteristik dan fungsi APC

33
Akmaa

A. Pengantar
Secara umum system imun dibedakan menjadi system imun alami
dan system imun adaptif/spesifik. Bagaimana perbedaan system imun
aalami jika dibandingkan dengan system imun adaptif sudah dijelas-
kan pada Bab I.
Sistem imun alami bertanggung jawab pada respon imun yang
bersifat spontan, jangka pendek dan umum sedangkan system imun
adaptif bertanggung jawab pada respon imun jangka panjang dan sp-
esifik. Dikarenakan karakteristik system imun alami berbeda dengan
karakteristik, maka sudah sewajarnya kalau penyusun system imun
alami agak berbeda dengan penyusun system imun adaptif.
System imun alami memiliki beberapa fungsi fital pada penyeleng-
garaan respon tubuh. Sistem imun alami berperan untuk kontak lang-
sung dengan antigen dan mengidentifikasinya sebagai non self agar
segera dapat dieksekusi atau dimusnahkan. Sistem imun alami berper-
an dalam penyelenggaraan reaksi inflamasi yang sangat penting pada
respon imun tubuh dan dalam memperantarai penyelenggaraan respon
imun adaptif yang berlangsung lebih lama.
.
B. Struktur pembangun Sistem imun alami
System imun disusun oleh struktur yang terdiri dari berbagai kom-
ponen mulai dari sel, jaringan sampai organ dan system organ. Sesuai
dengan pembagian system imun maka pengkajian sruktur pembangun
system imun didasarkan pada pembagian system imun ini, yaitu struk-
tur penyusun system imun alami dan struktur penyusun system imun
adaptif.
Komponen sel penyusun system imun meliputi sel darah (teru-
tama berbagai jenis lekosit), berbagai jenis fagosit di berbagai jaringan
(makrofag, monosit, podosit, makro-mikroglia, langerhans), sel den-

34
Modul Imunologi

dritik dan berbagai sel lain diberbagai jaringan. Struktur pembangun


system imun dibedakan berdasarkan respon imun yang dihasilkannya.
Sistem imun alamiah dengan respon imun spontan tak spesifik me-
miliki komponen mulai dari barier fisik, flora local, enzim dan produk
protein lainnya (system komplemen) serta berbagai jenis sel fagosit
ehingga mampu menghambat dan mencegah masukannya berbagai
kuman ke dalam tubuh. Sistem imun adaptif atau spesifik disusun
terutama oleh komponen seluler yaitu limfosit T dengan kemampuan
melisiskan kuman intrasel untuk respon imun seluler dan limfosit B
dengan kemampuannya menghasilkan antibody spesifik antigen untuk
respon imun humoral. Secara umum system imun alamiah yang meng-
hasilkan respon imun spontan dan umum dibagi menjadi 2 macam yai-
tu system pertahanan luar (eksternal) dan system pertahanan internal
dengan struktur dan mekanisme pertahanan yang berbeda.
1. Penyusun Sistem pertahanan eksternal
Sistem pertahanan eksternal terdiri atas struktur pembatas (barier)
baik yang berupa pembatas fisik seperti kulit beserta kelengkapannya
maupun pembatas yang bersifat kimiawi, seperti enzim dan sekret.
Barier atau pembatas ini berfungsi untuk mencegah atau menghambat
agen infeksius masuk ke dalam tubuh. Pernahkah Saudara perhati-
kan bagaimana perawatan pasien luka bakar? Kenapa mereka sering
dirawat dalam ruang isolasi yang steril? Jawabnya adalah karena luka
bakar yang merusak jaringan kulit menyebabkan terbukanya bagian tu-
buh sehingga patogen infeksius mudah masuk sehingga tubuh pender-
ita mudah mengalami infeksi.

35
Akmaa

Gambar 2.1.Struktur imun barier fisik, kulit dan jaringan dibawahnya

36
Modul Imunologi

Sistem pertahanan eksternal tersusun atas barier atau dinding pem-


balut yang mencegah masuknya berbagai jenis pathogen penginfeksi.
Jaringan kulit dan mukosa merupakan komponen utama dari system
pertahanan eksternal ini. Disamping memberikan perlindungan secara
fisik, kulit juga memberikan perlindungan secara kimiawi. Asam laktat
yang dihasilkan kelenjar sebase, dengan sifat keasamannya (pH=5,6)
mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme kulit.
Sebagaimana kulit, selaput mukosa berbagai organ tubuh juga
memiliki kekhasan masing-masing dalam mewujudkan system perta-
hanannya. Selaput mukosa saluran pernafasan, disamping secara fisik
merupakan barier atau penghalang masuknya pathogen dari udara
pernafasan (atmosfer), dilengkapi juga dengan rambut dan bulu getar
(silia dan fimbria) serta menghasilkan mucus (lendir) yang mampu me-
nangkap dan mengeluarkan pathogen.
Berbagai saluran tubuh dilengkapi oleh Sang Pencipta dengan sep-
erangkat system pertahanan disesuaikan dengan fungsi organ saluran
tersebut. Saluran kencing dilindungi dengan dihasilkannya urine (air
kencing) dengan sifat keasamannya yang rendah mampu mengeluar-
kan berbagai kuman pathogen dari saluran kencing. Asam laktat yang
dihasilkan organ genital kaum wanita, dengan sifat keasamannya yang
kuat menjaga suasana pH vagina sekitar 5 sehingga mampu menjadi
penghalang masuknya pathogen. Saluran pencernaan dicegah dari in-
vasi pathogen dengan adanya getah lambung yang bersifat asam den-
gan dihasilkannya asam klorida (HCl) sehingga menjadikan pH lam-
bung =1 yang bersifat litik terhadap mikroorganisme pathogen. Ensim
lisosim yang dihasilkan oleh kelenjar eksokrin, terutama terdapat pada
saliva/ludah bersifat lisis terhadap dinding bakteri, terutama bakteri
gram positif.

37
Akmaa

Tabel 2.1. Komponen dan Karakteristik struktur penyusun pertahanan


alamiah

Tipe Mekanisme
Barier anatomi:

Kulit Barier mekanis penghambat


masuknya kuman

Lingkungan yang bersifat


asam (pH=3-5) penghambat
pertumbuhan kuman
Membrane mukosa
Flora normal berkompetisi dengan
mikroba memperebutkan tempat
& bahan makanan

Lendir menangkap
mikroorganisme asing

Silia melempar mikroorganisme ke


luar tubuh
Barier fisiologis:
Suhu Suhu normal tubuh menghambat
pertumbuhan pathogen. Respon
demam menghambat pertumbuhan
sebagian pathogen
Keasaman asam getah lambung
pH rendah membunuh hamper semua
mikroorganisme, kecuali
Helicobacter pylori
Media kimiawi Lisosim mengurai dinding bakteri.
Interferon menginduksi perilaku
antiviral pd sel normal

38
Modul Imunologi

Komplemen melisiskan mikro­


or­ganis­me atau memfasilitasi
fagositosis

TLR mengenali molekul mikroba,


member tanda bagi sel untuk
mensekresi sitokin pemacu respon
imun

Kolektin merusak dinding sel


patogen

Barier Fagositik/endositik Berbagai sel menelan (endositosis)


dan mengurai makromolekul asing

Sel khusus(monosit, makrofag,


netrofil) menelan (fagositosis)
membunuh dan menghancurkan
patogen
Inflamasi Infeksi dan kerusakan jaringan
mamicu pelonggaran dinding
pembuluh darah sehingga terjadi
ekstravasasi cairan – plasma darah
yang mengandung protein serum
yang bersifat anti bakteri dan
masuknya fagosit ke daerah luka

Flora normal yang tumbuh di berbagai permukaan tubuh bersi-


fat kompetitif terhadap mikroorganisme dan menghalangi masuknya
mikroorganisme asing ke dalam tubuh sehingga tubuh terhindar dari
infeksi.

39
Akmaa

2. Struktur penyusun system imunitas alamai internal


Bagian kedua system imunitas alamiah adalah system pertahanan
internal. Sistem pertahanan internal terdiri atas berbagai jenis sel fago-
sit dan zat-zat terlarut, misalnya C-reaktif protein, interferon, kolektin,
komplemen dls. Sistem pertahanan internal dirancang agar mampu
mengenali molekul asing terutama organism penginfeksi. Secara spesi-
fik system pengenal tersebut peka terhadap molekul karbohidrat sep-
erti misalnya manosa yang merupakan penyusun dinding bakteri atau
mikroorganisme dan terbukti manosa tersebut tidak terdapat pada sel
manusia. Sel darah putih atau lekosit mengeluarkan dan menghancur-
kan sel asing melalui mekanisme fagositosis. Fagositosis merupakan
mekanisme umum pemusnahan mikroorganisme asing yang masuk
ke dalam tubuh. Aktifitas fagositosis ditingkatkan oleh adanya factor-
faktor (protein) terlarut dalam darah yang disebut dengan acute phase
reactants.
(1). Penghalang (barier) Protein fase akut (Acute-Phase Reactants)
Masuknya kuman membutuhkan respon segera yang melibatkan
berbagai komponen soluble (terlarut, humoral) yang berupa berbagai
jenis protein. Acute-phase reactants (pereaksi fase akut) merupakan
komponen normal serum yang kadarnya dapat meningkat dengan ce-
pat sampai paling sedikit 25 % apabila ada infeksi atau injuri/trauma
pada jaringan. Pereaksi fase akut antara lain C-reactive protein, amy-
loid A serum, komponen komplement, mannose-binding protein, al-
pha1-antitrypsin, haptoglobin, fibrinogen, and ceruloplasmin. Pereak-
si fase akut terutama diproduksi oleh hepatosit (sel parensim) hepar
dalam 12-24 jam sebagai respon terjadinya peningkatan kadar sitokin.
Sitokin IL-1, IL-6 dan TNF-a terutama diproduksi monosit dan mak-
rofag jaringan yang berada di jaringan yang mengalami kerusakan dan
terjadi reaksi inflamasi.

40
Modul Imunologi

Tabel 2.2. Sifat atau karakteristik Protein fase akut

(a). C-Reactive Protein


Protein C-reaktif (CRP) adalah protein berberat molekul ren-
dah yang terdapat dalam serum, awalnya dianggap sebagai anti-
bodi terhadap polisakarida-C pneumokokus. Kadar CRP mening-
kat pesat dalam waktu 4 sampai 6 jam setelah infeksi, operasi, atau
trauma lain. Kadar CRP dapat meningkat secara dramatis dalam
waktu singkat sehingga menjadi seratus – seribu kali lipat, nilai
puncak dicapai dalam waktu 48 jam. Protein CRP ini juga menurun
dengan cepat dengan penghentian atau hilangnya stimulus. CRP
memiliki t1/2 plasma sekitar 19 jam. Peningkatan kadar CRP biasa
ditemukan pada kondisi seperti infeksi bakteri, demam rematik,
infeksi virus, penyakit ganas, TBC, dan setelah serangan jantung.
Nilai median CRP sesorang yang semakin meningkat berdasarkan
umur , mencerminkan adanya peradangan subklinis.
Protein C-reaktif adalah molekul homogen dengan berat
molekul 118.000 dalton, tersusun atas lima subunit identik yang
diikat oleh ikatan noncovalent. Protein CRP adalah anggota dari
keluarga yang disebut pentraxins, yaitu kelompok protein dimana
kesemuanya adalah protein dengan lima subunit. CRP seperti an-
tibodi, karena mampu melakukan opsonisasi (lapisan partikel as-

41
Akmaa

ing), aglutinasi, presipitasi, dan aktivasi komplemen melalui jalur


klasik. Tetapi CRP berbeda dari antibody oleh karena ikatannya
merupakan ikatan yang tergantung calcium (ca-dependent bind-
ing) dan ikatannya tidak spesifik, dengan substrat utama adalah
fosfokolin, suatu konstituen umum dari membran mikroba. CRP
juga mengikat protein ribonuclear kecil, fosfolipid, peptidoglikan,
dan konstituen lain bakteri, jamur, dan parasit. Selain itu, CRP
mengikat reseptor spesifik pada monosit, makrofag, dan neutrofil,
yang mempromosikan fagositosis. Jadi, CRP dapat dianggap seba-
gai molekul tak spesifik yang merupakan bentuk primitive antibo-
di, yang mampu bertindak sebagai pertahanan terhadap mikroor-
ganisme atau sel asing sampai antibodi spesifik dapat diproduksi.
Karena kadarnya dapat meningkat dan kemudian menurun
begitu cepat, CRP adalah indikator yang paling banyak diguna-
kan untuk peradangan akut. Meskipun CRP merupakan indikator
nonspesifik penyakit atau trauma, pemantauan kadar CRP rutin
dapat berguna secara klinis untuk mengikuti proses penyakit dan
mengamati respon pengobatan terhadap peradangan dan infeksi.
Pengukuran kadar CRP juga merupakan cara noninvasif mengiku-
ti perkembangan keganasan dan transplantasi organ, karena pen-
ingkatan kembali kadar CRP mungkin berarti sebagai keganasan,
atau dalam kasus transplantasi, merupakan tanda awal penolakan
organ.
Sesuai dengan temuan bahwa aterosklerosis, atau penyakit
koroner jantung, adalah hasil dari suatu proses inflamasi kronis,
penelitian terbaru mengindikasikan bahwa peningkatan kadar
CRP secara signifikan merupakan faktor risiko untuk infark miok-
ard dan stroke iskemik pada pria dan wanita yang tidak memiliki
riwayat penyakit kardiovaskulare. Kadar lebih dari 2 mg/L telah
ditetapkan sebagai ambang batas untuk risiko serangan iskemia

42
Modul Imunologi

akibat aterosklerosis. Kadar normal CRP pada orang dewasa ada-


lah dalam kisaran 1,5 mg / L untuk pria dan 2,5 mg/L untuk
wanita. Oleh karena itu pemantauan kadar CRP mungkin meru-
pakan tindakan pencegahan yang penting dalam menentukan po-
tensi risiko serangan jantung atau stroke.
(b). Serum Amyloid A
Serum amiloid Aadalah protein utama lainnya yang konsen-
trasi dapat meningkatkan hingga seribu kali lipat, seperti yang ter-
jadi pada CRP. Amiloid serum adalah apolipoprotein yang disinte-
sis di hati dan memiliki berat molekul 11.685 dalton. Kadar normal
dalam darah adalah sekitar 30ug/ml. Dalam plasma, amiloid se-
rum berhubungan dengan kolesterol HDL, dan diduga berperan
dalam metabolisme cholesterol. Dengan menghlangkan kolesterol
dari makrofag yang berisi penuh kolesterol di lokasi daerah ced-
era jaringan, serum amiloid A berkontribusi dalam membersih-
kan daerah luka. Amiloid A serumi juga memfasilitasi daur ulang
kolesterol membran sel dan fosfolipid untuk digunakan kembali
dalam membangun membran sel-sel baru yang diperlukan selama
peradangan akut. Telah dibuktikan bahwa peningkatan amiloid A
serum pada infeksi bakteri jauh lebih besar daripada infeksi virus.
(c ). Complement
Komplemen pada system imun merujuk pada serangkaian
protein serum yang biasanya hadir dan yang fungsinya secera
keseluruhan adalah memediasi peradangan. Ada sembilan pro-
tein seperti yang diaktifkan oleh antibodi yang terikat pada bagian
yang disebut sebagai kaskade klasik (jalur klasik); beberapa pro-
tein laiinya terlibat dalam jalur alternatif yang dipicu oleh mik-
roorganisme. Fungsi utama komplemen adalah opsonisasi, kemo-
taksis, dan lisis sel.

43
Akmaa

(d). Mannose-Binding Protein


Protein terikat- mannose (PTM), juga disebut lektin man-
nosebinding, merupakan trimer yang bertindak sebagai opsonin
yang bergantung kalsium. Protein terikat manosa mampu men-
genali karbohidrat asing seperti mannose dan beberapa gula lain
yang ditemukan terutama pada bakteri, jamur, virus, dan beberapa
parasit. PTM secara luas didistribusikan pada permukaan mu-
kosa seluruh tubuh. PTM Ini memiliki banyak kesamaan dengan
komponen C1q , ketika terikat komplemen mengaktifkan kaskade
kompelemn dan membantu untuk mempromosikan fagositosis.
Konsentrasi normal PTM dalam darah adalah hingga 10 ug /ml.
Kurangnya PTM telah dikaitkan dengan infeksi berulang dari ja-
mur.
(e). Alpha1-Antitrypsin
Alpha1-antitrypsin (AAT) adalah komponen utama dari band
alpha ketika plasma dielektroforesis. Meskipun namanya meng-
isyaratkan bahwa alfa1-anitripsin hanya untuk melawan tripsin,
ternyata senyawa ini adalah inhibitor umum protease plasma yang
dilepaskan dari leukosit, terutama elastase. Elastase merupakan
enzim endogen yang dapat mendegradasi elastin dan kolagen.
Dalam peradangan paru kronis, jaringan paru-paru rusak karena
aktivitas alfa 1-antitripsin. Pada system imun, alpha1-antitrypsin
bertindak untuk “mengepel” atau melawan efek dari invasi neu-
trofil selama respon inflamasi. Disamping itu alfa 1- antitrypsin
juga mengatur ekspresi sitokin proinflamasi seperti tumor necro-
sis factor-alpha, interleukin-1a, dan interleukin-6. Defisiensi antit-
rypsin alpha1-dapat menyebabkan emfisema dini, terutama pada
individu yang merokok atau yang terpapar bahan berbahaya dari
lingkungan pekerjaan. Pada kondisi defisiensi alfa1-antitripsin

44
Modul Imunologi

dimana tubuh kekurangan atau tanpa hambatan protease dalam


saluran pernapasan bagian bawah, yang mengakibatkan rusaknya
sel-sel parenkim sehingga terjadi emfisema atau fibrosis paru idi-
opatik. Diperkirakan sebanyak 60.000 orang Amerika menderita
deficiency alfa 1-antitripsin. Setidaknya ada 17 alel gen pengcod-
ing AAT yang berhubungan dengan penurunan produksi enzyme.
Satu gen varian tertentu dikaitkan dengan penurunan sekresi
alpha1-antitrypsin dari hati, dan orang tersebut beresiko terkena
penyakit hati dan emphysema. Warisan varian gen homozigot pal-
ing parah dapat menyebabkan perkembangan sirosis, hepatitis,
atau hepatoma pada anak usia dini. Alpha1-antitrypsin juga da-
pat bereaksi dengan protease serin, terutama yang dihasilkan oleh
agen pemicu kaskade komplemen atau fibrinolisis. Setelah terikat
alpha1-antitrypsin, protease secara sempurna menjadi inaktif dan
kemudian dibersihkan dari area kerusakan jaringan dan untuk ke-
mudian dikatabolisme.
(f). Haptoglobin
Haptoglobin merupakan alpha2-globulin dengan berat mole-
kul 100.000 dalton. Fungsi utamanya adalah untuk berikatan se-
cara ireversibel dengan hemoglobin bebas yang dirilis oleh hemoli-
sis intravaskular. Setelah terikat, kompleks ini dibersihkan dengan
cepat oleh sel Kupffer dan parenkim di hati, sehingga mencegah
hilangnya hemoglobin bebas. Kenaikan plasma haptoglobin ada-
lah hasil sintesis de novo oleh hati dan bukan hasil dari pelepasan
haptoglobin yang dihasilkan dari tempat lain. Kenaikan dua kali
-10x lipat haptoglobin dapat dilihat pada kejadian peradangan/in-
flamasi, stres, atau nekrosis jaringan. Pada awal respon inflamasi,
bagaimanapun, tingkat haptoglobin mungkin drop karena hemoli-
sis intravaskular Konsentrasi plasma yang normal berkisar 40-290

45
Akmaa

mg / dL.
Haptoglobin berperan penting dalam melindungi ginjal dari
kerusakan dan mencegah hilangnya besi yang diekskresi lewat
urin. Namun, fungsinya yang paling penting adalah untuk mem-
berikan perlindungan terhadap kerusakan akibat stress oksidatif
yang dimediasi oleh hemoglobin bebas. Hemoglobin bebas meru-
pakan oksidator kuat yang dapat menghasilkan peroksida dan hi-
droksil radicals. Haptoglobin juga dapat mengikat bagian protein
untai tunggal dan potongan protein yang rusak untuk mencegah
protein-protein ini agregasi/bergabung dengan pembuluh darah.
(g). Fibrinogen
Fibrinogen adalah komponen terbesar dari faktor koagulasi
dalam plasma, dan membentuk jendalan fibrin. Mmolekul fibrin-
ogen adalah dimer dengan berat molekul 340.000 dalton. Kadar
normal berkisar 100-400 mg/dL. Sebagian kecil fibrinogen dipecah
oleh trombin untuk membentuk fibril yang membentuk bekuan fi-
brin. Hal ini mempercepat penutupan luka dan merangsang sel en-
dotel adhesi dan proliferasi, yang merupakan tahapan penting un-
tuk proses penyembuhan. Pembentukan bekuan juga menciptakan
penghalang yang membantu mencegah penyebaran mikroorgan-
isme lebih lanjut ke dalam tubuh. Fibrinogen juga berfungsi untuk
mempromosikan agregasi sel darah merah, dan peningkatan ka-
dar fibrinogen berkontribusi terhadap peningkatan risiko kejadian
penyakit arteri koroner, terutama pada wanita.
(h) Seruloplasmin
Ceruloplasmin tersusun atas rantai polipeptida tunggal den-
gan berat molekul 132.000 dalton. Ini adalah protein pengangkut
utama tembaga dalam plasma manusia, mengikat 90-95% tembaga
yang ditemukan di plasma dengan melekatkan enam ion tembaga

46
Modul Imunologi

per molekul. Selain itu, ceruloplasmin bertindak sebagai ferroxi-


dase, yang mengoksidasi besi dari Fe2 + menjadi Fe3 +. Reaksi ini
dapat berfungsi sebagai cara untuk melepaskan besi dari feritin
untuk beralih berikatan dengan transferin. Penurunan kadar ce-
ruloplasmin ditemukan pada penyakit Wilson, suatu gangguan
genetik autosom resesif yang ditandai dengan peningkatan kadar
tembaga dalam jaringan. Biasanya, tembaga yang beredar dalam
darah kemudian dengan sempurna diserap oleh hati dan diikat-
kan pada ceruloplasmin dan kembali ke plasma atau diekskresikan
ke dalam saluran empedu. Pada penyakit Wilson, tembaga teraku-
mulasi di hati dan kemudian pada jaringan lain seperti otak, ko-
rnea, ginjal, dan tulang.
(2). Molekul adesi
Molekul adhesi memperantarai sel untuk kontak atau beradhesi
dengan lingkungan mereka dan sel tetangga. Ringkasan struktur dan
fungsi masing-masing molekul adesi disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Klas utama molekul adesi

47
Akmaa

Molekul adhesi sangat penting untuk menunjang fungsi leukosit,


termasuk resirkulasi limfosit melalui organ-organ limfoid, perekrutan
leukosit ke lokasi peradangan, pengenalan antigen-spesifik dan peny-
embuhan luka. Ada lima struktur utama molekul adhesi yaitu (i) selec-
tins, (ii) Integrin, (iii) Immunoglobulin superfamili (IgSF) protein, (iv)
cadherins dan (v) Mucins.
(i) Selectins
Selectins adalah sekelompok molekul adhesi sel golongan
glikoprotein dan memainkan peran penting dalam menghubun-
gankan sel darah pada endotel. Para anggota keluarga molekul
permukaan ini memiliki tiga bentuk struktur yang terpisah. Mole-
kul –molekul adesi ini memiliki N-terminal (ekstraseluler) motif
lektin tunggal yang mendahului faktor pertumbuhan epidermal.
Senyawa ini terlibat dalam migrasi limfosit. Protein pengikat-kar-
bohidrat ini memfasilitasi adhesi leukosit ke sel endotel. Ada tiga
macam selectins yaitu :
* L-selectin (CD62L), diekspresikan pada leukosit
* P-selectin (CD62P), diekspresikan pada trombosit dan endothe
lium aktif
*E-selectin (CD62E), diekspresikan pada endotelium teraktif-
kan yang dicirikan dengan kekhususan bentuk struktur terdiri dari
domain lektin N-terminal, suatu domain dengan homologi faktor
pertumbuhan epidermal (EGF) dan berbagai komplemen yang
mangatur urutan ulangan protein.
(ii) Integrins
Integrin adalah keluarga glikoprotein membran sel heterodi-
mer yang terdiri dari sub unit rantai a dan b. Integrin berfungsi
sebagai reseptor glikoprotein matriks ekstraseluler.
Fungsi utama dari integrin adalah untuk menghubungkan si-

48
Modul Imunologi

toskeleton dengan ligan ekstraseluler. Integrin juga berpartisipasi


dalam penyembuhan luka, migrasi sel, membunuh sel target, dan
fagositosis. Leukosit adhesi sindrom defisiensi terjadi ketika subu-
nit b LFA-1 dan Mac-1 hilang. Protein VLA memfasilitasi pengi-
katan sel kolagen (VLA-1, -2, dan -3), laminin (VLA-1, -2, dan -6),
dan fibronektin (VLA-3, -4, dan -5). Kontak antar sel yang dibentuk
oleh integrin sangat penting untuk respon imun, seperti presentasi
antigen,sitotoksisitas yang dimediasi oleh dan myeloid fagositosis
sel. Integrin terdiri dari sebuah bagian penting dari kaskade resep-
tor adhesi yang memandu leukosit dari aliran darah di endoteli-
um dan masuk ke jaringan yang terluka dalam menanggapi sinyal
chemotactic.
(iii) Immunoglobulin superfamily
Imunoglobulin superfamili adalah sekelompok protein per-
mukaan sel yang dicirikan dengan adanya 70-110 asam amino
mirip bagian variable atau konstan Ig atau antibodi. Termasuk
dalam immunoglobulin adalah CD2, CD3, CD4, CD7, CD8, CD28,
reseptor sel T (TCR), MHC kelas I dan molekul MHC kelas II, leu-
kocyte function-associated antigen 3 (LFA-3)​​, reseptor IgG, dan be-
berapa protein lainnya. Molekul-molekul ini memiliki kemiripan
satu sama lainnya terutama pada bagian immunoglobulin like do-
main.
(iv) Cadherins
Cadherins merupakan bagian dari keluarga molekul adhesi
yang memungkinkan sel untuk berinteraksi dengan lingkungan-
nya. Cadherins membantu sel untuk berkomunikasi dengan sel
lain dalam surveilans imun, ekstravasasi, perpindahan & metasta-
sis tumor, penyembuhan luka, dan lokalisasi jaringan. Cadherins
adalah kalsium-dependen. Ada 5 macam molekul cadherin yang

49
Akmaa

berbeda yaitu N-cadherin, P-cadherin, T-cadherin, V-cadherin,


dan E-cadherin. Domain sitoplasmik dari cadherins dapat berin-
teraksi dengan protein sitoskeleton. Molekul kaderin ini mungkin
mengikat reseptor lain berdasarkan spesifisitas homophilic, tapi
mereka masih tergantung pada interaksi intraseluler terkait den-
gan sitoskeleton.
(v) Mucins
Mucins adalah protein serin yang terglikasi dan kaya treonin
yang berfungsi sebagai ligan untuk selectins. Musin berkontribusi
terhadap aktifasi fungsi molekul adhesi lainnya.
(3 ). Sitokin, kemokine, limfokin, factor pertumbuhan dan hormone
Disamping hormone, berbagai sel tubuh mampu menghasilkan
berbagai jenis protein dengan fungsi spesifik. Perbedaan karakteristik
antara sitokin, factor pertumbuhan dan hormone.

Tabel 2.4. Gambaran perbandingan karakteristik antara sitokin,


factor pertumbuhan dan hormon
Sifat Sitokin Factor prtumbuhan hormon
Kelarutan larut larut Larut
Kebutuhan Ya Ya Ya
reseptor
Tempat Berbagai sel pd Beberapa sel pada Sel endokrin
produksi berbagai jaringan beberapa jaringan
Ekspresi Menginduksi atau Konstitusi menginduksi
up regulasi
Jangkauan Efek Autokrin-parakrin Parakrin-endokrin endokrin

Tipe sel yg beberapa Berbagai jenis Sangat


dipengaruhi terbatas

50
Modul Imunologi

Sitokin memperantarai aktifasi fungsi sel imun. Sitokin dibagi


dalam beberapa kelompok antara lain (i) sitokin tipe 1 atau hemat-
opoietin sitokin yang sebagian besar anggautanya adalah interleukin
(i.e., IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-7, IL-9, IL-11, IL-12, IL-13, IL-15, IL-21
and IL-23), yang berperan sebagai factor pertumbuhan hematopoietik;
(ii) sitokin Tipe II meliputi interferons dan IL-10; (iii) molekul yg ber-
hubungan dengan TNF, meliputi TNF, lymphotoxin, dan Fas ligand;
(iv) superfamili Ig, meliputi IL-1 dan IL-18; dan (v) kemokines.
(c ) Infalamasi sebagai komponen system pertahanan
Inflamasi adalah reaksi respon imun tubuh agar terhindar dari
kerusakan akibat adanya injuri atau trauma dan infeksi. Reaksi inflama-
si melibatkan komponen seluler maupun komponen humoral. Secara
umum reaksi inflamasi dicirikan dengan 5 tanda utama yaitu dolor (ny-
eri), kalor (demam), tumor (bengkak), rubor (merah) dan function lesa
(gangguan fungsi). Kelima tanda klinis reaksi inflamasi/peradangan
tersebut berkaitan dengan adanya peristiwa (1) peningkatan suplai da-
rah ke daerah yang mengalami injuri/infeksi, (2) peningkatan permea-
bilitas kapiler akibat dari terjadinya retraksi sel endotel yang melapisi
vasa darah, (3) migrasi sel darah putih (lekosit) terutama neutrofil dari
kapiler ke lingkungan sekitarnya dan (4) migrasi makrofag ke daerah
yang mengalami injuri. .

51
Akmaa

Gambar 2.3.Reaksi inflamasi dan respon imun tak spesifik akibat anti-
gen infeksius (Ag)

Mediator kimia seperti histamin, yang dilepaskan dari sel mast


yang terluka, menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan membawa
aliran darah tambahan ke daerah yang terkena luka, mengakibatkan
kemerahan dan panas. Peningkatan permeabilitas pembuluh memung-
kinkan cairan dalam plasma bocor ke jaringan. Ini menghasilkan pem-
bengkakan dan rasa sakit yang terkait dengan peradangan. Mediator
larut, termasuk protein fase akut, menginisiasi dan mengendalikan
respon peradangan. Amplifikasi respon radang terjadi melalui pem-
bentukan bekuan oleh sistem koagulasi dan kemudian memicu sistem
fibrinolitik.

52
Modul Imunologi

Gambar 2.4. Proses peradangan dan mekanisme terjadinya eritema,


udema dan kehilangan fungsi.

Sesuai dengan hubungan antar sel endotel dalam menyusun pem-


buluh darah, neutrofil bergerak melalui sel-sel endotel pembuluh da-
rah dan keluar ke dalam jaringan. Mereka tertarik ke lokasi cedera atau
infeksi oleh senyawa yang disebut dengan chemotaxins. Neutrofil, yang
dimobilisasi dalam waktu 30 sampai 60 menit setelah cedera, adalah
jenis utama yang hadir dalam sel peradangan akut. Mmigrasi neutrofil
dapat bertahan selama 24 sampai 48 jam dan sesuai dengan kadar fak-
tor chemotactic yang terdapat di daerah tersebut.
Migrasi makrofag dari jaringan sekitar dan monosit dari darah
terjadi beberapa jam kemudian dan mencapai puncaknya pada 16-48

53
Akmaa

jam. Makrofag mencoba untuk membersihkan daerah melalui fagosito-


sis, dan dalam kebanyakan kasus proses penyembuhan selesai dengan
kembalinya struktur jaringan normal. Namun, ketika proses inflamasi
yang berkepanjangan, atau menjadi kronis, dan biasanya diikuti dengan
kerusakan jaringan sehingga menyebabkan hilangnya fungsi bagian
yang rusak. Imunitas spesifik dengan infiltrasi limfosit kadang-kadang
terlibat dalam menyebabkan kerusakan jaringan. Dengan demikian,
kegagalan untuk menghilangkan mikroorganisme atau jaringan yang
terluka dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lanjutan.
(3) Penghalang seluler
Komponen seluler system imun alamiah meliputi berbagai sel
fagosit yang menyebar diberbagai jaringan dan organ tubuh. Gambar
menyajikan kelompok sel yang berperan pada respon imun alamiah.

Gambar 2.5. Kelompok sel yang berperan pada respon imun seluler

Secara umum komponen seluler penyusun system imun dibeda-


kan menjadi 2 jenis berdasarkan peranannya dalam penyelenggaraan
respon imun yaitu sel utama dan sel pendukung. Limfosit B dan lim-

54
Modul Imunologi

fosit T ditambah fagosit disebut sebagai komponen seluler utama sys-


tem imun. Sedangkan sel dendritik yang berperan sebagai APC disebut
sebagai komponen seluler pedukung system imun.
(a). Sel NK (sel populasi ketiga)
Sel natural killer atau sel NK adalah kelompok sel mirip limfosit
tetapi tidak memiliki antigen permukaan sebagaimana antigen permu-
kaan yang dimiliki oleh sel T dan sel B. Oleh karena itu kelompok sel ini
dahulu disebut sel null walaupun kemudian ternyata sel-sel ini mem-
punyai reseptor untuk komplemen C3 dan reseptor untuk Fc. Sel-sel ini
bersifat non-fagositik, non-adheren dan secara fenotip berbeda dengan
sd T maupun B, yaitu tidak memiliki CD3/TCR maupun slg. Untuk
membedakannya dengan sel T maupun sel B, sel ini mememiliki pen-
anda permukaan CD16 (yang merupakan reseptor untuk Fc) dan CD56.
Ciri permukaan CDl6 dan atau CD56 tanpa CD3 (CDl6/CD56CD3) saat
ini digunakan untuk memastikan bahwa sel itu adalah sd NK. Jumlah
sel NK bervariasi sesuai dengan usia.
Karakteristik sel NK.
Sel NK memiliki karakteristik khusu yang membedakannya dari
kelompok sel lainnya. Beberapa karakteristil sel NK tersebut adalah:
(i) Jumlah sel NK pada bayi lebih sedikit dibanding pada orang de-
wasa; jumlahnya meningkat 2 kali pada usia tengah baya diband-
ing baru lahir.
(ii) Populasi sel ini dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa
sensitisasi terlebih dahulu dan tanpa bergantung pada produk-
produk MHC, karena itu disebut sel NK (natural killer).
(iii) Selain tidak dikendalikan oleh MHC, sel ini juga tidak berinteraksi
dengan sel sasaran melalui reseptor T (TCR) seperti halnya sel T.
Reseptor untuk MHC, akhir-akhir ini diidentifikasi sebagai c-type
lectin like receptor yang spesifik untuk MHC kelas I; selain itu sel

55
Akmaa

NK juga memiliki reseptor lain yaitu immunoglobulin like recep-


tors yang dapat berfungsi sebagai penghambat pembunuhan seh-
ingga disebut sebagai killer inhibitory receptor.
Sel NK memegang peran penting dalam pertahanan alamiah
terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai penyakit infeksi,
khususnya infeksi virus. Sebagian besar sel NK (95%) dapat ber-
fungsi sebagai sel pembunuh sel sasaran yang terinfeksi virus dan
sel sasaran lain yang dilapisi dengan IgG sehingga sel NK berfung-
si sebagai sel sitotöksik yang bergantung pada antibodi (antibody
dependent cell mediated cytotoxicity = ADCC).

Gambar 2.6. Ringkasan respon imun alamiah

56
Modul Imunologi

Asal-ususl sel NK
Asal-usul sel NK masih merupakan rahasia dan belum ban-
yak diketahui. Hanya sedikit diketahui tentang asal-usul sel NK dan
hubungannya dengan sel-sel lain. Diduga sel-sel ini berkembang dalam
sumsum tulang, namun hingga saat ini belum ditemukan penanda per-
mukaan bagi sel induknya. Ada dugaan bahwa sel NK dan sel T berasal
dari sel induk yang sama (common thymocyte precursor). Apabila limfosit
darah tepi atau yang berasal dari limpa dibiakkan dan diinkubasikan
dengan IL-2, akan tumbuh populasi sel yang mampu membunuh se-
mua sel sasaran, termasuk sel-sel yang resisten terhadap sêl NK. Popu-
lasi sel ini yang dalam menjalankan fungsinya juga tidak dikendalikan
oleh MHC disebut sel LAK (lymphokine activated killer). Aktivitas sel
LAK selektif untuk sel tumor atau sel yang mengekspresikan penanda
permukaan yang abnormal, dan jarang sekali merusak sel normal. Sel
NK juga dapat memproduksi IFNy dan sitokin lain, misalnya IL-1 dan
GM-CSF yang pentmg untuk hemopoesis dan respons imun (Kresno, ;
Murphy, 2012).
Mekanisme lisis sel NK
Lisis sel sasaran oleh sel NK dapat terjadi dalam waktu beberapa
menit setelah paparan. Mekanisme sitolisis berlangsung dalam 4 tahap,
mirip dengan sitolisis oleh sel efektor lain, yaitu:
1) Tahap pengikatan sel sasaran. Reseptor sel NK untuk pengikatan
pada sel sasaran belum diketahui pasti, tetapi akhir-akhir ini ada
bukti-bukti bahwa pengenalan sel sasaran terjadi melalui resep-
tor yang mengikat molekul semacam lektin, yang disebut NKR-
PI. Ligand NKR-PI ini diekspresikan pada hampir semua jaringan
normal, sehingga perlu ada mekanisme untuk mencegah lisis sel-
sel normal ini oleh sel NK. Beberapa penelitian mengungkapkan
peran MHC kelas I dalam melindungi sel agar tidak dilisis oleh sel

57
Akmaa

NK. Molekul p58 merupakan reseptor penghambat untuk molekul


HLA-C, dan NKB1 adalah reseptor penghambat untuk molekul
HLA-B7.

Gambar 2.7. mekanisme lisis pada sel NK

(2) Tahap aktivasi sel efektor melalui sinyal dan transduksi sinyal dan
(3) Tahap melancarkan lethal hit kepada sel sasaran. Setelah diakti-
vasi, terjadi polarisasi granula ke bagian sel NK di mana terjadi
kontak erat dengan sel sasaran. Granula kemudian melepaskan
berbagai substansi, yaitu proteinase, chondroitin sulphate, proteo-
glycan, dengan cara eksositosis. Sel NK juga mampu melisiskan
sel dengan bantuan sitokin, misalnya IL-2. Di satu fihak IL-2 meru-
pakan faktor induksi yang potent untuk produksi sitokin oleh sd

58
Modul Imunologi

NK tetapi di lain fihak IL-2 juga merupakan faktor pertumbuhan


bagi sd NK dan berfungsi meningkatkan sitotoksisitas dan migrasi
sd NK. Sitokin lain yang berperan meningkatkan aktivitas sel NK
adalah IFN-α. Akhir-akhir ini diketahui bahwa salah satu anggota
keluarga TNF, yaitu Fas, mempunyai peran penting dalam melan-
carkan sinyal lethal terhadap sel sasaran yang berakibat apoptosis.
(4) Tahap pelepasan sel NK dari sel sasaran dan kemudian menjalani
siklus ulang apabila ada pathogen baru.

Saat ini dikenal beberapa factor yang dapat meghambat aktifitas


sel NK. Di samping faktor-faktor yang dapat mengaktivasi sel NK, ada
juga faktor-faktor yang menghambat lisis sel sasaran oleh sel NK antara
lain prostaglandin. Prostaglandin menghambat lisis oleh sel NK den-
gan meningkatkan kadar cAMP. Fungsi lisis bisa juga dihambat oleh
zat-zat yang menyebabkan rusaknya granula sel NK.
(b). Sel fagosit mononuklear
Sel fagosit mononuclear dibedakan menjadi dua jenis. Dua jenis
fagosit mononuclear itu adalah monosit yang merupakan fagosit mono-
nuclear yang bebas beredar dalam pembuluh darah dan berbagai jenis
makrofag yang tinggal dalam berbagai jaringan sebagai penjaga kea-
manan terutama untuk jaringan dan organ vital.
Sumsum tulang menghasilkan sel induk mieloid yang kemudian
berkembang menjadi sel fagosit mononuklear dan sel polimorfonuk-
lear. Sel-sel fagosit mononuklear merupakan populasi terbanyak kedua
dalam sistem imun. Sel fagosit mononuklear mempunyai 2 fungsi, yai-
tu pertama sebagai fagosit profesional dengan fungsi utama menghan-
curkan antigen dan kedua sebagai antigen presenting cells (APC) yang
fungsinya menyajikan antigen kepada limfosit. Sebagai fagosit profe-
sional sel itu menghancurkan antigen dalam fagolisosom, tetapi di lain

59
Akmaa

fihak sel ini juga dapat melepaskan berbagai enzim dan isi granula ke
luar sel, yang bersama-sama dengan sitokin seperti tumor necrosis fac-
tor (TNF) dapat menyebabkan kerusakan sitotoksik pada berbagai sel
sasaran.
(i) Makrofag sebagai fagosit mononuklear
Makrofag merupakan fagosit profesional yang terpenting. Se-
bagai fagosit professional makrofag memiliki peran ganda dalam
penyelenggaraan respon imun. Sel ini diproduksi di sumsum tu-
lang dan sel induk mieloid melalui stadium promonosit. Sel yang
belum berkembang sempurna mi kemudian masuk ke dalam aliran
darah sebagai monosit dan apabila sel itu meninggalkan sirkulasi
dan sampai di jaringan ia mengalami berbagai perubahan tamba-
han dan menjadi sel matang kemudian menetap di jaringan seba-
gai makrofag. Sel-sel ini antara lain terdapat di paru-paru sebagai
makrofag alveolar, di hati sebagai sel Kupfer, melapisi sinusoid
limpa dan kelenjar limfe, sebagai sel mesangial dalam glomerulus,
sel mikroglia di otak dan sel osteoklast dalam tulang.

Tabel 2.5. Jenis makrofag di berbagai jaringan


Nama Tipe Jaringan
Makrofag alveolar Paru

Sel kupfer Hati

Histiosit Jaringan ikat

Sel mikroglial Otak

Osteoklast Tulang

Sel mesangial ginjal

60
Modul Imunologi

Beberapa di antaranya berdiferensiasi menjadi sel lain misalnya


sel dendritik. Masa hidup makrofag dapat mencapai beberapa bulan
bahkan tahun, jadi umurnya jauh lebih panjang dibandingkan sel-sel
polimorfonuklear (P) yang hanya hidup selama 2-3 hari. Di samping itu
fungsinya dalam sistem imun juga berbeda.
Makrofag mempunyai peran penting dalam respons imun. Fungsi
utama makrofag dalam imunitas bawaan adalah: 1). Makrofag memf-
agositosis partikel asing seperti mikrorganisme, makromolekul termas-
uk antigen bahkan sel atau jaringan sendiri yang mengalami kerusakan
atau mati, misalnya eritrosit yang sudah tidak viable. 2). Pengenalan
makrofag terhadap substansi asing dimungkinkan oleh adanya resep-
tor untuk fosfolipid sedangkan fungsi sebagai sel efektor yaitu meng-
hancurkan mikroorganisme serta sel-sel ganas dan benda-benda asing
dimungkinkan karena sel ini antara lain mempunyai sejumlah lisosom
di dalam sitoplasma yang mengandung hidrolase maupun peroksidase
yang merupakan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai
reseptor terhadap fragmen Fc IgGi dan IgG3 serta IgE, dan reseptor ter-
hadap komplemen. Adanya reseptor itu meningkatkan kemampuan sel
ini untuk menghancurkan benda asing yang dilapisi oleh antibodi atau
komplemen. Dengan demikian makrofag merupakan “scavenger cells”
utama dalam tubuh.
Makrofag juga mengekspresikan MHC kelas II pada permukaan-
nya, dan ekspresi MHC II meningkat bila makrofag diaktivasi. Hal ini
penting karena di samping sebagai sel efektor, makrofag juga berfungsi
menyajikan antigen kepada sel T yang dilakukannya bersama ekspresi
MHC kelas II. Di samping mempunyai reseptor untuk berbagai jenis
limfokin misalnya reseptor untuk migration inhibitory factor (MIF) dan
IFN-y, makrofag juga memproduksi sejumlah sitokin yang merekrut
sel-sel inflamasi lain, khususnya neutrofil, dan bertanggung jawab atas

61
Akmaa

berbagai dampak sistemik inflamasi misalnya demam. Di antara sitokin


yang dihasilkan adalah interleukin- 1 (IL-1) yang diperlukan untuk
memacu proliferasi sel T dan B, faktor pertumbuhan fibroblast dan en-
dotel vaskular yang diperlukan untuk perbaikan jaringan yang rusak.

Gambar 2.7. Toll-like reseptor pada membran sel darah putih.

Sel fagosit memiliki reseptor untuk imunoglobulin dan untuk


komponen komplemen, yang membantu dalam kontak dan dalam me-
mulai proses pencernaan. Reseptor itu disebut toll like receptor (TLR).
Toll like reseptor ada sejumlah 11 macam. Masing-masing dari 11 Toll-
like receptor yang berbeda mengenali berbagai produk patogen yang
berbeda. Beberapa contoh yang ditampilkan di sini. TLR1 mengenali
lipoprotein yang ditemukan di mycobacteria, TLR2 mengikat peptidog-
likan yang terdapat pada bakteri gram-positif, TLR4 mengidentifikasi
lipopolisakarida yang terdapat pada bakteri gram negatif. Ikatan TLR
dengan antigen ditingkatkan dengan adanya opsonins, istilah yang be-
rasal dari kata Yunani yang berarti “untuk mempersiapkan makan.”
Opsonins adalah protein serum yang melekat pada zat asing dan
membantu mempersiapkan fagositosis. Protein C-reaktif, komponen
komplemen, dan antibodi semua opsonins penting. Opsonins dapat
bertindak dengan menetralisir muatan permukaan pada partikel asing,

62
Modul Imunologi

sehingga lebih mudah bagi sel untuk mendekati satu sama lain.
(ii). Monosit sebagai fagosit mononuclear
Monosit merupakan “wondering” fagosit mononuclear yang
senantiasa beredar dalam aliran darah. Karakteristik, sel induk dan
aktifitas biologis serta mekanisme killing monosit tidak berbeda
dengan makrofag.
Mekanisme killing oleh fagosit mononuklear
Setelah terjadi lekatan antara makrofag/monosit dengan partikel
antigen, sitoplasma sel mengalir di sekitar partikel dan terjadi penca-
plokan. Peningkatan konsumsi oksigen, yang dikenal sebagai “oxidative
burst” atau ledakan oksidasi, terjadi di dalam sel bersamaan dengan ak-
tifitas pseudopodia menyelimuti partikel antigen masuk dalam vaku-
ola. Struktur yang terbentuk dikenal sebagai phagosome. Phagosome
secara bertahap bergerak menuju pusat sel. Selanjutnya, terjadi kontak
antara fagosom dengan granula sitoplasma, dan berakhir dengan ter-
jadinya fusi antara granula sitoplasma dengan phagosome sehingga
terbentuk phagolysosome. Granul sitoplasma kemudian melepaskan
isinya, dan proses pencernaan terjadi. Setiap material tercerna dikelu-
arkan dari sel dengan eksositosis. Proses “pembunuhan” atau killing
mikroorganisme sebenarnya sangat tergantung pada oksigen. Sel yang
beristirahat memperoleh energi dari glikolisis anaerob, namun ketika
fagositosis dipicu, ledakan oksidasi menghasilkan energi yang lebih be-
sar melalui metabolisme oksidatif.

63
Akmaa

Gambar 2.8. Mekanisme fagositosis makrofag dan contoh makrofag


dengan partikel lateks yang difagositosis

64
Modul Imunologi

(c). Sel-sel polimorfonuklear (PMN)


Sel-sel polimorfonuklear (PMN) berasal dari sel induk mieloid, dan
merupakan 60-70% dan jumlah leukosit dalam sirkulasi darah, walau-
pun sel-sel itu dapat juga dijumpai ekstravaskular. Sel PMN mempun-
yai intl yang terbagi atas beberapa lobul, dan dalam sitoplasma terdapat
3 macam granüla yaitu granula primer, sekunder dan tertier. Granula
primer merupakan granula azurofilik yang mengandung mieloperoksi-
dase, lisozim dan sejumlah protein bermuatan positif(kationic). Granu-
la sekunder mengandung laktoferin, lisozim dan protein pengikat B-12,
sedangkan granula tersier mengandung lisozom dan hidrolase asam.
Granula mi penting sekali dalam proses pembunuhan bakteri dan
reaksi imunologik yang lain.28 Bersama-sama dengan makrofag, PMN
merupakan garis pertahanan terdepan dan melindungi tubuh dengan
menyingkirkan mikroorganisme yang masuk. Sel-sel mi sering disebut
sel-sel inflamasi karena ia berperan penting pada proses inflamasi. Sel
PMN dapat melekat dan menembus sel endotel yang melapisi pembu-
luh darah. Termastik dalam golongan PMN adalah neutrofil, eosinofil
dan basofil.
Tabel 2.7. Komponenseluler system imun alami

65
Akmaa

Neutrofil
Hampir 90% dan granulosit dalam sirkulasi terdiri atas neutrofil.
Masa hidupnya dalam aliran darah adalah sekitar 4-8 jam tetapi dalam
jaringan sel itu dapat hidup lebih lama. Neutrofil bereaksi cepat ter-
hadap rangsangan, dapat bergerak menuju daerah inflamasi karena
dirangsang oleh faktor kemotaktik yang antara lain dilepaskan oleh
komplemen atau limfosit teraktivasi. Seperti halnya makrofag, fungsi
neutrofil yang utama adalah memberikan respons imun nonspesifik
dengan melakukan fagositosis serta membunuh atau menyingkirkan
mikroorganisme yang masuk. Fungsi mi didukung dan ditingkatkan
oleh komplemen atau antibodi, dan untuk mengikat komplemen dan
antibodi neutrofil mempunyai reseptor untuk Fc-IgG maupun reseptor
untuk C3b dan C3d. Neutrofil mempunyai granula yang berisi enzi-
menzim perusak dan berbagai protein yang selain dapat merusak mik-
roorganisme juga dapat menyulut reaksi inflamasi bila dilepaskan.’
(d). Granulosit

(i) Eosinofil
Dalam darah perifer orang normal terdapat eosinofil dalam
jumlah 2-5% dan jumlah leukosit. Sel ini dapat dibedakan dari
sel lain karena mempunyai granula berwarna merah jingga yang
berisi protein basa dan enzim perusak. Eosinofil terutama efektif
dalam menyingkirkan antigen yang merangsang pembentukan
IgE. Sel ini mernpunyai reseptor untuk IgE dan dapat melekat
erat pada partikel yang dilapisi 1gB. Eosinofil juga terdapat dalam
jumlah banyak pada tempat-tempat reaksi alergik; dalam konteks
mi eosinofil turut bertanggung jawab atas kerusakanjaringan dan
inflamasi. Pertumbuhan dan diferensiasi eosinofildirangsang oleh
sitokin yang diproduksi oleh sel T, yaitu IL-5, dan aktivasi sel T
menyebabkan akumulasi eosinofil di tempat-tempat infestasi para-

66
Modul Imunologi

sit dan reaksi alergi.


Eosinofil bergerak ke arah sel sasaran karena rangsangan me-
diator yang diproduksi oleh sel T, mastosit dan basofil, yang dis-
ebut eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A). Sebagian
eosinofil mempunyai reseptor untuk Fc dan C3b yang memung-
kinkan sel tersebut melekat pada sel sasaran, misalnya parasit atau
cacing, yang dilapisi antibodi atau komplemen. Aktivasi eosinofil
melalui reseptor-reseptor ini menghasilkan respiratory burst dan
penglepasan major basic protein (MBP) serta protein bermuatan
positif (kation) yang dapat merusak membran sel sasaran beruku-
ran besar yang tidak dapat dihancurkan dengan cara fagositosis.
Di lain fihak, kalau mendapat rangsangan yang sesuai eosinofil
menjadi aktif melepaskan berbagai enzim yang dapat menghan-
curkan berbagai mediator yang dilepaskan oleh basofil atau mas-
tosit, antara lain histaminase yang dapat merusak histamin, dan
aryl suiphatase yang dapat menghancurkan leukotrien LTC4,
LTD4 serta LTE4 (leukotrien dahulu dikenal dengan nama slow
reacting substance of anaphylaxis = SRS-A). Karena itu eosinofil,
selain merusak sel sasaran, juga diduga berfiingsi mengendalikan
atau mengurangi reaksi hipersensitivitas.
(ii). Basofil dan mastosit
Jumlah basofil dalam sirkulasi hanya sedikit, yaitu 0,2% dan
jumlah leukosit. Sel mi ditandai oleh inti dengan 2 lobus dan
mempunyai granula intrasitoplasmik berwarna ungu yang berisi
hepann, SRS-A dan dan ECF-A. Dibandingkan dengan basofil,
mastosit yang umumnya terdapat dalam jaringan dan epitel mu-
kosa, mempunyai inti berlobus tunggal dan granula basofil yang
berjumlah lebih banyak dan berukuran lebih kecil. Kedua jenis sel
mempunyai fungsi yang sama walaupun diduga berasal dan cikal

67
Akmaa

bakal yang berbeda. Kedua jenis sel memiliki reseptor untuk frag-
men Fc, IgG dan IgE, tetapi di samping itu mastosit juga mempu-
nyai reseptor untuk C3b. Atas rangsangan alergen yang bereaksi
dengan IgE yang melekat pada sel melalui reseptor untuk Fc, sel-
sel itu dapat melepaskan berbagai mediator dan rnengakibatkan
reaksi anafilaktik.
(e). Trombosit
Trombosit merupakan komponen sel darah yang bertanggung
jawab pada hemostasis. Sebagaimana komponen seluler lain dalam da-
rah, trombosit juga berasal dari sel induk mieloid. Trombosit terutama
berfungsi dalam proses pembekuan darah tetapi selain itu ia juga ter-
libat dalam reaksi inflamasi. Trombosit mempunyai reseptor untuk Fc
IgG serta reseptor untuk MHC kelas I. Sel-sel ini dapat melekat dan
menggumpal pada permukaan endotel yang rusak sambil melepas-
kan mediator yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
dan mengaktivasi komplemen. Akibatnya adalah dilepaskannya faktor
kemotaktik yang menarik leukosit ke tempat tersebut.
Secara morfologis trombosit memiliki ukuran paling kecil diantara
sel darah lainnya. Pada permukaan trombosit terdapat reseptor khusus
untuk benang-benang kolagen endotel dinding pembuluh yang disebut
dengan  glycoprotein Ia/IIa surface receptors. Reseptor ini akan segera
berikatan dengan benang kolagen vaskuler apabila ada endotel vaskul-
er yang mengalami kerusakan. Adesi trombosit dengan benang kola-
gen vaskuler diperkuat oleh adanya von Willebrand factor (vWF) yang
biasa dikeluarkan oleh endotel atau platelet apabila aktif. Faktor von
Willebrand membentuk ikatan tambahan yang menghubungkan antara
glycoprotein Ib/IX/V platelet dengan benang kolagen endotel vaskuler.

68
Modul Imunologi

Gambar 2.9. Morfologi, petanda permukaan serta glikoprotein yang


merupakan reseptor permukaan utama pada platelet.

69
Akmaa

Platelet aktif akan melepaskan granula yang dikandungnya ke


dalam plasma darah. Platelet memiliki kandungan granula antara
lain adenosine diphosphat (ADP),  serotonin,  platelet-activating fac-
tor  (PAF),  vWF,  platelet factor 4, dan   thromboxane A2(TXA2), yang
mampu mengaktifkan platelet lainnya. Isi granula berinteraksi den-
gan komplek reseptor protein G dan mengaktifkan  Gq-linked protein
receptor  cascade, akhirnya terjadi peningkatan konsentrasi calcium
di dalam sitosol platelet. Kalsium kemudian mengaktifkan   protein
kinase C (PKC), diamana apabila PKC aktif kemudian akan mengak-
tifkan  phospholipase A2  (PLA2). PLA2  kemudian memodifikasi   inte-
grin  membrane glycoprotein IIb/IIIa, meningkatkan afinitas integrin
glikoprotein IIb/IIIa membrane terhaap fibrinogen.
Platelet yang aktif disamping mencurahkan granula juga men-
galami perubahan bentuk dari yang semula berbentuk spherical men-
jadi stellate , dan terjadi cross-link antara fibrinogen dengan glycopro-
tein IIb/IIIa  yang menghasilkan agregasi antar platelet.

Gambar 2.10. Jalur aktifasi platelet

70
Modul Imunologi

Sebagai salah satu komonen seluler system imun, trombosit mem-


punyai reseptor untuk Fc IgG serta reseptor untuk MHC kelas I yang
bermanfaat pada respon imun alami, aktifasi inflamasi dan aktifasi sys-
tem komplemen. Platelet menghasilkan beberapa sitokin untuk menun-
jang fungsinya.

Gambar 2.11. Tahapan penutupan luka oleh platelet.

71
Akmaa

Sel-sel trombosit dapat melekat dan menggumpal pada permu-


kaan endotel yang rusak sambil melepaskan mediator yang menyebab-
kan peningkatan permeabilitas kapiler dan mengaktifasi komplemen.
Akibatnya adalah dilepaskannya faktor kemotaktik yang menarik leu-
kosit ke tempat tersebut.
C. Antigen presenting cells (APC)
Sel-sel ini berfungsi menyajikan antigen kepada sel limfoid yang
tersensitisasi. Agar supaya antigen dapat dikenal oleh sel limfoid, pen-
yajian antigen yang telah diproses dilakukan bersama atau melalui ek-
spresi MHC kelas II pada permukaan sel.
1. Makrofag/monosit sebagai APC
Makrofag, di samping berfungsi sebagai fagosit profesional sep-
erti disebut di atas, merupakan APC yang pertama diketahui. Monosit
atau makrofag kedua-duanya dapat dijumpai dalam sirkulasi mau-
pun dalam jaringan, dan bersama-sama dengan sel polimorfonuklear
(PMN) (netrofil, basofil, eosinofil) melawan zat-zat asing yang patogen.
Makrofag mampu menelan antigen yang berbentuk partikel maupun
yang larut, kemudian memprosesnya dengan cara degradasi, denatu-
rasi atau modifikasi, dan selanjutnya menyajikan fragmen-fragmen an-
tigen tersebut kepada sel T.
2. Sel dendritik (SD) sebagai APC
Selain makrofag masih ada beberapa sel lain yang dapat bertindak
sebagai APC sebagaimana disajikan pada Gambar 24.

72
Modul Imunologi

Gambar 2.12. Perkembangan makrofag dan diferensiasi menjadi sel


dendritik sebagai APC

Dalam garis besar semua sel yang mengekspresikan MHC kelas


II dapat bertindak sebagai APC, misalnya sel-sel dendritik, Kupfer,
Langerhans, endotel, fibroblast dan sd B. Di antara sel-sel di atas, sel
dendritik, makrofag dan sel B merupakan APC yang terpenting bahkan
sel dendritik folikular mampu menyajikan antigen natif dalam bentuk
kompleks imun tanpa memprosesnya terlebih dahulu. Diduga sel-sel
itu bertindak sebagai tempat menampung antigen natif atau kompleks
antigen antibodi. Antigen atau kompleks antigen-antibodi melekat pada
permukaan sel dendritik folilcular tanpa diproses lebih lanjut. Jenis sel
dendritik dan karakteristiknya masing-masing disajikan pada Tabel 2.9.

73
Akmaa

Tabel 2.8. Jenis dan karakteristik sel dendritik

Gambar 2.12. Interaksi APC dengan sel T dalam menyajikan antigen

Beberapa hasil penelitian in vitro membuktikan bahwa sel dendri-


tik merupakan APC pertama yang mengaktivasi sel T pada hewan per-

74
Modul Imunologi

cobaan yang belum pernah tersensitisasi, dan bahwa makrofag dan sel
B hanya menyajikan antigen kepada sel T yang teraktivasi atau sel T
memory.

Gambar 2.13. Perubahan karakteristik oleh pengaruh dendritik (AhR


ligand eksogen dan endogen) dalam mengarahkan perkembangan
kearah Treg

Kemampuan sel menyajikan antigen bergantung pada banyak


faktor, termasuk di antaranya bagaimana sel itu menangkap (take up)
antigen dan memprosesnya dan selanjutnya mengekspresikan antigen
yang telah diproses pada permukaan sel bersama-sama dengan MHC
kelas II. Produksi sitokin oleh APC dan sel-sel yang berada di dekatnya
maupun ekspresi molekul adhesi mempunyai peran penting. Selain itu,
saat (momentum) sinyal rangsangan dilancarkan juga penting untuk
menentukan apakah yang terjadi adalah aktivasi atau toleransi.

75
Akmaa

Referensi

Abbas. A.K., Litchman, A.H., 2004. Basic Immunology: Function and disor-
der and the immune system, Scond edition, Elsevier, Shang hai
Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Jakarta
�������������������������������
: Balai Penerbit Fakul-
tas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Bogdan, C., 2011. Regulation of lymphocytes by nitric oxide, Methods
Mol Biol. 677:375-93.
Colombo, M.P., and Trinchieri, G., 2002. Interleukin 12 in antitumor im-
munity and immunotherapy, Cytokine Growt Faktor Review. 13: 155
- 168
Couper, K.V., Blount, D.G., Riley, E.M., 2008. IL-10: The Master Regu-
lator of Immunity to infection, J Immunol. 180: 5771-5777
Curiel, T.J., 2007. Tregs and rethinking cancer immunotherapy, J. Clin.
Invest. 117(5): 1157-74
Dunn, G.P., Bruce, A.T., Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. Can-
cer immunoediting from immunosurveillance to tumor escape, Na-
ture immunology. 3(11): 991-8
Dunn, G.P., Old,L.J., Schreiber, R.D., 2004. The Immunobiology of Can-
cer Immunosurveillance and Immunoediting, Immunity. 21: 137–
148,
Dunn, G.P., Koebel, C.M., Schreiber, R.D., 2006. Interferons, immunity
and Cancer immunoediting, Nature Reviews Immunology. 6: 836-48
Kresno, S.B., 2000, Imunologi : Dignosis dan Prosedur Laboratorium. Ed.
Keempat. UI: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Lin, W. and Karin, M., 2007. A cytokines-mediated link between innate

76
Modul Imunologi

immunity, inflammation and cancer, J.Clin. Invest. 117(15):1175-83


Murphy, K.P., 2012. Janeway’s Immunobiology, Garland Science, New
York USA
Nelson, B.H., 2004. IL-2, Regulatory T Cells, and Tolerance, JI. 172:
3983–3988.
Parmiani, G. and Lotze, M.T., 2002, Tumor Immunology: molecularly de-
fined antigen and clinical application, Taylor and Francois, New York
USA
Parslow, T.G., Stites, D.P., Terr, A.I., Imboden, J.B., 2003. Med. Immunol.,
tenth edition, Boston

Soal latihan Bab II


Jelaskan dengan singkat istilah berikut:
1. Protein fase akut
2. Inflamasi
3. Pirogen
4. Toll like receptor
5. Patern recognition receptor
6. Barier fisik
7. Mediator inflamasi
8. Udem
9. Kemotaksis
10. Fagositosis
11. Diapedesis
12. Molekul Adesi
13. Protein reaktif C
14. Fagositosis
15. Fagosit polimorfonuklear
16. Endotelin

77
Akmaa

17. Musin
18. Kaderin
19. Kemokin
20. Limfokin

Jawablah pertanyaan berikut dengan singkat dan jelas:


1. Apa saja cirri utama inflamasi? Jelaskan mekanismenya
2. Apakah peranan system komplemen pada reaksi inflamasi? Sebut-
kan
3. Apakah perbedaan dan persamaan sitokin, monokin dan limfokin?
4. Apa sajakah reseptor pada system imun alami seluler? Sebutkan
5. Apa perbedaan dan persamaan makrofag dengan sel NK?
6. Apakah perbedaan dan persamaan antara makrofag dengan sel
dendritik?
7. Apakah peranan sel dendritik pada system imun alami?
8. Apakah persamaan dan perbedaan antara eosinofil, basofil dan
mastosit?
9. Apakah persamaan dan perbedaan antara neutrofil dengan mak-
rofag?
10. Apakah persamaan dan perbedaan integrin dengan selektin?

Soal pilihan ganda


1. Enhancement of phagocytosis by coating of foreign particles with
serum proteins is called
a. opsonization.
b. agglutination.
c. solubilization.
d. chemotaxis.
2. Jenner’s work with cowpox, which provided immunity against

78
Modul Imunologi

smallpox, demonstrates which phenomenon?


a. Natural immunity
b. Attenuation of vaccines
c. Phagocytosis
d. Cross-immunity
3. Which of the following can be attributed to Pasteur?
a. Discovery of opsonins
b. Research on haptens
c. First attenuated vaccines
d. Discovery of the ABO blood groups
4. Which of the following peripheral blood cells plays a key role in
killing of parasites?
a. Neutrophils
b. Monocytes
c. Lymphocytes
d. Eosinophils
5. Which of the following plays an important role as an external de-
fense mechanism?
a. Phagocytosis
b. C-reactive protein
c. Lysozyme
d. Complement
6. The process of inflammation is characterized by all of the following
except
a. increased blood supply to the area.
b. migration of white blood cells.
c. decreased capillary permeability.
d. appearance of acute-phase reactants.
7. Skin, lactic acid secretions, stomach acidity, and the motion of cilia

79
Akmaa

represent which type of immunity?


a. Natural
b. Acquired
c. Adaptive
d. Auto
8. The structure formed by the fusion of engulfed material and
enzymatic granules within the phagocytic cell is called a
a. phagosome.
b. lysosome.
c. vacuole.
d. phagolysosome.
9. Which of the following white blood cells is capable of
further differentiation in the tissues?
a. Neutrophil
b. Eosinophil
c. Basophil
d. Monocyte
10. The presence of normal flora acts as a defense mechanism by which
of the following means?
a. Maintaining an acid environment
b. Competing with pathogens for nutrients
c. Keeping phagocytes in the area
d. Coating mucosal surfaces
11. Measurement of CRP levels can be used for all of the following
except
a. monitoring drug therapy with anti-inflammatory agents.
b. tracking the normal progress of surgery.
c. diagnosis of a specific bacterial infection.
d. determining active phases of rheumatoid arthritis.

80
Modul Imunologi

12. Which of the following are characteristics of acutephase reactants?


a. Rapid increase following infection
b. Enhancement of phagocytosis
c. Nonspecific indicators of inflammation
d. All of the above
13. A latex agglutination test for CRP is run on a 12-yearold girl who
has been ill for the past 5 days with an undiagnosed disease. The
results obtained are as follows: weakly reactive with the undiluted
serum and negative for both the positive and negative controls.
What should the technologist do next?
a. Repeat the entire test
b. Report the results as indeterminate
c. Report the result as positive
d. Obtain a new sample
14. Which is the most significant agent formed in the phagolysosome
for the killing of microorganisms?
a. Proteolytic enzymes
b. Hydroxyl radicals
c. Hydrogen peroxide
d. Superoxides
15. The action of CRP can be distinguished from that of an antibody in
which of the following ways?
a. CRP acts before the antibody appears.
b. Only the antibody triggers the complement cascade.
c. Binding of the antibody is calcium-dependent.
d. Only CRP acts as an opsonin.

81
Akmaa

82
Modul Imunologi

~ BAB III ~
Struktur Penyusun system imun adaptif

Tujuan :

Dapat menjelaskan komponen penyusun system imun adapatif:


system limforetikuler.
Dapat menjelaskan peran, fungsi dan karakteristik limfosit B
Dapat menjelaskan peran, fungsi dan karakteristik limfosit T
Dapat menjelaskan perkembangan limfosit B
Dapat menjelaskan limfosit T
Dapat menjelaskan komponen, peran dan karakteristik jaringan
limfoid primer dan sekunder

83
Akmaa

A. Pengantar
Komponen penyusun system imun adaptif terutama tersusun oleh
komponen seluler, komponen humoral dari golongan sitokin serta jar-
ingan limforetikuler. Komponen seluler utama penyusun struktur sys-
tem imun adaptif adalah limfosit T dan limfosit B. Secara garis besar
komponen penyusun system imun adaptif sebagaimana tampak dalam
Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Gambar struktur penyusun system imun adaptif

B. Sistem limforetikuler
Sistem retikuler pembangun utama system imun adaptif. Sistem
retikuler tersusun atas komponen seluler dan komponen jaringan.

84
Modul Imunologi

(1). Unsur seluler


Unsur seluler siste retikuler yang utama adalah limfosit B dan lim-
fosi T. Semua sel yang berfungsi dalam respons imun dikctahui berasal
dari sel induk pluripoten yang kemudian berdiferensiasi melalui dua
jalur yaitu: a) jalur limfoid yang membentuk limfosit dan subsetnya; b)
jalur mieloid yang membentuk sel-sel fagosit dan sel-sel lain.
Tabel 3.1. Jenis limfosit dan fungsinya
Tipe sel Fungsi sel Produk sel Fungsi produk sel
B M e n g h a s i l k a n antibodi Netralisasi,
antibodi opsonisasi dan lisis
Th2 M e n i n g k a t k a n Sitokin IL-3, IL- Membantu sel B
produksi antibodi 4, IL-5, IL-10 dan sel Tsitolitik
oleh sel B dan dan IL-13 (CTL)
aktifitas sel T
sitolitik (CTL/CD8)
Th1 M e n g i n i s i a s i IL-1, IL-2, IL-6, Mediator inflamasi
dan memacu IL-12, IFN-γ,
inflamasi TNF-α,
Treg/Tsupresor M e n u r u n k a n F a k t o r Menekan sel
produksi antibodi s u p r e s o r , Th dan secara
dan menurunkan TGF-β tidak langsung
aktifitas sel CTL/ menghambat sel B
CD8 dan CTL
Th17 M e n g h a m b a t Menghasilkan M e n e k a n
aktifitas sel Th1 IL-17A dan F autoimun pada sel
Th1
CTL Menghancurkan IFN-γ dan MHC
patogen/antigen porforin
target Aktifasi NK cell

Penghancuran
membran sel
target

Sel-sel imunokompeten yang utama adalah limfosit T (sel T) den-


gan berbagai subsetnya (T-helper, T-supresor, T-sitotoksik) dan limfosit

85
Akmaa

B (sel B), masing-masing dapat dibedakan satu dan yang lain karena
mempunyai fhngsi yang berbeda dan mengekspresikan antigen permu-
kaan (imunofenotip) yang karakteristik untuk masing-masing jenis sel.
Karakteristik limfosit B dan limfosit T disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Karakteristik limfosit B dan limfosit T


Karakteristik Sel B Sel T
Asal Sumsum tulang Sumsum tulang
Tempat maturasi Sumsum tulang Timus
Reseptor antigen Reseptor sel B (BCR) Reseptor sel T (TCR)
Target ikatan Antigen terlarut Komplek biomolekler
yang dipajang dipermu­
kaan APC dengan ban­
tuan MHC
Respon imun Respon imun Respon imun dimediasi
dimediasi antibodi sel dan antibodi
MHC dan presentasi Molekul MHC kelas MHC kelas I (CD8 Tcell)
antigen II dan MHC kelas II (CD4)

Pada permukaan sel system imun terdapat antigen permukaan


sebagai tanda pengenal atau marker yang disebut dengan cluster of
differentiation disingkat dengan CD. Antigen permukaan bukan saja
sebagai tanda pengenal tetapi juga menunjukkan korelasi dengan stadi-
um diferensiasi, karena itu disebut sebagai antigen diferensiasi (clusters
of differentiation antigen atau clusters designation = CD).
Pada sel B dan sel T disamping memiliki molekul petanda pada
permukaan sel juga dilengkapi dengan reseptor sehingga dapat beri-
katan dengan antibody. Reseptor yang dimiliki oleh sel limfosit B dis-
ebut dengan B lymphocites receptor disingkat dengan BCR. Reseptor

86
Modul Imunologi

yang dimiliki oleh sel T disebut dengan T lymphocites receptor atau


disingkat dengan CTR. Walaupun setiap sel limfosit memiliki resep-
tor yang diprogram untuk mengenal hanya satu jenis antigen, sel-sel
limfosit yang lain masing-masing dapat mengenal jenis antigen lain,
sehingga seluruh populasi limfosit dapat mengenal sejumlah antigen
yang sangat bervariasi. Reseptor pada permukaan limfosit dibentuk
saat perkembangan limfosit melalui proses mutasi /hipermutasi so-
matik dan rekombinasi gen pada germline cells yang jumlahnya relatif
sedikit. Reseptor sel T (TCR) dibentuk dan gen yang berbeda dengan
gen yang membentuk imunoglobulin permukaan (sIg) sel B.

Tabel 3.3. Petanda permukaan pada sel B dan sel T


Antigen Tipe sel Fungsi
CD2 Timosit, Sel T, NK sel Aktifasi sel T
CD3 Timosit, sel T Berikatan dengn reseptor sel
T, berperan sebagai signal
transduktor pada TCR
CD4 Sel Th, monosit, makrofag Koreseptor untuk molekul
MHC kelas II, rseptor utk HIV
CD5 Sel T matur, timosit, Modulasi negative/positif
subset sel B (B1) signaling reseptor sel B dan sel
T
CD8 Subset timosit, sel T Koreseptor MHC kelas I
sitotoksik
CD10 Precursor sel B & T, sel Protease; marker pre-B
stromal sumsum tulang
CD25 Limfosit T dan B serta Sebagai resptor IL-2
monosit teraktifasi
CD45R Turunan sel hematopetik Aktifasi sel Bb& T dengan
lain terstimulasi antigen
CD56 Sel NK Tak diketahui

87
Akmaa

CD94 Sel NK Bagian dari NKG2 suatu


komplek penghambat
sitotoksisitas sel NK

Sel T berdiferensiasi dalam kelenjar timus. Selain merupakan tem-


pat sel T berdiferensiasi, di dalam bagian korteks timus terjadi prolif-
erasi dan kematian sel yang berhubungan dengan proses seleksi klon.
Klon yang autoreaktif akan bunuh diri (mengalami apoptosis) sedang-
kan yang dipertahankan hidup adalah sel (klon) yang akan bermanfaat
di kemudian hari sesuai fungsinya.

Gambar 3.2. Perkembangan limfosit

Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi selama berdiferensiasi


dalam timus adalah: 1) pembentukan berbagai reseptor antigen; 2) se-
leksi sel T aktif fungsional yang dapat mengenal antigen yang disajikan

88
Modul Imunologi

bersama molekul self-MHC; 3) eliminasi selektif sel-sel T autoreaktif;


4) diferensiasi populasi sel T yang mengekspresikan CD4 atau CD8.
Perkembangan dan seleksi sel T dalam timus dikontrol secara ketat oleh
mekanisme seleksi positif dan seleksi negatif. Sel T yang mengekspresi-
kan TCR yang dapat berinteraksi dengan self-MHC yang ditampilkan
dalam timus mengalami seleksi positif dan dilindungi dari proses apo-
ptosis, sedangkan sel yang tidak diseleksi positif akan mati dengan cara
apoptosis karena tidak terpelihara. Tetapi sel T yang dapat bereaksi
kuat dengan antigen yang terikat pada self-MHC juga diinduksi untuk
mengalami apoptosis (seleksi negatif). Selama proses ini lebih dari 95%
sel T yang terbentuk dalam timus mati dan sisanya yang 5% bermigrasi
ke organ limfoid perifer sebagai sel T yang matang. Banyak faktor yang
turut mempengaruhi perkembangan dan seleksi sel T dalam timus di
antaranya molekul Fas yang merupakan anggota keluarga reseptor fak-
tor pertumbuhan TNF yang berfungsi sebagai kostimulator.
Sel B pada mamalia berdiferensiasi dalam sumsum tulang dan
organ limfoid perifer. Pada burung, sel B berdiferensiasi dalam Bur-
sa Fabricius, suatu organ yang hanya terdapat pada burung. Seperti
halnya pada sel T pembentukan reseptor antigen pada permukaan sel B
(surface-immunoglobulin, slg) merupakan salah satu tahap awal dalam
proses diferensiasi. Sel B pada tahap awal mengekspresikan 1gM dan
atau IgD sebagai reseptor permukaannya, tetapi dalam perkembangan
lebih lanjut reseptor ini dapat berubah menjadi kelas imunoglobulin
yang lain, walaupun spesifisitasnya terhadap antigen tidak berubah. Di
samping populasi limfosit T dan B, ada populasi ketiga yang dahulu
dikenal sebagai limfosit non T non B atau sel null yang mempunyai
ciri-ciri reseptor dan penanda permukaan yang berbeda dengan yang
dimiliki oleh sel T maupun B. Proses diferensiasi populasi sel ketiga
ini belum jelas. Ketiga jenis populasi berbeda dalam fungsi walaupun

89
Akmaa

sel T dan sel B secara morfologik tidak dapat dibedakan satu dari yang
lain. Sel null ada kalanya dapat dibedakan dari populasi limfosit yang
lain secara morfologik karena sebagian besar memiliki granula intrasi-
toplasmik jang jelas, karena itu dalam literatur sering disebut large gran-
ular lymphocytes (LGL). Sel null saat ini disebut sebagai sel NK (natural
killer) dan berfungsi dalam imunitas bawaan. Seperti disebut di atas,
setiap limfosit memiliki reseptor pada permukaannya yang mampu
mengenal antigen tertentu secara spesifik.

Gambar 3.3. Perkembangan sel pluripoten dan mekanisme perbaruan


diri

90
Modul Imunologi

Limfosit selanjutnya dilepaskan dari organ limfoid primer ke


dalam sirkulasi untuk menuju organ limfoid sekunder, di mana sel-
sel itu menetap untuk beberapa waktu atau kembali melalui saluran
getah bening ke dalam sirkulasi darah untuk melakukan immune-sur-
veillance atau mengalami apoptosis. Gambar lb-I menunjukkan alur
perjalanan limfosit dalam tubuh. Pada orang dewasa jaringan limfoid
sekunder merupakan pelengkap sumsum tulang atau timus, tetapi ada
bukti-bukti bahwa di perifer juga terdapat populasi sel dengan kemam-
puan memperbaharui diri (self-renewing cells).
Walaupun limfosit memiliki kemampuan peremajaan secara man-
diri, hal itu tidak terjadi tanpa batas. Ada keterbatasan, khususnya
dalam hal penuaan limfosit dan limfosit pada usia lanjut. Pada keadaan
ini secara fisiologik ada pergeseran dalam berbagai sifat maupun fungsi
limfosit. Beberapa di antaranya yang sering dijumpai pada usia lanjut
adalah penurunan persentase sel B dalam darah tepi, sementara itu
jumlah sel NK meningkat demikian pula terjadi peningkatan jumlah sd
T dengan ko-ekspresi petanda sel NK. Fungsi sel-sel itu juga menunjuk-
kan pola perubahan dalam hal sitotoksisitas maupun produksi sitokin.
Besar kemungkinan bahwa perubahan-perubahan itu disebabkan peru-
bahan dalam lingkungan mikro dalam timus maupun sumsum tulang.
Limfosit T
Sebelum ditemukannya antibodi monokional, cara yang digu-
nakan untuk membedakan populasi limfosit T dan limfosit B adalah
mereaksikan suspensi limfosit dengan eritrosit domba, karena sel T da-
pat membentuk roset dengan eritrosit domba secara spontan. Sifat mi
tidak dimiliki oleh sel B. Berkat adanya antibodi monokional kemudian
terungkap bahwa molekul pada permukaan sel T yang dapat mengikat
eritrosit domba tersebut terdiri atas molekul glikoprotein yang berfung-
si sebagai reseptor sel T (T-cell receptor, disingkat TCR).

91
Akmaa

Hampir 95% limfosit mengekspresikan TCR dan TCR inilah yang


berfungsi mengenal peptida asing yang diekspresikan bersama MHC.
Sebagian besar sel T yang menampilkan TCR-aJf3 adalah positif tunggal
CD4 atau CD8 dan hanya sebagian kecil sel T dengan TCR-& menun-
jukkan fenotip negatif ganda (tidak menampilkan CD4 maupun CD8).
Jumlah sel T dengan TCR-y/6 biasanya lebih sedikit dibanding sel T
dengan TCRa43, yaitu hanya 1-10% dan lithfosit dalam sirkulasi, limpa
dan kelenjar getah bening. Sebagian besar sel T dengan TCR-y/6 men-
unjukkan fenotip negatif ganda; hanya sebagian kecil mengekspresikan
CD8 dan lebih sedikit lagi yang mengekspresikan CD4. Fungsi sel T-y/6
berbeda dan sel T-cilf3. Sebagian besar sd T-y/6 berlokasi di epitel dan ia
mampu mengenal berbagai jenis antigen dengan diversitas yang cukup
luas, mulai dan antigen yang diekspresikan bersama MHC kelas II sep-
erti toksoid tetanus, hingga M tuberculosis yang diekspresikan bersama
MHC kelas I. Ia juga mampu mengenal antigen yang nonkonvensional
seperti heat shock protein dan MHC kelas I yang tidakklasik.’° Hal itu
menimbulkan dugaan bahwa T-y/ö merupakan unsur pertahanan lini
pertama terhadap patogen pada infeksi primer, sedangkan pada infeksi
sekunder sel T-a/ lebih berperan).
Agar supaya TCR dapat berfungsi, ekspresi TCR selalu harus dis-
ertai ekspresi CD3 atau dalam bentuk kompleks dengan CD3. Kalau
fungsi TCR adalah mengikat antigen, fungsi CD3 adalah meneruskan
sinyal (sebagai respons terhadap rangsangan antigen) dan membran
sel melalui alur kaskade transduksi sinyal dalam sitoplasma ke nuk-
leus, yang mengakibatkan sel T menjadi aktif. Selain mengekspresikan
kompleks CD3/TCR, limfosit T mempunyai petanda-petanda lain yang
diekspresikan sesuai dengan stadium perkembangannya sehingga da-
pat digunakan untuk menentukan stadium maturasi. Dengan menggu-
nakan bermacam-macam antibodi monokional saat ini dapat diidenti-

92
Modul Imunologi

fikasi bermacam-macam antigen permukaan (imunofenotip) sehingga


dengan menentukan ciri imunofenotip dapat ditentukan pula berbagai
subset limfosit T yang masing-masing mempunyai fungsi berbeda.
Sel T merupakan 65-80% dari jumlah limfosit yang ada dalam
sirkulasi. Maturasi timosit melibatkan beberapa fase di mana sinyal-
sinyal yang diberikan oleh faktor pertumbuhan, molekul adhesi dan
TCR, dan berbagai faktor nuklear (faktor transkripsi),’6 mengatur
proses pematangan dan diferensiasi dan menentukan sel mana yang
akan meninggalkan kelenjar timus setelah ia matang, yaitu sel T yang
menunjukkan toleransi terhadap antigen tubuh sendiri (self-tolerant).
Ekspresi petanda permukaan secara berurutan (termasuk ko-reseptor,
CD4 dan CD8, kompleks TCR-CD3, antigen CD44 dan CD25) memberi-
kan petunjuk tentang tahap-tahap perkembangan sel T dalam timus.
Sel T yang paling muda menunjukkan CD3CD4CD8 (triple negative).
Sel-sel mi dapat dikelompokkan dalam beberapa fase maturasi sesuai
dengan ekspresi CD44 dan CD25 maupun petanda lain seperti Thy-i,
c-kit, Fcy-RIIIIII dan CD2. Stadium perkembangan dengan petanda CD-
44CD25 merupakan progenitor intrathymic yang tidak hanya merupa-
kan progenitor sel T tetapi juga merupakan progenitor sel B, sel NK dan
sel dendritik yang terdapat dalam timus. Perkembangan selanjutnya
ditandai oleh ekspresi CD44CD25 yang menunjukkan populasi pre-
cursor yang berproliferasi cepat, kemudian disusul dengan stadium di
mana CD44 menghilang dan CD2 dimunculkan. Pada perkembangan
selanjutnya dalam korteks kelenjar timus, sel T mengekspresikan CD2
dan CD7 tanpa CD3, CD4 maupun CD8 (CD3CD4CD8). Dalam proses
maturasi selanjutnya, sebagian besar sel T mengekspresikan CD1, CD4
dan CD8 pada sel yang sama.
Namun dalam proses maturasi berikutnya yang berlangsung
dalam medula sebagian antigen itu menghilang, sebagian lagi menetap

93
Akmaa

dan muncul antigen lain, di antaranya CD3 dan TCR-&f3 yang merupa-
kan petanda subset sel T. Pada fase pematangan sel T lebih lanjut terjadi
seleksi dan edukasi limfosit menjadi salah satu subset sel T. Sel yang
kehilangan antigen CD4 tetapi tetap menunjukkan antigen CD8
menjadi sel T penekan (T suppressor = Ts) dan sel T sitotoksik atau
sitolitik (T cytotoxic, Tc) dengan ekspresi CD2CD3CD8, sedangkan
sel yang kehilangan CD8 tetapi tetap mempertahankan molekul CD4,
menjadi sel T-helper (Th) dengan ekspresi CD2CD3tCD4. Kedua jenis
populasi limfosit T mi kemudian masuk ke dalam sirkulasi sebagai 2
populasi yang mempunyai fungsi berbeda.
Mekanisme molekuler yang mendasari perkembangan sel T men-
jadi sel T CD4 atau CD8 telah banyak dipelajari, dan hasil penelitian-pe-
nelitian menunjukkan bahwa berbagai molekul turut berperan dalam
pematangan sel T menjadi subpopulasi yang sesuai dengan fungsin-
ya. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah spesifisitas TCR un-
tuk MHC kelas I atau kelas II, dan keberadaan ligand MHC. Ekspresi
transgen TCR yang telah mengalami rekombinasi dan diprograthkan
(mempunyai spesifisitas) untuk berinteraksi dengan MHC kelas I atau
MHC kelas II mengarahkan perkembangan sel T masing-masing men-
jadi sel T CD8 atau CD4. Tetapi di samping spesifisitas TCR, ada faktor
lain yang berpengaruh yaitu ekspresi ko reseptor. Tidak berfungsinya
ko-reseptor (misalnya karena mutasi) menyebabkan sel timosit berkem-
bang menjadi CD8 walaupun TCR sel itu mempunyai spesifisitas untuk
MHC kelas II. Ko-reseptor diperlukan untuk mengaktifkan molekul in-
traseluler yang meneruskan sinyal.
Salah satu molekul yang diaktiflcan melalui ko-reseptor adalah ty-
rosinekinase p56 (Lck) yang merupakan molekul inti yang menentukan
komitment sel T. Modifikasi dalam ekspresi ko-reseptor menentukan
jumlah Lck yang tersedia untuk meneruskan sinyal dan TCR terakti-

94
Modul Imunologi

vasi. Adanya Lck yang hiperaktif akan menyebabkan timosit dengan


spesifisitas MHC kelas I berkembang menjadi sel T CD4, sebaliknya
tidak tersedianya Lck menyebabkan sel T dengan spesifisitas MHC ke-
las II berkembang menjadi CD8. Selanjutnya berbagai factor transkripsi
menentukan gen yang akan diekspresikan yang merupakan ciri salah
satu lineage yang ffingsonal, sehingga secara keseluruhan sebenamya
penentuan lineage diatur melalui integrasi berbagai jalur sinyal).
Bahwa faktor transkripsi berperan dalam pematangan sel T dibuk-
tikan oleh berbagai penelitian. Salah satu di antara faktor transkripsi
adalah nuclear factor of activated T cell (NFAT) yang terdiri dari be-
berapa anggota keluarga di antaranya NFAT- 1, NFAT-c dan NFATx..
NFAT diduga berperan mengatur ekspresi sejumlah gen sitokin yang
diproduksi oleh sel T yang diaktivasi oleh antigen melalui kompleks
TCRJCD3. Respons sd T selama diferensiasi intra-thymic berbeda-beda
terhadap stimulasi. Walaupun baik sel T CD4CD8 (positif ganda) mau-
pun CD4 atau CD8 (positif tunggal) mampu memproduksi sitokin bila
distimulasi, kemampuan produksi sitokin dan kemampuan proliferasi
sel positif ganda lebih terbatas dibanding positif tunggal. Perubahan mi
tidak terlepas dan peran faktor transkripsi, di antaranya adalah NFAT,
yang berfungsi mengatur ekspresi berbagai gen sitokin. Perbedaan
kemampuan sd T untuk memberikan respons dihubungkan dengan
perbedaan ekspresi berbagai anggota keluarga NFAT yang juga ber-
beda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan sel T. mRNA NFATc
diekspresikan paling tinggi pada sel T positif ganda, sedangkan mRNA
NFAT-l dan mRNA NFATc terutama diekspresikan pada sel T positif
tunggal.
Sebagian besar sel CD4 mengenali antigen yang ditampilkan bersa-
ma MHC kelas II dan sel-sel mi terutama berfungsi sebagai sel Thelper.
Sel CD8 mengenali antigen yang ditampilkan bersama MHC kelas I dan

95
Akmaa

berfungsi terutama dalam destruksi sel terinfeksi virus atau mikroor-


ganisme intraseluler lain.18 Hingga saat mi belum ada petanda permu-
kaan yang dapat membedakan Ts dan Tc, tetapi tidak demikian halnya
dengan Th. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa sel Thelper
merupakan sub-populai yang heterogen. Mereka menyatakan bahwa
sd T-helper dikelompokkan dalam subset Th 1 dan Th2 atas dasar
sitokin yang diproduksinya. Pada mencit Thi memproduksi IL-2, IFN-
y dan limfotoksin, sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-9,
IL-b dan IL-13. Pada manusia pola produksi sitokin itu sama, walaupun
pembatasannya tidak seketat pada mencit. Sel Th yang mengekspresi-
kan sitokin dengan pola Thi maupun Th2 disebut sebagai ThO. Sel ThO
merupakan populasi sel yang heterogen, terdiri atas selsd efektor yang
belum berdiferensiasi lengkap. Sel Th 1 terlibat dalam respons imun
seluler, misalnya pada Delay type hypersensitivity (DTH). Sel Th 1 juga
dapat membantu aktivasi sel B tetapi bila jumlah sel Thi banyak, maka
hal itu mengakibatkan supresi.’9 Produk sd Thi dan Th2 saling meng-
hambat fungsi diferensiasi dan fungsi efektor masing-masing, misalnya
IFN-y secara selektif menghambat proliferasi sel Th2, sedangkan IL- 10
menghambat sintesis sitokin oleh Thl. Adanya regulasi silang mi dapat
menjelaskan fenomena adanya bias yang kuat ke arah respons Th 1 atau
Th2 pada berbagai jenis infeksi. Th1 cenderung berperan pada infeksi
dengan mikroba intraseluler, sedangkan mikroba ekstraseluler diatasi
dengan kombinasi sitokin Th1-Th2 (ThO). Bahwa sitokin yang dihasil-
kan oleh sel Th1 dan Th2 saling menghambat dibuktikan oleh berbagai
penelitian. misalnya IFNy seringkali memberikan sinyal negatif pada
sel B yang berakibat sel B tidak dapat menghasilkan antibodi. Karena
itu dianggap bahwa sel Thi kurang mampu membantu sd B untuk
memproduksi antibodi dibanding Th2 tetapi Th I dapat membantu
fungsi-fungsi lain yang berkaitan dengan sitotoksisitas atau respons

96
Modul Imunologi

imun seluler dan reaksi inflamasi Iokal. Walaupun demikian diketahui


bahwa baik Thi maupun Th2 dapat membantu respons polikional sel
B, tetapi hanya Th2 yang mampu membantu respons sel B terhadap
antigen spesifik.

Gambar 3.4. Gambaran struktur timus

Dengan ditemukannya antibodi monoklonal terhadap berbagai


antigen permukaan dapat diketahui bahwa sel T dengan penanda
CD45ROCD4 adalah sel T-helper inducer, sedangkan sel T dengan
penanda CD45RACD4 adalah sel T supressor-inducer.5 Di lain fihak
peneliti lain menganggap bahwa sel T dengan penanda CD45RACD4
menunjukkan Th yang naif atau virgin, sedangkan sel T yang menun-
jukkan penanda permukaan CD45ROCD4 adalah sel T memory. Na-

97
Akmaa

mun demikian perbedaan-perbedaan itu tidak absolut; interkonversi


antara CD45RO dan CD45RA selalu dapat terjadi, sesuai ada tidaknya
rangsangan. Limfosit T akan berubah penanda permukaannya apabila
diaktivasi, misalnya apabila ia diaktivasi melalui CD3/TCR maka ek-
spresi MHC kelas II akan meningkat, muncul molekul CD69, reseptor
untuk IL-2 (CD25), reseptor untuk transferin dan lain-lain.
Sel T naïf mempunyai kecenderungan meninggalkan sirkulasi dan
masuk ke dalam kelenjar getah bening, sedangkan sel T efektor dan
T-memory lebih suka keluar dari kelenjar getah bening dan masuk ke
dalam sirkulasi lalu keluar dari pembuluh darah pada tempat-tempat
terjadinya inflamasi. Salah satu hal yang menunjang mekanisme ini
adalah perbedaan struktur morfologi dinding pembuluh darah dan en-
dotel yang melapisi venula pasca-kapiler dalam kelenjar getahbening
yang disebut high endothelial venules (HEV) Dalam keadaan normal lim-
fosit yang bereclar dalam mikrosirkulasi sewaktu-waktu bersentuhan
dengan dinding pembuluh darah, lalu terlepas kembali atau melekat
pada dinding pembuluh darah selama kurang dan satu detik sebelum
ia terlepas akibat dorongan aliran darah. Sebaliknya, bila sd T naïf ber-
sentuhan dengan endotel yang melapisi HEV ia akan melekat pada en-
dotel untuk beberapa detik. Interaksi dengan afinitas rendah mi me-
nyebabkan limfosit akan bergulir sepanjang endotel karena didorong
oleh aliran darah. Selama periode mi sebagian limfosit mempunyai
kesempatan untuk memperkuat perlekatannya dan bergerak di antara
sel-sel endotel lalu masuk ke dalam stroma kelenjar getah bening. Seba-
gian besar sel T-memory mengekspresikan homing receptor untuk ke-
lenjar getah bening perifer yang lebih rendah tetapi ia mengekspresikan
molekul adhesi lain yang lebih tinggi dibanding limfosit naIf. Ekspresi
dan fungsi molekul-molekul permukaan itu diatur sesuai dengan ada
tidaknya antigen dan rangsangan inflamasi. Homing receptor adalah

98
Modul Imunologi

molekul yang memperantarai pengikatan limfosit T atau leukosit pada


ligand yang terdapat pada sel endotel. Banyak jenis homing receptor
yang sudah diketahui di antaranya keluarga selectin yang juga dikenal
dengan sebutan lectin adhesion molecules (LECAM’s) yang terdiri atas L-
selectin, E-selectin, dan P-selectin, integrin (CD44) dan lain-lain. Hom-
ing receptor paling penting yang diekspresikan pada sel T naïf adalah
L-selectin. Bila sel T yang masuk ke dalam kelenjar tidak menemukan
antigen spesifik, ia kembali ke dalam sirkulasi melalui duktus torasi-
kus. Pada satu saat tertentu hanya 2% sel T naïf berada dalam sirku-
lasi pada orang dewasa, sisanya berada dalam jaringan limfoid. Proses
yang sama terjadi dalam jaringan limfoid lain misalnya limpa, walau-
pun limpa tidak memiliki HEV.
Sel CD4 dan CD8 termasuk sel yang spesifisitas dan fungsinya
dikendalikan secara ketat oleh MHC (MHC restricted). Sel CD4 be-
reaksi dengan antigen apabila antigen itu disajikan bersama-sama den-
gan MHC kelas II, sedangkan sel-sel CD8 berinteraksi dengan antigen
yang disajikan bersama-sama dengan MHC kelas I. Seperti disebut
di atas interaksi sel T dengan kompleks antigen-MHC teijadi melalui
kompleks CD3/TCR. Selain subpopulasi di atas diketahui bahwa ada
sel sitotoksik yang tidak memerlukan MHC untuk mengenal antigen
(MHC-unrestricted). Sel-sel mi temyata tidak memiliki ciri-ciri sd CD8,
dan sekarang dikenal sebagai sel NK (natural killer) (baca pembahasan
mengenai sel NK). Baik sel CD4 maupun sel CD8 dapatmemproduksi
limfokin atau interleukin (baca Bab mengenai unsur humoral dan me-
diator).
Limfosit B
Sel B adalah sel yang bertanggung jawab atas pembentukan im-
unoglobulin (Ig) dan merupakan 5-15% dan limfosit dalam sirkulasi
darah. Jumlah mi tidak mencakup sel-sel yang merupakan cikal-bakal

99
Akmaa

set B (precursors) yang tidak menunjukkan imunoglobulin permukaan


(surface immunoglobulin = slg). Tingkat pematangan sel B dapat dike-
tahui dengan menentukan ciri-ciri set B sesuai stadium pematangan
nya, yaitu ada tidaknya imunoglobulin intra-sitoplasmik (clg), imuno
globulin permukaan (slg) dan antigen permukaan lainnya.
Sel B primitif (pre-B) ditandai dengan adanya rantai H-p tanpa ran-
tai ringan di dalam sitoplasma dan tidak mempunyai slg. Set pre-B juga
mengekspresikan HLA-DR dan reseptor untuk komplemen C3b, tetapi
tidak mempunyai reseptor untuk fragmen Fc. Pada tingkat pematangan
sel B lebih lanjut (sel B immature) dapat dijumpai 1gM monomer pada
permukaan sel. Pada sebagian besar sel B matang dalam keadaan tidak
teraktivasi (resting), terdapat sIgM bersama sIgD dengan jumlah sIgD
lebih banyak dibanding sIgM, sedangkan padä sebagian kecil sel B
dalam fase ini hanya terdapat sIgM atau sIgD, sehingga kedua slg di-
anggap penanda permukaan sel B yang kiasik.
Immunoglobulin gene rearrangement merupakan persyaratan
untuk menjadi sel B fungsional, tetapi selain itu faktor-faktor lain juga
penting dalam perkembangan sel B. Seperti juga telah disebut di atas,
ada dua checkpoint perkembangan sd B yaitu pertama ekspresi pre-BCR
(B-cell receptor) yang terdiri atas rantai H-.t, L-chain dan heterodimer
yang menandai Ig-ai1g-. Yang kedua adalah ekspresi BCR yang terdiri
atas rantai H-.t, L-chain konvensional dan Ig-ctJIg-3 pada sel B imma-
ture dan set B mature. Keberhasilan ekspresi BCR menentukan apa-
kah perkembangan sd B berlangsung normal atau tidak. Peran faktor
lingkungan mikro dalam sumsum tulang mempunyai pengaruh yang
penting untuk pekembangan sel B, misalnya kontak dengan sel stroma,
kontak dengan berbagai mediator terlarut seperti IL-7 dan lain-lain. Set
B yang gagal melewati kedua checkpoint di atas dapat dibantu dengan
menciptakan reseptor antigen yang baru melalui rearrangement gen Ig

100
Modul Imunologi

yang kedua kali, suatu proses yang disebut receptor editing. Receptor
editing yang diperan tarai oleh toleransi terjadi pada sel B muda yang
self-reactive dalamsumsum tulang, sedangkan editing pada sel B di
perifer terjadi pada sel B dengan afinitas rendah yang berkompetisi un-
tuk mengikat antigen atau sinyal untuk hidup (survival), terjadi dalam
pusat-pusat germinal. Sel B baru yang diekspor dari sumsum tulang
muncul dalam limpa, di mana ia dapat dibedakan dari sel B yang telah
ada dalam sirkulasi sebelumnya karena mengekspresikan petanda per-
mukaan berbeda.

Gambar 3.5. Perkembangan dan aktifasi sel B

101
Akmaa

Beberapa penelitian membuktikan bahwa sel-sel B yang baru


dibentuk bersaing dengan sel B yang ada dalam sirkulasi untuk me-
nangkap sinyal hidup. Sinyal hidup ini yang diberikan mèlalui BCR
menginduksi sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel B yang mampu
bersirkulasi ulang (resirkulasi) dan bertahan hidup. Sinyal mi tidak
menginduksi sel B untuk berproliferasi menjadi sel yang memproduksi
antibodi. Beberapa kelainan genetik diketahui dapat mengganggu re-
krutmen sel ke dalam pool sel B yang bersirkulasi atau menyebabkan
sel itu hidup terus dalam keadaan immature. Masing-masing defek mi
berturut-turut dapat mengakibatkan keadaan imunodefisiensi sel B
atau neoplasia.
Imunofenotip lain pada sel B yang diekspresikan selama maturasi
adalah CD19 yang muncul di permukaan sejak stadium pre-B. CD2O
juga sering digunakan untuk mengidentifikasi sel B. CD5 terdapat pada
hampir 50% limfosit B, tetapi karena CD5 juga terdapat pada sel T,
maka dalam menggunakan CD5 untuk identifikasi sel B perlu diguna-
kan 2 penanda CD. Sel dengan imunofenotip CD5CD 19 dapat dipasti-
kan adalah sel B.
Pada sel B matang yang teraktivasi (setelah stimulasi antigen) mun-
cul molekul-molekul lain pada permukaan sel, yang tidak dijumpai
atau tidak dapat dideteksi pada sel B tidak teraktivasi, di antaranya re-
septor IL-2 (CD25), reseptor transferin dan reseptor BCGF (B cell growth
factor), reseptor komplemen (C2R atau CD21), reseptor FcIgG (CD32)
dan HLA-DR. Sebaliknya pada stadium ini sIgD menghilang diganti
dengan sIgG, sIgA ataupun sIgE dalam jumlah sedikit, tetapi setelah sel
B menjadi lebih matang yaitu menjadi sel plasma, slg akan menghilang;
yang ada hanyalah Ig yang disekresikan ke dalam darah. Sel B perawan
(virgin) yang terdapat dalam sumsum tulang dan belum pernah ter-
papar pada antigen, umumnya menunjukkan respons yang lebih lam-

102
Modul Imunologi

bat dibandingkan dengan sel B yang terdapat dalam jaringan limfoid


perifer. Setelah rangsangan antigen atau mitogen, limfosit B akan men-
galami proses perkembangan melalui 2 jalur, yaitu a) berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang membentuk imunoglobulin, dan b) membelah
lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai limfosit B memory.
Sel B memori
Sel B memori adalah sel B yang mengekspresikan slg, proliferasinya
bergantung pada sel T (T dependent), telah mengalami hipermutasi dan
siap melancarkan respons imun sekunder. Pembentukan sel B memory
adalah suatu proses yang bergantung pada sel T, sedangkan antigen
yang merangsang sel B tanpa bergantung pada sel T tidak merangsang
pembentukan sel memory. Sel T dapat mempengaruhi respons sel B
yang tidak bergantung pada sel T, misalnya isotype switching, tetapi
hal itu tidak mempunyai dampak pada pembentukan sel B memory.
Interaksi T-B sangat penting untuk pembentukan sel B memory. Untuk
mempertahankan sel memory diperlukan interaksi terus menerus den-
gan sel CD4.
Sebagian besar sel B memory diduga telah mengalami class switch-
ing dan lebih sensitive terhadap rangsangan antigen. Rangsangan beri-
kutnya pada sel B menimbulkan reaksi anamnestik dan menyebabkan
sel B berproliferasi menjadi sel plasma yang mensekresikan imunoglob-
ulin spesifik yang sebagian besar adalah IgG. Sel B memory dapat men-
genal antigen dan berinteraksi dengan afinitas tinggi walaupun kadar
antigen sangat rendah. Hal ini disebabkan sel B memory mengekspresi-
kan MHC kelas II lebih banyak dibanding sel B naïf dan mempunyai slg
yang berfungsi sebagai reseptor spesifik untuk antigen.
Sel B memori dengan Sig berperan juga sebagai APC. Dengan
proses endositosis antigen yang ditangkap oleh slg tersebut masuk ke
dalam sitoplasma hanya dalam waktu beberapa menit, untuk kemudi-

103
Akmaa

an diproses menjadi fragmen-fragmen peptida. Melalui proses eksosi-


tosis fragmen antigen ini bersama-sama dengan MHC kelas II disajikan
pada limfosit T, sehingga dengan demikian sel B juga berfungsi sebagai
antigen presenting cell (APC).
Sel plasma
Sel plasma merupakan fase akhir diferensiasi dan perkembangan
sel B dalam upaya memproduksi dan mensekresi antibodi. Setelah ter-
aktivasi oleh antigen, sel B spesifik berproliferasi dan berdiferensiasi
kemudian mengalami perubahan kelas imunoglobulin rantai berat
(heavy chain class switching) dan memproduksi antibodi spesifik (= sel
plasma). Sekresi antibodi dan class switching terjadi melalui alur diferen-
siasi sel B ekstrafolikuier, tetapi sebagian sel B teraktivasi bermigrasi ke
dalam folikel kelenjar limfoid, membentuk pusat-pusat germinal, dan
menjadi sel memory (= alur diferensiasi sel B folikuler). Namun demiki-
an pemisahan kedua alur mi tidak absolut, karena isotype switching
juga dapat terjadi dalam pusat-pusat germinal. Sd plasma tidak dapat
membelah lagi dan pada permukaannya tidak dijumpai slg maupun
reseptor-reseptor seperti yang dimiliki sd B tetapi mengeskpresikan
CD38, PCA-1 dan PC-1. Sel ini berukuran lebih besar dan limfosit dan
ditandai dengan inti bulat yang letaknya eksentrik dan berkromatin
kasar yang tersusun seperti roda. Sitoplasma sel mi berwarna biru den-
gan retikulum endoplasmik. Satu sd plasma dapat melepaskan beribu-
ribu molekul antibodi setiap detik. Sel-sel pembentuk antibodi sebagian
besar dijumpai ekstrafolikuler misalnya dalam pulpa merah limpa, dan
medulla kelenjar getah bening. Sel-sel itu juga bermigrasi ke dalam
sumsum tulang dan 2-3 minggu setelah terpapar antigen sumsum tu-
lang merupakan tempat utama produksi antibodi. Sebagian besar sd
plasma tidak beredar kembali secara aktif dan mempunyai jangka wak-
tu hidup terbatas, mungkin beberapa minggu.

104
Modul Imunologi

2. UNSUR ORGAN DAN JARINGAN


Organ dan jaringan penyusun system imunitas disebut dengan or-
gan dan jaringan limfoid. Organ dan jaringan penyusun system imun
dibagi menjadi 2 yaitu organ dan jaringan limfoid primer dan sekunder.
Komponen penyusun, sifat aktifasi proliferasi dan diferensiasi, produk
dan aktifitas masing-masing organ dan jaringan limfoid primer dan
sekunder disajikan dalam Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Karakteristik organ limfoid primer dan sekunder
Organ limfoid primer Organ limfoid sekunder
Komponen yg Sumsum tulang, liver Limpa, limponodi, mucosa-
terlibat fetus, timus associated lymphoid tissue
(MALT) termasuk tonsil
dan adenoid pada saluran
respirasi, genitouterina, dan
gasrointestinal
Proliferasi dan Tak tergantung Tergantung antigen (antigen-
diferensiasi antigen dependent)
Produk Sel B dan sel T yang Sel efektor (sel penghasil
imunokompetens antibodi untuk respon imun
humoral dan sel Thelper dan
Tsitotoksik (CTL) untuk respon
imun yang dimediasi sel.
Fungsi/peran Maturasi dan Induksi respon imun sebagai
perkembangan sel B tanggapan terhadap antigen
dan sel T dan antigen precenting cell
(APC) dengan sel B dan sel
T dewasa, melehirkan sel
efektor dan sel memori

Organ dan jaringan limfoid dibagi dalam 2 kelompok utama, yaitu


organ limfoid primer yang fiingsi utamanya adalah embriogenesis dan
sel-sel yang berfungsi dalam respons imun, dan organ limfoid sekunder

105
Akmaa

yang disamping limfopoesis juga bereaksi aktif terhadap stimulasi an-


tigen.
Dalam hal ini kelenjar timus dianggap sebagai organ limfoid uta-
ma dalam imunogenesis dan yang menjadi pusat pengendalian aktivi-
tas organ serta jaringan limfoid yang lain. Menurut fungsinya sistem
limfoid dibagi dalam 2 kompartemen yaitu: 1) kompartemen sentral
dimana terjadi maturasi dan diferensiasi sel-sel yang mampu bereaksi
dengan antigen, dan 2) kompartemen perifer di mana terjadi interaksi
sel-sel tersebut dengan antigen.
Rangsangan untuk maturasi sel pada kompartemen sentral tidak
diketahui secara pasti namun diduga proliferasi dan maturasi sel dipen-
garuhi oleh hormon timus dan dapat terjadi tanpa stimulasi antigen. Se-
baliknya maturasi sel pada kompartemen perifer terjadi atas stimulasi
antigen.
a. Organ limfoid primer
Dua organ limfoid primer adalah sumsum tulang dan timus. Leu-
kosit dan sel-sel lain yang berperan dalam respons imun dibentuk dari
stem cell dalam sumsum tulang. Sel B mengalami maturasi dan difer-
ensiasi dalam sumsum tulang sedangkan sel T mengalami maturasi dan
diferensiasi dalam kelenjar timus, karena itu kedua organ itu disebut
sebagai organ limfoid primer.
(i) Kelenjar timus
Kelenjar timus terletak di bagian depan mediastinum, terbagi dalam
2 lobus dan banyak lobulus yang masing-masing terdiri ataskorteks dan
medula. Sel induk pluripoten yang merupakan cikal bakal sel T, mas-
uk ke dalam timus lalu berproliferasi menjadi sel yang disebut timosit.
Timosit dalam timus berada dalam berbagai stadium maturasi. Bagian
korteks lebih banyak mengandung sel yang muda, sedangkan di ba-
gian medula terdapat lebih banyak sel yang matang. Proses yang terjadi

106
Modul Imunologi

dalam perkembangan sel T dalam kelenjar timus adalah:


a. pembentukan berbagai reseptor sel T;
b. seleksi sel T fungsional aktif yang dapat mengenal antigen tertentu
yang dipresentasikan melalui MHC
c. pemusnahan sel T autoreaktif melalui apoptosis
d. diferensiasi subpopulasi sel yang mengekspresikan CD4CD8. Pros-
es diferensiasi limfosit dalam timus dipengaruhi oleh epitel timus
dan sel dendritik yang berasal dan sumsum tulang (interdigitating
cells). Sel dendritik mi mengekspresikan MHC kelas II dalam jum-
lah banyak dan diduga berperan dalam mendidik limfosit T untuk
mengenal antigen din (self)
Dalam proses maturasi sel T menjadi imunokompeten. Hanya sel
T matang yang kompeten untük melaksanakan fungsinya sebagai T-
helper dan T-sitotoksik yang akan meninggalkan timus dan masuk ke
dalam sirkulasi darah dan hal ini terjadi dua sampai 3 han setelah sel
induk masuk ke dalam timus. Limfosit itu selanjutnya menetap dalam
organ limfoid perifer.

107
Akmaa

Gambar 3.6. Jaringan retikuloendotelial, limfonodi dan pembuluh


limpa
(ii) Sumsum tulang dan ekivalen bursa fabnsius
Di samping timus, burung mempunyai organ limfoid primer be-
rasal dan epitel usus janin. Sel induk pluripoten yang memasuki bursa
fabrisius berdiferensiasi menjadi sel B yang mampu membentuk an-
tibodi. Organ semacam mi tidak dijumpai pada mamalia, diketahui
bahwa sd B pada mamalia berdiferensiasi dalam sumsum tulang dan
dalam organ limfoid perifer. Proliferasi dan maturasi dalam sumsum
tulang dipengaruhi oleh sitokin yang disebut sebagai colony stimulat-
ing factors (CFS). Faktor pertumbuhan hemopoetik diproduksi oleh sd
stroma dan makrofag dalam sumsum tulang, sehingga sumsum tulang
menghasilkan lingkungan yang sesuai untuk hemopoesis. Faktor per-
tumbuhan juga diproduksi oleh limfosit yang diaktivasi oleh antigen
sehingga merangsang pertumbuhan sel untuk menggantikan sel rusak
akibat reaksi imunologik. Sitokin yang merangsang proliferasi dan mat-

108
Modul Imunologi

urasi berbagai lineage berbeda-beda. Selain tempat pematangan sel B,


dalam sumsum tulang juga terdapat sel T matang dan plasmosit, seh-
ingga dengan demikian sumsum tulang di samping sebagai organ lim-
foid primer juga berfungsi sebagai organ limfoid sekunder.’
b. Organ limfoid sekunder
Organ limfoid sekunder berbagai sel imunokompeten mulai dari
sel B, sel T, sel dendritik maupun fagosit. Organ limfoid sekunder mer-
upakan tempat di mana antigen yang dibawa oleh sel APC berinter-
aksi dengan limfosit T dan limfosit B spesifik. Struktur organ limfoid
sekunder yang teratur menunjang regulasi pematangan dan aktivasi sel
limfoid yang responsif terhadap antigen bersangkutan.
Sel B tidak hanya berperan sebagai APC dan menyajikan antigen
kepada sel T serta memproduksi antibodi, tetapi ia juga berperan dalam
memberikan sinyal utama untuk pertumbuhan organ limfoid sekunder.
Diduga bahwa berbagai molekul yang diperlukan untuk perkembangan
sel B normal juga berperan dalam pembentukan pusat germinal (germi-
nal center) dan lingkungan yang tepat untuk maturasi sel B teraktivasi,
misalnya CD4O dan CD4OL, CDI9, CD28 dan B7-2. Di antara beberapa
jenis sitokin yang mempunyai peran besar dalam pembentukan organ
limfoid sekunder adalah TNF dan limfotoksin (LT), yang diketahui da-
pat memberikan sinyal penting untuk perkembangan struktur kelenjar
getah bening, Peyer ‘s patch dan limpa. Limfotoksin memegang peran
penting dalam organogenesis kelenjar getah bening dan Peyer ‘s patch
dan dalam menentukan kompartemen-kompartemen untuk sel T dan
sel B dalam limpa. Di samping itu LT dan TNF masing-masing menün-
jang pembentukan struktur folikuler untuk sel B dalam kelenjar limfoid
perifer. Aktivitas TNF dan LT dalam memberikan sinyal untuk per-
tumbuhan jaringan limfoid perifer terutama dibantu oleh reseptomya
masing-masing yaitu TNFR dan LTR.

109
Akmaa

Pembentukan limfosit dalam organ limfoid primer diikuti den-


gan migrasi sel-sel tersebut ke dalam organ-organ limfoid perifer atau
sekunder, dan migrasi ini merupakan salah satu proses sirkulasi limfos-
it dalam tubuh (lymphocyte traffic). Berbagai penelitian membuktikan-
kan bahwa dalam melakukan surveillance imunologik, limfosit matang
melakukan sirkulasi dalam tubuh, diawali dengan:
(1) migrasi sel induk pluripoten dari hati janin atau sumsum tulang ke
dalam organ limfoid primer serta diferensiasi dan distribusi lim-
fosit ke dalam organ limfoid perifer;
(2) resirkulasi limfosit dan peredaran darah ke dalam limpa atau ke-
lenjar limfe dan kembali ke darah;
(3) distribusi sel efektor ke tempat-tempat tertentu bila diperlukan un-
tuk melakukan reaksi imunologik. Diketahui pula bahwa migrasi
limfosit berlangsung secara selektif, yaitu bahwa limfosit T cend-
erung bermigrasi ke kelenjar limfe perifer, sedangkan limfosit B
lebih banyak bermigrasi ke jaringan limfoid yang terdapat sepan-
jang mukosa (mucosa associated lymphoid tissue = MALT). Migrasi
mi dikendalikan oleh reseptor yang terdapat pada endotel vasku-
lar yang berinteraksi dengan reseptor spesifik (specfIc homing
receptor) pada limfosit. Selain itu migrasi diatur dan disesuaikan
dengan status aktivasi limfosit dan mediator yang berfungsi pada
proses inflamasi dan kemotaksis. Limfosit dalam keadaan istirahat
(resting) cenderung bergerak dari organ limfoid satu ke organ lim-
foid yang lain, sedangkan limfosit yang teraktivasi cenbenkan der-
ung bergerak ke arah teadinya inflamasi. Apabila limfosit menetap
dalam jaringan ia mengekspresikan reseptor untuk protein matriks
ekstraselular, termasuk di antaranya golongan integrin.
Kelenjar getah bening
Kelenjar mengandung sel T, sel B, sel dendritik dan fagosit. Sel

110
Modul Imunologi

T terutama terdapat di antara folikel dan dalam korteks yang disebut


area parakortikal. Sebagian besar sel T adalah Th (CD4) bercampur
dengan Tc (CD8) yang jumlahnya relatif sedikit. Limfosit T naïf masuk
ke dalam kelenjar melalui pembuluh getah bening atau venula khusus
yang melapisi endotel yang disebut high endothelial venules (HEV) yang
jumlabnya cukup banyak dalam zone kelenjar yang mengandung ban-
yak sel T. Di tempat ini sel T beijumpa dengan antigen yang di trans-
portasikan ke dalam kelenjar melalui getah bening dan disajikan oleh
sel dendritik. Jadi di tempat inilah dimulai respons imunologik sel T
terbadap antigen. Medula mengandung sebaran limfosit, makrofag, sel
dendritik dan dalam kelenjar yang mengalirkan getah bening dan tem-
pat imunisasi terdapat banyak sel plasma.
Bagian perifer kelenjar getah bening sangat rnudah ditembus oleh
berbagai sel dan makromolekul endogen maupun eksogen. Dalam se-
tiap bagian organ ini limfosit dan sel-sel sistem imun lain tersusun dalam
area-area tertentu tergantung jenis dan fungsinya. Folikel merupakan
bagian kelenjar yang berisi banyak sel B; folikel primer mengandung
lebih banyak sel B matang yang belum pernah terpapar antigen (naif)
sedangkan pusat-pusat germinal berkembang sebagai respons terha-
dap stimulasi antigen. Pusat-pusat germinal juga dihuni oleh banyak
sel dendritik yang mempunyai reseptor untuk C3 dan fragmen Fc IgG;
dengan demikian antigen yang tidak diproses dapat dipertahankan
pada perrnukaan sel ini dalam bentuk kompleks antigen-antibodi-C3
selama beberapa bulan. Antigen yang tertangkap ini diduga memberi-
kan rangsangan secara periodik dengan sewaktu-waktu melepaskan
suatu senyawa yang kemudian ditangkap dan diproses oleh APC dan
disajikan kepada sel T. Akibatnya adalah dari waktu kewaktu sel T
merangsang sel B memory untuk berproliferasi dan membentuk pusat-
pusat germinal. Pusat germinal dengan demikian merupakan tempat

111
Akmaa

proliferasi dan seleksi sel B yang menghasilkan antibodi dengan afinitas


tinggi serta pembentukan sel B memory. Sel-sel dendritik yang terdapat
dalam pusat germinal mengekspresikan antigen pada permukaannya
dan berfungsi merangsang sel B secara selektif yang mengikat antigen
tersebut secara erat. Sel-sel plasma terdapat di luar pusat germinal dan
dapat bermigrasi keluar kelenjar getah bening menuju jaringan lain.
Mekanisme yang bertanggung jawab atas sekuestrasi anatomik
berbagai jenis limfosit dalam area yang berbeda-beda belum diketahui
secara pasti. Salah satu kemungkinan adalah pembagian dalam kom-
partemen-kompartemen itu dipertahankan oleh kemampuan adhesi
berbagai jenis limfosit pada sel-sel stroma dan protein matriks ekstrase-
luler. Bagian parakortikal kelenjar getah bening mengandung banyak
sel pendamping yang mengekspresikan banyak MHC kelas II dan
menyajikan antigen kepada sel T. Kelenjar getah bening yang terbagi-
bagi dalam pusat-pusat germinal yang berisi sel B, daerah parakortikal
yang. bensi sel T yang bergerak cepat, sinus yang penuh dengan mak-
rofag dan sel-sel dendritik yang dapat menampung dan mempertahan-
kan antigen, merupakan tempat interaksi antara berbagai jenis sel yang
diperlukan untuk menimbulkan respons imun.
Limpa
Di dalam jaringan limpa terdapat sel T, sel B, sel dendritik dan
makrofag. Limfosit T menumpuk di bagian tengah lapisan limfoid peri-
arteriolar, duapertiganya adalah sel Th CD4 dan sepertiganya lagi ada-
lah sel Tc (CD8). Sel B dalam limpa terdapat dalam folikel dan pusat-
pusat germinal di bagian perifer. Sel B dapat dijumpai dalam bentuk
tidak teraktivasi maupun teraktivasi. Dalam pusat-pusat germinal juga
dijumpai sel dendritik dan makrofag. Makrofag spesifik umumnya ter-
dapat di daerah marginal, dan sel ini bersama-sama dengan sel den-
dritik berfungsi sebagai APC yang menyajikan antigen kepada sel B

112
Modul Imunologi

dan sel T. Secara umum fungsi limpa dan responsnya terhadap anti-
gen sama dengan kelenjar getah bening; perbedaan terpenting adalah
bahwa limpa merupakan tempat terjadinya respons imun terhadap an-
tigen yang masuk melalui sirkulasi darah sedangkan kelenjar getah be-
ning memberikan respons terhadap antigen yang masuk melalui pem-
buluh getah bening.’
Jaringan limfoid lain
Jaringa limfoid berisi sel B, sel T maupun fagosit. Jaringan limfoid
tersebar dalam jaringan submukosa saluran nafas, saluran cerna dan
saluran urogenital membentuk system imun mukosa. Contoh jarin-
gan limfoid yang tersusun baik dan mengandung banyak pusat-pusat
germinal adalah tonsil yang merupakan garis pertahanan pada pintu
masuk saluran cerna dan saluran nafas, dan Peyer’s patch yang tersebar
dalam mukosa säluran cerna. Peyer’s patch dan apendiks termasuk gut
associated lymphoid tissue (GALT).

Gambar 3.7. Organ limphoid


Dalam jaringan limfoid ini terdapat bagian yang dipengaruhi oleh
timus maupun yang tidak. Banyak limfosit juga dijumpai dalam lami-

113
Akmaa

na propria dan vili pada mukosa usus kecil dan di antara sel-sel epitel
mukosa. Mucosa associated lymphoid tissue (MALT) yang terdapat pada
saluran nafas (NALT:nose associated lymphoid tissue), saluran cerna
(GALT:gut associated lymphoid tissue) dan saluran urogenital berfungsi
memberikan respons imunologik lokal pada permukaan mukosa. Ka-
rena jaringan limfoid ini selain berisi limfosit juga berisi fagosit, jarin-
gan limfoid mampu memberikan respons nonspesifik maupun spesifik.
Di dalam jaringan limfoid sepanjang saluran cerna dan saluran nafas
dibentuk IgA sekretorik (sIgA) dan IgE yang disekresikan untuk mem-
pertahankan tubuh terhadap antigen yang masuk melalui mukosa. Se-
lain terkumpul dalam kelenjar dan jaringan limfoid, limfosit bebas juga
dapat menginfiltrasi epitel maupun jaringan lain di seluruh tubuh.’
Dalam mukosa saluran cerna, limfosit dijumpai dalam jumlah ban-
yak di tiga tempat utama, yaitu: di dalam lapisan epitel, tersebar sepan-
jang lamina propria, dan tersusun secara teratur dalam lamina propria
membentuk Peyer ‘s patch. Sel-sel limfosit dalam masing-masing area
di atas mempunyai ciri fenotip dan fungsi berbeda. Sebagian besar lim-
fosit intraepitel adalah sel T. Pada manusia, sel-sel ini terutama terdiri
atas CD8. Bagian lamina propria saluran cerna mengandung populasi
limfosit campuran, yaitu sel T yang sebagian besar adalah CD4 den-
gan fenotip sel teraktivasi. Lamina propria juga mengandung banyak
sel B dan sel plasma, makrofag, sel dendritik, eosinofil dan mastosit. Di
dalam Peyer’s patch, seperti halnya dalam kelenjar limfoid, limfosit B
terutama terdapat dalam bagian tengah yang seringkali mengandung
pusat-pusat germinal. Di dalam bagian interfolikuler terdapat sejumlah
kecil sel CD4. Beberapa sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupa-
kan sel-sel khusus membran (M). Sel ini diduga berfungsi mengirim
antigen intraluminal kepada Peyer’s patch untuk diproses, tetapi sel ini
tidak berfungsi sebagai APC.

114
Modul Imunologi

Referensi

Abbas. A.K., Litchman, A.H., 2004. Basic Immunology: Function and disor-
der and the immune system, Scond edition, Elsevier, Shang hai
Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Jakarta
�������������������������������
: Balai Penerbit Fakul-
tas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Bogdan, C., 2011. Regulation of lymphocytes by nitric oxide, Methods
Mol Biol. 677:375-93.
Colombo, M.P., and Trinchieri, G., 2002. Interleukin 12 in antitumor im-
munity and immunotherapy, Cytokine Growt Faktor Review. 13: 155
- 168
Couper, K.V., Blount, D.G., Riley, E.M., 2008. IL-10: The Master Regu-
lator of Immunity to infection, J Immunol. 180: 5771-5777
Curiel, T.J., 2007. Tregs and rethinking cancer immunotherapy, J. Clin.
Invest. 117(5): 1157-74
Dunn, G.P., Bruce, A.T., Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. Can-
cer immunoediting from immunosurveillance to tumor escape, Na-
ture immunology. 3(11): 991-8
Dunn, G.P., Old,L.J., Schreiber, R.D., 2004. The Immunobiology of Can-
cer Immunosurveillance and Immunoediting, Immunity. 21: 137–
148,
Dunn, G.P., Koebel, C.M., Schreiber, R.D., 2006. Interferons, immunity
and Cancer immunoediting, Nature Reviews Immunology. 6: 836-48
Kresno, S.B., 2000, Imunologi : Dignosis dan Prosedur Laboratorium. Ed.
Keempat. UI: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Lin, W. and Karin, M., 2007. A cytokines-mediated link between innate

115
Akmaa

immunity, inflammation and cancer, J.Clin. Invest. 117(15):1175-83


Murphy, K.P., 2012. Janeway’s Immunobiology, Garland Science, New
York USA
Nelson, B.H., 2004. IL-2, Regulatory T Cells, and Tolerance, JI. 172:
3983–3988.
Parmiani, G. and Lotze, M.T., 2002, Tumor Immunology: molecularly
defined antigen and clinical application, Taylor and Francois, New York
USA
Parslow, T.G., Stites, D.P., Terr, A.I., Imboden, J.B., 2003. Med. Im-
munol., tenth edition, Boston

Soal latihan Bab 3


1. Enhancement of phagocytosis by coating of foreign particles with
serum proteins is called
a. opsonization.
b. agglutination.
c. solubilization.
d. chemotaxis.
2. Jenner’s work with cowpox, which provided immunity against
smallpox, demonstrates which phenomenon?
a. Natural immunity
b. Attenuation of vaccines
c. Phagocytosis
d. Cross-immunity
3. Which of the following can be attributed to Pasteur?
a. Discovery of opsonins
b. Research on haptens
c. First attenuated vaccines
d. Discovery of the ABO blood groups

116
Modul Imunologi

4. Which of the following peripheral blood cells plays a key role in


killing of parasites?
a. Neutrophils
b. Monocytes
c. Lymphocytes
d. Eosinophils
5. Which of the following plays an important role as an external de-
fense mechanism?
a. Phagocytosis
b. C-reactive protein
c. Lysozyme
d. Complement
6. The process of inflammation is characterized by all of the following
except
a. increased blood supply to the area.
b. migration of white blood cells.
c. decreased capillary permeability.
d. appearance of acute-phase reactants.
7. Skin, lactic acid secretions, stomach acidity, and the motion of cilia
represent which type of immunity?
a. Natural
b. Acquired
c. Adaptive
d. Auto
8. The structure formed by the fusion of engulfed material and
enzymatic granules within the phagocytic cell is called a
a. phagosome.
b. lysosome.
c. vacuole.
d. phagolysosome.

117
Akmaa

9. Which of the following white blood cells is capable of


further differentiation in the tissues?
a. Neutrophil
b. Eosinophil
c. Basophil
d. Monocyte
10. The presence of normal flora acts as a defense mechanism by which
of the following means?
a. Maintaining an acid environment
b. Competing with pathogens for nutrients
c. Keeping phagocytes in the area
d. Coating mucosal surfaces
11. Measurement of CRP levels can be used for all of the following
except
a. monitoring drug therapy with anti-inflammatory agents.
b. tracking the normal progress of surgery.
c. diagnosis of a specific bacterial infection.
d. determining active phases of rheumatoid arthritis.
12. Which of the following are characteristics of acutephase reactants?
a. Rapid increase following infection
b. Enhancement of phagocytosis
c. Nonspecific indicators of inflammation
d. All of the above
13. A latex agglutination test for CRP is run on a 12-yearold girl who
has been ill for the past 5 days with an undiagnosed disease. The
results obtained are as follows: weakly reactive with the undiluted
serum and negative for both the positive and negative controls.
What should the technologist do next?
a. Repeat the entire test
b. Report the results as indeterminate

118
Modul Imunologi

c. Report the result as positive


d. Obtain a new sample
14. Which is the most significant agent formed in the phagolysosome
for the killing of microorganisms?
a. Proteolytic enzymes
b. Hydroxyl radicals
c. Hydrogen peroxide
d. Superoxides
15. The action of CRP can be distinguished from that of an antibody in
which of the following ways?
a. CRP acts before the antibody appears.
b. Only the antibody triggers the complement cascade.
c. Binding of the antibody is calcium-dependent.
d. Only CRP acts as an opsonin.

119
Akmaa

120
Modul Imunologi

BAGIAN
III

MEKANISME RESPON
IMUN

121
Akmaa

122
Modul Imunologi

~ BAB IV ~
ANTIGEN, IMUNOGEN, DETERMINAN IMUNOGENIK

Tujuan :

Dapat menjelaskan perbedaan karakteristik system imun alami


dan system imun adaptif
Dapat menjelaskan komponen penyusun system imun alami
eksternal
Dapat menjelaskan komponen penyusun system imun alami
internal
Dapat menjelaskan komponen penyusun system imun
Dapat menjelaskan peran dan karakteristik struktur penyusun
system imun alamiah barier fisik, protein reaktif C dan inflamasi.
Dapat menjelaskan peran dan karakteristik struktur seluler sys-
tem imun alami
Dapat menjelaskan komponen penyusun system imun adapatif.
Dapat menjelaskan komponen, peran dan karakteristik jaringan
limfoid

123
Akmaa

A. PENDAHULUAN
Respon imun muncul sebagai tanggapan terhadap adanya antigen
atau benda asing. Infeksi oleh berbagai pathogen seperti virus, bakteri
dan parasit, berbagai patogen penyebab infeksi adalah benda asing
atau antigen. Kerusakan jaringan akibat trauma (teriris, terpukul, kera-
cunan) juga menyebabkan terbentuknya antigen dari jaringan yang ru-
sak. Respon imun yang terbangun bertujuan agar kondisi tubuh segera
mengalami perbaikan dan tidak mengalami kerusakan lebih jauh.

Gambar 4.1. Berbagai mekanisme injuri atau trauma yang dialami


tubuh
Bedasarkan Gambar 1 terlihat bahwa setiap waktu tubuh mengala-
mi invasi oleh berbagai pathogen. Namun begitu tubuh dapat tetap ber-

124
Modul Imunologi

tahan dalam homeostasis dan terhindar dari sakit oleh karena adanya
system imun yang memberikan perlindungan dan memberikan respon
atau reaksi imunitas sehingga mampu menjaga tubuh dalam kondisi
homeostasis.

B. ANTIGEN DAN IMUNOGEN

1. Pengertian
Antigen adalah zat/benda asing yang sering disebut juga dengan
istilah nonself lawan dari jaringan atau sel diri yang disebut dengan self.
Antigen biasanya berasal dari luar tubuh, yang masuk ke dalam tubuh
pada saat infeksi atau keracunan. Antigen yang berasal dari luar tubuh
disebut dengan eksoantigen. Namun begitu antigen juga dapat berasal
dari dalam tubuh, misalnya sel atau jaringan tubuh yang mengalami
perubaha oleh karena adanya kerusakan atau perubahan sifat dari sel
atau jaringan akibat adanya mutasi, biasa terjadi pada jaringan kanker
atau neoplasma. Antigen yang berasal dalam tubuh disebut dengan an-
tigen endogen. Antigen yang dapat membangkitkan respon imun tan-
pa membutuhkan senyawa lain disebut dengan antigen komplit. Suatu
antigen tidak akan membangkitkan respon kecuali dibantu oleh adanya
molekul lain disebut dengan antigen tak komplit atau hapten.

Gambar 4.2. Antigen, epitop dan imunogen

125
Akmaa

Imunogenisitas merupakan potensi dari zat-zat yang dapat me-


nyebabkan induksi suatu resopns imun tubuh apabila zat tersebut
dipertemukan dengan tubuh hewan atau manusia. Zat-zat yang me-
miliki potensi membangkitkan respon imun disebut imunogen. Seba-
gai contoh dalam dunia klinis adalah pada operasi cangkok atau trans-
plantasi organ misalnya cangkok ginjal sering terjadi reaksi penolakan,
yaitu organ ginjal donor yang dicangkokkan tidak diterima oleh tubuh
penerima, reaksi penolakan terhadap organ yang dicangkokkan terse-
but menunjukkan adanya imunogenisitas dari ginjal donor. Pada infek-
si bakteri atau virus juga menimbulkan respon imun, maka bakteri dan
virus itu juga memiliki sifat sebagai imunogen. Meskipun imunogen
umumnya merupakan antigen atau non self (benda asing) yang masuk
ke dalam tubuh organism, tetapi peneliti juga telah menunjukkan ban-
yak imunogen endogen yang mampu membangkitkan respon imun.
Imunogen yang berasal dari luar tubuh disebut dengan imunogen ek-
sternal sedangkan imunogen yang berasal dari dalam tubuh organism
sendiri disebut dengan imunogen endogen.
Tidak semua bahan asing (non self) bersifat imunogenik, misalnya
nasi yang kita makan. Demikian juga tidak semua self adalah tidak im-
unogenik, misalnya pada penyakit autoimun. Benda asing atau nonself
maupun self (diri sendiri) yang memiliki sifat imunogen disebut den-
gan antigen. Berdasarkan asal antigen maka dikenal antigen eksogen
dan antigen endogen. Antigen eksogen adalah antigen yang berasal
dari luar tubuh sedangkan antigen endogen adalah antigen yang be-
rasal dari dalam tubuh sendiri.
Imunogenisitas suatu zat berbeda dengan sifat-sifat fisikokimia
yang dimiliki secara inheren oleh bahan tertetu, karena imunogegenisi-
tas merupakan sifat yang timbulnya tergantung secara operasional
pada kondisi eksperimental dan system yang dipakai. Berarti imuno-

126
Modul Imunologi

genisitas tergantung dari antigennya, cara memasukkan zatnya, hewan


atau manusia yang menerima antigennya dan kepekaan metoda yang
dipakai untuk mengamati respons imunnya. Sebgai contoh : dahulu
gelatin dikenal sebagai suatu zat yang tidak imunogenetik atau tidak
dapat menimbulkan respons imun, tetapi diketemukan metode yang
lebih peka untuk mengamati antibody yang dihasilkan dari adanya re-
spons imun tersebut, maka gelatin dapat dibuktikan sebagai suatu zat
imunogen juga.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi imunogenisitas


Faktor-faktor yang mempengaruhi imunogenisitas dari suatu
molekul sangat kompleks dan tidak dapat difahami secara mudah, na-
mun beberapa kondisi tertentu telah diketahui perannya dalam menim-
bulkan sifat imunogenisitas tersebut yaitu :
a. Keasingan :
Sistem imun yang bagaimana dapat membedakan antara ‘diri’
dan ‘asing’, sehingga molekul-molekul yang asing bagi tubuh bi-
asanya bersifat imunogenik. Misalnya albumin yang kita murni-
kan dari serum kelinci disuntikkan kembali atau kedalam kelinci
lain yang sama galurnya, tidak akan menimbulkan respons imun,
tetapi sebaliknya apabila disuntikkan kepada binatnag lain atau
manusia maka akan menimbulkan respons imun yang nyata. Al-
bumin yang tidak imunogenik terhadap kelinci akan bersifat imu-
nogenik bagi hewan lain atau manusia. Ini menunjukkan bahwa
albumin kelinci dikenal asing oleh hewan lain.
b. Ukuran molekul :
Zat-zat dengan molekul yang teramat kecil seperti asam amino
dan monosakhrida tidah bersifat imunogenik. Walaupun demiki-

127
Akmaa

an tidak ada batas yang tegas yang dapat ditarik untuk menen-
tukan ukuran paling kecil mulai nampak adanya imunogenisitas.
Meskipun ada beberapa keadaan tertentu dinyatakan bahwa zat-
zat yang mepunyai BM yang lebih kecil dari 10.000 bersifat imu-
nogenik lemah atau tidak imunogenik sama sekali, namun zat-zat
yang merupakan protein dengan BM lebih besar dari 100.000 ke-
banyakan merupakan imunogen yang sangat poten.
c. Kerumitan struktur kimiawi :
Sebuah molekul harus memiliki derajat kerumitan tertentu
dari strukturnya agar bersifat imunogenik. Azas ini dapat dilukis-
kan secara jelas pada percobaan-percobaan dengan polipeptida
buatan.
Suatu molekul homopolimer yang terdiri atas unit-unit yang
tersusun oleh satu jenis asam amino walaupun merupakan mele-
kul berukuran besar bersifat sebagai imunogen lemah (polialanin,
polilisin, dan sebagainya). Sedangkan molekul kopolimer yang
tersusun atas 2 jenis asam amino, atau lebih biak 3, mungkin san-
gat aktif. Adanya gugus asam amino aromatic (tirosin) akan mem-
berikan sifat lebih imunogenik dari pada gugus non-aromatik.
Lagipula imunogenisitas zat tersebut tergantung pada kandungan
molekul tirosinnya, makin banyak makin imunogen. Dengan men-
umbuhkan gugusan tirosin pada molekul gelatin, akan meningkat-
kan imunogenisitasnya.
Untuk menentukan batas yang jelas struktur molekul yang
bagaimana yang imunogenik tidaklah mudah. Kita hanya dapat
menyatakan bahwa makin rumit atau kompleks struktur mole-
kulnya semakin imunogenik zat tersebut.
d. Konstitusi genetik :
Kemampuan untuk mengadakan respons imun terhadap anti-

128
Modul Imunologi

gen tergantung kepada susunan genetic dari binatang atau manu-


sia bersangkutan. Telah diketahui bahwa polisakhrida yang murni
akan bersifat imunogenik apabila disuntikkan kepada mencit atau
manusia, namun akan hilang imunogenisitasnya apabila disuntik-
kan pada marmot. Ketergantungan akan konstitusi genetic terli-
hat pada percobaan dengan menggunakan marmot yang berbeda
galurnya yaitu apabila galur 2 disuntik dengan poly-lisin akan
membangkitkan respons imun yang jelas sedang galur 13 yang
juga disuntik tidak tampak adanya respons imun. Ternyata ke-
mampuan untuk mengadakan respons imun pada marmot galur 2
diatur oleh gena yang terdapat pada otosom dan diwariskan secara
dominant. Biozzi dkk (1972) telah berhasil memisahkan mencit
dengan galur yang berbeda kemampuan respons imunnya dengan
cara mengawinsilangkan antara 2 galur mencit sehingga diperoleh
2 populasi yang satu merupakan kelompok dengan respons imun
rendah terhadap eritrosit domba (low responder) dan kelompok
lain dengan respons imun tinggi terhadap eritrosit domba (high
responder).
e. Cara masuknya antigen ke dalam tubuh:
Respons imun suatu antigen tergantung pada dosis dan cara
pemasukannya ke dalam tubuh. Sejumlah antigen yang disun-
tikkan intravenosa yang tidak menimbulkan respons imun, akan
menimbulkan respons imun apabila disuntikkan secara subkutan.
Pada umumnya cara pemasukan antigen kedalam tubuh langsung
melalui kulit, melalui pernapasan, melalui saluran pencernaan,
atau disuntikkan melalui subkutan, intraperitoneal, intravenosa
dan intramuskuler yang masing-masing dapat menimbulkan re-
spons imun yang berbeda intensitasnya.

129
Akmaa

f. Dosis :
Biasanya apabila dosis minimal suatu antigen telah dilam-
paui, maka makin tinggi dosisnya akan meningkatkan respons
imunnya secara sebanding, tetapi pada dosis tertentu akan terjadi
sebaliknya yaitu menurunnya respons imun atau bahkan dapat
menghilangkan sama sekali yaitu suatu keadaan yang disebut tol-
eransi imunologik.
g. Sifat Kimiawi imunogen
Imunogen yang paling kuat yaitu dengan mudah menimbul-
kan respons imun yang nyata. Kebanyakan imunogen tersebut
berbentuk sebagai makromolekul protein, namun zat-zat lain sep-
erti polisakharida polipeptida buatan dan polimer lainnya yang
sengaja dibuat seperti misalnya polivinilpirolidon dapat bersifat
imunogenik juga apabila digunakan dalam kondisi yang sesuai.
Walaupun asam nukleik belum dapat ditunjukkan sifat imuno-
genesitasnya, namun orang dapat menginduksi sintesa antibody
yang spesifik terhadapnya dengan cara menyuntikkan nucleopro-
tein dalam tubuh hewan percobaan. Bahkan antibody semacam ini
dapat diketemukan dalam tubuh penderita Lupus erythematosus
(suatu jenis penyakit otoimun).

3. Determinan Imunogenik: Epitop, Hapten dan tolerogen


Bagian dari antigen yang memiliki sifat imunogenik disebut den-
gan epitop. Epitop pada suatu antigen disebut dengan determinan im-
unogenik, karena merupakan bagian yang paling menentukan untuk
bangkitnya respon imun dari suatu antigen. Biasanya sebuah imunogen
merupakan molekul besar, dan pada batas-batas tertentu, imunogenisi-
tasnya merupakan fungsi dari ukuran dan kerumitan molekulnya.

130
Modul Imunologi

a. Epitop
Suatu ciri dari imunogen yang membedakan dengan hapten yaitu
dapat menginduksi terjadinya respons imun seluler yang melibatkan
limfosit T. Oleh karena itu orang yakin bahwa imunogen harus memiliki
paling sedikit 2 determinan yang berbeda agar dapat membangkitkan
respons imun humoral yang melibatkan limfosit B, sebuah determinan
untuk limfosit T dan yang lain untuk limfosit B. Walaupun diketahui
bahwa molekul-molekul besar merupakan imunogen, tetapi hanya
bagian-bagian tertentu dari molekulnya saja yang terlibat dalam pem-
bangkitan respon imun yang ditimbulkannya. Daerah-daerah tersebut
selain menentukan spesifisitas reaksi antigen – antibody juga sebagai
timbulnya respons imun. Bagian molekul antigen, biasanya pada bagi-
an permukaan, yang memiliki sifat sebagai penentu timbulnya respon
imun dinamakan determinan antigenik atau epitop. Jumlah epitop dari
sebuah molekul antigen tergantung pada ukuran dan kerumitan struk-
tur molekulnya.
Hormon glukagon yang berasal dari pankreas terdiri dari susunan
29 asam amino tetapi sangat imunogenetik sehingga sangat baik un-
tuk dipakai sebagai bukti yang mendukung dugaan di atas. Dengan
trypsin, molekul glukagon dapat dipecah secara fungsional menjadi 2
komponen yang masing-masing dapat bereaksi dengan limfosit T (de-
terminan imunogenik) dan dengan antibody (determinan haptenik).
Ternyata antibody terhadap hormone tersebut mengenali determinan
yang terdapat pada ujung amino molekulnya, sedangkan limfosit T
hanya mengenali determinan yang terletak pada ujung karboksi. Oleh
karena itu ujung karboksi disebut sebagai ‘bagian imunogenik’ atau
‘bagian carrier’ sedang ujung aminonya disebut ‘bagian haptenik’.
Beberapa molekul sintetik yang berukuran kira-kira sebesar de-
terminan antigenic dapat menginduksi terjadinya respons imun se-

131
Akmaa

luler saja tanpa terbentuknya antibody, tetapi dapat bertindak sebagai


pengemban untuk hapten seperti halnya molekul-molekul imunogen
yang besar. Imunogen dengan determinan tunggal tersebut misalnya
senyawa L-tyrosine-p-azobenzene arsonate (ABA Try). Walaupun BM
imunogen tersebut hanya 409, ABA-Try dapat menimbulkan respons
imun seluler tanpa terbentuknya antibody pada berbagai hewan coba.
Hapten, seperti misalnya gugus dinitrophenyl (DNP), dapat digan-
dengkan pada ABA-Try dengan bantuan ‘gugus antara’ (6-amino cap-
roic acid)
(Gambar 4.3).

Gambar 4.3. Antigen yang berfungsi rangkap berasal dari gugus


hapten DNP dan gugus carrier ABA-Try dengan gugus antara 6-amino
caproic acid.
Antigen baru ini dapat menimbulkan respons imun humoral den-
gan antibody spesifik terhadap gugus DNP yang berfungsi sebagai de-
terminan haptenik serta respons imun seluler yang ditujukan kepada
gugus ABA-Tyr sebagai determinan imunogenik.
Contoh lain terdapat pada percobaan yang menggunakan marmut
galur 2 respons imun seluler hanya terhadap molekul heptapeptida
saja. Apabila pada heptapeptida tersebut digandingkan molekul DNP
terjadilah imunogen a dinitrophenyl – (L-LYS)7, yang bersifat bifung-
sional yaitu membangkitkan respons imun humoral terhadap DNP dan
seluler terhadap gugus (L-Lys)7.
Hasil percobaan yang analog dengan percobaan di atas menun-
jukkan bahwa pada beberapa keadaan, determinan yang berbeda pada

132
Modul Imunologi

antigen protein dapat mengaktivasi berbagai sub populasi limfosit T.


Misalnya beberapa fragmen protein mielin serabut saraf dapat mene-
kan imunitas pada rodens. Adanya imunitas dieskpresikaj sebagai ge-
jala ensefalomielitis. Tetapi apabila hewan tersebut disensitasi dengan
fragmen tersebut dan kemudian ditantang dengan seluruh molekul
utuh, maka ia tidak menderita gejala otoimun tersebut. Dengan adanya
pengaruh selektif dari epitop tertentu baik bersifat supresif atau men-
dorong, orang mengarah kepada penelitian agar dapat ditrapkan untuk
usaha-usaha mengatasi penyakit tertentu.
(i). Identifikasi jumlah dan ukuran epitop
Epitop merupakan determinan imunogenik, penentu reaksi antara
antigen dengan antibody dan respon imun. Meskipun satu saja epitop
nonself teridentifikasi sudah cukup membangkitkan respon imun teta-
pi kadang ingin mengetahui lebih banyak epitop dari suatu antigen.
Untuk mempelajari komposisi, struktur dan ukuran determinan anti-
genic integral dari sebuah antigen dan determinan haptenik, dipakai 3
macam pendekatan :
1. Reaksi silang : Reaksi silang berarti suatu reaksi antara antibody
dengan suatu antigen lain yang bukan penyebab timbulnya sinte-
sis antibody yang direaksikan. Dalam hal ini dibandingkan reaksi
antara determinan antigenic yang hendak diidentifikasikan den-
gan antibody yang telah diketahui spesifitasnya. Apabila reaksinya
sama dengan antigen penyebabnya maka identitas determinan an-
tigenik dapat diketahui.
2. Degradasi antigen : Antigen yang mengandung determinan an-
tigenik yang hendak diperiksa dipecah-pecah dengan harapan
memperoleh fragmen-fragmen yang dapat diidentifikasi. Cara ini
telah dicobakan pada antigen protein dan polisakhrida dengan
hasil yang sangat terbatas. Kelemahan cara ini selalu terdapat ke-

133
Akmaa

mungkinan terikutnya bagian-bagian molekul yang lain sehingga


tidak tepat seperti molekuldeterminan antigenic yang dimaksud-
kan.
3. Antigen buatan : Berbagai penelitian telah meggunakan
homopolimer buatan atau alam dengan rangkaian asam amino
atau gugus gula tunggal, polipeptida buatan dengan struktur yang
telah diketahui, atau hapten buatan yang kemudian digandengkan
dengan protein sebagai pengemban. Berbagai macam antigen ini
kemudian direaksikan dengan antibody yang telah diketahui sp-
esifitasnya dan dengan cara inhibisi diukur banyaknya presipitasi
yang timbul seperti halnya mengukur besarnya determinan an-
tigenic. Cara ini telah dibuktikan memberikan hasil yang paling
produktif untuk mengungkapkan identitas epitop.
(ii) Berapakah besar ukuran epitop ?
Telah dilakukan percobaan untuk mengetahui ukuran epitop den-
gan mereaksikan dextran yang merupakan polisakharida dengan anti-
body spesifiknya. Molekul dextran pada dasarnya merupakan molekul
dengan rantai tunggal utama dengan rantai-rantai cabang sebagai epito-
pnya sehingga bersifat imunogenik. Pada reaksi antara antibody spesi-
fiknya dengan dextran terjadi ikatan antara rantai cabang dengan tempat
pengikat pada masing-masing antibody, sehingga dapat menyebabkan
peristiwa presipitasi. Apabila dalam reaksi ini juga dibubuhkan mole-
kul oligosakharida yang diketahui jumlah gugus sakharidanya, maka
akan terjadi pengaruh terhadap timbulnya presipitasi. Polisakharida
yang dibubuhkan akan bertindak sebagai inhibitor, sehingga reaksinya
dinamakan reaksi inhibisi. Dengan cara ini dapat ditemukan inhibisi
maksimal sehingga tidak ada presipitasi pada reaksi antara dextran
dengan anti-dextran. Oleh karena diketahui ukuran inhibitor yang di-
masukkan, maka pada inhibisi maksimal dapat disimpulkan bahwa

134
Modul Imunologi

ukuran epitop yang terdiri dari rantai cabang olisakharida sebesar uku-
ran yang dipakai sebagai inhibitor. Kesimpulan ini didasarkan pada
asumsi bahwa inhibitor akan menghalangi ikatan antara epitop dextran
dengan antibody anti-dextran secara sempurna. Dalam hal ini antibody
dapat diperoleh dari serum manusia atapun dari hewan percobaan
yang telah disuntik dari serum dextran. Percobaan yang dilakukan oleh
Kabat dan Mayer dalam tahun 1961 ini dapat mengungkapkan ukuran
epitop dextran sebesar 6 molekul sakharida oleh karena dihambat oleh
isomaltohexose. Sedang pemberian isomaltopentaose, isomaltotetaose
dan isomaltotriose tidak memberikan hambatan presipitasi maksimal.
Dengan cara reaksi inhibsi ini dapat diperoleh ukuran berbagai
epitop antigen polimer dengan menggunakan antiserum dari berbagai
spesies seperti tertera pada Tabrl 2 Dari Tabel 2 tersebut dapat disim-
pulkan bahwa ukuran epitop berkisar antara 2 dan 7 molekul glukosa
atau asam amino.
Tabel 4.1. Ukuran epitop beberapa antigen

*Jumlah gugus dalam epitop.

Kabat (1966) dalam penelitiannya dapat menetapkan bahwa BM


epitop sekitar 373 dan 1080.

135
Akmaa

b. Hapten
Hapten adalah antigen yang tidak bersifat imunogeneik oleh ka-
rena memiliki berat molekul rendah, biasanya kurang dari 10.000 D.
Antigen dengan berat molekul rendah biasanya dapat bereaksi dengan
antibody tetapi tidak dapat bereaksi dengan limfosit T atau B oleh ka-
rena tidak dapat berikatan dengan MHC. Penelitian Landsteiner pada
awal abad ke-20 ini, banyak menggunakan zat kimia bermolekul kecil
yang tidak imunogenik, tetapi dapat bereaksi dengan antibody spesifi-
kasinya. Zat-zat semacam itu dinamakan hapten yang berasal dari kata
Yunani yang berarti “mempererat”. Dalam salah satu percobaannya,
Landsteiner menggunakan derivate diazonium untuk disenyawakan
secara kovalen dengan gugus asam amino : lisin, tirosin dan histidin
dari sebuah protein yang bersifat imunogenetik.
Senyawa protein baru ini dapat menimbulkan pembentukan anti-
body pada mencit yang spesifik terhadap gugus azo yang disenyawa-
kan. Adanya antibody tersebut dapat dibuktikan dengan direaksikan-
nya terhadap diazonium bebas. Gugus diazonium yang bertindak
sebagai hapten, apabila dalam keadaan terikat dengan protein bertin-
dak sebagai determinan antigenic atau hapten sempurna atau hapten
partial. Protein yang diikat oleh hapten tersebut dapat memiliki deter-
minan antigeniknya sendiri sebagai epitop asli atau integral. Protein
yang diikat bertindak sebagai pengemban atau carrier.


Gambar 4.4. Hapten yang disenyawakan dengan protein sebagai pengemban
sehingga dapat menginduksi terjadinya antibody spesifik pada mencit

136
Modul Imunologi

Walaupun sebagian besar hapten merupakan molekul yang


berukuran kecil, namun makromolekul-pun dapat bertindak sebagai
hapten juga. Hal ini menunjukkan bahwa hapten tidak selalu merupa-
kan molekul kecil. Beberapa jenis hapten yang berhasil disenyawakan
dengan protein sebagai pengemban sehingga dapat diperoleh antibody
terhadapnya di antaranya : berbentuk sebagai cincin aromatic, gugus
gula, steroid, peptide, purin, pirimidin, nukleosid dan obat-obat seperti
penisilin dan zat-zat fluoresens.
Dari penelitian Landsteiner dapat terungkap bahwa antibody da-
pat membedakan tempat ikatannya dengan pengembannya. Dalam
suatu percobannya dengan menggunakan antibody spesifik terhadap
m-aminobenzenesulfonate, dilakukan reaksi terhadap isomer hapten
homolog atau terhadap gugus carboxylate atau arsonate. Hasil reaksi
tersebut diringkas dalam tabel 1.
Tabel 4.2. Hasil reaksi antibody anti m-aminobenzene sulfonate
terhadap berbagai gugus yang berbeda dengan bentuk isomernya.

Hapten Ortho Meta Para


Sulfonat ++ +++ ±

Arsonate - + -

Carboxylate - ± -

Sesuai dengan harapan, dalam Tabel 4.2 tampak hasil yang paling
kuat terdapat pada reaksi antara antibody dengan hapten meta-ami-
nobenzenesulfonate.
Dari hasil-hasil penelitian semacam itu dapat disimpulkan bahwa
antibody dapat mengenali dan membedakan determinan antigenic
dalam 3 dimensi

137
Akmaa

Gambar 4.5. Struktur hapten isomer amino – benzene


c. Tolerogen
Tolerogen adalah adalah antigen tetapi tidak mampu membang-
kitkan respon imun oleh karena sudah ditoleransi oleh tubuh. Nasi
yang dimakan sebetulnya adalah antigen, dan dari besar molekulnya
memenuhi syarat sebagai imunogen oleh karena lebih dari 100.000 D
namun begitu tubuh tidak terangsang untuk memberikan respon imun.

4. Jenis imunogen
Dengan menentukan jumlah spesifitas antibody yang bersen-
yawa dengan setiap molekul antigen, orang dapat mengira-ngira jum-
lah epitop antigen bersangkutan. Dengan cara pendekatan ini, dapat
diperkirakan bahwa albumin telur yang BMnya 42.000 memiliki 5 epitop
pada setip molekulnya sedang thyroglobulin yang BMnya 700.000 me-
miliki sekitar 40 buah epitop pada setip molekulnya.
(i) Protein
Pada awal pengamatan telah dapat dipastikan bahwa protein mer-
upakan sebuah antigen atau imunogen yang baik apabila disuntikkan

138
Modul Imunologi

kedalam spesies yang bukan merupakan sumber protein tersebut. Apa-


bila antigen tersebut merupakan antigen yang hasilkan oleh hewan ber-
dasarkan allele yang dimiliki oleh spesies bersangkutan maka antigen
tersebut dinamakan alloantigen. Termasuk alloantigen misalnya anti-
gen golongan darah yang terdapat pada permukaan eritrosit, antigen
system HLA yang terdapat pada permukaan lekosit dan epitop yang
terdapat pada molekul immunoglobulin yang dinamakan alotipe.
(ii) Polisakhrida
Antigen polisakhrida yang terdapat dalam bentuk murni umumn-
ya dapat menimbulkan respons imun hanya pada spesies tertentu saja.
Kelinci dan marmot yang merupakan penghasil baik dari antibody ter-
hadap protein tidak mengadakan respons sama sekali apabila disuntik
dengan polisakharida murni. Sebaliknya mencit dan manusia sangat
baik responsnya terhadap polisakhrida, sehingga sangat diperlukan
dalam penelitian imunokimiawi.
Antigen polisakharida yang sederhana adalah dextran dan levan,
sedang antigen ini merupakan bahan yang dihasilkan oleh bacteria dari
pemecahan sikrose. Kalau dextran merupakan polimer yang semata-
mata terdiri atas glukosa, maka levan terdiri dari susunan fructose.
Galur mikroorganisme tertentu memiliki struktur yang berbeda susu-
nan dextrannya. Berbeda dengan sebuah protein yang hanya dikenal
dari satu jenis berat molekul, maka dextran memiliki begitu banyak
jenis dengan BM yang berbeda sehingga dapat mencapai puluhan juta.
Jenis lain dari antigen polisakharida yaitu yang terdapat sebagai
kapsel pnemokokus yang sangat penting untuk bahan vaksin terha-
dap mikroorganisme tersebut. Antigen polisakharida yang bersenyawa
dengan bahan lain sebagai lipopolisakharida yang bertindak sebagai
endoroksin didapatkan pada berbagai jenis mikroorganisme seperti
misalya Salmonela dan Shigella. Glikoprotein dan glikopeptida meru-

139
Akmaa

pakan protein yang mengandung karbohidrat yang pada keadaan ter-


tentu spesifisitasnya ditentukan oleh gugus karbohidratnya. Jenis ini
misalnya sebagai antigen golongan darah yang larut, antigen tumor
(carcinoembryonic antigen = CEA).
(iii) Polipeptida sintetik
Bentuk polipeptida tergantung pada yang kita kehendaki. Ada be-
berapa jenis :
1. Homopolimer, merupakan polimer dari satu jenis asam amino
2. Kopolimer penggal, terdiri atas peptide pendek yang tersusun dari
beberapa asam amino yang diketahui dan peptide ini dirangkaikan
beberapa kali.
3. Kopolimer acak, terdiri atas susunan asam amino yang dirangkai-
kan secara acak.
4. kopolimer rantai ganda, tersusun dari rantai utama dengan rantai
cabang yang berbentuk 3 jenis polimer lainnya.
5. Polimer dengan rantai-rantai yang merupakan peptide yang beru-
lang secara periodic.
(iv) Asam nukleat
Pada manusia terbentuk antibody terhadap asam nukleat secara
spontan pada beberapa jenis penyakit termasuk pada Lupus Erythema-
tosus. Namun sangat sukar menginduksi respons imun terhadap asam
nukleat murni, kecuali dilakukan denaturasi lebih dahulu.

C. Imunopotensi dan Imunodominasi

1. Imunopotensi
Menurut Soebowo (2000) Imunopotensi adalah kemampuan suatu
daerah pada molekul antigen agar berfungsi sebagai determinan anti-

140
Modul Imunologi

genik atau epitop yang dapat menginduksi terbentuknya antibody sp-


esifik. Jumlah epitop dari sebuah antigen tidak selalu sebanding dengan
besarnya molekul antigen bersangkutan. Bahkan antigen yang beruku-
ran besar dapat mempunyai jumlah epitop yang terbatas. Antibody
terhadap albumin telur mempunyai spesifikasi tidak lebih dari 5 atau
6 yang masing-masing ditujukan kepada sebuah epitop. Namun pada
keadaan tertentu akan terjadi seleksi di antara berbagai epitop tersebut
agar menimbulkan respons imun. Terpilihnya epitop bersangkutan dis-
ebabkan oleh adanya sifat imunopotensi yang dimiliki antigen tersebut.
Menurut Soebowo (2000) beberapa faktor yang menetukan imuno-
potensi, yaitu :
i. Asesibilitas : Tersingkapnya bagian molekul tertentu terhadap
lingkungan air di sekitarnya merupakan faktor utama dalam me-
nentukan imunopotensi. Pada dextran, ujung rantai cabang dari
polisakharida merupakan daerah yang imunopoten kalau diband-
ingkan dengan daerah lainnya. Keadaan ini jauh lebih jelas lagi
apabila diperhatikan hasil percobaan dengan menggunakan anti-
gen yang di ubah-ubah gugus epitopnya. Telah diketahui bahwa
gugus asam amino tirosin mempunyai peran besar dalam menen-
tukan antigenisitas, apalagi apabila letaknya tidak tersembunyi.
Apabila dalam percobaan gugus tirosin terletak pada ujung rantai
cabang dari suatu rantai utama sebuah polilisin, maka susunan
molekul antigen tersebut akan membangkitkan pembentukan an-
tibody spesifik terhadap tirosin. Namun apabila susunan rantai
cabang yang terdiri atas polialanin diubah letak gugus tirosinnya
dari ujung ke pangkal rantai cabang sehingga tersembunyi letakn-
ya, maka molekul antigen tersebut akan membangkitkan respons
imun dengan antibosy spesifik terhadap alanin. Pada keadaan per-
tama, tirosin akan lebih mudah terjangkau oleh perangkat penge-

141
Akmaa

nal system imun sehingga terbentuklah antitirosin, sedang pada


keadaan kedua tirosin tersembunyi. Sebaliknya gugus alanin pada
keadaan terakhir lebih mudah terjangkau sehingga terbentuklah
anti-alanin. Situasi susunan molekul antigen akan lebih jelas apa-
bila diamati pada bagian Gambar 4-6.

Gambar 4.6. Kopolimer A menimbulkan respons imun yang meng-


hasilkan antibody anti-tirosin, sedang kopolimer B menghasilkan
antibody anti – alanin

ii. Muatan listrik : Sejak jaman Landsteiner, muatan listrik diang-


gap merupakan faktor dominant dalam spesifitas respons imun,
walaupun suatu molekul antigen yang tidak bermuatan pun da-
pat bersifat imunpgenik seperti halnya dextran. Namun sebagai
ketentuan umum dapat dinyatakan bahwa gugus yang bermua-
tan dalam molekul antigen akan memberikan sumbangan yang
kuat dalam menentukan spesifisitas suatu antigen. Hal tersebut

142
Modul Imunologi

disebabkan oleh karena gugus bermuatan juga bersifat hidrofilik


sehingga pada gilirannya akan menentukan asesibilitas gugus ber-
sangkutan.
iii. Genetik : Selain tergantung pada struktur antigen, imunopotensi
suatu antigen tergantung pula pada latar belakang genetik dari in-
dividu bersangkutan. Makin banyak bukti-bukti yang mendukung
dugaan bahwa kemampuan untuk menghasilkan bermacam-
macam antibody terhadap suatu antigen tertentu oleh faktor ge-
netik. Salah satu bukti yang paling terdahuludikemukakan yaitu
dari hasil percobaan pada marmutyang berbeda latar belakang ge-
netiknya. Galur 2 dan galur 13 masing-masing melakukan respons
imun yang berbeda terhadap molekul insulin, karena masing-mas-
ing memuat anti-insulin yang spesifik terhadap gugus ujung yang
berbeda dari dat\ri molekul isulin.
2. Imunodominasi
Kalau imunopotensi merupakan suatu ungkapan kuantitatif terha-
dap kekuatan epitop, maka imunodominasi merupakan suatu ukuran
derajat pengaruh dari komponen epitop terhadap responsnya. Faktor-
faktor yang berperan dalam imunopotensi juga berperan dalam menen-
tukan imunodominasi. Untuk menjelaskan pengertian imunodominasi
diambil contoh respons imun terhadap antigen dengan rantai cabang
polialanin dan molekul BSA sebagai pengembannya. Seperti juga pada
percobaan pengukuran besarnya epitop, pada percobaan ini dilakukan
percobaan inhibisi terhadap reaksi presipitasi antara poli-alanil-BSA
dengan anti-polialanin. Di sini dipakai inhibitor molekul tertra-alanin
peptide yang mempunyai kekuatan inhibisi maksimum (100%). Untuk
mengetahui bagian mana dari molekul inhibitor yang paling menen-
tukan dalam ikatannya dengan antibody, maka dilakukan percobaan
dengan mengadakan penggantian salah satu gugus alanin pada mole-

143
Akmaa

kul tertepeptida tersebut dengan glisin. Ternyata makin dekat ujung


rantai inhibitor kekuatan inhbisinya makin menurun sehingga apabila
ujung rantainya diganti dengan glisin, inhibisinya menurun menjadi
40%. Dengan demikian pada antigen poli-alanil-BSA gugus alanin yang
terletak pada ujung rantai cabang mempunyai sumbangan yang pal-
ing besar dalam menentukan imunogenisitasnya. Bagian ujung rantai
cabang tersebut dinamakan gugus imunodominan. Untuk jelasnya da-
pat diamati Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Perubahan kekuatan inhibisi tetra-peptida pada reaksi
prespitasi anti-polialanin dengan polialanil-BSA apabila dilakukan sub-
stitusi 1 gugus alanin dengan glisin pada rantai cabangnya.
Inhibitor Kekuatan inhibisi (%)
NH2-Ala-Ala-Ala-Ala-CONH2 100

NH2-Ala-Ala-Ala-Gli-CONH2 95

NH2-Ala-Ala-Gli-Ala-CONH2 90

NH2-Ala-Gli-Ala-Ala-CONH2 70

NH2-Gli-Ala-Ala-Ala-CONH2 40

Faktor yang mempengaruhi imunodominasi yaitu :


i. Konformasi : Sifat imunodominasi lebih banyak dipengaruhi
oleh konformasi molekul antigen daripada oleh masing-mas-
ing sub unit penyusunnya. Sebagai contoh : sebuah polimer
dari tripeptida L-Tyrosyl-L-alanyl-L-glutamic acid dalam
keadaan faali membentuk molekul a helix, sedang masing-
masing tripeptida tersebut dapat digandengkan pada ujung
rantai-rantai cabang yang berbentuk poli-L-alanin pada rantai
utama poli-L-Lysine (Gambar 2-5). Antibody yang terbentuk
terhadap kedua bentuk polimer tersebut tidak bereaksi silang.

144
Modul Imunologi

Sedang unsur imunodominan dari polimer helix adalah ben-


tuk konformasinya sendiri.
ii. Asessibilitas : Spesifisitas epitop yang lebih ditentukan oleh
urutan subunit (asam amino atau glukosa) dalam epitopnya
sendiri daripada oleh struktur utama dari keseluruhhan an-
tigen dinamakan determinan sekuensial. Dalam keadaan
demikian, komponen determinan (epitop) tersebut dapat
bertindak masing-masing sebagai hapten sehingga dapat teri-
kat oleh antibody-nya. Determinan sekuensial tersebut dapat
merupakan sekuen terminal atau internal dari makromole-
kulnya, atau secara sengaja ditambah pada pengemban sep-
erti halnya tripeptida Tyr-Ala-Glu.
Apabila determinan antigenic merupakan sekuen ter-
minal maka gugus terminal (asam amino atau glukosa) selalu
merupakan sub unit imunodominan. Walaupun spesifisitas
antigenik ditujukan pada segmen internal dari sebuah antigen,
namun masih terdapat perbedaan gradual dari energi pengikat
untuk masing-masing sub-unit determinan tersebut. Misalnya
dextran yang memiliki sedikit rantai cabang menyebabkan
pembentukan antibody yang sebagian besar ditujukan kepada
urutan bagian dalam dari epitopnya. Dalam hal ini epitopnya
diketahui berbentuk sebagai hexasakharida yang mempunyai
kekuatan pengikat antibody yang berbeda-beda bagi masing-
masing glukosa yang membentuknya. Telah diketahui bahwa
glukosa pertama memberikan bagiannya sebesar 40%, sedang
2 glukosa pertama sebesar 60% dan 3 glukosa pertama sebe-
sar 90%. Tetapi apabila epitopnya berbentuk sebagai sekuen
terminal seperti – Try-Ala-Glu, maka kekuatan pengikatnya
berkurang dari bagian yang paling terendah.

145
Akmaa

iii. Konfigurasi optik : Antibody menunjukkan stereospesifitas se-


cara mencolok. Kalau polimer dari susunan asam amino yang
konfigurasinya D-optik tidak imunogenik atau sangat lemah,
maka susunan tersebut akan dapat menjadi determinan par-
tial atau lengkap apabila digandengkan dengan pengemban
yang bersifat imunogenik atau disisipkan dalam urutan asam
amino polipeptida buatan. Paling tidak pada situasi tertentu
asam amino D akan lebih dominant dari stereisomernya.
Dari uraian di atas dapat dirangkumkan bahwa terdapat antibody
yang memiliki spesifisitas yang ditujukan kepada bentuk konfrimasi
ataupun terhadap determinan sekuensial. Biasanya antibody akan be-
reaksi terhadap fragmen-fragmen kecil dari antigen dengan determinan
sekuensial, tetapi pada antigen bentuk konfirmasi apabila dipecah-pec-
ah akan memberikan aktivitas yang sangat lemah. Akibatnya antigen
yang berbentuk globuler yang biasanya susunannya teratur, sangat
sulit diungkapkan secara rinci, tetapi sebaiknya molekul yang berben-
tuk linier atau yang bergelung secara acak, akan memberikan informasi
yang lengkap tentang ukuran dan sifat epitopnya.

D. Antigen tergantung timus dan Tak Tergantung Timus atau


Tcell-independent antigen (TI antigen)
Jenis molekul tertentu dapat bersifat imunogenik tanpa melibat-
kan limfosit T. Jenis molekul imunogen tersebut dinamakan Antigen
Taktergantung Timus (Thymus independent antigen) sering disebut
juga dengan Tcell-independent antigen (TI antigen). Antigen tersebut
agaknya dapat memicu secara langsung limfosit B yang kemudian
menghasilkan antibody. Ciri khas molekul tersebut terdiri atas unit-
ubit yang berulang. Di alam antigen jenis ini diketemukan misalnya se-
bagai poliskharida pada beberapa bekteri serta sebagai bentuk polimer-

146
Modul Imunologi

isasi beberapa protein. Namun tidak semua molekul yang terdiri atas
unit yang berulang merupakan antigen tak tergantung timus, misalnya
polylysine merupakan antigen yang tergantung limfosit T untuk men-
imbulkan respons imun humoral.

Gambar 4.7. Pengenalan imunologis konjugat vaksin.

Konjugat vaksin terdiri dari serangkain kopi protein tunggal yang


secara kimiawi melekat pada kerangka polisakarida. Konjugat vaksin
berikatan dengan immunoglobulin membrane sel B (reseptor sel B)
yang mengenali antigen baik sebagai polisakarida maupun determinan
protein yang terdapat dalam vaksin. Komposisi struktur vaksin kon-
jugat seperti ini memungkinkan terjadinya reaksi silang Ig pada pol-

147
Akmaa

ysaccharide-specific B cell (reseptor sel B spesifik polisakarida). Reaksi


silang ini secara cepat menstimulasi aktifasi sel yang ditunjukkan den-
gan peningkatan ekspresi molekul kostimulan yaitu MHC kelas II seh-
ingga kerja APC menjadi efektif. Ketika konjugat vaksin difagositosis
oleh APC yang aktif, antigen protein berdosiasi dari polisakarida dan
kemudian di dalam diproses sebagaimana antigen protein yang tidak
terikat pada polisakarida.
Antibody yang dihasilkan oleh antigen tak tergantung timus se-
bagian besar adalah bentuk IgM dan biasanya tidak menyebabkan ter-
bentuknya memory imunologik dalam proses imunnya. Mekanisme
respons imun sesungguhnya dari antigen tak tergantung timus belum
begitu jelas. Analisis dari hasil-hasil penelitian pada akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa respons imun terhadap antigen tak-tergantung
timus masih juga membutuhkan bantuan sedikit limfosit T helper, seh-
ingga ada kecenderungan bahwa antigen tersebut dinamakan sebagai
‘thymus-efficient”, oleh karena secara efisiendapat memanfaatkan lim-
fosit T helper.

E. Imunogen alami (herbal) dan sintetik


Telah dibuktikan bahwa imunogen dapat berasal dari senyawa sin-
tetik maupun berasal dari bahan alam. Vaksin hasil rekayasa teknologi
dibidang kesehatan merupakan senyawa sintetik yang bersifat imuno-
gen yang disebut dengan imunogen sintetik. Sebaliknya kandungan
atau zat aktif dari herbal, hewan atau tanaman laut yang bersifat imu-
nogen disebut sebagai imunogen alami. Perbedaan utama imunogen
sintetik dibandingkan dengan imunogen alami adalah pada spesifisi-
tas dan presisi antigeniknya. Imunogen sintetik dapat dirancang sesuai
dengan kebutuhan, sedangkan imunogen alami sesuai yang didapat-
kan.

148
Modul Imunologi

Tabel. Beberapa imunogen herbal

Kandungan atau zat aktif tanaman banyak yang memiliki sifat se-
bagai imunogen. Kandungan ekinase, herba filanti, nigella sativa, tem-
ulawak dan umbi-umbian yang lain telah dibuktikan dapat meningkat-
kan aktifitas fagositosis makrofag, limfosit Th, CTL, limfosit B maupun
meningkatkan produksi antibody baik secara in vitro maupun in vivo.
Timokuinon biji jinten hitam terbukti meningkatkan aktifitas fagosito-
sis makrofag melalui aktifasi reseptor TLR. Kandungan polifenol dan
flavonoid dapat mempengaruhi aktifitas limfosit Th CD4, makrofag,
NK sel maupun sel dendritik.

149
Akmaa

Referensi

Abbas. A.K., Litchman, A.H., 2004. Basic Immunology: Function and


disorder and the immune system, Scond edition, Elsevier, Shang
hai
Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Bogdan, C., 2011. Regulation of lymphocytes by nitric oxide, Methods
Mol Biol. 677:375-93.
Colombo, M.P., and Trinchieri, G., 2002. Interleukin 12 in antitumor im-
munity and immunotherapy, Cytokine Growt Faktor Review. 13:
155 - 168
Couper, K.V., Blount, D.G., Riley, E.M., 2008. IL-10: The Master Regu-
lator of Immunity to infection, J Immunol. 180: 5771-5777
Curiel, T.J., 2007. Tregs and rethinking cancer immunotherapy, J. Clin.
Invest. 117(5): 1157-74
Dunn, G.P., Bruce, A.T., Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. Can-
cer immunoediting from immunosurveillance to tumor escape,
Nature immunology. 3(11): 991-8
Dunn, G.P., Old,L.J., Schreiber, R.D., 2004. The Immunobiology of Can-
cer Immunosurveillance and Immunoediting, Immunity. 21: 137–
148,
Dunn, G.P., Koebel, C.M., Schreiber, R.D., 2006. Interferons, immunity
and Cancer immunoediting, Nature Reviews Immunology. 6: 836-
48
Kresno, S.B., 2000, Imunologi : Dignosis dan Prosedur Laboratorium.

150
Modul Imunologi

Ed. Keempat. UI: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ja-


karta
Lin, W. and Karin, M., 2007. A cytokines-mediated link between innate
immunity, inflammation and cancer, J.Clin. Invest. 117(15):1175-83
Murphy, K.P., 2012. Janeway’s Immunobiology, Garland Science, New
York USA
Nelson, B.H., 2004. IL-2, Regulatory T Cells, and Tolerance, JI. 172:
3983–3988.
Parmiani, G. and Lotze, M.T., 2002, Tumor Immunology: molecularly
defined antigen and clinical application, Taylor and Francois, New
York USA
Parslow, T.G., Stites, D.P., Terr, A.I., Imboden, J.B., 2003. Med. Immu-
nol., tenth edition, Boston

151
Akmaa

Soal latihan:
Jelaskan dengan singkat beberapa istilah berikut ini!
1. Antigen
2. Antibody
3. Hapten
4. Imunogen
5. Tolerogen
6. Antigen endogen
7. Antigen eksogen
8. Antigen komplit
9. Antigen tak complete
10. Determinan imunogenik
11. Determinan haptenik
12. Konjugat
13. Antigen tergantung timus
14. Antigen tak tergantung timus
15. Imunodominasi

Berilah penjelasan secara singkat pertanyaan berikut:


1. Apa perbedaan dan persamaan Super antigen dengan antigen?
2. Sebutkan syarat – syarat suatu imunogen
3. Sebutkan ciri-ciri atau karakteristik dari suatu imunogen, antigen
dan tolerogen serta hapten
4. Sebutkan senyawa atau zat aktif yang merupakan imunogen herb-
al yang telah terbukti secara ilmiah
5. Apa perbedaan dan persamaan imunopotensiasi dengan imuno-
dominasi?

152
Modul Imunologi

~ BAB V ~
MEKANISME AKTIFASI RESPON IMUN

Tujuan :

Dapat menjelaskan perbedaan karakteristik system imun


alami dan system imun adaptif
Dapat menjelaskan komponen penyusun system imun alami
eksternal
Dapat menjelaskan komponen penyusun system imun alami
internal
Dapat menjelaskan komponen penyusun system imun
Dapat menjelaskan peran dan karakteristik struktur penyusun
system imun alamiah barier fisik, protein reaktif C dan inflamasi.
Dapat menjelaskan peran dan karakteristik struktur seluler
system imun alami
Dapat menjelaskan komponen penyusun system imun adapa-
tif.
Dapat menjelaskan komponen, peran dan karakteristik jarin-
gan limfoid

153
Akmaa

A. Pengantar
Bagaimana respon imun diaktifasi merupakan salah satu masalah
utama dalam kajian imunologi. Oleh karena itu salah satu kajian pokok
pada imunologi adalah membicarakan bagaimana mekanisme respon
imun, jenis molekul apa saja yang mampu mengaktifasi respon, zat apa
saja yang dapat menghambat respon imun dan bagiamana pengaturan
respon imun seluler atau respon imun humoral dan sebagainya. Mema-
hami bagaimana mekanisme respon imun diaktifkan merupakan aspek
penting dalam imunologi untuk mengembangkan jenis imunogen, baik
yang bersifat sebagai imunosupresan untuk mengatasi reaksi imunitas
yang berlebihan misalnya pada autoimun disease maupun imunostim-
ulan untuk meningkatkan respon imun pada kondisi defisiensi system
imun.
B. Tahapan Respon Imun
Secara umum system imun dibagi menjadi 2 yaitu system imun
alami atau primitive dan system imun adaptif. Gambar menjelaskan
pembagian system imunitas.

Gambar 5.1. Skema sistematika system imun

154
Modul Imunologi

Bagaimana mekanisme respon imun dibangkitkan merupakan


pengetahuan dibidang imunologi yang sangat penting. Salah satu me-
tode sederhana untuk menjelaskan mekanisme aktifasi respon imun
adalah dengan membagi system imun menjadi 3 bagian yaitu bagian
aferen yang berfungsi untuk menerima antigen sebagai stimulus, ba-
gian coordinator atau pengatur dan bagian eferen yang berfungsi se-
bagai efektor. Aktifasi respon imun diawali adanya rangsangan pada
bagian aferen system imun. Bagian aferen system imun yang terdiri
dari berbagai reseptor baik yang terdapat pada makrofag, sel dendritik
maupun sel B adalah bagian yang sensitive terhadap masuknya antigen
atau nonself ke dalam tubuh. Bagian coordinator atau pengatur adalah
kelompok sel limfosit Thelper (CD4Th) dibantu oleh sitokin pro dan an-
tiinflamasi. Bagian eferen system imun adalah kelompok sel fagosit dan
CTL ditambah antibody yang berperan sebagai efektor atau eksekutor.
Banyak factor yang terlibat dalam pengaturan respon imun. Aktifasi re-
spon imun pada sistem imun alami berbeda dengan respon imun pada
system imun adaptif. Respon imun antigen intraseluler berbeda dengan
respon imun antigen ekstraseluler.
Secara umum tahapan respon imun ada 3 tahap yaitu tahap in-
duksi, tahap multiplikasi dan tahap eksekusi. Tahap induksi atau tahap
kontak adalah tahap dimana tubuh mengenal/kontak dengan antigen.

Tabel 5.1. Tahapan dan mekanisme aktifasi respon imun

Tahapan induksi Amplifikasi / Eksekusi


respon regulasi
imun
Keterlibatan APC; limfosit APC; Thelper Antibody
Sel/molekul (+komplemen/sel
sitotoksik); limfosit
sitotoksik; makrofag

155
Akmaa

Mekanisme Pemprosesan- Pelepasan sitokin; Lisis yang diperantarai


presentasi penyebaran signal komplemen;
antigen; transduksi melalui opsonisasi dan
pengenalan molekul membrane fagositosis;
antigen oleh sel sitotoksisitas
reseptor spesifik
limfosit
Konsekuensi Aktifasi sel Proliferasi dan Eliminasi nonself;
limfosit T atau B diferensiasi limfosit netralisasi toksin atau
T atau B penghancuran virus
atau mikroorganisasi
lainnya

Tahap pengenalan terhadap antigen dilakukan oleh berbagai mole-


kul permukaan yang disebut dengan reseptor; maupun protein yang
larut pada cairan tubuh seperti system komplemen.
(ii) tahapan pengaturan atau multiplikasi oleh komponen penga-
tur seluler maupun humoral system imun. Komponen pengatur seluler
dilakukan oleh limfosit Thelper maupun Treg sedangkan pengatur hu-
moral dilakukan oleh sitokin dan system komplemen dan (iii) tahapan
eksekusi yang dilakukan oleh efektor system imun baik oleh antibody,
system komplemen maupun seluler (fagosit dan CTL).
Tahapan respon imun pada infeksi mengalami variasi. Respon
imun pada infeksi secara umum dibagi dalam 5 tahapan yaitu (1) Ke-
waspadaan terhadap infeksi. Merupakan tahapan paling awal dari re-
spon imun adalah ketika tubuh menyadari adanya pathogen (antigen)
penginfeksi melalui berbagai reseptor dan system kewaspadaan dini;
(2) Respon spontan system imun. Merupakan respon imun yang di-
lakukan oleh system imun alami, dengan melibatkan komponen seluler
maupun humoral; (3) Respon imun spesifik lanjutan terhadap patogen.
Jika pada tahap respon imun segera belum efektif dalam mengelimi-
nasi kuman, tahapan respon imun “delay” atau respon imun lambat
yang bersifat spesifik melibatkan komponen seluler dan humoral khu-

156
Modul Imunologi

sus untuk mengatasi kuman; (4) Tahap reduksi atau eliminasi pathogen
dan netralisasi toksin. Cara paling mudah untuk mengeliminasi kuman
adalah dengan membunuh kuman tetapi kadang kala hal ini sulit di-
lakukan oleh karena kuman menghasilkan toksin. Pada patogen yang
menghasilkan toksin, respon imun yang cocok adalah dengan netral-
isasi; (5) Tahap pemulihan.

2. Mekanisme Aktifasi Respon Imun


Mekanisme aktifasi respon imun alami lebih sederhana daripada
mekanisme aktifasi respon imun adaptif.
a. Mekanisme aktifasi respon imun alami

(1) seluler
Respon imun alami merupakan pertahanan lini pertama dan
berlangsung dengan cepat untuk mencegah kerusakan akibat
adanya antigen sehingga membutuhkan system detector antigen
yang selalu siap siaga akan adanya potensi bahaya. Respon imun
alami secara garis besar dibedakan menjadi 2 yaitu respon imun
alami seluler diperankan oleh fagosit dan respon imun alami hu-
moral yang diperankan oleh protein reaktif, sitokin dan system
komplemen.
(i). Kontak reseptor system imun alami dengan antigen/pathogen
Patern Recognition Receptor (PRR) dan Sistem kewaspadaan
terhadap bahaya. Komponen seluler system imun alami dilengka-
pi dengan sekelompok molekul yang berperan sebagai patern rec-
ognition receptor yang sekaligus sebagai detector adanya potensi
bahaya. Gambar menyajikan mekanisme aktifasi respon imun
adaptif oleh karena adanya pathogen.

157
Akmaa

Gambar 5.2. Mekanisme respon imun alami dengan paparan antigen


pathogen ekstrasel dan imunitas mukosal

Tubuh dilengkapi oleh Allah dengan system deteksi dini terhadap


bahaya atas adanya antigen “pathogen” bersifat destruktif. Sistem pen-
genal adanya bahaya benda asing terdapat pada berbagai komponen
system imun. Tabel 1 menunjukkan berbagai jenis reseptor pendeteksi
dini bahaya yang akan ditimbulkan oleh antigen. Reseptor-reseptor
tersebut tersebar diberbagai permukaan sel penyusun tubuh maupun
menyebar diseluruh bagian tubuh sebagai molekul terlarut.
Patern recognition receptor seluler terdapat diberbagai membrane
sel, monosit, neutrofil, makrofag dan sel NK berfungsi untuk mende-
teksi antigen tak terlarut. Termasuk dalam patern recognition receptor
seluler adalah TLR, scavenger receptor, reseptor aktifasi sel NK, resep-
tor γδ sel TCR dan NKT-semi invariant TCR.
Tabel 5.2. Reseptor dan system pengenal antigen system imun ala-

158
Modul Imunologi

mi (Patern recognition receptor)


Reseptor Penyebaran pd Molekul Distribusi
sel pathogen yg patogen
dikenal
Reseptor manosa Makrofag, Karbohidrat yang Berbagai bakteri
netrofil mengandung
manosa
(polisakarida)
Reseptor skafenjer makrofag Asam sialat Bakteri dan
jamur/kapang
TLR: TLR1-11 Makrofag LPS, RNA, glukosa, Bakteri, virus,
asam lemak, jamur, sel rusak/
mati
CD14 Makrofag , LPS komponen Bakteri gram
netrofil dinding sel negatif
Reseptor Makrofag LPS, lipofosfoglikan Bakteri dan
komplemen CR3, jamur
CR4

Patern recognition receptor terlarut dan system komplemen yang


berlaku sebagai reseptor system pertahanan alami yang selalu siaga un-
tuk mendeteksi potensi ancaman dari antigen yang masuk dalam tubuh.
Keberadaan antigen di dalam tubuh bisa di dalam sel (antigen intrasel)
maupun berada di luar sel yaitu berada di dalam cairan ekstra seluler.
Sistem imun humoral yang terdiri dari system komplemen, limfosit B
dan antibody peka terhadap antigen yang berada dalam cairan ekstra
seluler. Sedangan system imun seluler, yang diperankan oleh limfosit T
dan fagosit, lebih peka terhadap antigen yang berada di dalam sel.

Interaksi antigen dengan reseptor toll like receptor (TLR) makrofag


Reseptor toll-like receptor (TLR) yang dimiliki oleh makrofag da-
pat mendeteksi berbagai jenis molekul antigen yang masuk dalam tu-
buh sebagaimana dijabarkan pada Tabel 5.3.

159
Akmaa

Tabel 5.3 Jenis antigen yang mampu dideteksi oleh TLR


Toll like receptor Ligand
TLR1 Lipeptida bakteri
TLR2 Peptidoglikan, lipopeptida, zimosan (jamur)
TLR3 RNA double strand (virus)
TLR4 LPS (gram negative)
TLR5 Flagelin
TLR6 Lipopeptida, zimosan
TLR7 RNA single strand
TLR8 RNA single strand
TLR9 DNA unmetylated (bacterial)
TLR10 Molekul bakteri belum teridentifikasi

Gambar 5.3. Mekanisme aktifasi reseptor TLR oleh peptidoglikan dari


bakteri gram + dan gram- atau sel yang mati/rusak.
Reseptor TLR1, TLR 4, TLR9 dan TLR10 memiliki kemampuan
untuk mendeteksi antigen dari golongan bakteri baik gram negative

160
Modul Imunologi

maupun gram positif berdasarkan keberadaan senyawa lipopeptida,


lipopolisakarida dan molekul-molekul lain yang belum teridentifikasi
yang terdapat pada bakteri. Reseptor TLR3, TLR7 dan TLR8 memiliki
kemampuan adanya antigen dari golongan virus. Reseptor TLR2, TLR5
dan TLR6 peka terhadap keberadaan parasit dan jamur (yeast) dalam
tubuh.
ii. Internalisasi antigen (Endositosis) oleh fagosit.
Patogen dan sel mati dapat dibedakan dari sel sehat oleh resep-
tor PRR. Antigen yang terdeteksi oleh PRR kemudian dilakukan upaya
internalisasi (endositosis) agar dapat dihancurkan. Phagocytes mampu
membedakan antara mikroba dan sel mati dengan sel sehat sehingga
sel sehat tidak difagositosis. Phagocytes memiliki reseptor permukaan
yang dapat mengidentifikasi adanya glukosa (peptidoglikan) pd mik-
roba atau glukosa yang baru diekspresikan oleh sel mati atau sel rusak.
Glukosa-glukosa (peptidoglikan) ini tidak tidak muncul pada sel yang
sehat dan oleh karenanya sel inang tidak difagositosis. Fagosit yang
dilengkapi dengan PRR pada membrane selnya, di dalam sitoplasma
dan organelanya ternyata memiliki enzim proteolitik yang mampu
membunuh dan menguraikan mikroorganisme.

161
Akmaa

Gambar 5.4. Mekanisme fagosit mengenali pathogen, sel mati/sel


rusak dan self
Ada 3 mekanisme upaya internalisasi (endositosis) antigen oleh
fagosit, yaitu makropinositosis, endositosis difasilitasi reseptor dan
fagositosis. Gambar menyajikan 3 mekanisme internalisasi antigen oleh
fagosit.

Gambar. 5.5. Mekanisme makropinosiosis yang berakhir dengan


terbentuknya vesikel.

162
Modul Imunologi

Gambar. 5.6. Mekanisme fagositosis berakhir dengan terbentuknya


vesikel

Secara umum proses internalisasi dan penghancuran pathogen in-


trasel oleh fagosit disajikan pada Gambar 5.7.

163
Akmaa

Gambar 5.6. Mekanisme internalisasi antigen dan lisis antigen.


iii. Tahap eksekusi: Killing oleh Fagosit
Killing sebagai reaksi fagosit terhadap pathogen. Fagosit meru-
pakan komponen seluler yang berperan sebagai efektor pada respon
system imun. Fagositosis merupakan salah satu mekanisme killing ter-
hadap pathogen yang dilakukan oleh fagosit.
Makrofag dan aktifitas fagositosis sebagai suatu bentuk respon
imun. Empat tahapan reaksi makrofag terhadap pathogen yaitu: (1)
Perlekatan. Terjadi perlekatan antara fagosit dengan mikroorganisme
atau partikel antigen lainnya (sel mati, organela, potongan dari bagian
jaringan) yang akan difagositosis; (2) Ingesti atau penelanan. Mem-
brane fagosit membentuk pseudopodia yang menutup atau menyeli-
muti partikel asing kemudian partikel asing tersebut dimasukkan ke
dalam vacuole fagositik yang berada dalam sitoplasma fagosit; (3) Kill-

164
Modul Imunologi

ing atau pembunuhan. Partikel asing berupa mikroorganisme hidup


yang berada di dalam vakuola fagositik perlu dibunuh untuk kemu-
dian dihancurkan. baik dengan enzim yang bersifat lisis maupun oleh
senyawa radikal aktif yang bersifat toksik; (4) Degradasi. Partikel yang
difagositosis, apakah berupa sel yang mati, bakteri atau serpihan jar-
ingan, dihancurkan oleh system enzim atau radikal oksigen/nitrogen
reaktif yang terdapat di dalam vakuola fagositik.

Mekanisme aktifasi proses killing tergantung oksigen di dalam


vakuola fagosom
Setelah antigen berada dalam sitoplasma fagosit kemudian dilan-
jutkan proses lisis atau penghancuran antigen. Secara umum peng-
hancuran antigen yang sudah masuk kedalam sitoplasma fagosit ada
2 mekanisme yaitu (i) penghancuran tak tergantung oksigen dan (ii)
penghancuran tergantung oksigen. Mekanisme umum penghancuran
tergantung oksigen Di dalam fagosit terjadi pembentukan fagosom un-
tuk melingkupi antigen yang tertelan yang kemudian mengakibatkan

165
Akmaa

terjadinya peristiwa sbb: (i) aktifasi protein kinase C (PKC) yang secara
cepat (ii) mengakibatkan fosforilasi NADPH-dependent oxidases yang
terletak di membrane fagosom. NADPH-dependent oxidases meng-
katalisis (iii) konversi molekul oksigen (O2) menjadi superoxide anion
reaktif (O2­) (iv) suatu molekul yang sangat toksik bagi antigen yang
tertelan.

(2). Mekanisme aktifasi respon imun Humoral alami.

(i). Tahap induksi: Interaksi antigen dengan system komplemen


Komplemen merupakan salah satu respon alamiah humoral. Me-
kanisme aktifasi imunitas alamiah aktifasi melibatkan 3 jalur yaitu
aktifasi jalur klasik, alternative dan MBL. Jalur klasik peka terhadap
adanya bakteri ekstrasel yang mengandung lipopolisakarida sehingga
terbentuk komplek imun antigen-antibodi dengan difasilitasi oleh C1q.

Gambar 5.7. Mekanisme aktifasi respon imun oleh system komplemen

166
Modul Imunologi

Patogen ekstrasel yang terlarut pada cairan ekstraseluler akan di-


deteksi oleh system komplemen jalur klasik dengan terbentuk komplek
imun antigen-antibodi. Jalur alternative adalah hamper mirip dengan
jalur klasik hanya saja untuk jalur alternative tidak perlu terbentuk
komplek imun antigen-antibodi. Jalur MBL peka terhadap adanya kar-
bohidrat pada permukaan patogen.
(ii). Tahap multiplikasi & pengaturan aktifasi system komplemen
Kontak antigen dengan bagian reseptor komplemen menyebabkan
aktifasi C3 menjadi C3 konvertase yang merupakan protein aktifator
untuk komponen system komplemen berikutnya. Aktifasi komponen
system komplemen C5-C9 oleh protein khusus (C3 konvertase), dimana
berikutnya C5-C9 berperan sebagai proteolitik.
(iii) Tahap eksekusi respon imun komplemen.
Aktifasi system komplemen memberikan efek biologis antara lain
opsonisasi untuk membentu proses fagositosis, perusakan pathogen,
pembersihan komplek imun antigen-antibodi, menghasilkan peptide
untuk mediator inflamasi dan fagositosis, aktifasi limfosit T dan lim-
fosit B.

Gambar 5.8. Mekanisme opsonisasi

167
Akmaa

Makrofag dan beberapa fagosit dilengkapi dengan reseptor khu-


sus untuk sistem komplemen yang disebut dengan reseptor komple-
men antara lain CR3 (komplemen reseptor C3) dan CR4 (reseptor kom-
plemen 4). Aktifasi system komplemen akan memberikan efek antara
lain membantu proses fagositosis fagosit (makrofag) melalui proses
opsonisasi. Gambar menjelaskan reaksi komplemen terhadap pathogen
melalui opsonin memperantarai fagositosis oleh makrofag.
Opsonins adalah protein yang dapat berikatan dengan molekul di
permukaan mikroba disatu sisi dan disisi lainnya berikatan dengan re-
septor khusus pada fagosit yang disebut dengan CR3/CR4. Ikatan yang
terbentuk antara opsonin sebagai ligan dengan reseptor khusus pada
fagosit menyebabkan aktifasi proses fagositosis. Beberapa komponen
system komplemen mulai dari C5b s.d. C9 berperan sebagai efektor sys-
tem komplemen, memiliki kemampuan menguraikan mikroorganisme
atau bersifat litik.

(3). Inflamasi sebagai salah satu bentuk respon imun alami


Inflamasi sebagai salah satu bentuk respon imun memiliki peran
penting dalam system pertahanan. Inflamasi dapat berlaku sebagai
efektor dan regulator atau mediator respon imun. Inflamasi merupa-
kan efektor pada respon imun segera dan tak spesifik. Dikeluarkannya
mediator inflamasi dan sitokin proinflamasi oleh sel-sel darah segera
diikuti aktifitas fagositosis oleh fagosit makrofag, sel granulosit dan NK
sel sehingga antigen pathogen segera dieliminasi.
Dihasilkannya berbagai sitokin pada reaksi inflamasi, antara lain
IL-12, IL-2, IL-1, TNF dan IFN, reaksi inflamasi mengatur respon imun
spesifik sesuai karakteristik antigen penyebab.

168
Modul Imunologi

Gambar 5.9. Reaksi Inflamasi


Kejadian utama pada reaksi inflamasi
Empat kejadian utama pada reaksi inflamasi: (i) vasodilatasi. Va-
sodilatasi meningkatkan aliran darah ke daerah trauma, untuk me-
nyediakan komponen seluler dan factor mediator inflamasi; (ii) Akti-
fasi endotel yang diakhiri dengan peningkatan ekspresi molekul adesi
yang berakibat pada kuatnya ikatan sel darah dengan endotel sehingga
memudahkan terjadinya perpindahan sel lekosit darah keluar pembu-
luh dan terjadi migrasi; (iii) Peningkatan permeabilitas sehingga me-
mudahkan terjadinya ekstravasasi seluler dan protein plasma menuju

169
Akmaa

daerah luka dan (iv) Produksi faktor yang disebut Chemotactic factors
sehingga menarik komponen seluler darah .
Molekul adesi dan respon inflamasi
Molekul adesi sebagai salah satu molekul yang bertanggung jawab
terhadap peredaran atau distribusi serta perlekatan sel darah di seluruh
tubuh memiliki peran besar pada respon imun terutama pada inflamasi.
Ada 4 macam molekul adesi yang sering terlibat pada reaksi inflamasi
yaitu selektin, integrin, Ig superfamili dan mucin like molecule adres-
sin.

Gambar 5.10. Molekul adesi

170
Modul Imunologi

b. Mekanisme aktifasi respon imun adaptif

i. Kontak antigen dengan APC dan presentasi antigen kepada sel T atau
sel B
Sebagaimana pada respon alami, pada respon imun adaptif juga
ada 2 macam respon imun yaitu respon imun adaptif seluler dan hu-
moral. Respon imun adaptif seluler melibatkan sel T sedangkan respon
imun adaptif humoral melibatkan sel B.
Seperti telah disinggung sebelumnya, agar sel-sel imunokompe-
ten dapat mengenal antigen sehingga timbul respons imun, maka pada
permukaan sel B dan T dilengkapi dengan molekul reseptor. Reseptor
antigen pada permukaan limfosit terbentuk heterodimer dengan rantai
a dan b yang membantuk kompleks dengan molekul CD3, sedang pada
permukaan limfosit B terdapat sebagai molekul immunoglobulin.
Mekanisme aktifasi respon imun adaptif melibatkan reseptor sel
T (T cell receptor=TCR), reseptor sel B (B cell receptor=BCR), molekul
pembantu yang disebut ko reseptor misalnya CD4 atau CD8 dan Major
Histhocompatibility complex (MHC). Mekanisme aktifasi respon imun
terhadap pathogen ekstrasel seperti infeksi bakteri ektrasel dan patho-
gen intrasel seperti infeksi virus dan sel kanker berbeda. Aktifasi respon
imun untuk pathogen yang melibatkan APC, CD4, CTR, BCR dan CD8
ditunjukkan pada Gambar.

171
Akmaa

Gambar 5.11. Mekanisme aktifasi system imun adaptif terhadap patho-


gen bakteri atau virus..

Proses pengenalan terhadap antigen bakteri atau parasit, lim-


fosit B dapat melaksanakan sendiri tanpa bantuan sel lain, sebaliknya
limfosit T bersifat “buta” untuk mengenal langsung. Pada akhir-akhir
ini mekanisme pengenalan antigen oleh limfosit T lebih jelas diketahui.
Ternyata untuk proses pengenalan antigen tersebut diperlukan jenis
sel lain yang dinamakan sel pelengkap (accessory cell) yang berfungsi
untuk memproses secara kimia lebih dahulu antigen agar dapat disaji-
kan kepada limfosit T bersama-sama molekul MHC. Walaupun pros-
es pengenalan telah diketahui, para ahli imunolog dan biologi seluler

172
Modul Imunologi

tetap menyelidiki mekanisme penyajian antigen yang sesungguhnya


serta apa peran sebenarnya molekul MHC dalam penyajian antigen ke-
pada limfosit itu. Apabila diketahui seluk beluk mekanisme penyajian
tersebut akan diperoleh keuntugan di kemudian hari yang merupakan
harapan dapat dipakai untuk mengendalikan respons imun. Misalnya
untuk pembuatan vaksin ataupun pengobatan penyakit otoimun tanpa
menggunakan obat-obatan imunosupresif.
Telah dibuktikan bahwa limfosit T hanya akan menanggapi anti-
gen apabila disajikan oleh sel pelengkap. Sel pelengkap pertama yang
dikenal sebagai sel penyaji antigen (Antigen presenting cell = APC) ada-
lah sel makrofag. Berikutnya diketemukan sel dendritik dalam jaringan
limfoid, limfosit B sendiri, sel Langerhans di kulit dan lain-lainnya yang
juga dapat bertindak sebagai penyaji antigen untuk limfosit T. Rupa-
naya sel penyaji akan memproses antigen dahulu sebelum disajikan
sebagai suatu molekulyang dikenal oleh limfosit T. Cara pemrosesan
dan penyajian antigen “eksogen” tersebut pada umumnya menyebab-
kan aktivasi limfosit dari subpopulasi tertentu sehingga menyebabkan
proses yang membantu limfosit B dalam memproduksi antibody. Lim-
fosit T yang berperan dalam peristiwa ini yaitu T helper.
Tidak semua antigen yang dikenal oleh limfosit T berasal dari
luar sel penyaji. Antigen “endogen” diperoleh oleh sel penyaji sebagai
akibat infeksi virus dalam sel atau sel yang telah berubah menjadi ga-
nas. Sel-sel tersebut mengekspresikann antigen khas virus atau khas tu-
mor pada permukaannya . secara teoritik semua sel dalam tubuh inang
mempunyai kemampuan sebagai sel penyaji antigen “endogen” yang
khas tersebut terhadap limfosit T dari subpopulasi yang tergolong sel
sitotoksik. Sel sitotoksik (CTL) ini dapat menanggapi terhadap antigen
“endogen” dengan cara membunuh sel-sel yang menyajikannya.

173
Akmaa

Gambar 5.12. Mekanisme pengenalan antigen jaringan yang rusak


melalui sel dendritik sebagai APC

Sampai saat ini banyak para pakar menduga bahwa antigen “endo-
gen” yang disajikan sebelumnya tidap perlu diproses. Hal ini disebab-
kan oleh karena protein sebagai antigen “endogen” tersebut sebagai
bentuk ekspresi gena virus atau gena tumor. Mudah difahami bahwa
limfosit T sitotoksik dapat bereaksi langsung terhadap antigen utuh
hasil ekspresi gena yang berbeda dengan antigen “eksogen” untuk lim-
fosit T helper.
Dengan demikian, dalam system imun terdapat dua jalur terpisah
untuk menyampaikan antigen : satu jalur untuk amtigen eksogen dan

174
Modul Imunologi

jalur yang lain untuk antigen endogen. Protein bakteri yang diambil
oleh limfosit B dari sekitarnya kemudian diproses melalui T helper
yang selajutnya mempunyai dampak diproduksinya antibody spesifik.
Sebaliknya protein abnormal yang dibuat oleh sel inang mendorong ak-
tivitasi limfosit T sitotoksik untuk membunuh sel inang.
ii.MHC dan Pengenalan antigen oleh limfosit
Secara garis besar partikel antigen yang masuk ke dalam tubuh ada
dalam 2 kondisi yaitu (1) pathogen yang berada di dalam sel (intrase-
luler antigen) dan (2) pathogen yang berada di luar sel (ekstra sel anti-
gen). Antigen ekstrasel membangkitkan respon imun adaptif humoral
dengan actor utamanya sel B.

Gambar 5.13. Ringkasan respon imun adaptif, seluler dan humoral

175
Akmaa

Antigen intrasel membangkitkan respon imun adaptif seluler den-


gan actor utamanya sel limfosit T. Antigen intrasel dibedakan menjadi 2
yaitu antigen intrasel inta vakuola dan antigen intrasel dalam sitoplas-
ma. Infeksi virus dan sel kanker adalah contoh antigen intrasel dalam
sitoplasma. Presentasi antigen intasel dalam sitoplasma melibatkan
MHC kelas I. Presentasi antigen intrasel intravakuola melibatkan MHC
kelas II. Peptida antigan intrasel intravakuola yang disajikan oleh APC
dan dengan bantuan MHC kelas II akan disajikan kepada sel Th CD4.

Gambar 5.14. Mekanisme presentasi antigen intrasel melalui MHC


kelas I

Berbeda dengan respons imun alamiahyang tidak spesifik, respons


imun adaptif spesifik yang dimulai dengan proses pengenalan konfigu-
rasi asing yang dijumpai dan berakhir dengan pelenyapannya melalui

176
Modul Imunologi

cara-cara yang sangat rumit. Namun tentu saja hasil akhir dalam proses
perlawanan inang terhadap konfigurasi asing ini tergantung pada ber-
bagai hal seperti yang telah disinggung mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi imunogenesitas. Misalnya tergantung kepada substansi
tersebut, yaitu : ukuran, struktur, sifat kimia dan jumlahnya dan tergan-
tung kepada inang itu sendiri : umur, oknstitusi genetic, system imun.
Sebaliknya dari adanya respons imun, dapat pula inang tidak menun-
jukkan respons terhadap konfigurasi antigen oleh karena yang diha-
dapinya dikenalnya sebagai bukan asing. Kenalan ini yang dinamakan
toleransi imunologik. Contoh mekanisme aktifasi respon imun oleh an-
tigen virus dan bakteri tampak pada Gambar 5.15.

Gambar 5.15. Aktifasi respon imun oleh antigen virus (intrasel) dan
bakteri (ekstrasel) dengan bantuan MHC

177
Akmaa

Apabila antigen telah diproses oleh sel penyaji baik melalui jalur
antigen eksogen maupun melalui jalur antigen endogen, antigen terse-
but disajikan pada permukaan sel bersama dengan protein MHC yang
dibuat sendiri oleh masing-masing individu. Dari penelitian-
penelitian oleh Zinkernagel dan Doherty (1974) telah diduga bahwa
limfosit T tidak saja mampu mengenal antigen asing tetapi juga mole-
kul MHC yang terdapat pada permukaan sel inang yang dihadapinya.
Pada percobaan mereka (1974) Zinkernagel dan Doherty mendedahkan
limfosit T yang telah mengadakaan respons imun terhadap antigen
yang disajikan oleh sel terinfeksi virus bersama molekul MHC kelas I
tertentu, dengan antigen yang sama tetapi kali ini disajikan oleh sel ter-
infeksi virus dengan molekul MHC kelas I yang berbeda latar belakang
genetiknya. Mereka menemukan bahwa apabila molekul protein MHC
kelas I pada sel-sel yang terinfeksi virus itu berasal dari individu yang
berbeda dengan indicidu pertama, maka sel-sel yang terinfeksi terse-
but tidak akan dibunuh oleh sel-sel T tersebut. Para peneliti tersebut
menjelaskan hasil percobannya bahwa agar limfosit T dapat mengada-
kan respons imun haruslah mengenal 2 kesatuan antigen yaitu antigen
asing dan antigen diri (MHC) yang spesifik. Pernyataan ini didukung
oleh percobaan-percobaan lain sesudahnya sehingga ditetapkan seba-
gai persyaratan untuk mengenal antigen asing harus bersama antigen
diri MHC agar dapat membangkitkan respons imun. Pesyaratan ini di-
namakan sebagai “restriksi MHC”.

178
Modul Imunologi

Gambar 5.16. Sel dendritik dan aktifasi respon imun

Restrksi MHC untuk respons limfosit T ini menimbulkan teka-teki


baru. Apabila limfosit B diaktivasi melalui ikatan tunggal antara an-
tigen dan reseptor pada permukaan selnya, bagaimana pula susunan
molekul pada ikatan ganda antara “anak kunci” dan “kunci” pada lim-
fosit T ? Terhadap masalah ini diajukan dua teori. Teori yang satu men-
gusulkan bahwa limfosit T memiliki 2 reseptor yang terpisah, masing-
masing untuk antigen asing dan antigen MHC.
Teori kedua mengatakan bahwa reseptor pada limfosit T berben-
tuk reseptor tunggal yang secara spesifik mengenal kedua antigen asing
dan antigen MHC secara bersama. Walaupun bagi masing-masing te-
ori didukung oleh bukti-bukti percobaan, namun belakangan ini orang
lebih cenderung setuju kepada teori yang kedua. Teori reseptor tung-
gal tersebut manyarankan pula bahwa antigen yang diproses dan anti-
gen MHC harus merupakan suatu kesatuan kompleks yang harus cook
dengan reseptor pengenal tunggal dari limfosit T. Dengan demikian

179
Akmaa

molekul MHC pada mulanya bertindak sebagai reseptor primer untuk


antigen yang telah diproses yang selanjutnya sebagai kompleks mole-
kul baru akan berikatan secara tepat dengan reseptor sekunder pada
limfosit T agar terjadi respons imun.
Dari kesimpulan terakhir ini, telah diduga bahwa membangkitkan
suatu respons imun – artinya agar antigen dapat dilihat oleh limfosit
T – maka adanya kesesuaian antara molekul MHC yang berbeda bagi
setiap individu dengan antigen yang telah diproses oleh sel inang mer-
upakan tahap pertama yang sangat menentukan. Dugaan in didukung
oleh percobaan-percobaan dengan menggunakan berbagai antigen
yang dicobakan pada satu galur hewan coba. Bahkan Unanue dalam ta-
hun 1985 membuktikan bahwa pembentukan kompleks antigen MHC
memang berlangsung, dan sekaligus ditunjukkan bahwa antigen asing
yang dirproses sebagai epitop hanya merupakan sebagian dari seluruh
antigen dan ukurannya tidak sebesar molekul MHC.
Seperti diketahui limfosit T mengalami diferensiasi selama perkem-
bagannya dalam kelenjar timus. Pada saat itulah limfosit “dilatih” utuk
mengenal antigen hanya bersama dengan molekul MHC. Diduga pula
bahwa pada saat yang sama limfosit T yang berkaitan erat dengan mole-
kul MHC akan dilenyapkan atau dinonaktifkan okeh karena limfosit T
yang demikian akan membahayakan tubuh sendiri dikemudian hari.
Oleh Grey dkk (1989) ditunjukkan bahwa molekul MHC dapat
mengikat fragmen dari molekul antigen hanya sebesar 10-20 % saja.
Namun sekarang belum dapat dijawab masalah mendasar bagaimana
molekul MHC yang bertindak sebagai reseptor antigen yang begitu
banyak jumlahnya mangadakan ikatan.
Lepas dari masalah mendasar tersebut dan masalah-masalah lain
yang belum terjawab, pada umumnya dapat diterima bahwa molekul
MHC pada sel-sel penyaji bertindak sebagai reseptor primer antigen,

180
Modul Imunologi

bahkan ditunjang oleh gambar-gambar hasil analisis defraksi sinar


X dan computer yang dapat dilukiskan bagaimana hubungan antara
kedua molekul tersebut. Konsep ini memberikan perubahan pendeka-
tan dalam berbagai pengetrapan bidang kedokteran, yang kesemuanya
berdasarkan bagaimana caranya mengubah respons imun secara khas
pada seseorang. Misalnya dikehendaki agar tubuh dapat timbul re-
spons imun spesifik dalam vaksinasi, maka diusahakan menetapkan
fraksi-fraksi tertentu dari mikroorganisme yang dapat bertindak seba-
gai epitop yang berikatan dengan MHC agat dapat dilihat oleh limfos-
it T helper sebagai imunogen. Sebaliknya apabila justru dikehendaki
tidak adanya respons imun spesifik terhadap epitop tertentu, misalnya
pada pengobatan penyakit otoimun atau supresi reaksi penolakan ter-
hadap antigen cankok, maka haruslah dicari jalan bagaimana caranya
agar epitop yang berikatan dengan MHC tidak dapat dikenai oleh lim-
fosit T yang selanjutnya tidak terjadi respons imun? Usaha terakhir ini
untuk menghindari pemakaian obat-obatan imunosupresi yang ber-
dampak menekan system imun secara menyeluruh sehingga daya ta-
han umum menurun. Namun rupanya usaha untuk mencapai tujuan
tersebut masih memerlukan penelitian-penelitian yang mendasar dan
mendalam. Maka sementara itu dalam usaha membuat vaksin orang
menggunakan pendekatan lain.
iii. Perubahan-perubahan dalam sel imunokompeten
Apabila terjadi rangsangan imunogenetik, maka terjadilah ser-
entetan perubahan pada sel-sel imunokompeten baik limfosit T atau-
pun limfosit B. Di dalam respons imun spesifik ini paling sedikit mel-
ibatkan 3 jenis sel yaitu limfosit T, limfosit B dan sel makrofag yang
bertindak sebagai sel pelengkap (sel asesoris) baik sebagai APC mau-
pun sebagai efektor. Awal rentetan perubahan dimulai interaksi APC
dengan antigen dinamakan lengan aferen, sedang rentetan pada ujung

181
Akmaa

akhir diakhiri oleh aktifasi sel fagosit efektor dinamakan lengan eferen.
Perubahan-perubahan yang terjadi untuk limfosit T dan limfosit B pada
dasarnya tidak banyak perbedaan kecuali pada akhir proses.
Limfosit Th0 diaktifasi oleh APC (sel dendritik) yang menyajikan
peptide antigen dibantu oleh MHC kelas II. Limfosit CDTh yang aktif
kemudian berproliferasi dan berdiferensiasi kearah Th1 atau Th2 ter-
gantung lingkungan sitokin dan letak antigen yang mempengaruhinya.
Terjadi diferensiasi kearah Th1 apabila sitokin yang mempengaruhi
adalah IL-2, sitokin proinflamasi, sedangkan apabila yang mempen-
garuhi adalah sitokin IL-4 yang antiinflamasi CD4Th0 akan berkembang
kea rah Th2. Limfosit Th1 memfasilitasi respon imun seluler proinfla-
masi, biasanya untuk mengeliminasi antigen intraseluler. Sedangkan
perkembangan kearah Th2 memfasilitasi respon imun humoral dan
bersifat antiinflamasi, biasanya untuk mengeliminasi antigen ekstrasel.

Gambar 5.17. Mekanisme aktifasi sistem imun adaptif seluler maupun hu-
moral.

182
Modul Imunologi

Apabila limfosit imunokompeten mengenali konfigutasi antigen


sebagai asing oleh reseptornya masing-masing, mulailah perubahan-
perubahan dari sel yang semula pada tahap istirahat (Go) masuk ke
dalam tahap G1 dari siklus sel. Transformasi sel ini akan nampak dalam
ukurannya yang membesar sehingga sel dalam bentuk “blas”. Peruba-
han sel ini pada umumnya berlangsung dalam jaringan limfoid yang se-
lajutnya membelah diri. Pembelahan sel-sel tersebut termasuk ke dalam
awal lengan eferen yang selanjutnya mengalami diferensiasi menjadi
sel efektor dan sel memory. Sel memory adalah hasil pembelahan yang
tidak berdiferensiasi menjadi sel efektor. Apabila di kemudian hari
sel memory tersebut terdedah oleh konfigurasi (antigen) yang sama,
rentetan proses yang sama akan terulang lagi termasuk pembentukan
sel memory dan sel efektor. Rentetan proses perubahan yang baru per-
tama kali dinamakan respons imun primer dan berikutnya dinamakan
respons imun sekunder.
Apabila berlangsung respons imun humoral, maka limfosit B yang
berdiferensiasi menjadi sel efektor berubah menjadi plasmasit yang
akan menghasilkan antibody. Sedang berlangsung respons imun se-
luler, limfosit T akan menjadi sel dari jenis sitotoksik (CTL) atau jenis
subpopulasi T yang lain (Th).
iv. Respons imun adaptif humoral
Penyuntikan substansi asing dalam dosis tunggal ke dalam he-
wan yang imunokompeten, oleh adanya respoms imun humoral, akan
membangkitkan produksi antibody yang spesifik terhadap substansi
asing tersebut dalam serumnya setelah beberapa saat. Segera setelah
penyuntingan antigen tersebut merupakan periode laten atau periode
induksi oleh karena belum dapat ditunjukkan adanya antibody. Dalam
periode ini masih berlangsung perubahan-perubahan seluler seperti
yang dibahas di depan (pengenalan, transformasi sel, pembelahan dan

183
Akmaa

diferensisi).
Setelah berakhirnya periode laten, menyusul periode biosintesis
antibody yang dibedakan dalam 3 fase, yaitu :
1. Fase logaritmik, terjadi kenaikan kadar antibody secara logarit-
mik dalam tempo 4 – 10 hari dan berakhir pada puncak kadarnya.
Dalam fese ini, waktu yang diperlukan untuk melipatkan konsen-
trasi dua kali sekitar 5 – 8 jam. Hasil ini disebabkan oleh bertambah
banyaknya plasmasit sebagai hasil pembelahan berulang sel-sel B.
2. Fase datar, sesungguhnya kadar antibody yang terukur bukanlah
jumlah yang diproduksi seluruhnya, melainkan jumlah antibody
yang diproduksi plasmasit setelah dikurangi oleh antibody yang
telah bereaksi dengan antigen yang disuntikkan dan yang telah
mengalami katabolisme. Sehingga apabila telah terjadi keseim-
bangan antara yang diproduksi dan yang bereaksi pada saat yang
sama, maka tidak ada kenaikan kadar antibody lagi. Hal ini tercer-
min dalam kurva fase datar. Biasanya fase ini tidak berlangsung
lama.
3. Fase penurunan, terjadi apabila antibody yang mengalami katabo-
lisme dan yang bereaksi lebih banyak daripada yang diproduksi.

Dipandang dari kelas immunoglobulin, maka pada awalnya yang


muncul lebih dahulu adalah dari kelas IgM, barulah disusul oleh IgG
beberapa saat kemudian.
v. Respons imun adaptif seluler
Kalau pada respons imun humoral limfosit B akan terlibat sebagai
efektor setelah mengalami diferensiasi menjadi plasmasit yang meng-
hasilkan antibody, maka pada respons imun seluler limfosit T-lah yang
memegang peran sebagai sel efektor. Perbedaan lain yaitu dengan
adanya berbagai subpopulasi limfosit misalnya limfosit T sitotoksik

184
Modul Imunologi

dan limfosit T helper.


Fungsi efektor limfosit T sangat rumit dan sulit sehingga perlu di-
adakan klasifikasi. Sprent (1989) menyimpulkan bahwa bentuk fungsi
limfosit T dicerminkan dalam 2 kegiatan utama : (i) adanya kontak lang-
sung antar sel yang terlibat dan (ii) penglepasan mediator soluble. Setiap
jenis fungsi tersebut dapat berakibat positif ataupun negative. Untuk
fungsi seluler (a) limfosit T yang berfungsi melipatgandakan fungsi sel
lain – misalnya membantu sel-sel B – atau akibat negative dengan cara
merusak sel-sel melalui aktifitas sitotoksisitas (CTL). Sedang fungsi me-
diator (b) dari limfosit T yang berakibat negative karena sifat tosiknya
(misalnya limfotoksin) atau akibat positif dengan perantaraan limfokin
yang meningkatkan respons imun (misalnya IL - 2 ).
Kalau respons imun humoral terutama untuk menghadapi anti-
gen yang bersifat soluble, maka respons imun seluler khususnya untuk
menghadapi antigen yang terdapat pada permukaan sel. Misalnya re-
sponsimun seluler berlangsung terhadap sel tumor, parasit, jamur, sel,
inang yang terinfeksi virus atau mikroorganisme atau terhadap jarin-
gan cangkok yang berbeda latar belakang genetiknya.
Untuk memberikan gambaran mekanisme efektor pada respons
imun seluler, dapat dipakai proses penolakan jaringan cangkok seba-
gai model. Dalam tempo 2-3 hari setelah pencangkokan kulit, terjadilah
anastomosis pembuluh limfe dan darah dari jaringan cangkok dengan
jaringan inang. Dengan terbentuknya anastomosis tersebut, maka sel-
sel cangkok dapat mencapai jaringan limfoid sehingga dapat mem-
bangkitkan respons imun. Dalam hal ini terbentuknya anstomosis san-
gat menentukan terjadinya respons imun. Terbangkitnya respons imun
selanjutnya tergantung kepada kontak antara sel-sel cangkok yang
masih hidup (untuk cangkok kulit khususnya sel Langerhans) dengan
limfosit T inang. Apabila sel-sel cangkok mencapai jaringan limfoid,

185
Akmaa

maka limfosit T tersebut akan mengenali antigen pada permukaan sel


cangkok yang dikenal dengan nama molekul MHC, sebagai konfigurasi
asing. Pengenalan ini menyebabkan sensitisasi yang bermanifestasi se-
bagai rentetan perubahan sel sehingga berakhir dengan terbentuknya
efektor. Sel-sel efektor limfosit T selanjutnya meninggalkan jaringan
limfoid dengan melalui peredaran darah dapat mencapai jaringan
cangkok. Dalam jaringan cangkok sel-sel efektor menemukan antigen
penyebab sensitisasi sehingga terjadilah aktifitas sitotoksik pada jarin-
gan cangkok oleh sel-sel CTL disertai penglepasan berbagai jenis lim-
fokin. Akibatnya jaringan cangkok akan mengalami kerusakan yang
diikuti dengan berkumpulnya sel-sel makrofog sebagai sel pembersih
jaringan yang telah mati. Proses ini mencermikan penolakan jaringan
cangkok oleh inang yang dilihat sebagai asing.
Walaupun telah terjadi perdebatan sengit tentang arti pentingnya
kaitan hadirnya limfosit CD4+ dan limfosit CD8+ dalam penolakan jar-
ingan tersebut, namun pada pangkajian pada mencit, dapat ditunjukkan
bahwa kedua limfosit T tersebut mempunyai kepentingan yang sama.
Apabila jaringan cangkok dan inang hanya menunjukkan perbedaan
antigen MHC kelas II tanpa adanya perbedaan antara MHC kelas I,
maka penolakan jaringan semata-mata diatur oleh sel CD4+. Antigen
MHC adalah molekul protein yang terdapat pada permukaan sel. Ber-
dasarkan struktur dan distribusinya antigen MHC dibagi dalam 2 kelas,
yaitu kelas I dan II. Antigen kelas I terdapat pada permukaan semua sel
yang berinti, sedang antigen MHC kelas II terdapat pada beberapa jenis
sel, misalnya pada sel makrofag dan limfosit B. Mengenai MHC (major
histocompatibility complex) akan dibahas dalam Bab tersendiri.
Sebaliknya, apabila terdapat perbedaan antigen MHC kelas I,
maka sel CD8+-lah yang bertanggung jawab untuk penolakan jaringan
cangkok. Contoh yang mengulas penolakan jaringan cangkok kulit di

186
Modul Imunologi

atas tentu saja merupakan contoh yang tidak wajar dari fungsi efek-
tor limfosit T. Walaupun demikian berbagai mekanisme penolakan jar-
ingan tersebut banyak kesamannya dengan yang berlangsung dalam
proses menghadapi infeksi mikroorganisme. Misalnya dalam mekan-
isme menghancurkan sel inang yang terinfeksi virus ataupun dalam
proses hipersensitivitas tipe lambat untuk mambatasi pusat infeksi M.
tuberculosis. Dalam keadaan tersebut atau keadaan lainnya, limfosit T
setelah mengalami rangsangan di dalam jaringan limfoid, akan berdife-
rensiasi menjadi limfosit T efektor yang selanjutnya beredar dalam da-
rah untuk mencari epitop dalam tubuh yang mempunyai struktur yang
sama dengan epitop penyebab rangsangan tadi. Pertemuan dengan sel-
sel sasaran yang mempunyai struktur yang sama dengan epitop yang
dimaksud akan diikuti dengan penglepasan limfokin atau lisis sel yang
terinfeksi.
Aktivasi limfosit T
Perkembanagn system imun dimaksudkan untuk melengkapi or-
ganisme dengan suatu mekasnime yang bersifat dinamis dan lentur ter-
hadap berbagai ragam antigen. Agar terjadi suatu respons imun sete-
lah rangsangan antigen, tidak saja diperlukan pengenalan oleh limfosit
yang khas terhadap antigen tersebut, namun pengenalan ini harus ber-
lanjut sebagai suatu respons seluler. Walaupun limfosit B dan limfosit
T merupakan komponen sel yang harus menghadapi antigen secara
spesifik, namun aktivasi limfosit T yang sedang istirahat merupakan
peristiwa yang menentukan untuk sebagian besar dari respons imun,
oleh karena perbahan seluler tersebut memungkinkan sel bersangku-
tan untuk melangsungkan aktivitas pengaturan atau efektor. Sebagai
akibat adanya seleksi klonal, hanya sebagian limfosit T spesifik tertentu
saja yang diaktivasi oleh antigen bersangkutan. Hal ini mengakibatkan
adanya pemerakan klon dari limfosit T yang spesifik tadi dengan ke-

187
Akmaa

mampuan fungsional yang telah mapan.


Aktivasi limfosit T merupakan akibat dari interaksi ligan-reseptor
yang berlangsung antara permukaan limfosit T dan sel penyaji antigen
(APC). Interaksi ini akan mengawali peristiwa biokimia dalam sel T
yang memuncak dalam bentuk respons seluler. Walaupun telah jelas
bahwa sejumlah molekul permukaan sel yang berbeda-beda pada sel T
dan sel penyaji ikut perperan dalam interaksi antar sel selama penyaji-
an antigen yang rumit itu, namun untuk aktivasi limfosit T oleh antigen
paling sedikit harus malibatkan perangsangan reseptor antigen dari
sel T (TCR). Antigen yang terikat oleh molekul MHC merupakan ligan
untuk reseptor pada limfosit T.
Seringkali epitop dari antigen yang merupakan fragmen dalam
bentuk peptide disajikan bersama molekul MHC. Reseptor untuk anti-
gen pada sebagian besar limfosit T berupa sebagai rantai heterodimer
a / b (Ti / TCR) berikatan secara nonkovalen dengan 3 sampai 7 rantai
dari molekul CD 3 (Gambar 5.18).
Rangsangan oleh induksi antigen dapat dianggap sebagai pembe-
rian rangsangan primer dalam mengawali aktivitasi. Rangsangan pada
TCR saja tidak cukup untuk manginduksi terjadinya pembelahan sel
T dalam istirahat ikut berperan pula dalam aktivasi sel sebagai mole-
kul pelengkap dengan cara berikatan dengan molekul mitranya pada
sel penyaji atau sel sasaran. Molekul-molekul pelengkap ini ada yang
bertindak sebagai reseptor untuk molekul permukaan sel penyaji atau
sebagai reseptor untuk molekul protein yang dihasilkan oleh sel pen-
yaji. Molekul pelengkap tersebut akan berperan dalam proses aktivasi
: (i) Sebagai molekul perekat agar memperkuat interaksi antara sel T
dan sel penyaji; (ii) Sebagai transduser sinyal transmembran yang di-
terima oleh reseptor antigen (Ti / TCR). Dan (iii) Untuk mengawali
sinyal transmembran mereka sendiri yang berbeda dengan sinyal yang

188
Modul Imunologi

melalui TCR.

Gambar 5.18. Bagan interaksi ligan – reseptor selama interaksi lim-


fosit T dan sel penyaji.

Dalam kondisi khusus, ligan tertentu dapat bertindak sebagai


rangsangan primer dengan cara berikatan dengan beberapa molekul
pelengkap tadi. Maka mekanisme tanpa melibatkan TCR tersebut di-
namakan sebagai jalur alternatif dari aktivasi limfosit T. Interaksi anta-
ra TCR dengan ligannya (Antigen + MHC) mengawali aktivasi seluler
dengan cara menginduksi sinyal transmembran. Transduksi sinyal
semacam itu bermanifestasi dalam bentuk mediator intraseluler yang
dinamakan “second messenger” yang berfungsi untuk memulai akti-
vasi sel. Selama proses aktivasi terjadi proses yang berlangsung

189
Akmaa

pada periode sangat dini (beberapa menit atau jam) dan yang berlang-
sung dalam periode beberapa hari setelah rangsangan. Pada periode
dini berlangsung transduksi sinyal melalui TCR baik secara langsung
atua tidak langsung, sedang periode berikutnya berbentuk misalnya
sebagai pembelahan sel, yang pada umumnya sebagai hasil dari ser-
entetan aktivasi gena yang sangat kompleks. Dengan demikian aktivasi
seluler dari limfosit T istirahat berakhir dalam berbagai bentuk mani-
festasi termasuk ekspresi molekul permukaan yang baru, sekresi lim-
fokin, pembelahan sel dan diferensiasi sel menjadi sel efektor.
Peristiwa biokimiawi pada sel T teraktivasi
Pengkajian peristiwa biokimiawi dalam sel yang berlangsung sela-
ma aktivasi sel T telah mengungkapkan bahwa setelah adanya interaksi
antara kompleks antigen – MHC pada sel penyaji dengan kompleks
CD3-TCR pada limfosit T, terbangkitlah aktivitas inositol pada mem-
bran sel T menjadi inositol trifosfat dan senyawa diasilgliserol dalam
sitoplasma. Inositol trifosfat akan meningkatkan ion Ca++ dalam sito-
plasma sedang diasigliserol akan mengaktifkan enzim kinase protein
C. Keduanya merupakan dua sinyal untuk aktivasi sel T. Namun kedua
sinyal itu belum cukup untuk mengaktivasi sel, oleh karena masih ada
sinyal ketiga yang diawali oleh IL-1 yang dilepaskan oleh sel penyaji.
Aktivasi sel T dapat diamati dengan adanya sekresi IL-2 dan ekspresi
reseptor untuk IL-2.
Persyaratan untuk aktivasi limfosit T
Dalam kondisi yang sesuai, nampaknya beberapa molekul permu-
kaan sel tertentu mampu berfungsi dalam peranan primer dalam men-
gawali aktivasi limfosit T. Ligan-ligan yang mengikat molekul-molekul
TCR, CD2, dan CD28 kesemuanya dapat membangkitkan sinyal yang
sama dalam mangaktivasi limfosit T. Seperti telah disinggung didepan,
bahwa aktivasi limfosit T melalui ligan yang tidak melibatkan TCR di-

190
Modul Imunologi

namakan aktivasi limfosit T jalur alternative.


Di samping itu telah diidentifikasi kelompok molekul lain yang
apabila dirangsang dapat menggantikan fungsi sel pelengkap atau sel
penyaji (APC). Kelompok molekul pelengkap yang diketemukan terse-
but yaitu : CD2, CD5, CD28, dan reseptor IL-1. Juga terdapat kelompok
molekul permukaan lain pada limposit T yaitu : CD4, CD8 dan LFA-1
yang diduga keras berperan dengan cara mengubah aviditas reaksi in-
terseluler pada saat interaksi antara sel T-sel penyaji. Molekul
TCR mempunyai dua fungsi dalam aktivasi limfosit T yaitu (i) mengi-
kat antigen bersama molekul MHC yang ada pada permukaan sel pen-
yaji, dan (ii) peristiwa ikatan tersebut harus berlanjut sebagai peruba-
han sinyal sehingga terbentuk “second messenger” dalam sitoplasma
sel T.
Syarat untuk aktivasi sel T melalui kompleks TCR harus dipas-
tikan berdasarkan parameter aktivasi yang diamati serta populasi sel
T yang dimaksud. Misalnya ekspresi reseptor Il-2 sebagai ungkapan
aktivasi sel T dapat dibangkitkan tanpa adanya proliferasi oleh anti-
body anti TCR. Sedang produksi IL-2 oleh limfosit T lebih ketat diatur
daripada ekspresi reseptor IL-2, lagipula masih memerlukan rangsan-
gan lain di sasmping anti TCR. Oleh karena itu respons pembelahan
sel agaknya lebih dibatasi oleh IL-2 dari pada ekspresi reseptor IL-2,
sehingga pembelahan limfosit T dapat tidak disertai oleh produksi IL-2.
Produksi IL-2 atau pembelahan sel merupakan respons dari limfosit T
istirahat apabila dirnagsang oleh antigen, yang masing-masing tergan-
tung kepada fungsi yang dilaksanakan oleh sel penyaji. Mengenai sel
penyaji telah diungkapkan bahwa sel tersebut mempunyai dua fungsi
: pertama : mengkonsentrasikan antigen pada TCR dan kedua : meng-
hasilkan mediator soluble yang dinamakan interleukin 1 (IL-1).

191
Akmaa

E. Sitokin antara fungsi pengaturan dan efektor pada respon


imun
Sebagai produk sel imun yang aktif akibat interaksi dengan anti-
gen, sitokin memiliki banyak peran pada respon imun. Tabel menyaji-
kan peran sitokin pada respon imun. Sebagai efektor sitokin bersifat
menghambat perkembangan virus atau lisis terhadap dinding mikroor-
ganisme sebagaimana ditunjukkan oleh IFNa dan b, TNF dan IFN-g
memiliki peran berbeda dengan IFN a & b, yaitu sebagai regulator re-
spon imun.

Tabel Jenis sitokin pada respon imun adaptif

192
Modul Imunologi

Referensi

Abbas. A.K., Litchman, A.H., 2004. Basic Immunology: Function and


disorder and the immune system, Scond edition, Elsevier, Shang
hai
Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Bogdan, C., 2011. Regulation of lymphocytes by nitric oxide, Methods
Mol Biol. 677:375-93.
Colombo, M.P., and Trinchieri, G., 2002. Interleukin 12 in antitumor im-
munity and immunotherapy, Cytokine Growt Faktor Review. 13:
155 - 168
Couper, K.V., Blount, D.G., Riley, E.M., 2008. IL-10: The Master Regu-
lator of Immunity to infection, J Immunol. 180: 5771-5777
Curiel, T.J., 2007. Tregs and rethinking cancer immunotherapy, J. Clin.
Invest. 117(5): 1157-74
Dunn, G.P., Bruce, A.T., Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. Can-
cer immunoediting from immunosurveillance to tumor escape,
Nature immunology. 3(11): 991-8
Dunn, G.P., Old,L.J., Schreiber, R.D., 2004. The Immunobiology of Can-
cer Immunosurveillance and Immunoediting, Immunity. 21: 137–
148,
Dunn, G.P., Koebel, C.M., Schreiber, R.D., 2006. Interferons, immunity
and Cancer immunoediting, Nature Reviews Immunology. 6: 836-
48
Kresno, S.B., 2000, Imunologi : Dignosis dan Prosedur Laboratorium.
Ed. Keempat. UI: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ja-

193
Akmaa

karta
Lin, W. and Karin, M., 2007. A cytokines-mediated link between innate
immunity, inflammation and cancer, J.Clin. Invest. 117(15):1175-83
Murphy, K.P., 2012. Janeway’s Immunobiology, Garland Science, New
York USA
Nelson, B.H., 2004. IL-2, Regulatory T Cells, and Tolerance, JI. 172:
3983–3988.
Parmiani, G. and Lotze, M.T., 2002, Tumor Immunology: molecularly
defined antigen and clinical application, Taylor and Francois, New
York USA
Parslow, T.G., Stites, D.P., Terr, A.I., Imboden, J.B., 2003. Med. Immu-
nol., tenth edition, Boston

Soal-soal latihan Bab V:


Jelaskan dengan singkat istilah atau symbol-simbol berikut:

1. CD4
2. CD4CD25
3. CD8
4. CD10
5. MHC kelas II
6. MHC kelas I
7. TGF-b
8. IFN-a
9. TNF-a
10. NfKb
11. Growt factor
12. GMCSF
13. Molekul adesi

194
Modul Imunologi

14. Sel plasma


15. Sig

Pilihan Ganda

1. Which of the following is a primary lymphoid organ?


a. Lymph node
b. Spleen
c. Thymus
d. MALT
2. What type of cells would be found in a primary follicle?
a. Unstimulated B cells
b. Germinal centers
c. Plasma cells
d. Memory cells
3. Which of the following is true of NK cells?
a. They rely on memory for antigen recognition.
b. They share antigens with B cells.
c. They are found mainly in lymph nodes.
d. They recognize a lack of MHC proteins.
4. Where are all undifferentiated lymphocytes made?
a. Bone marrow
b. Thymus
c. Spleen
d. Lymph nodes
5. In the thymus, positive selection of immature T cells is
based upon recognition of which of the following?
a. Self-antigens
b. Stress proteins

195
Akmaa

c. MHC antigens
d. μ chains
6. Which of these are found on a mature B cell?
a. IgG and IgD
b. IgM and IgD
c. Alpha and beta chains
d. CD3
7. Which receptor on T cells is responsible for rosetting
with sheep red blood cells?
a. CD2
b. CD3
c. CD4
d. CD8
8. Which of the following can be attributed to antigenstimulated T
cells?
a. Humoral response
b. Plasma cells
c. Cytokines
d. Antibody
9. Which is a distinguishing feature of a pre-B cell?
a. μ chains in the cytoplasm
b. Complete IgM on the surface
c. Presence of CD21 antigen
d. Presence of CD25 antigen
10. When does genetic rearrangement for coding of light
chains take place?
a. Before the pre-B cell stage
b. As the cell becomes an immature B cell
c. Not until the cell becomes a mature B cell
d. When the B cell becomes a plasma cell

196
Modul Imunologi

11. Which of the following antigens are found on the


T cell subset known as helper/inducers?
a. CD3
b CD4
c. CD8
d. CD11
12. Where does the major portion of antibody production
occur?
a. Peripheral blood
b. Bone marrow
c. Thymus
d. Lymph nodes
13. Which of the following would represent a doublenegative
thymocyte?
a. CD2–CD3_CD4–CD8_
b. CD2_CD3–CD4–CD8–
c. CD2–CD3_CD4_CD8–
d. CD2_CD3_CD4_CD8–
14. Which of the following best describes the T-cell receptor
for antigen?
a. It consists of IgM and IgD molecules.
b. It is the same for all T cells.
c. It is present in the double-negative stage.
d. Alpha and beta chains are unique for each antigen.

197
Akmaa

198
Modul Imunologi

~ BAB VI ~
SITOKIN DAN FAKTOR PERTUMBUHAN

Tujuan :

Dapat menjelaskan pengertian dari beberapa istilah yang ber-


hubungan dengan sitokin dan karakteristik umum sitokin.
Dapat menjelaskan mekanisme aktifasi signaling intraseluler aki-
bat aktifasi reseptor sitokin
Dapat menjelaskan jenis reseptor sitokin dan sitokin yang meru-
pakan ligannya
Dapat menjelaskan karakteristik, aktifitas biologis dan mekanisme
aksi monokin, limfokin dan semokin serta factor pertumbuhan
Dapat menjelaskan fungsi umum dan khusus sitokin dalam pe-
nyelenggaraan respon imun
Dapat menjelaskan manfaat sitokin dalam klinis
Dapat memberikan contoh produk biosimilar
Dapat menjelaskan imunomodulator herbal dan sitokin yang
dipengaruhi

199
Akmaa

A. PENDAHULUAN
Istilah sitokin digunakan untuk menggambarkan sejumlah be-
sar kelompok protein yang semula dikenal banyak dihasilkan oleh
sel-sel penyusun system imun. Sitokin semula didefinisikan sebagai
mediator yang dihasilkan oleh sel dalam reaksi radang atau imunologik
yang berfungsi sebagai isyarat antara sel-sel untuk mengatur respons
setempat dan kadang-kadang juga secara sistemik. Sitokin tersebut
mempengaruhi peradangan dan imunitas melalui pengaturan perum-
buhan, mobilitas dan diferensiasi lekosit dan sel-sel jenis lain. Sitokin
saat ini banyak dimanfaatkan dalam klinik. Sebagai biological respon
modifiers sitokin ditambahkan pada terapi standart untuk berbagai
penyakit.
Berdasarkan jenis sel penghasil utamanya atau sel utama yang
terlibat, sitokin dibedakan menjadi monokin, interleukin, semokin dan
limfokin. Monokin adalah sitokin dengan monosit sebagai penghasil
utamanya. Limfokin adalah sitokin dengan limfosit sebagai penghasil
utamanya. Interleukin adalah sitokin yang perannya sebagai mediator
antar leukosit. Semokin adalah sitokin sederhana yang berperan pada
gerakan kemotaksis lekosit.
Secara umum sitokin memiliki peran daam komunikasi antar sel.
Penyebaran signal sitokin bersifat fleksibel dan dapat menginduksi
baik untuk efek pencegahan maupun untuk pacuan. Satu sitokin dapat
mempengaruhi pembentukan sitokin yang lain. Aktifasi melalui resep-
tornya, efek biologis yang ditimbulkan oleh sitokin dapat bersifat sin-
ergis, addiktif atau antagonis. Sitokin tidak disimpan sebagai preform
protein, begitu disekresi oleh sel produsennya, sitokin sudah dalam
bentuk jadi dan siap bekerja.
Sitokin berbeda dengan hormone. Hormone mempunyai sel sasa-
ran dengan jangkauan yang dapat dicapai melalui peredaran darah,

200
Modul Imunologi

target kerjanya jauh. Jangkauan mediator sitokin terdapat di sekitar sel


penghasilnya saja (parakrin) meskipun sebagian sitokin juga memiliki
target kerja jauh dari sel produsen. Mekanisme kerjanya seperti neuro-
transmitter pada system saraf, namun dalam penyiapannya mempun-
yai perbedaan. Kalau neurotransmitter sebelum dilepaskan bahannya
sudah siap, maka sitokin dibuat secara de novo setelah sel penghasilnya
mendapatkan rangsangan.
Sifat Umum Sitokin
Berdasarkan sel target yang dipengaruhinya maka sitokin dapat
digolongkan menjadi autokrin dan parakrin atau endokrin. Autokrin
adalah sitokin yang bekerja untuk diri sel yang menghasilkannya. Par-
akrin adalah sitokin yang bekerja untuk sel di sekitar sel yang meng-
hasilkannya. Endokrin adalah sitokin yang bekerja pada sel yang jauh
dari sel penghasil sitokin.
Beberapa sifat umum dan penting dari sitokin antara lain:
1. Masa kerja sitokin singkat, biasanya hanya dalam hitungan menit
ke jam. Sitokin berbeda dengan hormone yang memiliki masa kerja
bisa beberapa jam.
2. Sitokin bersifat pleotropik. Satu sel imun dapat menghasilkan
beberapa sitokin yang dapat bekerja pada beberapa sel atau satu
sitokin memiliki efek biologis yang beragam pada berbagai sel tar-
get.

201
Akmaa

Gambar 6.1. Perbedaan sitokin sebagai autokrin, parakrin dan endikrin

3. Sitokin bersifat redundansi. Satu sel imun dapat menghasilkan be-


berapa sitokin yang memiliki efek yang saling menguatkan pada
satu reseptor atau redundancy pada sel target yang sama.

202
Modul Imunologi

Gambar 6.2. Sifat sitokin pleiotropik

4. Satu sitokin dapat bersifat antagonis atau sinergis dengan sitokin


yang lain. Satu sitokin dengan sitokin yang lain dapat memiliki efek
saling berlawanan atau antagonis atau sebaliknya yaitu memiliki
efek yang selaras atau sinergis. Sitokin TNF-α bersinergi dengan
IL-1, IFN-γ, IL-2 dan IL-12 dalam penyelenggaraan respon imun
seluler dan proinflamasi. Sitokin IL-4 bersama IL-5, IL-10 dan IL-
13 yang berperan dalam penyelenggaraan respon imun humoral
antiinflamasi berantagonis dengan IFN-γ dan kawan-kawan.

203
Akmaa

Gambar 6.3. Mekanisme redundansi, antagonis dan sinergis sitokin

5. Sitokin bekerja pada sel target melalui reseptornya yang spesifik.


Reseptor sitokin dalam bentuk heterodimer. Aktifasi sel target
dimulai dari pertemuan antara sitokin (sebagai ligan) dengan re-
septornya yang diikuti dengan terjadinya fosforilasi reseptor dan
aktifasi family tirosin kinase (JAK kinase). Jalur signaling dilanjut-
kan dengan aktifasi STAT dengan adanya fosforilasi tirosin STAT
oleh JAK kinase aktif. STAT yang telah aktif kemudian melakukan
dimerisasi dan translokasi ke nucleus untuk mengaktifkan transk-
ripsi gen target sehingga dihasilkan mRNA dan berlanjut dengan
produk protein baru. Pengaruh sitokim pada sel target bersifat

204
Modul Imunologi

tidak spontan tetapi membutuhkan waktu (dalam hitungan jam)


oleh karena membutuhkan persiapan untuk pembentukan protein.
Aktifasi sel target oleh sitokian dapat berlanjut terhadap be-
berapa sel berikutnya melalui serangkaian produksi sitokin den-
gan efek biologis serupa melalui kaskade induksi respon imun. Sel
Th teraktifasi menghasilkan IFN-γ. IFN-γ mengaktifkan makrofa,
kemudian makrofag aktif menghasilkan IL-2 dan IL-2 yang di-
hasilkan makrofag kemudian mengaktifkan sel Th yang lain yang
kemudian dihasilkan beberapa sitokin pronflamasi.

Gambar. 6.4. Mekanisme aktifasi sel target oleh sitokin dan rangka-
ian aktifasi beberapa sel melalui kaskade signaling yang melibatkan
beberapa sitokin yang saling sinergis

205
Akmaa

Aktifitas Biologis Sitokin


Gambaran peran kunci dan mekanisme kerja sitokin dalam mem-
bantu penyelenggaraan respon imun alami dan adaptif ditunjukkan
pada Gambar. Sitokin menjadi mediator gotong royong penyelengga-
raan respon imun terhadap patogen. Sitokin dalam membantu peneye-
lenggaraan respon imun terlibat mulai dari reaksi inflamasi, hemat-
opoiesis maupun menghantarkan terjadinya respon imun adaptif.
Makrofag sebagai APC dapat menyajikan antigen kepada sel Th se-
hingga Th aktif dan terselenggara respon imun adaptif. Tetapi makrof-
ag yang aktif oleh karena kontak dengan antigen juga dapat membang-
kitkan inflamasi sebagai respon akut. Simultan dengan kedua aktifasi
tersebut, melalui sitokin yang dihasilkan, makrofag bersama dengan sel
Th yang telah aktif juga memacu proses hematopoiesis sehingga akti-
fitas sumsum tulang meningkat dan terjadi peningkatan cadangan sel
darah yang siap untuk digerakkan untuk menyelenggarakan respon
imun anti patogen.

206
Modul Imunologi

Gambar 6.5. Peran dan mekanisme sitokin dalam membantu pe-


nyelenggaraan respon imun.

Limfosit Th yang aktif kemudian meningkatkan reaksi yang sudah


diaktifkan oleh makrofag dan secara bersama-sama dengan makrofag
menyelenggarakan respon imun adaptif sesuai pathogen.
Klasifikasi sitokin
Berdasarkan sifat atau jenis reseptornya sitokin dapat dikelom-
pokkan menjadi 3 kelompok. Secara garis besar reseptor sitokin dapat
dikelompokkan menjadi 3 yaitu reseptor sitokin tipe 1, tipe 2 dan resep-
tor kemokin.
a. Famili IL-2R atau sering disebut sebagai reseptor sitokin
Type 1 adalah family reseptor sitokin terbesar. Famili re-
septor sitokin ini dibagi lagi menjadi 3 sub family berdasar
komponen umum penyusunnya yaitu IL2Rγ, common β,
dan gp130 (Gambar). Reseptor sitokin kelompok ini tidak
atau sedikit aktifitas intrinsic protein tirosin kinase. Ligand
(sitokine) berikatan dengan reseptor agar terjadi dimer-
isasi reseptor dan inisiasi signaling intraseluler.

207
Akmaa

Gambar 6.6. Sitokin dan reseptornya

Kelompok sitokin yang bekerja pada reseptor sitokin family 1 ada-


lah IL2, IL-15, IL-6, IL-11, IL-5, IL-3 dan GMCSF.
b) Reseptor sitokin Type 2 atau sering disebut juga dengan fam-
ily IFNR dicirikan dengan sub unit sistein sebagai domain
ekstrasel. Domain ekstrasel juga dilengkapi bangunan seperti
Ig khusus untuk family reseptor sitokin. Reseptor kelompok
ini memilik aktifitas tirosin kinase intrisik. Sitokin yang berpa-
sangan dengan reseptor ini antara lain IFN-α, IFN-β dan IL-10.
c) Reseptor kemokin memiliki 7 transmembran bagian yang
terangkai dengan GTP-binding proteins. Reseptor ini ban-
yak diekspresikan oleh lekosit dan diberi nama sesuai den-
gan kelompok kemokin yang merupakan ligannya. Ada dua
macam receptor kemokin CCR (reseptor untuk kemokin CC )
dengan ligannya adalah kemokin CC dan reseptor kemokin
CXCR berikatan dengan kemokin CXC sebagai ligannya.
Berdasarkan motif struktur sitokin, maka sitokin dapat
dibedakan menjadi sitokin rantai pendek 4 α-helix, rantai panjang

208
Modul Imunologi

4α-helix, kemokin CC, kemokin CXC, cystein knot, β-trefoil, β jelly


roll, sebagaimana disajikan pada Tabel.
Tabel Jenis sitokin berdasarkan bentuk molekul dan motif molekul.

Sitokin juga dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi dan sel


yang memproduksinya. Berdasarkan fungsinya sitokin dapat dibeda-
kan menjadi:
a) Sitokin sebagai mediators respon imun alami. Beberapa sitokin
berperan sebagai mediator dalam penyelenggaraan respon imun
alami. Sitokin-sitokin yang berperan pada penyelenggaraan respon

209
Akmaa

alami adalah: TNF-α, IL-1, IL-10, IL-12, type I interferons (IFN-α


and IFN-β), IFN-γ, dan kemokines.
i) TNF-α: Tumor necrosis factor alpha diproduksi oleh mak-
rofag teraktifasi oleh adanya microbes, terutama gram nega-
tive yang memiliki dinding tersusun dari lipopolysaccharide
(LPS). Sitokin ini merupakan mediator penting untuk inflama-
si akut, memediasi rekruitmen neutrophils dan macrophages
ke lokasi infeksi dengan menstimulasi sel endotel untuk mem-
produksi molekul adesi dan kemokin. TNF- α juga mempen-
garuhi hipotalamus untuk diproduksi demam dan memacu
untuk produksi acute phase proteins.
ii) IL-1: Interleukin 1 merupakan sitokin proinflamasi yang
diproduksi oleh makrofag teraktifasi. Sitokin ini memiliki ak-
tifitas biologis mirip dengan TNF-α. IL-1 juga berperan untuk
mengaktifkan sel Th.

Tabel. Pembagian sitokin berdasarkan fungsi/peran

210
Modul Imunologi

iii) IL-10: Interleukin 10 diproduksi oleh makrofag yang aktif dan


sel Th2. IL-10 lebih dominan sebagai sitokin inhibitor. IL-10
menghambat produksi IFN-γ oleh sel Th1, yang kemudian hal
ini akan merubah respon imun dari tipe Th1 menjadi tipe Th2.
IL-10 juga menghambat makrofag aktif dalam memproduksi
sitokin, ekspresi MHC kelas II dan molekul kostimulator den-
gan hasil akhir penundaan respon imun.
iv) IL-12: Interleukin 12 diproduksi oleh makrofag teraktifasi dan
sel dendritik aktif. Peran IL-12 adalah menstimulasi produksi
IFN-γ dan menginduksi diferensiasi sel Th menjadi sel Th1.
IL-12 juga meningkatkan efek sitolitik sel Tc dan NK.
v) Interferon Type I: Interferon Type I (IFN-α and IFN-β) dihasil-
kan oleh berbagai tipe sel dan fungsi utamanya adalah untuk

211
Akmaa

menghambat replikasi virus dalam sel. IFN tipe 1 juga menin-


gkatkan ekspresi MHC I pada sel terinfeksi sehingga memu-
dahkan proses killing oleh sel CTL , IFN tipe 1 maupun sel NK
pada sel terinfeksi tersebut.
vi) INF-γ: merupakan sitokin penting yang dihasilkan oleh sel
Th1, meskipun IFN-γ juga diproduksi oleh CTL maupun sel
NK dalam jumlah yang lebih rendah. IFN-γ memiiki berbagai
fungsi pada respon imun alami maupun adaptif.
vii) Kemokines: kemokin merupakan sitokin kemotaktik yang di-
hasilkan oleh lekosit dan tipe sel yang lain (dibahas pada sub
topic tersendiri).

b) Sitokin sebagai mediator pada respon imun adaptif Beberapa


sitokin berfungsi sebagai mediator pada penyelenggaraan respon
imun adaptif antara lain: IL-2, IL-4, IL-5, TGF-β, IL-10 dan IFN-γ.
i) IL-2: Interleukin 2 dihasilkan oleh sel Th, meskipun sel CTL
juga mampu memproduksi meskipun dalam jumlah yang leb-
ih rendah. IL-2 merupakan factor pertumbuhan utama bagi
sel T. IL-2 juga memacu pertumbuhan sel B dan mengaktifkan
sel NK serta monosit. IL-2 berlaku sebagai auokrin bagi sel T.
Aktifasi sel T menghasilkan ekspresi IL-2R dan produksi IL-2.
IL-2 berikatan dengan IL-2R dan meningkatkan pembelahan
sel atau proliferasi. Apabila stimulasi oleh antigen pada sel
T tidak berlangsung lama maka IL-2R segera rusak dan fase
proliferasi sel T segera berakhir.
ii) IL-4: Interleukin 4 dihasilkan oleh makrofag aktif dan sel Th2
dari sel naïve Th. Sitokin IL-4 meningkatkan perkembangan
Th2 yang telah berdiferensiasi dari sel Th sehingga mampu
memproduksi antibodi. IL-4 juga menstimulasi perpindahan

212
Modul Imunologi

kelas Ig menjadi isotipe IgE.


iii) IL-5: Interleukin 5 diproduksi oleh sel Th2 dan fungsinya un-
tuk meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel B dan eo-
sinofil. IL-5 juga mengaktifasi eosinofil dewasa.
iv) TGF-β: Transforming growth factor beta dihasilkan oleh sel T
dan sel tipe lain. Sitokin ini terutama berperan sebagai sitokin
inhibitor. TGF-b menghambat proliferasi sel T dan aktifasi
makrofag. TGF-b juga bekerja pada sel PMN dan sel endotel
yaitu menghambat sitokin proinflamasi agar tidak PMN dan
sel endotel.
c) Sebagai stimulators hematopoesis: Beberapa sitokin berperan
dalam menstimulasi diferensiasi sel hematopoiesis. Sitokin yang
termasuk dalam kelompok ini adalah GM-CSF yang berfungsi
meningkatkan differensiasi sel progenitors sumsum tulang, M-
CSF, yang berperan meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi
sel progenitor menjadi monocytes dan macrophages and G-CSF
(disebut juga sebagai pluripoietin), berfungsi untuk meningkatkan
produksi PMN.
d) Interleukin 17: IL-17 merupakan sitokin proinflamasi tersusun atas
150 asam amino. IL-17 dihasilkan oleh sel Th17 dan ekspresi IL-17
yang berlebihan berhubungan dengan penyakit autoimun antara
lain multiple sclerosis, rheumatoid arthritis, dan inflammatory
bowel disease.

Sitokin berdasarkan tipe jalur aktifasi intraseluler dibagi menjadi 2


yaitu sitokin dengan jalur aktifasi melalui JAK dan sitokin dengan jalur
aktifasi melalui STAT (Tabel).

213
Akmaa

Tabel Sitokin dan jalur aktifasi

B. MONOKIN
Monosit dan makrofag menghasilkan beberapa sitokin yang dis-
ebut dengan monokin. Sebagian besar monokin berbentuk peptide
dengan jumlah gugus asam amino sebanyak 122-190, dan kebanyakan
dihasilkan oleh beberapa jenis sel lain di samping sel penghasil utaman-
ya monosit / makrofag. Dalam tahun 1940 para peneliti menemukan
mediator yang muncul di daerah infeksi bakteri; diduga mediator ini
dibawa ke daerah otak dengan menghasilkan efek pengaturan panas
sebagai demam sewaktu infeksi. Kini telah diketahui bahwa demam
tersebut disebabkan 4 jenis monokin yaitu : IL-1, TNF-a dan IL-6.
Fungsi monokin beragam mulai sebagai mediator pada reaksi in-
flamasi, penghambat replikasi sel virus sampai respon imun alami. Di

214
Modul Imunologi

antara monokin tersebut memiliki fungsi yang saling tindih, seperti


misalnya TNF dan IL-1. lagipula aktivasinya beragam mulai dari men-
ingkatkan pertumbuhan sel (IL-6 dan PDGF = platelet derived growth
factor), menghentikan pertumbuhan (TGF-b = Transfering growth
factor-b dan TNF – Tumor necrosis factor) sampai induksi pertahanan
terhadap virus (IFN-a-b1) dan menimbulkan khemotaksis (MDNCF =
Monocyte – derived neoutrophil chemotactic factor).
1. Interleukin-1 (IL-1)
Merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh
makrofag aktif. Penemuan IL-1 didasarkan pada kemampuan produk
makrofag yang bertindak sebagai “komitogen” untuk timosit dan lim-
fosit. Dalam tahun 1972 telah diketemukan leukocyte-activating factor
(LAF) yang diperoleh dari supernatant biakan sel-sel yang melekat dari
darah perifer (monosit). Dua tahun kemudian dilaporkan adanya faktor
pengaktif limfosit B (B cell-activating factor = BAF) dari biakan monosit
manusia. Ternyata dari hasil analisis kedua substansi tersebut mempu-
nyai struktur yang sama, sehingga dalam tahun 1979 substansi tersebut
dibakukan namanya menjadi interleukin-1.
Walaupun dikatakan bahwa sumber utama IL-1 adalah monosit
dan makrofag, tetapi telah dilaporkan bahwa beberapa sel seperti kera-
tosit dari epidermis, sel LGL, sel dendritik, astrosit, mikroglia, limfosit
B dan fibroblast setelah mendapatkan rangsangan oleh sejumlah zat
tertentu dapat menghasilkan IL-1 walaupun dalam jumlah kecil. Ru-
panya sifat perangsangan akan menentukan apakah IL-1 dilepaskan
atau tetap dalam sel. Faktor yang mengatur penglepasan IL-1 belum
diketahui, tetapi kerusakan jaringan telah disarankan merupakan salah
satu sebab penglepasannya. Sebaliknya hanya beberapa zat tertentu
diketahui dapat menghambat penglepasan IL-1 oleh makrofag. Efek
menghambat ini dimiliki salah satu dari jenis obat anti radang seperti

215
Akmaa

golongan steroid atau obat imunosupresor seperti cyclosporine. Ham-


batan produksi IL-1 ini bukan karena induksi oleh LPS melainkan oleh
induksi limfosit T.
IL-1 memiliki peran yang luas dalam penyelenggaran respon imun
sebagaimana disajikan pada Gambar. Sasaran kerja IL-1 cukup luas,
pada hepatosit, osteoblast, osteoklast, makrofag, struma dan endothe-
lium.

Gambar 6.7. Aktifitas biologis IL-1.

Demikian juga IL-1 mempunyai pengaruh yang luas, tidak saja


mempunyai sel sasaran dalam system imun, melainkan juga sel-sel di-
luar system imun, bahkan dianggap sebagai kelompok mediator utama
dalam proses radang, misalnya jenis responsnya akan mencakup perce-
patan pertumbuhan sel sasaran (limfosit), menginduksi ekspresi molekul
pada permukaan sel (ICAM-1 pada sel endotel) dan penglepasan media-
tor sekunder seperti prostaglandin (PG) dari makrofag dan sitokin lain
(IL-2 oleh limfosit T, TNF-a dan GM-CSF dari makrofag dan IL-6

216
Modul Imunologi

dari fibroblast).
Sel sasarannya akan bereaksi dalam bentuk yang berbeda,
sel-sel imunokompeten akan meningkat proliferasinya, sedang
sel-sel dalam proses radang tergantung jenis selnya. Fibroblas
akan berproliferasi disamping produksi PGE2, makrofag akan
berproliferasi dan produksi PGE2, pada susunan saraf pusat akan
menyebabkan demam, anoreksi dan pada tulang dan kartilago akan
terjadi resorpsi. Pada Tabel 12-1 dapat disimak keragaman efek dari
IL-1 tersebut sehingga memperoleh berbagai nama lain. Ternyata sel
sasarannya dapat berupa sebagai sel limfosit dan nonlimfosit.

Tabel. Sel sasaran IL-1 dan aktivasinya.

217
Akmaa

Untuk bereaksinya sel sasaran tersebut dibutuhkan reseptor hkusus


untuk molekul IL-1. Setelah reseptor tersebut mengikat IL-1 disusul oleh
internalisasi dan ekspresi reseptor berikutnya yang diatur oleh pengaruh
glikokortikoid dan prostaglandin.
Protein IL-1 dibedakan dalam IL-1b yang masing-masing men-
dapat pengaturan dari gena yang berbeda. Gena untuk IL-1b di-
duga terletak pada lengan panjang khromosom 2 (2q14). Kedua
jenis protein tersebut terutama dihasilkan oleh makrofag dan sel-
sel seperti telah disebutkan di depan.

Aktivitas dan sasarannya


IL-1 dianggap sebagai mediator yang sangat penting dalam
proses radang. Hal ini dapat dilihat dari gejala radang yang dapat
diamati secara in vivo maupun in vitro. In vivo misalnya dapat
diamati adanya demam dan perubahan susunan biokimia darah
dan komponen sel darah. Dengan adanya IL-1 maka sel-sel ne-
trofil dilepaskan dari susunan tulang kedalam peredaran darah
dibarengi dengan hematopoiesis. Timbulnya demam merupakan
efek neroendokrin karena terangsangnya pusat panas pada hipo-
talamus. Telah lama diketahui bahwa mediator yang dihasilkan
oleh lekosit yang dinamakan endogenous pyrogen (EP) bertang-
gung jawab dalam induksi produksi prostaglandin (PG) oleh sel-
sel yang terdapat di sekitar pusat demam di hipotalamus. Efek
neroendokrin lain berlangsung karena produksi “cortico releas-
ing factor” yang pada gilirannya akan merangsang hormone
ACTH dari hipofise yang akan menginduksi produksi kortikos-
teroid dari kelenjar adrenal.
Pengaruh in vivo lainnya, ayitu induksi penglepasan sejum-
lah mediator sekunder termasuk PAF (Platelat activating fac-

218
Modul Imunologi

tor), IL-6, TNF, CSF dan bahkan induksi IL-1 sendiri. Sebaiknya
produksi IL-1 dapat dihambat oleh inhibitor yang dilepaskan oleh
makrofag sendiri dan diketahui terdapat dalam urine.

Efek diferensiasi limfosit T


Di samping sebagai mediator yang penting dalam proses per-
adangan, IL-1 merupakan mediator yang berperan dalam aktivitas
imunologik. Pengaruh IL-1 dalam imunitas ini terutama melalui
dorongannya terhadap diferensiasi limfosit T yang dapat dipan-
tau melalui perubahan-perubahan marka pada membrannnya ;
misalnya IL-1 akan lebih menstabilkan reseptor untuk eritrosit
domba (CD2) pada limfosit T, sehingga mempermudah pemben-
tukan roset dengan eritrosit domba. Dengan demikian IL-1 men-
ingkatkan fungsi limfosit T dan produksi limfokin seperti : IL2,
CSF, BCGF, IFN-g dan LDCF (Lymphocyte derived chemotactic
factor). Limfokin tersebut memiliki efek biologic yang berbeda,
sehingga IL-1 bertindak sebagai faktor diferensiasi untuk limfosit
T.

Efek aktifasi limfosit T


Kecocokan akan MHC dari sel makrofag dalam menyajikan
antigen kepada limfosit T sangat diperlukan dalam pengewalan
reaksi imunologik. Sel-sel penyaji ini tidak saja menyajikan anti-
gen dengan cara kontak dengan klon limfosit T yang cocok, na-
mun juga diperlukan penglepasan IL-1. Dengan demikian akan
terjadi peningkatan proliferasi dan diferensiasi sel T tersebut.
Jelaslah bahwa tanpa antigen MHC, IL-1 tidak dapat berfungsi
sendiri dalam membangkitkan reaksi imunologik dalam bentuk

219
Akmaa

aktivasi sel T.
Atas dasar kenyataan tersebut, oleh Oppenheim (1987) diu-
sulkan urutan tahap peristiwa siklus limfosit setelah menerima
rangsang antigen yang disajikan oleh sel penyaji (makrofag) sep-
erti dilukiskan pada Gambar 12-1. Rangsangan antigen spesifik
atau poliklonal yang diproses oleh makrofag selanjutnya baru da-
pat disajikan kepada limfosit T. Tahap ini akan mengubah kead-
aan limfosit T istirahat (Go) menjadi masuk ke dalam tahap G1
awal, yang mampu sintesis lipid dan RNA dan protein. Beberapa
limfosit T tersebut melanjutkan perkembangannya ke dalam ta-
hap G1 lanjut sehingga mampu membentuk reseptor untuk IL-2.
Sebagian dari limfosit lain karena rangsangan IL-1 dapat meng-
hasilkan IL-2 yang pada gilirannya IL-2 ini akan merangsang lim-
fosit T yang telah memiliki reseptor untuk IL-2 untuk membuat
reseptor transferin dan melanjutkan diri ke dalam tahap S dari
siklus sel. Limfosit yang telah mencapai tahap S sudah siap untuk
mitosis (Lihat juga Bab 3 dan 4).

Efek pada sel T sitotoksik dan supresor


IL-1 meningkatkan fungsi khusus sitotoksik dari CTL (Cy-
totoxic lymphocyte) yang diduga dengan perantaraan produksi
IL-2 dan reseptor IL-2 atau dapat secara langsung berdiferensiasi
menjadi CTL. Sebaliknya IL-2 dapat menekan aktivitas supresor.

Efek pada limfosit B


Dalam percobaan in vitro, IL-1 memperkuat proliferasi, diferensia-
si dan fungsi produksi antibody oleh limfosit B. Pengaruh IL-1 terhadap
limfosit B dapat secara tidak langsung melalui T helper yang meng-

220
Modul Imunologi

hasilkan BCGF. Oleh karena IL-1 dapat dihasilkan juga oleh limfosit
B sendiri, maka interleukin ini dapat bertindak sebagai otokrin yang
dapat mengatur aktivitasnya sendiri.
Reaksi inflamasi berlebihan dan Syok endotoksik: sitokin proinfla-
masi (IL-1 dkk)
IL-1 salah satu sitokin yang turut berperan menyebabkan keadian
syok endotoksik. Mekanisme Syok endotoksik dan sitokkin proinfla-
masi dijabarkan pada Gambar.

Gambar 6.8. Mekanisme syok endotoksik

Syok endotoksik atau systemic inflammatory reaction syndroms (SIRS)


adalah akibat produksi endotoksin berlebihan pada bakteri/pathogen.

221
Akmaa

Manifestasi klinis yang muncul adalah akibat reaksi inflamasi yang ber-
lebihan akibat produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan.
Produksi IL-1 berlebihan dapat menimbulkan gejala SIRS oleh ka-
rena terjadi kaskade induksi produksi sitokin proinflamasi sehingga
didapatkan kadar sitokin proinflamasi yaitu IL-1, IL-1b, TNF-a, IFN-g
dan sitokin sejenis berlebihan pada diri penderita. Mekanisme aktifa-
si signaling intraseluler pada makrofag yang terpapar IL-1 dijelaskan
pada Gambar.

Gambar 6.9. Mekanisme aktifasi signaling intrasel akibat stimulasi IL-1.

222
Modul Imunologi

Aktifasi makrofag oleh IL-1 akan diikuti dengn disekresinya sejum-


lah sitokin proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1b dan IL-6. Produksi sitokin
proinflamasi secara berlebihan menimbulkan reaksi inflamasi berat dan
berakibat fatal yaitu syok endotoksin.

2. Tumor Necrosis Factor (TNF)


Sebagai salah satu sitokin proinflamasi, TNF dihasilkan oleh mak-
rofag atau monosit. TNF telah lama dikenal karena kemampuannya
menginduksi perdarahan karena nekrosis pada tumor tertentu. Sitokin
ini juga dikenal oleh karena kemampuannya menimbulkan kakeksia se-
hingga ketika awal ditemukan disebut sebagai “cachectin”. Penemuan
terakhir tersebut karena timbulnya gejala kurus yang sangat (kaheksi),
yang diduga oleh mediator tersebut.

Gambar 6.10. Aktifitas biologi utama TNF kadar rendah

223
Akmaa

TNF terutama dihasilkan oleh sel makrofag dan sel-sel jenis lain dengan
berbagai aktivasi biologik dan sel-sel sasaran baik yang termasuk dalam system
imun maupun bukan. Sejumlah jenis sel dapat menghasilkan TNF setelah men-
dapatkan rangsangan yang cocok, misalnya limfosit dan sel NK. Sangat menarik
terungkapnya jaringan pengawasan induksi dan efek dari TNF. Misalnya IL-1
menginduksi produksi TNF dan sebaliknya TNF menginduksi produksi IL-1
oleh makrofag, produksi IFN-b1 dan IFN-b2 oleh fibroblast dan produksi
GM-CSF oleh bebrapa jenis sel.
Gena untuk TNF terdapat pada lengan pendek khromosom 6
yang diduga di dekat atau dalam kompleks MHC. TNF manusia me-
miliki homologi sebesar 80% dengan TNF mencit atau kelinci san 28%
dengan limfotoksin. Limfotoksin yang mempunyai mekanisme kerja
dan reseptor yang sama dengan TNF disebut sebagai “TNF-b”.

224
Modul Imunologi

Gambar 6.11. Aktifitas utama TNF pada kadar moderat dan tinggi.

Efek sitotoksik terlihat pada beberapa jenis tumor yang mengalami ke-
munduran dan nekrosis yang disertai perdarahan. Mekanisme pembunuhan sel
tumor in vivo belum jelas, tetapi yang jelas kematian sel tumor membutuhkan
adanya reseptor untuk TNF dan dipercepat dengan terjadinya hambatan sinte-
sis protein dalam sel tumor. Kerusakan tumor mencit in vivo diduga bukanlah
pengaruh langsung TNF, melainkan secara tidak langsung. Mungkin nekrosis
terjadi oleh karena adanya gangguan vaskularisasi tumor. Makrofag teraktifkan
dapat membunuh sel tumor, sedangkan terdapat bukti-bukti vahwa TNF ber-
peran dalam situasi tersebut.
Kini TNF dianggap sebagai mediator utama dalam radang. Lagipula
TNF yang diperoleh kemurniannya secara biokimiawi ternyata bertanggung
jawab kepada aktivitas “cachectin” yang umumnya bekerja pada penderita
yang mengalamiinfeksi parasit. Mekanisme pada beberapa kejadian radang se-
tempat di ramalkan berdasarkan pengamatan percobaan in vitro. Misalnya sel
netrofil yang bereaksi dengan TNF meningkat pengikatannya dengan sel endo-
tel, letupan respiratori dan degranulasinya. Pada kerusakan radang mirip den-
gan kerusakan oleh IL-1. Demikian pula kemampuannya dalam menginduksi
proliferasi fibroblas, TNF seperti IL-1, sehingga penting dalam penyembuhan
luka.

225
Akmaa

Efek hematopoietik TNF terlihat sebagai hambatan pembentukan koloni


biakan granulosit-monosit, eritroid dan koloni sel multi-potensial pada manu-
sia. Namun sebaliknya pada mencit, TNF meningkatkan sel-sel progenitor apa-
bila diberikan in vivo.
Walaupun TNF dalam beberapa aktivitas biologic mirip IL-1, namun ada
beberapa perbedaan dalam pengaturan mekanisme imun. Secara umum nam-
pak bahwa TNF tidak banyak terlibat dalam pengaturan tersebut. TNF mem-
punyai aktivitas perangsangan yang multipel terhadap limfosit T teraktifkan,
misalnya respons proliferatif terhadap antigen, peningkatan reseptor IL-2 dan
induksi produksi INF-g. Demikian juga imunitas spesifik terhadap tumor
ditingkatkan oleh TNF. Di samping itu telah dilaporkan pula adanya
pengeruh peningkatan aktivitas limfosit B setelah mendapatkan TNF.
TNF dapat meningkatkan ekspresi antigen MHC kelas I pada fibroblast
dan sel endotel.
Efek perlindungan nonspesifik terhadap patogen telah dilaporkan
pula untuk TNF. Misalnya aktivitas antivirus dan beberapa parasit.

3. Interleukin – 6 (IL-6)
Secara terpisah IL-6 diketemukan karena efek anti-virus, maka di-
namakan IFN-b2, dan aktivitas biologic lain seperti meningkatkan per-
tumbuhan hibridoma, merangsang hepatosit dan limfosit B. Maka IL-6
mempunyai efek yang beragam terhadap sejumlah sel sasaran. Efek-
efek lain seperti juga yang dimiliki oleh IL-1 dan TNF sehingga IL-6 pun
dianggap sebagai mediator peradangan dan system imun yang utama.
Di samping dihasilkan oleh makrofag IL-6 juga dihasilkan oleh
jenis sel lain, seperti limfosit T, fibroblast dan sel-sel tumor seperti glio-
blastoma, miksoma dan sel karsinoma kandung kencing. Maka IL-6 da-
pat digolongkan pula sebagai limfokin seperti yang akan dibahas lagi
dalam limfokin.

226
Modul Imunologi

IL-6 mempunyai kaitan IL-1 dengan IL-1 dan TNF karena ketiga
sitokin ini dapat dihasilkan oleh monosit / makrofag secara terkoor-
dinasi. Kaitan ketiga sitokin tersebut juga disebabkan oleh karena
masing-masing dapat saling menginduksi penglepasannya ; misalnya
IL-1 atau TNF dapat menginduksi penglepasan IL-6, TNF menginduksi
penglepasan IL-1 dan IL-6 menginduksi IL-1. Lagipula ketiga sitokin
tersebut dapat diangkut melalui peredaran darah untuk membangkit-
kan reaksi peradangan yang dinamakan “respons fase akut”. Respons
ini bermanifestasi sebagai demam dan pergeseran kandungan bebera-
pa protein dalam serum yang diproduksi oleh hepatosit. Jenis protein
produksi hepatosit tersebut tergantung pada masing-masing rangsan-
gan oleh ketiga sitokin tersebut.
Efek imunologik nampak pada saat diketemukan sebagai hasil dari
sel T helper yang menginduksi proliferasi sel B. Pada mulanya inter-
leukin ini dinamakan sebagai “T cell replacing factor” (TRF), namun
kemudian ternyata TRF terdiri atas berbagai limfokin lain seperti IL-
1, IL-2, IL-4, IL-5 dan IL-6. IL-6 sendiri sebenarnya tidak menginduksi
proliferasi limfosit B, malainkan untuk diferensiasi.

C. LIMFOKIN
Limfosit merupakan sel utama pada system imunitas. Limfosit
bertanggung jawab pada penyelenggaraan respon imun adapatif baik
seluler maupun humoral. Limfosit yang teraktifasi akan menghasil ber-
bagai sitokin yang sering disebut juga dengan limfokin. Dalam kelu-
arga limfokin ini telah dapat diidentifikasi dan diisolasi dengan nama
: g-IFN, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-7 dan GM-CSF.Dalam masa 10-
15 tahun terakhir ini, nampak sangat pesat kemajuan penelitian aspek
molekuler limfokin khususnya yang dihasilkan oleh limfosit T.

227
Akmaa

1. Interleukin-2 (IL-2)
Sejak dilaporkan adanya faktor mitogenik dalam biakan campu-
ran lekosit, sejumlah faktor telah diusulkan sebagai produk limfosit T.
Faktor-faktor yang mempunyai beberapa aktivitas diberikan penamaan
yang mengingatkan pada manifestasi aktivitas biologic yang nampak
oleh peneliti bersangkutan. Dari kumpulan faktor dapat diamati adan-
ya aktivitas mitogenik (Thymocyte mitogenic factor = TMF dan Lym-
phocyte mitogenic factor = LMF), aktivasi timosit (Thymocyte activat-
ing factor = TAF), aktivitas membunuh (Killer helper factor = KHF) dan
aktivitas stimulasi (Thymocyte stimulating factor = TSF).
Pernah dipertunjukkan bahwa pertumbuhan limfosit T selalu
dipertahankan dalam biakan oleh substansi yang pada saat itu dinama-
kan sebagai TCGF (T cell growth factor) dan kemudian ternyata bahwa
substansi tersebut mempunyai kesamaan sifat biokimiawi dengan TAF
dan TSF. Akhirnya pada Lokakarya Internasional tentang limfokin yang
ke-II, limfokin yang bersifat mitogenik tersebut dinamakan sebagai In-
terleukin-2 (IL-2). Sejak saat itu faktor yang menyebabkan pertumbu-
han sel T telah dapat dimurnikan bahkan telah dapat diidentifikasikan
genanya pada phromosom ke-4 mencit.

Gambar 6. 12. Peran utama IL-2

228
Modul Imunologi

Sebenarnya mengenai IL-2 ini telah banyak diungkapkan dalam Bab


4. dengan percobaan in vitro telah dapat dikukuhkan bahwa IL-2 mem-
punyai kemampuan meningkatkan respons imun, baik seluler (aktivitas
sitotoksik limfosit T, aktivitas sel NK melalui g-IFN) maupun respons
imun humoral dengan cara meningkatkan sintesis dan sekresi antibody.
Pada pengkajian in vivo menunjukkan bahwa pengobatan tumor pada
mencit dengan IL-2 sangat efektif, sehingga lebih memantapkan kepas-
tian fungsi IL-2 dalam respons imun seluler. Percobaan ini dilanjutkan
pada percobaan klinik dengan memberikan IL-2 pada penderita tumor
ganas yang menunjukkan adanya efektivitas juga, terutama pada kars-
inomaginjal dan melanoma.
2. Interleukin-3 (IL-3)
Sitokin IL-3 merupakan salah satu sitokin yang berfungsi dalam
pengetauran hematopoiesis sumsum tulang. IL-3 mula-mula ditemu-
kan dalam biakan sel-sel limpa mencit yang sebelumnya menderita in-
feksi virus sarcoma Moloney. Penelitian berikutnya dapat mengungka-
pkan aktivitas dan sel penghasilnya. Aktivitas utama yang mula-mula
diketahui yaitu mendorong proliferasi sel sumsum, sel basofil dan mas-
tosit. Pada percobaan in vitro ternyata merangsang proliferasi berbagai
koloni sel sumsum tulang seperti granulosit, makrofag, megakariosit,
eosonofil, basofil dan mastosit. Dengan demikian agaknya IL-3 bertang-
gung jawab atas proliferasi sel-sel darah yang masih pleripoten. Ada
pendapat bahwa pada manusia IL-3 yang diketemukan pada mencit
adalah GM-CSF (Lihat pembahasan berikutnya).

229
Akmaa

Gambar 6.13. Peran utama IL-3.


Bebeda dengan IL-2, IL-3 bersifat khas spesies. Hal inilah yang
menyebabkan timbulnya kesulitan pada awal penelitian efek IL-3 se-
benarnya, karena IL-3 manusia tidak mempunyai aktivitas pada sel-sel
sumsum tulang mencit atau sebaliknya. Karena percobaan klinik pada
manusia baru dapat berlangsung sejak tahun 1988, maka saat ini belum
dapat diperoleh hasil yang pasti tentang efek biologic setelah pembe-
rian IL-3 kepada manusia, tidak seperti halnya percobaan in vivo pada
mencit.
3. Interleukin-4 (IL-4)
Sitokin IL-4 salah satu sitokin dalam penyelenggaraan respon
imun adaptif humoral. Sebagai interleukin yang berasal dari limfosit T,
IL-4 mempunyai riwayat hampir sama dengan IL-2 dengan pengecual-
ian bahwa perhatian utama ditujukan kepada kemampuannya untuk
memicu proliferasi limfosit B mencit. Sehubungan dengan hal tersebut,
interleukin ini semula dinamakan BSF (B cell stimulating factor). Akti-
vasi ini telah dikukuhkan dengan percobaan yang cukup mendalam.

230
Modul Imunologi

Antara IL-4 mencit dan manusia terdapat 50% homologi, sehingga IL-4
masih khas species.
Fungsi utama IL-4 dijabarkan pada Gambar. Reseptor IL-4R ter-
dapat pada berbagai macam sel antara lain sel dendritik, makrofag, sel
mas, limfosit Th dan sel B.

Gambar 6.14. Fungsi utama IL-4


Di samping kemampuannya merangsang proliferasi limfosit B yang ter-
aktifkan, IL-4 telah didapatkan juga mampu menginduksi ekspresi MHC kelas
II pada permukaan limfosit B yang istirahat, dana mendorong produksi anti-
body khususnya IgE dan IgG1 dari limfosit B. Akhirnya IL-4 diketahui dapat
menginduksi ekspresi reseptor Fce pada limfosit B. Oleh karena IL-4 khu-
susnya mempunyai efek pada awal perangsangan limfosit B istirahat,

231
Akmaa

maka semula dinamakan BSF-1 (B cell stimulation factor-1).


Aktifasi reseptor IL-4R akan diikuti aktifasi signaling intrasel seba-
gaimana dijelaskan dalam Gambar.

Gambar 6. 15. Mekanisme signaling aktifasi intrasel IL-4R.

232
Modul Imunologi

Pada percobaan in vitro, IL-4 ternyata sangat kuat menginduksi


reaktivitas sel T sitotoksik, yaitu melalui diferensiasi dan mitosis. Dalam
percobaan in vivo ternyata IL-4 bekerja sinergistik dengan IL-2 dalam
efek anti-tumor. Akibatnya orang telah mulai mencoba imunoterapi
pada penderita kanker dengan memberikan IL-4 secara tunggal atau
bersama dengan IL-2. Finkelman dan kawan-kawan (1989)
menyimpulkan dari hasil percobaan in vitro dan in vivo pada mencit,
bahwa IL-4 mempunyai peran sentral dalam produksi IgE.
4. Interleukin-5 (IL-5)
Dalam rangka usaha mencari faktor-faktor yang menyebabkan
proliferasi limfosit B, orang telah menemukan dari supernatant biakan
limfosit T yang semula dinamai TRF (T cell replacing factor) atau BCGF
II (B cell growth factor II) setelah BSF-1 atau IL-4 gagal menyebabkan
poliferasi limfosit B.

Gambar 6.16. Fungsi utama IL-5

233
Akmaa

Kalau IL-4 / BSF-1 semula dinamakan BCGF I, maka IL-5 yang


mempunyai efek utama pada limfosit B yang telah aktif dinamai BCGF
II pada mulanya. Pada penelitian yang lebih mendalam ternyata IL-5
inipun sama dengan apa yang disebut oleh Sanderson dan kawan-
kawan (1985) EDF (Eosinophil differentiation factor).
5. Interleukin-6 (IL-6)
Di samping adanya faktor pendorong proliferasi limfosit B yang
telah diketemukan yaitu IL-4 dan IL-5, orang masih mencoba untuk
mengisolasi faktor lain yang menyebabkan diferensiasi limfosit B.
Diferensiasi limfosit B sangat penting untuk tahap perkembangan se-
lanjutnya dalam mengatur jumlah Ig yang dihasilkan. Semula orang
juga menjumpai kesulitan dalam menetapkan cirri-ciri BCDF (B cell dif-
ferentiation factor) karena menghadapi kendala teknis. Kishimoto dan
kawan-kawan (1985) dengan menggunakan bahan-bahan yang disebut
juga sebagai BSF-2 (B cell stimulating factor) berhasil memurnikan gu-
gus aktif dari bahan yang dimaksud.

Gambar 6.18. Fungsi utama IL-6

234
Modul Imunologi

Pengkajian lain menunjukkan bahwa IL-6 bersama dengan IL-3


bekerja sama dalam memperkuat poliferasi sel-sel induk dari jaringan
sumsum tulang. Akhirnya IL-6 n bersama IL-2 menginduksi poliferasi
limfosit T dan meningkatkan pembentukan sel-sel efektor sitotoksik.
Disimpulkan bahwa IL-6 merupakan interleukin yang berfungsi seba-
gai penghubung antara sejumlah jenis sel dengan cara berperan dalam
mendorong proliferasi dan diferensiasi limfosit B, limfosit T, sel-sel in-
duk darah, hepatosit. IL-6 yang juga merupakan faktor yang dihasilkan
oleh monosit disebutkan sebagai komponen mediator peradangan. Di
samping monosit dan limfosit, IL-6 juga diproduksi oleh sejumlah jenis
sel lain.
Sitokin IL-6 memiliki reseptor yang tersebar pada berbagai sel
antara lain neutrofil, hepatosit, makrofag, neurosit, megakariosit dan
sel B. Aktifasi signaling intrasel akibat pertemuan IL-6 dengan resep-
tornya akan menghasilkan beberapa aktifitas biologis sebagaimana di-
tunjukkan dalam Gambar.

Gambar 6.19 . Mekanisme aktifasi signaling intrasel akibat aktifasi reseptor IL-6

235
Akmaa

6. Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor (GM-CSF)


Sejak saat-saat permulaan penelitian dalam mempelajari hemat-
opoiesis dan perkembanagn metoda biakan agar-agar untuk menun-
jukkan koloni sel-sel biakan, para pakar telah mengetahui adanya
faktor-faktor yang dihasilkan oleh limfosit T yang dapat mendorong
pembentukan koloni granulosit dan makrofag dari sel-sel induk sum-
sum tulang. Para peneliti menduga bahwa faktor-faktor yang dimaksud
berbeda dalam struktur molekulnya dengan zat-zat yang dihasilkan
oleh fibroblast dalam paru-paru. Setelah orang berhasil memurnikan
GM-CSF dari mencit barulah para pakar berhasil menyediakan GM-
CSF dalam bentuk murni yang cukup untuk pengkajian lebih lanjut.
Seperti juga IL-3, GM-CSF bersifat khas spesies, sehingga GM-CSF dari
mencit tidak menunjukkan pengaruh terhadap sel-sel induk darah
sumsum tulang manusia atau sebaliknya.

Gambar 6.20. Aktifias utama GM-CSF.

236
Modul Imunologi

Seperti g-IFN, GM-CSF juga menunjukkan aktivitas meningkatkan


fungsi makrofag termasuk aktivitas tumorisidal dan penghasil super-
oksida (lihat Bab Fagositosis). Dalam percobaan in vivo baik pada mo-
nyet atau manusia, GM-CSF menunjukkan efek yang menguntungkan,
misalnya pada orang-orang yang mengalami penurunan yang tajam
sel-sel granulosit dan makrofag akibat telah mendapat terapi radiasi
atau kemoterapi, terjadi perbaikan jumlah sel-sel tersebut.
Demikian pula telah dicoba pada penderita netropeni baik kare-
na kemoterapi atau diperoleh secara herediter, GM-CSF dapat mening-
katkan jumlah sel-sel tersebut. Pengobatan terhadap penderita defisien-
si hematopoietik yang tadinya tidak dapat disembuhkan, misalnya
myelodysplasmia dan anemia aplastika, kini telah berhasil menaikkan
jumlah sel-sel darah putih secara menggembirakan apabila diberikan
GM-CSF. Hal ini yang memberikan harapan bahwa dalam tahun 1991
telah dapat diperoleh sitokin yang berasal dari limfosit T di pasaran
bebas secara mudah dan aman diberikan dalam usaha memperbaiki ke-
seimbangan fungsi hematopoiesis dalam berbagai kondisi penyakit.
7. Interleukin-7 (IL-7)
Walaupun dalam pasal ini dibicarakan limfokin, namun karena
mediator yang dihasilkan oleh stroma sumsum tulang ini menunjuk-
kan kenyataan adanya keterlibatannya yang erat dalam perkembangan
limfosit B dan T baik muda maupun dewasa, maka mediator yang dis-
ebut sebagai IL-7 ini sudah selayaknya dibahas bersama-sama dengan
interleukin lain.

237
Akmaa

Gambar 6.21. Fungsi utama IL-7

Dalam pertengahan 1980, suatu system pembiakan yang khas


telah dikembangkan oleh Whitlock dan Witte. Mereka menggunakan
sel-sel “pengasuh” dari sumsum tulang untuk membiakan sel-sel pre-
B ang sangat muda. Apabila sel-sel stroma sumsum tulang tersebut
mati dalam biakan, maka pertumbuhan sel pre-B pun akan berhenti.
Dalam tahun 1987, Nanem dan kawan-kawan berhasil membiakkan
sel-sel stroma sumsum tulang dari biakan Whitlock dan Witte dengan
memasukkan bahwa supernatant dari biakan ini dapat mendukung
perkembangan awal dari sel pre-B. dalam laporannya mereka menye-

238
Modul Imunologi

butkan bahan yang terdapat dalam supernatant tersebut sebagai “lym-


phopoietin I” yang kini dinamakan sebagai IL-7.
Secara in vivo dapat diamati bahwa sel-sel peritoneum mencit dapat
menghasilkan IFN-a, b1 apalagi kalau diberikan rangsangan oleh endo-
toksin. Hal ini menunjukkan bahwa adanya rangsangan oleh endotok-
sin yang selalu ada di lingkungan kita akan selalu terjadi penglepasan
IFN, sehingga tubuh selalu dapat membentuk pertahanan alamiah ter-
hadap serangan infeksi virus.
Tabel 12-2.Sitokin berasal dari limfosit T

Sitokin Aktivitas
IL-2 Meningkatkan pertumbuhan sel T/sel B/LAK/NK yang
teraktifkan
IL-3
Meningkatkan pertumbuhan sel progenitor dalam
jaringan sumsum tulang.
GM-CSF Meningkatkan pertumbuhan / diferensiasi sel netrofil /
makrofag, aktivitas makrofag.

Meningkatkan proliferasi sel B, memperkuat : ekspresi


IL-4 gena MHC K1, II, produksi IgG1, IgE dan meningkatkan
aktivasi sel T, proliferasi dan fungsi sel efektor.

Memperkuat produksi IgA, merangsang pertumbuhan


eosinofil
IL-5
Menginduksi produksi Ig, pertumbuhan hibridoma dan
IL-6 hepatosit.

Semua molekul IFN-a dan IFN-b1 akan terikat oleh reseptor yang
sama pada permukaan sel yang kebanyakan daripadanya mempunyai
aviditas yang tinggi. Sel-sel T yang istirahat memiliki sekitar 250 resep-
tor untuk IFN-a, b1 dibandingkan dengan 1000-4000 buah pada jenis

239
Akmaa

sel lain. Apabila terjadi ikatan IFN dengan reseptornya, terjadilah sin-
yal bagi sel bersangkutan yang belum jelas diketahui mekanisme se-
lanjutnya. Pada manusia gena untuk reseptor IFN terdapat pada khro-
mosom ke-21, sehingga pada penderita sindroma Down (trisoma 21),
terdapat kepekaan yang lebih tinggi terhadap pemberian IFN-a, b1 ma-
nusia.
Walaupun aktivitas biologic IL-7 manusia dapat bekerja terhadap
sel pre-B mencit, namun nampaknya aktivitas khusus IL-7 mencit adalh
5-10 kali lipat lebih tinggi dari IL-7 manusia. Dengan menggunakan IL-7
yang murni orang lebih jelas mengetahui bahwa interleukin ini bekerja
terbatas pada pertumbuhan sel-sel pre-B yang masih muda serta prolif-
erasi sel T yang masih muda, yaitu timosit yang belum memiliki CD4
atau CD8. Dari percobaan-percobaan in vivo dapat diharapkan berguna
dalam pemakaian IL-7 untuk terapi terhadap penderita imunosupresi
dan insufisiensi limfoid lainnya.

D. INTERFERON
Interferon salah satu sitokin terpenting dalam penyelenggaraan
respon imun adapatif terutama IFN-γ. Interferon diketemukan dalam
tahun 1957 oleh Isaacs dan Lindenmann sebagai protein yang pemben-
tukannya diinduksi oleh sel yang diinfeksi virus dan ia akan berperan
menganggu replikasi virus. Aktivitas anti-virus ini stabil pada pH 2,00
dalam konsentrasi rendah dan bersifat spesies spesifik. Sedang khasiat
antiproliferatif dan pengatur imun baru diketahui kemudian.
Berbagai jenis aktivitas interferon telah diidentifikasi dan diklasifi-
kasi berdasarkan sumber selnya sebagai :interferon fibroblast dan inter-
feron imun. Kemudian dikelompokkan kembali menjadi : IFN-a, IFN-b
dan IFN-g. Dari kloning molekuler terungkap adanya 20 subtipe IFN a
dan 2 subtipe IFN-b (IFN-b1 dan IFN-b2 disebut pula sebagai IL-6, se-

240
Modul Imunologi

dang IFN-g termasuk keluarga limfokin karena IFN ini dihasilkan oleh
limfosit T dan LGL.
1. 1. Interferona-a dan Interferon-β1 (IFN-a, β1)

Salah satu sitokin yang sudah lama digunakan dibidang klinik


adalah IFNa/b. Gambaran umum fungsi IFNα/β. Baik IFN-a
maupun IFN-b1 manusia dikendalikan oleh gena yang berdekatan
pada khromosom ke-9. Berdasarkan strukturnya, IFN-a dibedakan
dalam kelas I dan kelas II. sedang IFN-b2 oleh karena kemampuan
anti virusnya tidak begitu kuat, maka dikelompokkan dalam in-
terleukin sebagai IL-6. Dalam percobaan in vitro, fibroblast yang
terinfeksi virus terutama akan menghasilkan lebih banyak IFN-b1
dari pada IFN-a (20%).

Gambar 6. 19. Fungsi atau efek biologis IFNα/β

Sedangkan suspensi murni limfosit T yang terinfeksi virus akan lebih


banyak menghasilkan IFN-a daripada IFN-g. Sebaliknya makrofag yang
teraktifkan menghasilkan lebih banyak IFN-a daripada IFN-b1. La-

241
Akmaa

gipula beberapa produk parasit dan mikroba lain dapat pula mengin-
duksi penglepasan IFN-a, b1 oleh berbagai jenis sel termasuk fibroblast
dan makrofag, limfosit B dan T, sel endotel dan epitel. Demikian pula
beberapa mediator seperti CSF-1 dan PDGF dapat menginduksi pen-
glepasan IFN-a, b1.
Aktivasi anti-proliferatif
IFN-a, b1 menghambat proliferasi yang sering disertai mendorong
diferensiasi sel-sel normal ataupun sel-sel tumor. Demikian pula inter-
feron tersebut dapat melawan aktivitas mitogenik dari sejumlah faktor
pertumbuhan seperti : CSF-1, PDGF, EGF (epidermal growth factor),
IL-2 dan IL-4.
Aktivitas anti-virus
Mekanisme efek anti-virus dari IFN-a, b1 membutuhkan sintesis
jenis-jenis protein baru termasuk enzim 2’5’ oligo (A) sintetase dan ki-
nase protein. Aktivasi enzim tersebut menyebabkan degradasi RNA vi-
rus yang pada gilirannya akan menghambat sintesis protein virus yang
penting bagi kehidupannya. Di samping mempunyai efek anti-virus,
IFN-a, b1 juga melindungi terhadap infeksi bakteri, parasit dan jamur.

Gambar 20. Efek antiviral IFN-α

242
Modul Imunologi

.
Gambar 6.21 mekanisme aksi antiretroviral IFN-α/β
Efek terhadap sel makrofag
Efek IFN-a, b1 yang bersifat nonspesifik dan imunologik melalui
sel-sel lekosit yang bertanggung jawab untuk pertahanan tubuh. Mis-
alnya IFN-a, b1 meningkatkan fungsi makrofag untuk menyajikan
antigen, mendorong diferensiasi makrofag. Sesungguhnya IFN-a, b1
berkemampuan melawan efek proliferasi dari CSF-1 pada sel-sel induk
sumsum tulang.
Di samping itu IFN-b1 mendorong produksi beberapa sitokin sep-
erti IL-1 dan TNF oleh sel makrofag, sehingga secara tidak langsung
berperan dalam respons imun seluler melalui peningkatan fungsi pen-
yajian sel makrofag kepada limfosit T.

243
Akmaa

Efek terhadap sel-sel limfoid


Aktivitas nonspesifik dari sel NK dapat dilangsungkan oleh sub-
populasi LGL (large granule containing lymphocyte). Limfosit yang
teraktifkan secara in vitro oleh IL-2 dapat menjadi sel pembunuh
(LAK=Lymphokine activated killer) yang sebagian besar adalah sel NK.
Pemberian IFN-a, b1 secara in vivo akan meningkatkan fungsi sel NK
melalui peningkatan aviditas pengikatan sel NK dengan sel sasarannya.
IFN-a, b1 nampak jelas mendorong imunitas spesifik pada sel T
sitotoksik (CTL) melalui peningkatan fungsi makrofag seperti halnya
untuk sel NK. Demikian pula IFN-a, b1 meningkatkan produksi IgE.
Di pihak lain, IFN meningkatkan penglepasan histamine dari mastosit,
sehingga hal ini menjelaskan peningkatan gejala alergi pada penderita
asma apabila mendapatkan pengobatan IFN.
Pengaruh in vivo
Efek anti-virus dan anti bakteri yang berlangsung in vivo dari IFN-
a, b1 tidak saja disebabakan oleh pengaruh langsung IFN tersebut pada
sel-sel, tetapi juga pengaturan respons imun. Maka IFN-a, b1 akan men-
ingkatkan aktivitas fagositosis dan mikrobisidal dari makrofag, pening-
katan produksi antibody, peningkatan aktivitas sel NK dan CTL, men-
ingkatkan respons peradangan dan demam, yang kesemuanya dapat
memeperkokoh pertahanan tubuh terhadap infeksi virus dan nonvirus.
Dengan demikian IFN-a, b1 meningkatkan respons imun spesifik dan
onspesifik secara nyata. Namun hal tersebut masih tergantung kepada
dosis dan lamanya pemberiannya ; IFN-a, b1 dapat berpengaruh men-
ingkatkan atau menekan respons imun seluler dan humoral.
Pemberian IFN-a, b1 bersama-sama atau sebelum pemaparan
antigen, pada umumnya akan meningkatkan efek menekan respons
imun yang nyata, namun apabila pemberian IFN-a, b1 sesudah tubuh
mengenal antigennya, biasanya terjadi peningkatan respons imun. Se-

244
Modul Imunologi

lajutnya dosis tinggi cenderung menekan respons imun, sedang dosis


rendah malahan meningkatkan respons imun. Karena umumnya IFN-
a, b1 dihasilkan selama berlangsungnya respons imun, maka akibatnya
IFN tersebut akan meningkatkan respons imun. Sebaliknya IFN-a, b1
jika telah ada sebelumnya akan mengganggu kelangsungan respons
imun dan hal ini biasanya terlihat sebagai efek imunosupresif terhadap
infeksi virus.
Dasar mekanisme imunomodulasi yang berfasik dari IFN-a, b1
sangat kompleks. Mungkin hal tersebut disebabkan oleh saling berpen-
garuhnya efek antiproliferatif, diferensiasi dan induksi penglepasan
sitokin dari IFN-a, b1. Misalnya pada pemberian dosis tinggi IFN-a,
b1 akan bekerja dengan efek antiproliferasi sehingga terjadilah supresi
respons imun.
Kepentingan faali dari IFN-a, b1 dilukiskan pada penderita imu-
nodefisiensi yang masih tetap mampu menghasilkan IFN-a, b1 untuk
menghadapi infeksi virus, baik secara nonspesifik maupun melalui efek
demam dan pengaturan respons imun.
Pengobatan dengan IFN-a, b1 memberikan harapan pada pend-
erita infeksi berbagai jenis virus. Sedang efek anti tumor dari IFN-a,
b1 mungkin sebagian besar karena efek antiproliferatif dan diferensias-
inya. Telah banyak dicoba pemberian IFN-a, b1 dosis tinggi pada ma-
nusia yang menderita leukemia dengan hasil sekitar 85% mengalami
remisi. Namun pemberian IFN-a, b1 biasanya aka menyebabkan gejala
toksik akut, seperti gejala influenza. Apabila pemberiannya dilajutkan
akan mengakibatkan lekopenia, gangguan hepar dan lain-lainnya.
IFN-a, b1 yang dilepaskan oleh inang sebagai respons terhadap in-
feksi dari luar, mungkin dapat menyebabkan akibat patologik yang pa-
rah. Keadaan ini telah diamati pada mencit dewasa yang diinfeksi den-
gan virus LCMV (lymphocytic choriomeningitis virus) akan berakhir

245
Akmaa

dengan kematian secara cepat. Namun infeksi pada mencit yang baru
lahir sebaliknya dapat menyebabkan glomerulonefritis khronik yang
dikaitkan dengan produksi IFN yang lebih tinggi dan viremia. Apa-
bila kadar IFN dari mencit tersebut dikurangi dengan cara memberi-
kan antibody terhadap IFN-a, maka gejala penyakitnya akan berkurang
walaupun viremianya meningkat.
2. Interferon-gama (IFN-γ)
Salah satokin penting dalam penyelenggaraan respon imun. IFN-
g sebagai anggota keluarga interferon pertama yang dikenal kemam-
puannya mengganggu replikasi virus dalam fibroblast dan kemudian
dimurnikan. Peran IFN-γ disajikan pada Gambar.

Gambar 22. Aktifitas utama IFN-γ

Kemampuan aktivitas anti-virus ini merupakan cirri khas dari inter-


feron yang tidak dimiliki oleh sitokin lain. Pada mulanya IFN-g dinam-
kan sebagai interferon imun karena sebagai hasil dari limfosit T.
Perbedaan IFN-g dengan interferon lainnya yaitu kepekaannya terha-

246
Modul Imunologi

dap pH rendah. Sifat ini dapat dipakai untuk memisahkan terhadap


interferon lain.
Efek in vitro dan in vivo
Dibandingkan dengan mediator lain, IFN-g paling banyak diteliti
oleh karena keinginan orang untuk memanfaatkan kemampuannya
melawan tumor.

Gambar 23. Aktifitas biologis IFN-g pada berbagai sel.

Seperti juga IFN-a, b1, kegunaan potensi anti tumor dari IFN-g
dapat dihubungkan dengan kemampuannya mendorong aktivi-
tas sel NK. Disimpulkan bahwa IFN-g mempunyai potensi yang
besar untuk mendorong aktivitas sel NK dalam memerangi sel-
sel tumor. Namun sayangnya untuk mendukung kesimpulan
tersebut sangat terbatas laporan yang mengungkapkan peran sel
NK dalam imunitas anti-tumor. Dari percobaan binatang untuk
mengungkapkan hubungan system imun dengan tumor, ternyata

247
Akmaa

mencit “nude mouse” yang tidak memiliki kelenjar timus mem-


punyai angka kejadian tumor spontan tidak lebih rendah daripa-
da mencit normal yang memiliki limfosit T dan sel NK. Disimpul-
kan bahwa “nude mouse” yang hanya memiliki sel NK tanpa sel
T tidak lebih tahap terhadap timbulnya tumor spontan, sedang
limfosit T merupakan penghasil IFN-g. Dengan kata lain IFN-g
tidak begitu berarti dalam melawan tumor spontan.
Percobaan-percobaan klinik memberikan petunjuk bahwa IFN-g
diragukan kegunaannya untuk pengobatan tumor. Namun demikian
orang kini mengalihkan penelitian pengobatan dengan IFN-g ke arah
penggunaan pengaruh imunosupresinya. Penelitian tersebut agaknya
telah memberikan harapan kepada penderita arthritis, walaupun be-
lum diketahui mekanisme kerjanya.Bagaimana mekanisme antiviral
dan mekanisme signaling intraseluler IFN disajikan pada Gambar.

Gambar 24. mekanisme aksi antiviral (1) dan jalur aktifasi signaling
intrasel (2) IFN.

248
Modul Imunologi

3. IL-10
Sitokin IL-10 memiliki banyak fungsi baik pada respon imun alami
maupun respon imun adaptif. Salah satu sitokin anggauta IFN-g ada-
lah IL-10. IL-10 salah sitokin yang memiliki sifat pleiotropik, yaitu pada
satu sisi memiliki aktifitas biologis sebagai inducer atau perangsang
tetapi pada sisi lain memiliki sifat inhibisi.

Gambar 25. Fungsi utama IL-10

Sitokin IL-10 merupakan salah satu yang dihasilkan oleh makrofag


atau monosit dengan peran. Sebagai inhibitor, IL-10 memiliki aktifitas
untuk menghambat laju reaksi reaksi alergi, sebagaimana dijelaskan
pada Gambar.

249
Akmaa

Gambar 26. Mekanisme IL-10 sebagai imunotoleransi

E. KEMOKIN
Kemokin merupakan superfamili protein kecil dengan peran yang
penting pada penyelenggaraan respon imun dan reaksi inflamasi. Me-
kanisme aktifasi kemokin dalam penyelenggaraan respon imun dis-
ajikan pada Gambar.

250
Modul Imunologi

Gambar. 27. Ekspresi reseptor CCR dan CXCR serta mekanisme keter-
libatan kemokin pada penyelenggaraan respon imun melalui sel Th1,
Th2 dan Tsn

Semokin adalah sitokin kemotaktik yang dihasilkan oleh berbagai


sel lekosit dan sel lain. Fungsi utamanya adalah menarik lekosit di dae-
rah infeksi dan berperan penting pada proses perpindahan lekosit ke-
luar dari pembuluh darah menembus epithelium dan mengarahkannya
menuju lokasi infeksi.
Berdasarkan struktur sistein penyusunnya, semokin dibagi menja-
di 4 famili. 2 famili a-semokin yang memiliki struktur CXC (dua sistein
mengapit satu asam amino ditengah) dan b-semokin yang memiliki
struktur CC (dua sistein). Satu semokin sering dapat berikatan dengan

251
Akmaa

lebih dari satu reseptor.


Tabel Famili kemokin dan kegunaannya

Aktifitas biologis kemokin dalam tubuh beragam tergantung tar-


get sel. Reseptor CCR tersebar pada berbagai sel, antara lain makrofag,
basofil, eosinofil

Gambar 29. Aktifitas kemokin dan sel yang mempengaruhinya

252
Modul Imunologi

Aktifasi reseptor kemokin membangkitkan signal intraseluler se-


bagaimana dijelaskan pada Gambar.

Gambar 30. Mekanisme aktifasi signaling intraseluler.

253
Akmaa

Namun begitu perlu diwaspadai juga adanya respon imun yang


belum tentu menguntungkan dengan keterlibatan reseptor kemokin.
Pada kasus infeksi HIV, reseptor kemokin terutama CCR5 diduga terli-
bat dalam transmisi HIV. Reseptor kemokin CCR5 terlibat pada trans-
misi HIV melalui aktifasi GPCR sebagaimana disajikan pada Gambar.
Aktifasi sel Th oleh patogen HIV yang ada dalam makrofag melalui re-
septor GPCR dibantu dengan CCR5 antara lain menyebabkan disekres-
inya sitokin, proliferasi sel terinfeksi HIV dan replikasi virus. Stimulasi
CCR5 oleh glikoprotein (gp)120 R5 pada proliferasi makrofag yang di-
aktifasi oleh signal yang dihasilkan mitogenic signalling cascade dari Raf
ke MEK (mitogen-activated protein kinase (MAPK) dan extracellular
signal-regulated kinase (ERK) kinase) ke ERK.

Gambar 31. Keterlibatan reseptor kemokin dalam penyelengga-


raan transmisi virus HIV. Makrofag yang terinfeksi HIV berikatan
GPCR120 mengaktifkan CCR5

254
Modul Imunologi

F. FAKTOR PERTUMBUHAN
Selain anggota keluarga sitokin yang telah dibahas, sebenarnya
masih ada anggota keluarga lain yang dikelompokkan dalam faktor
pertumbuhan (growt factor). Pada umumnya kelompok sitokin ini mer-
upakan mediator dalam peradangan. Pada Bab ini tidak dibahas secara
rinci, namun hanya disebut jenisnya dalam Tabel 12-3.

Tabel . Faktor Pertumbuhan


Nama Kepanjangan
TGF-b Transfoming growth factor-b

PDGF Platelet – derived growth factor

EGF Epidermal Growth Factor

FGF Fibroblast growth factor

KTGF Keratocyte T cell growth factor

ENKGF Epidermal NK cell growth factor

Transforming Growt Factor (TGF-b)


Transforming growth factor-β1 (TGF-β1) merupakan salah satu sitokin pleoi-
tropik yang mengatur homeostasis reaksi inflamasi dan memperantarai respon imun
adaptif. Famili TGF-β meliputi TGF-β1, TGF-β2, dan TGF-β3, merupakan
kelompok sitokin pleiotropik dengan karakteristik khusus sebagai an-
tiinflamasi kuat dan bersifat imunoregulator. Sitokin TGF-β1 memiliki
peran biologis yang luas dan mempengaruhi berbagai tipe sel. Hasil
percobaan dan kajian pada manusia menunjukkan bahwa TGF-β1 me-
miliki peran besar pada proses fibrosis renal.

255
Akmaa

Gambar 32. Aktifitas biologis Tgf-B

Keberadaan TGF-β1 dibutuhkan untuk harmonisasi penyelengga-


raan respon imun inflamasi pada fase awal dan antiinflamasi pada re-
spon imun adaptif. Reaksi Inflamasi merupakan respon imun segera
yang bertanggung jawab terhadap adanya jejas. Ketiadaan TGF-β1 me-
nyebabkan terjadinya inflamasi kronik sebagaimana pada beberapa penyakit autoimun
seperti SLE, rematoid arthritis dan DM tipe 1. Namun begitu kadar TGF-β1 berle-
bihan dapat menyebabkan terjadinya fibrogenesis . Salah satu factor penentu
produksi TGF-B1 adalah gen TGF-B1. Polimorfisme TGF-B1 terbukti
berhubungan dengan kuantitas produk dan aktivitas TGF-B1 dan ke-
jadian penyakit autoimun. Romani di Iran menunjukkan bahwa kadar
TGF-B1 berhubungan dengan kejadian hepatitis oleh karena penurunan
respond an terjadinya peningkatan fibrogenesis. Wong et al. (2003) se-
belumnya telah membuktikan bahwa polimorfisme kodon 10 gen TGF-
B1 berhubungan dengan kejadian nefropati siabetika pada penderita
DM tipe II di Cina.
Fibrosis renal merupakan tahapan penting pada progresifitas keru-
sakan ginjal sehingga menjadi end stage renal disease (ESRD). TGF-β1

256
Modul Imunologi

berfungsi sebagai protektor ginjal dari IRI (ischemia renal injury). Telah
dibuktikan pada hewan uji mencit defisiensi limfosit dengan IRI pem-
berian TGF-β1 pada mencit tersebut dapat melindungi hewan uji dari
kerusakan ginjal akibat respon imun alamiah yang berlebihan. Peran
TGF-β1 dalam pencegahan kerusakan ginjal akibat IRI semakin nyata
pada hewan uji yang mengalami defisiensi Treg komplit yang diberi
perlakuan dengan IRI, ketiadaan FOXp3 sebagai faktor transkripsi Treg
membuat hewan uji mengalami autoimun disease dan berakhir dengan
kematian pada minggu ke-3 atau ke-4. Pemberian Treg adoptif pada
hewan uji defisiensi Treg komplit dengan perlakuan IRI terbukti dapat
menurunkan tingkat kerusakan ginjal dan mencegah kematian hewan
uji. Uji pada mencit RAG-1 KO dengan perlakuan IRI, dimana hewan uji
hanya memiliki respon imun alamiah, pemberian Treg adoptif dari luar
terbukti dapat menghambat respon imun alamiah destruktif sehingga
mengurangi kerusakan ginjal dan mencegah kematian hewan uji. Pene-
litian lainnya menunjukkan bahwa pemberian Treg adoptif pada luka
bakar mampu menekan respon imun alamiah berlebihan yang bersifat
destruktif sehingga mampu mencegah kematian hewan uji tetapi masih
tetap mampu menghambat kematian akibat adanya infeksi.
Manfaat Sitokin dibidang klinik
Aplikasi sitokin pada klinik sangat luas. Penemuan dan peng-
kajian serta pemahaman berbagai sitokin oleh para klinisi memberikan
pencerahan bukan saja pada pemahaman tentang patofisiologi penyak-
it, terutama penyakit autoimun yang jarang kejadiannya di masyarakat,
tetapi juga memperbaiki penatalaksanaan dan terapinya.

257
Akmaa

Tabel Manfaat sitokin di klinik

Telah dikembangkan obat-obat biosimilar yang memiliki cara kerja


sebagai antisitokin untuk pengobatan penyakit autoimun seperti asma,
rematoid arthritis, colitis ulseratif dsb. Obat antisitokin sebagian sudah
dipasarkan dengan berbagai merek dagang dan berbagai mekanisme
aksi.

258
Modul Imunologi

Tabel Pengembangan obat-obat biosimilar yang didasarkan pada


struktur dan aktifitas biologis sitokin

Efek Imunomodulator herbal pada sitokin


Tanaman obat menjadi salah satu pusat perhatian dalam pengem-
bangan imunomodulator. Penelitian in vitro dan in vivo maupun kilnis
untuk menemukan imunomodulator herbal telah berkembang dengan
pesat. Berbagai spesies tanaman yang memiliki aktifitas sebagai imu-
nomodulator telah diidentifikasi. Tabel menunjukkan beberapa tana-
man obat dan pengaruhnya terhadap sitokin serta model atau metode
penelitian.

259
Akmaa

Tabel Tanaman obat dan sitokin yang dipengaruhi

260
Modul Imunologi

DAFTAR PUSTAKA

1. Durum, S.K., Schmidt, J.A. Oppenheim, J.J Interleukin 1 : An im-


munological perspective. Ann Rev. Immunol. 3 : 263., 1985.
2. Durum, S.K. and Oppenheim, J.J. Macrophage-Derived Mediator :
Interleukin and related cytokine. Dalam : Fundamental Immunol-
ogy, 2nd ed. William E. Paul (ed). Raven Press-New York, 639-661.,
1989.
3. Finkelman, F.D., Katma. I.M., Urban, J.F. and Paul. W.E. Control
of in vivo IgE production in the mouse by interleukin-4. dalam :
IgE, Mast cells and the allergic response, Willey, Chichester (Ciba
Foundation Symposium 147) pp.3-22., 1989.
4. Gillis, S. T-cell derived Lymphokines. Dalam : Fundamental Im-
munology. 2nd ed. William E. Paul (ed). Raven Press New York.
867-889., 1989.
5. Ishizaka, K and Ishizka, T. Allergy. Dalam : Fundamental Immu-
nology 2nd ed. William E. Paul (ed). Raven Press. New York, pp.
867-889., 1989.
6. Isaacs, A. And Lindeman, J. Virus Interference. I. The Interferon.
Proc. Natl. Acad, Sci. USA, 147 : 258., 1957.
7. Namen. A.E., Schmierer, A.E., March, C.J., Verell, R.W., Pork, L.S.,
Urdal, D.L. and Mochizuki, D.Y. J. Exp. Med. 167 : 988, 1988.
8. Oppenheim, J.J. et al. There is more than one IL-1. Immunol. To
day. 7 : 45., 1986.
9. Oppenheim, J.J. Ruscetti, F.W. and Faltynek, C,R. Interleukin and
Interferon dalam : Basic and Clinical Immunology. 6th, ed. Daniel P,
Stites et al (eds). Appleton and Lange Norwalk, 1987. pp. 82-95.

261
Akmaa

10. Whitlock, C.A. and Witte, O.N. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 79 :
3608, 1982.
11. Zilberstein, A., Ruggieri, R., Korn, J.H. and Revel, M. Sctructure
and expression of cDNA and genes for human interferon bete-2,
a distinct species inducible by growth stimulatory eytokine. V.
EMBO J. 5:2599., 1986.

Soal latihan Bab 6


Jelaskan secara ringkas dan jelas pengertian dari istilah berikut:
1. sitokin
2. monokin
3. limfokin
4. growt factor
5. parakrin
6. autokrin
7. endokrin
8. interleukin
9. factor transkripsi
10. kemokin

Jawablah dengan jelas pertanyaan berikut:


1. Apakah perbedaan antara monokin, limfokin, interleukin dan fac-
tor kemotaksis?
2. Sebutkan komponen dan proses interaksi ligan pada sitokin golon-
gan I
3. Apakah manfaat sitokin, limfokin dan monokin?
4. Sebutkan persamaan dan perbedaan TNF-a dengan IL-1
5. Sebutkan tahapan mekanisme aktifasi reseptor IFN-g

262
Modul Imunologi

~ BAB VII ~
INFLAMASI DAN RESPON IMUN SEGERA

Tujuan :

Dapat menjelaskan pengertian, manfaat dan fungsi inflamasi.


Dapat menjelaskan mekanisme inflamasi akut, kronik dan
granulomatosa
Dapat menjelaskan sel yang terlibat pada reaksi inflamasi
Dapat menjelaskan jenis sitokin dan mediator yang terlibat
pada reaksi inflamasi
Dapat menjelaskan aplikasi konsep inflamasi pada bidang
klinis
Dapat menyebutkan herbal yang memiliki zat aktif berefek
antiinflamasi

263
Akmaa

A. PENGANTAR
Inflamasi adalah reaksi dari jaringan hidup terhadap trauma atau
infeksi, bias dalam kondisi akut maupun kondisi kronik. Inflamasi akut
bias dikuti dengan pemulihan segera atau jika stimulus menetap da-
pat berkembang menjadi kronik. Secara klinik inflamasi akut dicirikan
dengan hangat/panas, kemerahan, bengkak, nyeri dan berkurang atau
gangguan fungsi.
Manfaat reaksi Inflammasi antara lain: (i) melarutkan dan menge-
luarkan toksin; (ii) Menghambat penyebaran bakteri; (iii) Memfasilitasi
masuknya neutrophils, complement, opsonins dan antibodies; (iv) Me-
nyediakan persediaan mediator inflamasi; (v) Menjamn peningkatan
persediaan nutrisi sel; (vi) Meningkatkan inisiasi respon imune dan
(vii) Menginisiasi proses penyembuhan. Fungsi inflamasi antara lain :
1. Mengirimkan molekul efektor dan sel-sel ke lokasi infeksi
2. Membentuk barier fisik terhadap perluasan infeksi atau kerusakan
jaringan
3. Pemulihan luka dan perbaikan jaringan

Inflamasi akut dapat memberikan efek yang tidak menguntung-


kan. Udema atau pembengkakan akibat reaksi inflamasi akan memberi-
kan efek mekanik, misalnya pada epiglotitis akut, udema yang terjadi
pada epiglottis dapat menyumbat saluran nafas dan penderita men-
galami hipoksia. Udema dengan sendirinya dapat mengganggu fungsi
atau menimbulkan gangguan fungsi akibat dari pengaruhnya terhadap
hambatan aliran darah, terutama jika terjadi pada rongga sempit atau
ruang yang terbatas sehingga membatasi pembengkakan jaringan, sep-
erti di dalam kranium. Udema akibat trauma dan reaksi inflamasi di cra-
nium menyebabkan kenaikan intracranial dan menghambat aliran da-
rah ke jaringan otak menyebabkan serangkaian reaksi yang berdampak

264
Modul Imunologi

pada kerusakan sel otak. Inflammation juga berkontribusi pada keru-


sakan jaringan. Jika inflamasi akut gagal memperbaiki kondisi maka
inflamasi kronik yang berjalan dapat menmbulkan kerusakan jaringan
, dimana dapat berujung terbentuknya jaringan parut atau scarring dan
hilangnya fungsi.
Beberapa istilah penting mengenai reaksi inflamasi atau radang:
Marginasi : menempelnya sel-sel pada endotel vaskuler
Ekstravasasi : emigrasi dari endotel kapiler ke jaringan. (ekstravasasi
= diapedesis)
Kemotaksis : migrasi langsung melalui jaringan ke lokasi inflamasi
Pus : akumulasi sel-sel mati, bahan-bahan yang tercerna
oleh sel dan cairan

B. Respon Inflamasi

1. Inisiasi inflamasi
Inflammation merupakan akibat dari berbagai kondisi antara lain
infeksi, trauma fisik atau injuri, luka bakar, keracunan, alergi dan hi-
persensitifitas, serta penyakit autoimun yang berujung dengan dike-
luarkannya mediator proinflamasi. Sifat alami mediator proinflamasi
adalah menimbulkan serangkaian reaksi yang disebut denganrespon
inflamasi. Jenis dan derajat kerusakan serta factor genetic perorangan
mempengaruahi reaksi inflamasi. Gambaran kaitan antara berbagai
kondisi yang membangkitkan reaksi inflamasi dan akibatnya, disajikan
pada gambar.

265
Akmaa

Gambar 7.1. Mekanisme reaksi inflamasi factor terkait dan dampak yg


ditimbulkannya

Komponen system imun alami dan adaptif saling dukung men-


dukung terlibat dalam penyelenggaraan respon inflamasi.

Inflamasi diawali oleh kompleks interaksi yang melibatkan medi-


ator-mediator kimiawi.

266
Modul Imunologi

Gambar 7.2. Mekanisme respon inflamasi pada infeksi

Beberapa di antaranya ada yang diturunkan dari organisme yang


menginvasi, ada yang dikeluarkan oleh jaringan yang rusak, dari enzim
plasma, serta dari sel-sel darah putih. Beberapa mediator kimiawi yang
penting diketahui antara lain:

267
Akmaa

1. Histamin (dilepaskan oleh sel-sel setelah kerusakan jaringan dan


merangsang vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler)
2. Lekotrin (dihasilkan dari membran sel dan meningkatkan kontrak-
si otot polos dan mendorong kemotaksis untuk netrofil)
3. Prostaglandin (dihasilkan dari membran sel dan meningkatkan
vasodilatasi, permeabilitas vaskuler dan mendorong kemotaksis
untuk netrofil)
4. Platelet aggregating factors (menyebabkan agregasi platelet dan
mendorong kemotaksis untuk netrofil
5. Kemokin (dihasilkan oleh berbagai sel dan berperan sebagai peng-
atur lalu lintas lekosit di lokasi inflamasi). Ada beberapa macam
kemokin, misalnya: IL-8 (interleukin-8), RANTES (regulated upon
activation normal T cell expressed and secreted), MCP (monocyte
chemoattractant protein)
6. Sitokin (dihasilkan oleh sel-sel fagosit di lokasi inflamasi dan ber-
peran sebagai pirogen endogen yang memicu demam melalui hi-
potalamus, memicu produksi protein fase akut oleh hati, memicu
peningkatan hematopoiesis oleh sumsum tulang sehingga terjadi
lekositosis). Ada beberapa macam sitokin yaitu: IL-1 (interleu-
kin-1), IL-6 (interleukin-6), TNF-a (tumor necrosis factor alpha).
Mediator lain (dihasilkan akibat proses fagositosis). Ada beberapa
mediator lain yaitu nitrat oksida, peroksida dan oksigen radikal. Ok-
sigen dan nitrogen merupakan intermediat yang sangat toksik untuk
mikroorganisme.
2. Reaksi pd Respon Inflamasi
Pelepasan mediator inflamasi seperti leukotrien dan prostaglan-
din serta kandungan sitoplasma lain akibat keruskan sel merupakan
inisiasi reaksi inflamasi pada trauma. Komponen bakteri dan toksin
yang dikeluarkan bakteri merupakan rangsang inflamasi pada infeksi.

268
Modul Imunologi

Degranulasi sel mast dan aktifasi komplemen akibat trauma fisik me-
nyebabkan dilepaskannya histamine. Makrofag jaringan yang menin-
gesti partikel dan debris, menjadikannya aktif dan meepaskan sejum-
lah sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a. Macrophages
juga menghasilkan chemokines, dimana kemokin ini dapat menarik
perhatian lekosit khusus untuk bergerak menuju ke lokasi infeksi atau
trauma . Prostaglandins, histamine dan komponen complement (teru-
tama anaphylatoxins C3a and C5a) menyebabkan vasodilatasi dan pen-
ingkatan permeabilitas vascular. Kondisi Hiperpermeabilitas vaskuler
meningkatkan extravasation cairan, termasuk macromolecules, dimana
ekstravasasi makromolekul seperti ini pada kondisi vakuler normal
tidak mungkin terjadi.

Gambar 7.3. Mekanisme hipermeabilitas dan ekstravasasi pada reaksi


inflamasi

269
Akmaa

Tabel 7.1. Kemokin yang terlibat pada inflamasi dan respon imun
alami lainnya.

270
Modul Imunologi

Monokines juga merubah atau mempengaruhi endotel vascular lokal,


membuat endotel lebih ‘sticky’ melalui adanya senyawa yang disebut dengan
molekul adhesion, dan terjadi peningkatan ekspresi molekul procoagulant. Pe-
rubahan kondisi endotel vaskuler tersebut meningkatkan pembekuan di pembu-
luh darah local untuk membantu berhentinya perdarahan serta untuk mengham-
bat penyebaran bakteri.
Leucocytes bermigrasi ke daerah inflamasi, dengan jenis neutro-
phils yang dating paling awal, kemudian diikuti oleh monosit dan lim-
fosit dalam hitungan jam sampai hari. Leucocytes secara normal beredar
dalam pembuluh darah mengikuti aliran darah yang bersifat laminer.
Leucocytes melakukan kontak dengan endothelium secara intermitten,
melakukan rolling sepanjang vaskuler utk beberapa saat, dan kemudi-
an lepas dan beredar di tengah pembuluh darah sebagaimana semula,
apabila tidak terdapat timulus lebih lanjut dari molekul adherent. Jika
rolling leucocyte menjumai endotel inflamed yang mengekspresikan
molekl adesi integrin teraktifasi, integrin memdiasi terbentuknya adesi
antara lekosit dengan endotel dalam bentuk tight binding. Leucocyte ke-
mudian dapat melakukan migrasi melalui celah endotel yang sempit
dengan dibantu oleh adanya pasangan molekul adesi yang lain (diape-
desis). Leucocytes mencapai lokasi jaringan yang mengalami kerusakan
secara chemotaxis (directional cell migration). Mediator Chemotactic me-
diators yang menarik perhatian neutrophils antara lain anaphylatoxins,
leukotrienes, chemokines seperti IL-8 (diproduksi oleh macrophages)
dan produk bacterial, terutama formyl peptides.
Komposisi infiltrate inflamatorik dipengaruhi oleh penyebab awal
inflamasi. Inflamasi supuratif merupakan cerminan dari infeksi bakteri
piogenik. Inflamasi infiltrative didominasi oleh netrofil dan kemudian
dihasilkan pus. Pus atau nanah adalah campuran semi likuid yang berisi
bakteri, sel rusak dan netrofil. Pus berwarna hijau oleh karena mengand-
ung banyak neutrophil myeloperoxidase.

271
Akmaa

Tabel 7.2. Mediator inflamasi utama

Abses merupakan sebutan khusus untuk pus yang terlokalisir


pada suatu tempat tertentu yang mengalami reaksi inflamasi atau lokus
infeksi.
Degranulasi sel mas juga berperan penting pada inisiasi inflamasi
tipe infiltrative ini, dimana pada tahap awal inflamasi infiltartif yang
melibatkan sel mas ini didominasi dengan gambaran udema jaringan
dan masuknya eosinofil pada jaringan yang mengalami inflamasi, teta-

272
Modul Imunologi

pi perbedaannya dengan jenis inflamasi infiltrative sebelumnya, infla-


masi infiltrative oleh sel mas dan eosinofil tidak terbentuk pus.
Tahap akhir inflamasi adalah masuknya monosit dan limfosit
yang dipikat oleh kemokin yang dikeluarkan oleh makrofag dan sel
yang lain yang menginfiltrasi jaringan inflamasi. Apabila penyebab
inflamasi berhasil dikeluarkan atau di eradikasi maka reaksi inflamasi
akut segera pulih, biasanya tidak akan meninggalkan bekas atau tidak
menimbulkan kerusakan jaringan. Sekali stimulus atau penyebab infla-
masi berhasil dikeluarkan maka kehadiran sel baru akan segera sangat
berkurang. Lekosit yang berada di jaringan inflamasi kemudian men-
galami kematian secara apoptosis dan dikeluarkan oleh makrofag pen-
ghuni kjaringan tersebut (resident macrophag). Fibroblasts berperan
dalam reparasi jaringan ikat, menghilangkan jaringan parut dan pem-
bentukan kalus pada epitel sehingga tampak rapi.
Kejadian fisiologis utama selama inflamasi antara lain:
1. Terjadi vasokonstriksi segera pada area setempat
2. Terjadi peningkatan aliran darah ke lokasi radang (vasodilatasi)
3. Terjadi penurunan velocity aliran darah ke lokasi radang (lekosit
dapat mengalir lambat dan menempel di endotel pembuluh darah
4. Terjadi peningkatan adhesi endotel pembuluh darah (lekosit dapat
terikat pada endotel pembuluh darah)
5. Terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler (cairan masuk ke jarin-
gan)
6. Fagosit masuk jaringan (melalui peningkatanmarginasi dan ek-
stravasasi)

273
Akmaa

Gambar 7.4. Gambaran klinis, fisiologis dan tahapan interaksi lekosit


dengan endotel pada inflamasi

Dalam waktu singkat setelah trauma atau infeksi, pembuluh darah


membawa darah, akibatnya membanjiri jaringan kapiler. Oleh karena
itu jaringan menjadi merah dan memanas. Peningkatan permeabilitas
kapiler mengakibatkan masuknya cairan dan sel-sel dari kapiler ke jar-
ingan di sekitarnya. Cairan yang terakumulasi (eksudat) berkadar pro-
tein lebih tinggi daripada cairan normal. Akumulasi cairan ini mengaki-
batkan bengkak (edema).
Peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan velocity darah, dan

274
Modul Imunologi

peningkatan ekspresi molekul adhesi juga menyebabkan migrasi ber-


bagai lekosit dari kapiler ke jaringan. Fagosit adalah sel-sel utama yang
bermigrasi (pertama netrofil lalu diikuti makrofag). Netrofil berumur
pendek lalu mati dalam jaringan. Makrofag berumur lebih lama. Selan-
jutnya limfosit B dan limfosit T juga masuk ke lokasi radang.
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, mis-
alnya luka bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merang-
sang pelepasan berbagai mediator pro-inflamasi seperti sitokin; yang
selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses pe-
nyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin
adalah pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul
utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL1,
IL6), interferon, Colony Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor
selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan
sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder
seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Fac-
tor (PAF), radikal bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi
dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi se-
hingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah
melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off)
jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.

C. Tiga jenis inflamasi


Inflamasi ada 3 macam yaitu akut, kronik dan granulomatosa. In-
flamasi akut meningkatkan presentasi antigen kepada system imun,
menyelenggarakan respon imun terhadap organism penginfeksi. APC
termasuk sel dendritik dan makrofag yang terdapat di jaringan infla-
masi kontak dengan antigen dan kemudian teraktifasi. Pada reaksi
inflamasi akut biasanya akan terjadi hemostasis dengan terbentuknya

275
Akmaa

jaringan thrombus penutup luka oleh trombosit untuk menghentikan


perdarahan diikuti dengan infiltrasi netrofil dan penghancuran mikro-
ba atau pathogen oleh netrofil infiltrate. Terjadi aktifasi makrofag dan
kemudian diikuti dengan hadirnya limfosit di lokasi inflamasi, terjadi
hipervaskularisasi sehingga meningkatkan suplai protein plasma pro-
tektif di lokasi infeksi. Apabila reaksi inflamasi akut berhasil meng-
hilangkan pathogen maka reaksi inflamasi segera berhenti, tetapi tidak
berhasil maka akan berkembang menjadi inflamasi kronik.
Patogen penginfeksi yang menetap dalam jaringan akan merang-
sang reaksi inflamasi kronik. Inflamasi kronik dicirikan adanya pem-
bentukan jaringan parut dari kolagen yang dihasilkan fibroblast. Pada
reaksi inflamasi kronik, jaringan inflamasi terinfiltrasi oleh sel limfosit
dan fagosit mononuclear, monosit dan makrofag. Berbeda dengan reak-
si inflamasi akut yang didominasi oleh fagosit polimorfonuklear atau
netrofil. Pada penyakit autoimun, reaksi inflamasi kronik tidak dida-
hului adanya reaksi inflamasi akut.Pada reaksi inflamasi kronik diikuti
dengan gangguan fungsi dan adanya bekas yang disebut “scar” akibat
reaksi inflamasi apabila dapat dihentikan. Reaksi inflamasi kronik yang
gagal dihentikan akan bersifat progresif dan menimbulkan pemben-
tukan fibrosis progresif yang bersifat destruktif sehingga fungsi organ
terganggu atau hilang. Contoh reaksi inflamasi kronik adalah asma
persisten yang dicirikan dengan perubahan struktur bronkhiolus, sistik
fibrosis dengan cirri utama bergantinya jaringan normal pada berbagai
organ dalam dengan jaringan fibrotic dan rematoid arthritis dengan
deformasi pada persendian.

276
Modul Imunologi

Gambar 7.5. Tiga jenis reaksi inflamasi

Inflamasi granulomatosa merupakan bentuk khusus reaksi infla-


masi kronis. Inflamasi granulomatous adalah bentuk khusus inflamma-
tion kronik yang dikaitkan dengan tingginya aktifitas makrofag, yang
dikendalikan oleh IFNγ yang diproduksi oleh sel Th. Macrophages
berdiferensiasi menjadi sel epithelioid dengan dominasi fungsi sekre-
torik dan penurunan kapasitas fagositosis. Pada inflamasi granuloma-
tosa makrofag berfusi menjadi sel raksasa bernukleas ganda. Bangunan
yang tersusu atas kumpulan atau gabungan sel epiteloid, sel raksasa
dan limfosit pada jaringan inflamasi disebut dengan granuloma. In-
flamasi granulomatosa berhubungan dengan infeksi oleh Mycobacteria,
Treponema pallidum (penyebab sifilis) dan jamur. Inflamasi granuloma-
tous juga terbentuk di sekeliling korpal atau benda asing dalam jarin-
gan, kelainan autoimun dan kondisi idiopati seperti sarkoidosis.

3. INFLAMASI PD BERBAGAI KONDISI

a. Infeksi dan Inflamasi


Peradangan merupakan respon tubuh terhadap cedera selular.
Reaksi inflamasi lokal ditandai dengan peningkatan aliran darah awal
ke lokasi cedera, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, dan
akumulasi selektif sel efektor yang berbeda dari darah perifer ke dae-
rah luka. Cedera sel dapat terjadi karena trauma, kerusakan genetik,
agen fisik dan kimia, nekrosis jaringan, agen tubuh asing, reaksi imun
dan infeksi.
Infeksi bisa bersifat akut atau kronis dan bersifat subyektif. Suatu
kondisi akut biasanya disertai dengan pembengkakan dan rasa sakit
yang hebat dengan manifestasi sistemik yaitu malaise dan demam yang
berkepanjangan. Bentuk kronis bisa berkembang dari penyembuhan se-

277
Akmaa

bagian keadaan akut, serangan yang lemah atau pertahanan yang kuat.
Infeksi-infeksi kronis sering ditandai dengan ketidaknyamanan dalam
berbagai tingkatan dan bukannya rasa sakit, serta reaksi ringan dari jar-
ingan sekitarnya.
Pada keadaan infeksi, dapat juga terjadi bakteremia. Bakteremia
terjadi karena masuknya bateri ke dalam peredaran darah melalui akses
seperti infeksi odontogenik (abses, selulitis, dll). Hal ini disebabkan per-
meabilitas dari epitel sekitar jaringan gigi dan wajah dan tingkat prosta-
glandin dalam sirkulasi lokal, yang meningkatkan jumlah leukosit dan
tingkat fibrinogen, memperlambat sirkulasi dan mendukung bagian
bakteri ke dalam darah.
Infeksi, bakteriemia dan sepsis
Keadaan khusus infeksi dan bakteriemia adalah sepsis. Sepsis
merupakan sindrom klinis yang terjadi akibat reaksi inflamasi sistemis
pada manusia yang mengalami infeksi oleh mikroorganisme biasanya
terjadi bakteriemia atau adanya endotoksin. Protein C-reaktif (C-reactive
protein=CRP) adalah suatu globulin yang disintesis oleh sel hepatosit
dan disekresi ke dalam darah. Kadar CRP akan meningkat bila terjadi
respons inflamasi lokal atau sistemis, dan lebih spesifik pada penyakit
infeksi neonatal seperti sepsis neonatorum dan meningitis . Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk menggunakan CRP ini sebagai pa-
rameter dalam menegakkan diagnosa sepsis neonatorum. Hasil peneli-
tian ini sangat bervariasi. Ng et al. (1997), di bagian IKA FK Universitas
Hongkong mendapatkan pemeriksaan CRP mempunyai nilai sensitivi-
tas 84% dan spesifisitas 96%, pada 68 orang bayi berat lahir sangat ren-
dah sebagai pemeriksaan marker tunggal. Kombinasi antara CRP dan
IL–6 menunjukkan nilai sensifitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan
nilai prediksi negatif berturut-turut meningkat menjadi 93%, 96%, 95%
dan 95%. Chiesa et al. (2001) juga mengatakan diperlukan pemeriksaan

278
Modul Imunologi

CRP terhadap neonatus sehat yang lahir mempunyai faktor risiko pada
148 neonatus yang diteliti. Selanjutnya mereka mendapatkan hasil yang
bermakna dari pemeriksaan CRP serial bersamaan dengan IL-6 pada
kasus tersangka sepsis secara faktor risiko tersebut.
Berbeda dengan peneliti lainnya, Anwer & Mustafa (2003) meneliti
lima puluh neonatus yang memiliki faktor risiko di bagian perawatan
intensif Bagian Anak RS Shaheed Abbasi, Karrachi Pakistan, didapat-
kan pemeriksaan CRP dengan sensitifitas diatas 60% dan spesifisitas
50%, sedangkan untuk dapat membantu menegakkan diagnosis sepsis
neonatorum, CRP mempunyai nilai sensitivitas sebesar 84 dan spesifisi-
tas 96%. Bahkan Posen & Lamos (1998) mendapatkan kasus sepsis neo-
natorum yang pada tindak lanjut masih ditemukan bakteri pada biakan
darah, namun kadar CRP telah menurun. Padahal secara teoritis kadar
CRP akan menurun bersamaan dengan perbaikan keadaan pasien.
Infeksi parasit malaria dan jenis sitokin

Sitokin proinflamasi dan malaria


Pada infeksi malaria manusia dapat terjadi perubahan reaktif imun
yang lambat pada fase akut dan terjadi sepanjang waktu setelah clear-
ance parasit dalam sirkulasi. Respon imun inflamasi memerlukan clear-
ance parasit yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan, mengaktif-
kan fagosit untuk membunuh parasit intraseluler dan ekstra-seluler.
Ia juga menyebabkan efek sistemik seperti anemia berat dan malaria
serebral.(12)
TNF- α
Karakteristik pertama dari parasit meningkatkan sitokin TNF-α
dari makrofag pada infeksi eritrosit oleh plasmodium, pigmen malaria
dan glikolipid seperti GPI (glycosyl phosphatidylinositol). TNF-α ber-
peran dalam pengaturan makrofag memprodusi IL-12 dan menunjuk-

279
Akmaa

kan TNF-α penting sebagai ko-faktor untuk IL-12 dalam meningkatkan


produksi IFN-γ oleh sel NK. Konsentrasi NO dan TNF-α dalam plasma
dihubungkan dengan perubahan demam dan clearance parasit.(12)
TNF-α meningkatkan ekspresi mole-kul adhesi pada endotel sep-
erti ICAM-1 (Inter Cellular Adhesion Molecule-1), ELAM-1 (E-selektin),
VCAM-1 (Vascular Cell Adhesion Molecule-1), CD-36 (Clusters of Dif-
ferentiation anti gen-36) yang merupa-kan ligand bagi parasit dengan
endotel pembuluh darah pada proses sitoadherens parasit karenanya
mungkin berperan dalam menimbulkan malaria berat. TNF-α sudah
diproduksi dari awal infeksi dan akan semakin meningkat pada waktu
stadium skizogoni dan pelepasan mero-zoit, juga kadar TNF-α pada in-
feksi P.falciparum lebih tinggi di banding pada infeksi P. vivax.(9)
Sitokin anti inflamasi dan malaria
Pada awal respon sitokin proinfla-masi dapat dilihat pada media
proteksi imun, respon yang lambat berkontribusi patologi. Ini mem-
buktikan bahwa keseim-bangan respon inflamasi mungkin ada selama
infeksi malaria. Respon yang tidak seimbang, berperan pada beratnya
penya-kit, anemia dan dapat menimbulkan kematian.(6,13)
Interleukin 10 (IL-10)
IL-10 ditemukan dalam plasma pada penderita akut malaria, di-
hasilkan oleh monosit, sel Th-2 dan sel B, menghambat produksi sitokin
pada Th-1 dan sel CD8+ tetapi tidak pada sel Th-2. Walaupun IL-10
tidak mempunyai efek proliferasi Th-1 dan sel CD8+, tetapi ia mening-
katkan proliferasi sel B dan produksi imunoglobulin yang perlu untuk
perkembangan dan maturasi dari anti bodi anti malaria. IL-10 mempu-
nyai peran yang penting pada respon sel T helper pada malaria. IL-10
juga berfungsi sebagai down regulator pada makrofag-/inhibitor mak-
rofag, mengurangi presentasi antigen, menghambat produksi ROI dan
NOI, mencegah sel Th-1 berproliferasi dan menekan produksi IFN-γ,

280
Modul Imunologi

IL-6, TNF-α dan GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimu-


lating Factor) oleh sel T. IL-10 ber-peran penting dalam menetralkan
patologi dari makrofag pada malaria serebral dengan menghambat
sekresi IFN-γ dan TNF- α.(12)
Terjadinya anemia berat dihubung-kan dengan penurunan kon-
sentrasi IL-10 dalam sirkulasi dan meningkatkan perban-dingan TNF-α
dan IL-10. Hal ini berkon-tribusi pada penekanan reversibel sumsum
tulang yang terjadi pada penderita mala-ria.(12)
Pada penderita malaria falciparum didapatkan bahwa IL-10 da-
pat mengham-bat produksi TNF-α. Dalam serum penderita malaria
ringan������������������������������������������������������������
/tanpa komplikasi terdapat peningkatan kadar IL-10 dan penu-
runan kadar TNF-�������������������������������������������������
�����������������������������������������������
, sedang-kan pada malaria serebral ditemukan ka-
dar TNF-α yang tinggi.
b. Inflamasi, Syok dan SIRS
Pada infeksi atau trauma akibat luka bakar yang berat dapat me-
nyebabkan reaksi inflamasi yang berlebihan. Reaksi inflamasi yang ber-
lebihan dapat berakibat fatal. Salah satu manifestasi klinis reaksi infl-
masi yang berlebihan disebut dengan SIRS. Perjalanan SIRS dijelaskan
menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa tahap.
Tahap I
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, mis-
alnya luka bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merang-
sang pelepasan berbagai mediator pro-inflamasi seperti sitokin; yang
selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses pe-
nyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin
adalah pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul
utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL1,
IL6), interferon, Colony Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor
selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan

281
Akmaa

sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder


seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Fac-
tor (PAF), radikal bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi
dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi se-
hingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah
melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off)
jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru
meningkatkan respon lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit
dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Growth Factor/GF). Selan-
jutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan mel-
alui penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis
endogen (antagonis reseptor IL1 dan mediator-mediator anti-inflamasi
lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF (Transforming Growth
Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga
respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down regu-
lating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah
dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III
(SIRS); terjadi reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin beru-
bah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri mediator-mediator inflamasi
sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam
berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif re-
gional dan sistemik (terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan
permeabilitas mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular, ak-
tivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-perubahan
patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikenda-

282
Modul Imunologi

likan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC),


ARDS, MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada
pasien luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami
MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sep-
sis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebab-
kan penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi
ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran
cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier
berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri.
Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal usus yang
bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat pe-
rubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan
beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier ter-
hadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga
mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enter-
otoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses
degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa usus yang
dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-
kondisi yang memicu SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan
disfungsi karena gangguan sistem autoregulasi serebral yang mem-
beri dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal me-
nyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute
Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (Acute Re-
nal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi
otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan
produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis.

283
Akmaa

Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan teru-


tama gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan
penurunan fungsi barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC)
yang sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis aki-
bat cedera termis. LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotok-
sin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pele-
pasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang
timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian
berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipo-
metabolik pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase se-
lanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh khususnya sistim
imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi
sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda
asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada
jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar
merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.

284
Modul Imunologi

Abbas. A.K., Litchman, A.H., 2004. Basic Immunology: Function and disor-
der and the immune system, Scond edition, Elsevier, Shang hai
Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Jakarta
�������������������������������
: Balai Penerbit Fakul-
tas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Bennett, C.L., Christie J, Ramsdell F, Brunkow ME, Ferguson PJ, White-
sell L, Kelly,TE, Saulsbury FT, Chance PF, Ochs HD., 2001b. The im-
mune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked
syndrome (IPEX) is caused by mutations of FOXP3. Nat Genet.
27(1):20-1
Bettelli, E, carrier, Y, Gao, W, Korn, T, Strom, T.B., Oukka, M, Weiner,
H.L, Kuchroo, V.K..,2005a. Reciprocal developmental pathways for
the generation of pathogenic effector TH17 and regulatory T cells.,
Nature. 441(7090):235-8
Bettelli, E., Dastrange, M., Oukka, M., 2005b. Foxp3 interacts with nu-
clear faktor of activated T cells and NF-kappa B to repress cytokine
gene expression and effector functions of T helper cells, Proc Natl
Acad Sci. 102(14):5138-43
Bettelli, E., Oukka, M., Kuchroo, V.K., 2007. T(H)-17 cells in the circle of
immunity and autoimmunity, Nat Immunol. 8(4):345-50
Bogdan, C., 2011. Regulation of lymphocytes by nitric oxide, Methods
Mol Biol. 677:375-93.
Colombo, M.P., and Trinchieri, G., 2002. Interleukin 12 in antitumor im-

285
Akmaa

Daftar Pustaka

munity and immunotherapy, Cytokine Growt Faktor Review. 13: 155


- 168
Couper, K.V., Blount, D.G., Riley, E.M., 2008. IL-10: The Master Regu-
lator of Immunity to infection, J Immunol. 180: 5771-5777
Curiel, T.J., 2007. Tregs and rethinking cancer immunotherapy, J. Clin.
Invest. 117(5): 1157-74
Dunn, G.P., Bruce, A.T., Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. Can-
cer immunoediting from immunosurveillance to tumor escape, Na-
ture immunology. 3(11): 991-8
Dunn, G.P., Old,L.J., Schreiber, R.D., 2004. The Immunobiology of Can-
cer Immunosurveillance and Immunoediting, Immunity. 21: 137–
148,
Dunn, G.P., Koebel, C.M., Schreiber, R.D., 2006. Interferons, immunity
and Cancer immunoediting, Nature Reviews Immunology. 6: 836-48
Fehervari, Z. and Sakaguchi, S., 2004. CD4Tregs and Immune control,
J.Clin Invest. 114 (9):1209-17
Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. The roles of IFNγ in protec-
tion against tumor development and cancer immunoediting, Cy-
tokine Growth Faktor Rev. 13: 95–109
Kim, R., Emi, M., Tanabe, K., 2007. Cancer immunoediting from im-
mune surveillance to immune escape, Immunology. 121:1–14
Klunker, S., Chong, M.M., Mantel, P.Y., Palomares, O., Bassin, C., Zie-
gler, M., Rückert, B., Meiler, F., Akdis, M., Littman, D.R., Akdis,
C.A., 2009. Transcription faktors RUNX1 and RUNX3 in the induc-
tion and suppressive function of Foxp3+ inducible regulatory T

286
Modul Imunologi

cells., J Exp Med. 206(12):2701-15


Knutson, K.L., Dang, Y., Lu, H., Lukas, J., Almand, B., Gad, E., Azeke,
E., Disis, M.L., 2006. IL-2 Immunotoxin Therapy Modulates Tu-
mor-Associated Regulatory T Cells and Leads to Lasting Immune-
Mediated Rejection of Breast Cancers in neu-Transgenic Mice, The J
Immunol. 177: 84–91.
Kresno, S.B., 2000, Imunologi : Dignosis dan Prosedur Laboratorium. Ed.
Keempat. UI: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Lin, W. and Karin, M., 2007. A cytokines-mediated link between innate
immunity, inflammation and cancer, J.Clin. Invest. 117(15):1175-83
Murphy, K.P., 2012. Janeway’s Immunobiology, Garland Science, New
York USA
Nelson, B.H., 2004. IL-2, Regulatory T Cells, and Tolerance, JI. 172:
3983–3988.
Parmiani, G. and Lotze, M.T., 2002, Tumor Immunology: molecularly de-
fined antigen and clinical application, Taylor and Francois, New York
USA
Parihar, R., Nadella, P., Lewis, A., Jensen, R., Hoff, C.D., Dierksheide,
J.E., 2004. A Phase I Study of Interleukin 12 with Trastuzumab in
Patients with Human Epidermal Growth Faktor Receptor- 2-Over-
expressing Malignancies: Analysis of Sustained Interferon _ Pro-
duction in a Subset of Patients, Clin Kankerncer Res. 10: 5027
Parslow, T.G., Stites, D.P., Terr, A.I., Imboden, J.B., 2003. Med. Immunol.,
tenth edition, Boston
Passerini, L., Allan, S.E., Battaglia, M., Nunzio, S.D., Alstad, A.N., Lev-
ings, M.K., Roncarolo, M.G., Bacchetta, R., 2008. STAT5-signaling
cytokines regulate the expression of FOXP3 in CD41CD251 regula-
tory T cells and CD41CD252 effector T cells, International Immunol-
ogy. 20(3): 421–431

287
Akmaa

Ramos, H.J., Davis, A.M., Cole, A.G., Schatzel, J.D., Forman, J., Far-
rar, J.D., 2009. Reciprocal responsiveness to interleukin-12 and
interferon-α specifies human CD8 effector versus central memory
T-cells fates, Immunobiology. 113(22):5516 - 5525

Latihan Soal bagian 1


Jelaskan secara ringkas dan jelas pengertian dari istilah berikut:
1. Inflamasi akut
2. Inflamasi kronik
3. Sitokin proinflamasi
4. Inflamasi granulomatosa
5. granuloma

Jawablah dengan jelas pertanyaan berikut:


1. Apakah perbedaan antara reaksi inflamasi akut dan kronik?
2. Sebutkan komponen dan proses pembentukan granuloma
3. Apakah manfaat inflamasi pada respon imun?
4. Sebutkan persamaan dan perbedaan pus dan abses
5. Sebutkan tahapan mekanisme patofisioogis inflamasi

288
Modul Imunologi

289
Akmaa

290

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai