net/publication/327890525
CITATIONS READS
0 621
2 authors, including:
Akrom Akrom
Ahmad Dahlan University
51 PUBLICATIONS 14 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Development of Nigella sativa oil as immunomodulator and antioxidant for metabolic syndroms patients View project
All content following this page was uploaded by Akrom Akrom on 26 September 2018.
Akrom
Akrom
PENGANTAR IMULOGI
UNTUK FARMASI
Pustaka Imany
1
Akmaa
2
Modul Imunologi
KATA PENGANTAR
Penyusun
3
Akmaa
4
Modul Imunologi
BAGIAN
I
~ BAB I ~
IMUNOLOGI BAGI FARMASIS
SUATU PENGANTAR
Tujuan :
5
Akmaa
A. PENDAHULUAN
Manusia dan hewan mempunyai sistem pelacakan dan penjagaan
terhadap benda asing yang dikenal dengan sistem imun. Sistem imun
melindungi tubuh terhadap penyebab penyakit pathogen seperti virus,
bakteri, parasit, jamur. Sistem imun terbagi menjadi dua yaitu imun
non spesifik (innate immunity) atau system alamiah dan imun spesifik
atau system imun adaptif. Kedua system ini yang melindungi tubuh
dan mengeliminasi agen penyakit. Respon imun yang diselenggarakan
oleh system imun paling tidak memiliki 3 fungsi utama yaitu untuk
pertahanan tubuh, menjaga homeostasis dan melakukan surveilans
atau penjagaan.
Kajian imunologi diterima luas disemua cabang ilmu biologi, teru-
tama ilmu bidang kesehatan, termasuk dibidang ilmu kefarmasian. Se-
bagai ilmu alat, imunologi dapat membantu memecahkan kebuntuan
yang terjadi pada cabang ilmu lainnya. Imunologi telah dirasakan ke-
manfaatannya oleh para klinisi ketika membantu menguraikan ber-
bagai mekanisme patofisiologi dan pathogenesis berbagai penyakit,
termasuk penyakit yang jarang terjadi di masyarakat dan penyakit au-
toimun, misalnya bagaimana mekanisme asma alergi, rematoid arthri-
tis dan sistik fibrosis dapat dijelaskan dengan mudah dengan pendeka-
tan imunologis.
6
Modul Imunologi
7
Akmaa
8
Modul Imunologi
9
Akmaa
yang bertindak memfagositosit adalah sel kuffer. Selain itu juga sel
darah merah termasuk eosinophil, PMN dan monosit dapat migrasi
ke dalam jaringan secara invasive. Sel lainnya adalah natural kill-
er, leukosit, sel ini cocok untuk mengenali perubahan permukaan
pada sel yang terinfeksi, seperti mengikat dan membunuh sel yang
dipengaruhi oleh interferon. Interferon adalah termasuk sitokin
spesifik yang diproduksi oleh sel target atau sel terinfeksi.
Faktor lain yang termasuk innate immunity adalah protein se-
rum yang merupakan protein fase akut. Protein ini mempunyai
efek sebagai perlindungan melalui interaksi komplek dengan kom-
plemen, yang selanjutnya diikuti lisisnya agen penyakit.
Sebagai tanda awal dari respon imun adalah inflamasi yang
merupakan reaksi dari tubuh terhadap injuri seperti invasi agen
infeksius. Terjadinya proses ini dapat ditandai dengan 3 hal yaitu
pertama terjadi peningkatan aliran darah ke daerah infeksi, kedua
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan reaksi sel
endothel, sehingga terjadi reaksi silang antara molekul besar dan
sel endotelial dan ketiga adalah terjadinya migrasi leukosit (PMN)
dan makrofage dari kapiler ke jaringan sekitar.
10
Modul Imunologi
(a). Self dan Non self: Imunogen, Antigen, Epitop dan hapten
Sistem imun dilengkapi dengan kemampuan untuk mem-
11
Akmaa
bedakan diri sendiri (self) dengan benda asing (non self). Self ada-
lah istilah atau kata yang merujuk pada “diri sendiri”, baik itu ba-
gian sel, sel, jaringan maupun organ atau system organ dari tubuh
sendiri. Non self atau asing adalah istilah yang menunjukkan se-
gala sesuatu yang bukan diri sendiri, baik itu berupa virus, bakteri,
parasit maupun mikroorganisme yang lain. Respon imun diseleng-
garakan oleh system imun untuk menghadapi adanya benda asing
(non self) baik berupa virus, bakteri, plasmodium, sel kanker atau
mikroorganisme lainnya yang bukan bagian dari tubuh sendiri.
Sistem imun tidak membangkitkan respon imun terhadap bagian
tubuh sendiri (self) termasuk sel tubuh yang rusak akibat proses
degenerasi, misalnya eritrosit tua yang harus diganti sel muda.
Sistem imun memiliki cara tersendiri untuk membedakan antara
non self (virus, bakteri, parasit, jamur, sel kanker) dan self melalui
berbagai reseptor yang terdapat pada permukaan sel dan system
pengenal yang lain.
Respon imun terkait erat dengan adanya antigen yang me-
menuhi syarat sebagai imunogen. Antigen adalah substansi yang
dapat dikenali dan diikat dengan baik oleh sistem imun. Antigen
dapat berasal dari organisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
atau molekul asing bagi tubuh. Tidak setiap bagian dari antigen
dapat berinteraksi dengan molekul sistem imun. Bagian dari an-
tigen secara langsung berikatan dengan molekul reseptor (seperti
antibodi) yang dikenal dengan epitop. Hal ini menandakan, bahwa
antigen mempunyai beberapa epitop.
Hapten adalah molekul organik kecil yang dapat mengikat
bagian reseptor antigen. Meskipun molekul ini kecil tetapi dapat
menginduksi respon imun sendiri. Selain itu juga dapat mengin-
duksi antibodi dengan titer yang tinggi jika diikatkan dengan car-
12
Modul Imunologi
Secara umum ada 2 jenis atau kelas molekul MHC yaitu MHC-
I dan MHC-II, meskipun ada yang menyebutkan ada 3 kelas MHC
dengan menambahkan kelas MHC yaitu MHC-III. Setiap klas
mempunyai peranan berbeda dalam regulasi imun. MHC –I digu-
13
Akmaa
14
Modul Imunologi
Gambar 1.2. Struktur CD8 limfosit Tsitolitik (i) dan CD4 limfosit
Thelper (ii)
Gambar 1.3. Tipe sel limfosit, reseptor dan marker protein per-
mukaan
15
Akmaa
Tipe Distribusi
Sel dendritik dalam aliran darah Darah & limpa
16
Modul Imunologi
17
Akmaa
(d). Antibodi-Imunoglobulin
Salah satu istilah yang popular dalam kajian imunologi ada-
lah antibody atau immunoglobulin (Ig). Antibodi adalah
protein imunoglobulin yang disekesi oleh sel B yang teraktifasi
oleh antigen. Berat molekul antibodi berkisar 150.000 Da sampai
950.000 Da yang tergantung pada kelasnya. Semua molekul anti-
bodi terdiri dari dua untaian peptida pendek yang sama dikenal
dengan light chain, sedang yang terdiri dari dua untaian peptida
yang panjang disebut heavy chains. Keduanya terjadi ikatan kova-
len bersama yang disebut dengan ikatan disulfida yang berbentuk
seperti pada Gambar 1.
18
Modul Imunologi
19
Akmaa
20
Modul Imunologi
21
Akmaa
22
Modul Imunologi
3 Agen sitotoksik
a.antimetabolit Azatriopin, metotreksat,
b.alkilating agent leflunomid, siklofosfamid
4 Penghambat sitokin (antisitokin-
antibodi)
a.Inhibitor TNF-α Etanercept, Infliximab,
adalimumab,
b.Inhibitor IL-1 Anakinra
c.Inhibitor IL-2 Daclizumab, Basiliximab
5 Mol Antibodi terhadap sel imun
spesifik
a. Antibody poliklonal Antithymocyt Globulin
(ATG)
b. Antibody monoklonal Alemutuzmab (anti CD52
antibodi), Muromunab
(anti cD3-antibodi)
6 Inhibitor adesi sel imun Efalizumab (LFA-1
inhibitor)
7 Tolerogen atau inhibitor kostimulasi
sel imun
8 Lainnya Rho (D) immune Globulin
23
Akmaa
dan Basiliximab).
Imunostimulansia adalah obat atau agen farmakologis yang ber-
sifat memacu respon imun, terutama digunakan pada pasien dengan
gangguan imunodefisinesi misalnya pada infeksi TBC, pasien AIDS
maupun pada pasien kanker dengan kemoterapi. Beberapa agen imu-
nostimulansia antara lain levamisol, talidomid, interferon dan vaksin
yang bersifat meningkatkan jumlah sel B, sel T maupun sel yang lain.
24
Modul Imunologi
25
Akmaa
Daftar Pustaka
Abbas. A.K., Litchman, A.H., 2004. Basic Immunology: Function and disor-
der and the immune system, Scond edition, Elsevier, Shang hai
Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Jakarta
�������������������������������
: Balai Penerbit Fakul-
tas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Bennett, C.L., Christie J, Ramsdell F, Brunkow ME, Ferguson PJ, White-
sell L, Kelly,TE, Saulsbury FT, Chance PF, Ochs HD., 2001b. The im-
mune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked
syndrome (IPEX) is caused by mutations of FOXP3. Nat Genet.
27(1):20-1
Bettelli, E, carrier, Y, Gao, W, Korn, T, Strom, T.B., Oukka, M, Weiner,
H.L, Kuchroo, V.K..,2005a. Reciprocal developmental pathways for
the generation of pathogenic effector TH17 and regulatory T cells.,
Nature. 441(7090):235-8
Bettelli, E., Dastrange, M., Oukka, M., 2005b. Foxp3 interacts with nu-
clear faktor of activated T cells and NF-kappa B to repress cytokine
gene expression and effector functions of T helper cells, Proc Natl
Acad Sci. 102(14):5138-43
Bettelli, E., Oukka, M., Kuchroo, V.K., 2007. T(H)-17 cells in the circle of
immunity and autoimmunity, Nat Immunol. 8(4):345-50
Bogdan, C., 2011. Regulation of lymphocytes by nitric oxide, Methods
Mol Biol. 677:375-93.
Colombo, M.P., and Trinchieri, G., 2002. Interleukin 12 in antitumor im-
munity and immunotherapy, Cytokine Growt Faktor Review. 13: 155
- 168
26
Modul Imunologi
Couper, K.V., Blount, D.G., Riley, E.M., 2008. IL-10: The Master Regu-
lator of Immunity to infection, J Immunol. 180: 5771-5777
Curiel, T.J., 2007. Tregs and rethinking cancer immunotherapy, J. Clin.
Invest. 117(5): 1157-74
Dunn, G.P., Bruce, A.T., Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. Can-
cer immunoediting from immunosurveillance to tumor escape, Na-
ture immunology. 3(11): 991-8
Dunn, G.P., Old,L.J., Schreiber, R.D., 2004. The Immunobiology of Can-
cer Immunosurveillance and Immunoediting, Immunity. 21: 137–
148,
Dunn, G.P., Koebel, C.M., Schreiber, R.D., 2006. Interferons, immunity
and Cancer immunoediting, Nature Reviews Immunology. 6: 836-48
Fehervari, Z. and Sakaguchi, S., 2004. CD4Tregs and Immune control,
J.Clin Invest. 114 (9):1209-17
Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. The roles of IFNγ in protec-
tion against tumor development and cancer immunoediting, Cy-
tokine Growth Faktor Rev. 13: 95–109
Kim, R., Emi, M., Tanabe, K., 2007. Cancer immunoediting from im-
mune surveillance to immune escape, Immunology. 121:1–14
Klunker, S., Chong, M.M., Mantel, P.Y., Palomares, O., Bassin, C., Zie-
gler, M., Rückert, B., Meiler, F., Akdis, M., Littman, D.R., Akdis,
C.A., 2009. Transcription faktors RUNX1 and RUNX3 in the induc-
tion and suppressive function of Foxp3+ inducible regulatory T
cells., J Exp Med. 206(12):2701-15
Knutson, K.L., Dang, Y., Lu, H., Lukas, J., Almand, B., Gad, E., Azeke,
E., Disis, M.L., 2006. IL-2 Immunotoxin Therapy Modulates Tu-
mor-Associated Regulatory T Cells and Leads to Lasting Immune-
Mediated Rejection of Breast Cancers in neu-Transgenic Mice, The J
Immunol. 177: 84–91.
27
Akmaa
28
Modul Imunologi
29
Akmaa
30
Modul Imunologi
BAGIAN
II
STRUKTUR PENYUSUN
SISTEM IMUN
31
Akmaa
32
Modul Imunologi
~ BAB II ~
Struktur Penyusun system imun alami
Tujuan :
33
Akmaa
A. Pengantar
Secara umum system imun dibedakan menjadi system imun alami
dan system imun adaptif/spesifik. Bagaimana perbedaan system imun
aalami jika dibandingkan dengan system imun adaptif sudah dijelas-
kan pada Bab I.
Sistem imun alami bertanggung jawab pada respon imun yang
bersifat spontan, jangka pendek dan umum sedangkan system imun
adaptif bertanggung jawab pada respon imun jangka panjang dan sp-
esifik. Dikarenakan karakteristik system imun alami berbeda dengan
karakteristik, maka sudah sewajarnya kalau penyusun system imun
alami agak berbeda dengan penyusun system imun adaptif.
System imun alami memiliki beberapa fungsi fital pada penyeleng-
garaan respon tubuh. Sistem imun alami berperan untuk kontak lang-
sung dengan antigen dan mengidentifikasinya sebagai non self agar
segera dapat dieksekusi atau dimusnahkan. Sistem imun alami berper-
an dalam penyelenggaraan reaksi inflamasi yang sangat penting pada
respon imun tubuh dan dalam memperantarai penyelenggaraan respon
imun adaptif yang berlangsung lebih lama.
.
B. Struktur pembangun Sistem imun alami
System imun disusun oleh struktur yang terdiri dari berbagai kom-
ponen mulai dari sel, jaringan sampai organ dan system organ. Sesuai
dengan pembagian system imun maka pengkajian sruktur pembangun
system imun didasarkan pada pembagian system imun ini, yaitu struk-
tur penyusun system imun alami dan struktur penyusun system imun
adaptif.
Komponen sel penyusun system imun meliputi sel darah (teru-
tama berbagai jenis lekosit), berbagai jenis fagosit di berbagai jaringan
(makrofag, monosit, podosit, makro-mikroglia, langerhans), sel den-
34
Modul Imunologi
35
Akmaa
36
Modul Imunologi
37
Akmaa
Tipe Mekanisme
Barier anatomi:
Lendir menangkap
mikroorganisme asing
38
Modul Imunologi
39
Akmaa
40
Modul Imunologi
41
Akmaa
42
Modul Imunologi
43
Akmaa
44
Modul Imunologi
45
Akmaa
mg / dL.
Haptoglobin berperan penting dalam melindungi ginjal dari
kerusakan dan mencegah hilangnya besi yang diekskresi lewat
urin. Namun, fungsinya yang paling penting adalah untuk mem-
berikan perlindungan terhadap kerusakan akibat stress oksidatif
yang dimediasi oleh hemoglobin bebas. Hemoglobin bebas meru-
pakan oksidator kuat yang dapat menghasilkan peroksida dan hi-
droksil radicals. Haptoglobin juga dapat mengikat bagian protein
untai tunggal dan potongan protein yang rusak untuk mencegah
protein-protein ini agregasi/bergabung dengan pembuluh darah.
(g). Fibrinogen
Fibrinogen adalah komponen terbesar dari faktor koagulasi
dalam plasma, dan membentuk jendalan fibrin. Mmolekul fibrin-
ogen adalah dimer dengan berat molekul 340.000 dalton. Kadar
normal berkisar 100-400 mg/dL. Sebagian kecil fibrinogen dipecah
oleh trombin untuk membentuk fibril yang membentuk bekuan fi-
brin. Hal ini mempercepat penutupan luka dan merangsang sel en-
dotel adhesi dan proliferasi, yang merupakan tahapan penting un-
tuk proses penyembuhan. Pembentukan bekuan juga menciptakan
penghalang yang membantu mencegah penyebaran mikroorgan-
isme lebih lanjut ke dalam tubuh. Fibrinogen juga berfungsi untuk
mempromosikan agregasi sel darah merah, dan peningkatan ka-
dar fibrinogen berkontribusi terhadap peningkatan risiko kejadian
penyakit arteri koroner, terutama pada wanita.
(h) Seruloplasmin
Ceruloplasmin tersusun atas rantai polipeptida tunggal den-
gan berat molekul 132.000 dalton. Ini adalah protein pengangkut
utama tembaga dalam plasma manusia, mengikat 90-95% tembaga
yang ditemukan di plasma dengan melekatkan enam ion tembaga
46
Modul Imunologi
47
Akmaa
48
Modul Imunologi
49
Akmaa
50
Modul Imunologi
51
Akmaa
Gambar 2.3.Reaksi inflamasi dan respon imun tak spesifik akibat anti-
gen infeksius (Ag)
52
Modul Imunologi
53
Akmaa
Gambar 2.5. Kelompok sel yang berperan pada respon imun seluler
54
Modul Imunologi
55
Akmaa
56
Modul Imunologi
Asal-ususl sel NK
Asal-usul sel NK masih merupakan rahasia dan belum ban-
yak diketahui. Hanya sedikit diketahui tentang asal-usul sel NK dan
hubungannya dengan sel-sel lain. Diduga sel-sel ini berkembang dalam
sumsum tulang, namun hingga saat ini belum ditemukan penanda per-
mukaan bagi sel induknya. Ada dugaan bahwa sel NK dan sel T berasal
dari sel induk yang sama (common thymocyte precursor). Apabila limfosit
darah tepi atau yang berasal dari limpa dibiakkan dan diinkubasikan
dengan IL-2, akan tumbuh populasi sel yang mampu membunuh se-
mua sel sasaran, termasuk sel-sel yang resisten terhadap sêl NK. Popu-
lasi sel ini yang dalam menjalankan fungsinya juga tidak dikendalikan
oleh MHC disebut sel LAK (lymphokine activated killer). Aktivitas sel
LAK selektif untuk sel tumor atau sel yang mengekspresikan penanda
permukaan yang abnormal, dan jarang sekali merusak sel normal. Sel
NK juga dapat memproduksi IFNy dan sitokin lain, misalnya IL-1 dan
GM-CSF yang pentmg untuk hemopoesis dan respons imun (Kresno, ;
Murphy, 2012).
Mekanisme lisis sel NK
Lisis sel sasaran oleh sel NK dapat terjadi dalam waktu beberapa
menit setelah paparan. Mekanisme sitolisis berlangsung dalam 4 tahap,
mirip dengan sitolisis oleh sel efektor lain, yaitu:
1) Tahap pengikatan sel sasaran. Reseptor sel NK untuk pengikatan
pada sel sasaran belum diketahui pasti, tetapi akhir-akhir ini ada
bukti-bukti bahwa pengenalan sel sasaran terjadi melalui resep-
tor yang mengikat molekul semacam lektin, yang disebut NKR-
PI. Ligand NKR-PI ini diekspresikan pada hampir semua jaringan
normal, sehingga perlu ada mekanisme untuk mencegah lisis sel-
sel normal ini oleh sel NK. Beberapa penelitian mengungkapkan
peran MHC kelas I dalam melindungi sel agar tidak dilisis oleh sel
57
Akmaa
(2) Tahap aktivasi sel efektor melalui sinyal dan transduksi sinyal dan
(3) Tahap melancarkan lethal hit kepada sel sasaran. Setelah diakti-
vasi, terjadi polarisasi granula ke bagian sel NK di mana terjadi
kontak erat dengan sel sasaran. Granula kemudian melepaskan
berbagai substansi, yaitu proteinase, chondroitin sulphate, proteo-
glycan, dengan cara eksositosis. Sel NK juga mampu melisiskan
sel dengan bantuan sitokin, misalnya IL-2. Di satu fihak IL-2 meru-
pakan faktor induksi yang potent untuk produksi sitokin oleh sd
58
Modul Imunologi
59
Akmaa
fihak sel ini juga dapat melepaskan berbagai enzim dan isi granula ke
luar sel, yang bersama-sama dengan sitokin seperti tumor necrosis fac-
tor (TNF) dapat menyebabkan kerusakan sitotoksik pada berbagai sel
sasaran.
(i) Makrofag sebagai fagosit mononuklear
Makrofag merupakan fagosit profesional yang terpenting. Se-
bagai fagosit professional makrofag memiliki peran ganda dalam
penyelenggaraan respon imun. Sel ini diproduksi di sumsum tu-
lang dan sel induk mieloid melalui stadium promonosit. Sel yang
belum berkembang sempurna mi kemudian masuk ke dalam aliran
darah sebagai monosit dan apabila sel itu meninggalkan sirkulasi
dan sampai di jaringan ia mengalami berbagai perubahan tamba-
han dan menjadi sel matang kemudian menetap di jaringan seba-
gai makrofag. Sel-sel ini antara lain terdapat di paru-paru sebagai
makrofag alveolar, di hati sebagai sel Kupfer, melapisi sinusoid
limpa dan kelenjar limfe, sebagai sel mesangial dalam glomerulus,
sel mikroglia di otak dan sel osteoklast dalam tulang.
Osteoklast Tulang
60
Modul Imunologi
61
Akmaa
62
Modul Imunologi
sehingga lebih mudah bagi sel untuk mendekati satu sama lain.
(ii). Monosit sebagai fagosit mononuclear
Monosit merupakan “wondering” fagosit mononuclear yang
senantiasa beredar dalam aliran darah. Karakteristik, sel induk dan
aktifitas biologis serta mekanisme killing monosit tidak berbeda
dengan makrofag.
Mekanisme killing oleh fagosit mononuklear
Setelah terjadi lekatan antara makrofag/monosit dengan partikel
antigen, sitoplasma sel mengalir di sekitar partikel dan terjadi penca-
plokan. Peningkatan konsumsi oksigen, yang dikenal sebagai “oxidative
burst” atau ledakan oksidasi, terjadi di dalam sel bersamaan dengan ak-
tifitas pseudopodia menyelimuti partikel antigen masuk dalam vaku-
ola. Struktur yang terbentuk dikenal sebagai phagosome. Phagosome
secara bertahap bergerak menuju pusat sel. Selanjutnya, terjadi kontak
antara fagosom dengan granula sitoplasma, dan berakhir dengan ter-
jadinya fusi antara granula sitoplasma dengan phagosome sehingga
terbentuk phagolysosome. Granul sitoplasma kemudian melepaskan
isinya, dan proses pencernaan terjadi. Setiap material tercerna dikelu-
arkan dari sel dengan eksositosis. Proses “pembunuhan” atau killing
mikroorganisme sebenarnya sangat tergantung pada oksigen. Sel yang
beristirahat memperoleh energi dari glikolisis anaerob, namun ketika
fagositosis dipicu, ledakan oksidasi menghasilkan energi yang lebih be-
sar melalui metabolisme oksidatif.
63
Akmaa
64
Modul Imunologi
65
Akmaa
Neutrofil
Hampir 90% dan granulosit dalam sirkulasi terdiri atas neutrofil.
Masa hidupnya dalam aliran darah adalah sekitar 4-8 jam tetapi dalam
jaringan sel itu dapat hidup lebih lama. Neutrofil bereaksi cepat ter-
hadap rangsangan, dapat bergerak menuju daerah inflamasi karena
dirangsang oleh faktor kemotaktik yang antara lain dilepaskan oleh
komplemen atau limfosit teraktivasi. Seperti halnya makrofag, fungsi
neutrofil yang utama adalah memberikan respons imun nonspesifik
dengan melakukan fagositosis serta membunuh atau menyingkirkan
mikroorganisme yang masuk. Fungsi mi didukung dan ditingkatkan
oleh komplemen atau antibodi, dan untuk mengikat komplemen dan
antibodi neutrofil mempunyai reseptor untuk Fc-IgG maupun reseptor
untuk C3b dan C3d. Neutrofil mempunyai granula yang berisi enzi-
menzim perusak dan berbagai protein yang selain dapat merusak mik-
roorganisme juga dapat menyulut reaksi inflamasi bila dilepaskan.’
(d). Granulosit
(i) Eosinofil
Dalam darah perifer orang normal terdapat eosinofil dalam
jumlah 2-5% dan jumlah leukosit. Sel ini dapat dibedakan dari
sel lain karena mempunyai granula berwarna merah jingga yang
berisi protein basa dan enzim perusak. Eosinofil terutama efektif
dalam menyingkirkan antigen yang merangsang pembentukan
IgE. Sel ini mernpunyai reseptor untuk IgE dan dapat melekat
erat pada partikel yang dilapisi 1gB. Eosinofil juga terdapat dalam
jumlah banyak pada tempat-tempat reaksi alergik; dalam konteks
mi eosinofil turut bertanggung jawab atas kerusakanjaringan dan
inflamasi. Pertumbuhan dan diferensiasi eosinofildirangsang oleh
sitokin yang diproduksi oleh sel T, yaitu IL-5, dan aktivasi sel T
menyebabkan akumulasi eosinofil di tempat-tempat infestasi para-
66
Modul Imunologi
67
Akmaa
bakal yang berbeda. Kedua jenis sel memiliki reseptor untuk frag-
men Fc, IgG dan IgE, tetapi di samping itu mastosit juga mempu-
nyai reseptor untuk C3b. Atas rangsangan alergen yang bereaksi
dengan IgE yang melekat pada sel melalui reseptor untuk Fc, sel-
sel itu dapat melepaskan berbagai mediator dan rnengakibatkan
reaksi anafilaktik.
(e). Trombosit
Trombosit merupakan komponen sel darah yang bertanggung
jawab pada hemostasis. Sebagaimana komponen seluler lain dalam da-
rah, trombosit juga berasal dari sel induk mieloid. Trombosit terutama
berfungsi dalam proses pembekuan darah tetapi selain itu ia juga ter-
libat dalam reaksi inflamasi. Trombosit mempunyai reseptor untuk Fc
IgG serta reseptor untuk MHC kelas I. Sel-sel ini dapat melekat dan
menggumpal pada permukaan endotel yang rusak sambil melepas-
kan mediator yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
dan mengaktivasi komplemen. Akibatnya adalah dilepaskannya faktor
kemotaktik yang menarik leukosit ke tempat tersebut.
Secara morfologis trombosit memiliki ukuran paling kecil diantara
sel darah lainnya. Pada permukaan trombosit terdapat reseptor khusus
untuk benang-benang kolagen endotel dinding pembuluh yang disebut
dengan glycoprotein Ia/IIa surface receptors. Reseptor ini akan segera
berikatan dengan benang kolagen vaskuler apabila ada endotel vaskul-
er yang mengalami kerusakan. Adesi trombosit dengan benang kola-
gen vaskuler diperkuat oleh adanya von Willebrand factor (vWF) yang
biasa dikeluarkan oleh endotel atau platelet apabila aktif. Faktor von
Willebrand membentuk ikatan tambahan yang menghubungkan antara
glycoprotein Ib/IX/V platelet dengan benang kolagen endotel vaskuler.
68
Modul Imunologi
69
Akmaa
70
Modul Imunologi
71
Akmaa
72
Modul Imunologi
73
Akmaa
74
Modul Imunologi
cobaan yang belum pernah tersensitisasi, dan bahwa makrofag dan sel
B hanya menyajikan antigen kepada sel T yang teraktivasi atau sel T
memory.
75
Akmaa
Referensi
Abbas. A.K., Litchman, A.H., 2004. Basic Immunology: Function and disor-
der and the immune system, Scond edition, Elsevier, Shang hai
Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Jakarta
�������������������������������
: Balai Penerbit Fakul-
tas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Bogdan, C., 2011. Regulation of lymphocytes by nitric oxide, Methods
Mol Biol. 677:375-93.
Colombo, M.P., and Trinchieri, G., 2002. Interleukin 12 in antitumor im-
munity and immunotherapy, Cytokine Growt Faktor Review. 13: 155
- 168
Couper, K.V., Blount, D.G., Riley, E.M., 2008. IL-10: The Master Regu-
lator of Immunity to infection, J Immunol. 180: 5771-5777
Curiel, T.J., 2007. Tregs and rethinking cancer immunotherapy, J. Clin.
Invest. 117(5): 1157-74
Dunn, G.P., Bruce, A.T., Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. Can-
cer immunoediting from immunosurveillance to tumor escape, Na-
ture immunology. 3(11): 991-8
Dunn, G.P., Old,L.J., Schreiber, R.D., 2004. The Immunobiology of Can-
cer Immunosurveillance and Immunoediting, Immunity. 21: 137–
148,
Dunn, G.P., Koebel, C.M., Schreiber, R.D., 2006. Interferons, immunity
and Cancer immunoediting, Nature Reviews Immunology. 6: 836-48
Kresno, S.B., 2000, Imunologi : Dignosis dan Prosedur Laboratorium. Ed.
Keempat. UI: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Lin, W. and Karin, M., 2007. A cytokines-mediated link between innate
76
Modul Imunologi
77
Akmaa
17. Musin
18. Kaderin
19. Kemokin
20. Limfokin
78
Modul Imunologi
79
Akmaa
80
Modul Imunologi
81
Akmaa
82
Modul Imunologi
~ BAB III ~
Struktur Penyusun system imun adaptif
Tujuan :
83
Akmaa
A. Pengantar
Komponen penyusun system imun adaptif terutama tersusun oleh
komponen seluler, komponen humoral dari golongan sitokin serta jar-
ingan limforetikuler. Komponen seluler utama penyusun struktur sys-
tem imun adaptif adalah limfosit T dan limfosit B. Secara garis besar
komponen penyusun system imun adaptif sebagaimana tampak dalam
Gambar 3.1.
B. Sistem limforetikuler
Sistem retikuler pembangun utama system imun adaptif. Sistem
retikuler tersusun atas komponen seluler dan komponen jaringan.
84
Modul Imunologi
Penghancuran
membran sel
target
85
Akmaa
B (sel B), masing-masing dapat dibedakan satu dan yang lain karena
mempunyai fhngsi yang berbeda dan mengekspresikan antigen permu-
kaan (imunofenotip) yang karakteristik untuk masing-masing jenis sel.
Karakteristik limfosit B dan limfosit T disajikan pada Tabel 3.2.
86
Modul Imunologi
87
Akmaa
88
Modul Imunologi
89
Akmaa
sel T dan sel B secara morfologik tidak dapat dibedakan satu dari yang
lain. Sel null ada kalanya dapat dibedakan dari populasi limfosit yang
lain secara morfologik karena sebagian besar memiliki granula intrasi-
toplasmik jang jelas, karena itu dalam literatur sering disebut large gran-
ular lymphocytes (LGL). Sel null saat ini disebut sebagai sel NK (natural
killer) dan berfungsi dalam imunitas bawaan. Seperti disebut di atas,
setiap limfosit memiliki reseptor pada permukaannya yang mampu
mengenal antigen tertentu secara spesifik.
90
Modul Imunologi
91
Akmaa
92
Modul Imunologi
93
Akmaa
dan muncul antigen lain, di antaranya CD3 dan TCR-&f3 yang merupa-
kan petanda subset sel T. Pada fase pematangan sel T lebih lanjut terjadi
seleksi dan edukasi limfosit menjadi salah satu subset sel T. Sel yang
kehilangan antigen CD4 tetapi tetap menunjukkan antigen CD8
menjadi sel T penekan (T suppressor = Ts) dan sel T sitotoksik atau
sitolitik (T cytotoxic, Tc) dengan ekspresi CD2CD3CD8, sedangkan
sel yang kehilangan CD8 tetapi tetap mempertahankan molekul CD4,
menjadi sel T-helper (Th) dengan ekspresi CD2CD3tCD4. Kedua jenis
populasi limfosit T mi kemudian masuk ke dalam sirkulasi sebagai 2
populasi yang mempunyai fungsi berbeda.
Mekanisme molekuler yang mendasari perkembangan sel T men-
jadi sel T CD4 atau CD8 telah banyak dipelajari, dan hasil penelitian-pe-
nelitian menunjukkan bahwa berbagai molekul turut berperan dalam
pematangan sel T menjadi subpopulasi yang sesuai dengan fungsin-
ya. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah spesifisitas TCR un-
tuk MHC kelas I atau kelas II, dan keberadaan ligand MHC. Ekspresi
transgen TCR yang telah mengalami rekombinasi dan diprograthkan
(mempunyai spesifisitas) untuk berinteraksi dengan MHC kelas I atau
MHC kelas II mengarahkan perkembangan sel T masing-masing men-
jadi sel T CD8 atau CD4. Tetapi di samping spesifisitas TCR, ada faktor
lain yang berpengaruh yaitu ekspresi ko reseptor. Tidak berfungsinya
ko-reseptor (misalnya karena mutasi) menyebabkan sel timosit berkem-
bang menjadi CD8 walaupun TCR sel itu mempunyai spesifisitas untuk
MHC kelas II. Ko-reseptor diperlukan untuk mengaktifkan molekul in-
traseluler yang meneruskan sinyal.
Salah satu molekul yang diaktiflcan melalui ko-reseptor adalah ty-
rosinekinase p56 (Lck) yang merupakan molekul inti yang menentukan
komitment sel T. Modifikasi dalam ekspresi ko-reseptor menentukan
jumlah Lck yang tersedia untuk meneruskan sinyal dan TCR terakti-
94
Modul Imunologi
95
Akmaa
96
Modul Imunologi
97
Akmaa
98
Modul Imunologi
99
Akmaa
100
Modul Imunologi
yang kedua kali, suatu proses yang disebut receptor editing. Receptor
editing yang diperan tarai oleh toleransi terjadi pada sel B muda yang
self-reactive dalamsumsum tulang, sedangkan editing pada sel B di
perifer terjadi pada sel B dengan afinitas rendah yang berkompetisi un-
tuk mengikat antigen atau sinyal untuk hidup (survival), terjadi dalam
pusat-pusat germinal. Sel B baru yang diekspor dari sumsum tulang
muncul dalam limpa, di mana ia dapat dibedakan dari sel B yang telah
ada dalam sirkulasi sebelumnya karena mengekspresikan petanda per-
mukaan berbeda.
101
Akmaa
102
Modul Imunologi
103
Akmaa
104
Modul Imunologi
105
Akmaa
106
Modul Imunologi
107
Akmaa
108
Modul Imunologi
109
Akmaa
110
Modul Imunologi
111
Akmaa
112
Modul Imunologi
dan sel T. Secara umum fungsi limpa dan responsnya terhadap anti-
gen sama dengan kelenjar getah bening; perbedaan terpenting adalah
bahwa limpa merupakan tempat terjadinya respons imun terhadap an-
tigen yang masuk melalui sirkulasi darah sedangkan kelenjar getah be-
ning memberikan respons terhadap antigen yang masuk melalui pem-
buluh getah bening.’
Jaringan limfoid lain
Jaringa limfoid berisi sel B, sel T maupun fagosit. Jaringan limfoid
tersebar dalam jaringan submukosa saluran nafas, saluran cerna dan
saluran urogenital membentuk system imun mukosa. Contoh jarin-
gan limfoid yang tersusun baik dan mengandung banyak pusat-pusat
germinal adalah tonsil yang merupakan garis pertahanan pada pintu
masuk saluran cerna dan saluran nafas, dan Peyer’s patch yang tersebar
dalam mukosa säluran cerna. Peyer’s patch dan apendiks termasuk gut
associated lymphoid tissue (GALT).
113
Akmaa
na propria dan vili pada mukosa usus kecil dan di antara sel-sel epitel
mukosa. Mucosa associated lymphoid tissue (MALT) yang terdapat pada
saluran nafas (NALT:nose associated lymphoid tissue), saluran cerna
(GALT:gut associated lymphoid tissue) dan saluran urogenital berfungsi
memberikan respons imunologik lokal pada permukaan mukosa. Ka-
rena jaringan limfoid ini selain berisi limfosit juga berisi fagosit, jarin-
gan limfoid mampu memberikan respons nonspesifik maupun spesifik.
Di dalam jaringan limfoid sepanjang saluran cerna dan saluran nafas
dibentuk IgA sekretorik (sIgA) dan IgE yang disekresikan untuk mem-
pertahankan tubuh terhadap antigen yang masuk melalui mukosa. Se-
lain terkumpul dalam kelenjar dan jaringan limfoid, limfosit bebas juga
dapat menginfiltrasi epitel maupun jaringan lain di seluruh tubuh.’
Dalam mukosa saluran cerna, limfosit dijumpai dalam jumlah ban-
yak di tiga tempat utama, yaitu: di dalam lapisan epitel, tersebar sepan-
jang lamina propria, dan tersusun secara teratur dalam lamina propria
membentuk Peyer ‘s patch. Sel-sel limfosit dalam masing-masing area
di atas mempunyai ciri fenotip dan fungsi berbeda. Sebagian besar lim-
fosit intraepitel adalah sel T. Pada manusia, sel-sel ini terutama terdiri
atas CD8. Bagian lamina propria saluran cerna mengandung populasi
limfosit campuran, yaitu sel T yang sebagian besar adalah CD4 den-
gan fenotip sel teraktivasi. Lamina propria juga mengandung banyak
sel B dan sel plasma, makrofag, sel dendritik, eosinofil dan mastosit. Di
dalam Peyer’s patch, seperti halnya dalam kelenjar limfoid, limfosit B
terutama terdapat dalam bagian tengah yang seringkali mengandung
pusat-pusat germinal. Di dalam bagian interfolikuler terdapat sejumlah
kecil sel CD4. Beberapa sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupa-
kan sel-sel khusus membran (M). Sel ini diduga berfungsi mengirim
antigen intraluminal kepada Peyer’s patch untuk diproses, tetapi sel ini
tidak berfungsi sebagai APC.
114
Modul Imunologi
Referensi
Abbas. A.K., Litchman, A.H., 2004. Basic Immunology: Function and disor-
der and the immune system, Scond edition, Elsevier, Shang hai
Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Jakarta
�������������������������������
: Balai Penerbit Fakul-
tas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Bogdan, C., 2011. Regulation of lymphocytes by nitric oxide, Methods
Mol Biol. 677:375-93.
Colombo, M.P., and Trinchieri, G., 2002. Interleukin 12 in antitumor im-
munity and immunotherapy, Cytokine Growt Faktor Review. 13: 155
- 168
Couper, K.V., Blount, D.G., Riley, E.M., 2008. IL-10: The Master Regu-
lator of Immunity to infection, J Immunol. 180: 5771-5777
Curiel, T.J., 2007. Tregs and rethinking cancer immunotherapy, J. Clin.
Invest. 117(5): 1157-74
Dunn, G.P., Bruce, A.T., Ikeda, H., Old, L.J., Schreiber, R.D., 2002. Can-
cer immunoediting from immunosurveillance to tumor escape, Na-
ture immunology. 3(11): 991-8
Dunn, G.P., Old,L.J., Schreiber, R.D., 2004. The Immunobiology of Can-
cer Immunosurveillance and Immunoediting, Immunity. 21: 137–
148,
Dunn, G.P., Koebel, C.M., Schreiber, R.D., 2006. Interferons, immunity
and Cancer immunoediting, Nature Reviews Immunology. 6: 836-48
Kresno, S.B., 2000, Imunologi : Dignosis dan Prosedur Laboratorium. Ed.
Keempat. UI: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Lin, W. and Karin, M., 2007. A cytokines-mediated link between innate
115
Akmaa
116
Modul Imunologi
117
Akmaa
118
Modul Imunologi
119
Akmaa
120
Modul Imunologi
BAGIAN
III
MEKANISME RESPON
IMUN
121
Akmaa
122
Modul Imunologi
~ BAB IV ~
ANTIGEN, IMUNOGEN, DETERMINAN IMUNOGENIK
Tujuan :
123
Akmaa
A. PENDAHULUAN
Respon imun muncul sebagai tanggapan terhadap adanya antigen
atau benda asing. Infeksi oleh berbagai pathogen seperti virus, bakteri
dan parasit, berbagai patogen penyebab infeksi adalah benda asing
atau antigen. Kerusakan jaringan akibat trauma (teriris, terpukul, kera-
cunan) juga menyebabkan terbentuknya antigen dari jaringan yang ru-
sak. Respon imun yang terbangun bertujuan agar kondisi tubuh segera
mengalami perbaikan dan tidak mengalami kerusakan lebih jauh.
124
Modul Imunologi
tahan dalam homeostasis dan terhindar dari sakit oleh karena adanya
system imun yang memberikan perlindungan dan memberikan respon
atau reaksi imunitas sehingga mampu menjaga tubuh dalam kondisi
homeostasis.
1. Pengertian
Antigen adalah zat/benda asing yang sering disebut juga dengan
istilah nonself lawan dari jaringan atau sel diri yang disebut dengan self.
Antigen biasanya berasal dari luar tubuh, yang masuk ke dalam tubuh
pada saat infeksi atau keracunan. Antigen yang berasal dari luar tubuh
disebut dengan eksoantigen. Namun begitu antigen juga dapat berasal
dari dalam tubuh, misalnya sel atau jaringan tubuh yang mengalami
perubaha oleh karena adanya kerusakan atau perubahan sifat dari sel
atau jaringan akibat adanya mutasi, biasa terjadi pada jaringan kanker
atau neoplasma. Antigen yang berasal dalam tubuh disebut dengan an-
tigen endogen. Antigen yang dapat membangkitkan respon imun tan-
pa membutuhkan senyawa lain disebut dengan antigen komplit. Suatu
antigen tidak akan membangkitkan respon kecuali dibantu oleh adanya
molekul lain disebut dengan antigen tak komplit atau hapten.
125
Akmaa
126
Modul Imunologi
127
Akmaa
an tidak ada batas yang tegas yang dapat ditarik untuk menen-
tukan ukuran paling kecil mulai nampak adanya imunogenisitas.
Meskipun ada beberapa keadaan tertentu dinyatakan bahwa zat-
zat yang mepunyai BM yang lebih kecil dari 10.000 bersifat imu-
nogenik lemah atau tidak imunogenik sama sekali, namun zat-zat
yang merupakan protein dengan BM lebih besar dari 100.000 ke-
banyakan merupakan imunogen yang sangat poten.
c. Kerumitan struktur kimiawi :
Sebuah molekul harus memiliki derajat kerumitan tertentu
dari strukturnya agar bersifat imunogenik. Azas ini dapat dilukis-
kan secara jelas pada percobaan-percobaan dengan polipeptida
buatan.
Suatu molekul homopolimer yang terdiri atas unit-unit yang
tersusun oleh satu jenis asam amino walaupun merupakan mele-
kul berukuran besar bersifat sebagai imunogen lemah (polialanin,
polilisin, dan sebagainya). Sedangkan molekul kopolimer yang
tersusun atas 2 jenis asam amino, atau lebih biak 3, mungkin san-
gat aktif. Adanya gugus asam amino aromatic (tirosin) akan mem-
berikan sifat lebih imunogenik dari pada gugus non-aromatik.
Lagipula imunogenisitas zat tersebut tergantung pada kandungan
molekul tirosinnya, makin banyak makin imunogen. Dengan men-
umbuhkan gugusan tirosin pada molekul gelatin, akan meningkat-
kan imunogenisitasnya.
Untuk menentukan batas yang jelas struktur molekul yang
bagaimana yang imunogenik tidaklah mudah. Kita hanya dapat
menyatakan bahwa makin rumit atau kompleks struktur mole-
kulnya semakin imunogenik zat tersebut.
d. Konstitusi genetik :
Kemampuan untuk mengadakan respons imun terhadap anti-
128
Modul Imunologi
129
Akmaa
f. Dosis :
Biasanya apabila dosis minimal suatu antigen telah dilam-
paui, maka makin tinggi dosisnya akan meningkatkan respons
imunnya secara sebanding, tetapi pada dosis tertentu akan terjadi
sebaliknya yaitu menurunnya respons imun atau bahkan dapat
menghilangkan sama sekali yaitu suatu keadaan yang disebut tol-
eransi imunologik.
g. Sifat Kimiawi imunogen
Imunogen yang paling kuat yaitu dengan mudah menimbul-
kan respons imun yang nyata. Kebanyakan imunogen tersebut
berbentuk sebagai makromolekul protein, namun zat-zat lain sep-
erti polisakharida polipeptida buatan dan polimer lainnya yang
sengaja dibuat seperti misalnya polivinilpirolidon dapat bersifat
imunogenik juga apabila digunakan dalam kondisi yang sesuai.
Walaupun asam nukleik belum dapat ditunjukkan sifat imuno-
genesitasnya, namun orang dapat menginduksi sintesa antibody
yang spesifik terhadapnya dengan cara menyuntikkan nucleopro-
tein dalam tubuh hewan percobaan. Bahkan antibody semacam ini
dapat diketemukan dalam tubuh penderita Lupus erythematosus
(suatu jenis penyakit otoimun).
130
Modul Imunologi
a. Epitop
Suatu ciri dari imunogen yang membedakan dengan hapten yaitu
dapat menginduksi terjadinya respons imun seluler yang melibatkan
limfosit T. Oleh karena itu orang yakin bahwa imunogen harus memiliki
paling sedikit 2 determinan yang berbeda agar dapat membangkitkan
respons imun humoral yang melibatkan limfosit B, sebuah determinan
untuk limfosit T dan yang lain untuk limfosit B. Walaupun diketahui
bahwa molekul-molekul besar merupakan imunogen, tetapi hanya
bagian-bagian tertentu dari molekulnya saja yang terlibat dalam pem-
bangkitan respon imun yang ditimbulkannya. Daerah-daerah tersebut
selain menentukan spesifisitas reaksi antigen – antibody juga sebagai
timbulnya respons imun. Bagian molekul antigen, biasanya pada bagi-
an permukaan, yang memiliki sifat sebagai penentu timbulnya respon
imun dinamakan determinan antigenik atau epitop. Jumlah epitop dari
sebuah molekul antigen tergantung pada ukuran dan kerumitan struk-
tur molekulnya.
Hormon glukagon yang berasal dari pankreas terdiri dari susunan
29 asam amino tetapi sangat imunogenetik sehingga sangat baik un-
tuk dipakai sebagai bukti yang mendukung dugaan di atas. Dengan
trypsin, molekul glukagon dapat dipecah secara fungsional menjadi 2
komponen yang masing-masing dapat bereaksi dengan limfosit T (de-
terminan imunogenik) dan dengan antibody (determinan haptenik).
Ternyata antibody terhadap hormone tersebut mengenali determinan
yang terdapat pada ujung amino molekulnya, sedangkan limfosit T
hanya mengenali determinan yang terletak pada ujung karboksi. Oleh
karena itu ujung karboksi disebut sebagai ‘bagian imunogenik’ atau
‘bagian carrier’ sedang ujung aminonya disebut ‘bagian haptenik’.
Beberapa molekul sintetik yang berukuran kira-kira sebesar de-
terminan antigenic dapat menginduksi terjadinya respons imun se-
131
Akmaa
132
Modul Imunologi
133
Akmaa
134
Modul Imunologi
ukuran epitop yang terdiri dari rantai cabang olisakharida sebesar uku-
ran yang dipakai sebagai inhibitor. Kesimpulan ini didasarkan pada
asumsi bahwa inhibitor akan menghalangi ikatan antara epitop dextran
dengan antibody anti-dextran secara sempurna. Dalam hal ini antibody
dapat diperoleh dari serum manusia atapun dari hewan percobaan
yang telah disuntik dari serum dextran. Percobaan yang dilakukan oleh
Kabat dan Mayer dalam tahun 1961 ini dapat mengungkapkan ukuran
epitop dextran sebesar 6 molekul sakharida oleh karena dihambat oleh
isomaltohexose. Sedang pemberian isomaltopentaose, isomaltotetaose
dan isomaltotriose tidak memberikan hambatan presipitasi maksimal.
Dengan cara reaksi inhibsi ini dapat diperoleh ukuran berbagai
epitop antigen polimer dengan menggunakan antiserum dari berbagai
spesies seperti tertera pada Tabrl 2 Dari Tabel 2 tersebut dapat disim-
pulkan bahwa ukuran epitop berkisar antara 2 dan 7 molekul glukosa
atau asam amino.
Tabel 4.1. Ukuran epitop beberapa antigen
135
Akmaa
b. Hapten
Hapten adalah antigen yang tidak bersifat imunogeneik oleh ka-
rena memiliki berat molekul rendah, biasanya kurang dari 10.000 D.
Antigen dengan berat molekul rendah biasanya dapat bereaksi dengan
antibody tetapi tidak dapat bereaksi dengan limfosit T atau B oleh ka-
rena tidak dapat berikatan dengan MHC. Penelitian Landsteiner pada
awal abad ke-20 ini, banyak menggunakan zat kimia bermolekul kecil
yang tidak imunogenik, tetapi dapat bereaksi dengan antibody spesifi-
kasinya. Zat-zat semacam itu dinamakan hapten yang berasal dari kata
Yunani yang berarti “mempererat”. Dalam salah satu percobaannya,
Landsteiner menggunakan derivate diazonium untuk disenyawakan
secara kovalen dengan gugus asam amino : lisin, tirosin dan histidin
dari sebuah protein yang bersifat imunogenetik.
Senyawa protein baru ini dapat menimbulkan pembentukan anti-
body pada mencit yang spesifik terhadap gugus azo yang disenyawa-
kan. Adanya antibody tersebut dapat dibuktikan dengan direaksikan-
nya terhadap diazonium bebas. Gugus diazonium yang bertindak
sebagai hapten, apabila dalam keadaan terikat dengan protein bertin-
dak sebagai determinan antigenic atau hapten sempurna atau hapten
partial. Protein yang diikat oleh hapten tersebut dapat memiliki deter-
minan antigeniknya sendiri sebagai epitop asli atau integral. Protein
yang diikat bertindak sebagai pengemban atau carrier.
Gambar 4.4. Hapten yang disenyawakan dengan protein sebagai pengemban
sehingga dapat menginduksi terjadinya antibody spesifik pada mencit
136
Modul Imunologi
Arsonate - + -
Carboxylate - ± -
Sesuai dengan harapan, dalam Tabel 4.2 tampak hasil yang paling
kuat terdapat pada reaksi antara antibody dengan hapten meta-ami-
nobenzenesulfonate.
Dari hasil-hasil penelitian semacam itu dapat disimpulkan bahwa
antibody dapat mengenali dan membedakan determinan antigenic
dalam 3 dimensi
137
Akmaa
4. Jenis imunogen
Dengan menentukan jumlah spesifitas antibody yang bersen-
yawa dengan setiap molekul antigen, orang dapat mengira-ngira jum-
lah epitop antigen bersangkutan. Dengan cara pendekatan ini, dapat
diperkirakan bahwa albumin telur yang BMnya 42.000 memiliki 5 epitop
pada setip molekulnya sedang thyroglobulin yang BMnya 700.000 me-
miliki sekitar 40 buah epitop pada setip molekulnya.
(i) Protein
Pada awal pengamatan telah dapat dipastikan bahwa protein mer-
upakan sebuah antigen atau imunogen yang baik apabila disuntikkan
138
Modul Imunologi
139
Akmaa
1. Imunopotensi
Menurut Soebowo (2000) Imunopotensi adalah kemampuan suatu
daerah pada molekul antigen agar berfungsi sebagai determinan anti-
140
Modul Imunologi
141
Akmaa
142
Modul Imunologi
143
Akmaa
NH2-Ala-Ala-Ala-Gli-CONH2 95
NH2-Ala-Ala-Gli-Ala-CONH2 90
NH2-Ala-Gli-Ala-Ala-CONH2 70
NH2-Gli-Ala-Ala-Ala-CONH2 40
144
Modul Imunologi
145
Akmaa
146
Modul Imunologi
isasi beberapa protein. Namun tidak semua molekul yang terdiri atas
unit yang berulang merupakan antigen tak tergantung timus, misalnya
polylysine merupakan antigen yang tergantung limfosit T untuk men-
imbulkan respons imun humoral.
147
Akmaa
148
Modul Imunologi
Kandungan atau zat aktif tanaman banyak yang memiliki sifat se-
bagai imunogen. Kandungan ekinase, herba filanti, nigella sativa, tem-
ulawak dan umbi-umbian yang lain telah dibuktikan dapat meningkat-
kan aktifitas fagositosis makrofag, limfosit Th, CTL, limfosit B maupun
meningkatkan produksi antibody baik secara in vitro maupun in vivo.
Timokuinon biji jinten hitam terbukti meningkatkan aktifitas fagosito-
sis makrofag melalui aktifasi reseptor TLR. Kandungan polifenol dan
flavonoid dapat mempengaruhi aktifitas limfosit Th CD4, makrofag,
NK sel maupun sel dendritik.
149
Akmaa
Referensi
150
Modul Imunologi
151
Akmaa
Soal latihan:
Jelaskan dengan singkat beberapa istilah berikut ini!
1. Antigen
2. Antibody
3. Hapten
4. Imunogen
5. Tolerogen
6. Antigen endogen
7. Antigen eksogen
8. Antigen komplit
9. Antigen tak complete
10. Determinan imunogenik
11. Determinan haptenik
12. Konjugat
13. Antigen tergantung timus
14. Antigen tak tergantung timus
15. Imunodominasi
152
Modul Imunologi
~ BAB V ~
MEKANISME AKTIFASI RESPON IMUN
Tujuan :
153
Akmaa
A. Pengantar
Bagaimana respon imun diaktifasi merupakan salah satu masalah
utama dalam kajian imunologi. Oleh karena itu salah satu kajian pokok
pada imunologi adalah membicarakan bagaimana mekanisme respon
imun, jenis molekul apa saja yang mampu mengaktifasi respon, zat apa
saja yang dapat menghambat respon imun dan bagiamana pengaturan
respon imun seluler atau respon imun humoral dan sebagainya. Mema-
hami bagaimana mekanisme respon imun diaktifkan merupakan aspek
penting dalam imunologi untuk mengembangkan jenis imunogen, baik
yang bersifat sebagai imunosupresan untuk mengatasi reaksi imunitas
yang berlebihan misalnya pada autoimun disease maupun imunostim-
ulan untuk meningkatkan respon imun pada kondisi defisiensi system
imun.
B. Tahapan Respon Imun
Secara umum system imun dibagi menjadi 2 yaitu system imun
alami atau primitive dan system imun adaptif. Gambar menjelaskan
pembagian system imunitas.
154
Modul Imunologi
155
Akmaa
156
Modul Imunologi
sus untuk mengatasi kuman; (4) Tahap reduksi atau eliminasi pathogen
dan netralisasi toksin. Cara paling mudah untuk mengeliminasi kuman
adalah dengan membunuh kuman tetapi kadang kala hal ini sulit di-
lakukan oleh karena kuman menghasilkan toksin. Pada patogen yang
menghasilkan toksin, respon imun yang cocok adalah dengan netral-
isasi; (5) Tahap pemulihan.
(1) seluler
Respon imun alami merupakan pertahanan lini pertama dan
berlangsung dengan cepat untuk mencegah kerusakan akibat
adanya antigen sehingga membutuhkan system detector antigen
yang selalu siap siaga akan adanya potensi bahaya. Respon imun
alami secara garis besar dibedakan menjadi 2 yaitu respon imun
alami seluler diperankan oleh fagosit dan respon imun alami hu-
moral yang diperankan oleh protein reaktif, sitokin dan system
komplemen.
(i). Kontak reseptor system imun alami dengan antigen/pathogen
Patern Recognition Receptor (PRR) dan Sistem kewaspadaan
terhadap bahaya. Komponen seluler system imun alami dilengka-
pi dengan sekelompok molekul yang berperan sebagai patern rec-
ognition receptor yang sekaligus sebagai detector adanya potensi
bahaya. Gambar menyajikan mekanisme aktifasi respon imun
adaptif oleh karena adanya pathogen.
157
Akmaa
158
Modul Imunologi
159
Akmaa
160
Modul Imunologi
161
Akmaa
162
Modul Imunologi
163
Akmaa
164
Modul Imunologi
165
Akmaa
terjadinya peristiwa sbb: (i) aktifasi protein kinase C (PKC) yang secara
cepat (ii) mengakibatkan fosforilasi NADPH-dependent oxidases yang
terletak di membrane fagosom. NADPH-dependent oxidases meng-
katalisis (iii) konversi molekul oksigen (O2) menjadi superoxide anion
reaktif (O2) (iv) suatu molekul yang sangat toksik bagi antigen yang
tertelan.
166
Modul Imunologi
167
Akmaa
168
Modul Imunologi
169
Akmaa
daerah luka dan (iv) Produksi faktor yang disebut Chemotactic factors
sehingga menarik komponen seluler darah .
Molekul adesi dan respon inflamasi
Molekul adesi sebagai salah satu molekul yang bertanggung jawab
terhadap peredaran atau distribusi serta perlekatan sel darah di seluruh
tubuh memiliki peran besar pada respon imun terutama pada inflamasi.
Ada 4 macam molekul adesi yang sering terlibat pada reaksi inflamasi
yaitu selektin, integrin, Ig superfamili dan mucin like molecule adres-
sin.
170
Modul Imunologi
i. Kontak antigen dengan APC dan presentasi antigen kepada sel T atau
sel B
Sebagaimana pada respon alami, pada respon imun adaptif juga
ada 2 macam respon imun yaitu respon imun adaptif seluler dan hu-
moral. Respon imun adaptif seluler melibatkan sel T sedangkan respon
imun adaptif humoral melibatkan sel B.
Seperti telah disinggung sebelumnya, agar sel-sel imunokompe-
ten dapat mengenal antigen sehingga timbul respons imun, maka pada
permukaan sel B dan T dilengkapi dengan molekul reseptor. Reseptor
antigen pada permukaan limfosit terbentuk heterodimer dengan rantai
a dan b yang membantuk kompleks dengan molekul CD3, sedang pada
permukaan limfosit B terdapat sebagai molekul immunoglobulin.
Mekanisme aktifasi respon imun adaptif melibatkan reseptor sel
T (T cell receptor=TCR), reseptor sel B (B cell receptor=BCR), molekul
pembantu yang disebut ko reseptor misalnya CD4 atau CD8 dan Major
Histhocompatibility complex (MHC). Mekanisme aktifasi respon imun
terhadap pathogen ekstrasel seperti infeksi bakteri ektrasel dan patho-
gen intrasel seperti infeksi virus dan sel kanker berbeda. Aktifasi respon
imun untuk pathogen yang melibatkan APC, CD4, CTR, BCR dan CD8
ditunjukkan pada Gambar.
171
Akmaa
172
Modul Imunologi
173
Akmaa
Sampai saat ini banyak para pakar menduga bahwa antigen “endo-
gen” yang disajikan sebelumnya tidap perlu diproses. Hal ini disebab-
kan oleh karena protein sebagai antigen “endogen” tersebut sebagai
bentuk ekspresi gena virus atau gena tumor. Mudah difahami bahwa
limfosit T sitotoksik dapat bereaksi langsung terhadap antigen utuh
hasil ekspresi gena yang berbeda dengan antigen “eksogen” untuk lim-
fosit T helper.
Dengan demikian, dalam system imun terdapat dua jalur terpisah
untuk menyampaikan antigen : satu jalur untuk amtigen eksogen dan
174
Modul Imunologi
jalur yang lain untuk antigen endogen. Protein bakteri yang diambil
oleh limfosit B dari sekitarnya kemudian diproses melalui T helper
yang selajutnya mempunyai dampak diproduksinya antibody spesifik.
Sebaliknya protein abnormal yang dibuat oleh sel inang mendorong ak-
tivitasi limfosit T sitotoksik untuk membunuh sel inang.
ii.MHC dan Pengenalan antigen oleh limfosit
Secara garis besar partikel antigen yang masuk ke dalam tubuh ada
dalam 2 kondisi yaitu (1) pathogen yang berada di dalam sel (intrase-
luler antigen) dan (2) pathogen yang berada di luar sel (ekstra sel anti-
gen). Antigen ekstrasel membangkitkan respon imun adaptif humoral
dengan actor utamanya sel B.
175
Akmaa
176
Modul Imunologi
cara-cara yang sangat rumit. Namun tentu saja hasil akhir dalam proses
perlawanan inang terhadap konfigurasi asing ini tergantung pada ber-
bagai hal seperti yang telah disinggung mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi imunogenesitas. Misalnya tergantung kepada substansi
tersebut, yaitu : ukuran, struktur, sifat kimia dan jumlahnya dan tergan-
tung kepada inang itu sendiri : umur, oknstitusi genetic, system imun.
Sebaliknya dari adanya respons imun, dapat pula inang tidak menun-
jukkan respons terhadap konfigurasi antigen oleh karena yang diha-
dapinya dikenalnya sebagai bukan asing. Kenalan ini yang dinamakan
toleransi imunologik. Contoh mekanisme aktifasi respon imun oleh an-
tigen virus dan bakteri tampak pada Gambar 5.15.
Gambar 5.15. Aktifasi respon imun oleh antigen virus (intrasel) dan
bakteri (ekstrasel) dengan bantuan MHC
177
Akmaa
Apabila antigen telah diproses oleh sel penyaji baik melalui jalur
antigen eksogen maupun melalui jalur antigen endogen, antigen terse-
but disajikan pada permukaan sel bersama dengan protein MHC yang
dibuat sendiri oleh masing-masing individu. Dari penelitian-
penelitian oleh Zinkernagel dan Doherty (1974) telah diduga bahwa
limfosit T tidak saja mampu mengenal antigen asing tetapi juga mole-
kul MHC yang terdapat pada permukaan sel inang yang dihadapinya.
Pada percobaan mereka (1974) Zinkernagel dan Doherty mendedahkan
limfosit T yang telah mengadakaan respons imun terhadap antigen
yang disajikan oleh sel terinfeksi virus bersama molekul MHC kelas I
tertentu, dengan antigen yang sama tetapi kali ini disajikan oleh sel ter-
infeksi virus dengan molekul MHC kelas I yang berbeda latar belakang
genetiknya. Mereka menemukan bahwa apabila molekul protein MHC
kelas I pada sel-sel yang terinfeksi virus itu berasal dari individu yang
berbeda dengan indicidu pertama, maka sel-sel yang terinfeksi terse-
but tidak akan dibunuh oleh sel-sel T tersebut. Para peneliti tersebut
menjelaskan hasil percobannya bahwa agar limfosit T dapat mengada-
kan respons imun haruslah mengenal 2 kesatuan antigen yaitu antigen
asing dan antigen diri (MHC) yang spesifik. Pernyataan ini didukung
oleh percobaan-percobaan lain sesudahnya sehingga ditetapkan seba-
gai persyaratan untuk mengenal antigen asing harus bersama antigen
diri MHC agar dapat membangkitkan respons imun. Pesyaratan ini di-
namakan sebagai “restriksi MHC”.
178
Modul Imunologi
179
Akmaa
180
Modul Imunologi
181
Akmaa
akhir diakhiri oleh aktifasi sel fagosit efektor dinamakan lengan eferen.
Perubahan-perubahan yang terjadi untuk limfosit T dan limfosit B pada
dasarnya tidak banyak perbedaan kecuali pada akhir proses.
Limfosit Th0 diaktifasi oleh APC (sel dendritik) yang menyajikan
peptide antigen dibantu oleh MHC kelas II. Limfosit CDTh yang aktif
kemudian berproliferasi dan berdiferensiasi kearah Th1 atau Th2 ter-
gantung lingkungan sitokin dan letak antigen yang mempengaruhinya.
Terjadi diferensiasi kearah Th1 apabila sitokin yang mempengaruhi
adalah IL-2, sitokin proinflamasi, sedangkan apabila yang mempen-
garuhi adalah sitokin IL-4 yang antiinflamasi CD4Th0 akan berkembang
kea rah Th2. Limfosit Th1 memfasilitasi respon imun seluler proinfla-
masi, biasanya untuk mengeliminasi antigen intraseluler. Sedangkan
perkembangan kearah Th2 memfasilitasi respon imun humoral dan
bersifat antiinflamasi, biasanya untuk mengeliminasi antigen ekstrasel.
Gambar 5.17. Mekanisme aktifasi sistem imun adaptif seluler maupun hu-
moral.
182
Modul Imunologi
183
Akmaa
diferensisi).
Setelah berakhirnya periode laten, menyusul periode biosintesis
antibody yang dibedakan dalam 3 fase, yaitu :
1. Fase logaritmik, terjadi kenaikan kadar antibody secara logarit-
mik dalam tempo 4 – 10 hari dan berakhir pada puncak kadarnya.
Dalam fese ini, waktu yang diperlukan untuk melipatkan konsen-
trasi dua kali sekitar 5 – 8 jam. Hasil ini disebabkan oleh bertambah
banyaknya plasmasit sebagai hasil pembelahan berulang sel-sel B.
2. Fase datar, sesungguhnya kadar antibody yang terukur bukanlah
jumlah yang diproduksi seluruhnya, melainkan jumlah antibody
yang diproduksi plasmasit setelah dikurangi oleh antibody yang
telah bereaksi dengan antigen yang disuntikkan dan yang telah
mengalami katabolisme. Sehingga apabila telah terjadi keseim-
bangan antara yang diproduksi dan yang bereaksi pada saat yang
sama, maka tidak ada kenaikan kadar antibody lagi. Hal ini tercer-
min dalam kurva fase datar. Biasanya fase ini tidak berlangsung
lama.
3. Fase penurunan, terjadi apabila antibody yang mengalami katabo-
lisme dan yang bereaksi lebih banyak daripada yang diproduksi.
184
Modul Imunologi
185
Akmaa
186
Modul Imunologi
atas tentu saja merupakan contoh yang tidak wajar dari fungsi efek-
tor limfosit T. Walaupun demikian berbagai mekanisme penolakan jar-
ingan tersebut banyak kesamannya dengan yang berlangsung dalam
proses menghadapi infeksi mikroorganisme. Misalnya dalam mekan-
isme menghancurkan sel inang yang terinfeksi virus ataupun dalam
proses hipersensitivitas tipe lambat untuk mambatasi pusat infeksi M.
tuberculosis. Dalam keadaan tersebut atau keadaan lainnya, limfosit T
setelah mengalami rangsangan di dalam jaringan limfoid, akan berdife-
rensiasi menjadi limfosit T efektor yang selanjutnya beredar dalam da-
rah untuk mencari epitop dalam tubuh yang mempunyai struktur yang
sama dengan epitop penyebab rangsangan tadi. Pertemuan dengan sel-
sel sasaran yang mempunyai struktur yang sama dengan epitop yang
dimaksud akan diikuti dengan penglepasan limfokin atau lisis sel yang
terinfeksi.
Aktivasi limfosit T
Perkembanagn system imun dimaksudkan untuk melengkapi or-
ganisme dengan suatu mekasnime yang bersifat dinamis dan lentur ter-
hadap berbagai ragam antigen. Agar terjadi suatu respons imun sete-
lah rangsangan antigen, tidak saja diperlukan pengenalan oleh limfosit
yang khas terhadap antigen tersebut, namun pengenalan ini harus ber-
lanjut sebagai suatu respons seluler. Walaupun limfosit B dan limfosit
T merupakan komponen sel yang harus menghadapi antigen secara
spesifik, namun aktivasi limfosit T yang sedang istirahat merupakan
peristiwa yang menentukan untuk sebagian besar dari respons imun,
oleh karena perbahan seluler tersebut memungkinkan sel bersangku-
tan untuk melangsungkan aktivitas pengaturan atau efektor. Sebagai
akibat adanya seleksi klonal, hanya sebagian limfosit T spesifik tertentu
saja yang diaktivasi oleh antigen bersangkutan. Hal ini mengakibatkan
adanya pemerakan klon dari limfosit T yang spesifik tadi dengan ke-
187
Akmaa
188
Modul Imunologi
melalui TCR.
189
Akmaa
pada periode sangat dini (beberapa menit atau jam) dan yang berlang-
sung dalam periode beberapa hari setelah rangsangan. Pada periode
dini berlangsung transduksi sinyal melalui TCR baik secara langsung
atua tidak langsung, sedang periode berikutnya berbentuk misalnya
sebagai pembelahan sel, yang pada umumnya sebagai hasil dari ser-
entetan aktivasi gena yang sangat kompleks. Dengan demikian aktivasi
seluler dari limfosit T istirahat berakhir dalam berbagai bentuk mani-
festasi termasuk ekspresi molekul permukaan yang baru, sekresi lim-
fokin, pembelahan sel dan diferensiasi sel menjadi sel efektor.
Peristiwa biokimiawi pada sel T teraktivasi
Pengkajian peristiwa biokimiawi dalam sel yang berlangsung sela-
ma aktivasi sel T telah mengungkapkan bahwa setelah adanya interaksi
antara kompleks antigen – MHC pada sel penyaji dengan kompleks
CD3-TCR pada limfosit T, terbangkitlah aktivitas inositol pada mem-
bran sel T menjadi inositol trifosfat dan senyawa diasilgliserol dalam
sitoplasma. Inositol trifosfat akan meningkatkan ion Ca++ dalam sito-
plasma sedang diasigliserol akan mengaktifkan enzim kinase protein
C. Keduanya merupakan dua sinyal untuk aktivasi sel T. Namun kedua
sinyal itu belum cukup untuk mengaktivasi sel, oleh karena masih ada
sinyal ketiga yang diawali oleh IL-1 yang dilepaskan oleh sel penyaji.
Aktivasi sel T dapat diamati dengan adanya sekresi IL-2 dan ekspresi
reseptor untuk IL-2.
Persyaratan untuk aktivasi limfosit T
Dalam kondisi yang sesuai, nampaknya beberapa molekul permu-
kaan sel tertentu mampu berfungsi dalam peranan primer dalam men-
gawali aktivasi limfosit T. Ligan-ligan yang mengikat molekul-molekul
TCR, CD2, dan CD28 kesemuanya dapat membangkitkan sinyal yang
sama dalam mangaktivasi limfosit T. Seperti telah disinggung didepan,
bahwa aktivasi limfosit T melalui ligan yang tidak melibatkan TCR di-
190
Modul Imunologi
191
Akmaa
192
Modul Imunologi
Referensi
193
Akmaa
karta
Lin, W. and Karin, M., 2007. A cytokines-mediated link between innate
immunity, inflammation and cancer, J.Clin. Invest. 117(15):1175-83
Murphy, K.P., 2012. Janeway’s Immunobiology, Garland Science, New
York USA
Nelson, B.H., 2004. IL-2, Regulatory T Cells, and Tolerance, JI. 172:
3983–3988.
Parmiani, G. and Lotze, M.T., 2002, Tumor Immunology: molecularly
defined antigen and clinical application, Taylor and Francois, New
York USA
Parslow, T.G., Stites, D.P., Terr, A.I., Imboden, J.B., 2003. Med. Immu-
nol., tenth edition, Boston
1. CD4
2. CD4CD25
3. CD8
4. CD10
5. MHC kelas II
6. MHC kelas I
7. TGF-b
8. IFN-a
9. TNF-a
10. NfKb
11. Growt factor
12. GMCSF
13. Molekul adesi
194
Modul Imunologi
Pilihan Ganda
195
Akmaa
c. MHC antigens
d. μ chains
6. Which of these are found on a mature B cell?
a. IgG and IgD
b. IgM and IgD
c. Alpha and beta chains
d. CD3
7. Which receptor on T cells is responsible for rosetting
with sheep red blood cells?
a. CD2
b. CD3
c. CD4
d. CD8
8. Which of the following can be attributed to antigenstimulated T
cells?
a. Humoral response
b. Plasma cells
c. Cytokines
d. Antibody
9. Which is a distinguishing feature of a pre-B cell?
a. μ chains in the cytoplasm
b. Complete IgM on the surface
c. Presence of CD21 antigen
d. Presence of CD25 antigen
10. When does genetic rearrangement for coding of light
chains take place?
a. Before the pre-B cell stage
b. As the cell becomes an immature B cell
c. Not until the cell becomes a mature B cell
d. When the B cell becomes a plasma cell
196
Modul Imunologi
197
Akmaa
198
Modul Imunologi
~ BAB VI ~
SITOKIN DAN FAKTOR PERTUMBUHAN
Tujuan :
199
Akmaa
A. PENDAHULUAN
Istilah sitokin digunakan untuk menggambarkan sejumlah be-
sar kelompok protein yang semula dikenal banyak dihasilkan oleh
sel-sel penyusun system imun. Sitokin semula didefinisikan sebagai
mediator yang dihasilkan oleh sel dalam reaksi radang atau imunologik
yang berfungsi sebagai isyarat antara sel-sel untuk mengatur respons
setempat dan kadang-kadang juga secara sistemik. Sitokin tersebut
mempengaruhi peradangan dan imunitas melalui pengaturan perum-
buhan, mobilitas dan diferensiasi lekosit dan sel-sel jenis lain. Sitokin
saat ini banyak dimanfaatkan dalam klinik. Sebagai biological respon
modifiers sitokin ditambahkan pada terapi standart untuk berbagai
penyakit.
Berdasarkan jenis sel penghasil utamanya atau sel utama yang
terlibat, sitokin dibedakan menjadi monokin, interleukin, semokin dan
limfokin. Monokin adalah sitokin dengan monosit sebagai penghasil
utamanya. Limfokin adalah sitokin dengan limfosit sebagai penghasil
utamanya. Interleukin adalah sitokin yang perannya sebagai mediator
antar leukosit. Semokin adalah sitokin sederhana yang berperan pada
gerakan kemotaksis lekosit.
Secara umum sitokin memiliki peran daam komunikasi antar sel.
Penyebaran signal sitokin bersifat fleksibel dan dapat menginduksi
baik untuk efek pencegahan maupun untuk pacuan. Satu sitokin dapat
mempengaruhi pembentukan sitokin yang lain. Aktifasi melalui resep-
tornya, efek biologis yang ditimbulkan oleh sitokin dapat bersifat sin-
ergis, addiktif atau antagonis. Sitokin tidak disimpan sebagai preform
protein, begitu disekresi oleh sel produsennya, sitokin sudah dalam
bentuk jadi dan siap bekerja.
Sitokin berbeda dengan hormone. Hormone mempunyai sel sasa-
ran dengan jangkauan yang dapat dicapai melalui peredaran darah,
200
Modul Imunologi
201
Akmaa
202
Modul Imunologi
203
Akmaa
204
Modul Imunologi
Gambar. 6.4. Mekanisme aktifasi sel target oleh sitokin dan rangka-
ian aktifasi beberapa sel melalui kaskade signaling yang melibatkan
beberapa sitokin yang saling sinergis
205
Akmaa
206
Modul Imunologi
207
Akmaa
208
Modul Imunologi
209
Akmaa
210
Modul Imunologi
211
Akmaa
212
Modul Imunologi
213
Akmaa
B. MONOKIN
Monosit dan makrofag menghasilkan beberapa sitokin yang dis-
ebut dengan monokin. Sebagian besar monokin berbentuk peptide
dengan jumlah gugus asam amino sebanyak 122-190, dan kebanyakan
dihasilkan oleh beberapa jenis sel lain di samping sel penghasil utaman-
ya monosit / makrofag. Dalam tahun 1940 para peneliti menemukan
mediator yang muncul di daerah infeksi bakteri; diduga mediator ini
dibawa ke daerah otak dengan menghasilkan efek pengaturan panas
sebagai demam sewaktu infeksi. Kini telah diketahui bahwa demam
tersebut disebabkan 4 jenis monokin yaitu : IL-1, TNF-a dan IL-6.
Fungsi monokin beragam mulai sebagai mediator pada reaksi in-
flamasi, penghambat replikasi sel virus sampai respon imun alami. Di
214
Modul Imunologi
215
Akmaa
216
Modul Imunologi
dari fibroblast).
Sel sasarannya akan bereaksi dalam bentuk yang berbeda,
sel-sel imunokompeten akan meningkat proliferasinya, sedang
sel-sel dalam proses radang tergantung jenis selnya. Fibroblas
akan berproliferasi disamping produksi PGE2, makrofag akan
berproliferasi dan produksi PGE2, pada susunan saraf pusat akan
menyebabkan demam, anoreksi dan pada tulang dan kartilago akan
terjadi resorpsi. Pada Tabel 12-1 dapat disimak keragaman efek dari
IL-1 tersebut sehingga memperoleh berbagai nama lain. Ternyata sel
sasarannya dapat berupa sebagai sel limfosit dan nonlimfosit.
217
Akmaa
218
Modul Imunologi
tor), IL-6, TNF, CSF dan bahkan induksi IL-1 sendiri. Sebaiknya
produksi IL-1 dapat dihambat oleh inhibitor yang dilepaskan oleh
makrofag sendiri dan diketahui terdapat dalam urine.
219
Akmaa
aktivasi sel T.
Atas dasar kenyataan tersebut, oleh Oppenheim (1987) diu-
sulkan urutan tahap peristiwa siklus limfosit setelah menerima
rangsang antigen yang disajikan oleh sel penyaji (makrofag) sep-
erti dilukiskan pada Gambar 12-1. Rangsangan antigen spesifik
atau poliklonal yang diproses oleh makrofag selanjutnya baru da-
pat disajikan kepada limfosit T. Tahap ini akan mengubah kead-
aan limfosit T istirahat (Go) menjadi masuk ke dalam tahap G1
awal, yang mampu sintesis lipid dan RNA dan protein. Beberapa
limfosit T tersebut melanjutkan perkembangannya ke dalam ta-
hap G1 lanjut sehingga mampu membentuk reseptor untuk IL-2.
Sebagian dari limfosit lain karena rangsangan IL-1 dapat meng-
hasilkan IL-2 yang pada gilirannya IL-2 ini akan merangsang lim-
fosit T yang telah memiliki reseptor untuk IL-2 untuk membuat
reseptor transferin dan melanjutkan diri ke dalam tahap S dari
siklus sel. Limfosit yang telah mencapai tahap S sudah siap untuk
mitosis (Lihat juga Bab 3 dan 4).
220
Modul Imunologi
hasilkan BCGF. Oleh karena IL-1 dapat dihasilkan juga oleh limfosit
B sendiri, maka interleukin ini dapat bertindak sebagai otokrin yang
dapat mengatur aktivitasnya sendiri.
Reaksi inflamasi berlebihan dan Syok endotoksik: sitokin proinfla-
masi (IL-1 dkk)
IL-1 salah satu sitokin yang turut berperan menyebabkan keadian
syok endotoksik. Mekanisme Syok endotoksik dan sitokkin proinfla-
masi dijabarkan pada Gambar.
221
Akmaa
Manifestasi klinis yang muncul adalah akibat reaksi inflamasi yang ber-
lebihan akibat produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan.
Produksi IL-1 berlebihan dapat menimbulkan gejala SIRS oleh ka-
rena terjadi kaskade induksi produksi sitokin proinflamasi sehingga
didapatkan kadar sitokin proinflamasi yaitu IL-1, IL-1b, TNF-a, IFN-g
dan sitokin sejenis berlebihan pada diri penderita. Mekanisme aktifa-
si signaling intraseluler pada makrofag yang terpapar IL-1 dijelaskan
pada Gambar.
222
Modul Imunologi
223
Akmaa
TNF terutama dihasilkan oleh sel makrofag dan sel-sel jenis lain dengan
berbagai aktivasi biologik dan sel-sel sasaran baik yang termasuk dalam system
imun maupun bukan. Sejumlah jenis sel dapat menghasilkan TNF setelah men-
dapatkan rangsangan yang cocok, misalnya limfosit dan sel NK. Sangat menarik
terungkapnya jaringan pengawasan induksi dan efek dari TNF. Misalnya IL-1
menginduksi produksi TNF dan sebaliknya TNF menginduksi produksi IL-1
oleh makrofag, produksi IFN-b1 dan IFN-b2 oleh fibroblast dan produksi
GM-CSF oleh bebrapa jenis sel.
Gena untuk TNF terdapat pada lengan pendek khromosom 6
yang diduga di dekat atau dalam kompleks MHC. TNF manusia me-
miliki homologi sebesar 80% dengan TNF mencit atau kelinci san 28%
dengan limfotoksin. Limfotoksin yang mempunyai mekanisme kerja
dan reseptor yang sama dengan TNF disebut sebagai “TNF-b”.
224
Modul Imunologi
Gambar 6.11. Aktifitas utama TNF pada kadar moderat dan tinggi.
Efek sitotoksik terlihat pada beberapa jenis tumor yang mengalami ke-
munduran dan nekrosis yang disertai perdarahan. Mekanisme pembunuhan sel
tumor in vivo belum jelas, tetapi yang jelas kematian sel tumor membutuhkan
adanya reseptor untuk TNF dan dipercepat dengan terjadinya hambatan sinte-
sis protein dalam sel tumor. Kerusakan tumor mencit in vivo diduga bukanlah
pengaruh langsung TNF, melainkan secara tidak langsung. Mungkin nekrosis
terjadi oleh karena adanya gangguan vaskularisasi tumor. Makrofag teraktifkan
dapat membunuh sel tumor, sedangkan terdapat bukti-bukti vahwa TNF ber-
peran dalam situasi tersebut.
Kini TNF dianggap sebagai mediator utama dalam radang. Lagipula
TNF yang diperoleh kemurniannya secara biokimiawi ternyata bertanggung
jawab kepada aktivitas “cachectin” yang umumnya bekerja pada penderita
yang mengalamiinfeksi parasit. Mekanisme pada beberapa kejadian radang se-
tempat di ramalkan berdasarkan pengamatan percobaan in vitro. Misalnya sel
netrofil yang bereaksi dengan TNF meningkat pengikatannya dengan sel endo-
tel, letupan respiratori dan degranulasinya. Pada kerusakan radang mirip den-
gan kerusakan oleh IL-1. Demikian pula kemampuannya dalam menginduksi
proliferasi fibroblas, TNF seperti IL-1, sehingga penting dalam penyembuhan
luka.
225
Akmaa
3. Interleukin – 6 (IL-6)
Secara terpisah IL-6 diketemukan karena efek anti-virus, maka di-
namakan IFN-b2, dan aktivitas biologic lain seperti meningkatkan per-
tumbuhan hibridoma, merangsang hepatosit dan limfosit B. Maka IL-6
mempunyai efek yang beragam terhadap sejumlah sel sasaran. Efek-
efek lain seperti juga yang dimiliki oleh IL-1 dan TNF sehingga IL-6 pun
dianggap sebagai mediator peradangan dan system imun yang utama.
Di samping dihasilkan oleh makrofag IL-6 juga dihasilkan oleh
jenis sel lain, seperti limfosit T, fibroblast dan sel-sel tumor seperti glio-
blastoma, miksoma dan sel karsinoma kandung kencing. Maka IL-6 da-
pat digolongkan pula sebagai limfokin seperti yang akan dibahas lagi
dalam limfokin.
226
Modul Imunologi
IL-6 mempunyai kaitan IL-1 dengan IL-1 dan TNF karena ketiga
sitokin ini dapat dihasilkan oleh monosit / makrofag secara terkoor-
dinasi. Kaitan ketiga sitokin tersebut juga disebabkan oleh karena
masing-masing dapat saling menginduksi penglepasannya ; misalnya
IL-1 atau TNF dapat menginduksi penglepasan IL-6, TNF menginduksi
penglepasan IL-1 dan IL-6 menginduksi IL-1. Lagipula ketiga sitokin
tersebut dapat diangkut melalui peredaran darah untuk membangkit-
kan reaksi peradangan yang dinamakan “respons fase akut”. Respons
ini bermanifestasi sebagai demam dan pergeseran kandungan bebera-
pa protein dalam serum yang diproduksi oleh hepatosit. Jenis protein
produksi hepatosit tersebut tergantung pada masing-masing rangsan-
gan oleh ketiga sitokin tersebut.
Efek imunologik nampak pada saat diketemukan sebagai hasil dari
sel T helper yang menginduksi proliferasi sel B. Pada mulanya inter-
leukin ini dinamakan sebagai “T cell replacing factor” (TRF), namun
kemudian ternyata TRF terdiri atas berbagai limfokin lain seperti IL-
1, IL-2, IL-4, IL-5 dan IL-6. IL-6 sendiri sebenarnya tidak menginduksi
proliferasi limfosit B, malainkan untuk diferensiasi.
C. LIMFOKIN
Limfosit merupakan sel utama pada system imunitas. Limfosit
bertanggung jawab pada penyelenggaraan respon imun adapatif baik
seluler maupun humoral. Limfosit yang teraktifasi akan menghasil ber-
bagai sitokin yang sering disebut juga dengan limfokin. Dalam kelu-
arga limfokin ini telah dapat diidentifikasi dan diisolasi dengan nama
: g-IFN, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-7 dan GM-CSF.Dalam masa 10-
15 tahun terakhir ini, nampak sangat pesat kemajuan penelitian aspek
molekuler limfokin khususnya yang dihasilkan oleh limfosit T.
227
Akmaa
1. Interleukin-2 (IL-2)
Sejak dilaporkan adanya faktor mitogenik dalam biakan campu-
ran lekosit, sejumlah faktor telah diusulkan sebagai produk limfosit T.
Faktor-faktor yang mempunyai beberapa aktivitas diberikan penamaan
yang mengingatkan pada manifestasi aktivitas biologic yang nampak
oleh peneliti bersangkutan. Dari kumpulan faktor dapat diamati adan-
ya aktivitas mitogenik (Thymocyte mitogenic factor = TMF dan Lym-
phocyte mitogenic factor = LMF), aktivasi timosit (Thymocyte activat-
ing factor = TAF), aktivitas membunuh (Killer helper factor = KHF) dan
aktivitas stimulasi (Thymocyte stimulating factor = TSF).
Pernah dipertunjukkan bahwa pertumbuhan limfosit T selalu
dipertahankan dalam biakan oleh substansi yang pada saat itu dinama-
kan sebagai TCGF (T cell growth factor) dan kemudian ternyata bahwa
substansi tersebut mempunyai kesamaan sifat biokimiawi dengan TAF
dan TSF. Akhirnya pada Lokakarya Internasional tentang limfokin yang
ke-II, limfokin yang bersifat mitogenik tersebut dinamakan sebagai In-
terleukin-2 (IL-2). Sejak saat itu faktor yang menyebabkan pertumbu-
han sel T telah dapat dimurnikan bahkan telah dapat diidentifikasikan
genanya pada phromosom ke-4 mencit.
228
Modul Imunologi
229
Akmaa
230
Modul Imunologi
Antara IL-4 mencit dan manusia terdapat 50% homologi, sehingga IL-4
masih khas species.
Fungsi utama IL-4 dijabarkan pada Gambar. Reseptor IL-4R ter-
dapat pada berbagai macam sel antara lain sel dendritik, makrofag, sel
mas, limfosit Th dan sel B.
231
Akmaa
232
Modul Imunologi
233
Akmaa
234
Modul Imunologi
Gambar 6.19 . Mekanisme aktifasi signaling intrasel akibat aktifasi reseptor IL-6
235
Akmaa
236
Modul Imunologi
237
Akmaa
238
Modul Imunologi
Sitokin Aktivitas
IL-2 Meningkatkan pertumbuhan sel T/sel B/LAK/NK yang
teraktifkan
IL-3
Meningkatkan pertumbuhan sel progenitor dalam
jaringan sumsum tulang.
GM-CSF Meningkatkan pertumbuhan / diferensiasi sel netrofil /
makrofag, aktivitas makrofag.
Semua molekul IFN-a dan IFN-b1 akan terikat oleh reseptor yang
sama pada permukaan sel yang kebanyakan daripadanya mempunyai
aviditas yang tinggi. Sel-sel T yang istirahat memiliki sekitar 250 resep-
tor untuk IFN-a, b1 dibandingkan dengan 1000-4000 buah pada jenis
239
Akmaa
sel lain. Apabila terjadi ikatan IFN dengan reseptornya, terjadilah sin-
yal bagi sel bersangkutan yang belum jelas diketahui mekanisme se-
lanjutnya. Pada manusia gena untuk reseptor IFN terdapat pada khro-
mosom ke-21, sehingga pada penderita sindroma Down (trisoma 21),
terdapat kepekaan yang lebih tinggi terhadap pemberian IFN-a, b1 ma-
nusia.
Walaupun aktivitas biologic IL-7 manusia dapat bekerja terhadap
sel pre-B mencit, namun nampaknya aktivitas khusus IL-7 mencit adalh
5-10 kali lipat lebih tinggi dari IL-7 manusia. Dengan menggunakan IL-7
yang murni orang lebih jelas mengetahui bahwa interleukin ini bekerja
terbatas pada pertumbuhan sel-sel pre-B yang masih muda serta prolif-
erasi sel T yang masih muda, yaitu timosit yang belum memiliki CD4
atau CD8. Dari percobaan-percobaan in vivo dapat diharapkan berguna
dalam pemakaian IL-7 untuk terapi terhadap penderita imunosupresi
dan insufisiensi limfoid lainnya.
D. INTERFERON
Interferon salah satu sitokin terpenting dalam penyelenggaraan
respon imun adapatif terutama IFN-γ. Interferon diketemukan dalam
tahun 1957 oleh Isaacs dan Lindenmann sebagai protein yang pemben-
tukannya diinduksi oleh sel yang diinfeksi virus dan ia akan berperan
menganggu replikasi virus. Aktivitas anti-virus ini stabil pada pH 2,00
dalam konsentrasi rendah dan bersifat spesies spesifik. Sedang khasiat
antiproliferatif dan pengatur imun baru diketahui kemudian.
Berbagai jenis aktivitas interferon telah diidentifikasi dan diklasifi-
kasi berdasarkan sumber selnya sebagai :interferon fibroblast dan inter-
feron imun. Kemudian dikelompokkan kembali menjadi : IFN-a, IFN-b
dan IFN-g. Dari kloning molekuler terungkap adanya 20 subtipe IFN a
dan 2 subtipe IFN-b (IFN-b1 dan IFN-b2 disebut pula sebagai IL-6, se-
240
Modul Imunologi
dang IFN-g termasuk keluarga limfokin karena IFN ini dihasilkan oleh
limfosit T dan LGL.
1. 1. Interferona-a dan Interferon-β1 (IFN-a, β1)
241
Akmaa
gipula beberapa produk parasit dan mikroba lain dapat pula mengin-
duksi penglepasan IFN-a, b1 oleh berbagai jenis sel termasuk fibroblast
dan makrofag, limfosit B dan T, sel endotel dan epitel. Demikian pula
beberapa mediator seperti CSF-1 dan PDGF dapat menginduksi pen-
glepasan IFN-a, b1.
Aktivasi anti-proliferatif
IFN-a, b1 menghambat proliferasi yang sering disertai mendorong
diferensiasi sel-sel normal ataupun sel-sel tumor. Demikian pula inter-
feron tersebut dapat melawan aktivitas mitogenik dari sejumlah faktor
pertumbuhan seperti : CSF-1, PDGF, EGF (epidermal growth factor),
IL-2 dan IL-4.
Aktivitas anti-virus
Mekanisme efek anti-virus dari IFN-a, b1 membutuhkan sintesis
jenis-jenis protein baru termasuk enzim 2’5’ oligo (A) sintetase dan ki-
nase protein. Aktivasi enzim tersebut menyebabkan degradasi RNA vi-
rus yang pada gilirannya akan menghambat sintesis protein virus yang
penting bagi kehidupannya. Di samping mempunyai efek anti-virus,
IFN-a, b1 juga melindungi terhadap infeksi bakteri, parasit dan jamur.
242
Modul Imunologi
.
Gambar 6.21 mekanisme aksi antiretroviral IFN-α/β
Efek terhadap sel makrofag
Efek IFN-a, b1 yang bersifat nonspesifik dan imunologik melalui
sel-sel lekosit yang bertanggung jawab untuk pertahanan tubuh. Mis-
alnya IFN-a, b1 meningkatkan fungsi makrofag untuk menyajikan
antigen, mendorong diferensiasi makrofag. Sesungguhnya IFN-a, b1
berkemampuan melawan efek proliferasi dari CSF-1 pada sel-sel induk
sumsum tulang.
Di samping itu IFN-b1 mendorong produksi beberapa sitokin sep-
erti IL-1 dan TNF oleh sel makrofag, sehingga secara tidak langsung
berperan dalam respons imun seluler melalui peningkatan fungsi pen-
yajian sel makrofag kepada limfosit T.
243
Akmaa
244
Modul Imunologi
245
Akmaa
dengan kematian secara cepat. Namun infeksi pada mencit yang baru
lahir sebaliknya dapat menyebabkan glomerulonefritis khronik yang
dikaitkan dengan produksi IFN yang lebih tinggi dan viremia. Apa-
bila kadar IFN dari mencit tersebut dikurangi dengan cara memberi-
kan antibody terhadap IFN-a, maka gejala penyakitnya akan berkurang
walaupun viremianya meningkat.
2. Interferon-gama (IFN-γ)
Salah satokin penting dalam penyelenggaraan respon imun. IFN-
g sebagai anggota keluarga interferon pertama yang dikenal kemam-
puannya mengganggu replikasi virus dalam fibroblast dan kemudian
dimurnikan. Peran IFN-γ disajikan pada Gambar.
246
Modul Imunologi
Seperti juga IFN-a, b1, kegunaan potensi anti tumor dari IFN-g
dapat dihubungkan dengan kemampuannya mendorong aktivi-
tas sel NK. Disimpulkan bahwa IFN-g mempunyai potensi yang
besar untuk mendorong aktivitas sel NK dalam memerangi sel-
sel tumor. Namun sayangnya untuk mendukung kesimpulan
tersebut sangat terbatas laporan yang mengungkapkan peran sel
NK dalam imunitas anti-tumor. Dari percobaan binatang untuk
mengungkapkan hubungan system imun dengan tumor, ternyata
247
Akmaa
Gambar 24. mekanisme aksi antiviral (1) dan jalur aktifasi signaling
intrasel (2) IFN.
248
Modul Imunologi
3. IL-10
Sitokin IL-10 memiliki banyak fungsi baik pada respon imun alami
maupun respon imun adaptif. Salah satu sitokin anggauta IFN-g ada-
lah IL-10. IL-10 salah sitokin yang memiliki sifat pleiotropik, yaitu pada
satu sisi memiliki aktifitas biologis sebagai inducer atau perangsang
tetapi pada sisi lain memiliki sifat inhibisi.
249
Akmaa
E. KEMOKIN
Kemokin merupakan superfamili protein kecil dengan peran yang
penting pada penyelenggaraan respon imun dan reaksi inflamasi. Me-
kanisme aktifasi kemokin dalam penyelenggaraan respon imun dis-
ajikan pada Gambar.
250
Modul Imunologi
Gambar. 27. Ekspresi reseptor CCR dan CXCR serta mekanisme keter-
libatan kemokin pada penyelenggaraan respon imun melalui sel Th1,
Th2 dan Tsn
251
Akmaa
252
Modul Imunologi
253
Akmaa
254
Modul Imunologi
F. FAKTOR PERTUMBUHAN
Selain anggota keluarga sitokin yang telah dibahas, sebenarnya
masih ada anggota keluarga lain yang dikelompokkan dalam faktor
pertumbuhan (growt factor). Pada umumnya kelompok sitokin ini mer-
upakan mediator dalam peradangan. Pada Bab ini tidak dibahas secara
rinci, namun hanya disebut jenisnya dalam Tabel 12-3.
255
Akmaa
256
Modul Imunologi
berfungsi sebagai protektor ginjal dari IRI (ischemia renal injury). Telah
dibuktikan pada hewan uji mencit defisiensi limfosit dengan IRI pem-
berian TGF-β1 pada mencit tersebut dapat melindungi hewan uji dari
kerusakan ginjal akibat respon imun alamiah yang berlebihan. Peran
TGF-β1 dalam pencegahan kerusakan ginjal akibat IRI semakin nyata
pada hewan uji yang mengalami defisiensi Treg komplit yang diberi
perlakuan dengan IRI, ketiadaan FOXp3 sebagai faktor transkripsi Treg
membuat hewan uji mengalami autoimun disease dan berakhir dengan
kematian pada minggu ke-3 atau ke-4. Pemberian Treg adoptif pada
hewan uji defisiensi Treg komplit dengan perlakuan IRI terbukti dapat
menurunkan tingkat kerusakan ginjal dan mencegah kematian hewan
uji. Uji pada mencit RAG-1 KO dengan perlakuan IRI, dimana hewan uji
hanya memiliki respon imun alamiah, pemberian Treg adoptif dari luar
terbukti dapat menghambat respon imun alamiah destruktif sehingga
mengurangi kerusakan ginjal dan mencegah kematian hewan uji. Pene-
litian lainnya menunjukkan bahwa pemberian Treg adoptif pada luka
bakar mampu menekan respon imun alamiah berlebihan yang bersifat
destruktif sehingga mampu mencegah kematian hewan uji tetapi masih
tetap mampu menghambat kematian akibat adanya infeksi.
Manfaat Sitokin dibidang klinik
Aplikasi sitokin pada klinik sangat luas. Penemuan dan peng-
kajian serta pemahaman berbagai sitokin oleh para klinisi memberikan
pencerahan bukan saja pada pemahaman tentang patofisiologi penyak-
it, terutama penyakit autoimun yang jarang kejadiannya di masyarakat,
tetapi juga memperbaiki penatalaksanaan dan terapinya.
257
Akmaa
258
Modul Imunologi
259
Akmaa
260
Modul Imunologi
DAFTAR PUSTAKA
261
Akmaa
10. Whitlock, C.A. and Witte, O.N. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 79 :
3608, 1982.
11. Zilberstein, A., Ruggieri, R., Korn, J.H. and Revel, M. Sctructure
and expression of cDNA and genes for human interferon bete-2,
a distinct species inducible by growth stimulatory eytokine. V.
EMBO J. 5:2599., 1986.
262
Modul Imunologi
~ BAB VII ~
INFLAMASI DAN RESPON IMUN SEGERA
Tujuan :
263
Akmaa
A. PENGANTAR
Inflamasi adalah reaksi dari jaringan hidup terhadap trauma atau
infeksi, bias dalam kondisi akut maupun kondisi kronik. Inflamasi akut
bias dikuti dengan pemulihan segera atau jika stimulus menetap da-
pat berkembang menjadi kronik. Secara klinik inflamasi akut dicirikan
dengan hangat/panas, kemerahan, bengkak, nyeri dan berkurang atau
gangguan fungsi.
Manfaat reaksi Inflammasi antara lain: (i) melarutkan dan menge-
luarkan toksin; (ii) Menghambat penyebaran bakteri; (iii) Memfasilitasi
masuknya neutrophils, complement, opsonins dan antibodies; (iv) Me-
nyediakan persediaan mediator inflamasi; (v) Menjamn peningkatan
persediaan nutrisi sel; (vi) Meningkatkan inisiasi respon imune dan
(vii) Menginisiasi proses penyembuhan. Fungsi inflamasi antara lain :
1. Mengirimkan molekul efektor dan sel-sel ke lokasi infeksi
2. Membentuk barier fisik terhadap perluasan infeksi atau kerusakan
jaringan
3. Pemulihan luka dan perbaikan jaringan
264
Modul Imunologi
B. Respon Inflamasi
1. Inisiasi inflamasi
Inflammation merupakan akibat dari berbagai kondisi antara lain
infeksi, trauma fisik atau injuri, luka bakar, keracunan, alergi dan hi-
persensitifitas, serta penyakit autoimun yang berujung dengan dike-
luarkannya mediator proinflamasi. Sifat alami mediator proinflamasi
adalah menimbulkan serangkaian reaksi yang disebut denganrespon
inflamasi. Jenis dan derajat kerusakan serta factor genetic perorangan
mempengaruahi reaksi inflamasi. Gambaran kaitan antara berbagai
kondisi yang membangkitkan reaksi inflamasi dan akibatnya, disajikan
pada gambar.
265
Akmaa
266
Modul Imunologi
267
Akmaa
268
Modul Imunologi
Degranulasi sel mast dan aktifasi komplemen akibat trauma fisik me-
nyebabkan dilepaskannya histamine. Makrofag jaringan yang menin-
gesti partikel dan debris, menjadikannya aktif dan meepaskan sejum-
lah sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a. Macrophages
juga menghasilkan chemokines, dimana kemokin ini dapat menarik
perhatian lekosit khusus untuk bergerak menuju ke lokasi infeksi atau
trauma . Prostaglandins, histamine dan komponen complement (teru-
tama anaphylatoxins C3a and C5a) menyebabkan vasodilatasi dan pen-
ingkatan permeabilitas vascular. Kondisi Hiperpermeabilitas vaskuler
meningkatkan extravasation cairan, termasuk macromolecules, dimana
ekstravasasi makromolekul seperti ini pada kondisi vakuler normal
tidak mungkin terjadi.
269
Akmaa
Tabel 7.1. Kemokin yang terlibat pada inflamasi dan respon imun
alami lainnya.
270
Modul Imunologi
271
Akmaa
272
Modul Imunologi
273
Akmaa
274
Modul Imunologi
275
Akmaa
276
Modul Imunologi
277
Akmaa
bagian keadaan akut, serangan yang lemah atau pertahanan yang kuat.
Infeksi-infeksi kronis sering ditandai dengan ketidaknyamanan dalam
berbagai tingkatan dan bukannya rasa sakit, serta reaksi ringan dari jar-
ingan sekitarnya.
Pada keadaan infeksi, dapat juga terjadi bakteremia. Bakteremia
terjadi karena masuknya bateri ke dalam peredaran darah melalui akses
seperti infeksi odontogenik (abses, selulitis, dll). Hal ini disebabkan per-
meabilitas dari epitel sekitar jaringan gigi dan wajah dan tingkat prosta-
glandin dalam sirkulasi lokal, yang meningkatkan jumlah leukosit dan
tingkat fibrinogen, memperlambat sirkulasi dan mendukung bagian
bakteri ke dalam darah.
Infeksi, bakteriemia dan sepsis
Keadaan khusus infeksi dan bakteriemia adalah sepsis. Sepsis
merupakan sindrom klinis yang terjadi akibat reaksi inflamasi sistemis
pada manusia yang mengalami infeksi oleh mikroorganisme biasanya
terjadi bakteriemia atau adanya endotoksin. Protein C-reaktif (C-reactive
protein=CRP) adalah suatu globulin yang disintesis oleh sel hepatosit
dan disekresi ke dalam darah. Kadar CRP akan meningkat bila terjadi
respons inflamasi lokal atau sistemis, dan lebih spesifik pada penyakit
infeksi neonatal seperti sepsis neonatorum dan meningitis . Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk menggunakan CRP ini sebagai pa-
rameter dalam menegakkan diagnosa sepsis neonatorum. Hasil peneli-
tian ini sangat bervariasi. Ng et al. (1997), di bagian IKA FK Universitas
Hongkong mendapatkan pemeriksaan CRP mempunyai nilai sensitivi-
tas 84% dan spesifisitas 96%, pada 68 orang bayi berat lahir sangat ren-
dah sebagai pemeriksaan marker tunggal. Kombinasi antara CRP dan
IL–6 menunjukkan nilai sensifitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan
nilai prediksi negatif berturut-turut meningkat menjadi 93%, 96%, 95%
dan 95%. Chiesa et al. (2001) juga mengatakan diperlukan pemeriksaan
278
Modul Imunologi
CRP terhadap neonatus sehat yang lahir mempunyai faktor risiko pada
148 neonatus yang diteliti. Selanjutnya mereka mendapatkan hasil yang
bermakna dari pemeriksaan CRP serial bersamaan dengan IL-6 pada
kasus tersangka sepsis secara faktor risiko tersebut.
Berbeda dengan peneliti lainnya, Anwer & Mustafa (2003) meneliti
lima puluh neonatus yang memiliki faktor risiko di bagian perawatan
intensif Bagian Anak RS Shaheed Abbasi, Karrachi Pakistan, didapat-
kan pemeriksaan CRP dengan sensitifitas diatas 60% dan spesifisitas
50%, sedangkan untuk dapat membantu menegakkan diagnosis sepsis
neonatorum, CRP mempunyai nilai sensitivitas sebesar 84 dan spesifisi-
tas 96%. Bahkan Posen & Lamos (1998) mendapatkan kasus sepsis neo-
natorum yang pada tindak lanjut masih ditemukan bakteri pada biakan
darah, namun kadar CRP telah menurun. Padahal secara teoritis kadar
CRP akan menurun bersamaan dengan perbaikan keadaan pasien.
Infeksi parasit malaria dan jenis sitokin
279
Akmaa
280
Modul Imunologi
281
Akmaa
282
Modul Imunologi
283
Akmaa
284
Modul Imunologi
Abbas. A.K., Litchman, A.H., 2004. Basic Immunology: Function and disor-
der and the immune system, Scond edition, Elsevier, Shang hai
Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Jakarta
�������������������������������
: Balai Penerbit Fakul-
tas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Bennett, C.L., Christie J, Ramsdell F, Brunkow ME, Ferguson PJ, White-
sell L, Kelly,TE, Saulsbury FT, Chance PF, Ochs HD., 2001b. The im-
mune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked
syndrome (IPEX) is caused by mutations of FOXP3. Nat Genet.
27(1):20-1
Bettelli, E, carrier, Y, Gao, W, Korn, T, Strom, T.B., Oukka, M, Weiner,
H.L, Kuchroo, V.K..,2005a. Reciprocal developmental pathways for
the generation of pathogenic effector TH17 and regulatory T cells.,
Nature. 441(7090):235-8
Bettelli, E., Dastrange, M., Oukka, M., 2005b. Foxp3 interacts with nu-
clear faktor of activated T cells and NF-kappa B to repress cytokine
gene expression and effector functions of T helper cells, Proc Natl
Acad Sci. 102(14):5138-43
Bettelli, E., Oukka, M., Kuchroo, V.K., 2007. T(H)-17 cells in the circle of
immunity and autoimmunity, Nat Immunol. 8(4):345-50
Bogdan, C., 2011. Regulation of lymphocytes by nitric oxide, Methods
Mol Biol. 677:375-93.
Colombo, M.P., and Trinchieri, G., 2002. Interleukin 12 in antitumor im-
285
Akmaa
Daftar Pustaka
286
Modul Imunologi
287
Akmaa
Ramos, H.J., Davis, A.M., Cole, A.G., Schatzel, J.D., Forman, J., Far-
rar, J.D., 2009. Reciprocal responsiveness to interleukin-12 and
interferon-α specifies human CD8 effector versus central memory
T-cells fates, Immunobiology. 113(22):5516 - 5525
288
Modul Imunologi
289
Akmaa
290