OLEH :
Puji syukur penyusun ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Poliuretan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Proses Petrokimia.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Bapak Yuliusman selaku dosen mata kuliah
Proses Petrokimia, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Semoga makalah
ini dapat menambah pemahaman dan wawasan kita dalam proses petrokimia, terutama
mengenai polyurethane sebagai produk antara yang pemanfaatan komponen turunan yang
sangat luas dalam kehidupan sehari-hari.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun sehingga kesalahan yang masih terdapat pada makalah ini dapat
diperbaiki pada pembuatan makalah berikutnya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Usaha menciptakan polimer poliuretan pertama kali dirintis oleh Otto Bayer dan rekan-
rekannya pada tahun 1973 di labolatorium I.G. Farben di Leverkusen, Jerman. Mereka
menggunakan prinsip polimerisasi adisi untuk menghasilkan poliuretan dari diisosianat cair
dan polieter cair atau diol poliester seperti menunjuk ke berbagai kesempatan spesial,
khususnya saat dibandingkan dengan berbagai plastik yang dihasilkan dari olefin, atau
dengan polikondensasi. Awalnya, usaha difokuskan pada produksi serat dan busa yang
fleksibel. Kendati pengembangan terhalang oleh Perang Dunia II (saat itu PU digunakan
dalam skala terbatas sebagai pelapisan pesawat), poliisosianat telah menjadi tersedia secara
komersial sebelum tahun 1952. Produksi komersialnya busa poliuretan yang fleksibel dimulai
pada 1954, didasarkan pada toluena diisosianat (TDI) dan poliol poliester. Penemuan busa ini
(yang awalnya dijuluki keju Swiss imitasi oleh beberapa penemu) adalah berkat jasa air yang
tak sengaja dicampurkan ke dalam campuran reaksi. Bahan-bahan ini digunakan pula untuk
memproduksi busa kaku, karet gom, dan elastomer. Serat linear diproduksi dari
heksametilena diisosianat (HDI) dan 1,4-butanadiol (BDO).
Poliol polieter yang tersedia secara komersial untuk pertama kalinya, poli (tetrametilena
eter) glikol, diperkenalkan oleh DuPont pada 1956 dengan mempolimerisasikan
tetrahidrofuran. Glikol polialkilena yang tak begitu mahal diperkenalkan BASF dan Dow
Chemical setahun selanjutnya, 1957. Poliol polieter menawarkan sejumlah keuntungan teknis
dan komersial seperti biaya yang rendah, penanganan yang mudah, dan stabilitas hidrolitik
yang lebih baik; dan poliol poliester bisa digantikan dengan cepat dalam pembuatan barang-
barang dari poliuretan. Pada 1960, lebih dari 45.000 ton busa poliuretan yang fleksibel
diproduksi. Seiring dengan perkembangan zaman, tersedianya bahan tiup klorofluoroalkana,
poliol polieter yang tak mahal, dan metilena difenil diisosianat (MDI) menjadi bukti dan
penggunaan busa kaku poliuretan sebagai bahan isolator berkinerja tinggi. Busa kaku yang
didasarkan pada MDI polimerik menawarkan karakteristik pembakaran dan stabilitas suhu
yang lebih baik daripada busa kaku berbasis TDI. Dalam 1967, diperkenalkan busa kaku
poliisosianurat yang termodifikasi uretana, menawarkan sifat yang tak mudah terbakar serta
stabilitas termal yang jauh lebih baik kepada berbagai produk isolator berdensitas rendah.
Selain itu, dalam era 1960-an diperkenalkan pula sejumlah komponen pengaman bagian
dalam otomotif seperti panel pintu dan instrumen yang dihasilkan dengan kulit termoplastik
isian penguat dengan busa semi-kaku.
Pada 1969, Bayer AG memamerkan sebuah mobil yang semua komponennya dari
plastik di Dusseldorf, Jerman. Komponen-komponen mobil itu dibuat dengan menggunakan
sebuah proses baru bernama RIM (Reaction Injection Molding). Teknologi RIM
menggunakan tumbukan bertekanan tinggi dari komponen cair yang dilanjutkan dengan
mengalirkan campuran reaksi dengancepat ke dalam rongga cetak. Bagian-bagian berukuran
besar, seperti panel bodi dan fasia otomotif, bisa dicetak dengan cara tersebut. Polyurethane
3
RIM lambat laun berkembang menjadi berbagai macam produk serta proses. Penggunaan
teknologi trimerisasi dan pemuai rantai diamina memberikan poli(uretana urea), poli(uretana
isosianurat), dan poliurea RIM. Penambahan bahan pengisi, seperti kaca berigi (milled glass),
mika, dan serat mineral olahan menghasilkan RRIM (reinforced RIM atau RIM yang
diperkuat) yang memberikan berbagai peningkatan dalam modulus lendut (kekakuan) dan
stabilitas termal. Modulus lendut semakin ditingkatkan dengan memasukkan glas mat
praletak ke dalam rongga cetak RIM, yang juga dikenal sebagai SRIM, atau structural RIM.
Elastomer poliuretan yang sangat terisi maupun yang tak terisi kini digunakan dalam
penerapan saringan minyak suhu-tinggi.
1.2. Poliuretan
Poliuretan adalah bahan polimer yang mempunyai ciri khas adanya gugus fungsi uretan
(-NHCOO-) dalam rantai utama polimer. Gugus fungsi uretan dihasilkan dari reaksi antara
isosianat dengan senyawa yang mengandung gugus hidroksil (Ashida, 2007). Secara
sederhana reaksi pembentukan poliuretan dapat dituliskan sebagai berikut:
Secara prinsip, poliuretan dapat dibuat dengan cara mereaksikan dua bahan kimia
reaktif yaitu poliol dengan diisosianat, dan biasanya ditambahkan sejumlah aditif untuk
mengontrol proses reaksi dan memodifikasi produk akhir (Woods, 1987). Jenis isosianat,
poliol ataupun pemanjang rantai yang digunakan dalam sintesis poliuretan akan
mempengaruhi kecepatan reaksi dan sifat dari produk akhir yang dihasilkan. Poliol
memberikan fleksibilitas yang tinggi pada struktur poliuretan sehingga poliol disebut sebagai
segmen lunak dari poliuretan. Disisi lain, isosianat dan pemanjang rantai memberikan
kekakuan atau rigiditas dalam struktur poliuretan sehingga sering disebut sebagai segmen
keras.
Selain itu, sifat poliuretan (fleksibibilitas, densitas, struktur selular, hidrofilitas dan
karakteristik proses) sangat ditentukan oleh struktur molekul. Secara umum, struktur dan sifat
poliuretan dipengaruhi oleh:
Berat molekul; bertambahnya berat molekul, sifat-sifat seperti kuat tarik, titik leleh,
elongasi, elastisitas dan temperatur transisi gelas akan meningkat hingga titik tertentu.
Gaya antar molekul; termasuk dalam hal ini adalah ikatan hidrogen, momen dipole dan
ikatan Van Der Walls.
4
Kekakuan rantai; adanya struktur aromatik dalam struktur poliuretan akan
meningkatkan titik leleh, kekerasan dan menurunkan elastisitas.
Kristalinitas; linearitas dalam rantai polimer akan meningkatkan kristalinitas yang
selanjutnya akan menurunkan solubilitas, elastisitas, elongasi dan fleskibilitas namun
serta meningkatkan kuat tarik, titik leleh dan kekerasan.
Ikat silang; semakin tinggi tingkat ikat silang, maka poliuretan akan semakin kaku
(rigid) yang selanjutnya akan meningkatkan modulus elastisitasnya serta mengurangi
elongasi dan swelling terhadap pelarut.
Poliuretan yang juga disebut polikarbamat (dari asam karbamat, R2NHCO2H) adalah
turunan ester amida dari asam karbamat. Poliuretan dipakai dalam berbagai macam aplikasi
termasuk serat (khususnya jenis elastis), bahan perekat, pelapis, elastomer, dan busa-busa
yang fleksibel dan kuat. Poliuretan mempunyai beberapa bentuk yaitu foam (busa), rigid,
elastomer, adesif dan lain-lain. Jenis poliuretan yang paling banyak dikenal adalah foam
(busa).
Jenis busa poliuretan ini dibedakan menjadi dua yaitu fleksibel dan rigid. Jenis PU
fleksibel adalah polimer yang mempunyai densitas rendah dan mempunyai sifat lunak dan
lentur, sedangkan PU jenis rigid adalah polimer yang mempunyai densitas tinggi dan
mempuyai sifat keras dan kuat.
Aplikasi poliuretan paling banyak saat ini adalah sebagai bahan busa, kemudian diikuti
oleh elastomer, perekat, dan pelapis dan lain-lain. Dalam dunia industri cat, poliuretan
merupakan salah satu jenis cat yang memiliki banyak kelebihan dibanding jenis cat lainnya,
antara lain daya tahan terhadap cuaca, daya kilap tinggi, tingkat kekerasan yang cukup baik,
dan daya rekat yang baik pada berbagai jenis bahan (logam, plstik, dan kayu).
Dalam industri polimer untuk pembuatan poliuretan pada tahun 2000 tercatat
penggunaan poliol dunia sebanyak 4,85 juta ton dan pemakaiannya tetap meningkat hingga
sekarang dimana bahan bakunya 95% masih mengandalkan hasil olahan petrokimia.
Konsumsi poliuretan dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan kenaikan
rata-rata 5,1% sampai dengan tahun 2005. Pasar poliuretan dunia untuk aplikasi coating,
5
adhesive, sealant, dan elastomer diperkirakan mencapai 3,1 juta ton pada tahun 2000 dengan
total isosianat 900 ribu ton dan poliol 1,5 juta ton. Permintaan tertinggi dari empat jenis
aplikasi tersebut adalah untuk aplikasi coating (cat) sebesar 44%.
Pabrik Poliuretan yang ada di Indonesia, yaitu PT. Serim Indonesia yang bertempat di
Tangerang dengan kapasitas produksi mencapai 7500 ton per tahun, PT. Dasa Windu Agung
bertempat di Jakarta dengan kapasitas produksi mencapai 1500 ton per tahun, PT. IRC Inoac
Indonesia bertempat di Jakarta dengan kapasitas produksi mencapai 1200 ton per tahun, PT.
Semindo bertempat di Semarang dengan kapasitas produksi mencapai 540 ton per tahun, dan
PT. Positive Foam Industry bertempat di Surabaya dengan kapasitas produksi mencapai 2000
ton per tahun sehingga Indonesia memproduksi poliuretan mencapai 12.740 ton per tahun.
Kebutuhan dan peluang produk poliuretan di Indonesia diperkirakan akan terus
mengalami peningkatan dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini dapat dilihat dari tabel 1.1 di
bawah ini.
6
Tabel 1.2 Data Ekspor dan Impor Poliuretan di Indonesia
Kapasitas (kg)
Tahun
Impor Ekspor
2010 21.418.588 1.270.300
2011 24.334.935 1.591.373
2012 29.192.168 954.025
2013 32.868.233 950.186
2014 32.479.159 2.327.656
2015 29.004.393 1.250.649
(sumber : Badan Pusat Statistik, 2019)
1.4. Poliol
Salah satu komponen penting dalam pembuatan poliuretan adalah poliol. Poliol dapat
bereaksi dengan isosianat untuk membentuk poliuretan. Poliol yang memiliki dua gugus
hidroksi disebut diol dan yang memiliki tiga gugus hidroksi disebut triol dan seterusnya.
Poliol yang digunakan untuk produksi busa poliuretan adalah oligomer. Oligomer merupakan
polimer berat molekul rendah yang memiliki setidaknya dua gugus hidroksil yang dapat
bereaksi dengan gugus isosianat. Terdapat banyak sekali jenis poliol, tetapi secara
keseluruhan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori yaitu:
1. Polieter Poliol
Polieter poliol diproduksi oleh polimerisasi anionik alkilena oksida, (misalnya:
propilena oksida, etilen oksida) dengan adanya inisiator dan katalis. Polieter poliol
adalah senyawa utama yang digunakan dalam busa kaku dan busa fleksibel. Polieter
poliol diproduksi oleh polimerisasi anionik alkilena oksida (misalnya: propilena oksida,
etilen oksida) dengan adanya inisiator dan katalis. Polieter poliol untuk busa poliuretan
kaku diproduksi menggunakan inisiator fungsionalitas tinggi seperti gliserol, sorbitol
dan sukrosa.
2. Poliester Poliol
Poliester poliol untuk busa poliuretan dapat diproduksi oleh reaksi di-basic acids
(misalnya: asam adipat dan asam ftalat) dengan glikol (misalnya: etilena glikol dan
propilen glikol) ataupun dibuat dengan pembukaan cincin polimerisasi lakton. Contoh
dari jenis poliol ini adalah poli(1,6-heksanadiol) karbonat. Bahan-bahan ini digunakan
dalam pembuatan poliuretan yang fleksibel. Namun, untuk busa poliuretan kaku, poliol
poliester aromatik adalah tipe poliol yang paling sering digunakan karena dapat
meningkatkan ketahanan busa terhadap api dan asap yang dihasilkan sedikit.
Saat ini pembuatan poliol yang digunakan untuk membuat poliuretan telah
dikembangkan agar mempunyai tingkat reaktifitas yang lebih tinggi dengan isosianat untuk
memproduksi poliuretan dengan sifat khusus. Penggunaan poliol triol ini mulai
dikembangkan karena, apabila monomer yang digunakan untuk polimerisasi mempunyai
lebih dari dua gugus fungsi akan membentuk ikatan silang (crosslinking) dalam jaringan
polimernya sehingga akan dihasilkan poliuretan dengan sifat khusus.
7
Gambar 1.3 Poliol
(Sumber: http://www.essentialchemicalindustry.org/polymers/polyurethane.html)
1.5. Isosianat
Isosianat merupakan gugus fungsi utama yang menjadi dasar dari industri poliuretan
modern. Secara komersial, isosianat organik tersedia dalam bentuk alifatik, sikloalifatik,
8
aromatik dan heterosiklik poliisosianat. Isosianat memiliki gugus fungsi (-N=C=O) yang
memiliki reaktifitas tinggi terhadap nukleofil yang memiliki proton. Reaksi yang terjadi
merupakan adisi nukleofilik melalui ikatan ganda karbon nitrogen.
Secara umum, isosianat aromatik lebih reaktif dibandingkan isosianat alifatik dan gugus
diisosianat pada atom karbon primer dapat bereaksi lebih cepat dibandingkan gugus
diisosianat pada ataom karbon sekunder maupun tersier. Adanya substituen penarik elektron
pada cicin aromatik akan meningkatkan reaktifitas gugus isosianat, sedangkan donor elektron
akan menurunkan reaktifitas karena pengaruh halogen sterik sebagai tambahan terhadap
adanya efek induksi.
Poliisosianat aromatik telah digunakan untuk persiapan isosianat berbasis busa.
Isosianat alifatik tidak digunakan karena poliisosianat alifatik bereaksi lambat dengan gugus
hidroksi, sedangkan untuk reaksi busa membutuhkan reaktivitas tinggi. Poliisosianat utama
yang digunakan adalah toluen diisosianat (TDI) dan metilen difenildiisosianat (MDI).
Isosianat dapat dibentuk dari toluena. Terdapat banyak aromatik dan alipatik
poliisosianat, namun untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan pembuatan uretan,
konversi dari senyawa lain tetap diperlukan. Pertama-tama toluena direaksikan dengan asam
campuran (nitric acid dan sulfuric acid) maka akan menjadi nitromethylbenzen.
9
Gambar 1.7. Pembentukan Methylbenzen menjadi Nitromethylbenzen
(Sumber: http://www.essentialchemicalindustry.org/polymers/polyurethane.html)
Jika senyawa diatas tetap dinitrasi lebih lanjut, maka senyawa tersebut akan menjadi
dinitromethylbenzen.
Setelah itu, senyawa dinitrobenzen direduksi menjadi senyawa amina seperti berikut:
Amina ini mempunyai nama komersial yaitu Toluene Diamina atau TDA. Amina ini
dipanaskan dengan carbonyl chloride (phosgene) untuk memproduksi diisocyanates dan
proses ini berlangsung pada fasa cair dengan chlorobenzen sebagai solvent pada suhu sekitar
350 K.
10
Gambar 1.10. Gambar Pembentukan Isosianat
(Sumber: http://www.essentialchemicalindustry.org/polymers/polyurethane.html)
11
BAB II
PROSES PEMBUATAN BAHAN BAKU DAN POLIURETAN
Phosporic acid
Palm Oil
Hydrogen
peroxide
Asetic acid
remains
Water
Asetic acid
Hydrogen
peroxide
12
Reaksi Pembentukan Polyol dari Palm Oil
2) Reaksi Pemurnian
a. Degumming
Degumming adalah proses penghilangan gum (getah). Biasanya menggunakan
asam phospat, karena asam phospat ini dapat mengikat fosfor yang merupakan
komposisi getah, kemudian mengendapkannya. Dalam kondisi suhu operasi 800C.
b. Neutralization
Proses penambahan suatu basa ke dalam minyak untuk menetralkan minyak,
karena sebelumnya minyak mengandung FFA (asam lemak bebas) yang
kemudian direaksikan dengan basa kuat/larutan caustic yang akhirnya
membentuk sabun. Basa kuat yang pada umumnya untuk reaksi ini adalah sodium
hidroksida (NaOH) dan potassium hidroksida (KOH) dalam suhu operasoi 60 0 C
c. Drying
Proses pengeringan pada minyak bertujuan menguapkan terutama air dan
mungkin pengotor lain yang volatile. Minyak hasil dipanaskan hingga >100oC
(cukup suhu dimana air akan menguap), kemudian dalam kondisi vakum rendah.
Karena bila masih ada kandungan air, maka memungkinkan terjadinya hidrolisa,
yang bila bereaksi, hasil akhirnya asam lemak bebas dan menjadi digliserida atau
menjadi monogliserida
d. Bleaching
Pemucatan dengan panas : Pada umumnya, pada suhu tinggi sekitar 200-3000 C
sehingga warna akan menjadi lebih pucat, karena zat-zat warna akan menguap.
Namun proses ini, biasanya kondisi di bawah atmosfir atau vakum, karena untuk
menghindari rusaknya minyak karena suhu yang terlalu tinggi.
3) Reaksi Epoksidasi
13
Dalam proses ini, Palm oil akan bereaksi dengan asam epoksi yang dihasilkan dari
reaksi sebelumnya menghasilkan palm oil terepoksidasi. Dilakukan dalam kondisi
operasi 600C dengan tekanan operasi sebesar10-12 atm yang dilakukan dalam
reaktor batch berpengaduk.
4) Reaksi Hidroksilasi
Reaksi antara Palm Oil terepoksidasi dengan alkohol menghasilkan polyol yang
dilakukan dalam kondisi operasi 700C dalam tekanan operasi 10-15 atm dengan
katalis asam (metoksilasi). Rasio IPA (Palm Oil terepoksidasi )dengan alkohol
sebesar 8 : 1
b. Isosianat
14
Pada awalnya, benzena akan diubah menjadi nitrobenzene dengan mereaksikan
benzene dengan asam nitrat dan NO2 pada suhu 50oC dan tekanan 1 atm dalam CSTR.
15
one shot process selama mixing dengan co-reactant dan penambahan secara
simultan dari blowing agent, katalis, foam stabilizer dan aditif lain. Reaksi yang
terjadi adalah eksoterm dan tergantung dari katalis yang digunakan.
Proses ini juga disebut dengan proses Reaction Injection Molding atau RIM
karena kedua reaktan langsung diinjeksikan secara terspisah dan masuk
bersamaan pada mixhead. Reaksi terjadi pada mixhead dan langsung dialirkan
pada tempat cetakan atau tempat terjadinya curing. Reaktan yang biasa digunakan
adalah Isosianat (MDI) dan Polyol.
Adapun kelebihan dari RIM dibandingkan dengan metode lainnya adalah :
a. Kapasitas Produksi yang Besar
b. Konsumsi Energi lebih kecil
c. Capital cost dari peralatan lebih murah
3. Reaction in Solution
Proses ini dilakukan dalam suatu medium berupa solven. Solven yang biasa
digunakan adalah solvent organic seperti keton dan alkyl esters. Pada awalnya,
solven akan diletakkan dalam suatu tanki. Solven kemudian akan ditambahkan
dengan bahan utama yaitu Isosianate dan Polyol dengan hidroxil berlebih.
Penambahan isosianat selanjutnya akan menambahkan berat molekul dan viskositas
dari larutan sampai mencapai nilai tertentu.
16
Tabel 2.1. Perbedaan Tiga Proses
Metode dan One Shot (RIM) Pre-Polymer Reaction in Solution
Spesifikasi Proses
Aplikasi Flexible & Rigid Foam Adhesive Adhesive / Coating
Jenis Isosianate MDI TDI CHDI
Jenis Polyol Polyol Diol Poly(tetramethylene
ether) glycols
o o
Suhu Operasi 350 F 60 F 105oF
Katalis DCA Organometallic Tertiary Amine
(Dimethylcyclohexylamine) Catalyst
(Sumber : Szycher Handbook of Polyurethane)
b. Propagasi
Pada tahap propagasi radikal urethane yang terbentuk akan menyerang monomer
urethane lain secara terus-menerus, sehingga membentuk radikal polimer yang
panjang.
18
Gambar 2.5 Mekanisme Reaksi Propagasi.
c. Terminasi
Reaksi polimerisasi pada pembentukan poliuretan akan terhenti dikarenakan
habisnya salah satu reaktan dalam pembentukan poliuretan yaitu Polyol.
19
BAB III
PENANGANAN LIMBAH
Limbah busa poliuretan harus dibuang dan didaur ulang secara efektif, yang tidak
hanya merupakan persyaratan untuk mencegah polusi dan perlindungan lingkungan, tetapi
juga merupakan kebutuhan pengurangan biaya produksi dan peningkatan pemanfaatan bahan.
Karena kerapatan rendah dan volume tinggi, limbah busa poliuretan sulit untuk diolah dan
dibuang di tempat pembuangan sampah (disposal). Dan pembakaran akan menghasilkan gas
beracun. Sehingga metode yang paling baik ialah recycling, Ada dua metode dalam recycling
yakni, mechanical recycling (daur ulang secara fisik) dan chemical recycling (daur ulang
secara kimia), untuk mendaur ulang limbah busa poliuretan.
Gambar 3. 1 Regrinding
20
b. Compression Molding
Compression molding merupakan metode pencetakan pada partikel polyurethane
pada suhu dan tekanan operasi pada (1800C dan 350 bar). Metode ini adalah
pelunakan polyurethane, sehingga polyurethane dapat berikatan sendiri di bawah
panas dan tekanan, tanpa perekat.
c. Injection Molding
Polyurethane digiling menjadi partikel halus dan mengalami tekanan dan panas yang
tinggi untuk menghasilkan wujud cair, kemudian diijeksikan ke dalam cetakan
sehingga didapatkan material padat yang ideal untuk banyak aplikasi otomotif.
Metode ini dapat mengubah rantai molekul polyurethane menjadi panjang sedang,
dan bahan polyurethane keras menjadi bahan termoplastik, yang cocok untuk
kekuatan tinggi, kekerasan tinggi. Dengan sifat termoplastik, akan membantu
meningkatkan sifat mekanik dan bentuk permukaan produk.
21
a. Hydrolisis
Pemecahan molekul-molekul poliuretan menjadi lebih sederhana dalam kondisi
operasi superheated 2000C dengan bantuan katalis alkali metal hydroxide. Pada
proses ini polyurethane terdegradasi menjadi diamina, poliol dan CO2 dalam tekanan
tinggi. Poliol yang didapat dari daur ulang dapat digunakan sebagai monomer dalam
pembentukan polyurethane, dan diamina dapat digunakan kembali untuk
menghasilkan komponen polyurethane lainnya, misalnya iso-sianat
b. Glycolysis
Proses ini sangat sering digunakan dalam recycling poliol untuk pembuatan
polyurethane baru. Proses ini dioperasikan pada kondisi operasi 180-2000C dengan
mereaksikan polyurethane dengan diethylene glycol.
Gambar 3. 4 Glycolysis
c. Amine Method
Polyurethane mudah terurai dan membentuk kondisi yang mengandung senyawa
hidroksil dan amino dalam amina primer serta amina sekunder. Mekanisme
dekomposisi mirip dengan reaksi pertukaran ester. Gugus amino aktif dan reaksinya
dapat terjadi di bawah suhu rendah. Basa karbamat, basa biuret, ester asam format
urea basa dan fraktur gugus urea, menghasilkan serangkaian senyawa amina, poliol,
dan senyawa aromatik baru.
d. Phospate Ester Methode
Reaksi degradasi dapat terjadi pada temperature 1420C tanpa adanya katalis. Reaksi
terjadi reaksi antara polyurethane dan fosfat. Produk degradasi berbentuk cair,
mengandung unsur fosfor atau oligomer unsur fosfor dan klor. Produk-produk ini
dapat digunakan sebagai aditif non-reaktif untuk meningkatkan kinerja flame
retardant. Melalui penambahan senyawa hidroksil, amina atau garam logam, maka
dapat digunakan untuk poliuretan penghambat nyala api atau bahan PVC tahan api.
Metode fosfat ester dapat digunakan dalam beberapa kondisi yang relatif ringan,
tetapi produk ini terutama digunakan sebagai pengepakan, dan penggunaannya
sangat terbatas.
22
Tabel 3. 1 Perbedaan metode chemical recycling
multiple amine,
element
oligomer
23
Tabel 3. 2 Perbedaan mechanical recycling dan chemical recycling
24
DAFTAR PUSTAKA
Ashida, K., 1989, Polyurethane and Related Foam, CRC Press, Boca Ranton
Faleh, S.B. dan Zainal, A., 2001, ”The Study of Conversion CPO to Polyol”,
Universitas Diponegoro, Semarang
Kirk, R.E., and Othmer, V.R., 1992, Encyclopedia of Chemical Technology, John Wiley
& Sons Inc., New York
Ludwig, E.E., 1965, Applied Process Design for Chemical and Petrochemical Plants,
volume 1, Gulf Publishing Company, Houston.
Raymond, D.L., 1999, Water Quality and Treatment, 5 th ed., Mc Graw Hill, USA
Sen, K., 2001, Understanding Foaming Technology, CRC Press, Boca Raton.
Yang, Wenqing, et al. 2012. Recycling And Disposal Methods For Polyurethane
25