Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

COR (CEDERA OTAK RINGAN)

A. Definisi

Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya kesadaran
tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2002).

Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak ada
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi
(Mansjoer, 2000).

Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya
kesadaran sementara (Corwin, 2000)

Jadi cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau kejatuhan benda tumpul yang
dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurology sementara atau menurunya kesadaran
sementara, mengeluh pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lainnya.

B. Etiologi
Penyebab cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, dan cedera
olah raga, cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh pisau atau peluru.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab terbesar kematian dan kecacatan utama
pada usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di
samping penanganan dilokasi kejadian dan transportasi korban ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal diruang gawat darurat sangat menentukan pelaksanaan
dan prognosis selanjutnya (Corwin, 2000).

C. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996).
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan
akan terjadi lesi yang disebut contrecoup (Perdosi, 2007).
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(contrecoup) (Hickey, 2003).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi.

D. Klasifikasi

Reimer (dalam Barbara (1999)), mengklasifikasikan cidera kepala akut sebagai


berikut:
a) Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak:
1) Trauma kepala tertutup
Keadaan truma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio,
kontusio, epidura hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma.
2) Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk dalam jaringan otak
dna melukai atau merobek dura mater dan menyebabkan Cairan Serebro
Spinal (CSS) merembes, serta terjadi kerusakan syaraf otak dan jaringan otak.
b) Trauma pada jaringan otak:
1) Konkusio (ditandai dengan adanya kehilangan kesadaran sementara tanpa
adanya kerusakan jaringan otak, dan terjadi edema serebral).
2) Kontusio (ditandai leh adanya perlukaan pada permukaan jaringan otak yang
menyebabkan perdarahan pada area yang terluka, perlukaan pada permukaan
jaringan otak ini dapat terjadi pada sisi yang terkena (coup) atau pada sisi yang
berlawanan (contra coup)
3) Laserasi (ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang sub arakhnoid, ruang
epidural atau sub dural).
Berdasarkan hasil pemeriksaan GCS atau berta ringannya cidera kepala, Cidera
kepala dibagi menjadi 3, yaitu:
a) Cidera kepala ringan, bila GCS: 13-15;
b) Cidera kepala sedang, bila GCS 9-12;
c) Cidera kepala berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.

Berdasarkan morfologinya cidera kepala dibagi menjadi:


a) Fraktura tengkorak
1) Kalvaria
 Linear atau stelata
 Depressed atau nondepressed
 Terbuka atau tertutup
2) Dasar tengkorak
 Dengan atau tanpa kebocoran CNS
 Dengan atau tanpa paresis N VII
b) Lesi intrakranial
1) Fokal
 Epidural
 Subdural
 Intraserebral
2) Difusa
 Komosio ringan
 Komosio klasik
 Cedera aksonal difusa

E. Tanda dan Gejala

Konkusio otak setelah cidera kepala adalah kehilangan fungsi neurologis sementara
tanpa adanya kerusakan struktural, umumnya terjadi periode ketidaksadaran yang
bersangsung beberapa detik sampai beberapa menit. Getaran otak mungkin sangat
ringan sehingga hanya manyababakan pusing dan mata berkunang-kunang. Jika
mengenai lobus frontalis pasien mungkin menunjukkan perilaku kacau (bizare)
irasional. Jika terkena lobus temporalis, pasien akan menunjukkan amnesia temporee
atau disorientasi (Baughman & Hackley, 2000).
Pada cidera kepala ringan terdapat tanda dan gejala yang mungkin muncul, antara lain
(Muttaqin, 2008) :
a) Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembal
b) Hilang kesadaran sementara, krang lebih 10-20 menit, beberapa literatur
menyebutkan sampai 30 menit
c) Nteri kepala
d) Pusing
e) Muntah
f) Disorientasi sementara
g) Tidak ada gejala sisa

F. Komplikasi
Komplikasi yang muncul dari COR yaitu dapat menyebabkan kemunduran pada
kondisi pasien karena perluasan hematoma intrakranial, edema serebral progressif dan
herniasi otak. Edema serebral adalah penyebab paling umum dari peningkatan
tekanan intrakranial pada pasien yang mendapat cedera kepala.
Komplikasi lain yaitu defisit neurologi dan psikologi (tidak dapat mencium bau-bauan,
abnormalitas gerakan mata, afasia, defek memori dan epilepsi) (Brunner & Suddarth,
2002).
G. Pathway
Trauma langsung (jatuh,
kecelakaan)

Benturan pada kepala,


trauma tertutup

Cidera kepala

Perdarahan intrakranial

hematoma

Perubahan sirkulasi CSS Gangguan autoregulasi

Peningkatan TIK
Aliran darah ke otak
Rangsangan saraf simpatis terganggu
ketegangan

Peningkatan seksresi asam


Suplai O2 menurun
lambung Kontraksi otot leher da
kepala

Iritasi lambung Asam laktat meningkat


Tekanan pada serabut saraf
Mual /nausea Oedem otak

Konstriksi pada pembuluh


muntah dash dasar leher
Ketidakefektifan perfusi
jaringan: serebral
Kehilangan cairan secara
Pusing
masiv

Girus medialis lobus


Kekurangan volume cairan Nyeri akut temporalis tergeser

Herniasi ulkus

Mesensefalon terktekan

- Ketidakefektifan pola napas Gangguan kesadaran

-
H. Penatalaksanaan
Jika pasien mengalami cidera otak ringan, maka perhatikan hal-hal berikut :
1. Periksa kesadarannya.
2. Periksa ABC (airway, breathing, circulation) atau jalan napas, pernapasan dan
sirkulasi.
a. Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan
cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer
adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari
gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan
pemberian oksigen kemudian cari dan atasi faktor penyebab dan kalau perlu
memakai ventilator.
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh
faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur
alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok
septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau
darah.
d. Pemeriksaan fisik
Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil,
defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini
dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu
komponen diatas bisa diartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus
segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
3. Jangan memindahkan penderita kecuali memang diperlukan.
4. Periksa kesadaran mentalnya.
5. Periksa matanya.
6. Perhatikan bila terjadi muntah.
7. Biarkan penderita terjaga selama beberapa waktu untuk melihat apakah kondisinya
semakin memburuk.
8. Perlu diketahui bahwa keluhan yang telah hilang dapat muncul kembali di
kemudian hari bahkan dengan keluhan yang lebih parah.
9. Perlu diketahui bahwa gegar otak pada anak-anak bisa memburuk dengan sangat
cepat.
Perawatan untuk cedera kepala
Perawatan untuk cedera kepala di rumah sakit biasanya meliputi :
1. Observasi.
2. Obat penghilang rasa sakit untuk mengatasi sakit kepala.
3. Tidak boleh makan dan minum sampai diizinkan dokter.
4. Obat anti muntah untuk setiap kali mual atau muntah.
5. Jika penderita mengalami sakit pada leher, pemeriksaan leher dengan X-ray
mungkin akan dilakukan.
6. CT-Scan mungkin juga diperlukan.
7. Untuk kasus cedera kepala ringan, biasanya penderita tidak memerlukan rawat
inap.

I. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan : untuk mengidentifikasi adanya SOL hemografi, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan.
2. Angiografiserebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti kelainan
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan trauma.
3. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya petologis.
4. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur)
5. BAER ( Brain Auditori Evoker Respon ) : menentukan fungsi korteks dan batang
otak.
6. PET ( Position Emission Yomography ) menunjukan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak.
7. Fungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perubahan sub araknoid.
8. Kimia atau elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK atau perubahan status mental.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI CIDERA OTAK RINGAN

A. Pengkajian Primer
Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan
dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung.
Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Exposure
Suhu, lokasi luka.
B. Pengkajian Sekunder
Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis
kelamin (banyak laki-laki, karena ngebut-ngebutan dengan motor tanpa pengaman
helm), pedidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk
rumah sakit, nomor register, diagnosa medis.

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan
tingkat kesadaran.

Riwayat Penyakit Saat Ini


Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab
nyeri/cedera. Darimana arah dan kekuatan pukulan?

Riwayat Penyakit Dahulu


Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak.
Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah
klien dilahirkan secara forcep atau vakum. Apakah pernah mengalami gangguan
sensorik atau gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah kecelakaan bagimana
penyembuhannya. Bagaimana asupan nutrisi.

Riwayat Penyakit Keluarga


Mengkaji adanya anggota terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus.

Riwayat Alergi
Apakah pasien mempunyai riwayat alergi makanan maupun obat-obatan.

Pengkajian Psiko, Sosio, Spiritual


Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi
klien terhadap penyakit yang dideritanya. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,
yaitu timbul ketautan akan kesadaran, rasa cemas. Adanya perubahan hubungan dan
peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.
Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Karena klein harus menjalani rawat inap
maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi kilen, karena biaya
perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Cedera otak
memerlukan dana pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mengacaukan
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan
pikiran klein dan keluarga.

C. Data yang perlu dikaji


a) Breathing (B1)
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
b) Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia)
c) Brain (B3)
otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d) Blader (B4)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
e) Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f) Bone (B6)
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal
selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

D. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan: serebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah (hemoragi, hematoma)
b. Nyeri akut berhubungan dengan adanya laserasi pada kepala
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan
d. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
akibat cedera kepala.
E. Rencana Asuhan Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan: serebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah (hemoragi, hematoma)
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam pasien akan dapat
Mempertahankan tingkat kesadarannya, kognisi, dan fungsi motorik/sensoriknya.
Kriteria Hasil:
Tanda-tanda vital stabil
Tidak ada tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional
Tentukan faktor-faktor Penurunan tanda/gejala neurologis atau
yg menyebabkan koma/penurunan kegagalan dalam pemulihannya setelah
perfusi jaringan otak dan potensial serangan awal, menunjukkan perlunya
peningkatan TIK. pasien dirawat di perawatan intensif.

Pantau /catat status neurologis secara Mengkaji tingkat kesadaran dan


teratur dan bandingkan dengan nilai potensial peningkatan TIK dan
standar GCS. bermanfaat dalam menentukan lokasi,
perluasan dan perkembangan kerusakan
SSP.

Evaluasi keadaan pupil, ukuran, Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi okulomotor (III) berguna untuk
terhadap cahaya. menentukan apakah batang otak masih
baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan
oleh keseimbangan antara persarafan
simpatis dan parasimpatis. Respon
terhadap cahaya mencerminkan fungsi
yang terkombinasi dari saraf kranial
optikus (II) dan okulomotor (III).

Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, Peningkatan TD sistemik yang diikuti


frekuensi nafas, suhu. oleh penurunan TD diastolik (nadi yang
membesar) merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh
penurunan kesadaran.

Pantau intake dan out put, turgor kulit Hipovolemia/hipertensi dapat


dan membran mukosa. mengakibatkan kerusakan/iskhemia
cerebral. Demam dapat mencerminkan
kerusakan pada hipotalamus.

Turunkan stimulasi eksternal dan Peningkatan kebutuhan metabolisme


berikan kenyamanan, seperti dan konsumsi oksigen terjadi (terutama
lingkungan yang tenang. saat demam dan menggigil) yang
selanjutnya menyebabkan peningkatan
TIK.

Bantu pasien untuk menghindari Bermanfaat sebagai indikator dari


/membatasi batuk, muntah, mengejan. cairan total tubuh yang terintegrasi
dengan perfusi jaringan.

Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad Iskemia/trauma serebral dapat


sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. mengakibatkan diabetes insipidus.

Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Gangguan ini dapat mengarahkan pada
Berikan oksigen tambahan sesuai masalah hipotermia atau pelebaran
indikasi. pembuluh darah yang akhirnya akan
berpengaruh negatif terhadap tekanan
serebral.

Berikan obat sesuai indikasi, misal: Memberikan efek ketenangan,


diuretik, steroid, antikonvulsan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan
analgetik, sedatif, antipiretik. meningkatkan istirahat untuk
mempertahankan atau menurunkan
TIK.
Aktivitas ini akan meningkatkan
tekanan intrathorak dan intraabdomen
yang dapat meningkatkan TIK.
Meningkatkan aliran balik vena dari
kepala sehingga akan mengurangi
kongesti dan oedema atau resiko
terjadinya peningkatan TIK.
Pembatasan cairan diperlukan untuk
menurunkan edema serebral,
meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler
TD dan TIK.
Menurunkan hipoksemia, yang mana
dapat meningkatkan vasodilatasi dan
volume darah serebral yang
meningkatkan TIK.
Diuretik digunakan pada fase akut
untuk menurunkan air dari sel otak,
menurunkan edema otak dan TIK,.
Steroid menurunkan inflamasi, yang
selanjutnya menurunkan edema
jaringan. Antikonvulsan untuk
mengatasi dan mencegah terjadinya
aktifitas kejang. Analgesik untuk
menghilangkan nyeri . Sedatif
digunakan untuk mengendalikan
kegelisahan, agitasi. Antipiretik
menurunkan atau mengendalikan
demam yang mempunyai pengaruh
meningkatkan metabolisme serebral
atau peningkatan kebutuhan terhadap
oksigen.

2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya laserasi pada kepala


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien akan dapat
mengurangai penyebab nyeri yang dirasakan.
Kriteria Hasil:
Penurunan skala nyeri
Mengetahui penyebab nyeri
Mengetahi teknik pengalihan nyeri
Intervensi Rasional
Kaji skala nyeri pasien Menentukan penurunan atau
peningkatan pada evaluasi tindakan
selanjutnya

Kaji penyebab, lokasi, lama timbulnya Mengetahui penyebab nyeri yang


nyeri dialami pasien

Jelaskan penyebab nyeri yang dialami Memberikan informasi pada pasien


pasien terkait kondisinya saat ini

Ajarkan teknik pengalihan nyeri sesuai Mengatasi nyeri dengan terapi non
dengan kebutuhan farmakologi.

Kolaborasikan dengan dokter untuk Nyeri kepala ada beberapa macam


pemberian terapi farmakologi sesuai jenis, dan mempunyai penangan
dengan gejala yang timbul farmakaologi yang berbeda-beda.

3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan


Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan kebutuhan
cairan terpenuhi
Kriteria hasil:
kebutuhan cairan pasien tepenuhi dan asupan cairan pasien terpenuhi.
Intervensi Rasional
Jelaskan tindakan yang akan dilakukan Agar pasien mengerti semua tindakan
yang akan dilakukan

kaji out put dan in put cairan untuk mengetahui keseimbangan cairan
pasien, dan mengetahui intake yang
diperlukan

Anjurkan pada pasien untuk minum pengganti cairan yang hilang, dan
setiap setelah muntah memenuhi kebutuhan cairan pasien

Observasi TTV mengetahui kondisi umum pasien

Kolaborasi dengan dokter untuk kolaborasi tentang pemberian cairan


pemberian terapi farmakologi intravena yang tepat

4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler


akibat cedera kepala.
Tujuan:
Setelah dilakukantindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien akan dapat
mempertahankan pola napasnya secara efektif.
Kritera Hasil:
Sianosis (-)
RR dalam batas normal
Retraksi dada (-)
Pernapasan cuping hidung (-)
Intervensi Kriteria Hasil
Pantau frekuensi, irama, kedalaman Perubahan dapat menandakan awitan
pernapasan. Catat ketidakteraturan komplikasi pulmonal atau menandakan
pernapasan. lokasi/luasnya keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat
menandakan perlunya ventilasi
mekanis.

Pantau dan catat kompetensi reflek Kemampuan memobilisasi atau


gag/menelan dan kemampuan pasien membersihkan sekresi penting untuk
untuk melindungi jalan napas sendiri. pemeliharaan jalan napas. Kehilangan
Pasang jalan napas sesuai indikasi. refleks menelan atau batuk menandakan
perlunaya jalan napas buatan atau
intubasi.

Angkat kepala tempat tidur sesuai Untuk memudahkan ekspansi


aturannya, posisi miirng sesuai indikasi. paru/ventilasi paru dan menurunkan
adanya kemungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan napas.

Anjurkan pasien untuk melakukan Mencegah/menurunkan atelektasis.


napas dalam yang efektif bila pasien
sadar.

Lakukan penghisapan dengan ekstra Penghisapan biasanya dibutuhkan jika


hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. pasien koma atau dalam keadaan
Catat karakter, warna dan kekeruhan imobilisasi dan tidak dapat
dari sekret. membersihkan jalan napasnya sendiri.
Penghisapan pada trakhea yang lebih
dalam harus dilakukan dengan ekstra
hati-hati karena hal tersebut dapat
menyebabkan atau meningkatkan
hipoksia yang menimbulkan
vasokonstriksi yang pada akhirnya akan
berpengaruh cukup besar pada perfusi
jaringan.

Auskultasi suara napas, perhatikan Untuk mengidentifikasi adanya masalah


daerah hipoventilasi dan adanya suara paru seperti atelektasis, kongesti, atau
tambahan yang tidak normal misal: obstruksi jalan napas yang
ronkhi, wheezing, krekel. membahayakan oksigenasi cerebral
dan/atau menandakan terjadinya infeksi
paru.

Pantau analisa gas darah, tekanan Menentukan kecukupan pernapasan,


oksimetri keseimbangan asam basa dan
kebutuhan akan terapi.

Lakukan ronsen thoraks ulang. Melihat kembali keadaan ventilasi dan


tanda-tandakomplikasi yang
berkembang misal: atelektasi atau
bronkopneumoni.

Memaksimalkan oksigen pada darah


Berikan oksigen. arteri dan membantu dalam pencegahan
hipoksia. Jika pusat pernapasan
tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
mekanik.

Walaupun merupakan kontraindikasi


Lakukan fisioterapi dada jika ada pada pasien dengan peningkatan TIK
indikasi. fase akut tetapi tindakan ini seringkali
berguna pada fase akut rehabilitasi
untuk memobilisasi dan membersihkan
jalan napas dan menurunkan resiko
atelektasis/komplikasi paru lainnya.

F. Implementasi Keperawatan.
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa
serangkaian kegiatan sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang
optimal. Pada tahap ini perawat menggunakan segala kemampuan yang dimiliki
dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien baik secara umum maupun
secara khusus pada klien gagal jantung. Pada pelaksanaan ini perawat melakukan
fungsinya secara independen, interdependen dan dependen.
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang diprakarsai oleh
perawat itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya
Pada fungsi interdependen adalah dimana fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama
dengan profesi / disiplin ilmu yang lain dalam keperawatan maupun pelayanan
kesehatan, sedangkan fungsi dependen adalah fungsi yang dilaksanakan oleh perawat
berdasarkan atas pesan orang lain.

G. Evaluasi Keperawatan.
Evaluasi merupakan proses keperawatan dimana tahap keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai untuk memodifikasi tujuan atau intervensi
keperawatan yang ditetapkan. Evaluasi dalam proses keperawatan terbagi menjadi dua
yaitu evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang
dibuat setelah beberapa tujuan dan masalah yang ada pada klien tercapai atau teratasi.
Sedangkan evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan secara terus-menerus
untuk menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan.
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, Engram. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Alih bahasa
suharyati samba. Jakarta: EGC

Baticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klian Dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Bauhgman, Diane C., & Hackley. Joann C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah, Buku Saku
Untuk Brunner Dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Brunner & Suddarth, 2002. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salmeba Medika.

Gennarelli TA, Meaney DF. 1996. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam: Neurosurgery
2nd edition. New York : McGraw Hill.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3


November. Pekanbaru.

Rima Dewi Asmarin.2014.https://www.scribd.com/document/321163388/Laporan


Pendahuluan-Cor. Diakses pada tanggal 25 April 2019 jam 18.30 WIB.

Anda mungkin juga menyukai