Anda di halaman 1dari 3

Hadiah Berbuah Dilema

Publikasi: 29/09/2004 08:37 WIB

eramuslim - Setiap kali kulipat sajadah usai sholat istikharah selepas tahajjud di
tiap akhir malam, dorongan untuk menikah semakin besar. Keyakinan yang
semakin dalam ini, membuat hati semakin takut. Ya Allah, hamba mohon
pertolongan dan bimbingan-Mu agar bisa menghadapi pilihan yang sangat besar
ini.

Seharusnya kecenderungan ini adalah rahmat Allah membahagiakan bagi setiap


insan yang sedang melangkah untuk menjalani sunah Rasul berupa nikah. Tapi
tidak demikian bagiku, justru hal ini semakin membuatku tersungkur untuk lebih
lama lagi bersujud pada-Nya, memohon ampun dan pertolongan Rabb semesta
alam.

Dalam kepasrahan ini kucoba mentadaburi ayat Allah, "... Barangkali sesuatu
yang kamu sekalian benci adalah yang baik bagimu, dan barangkali sesuatu
yang kamu sekalian senangi adalah buruk bagi kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu sekalian tidak ketahui." (QS 2:216). Belum sampai
akhir ayat, air mataku tumpah membasahi mukena yang kupakai. Terbayang
ketidakberdayaanku dan kelemahan sebagai makhluk di hadapan sang Khaliq.

Aku coba bermuhasabah terhadap ujian yang menimpaku dan ku telusuri detik
demi detik awal kejadian ini. Awal interaksi ku dengan seorang pria berjalan
wajar. Hari berganti hari, bulan, hingga tahun pun telah berganti, tak ada yang
istimewa, hingga pada suatu saat pria tersebut menyampaikan keinginan untuk
menikah. Hal itu kutanggapi secara wajar dan kutawarkan bantuan untuk
mencarikan calon istri, Alhamdulillah ia tidak keberatan.

Sebagaimana orang yang akan membantu memfasilitasi pernikahannya, aku


berusaha mengenal pria ini secara proporsional. Maksudnya, aku menanyakan
dan mempelajari keinginan, harapan, kemampuan serta kriteria calon istri yang
ingin dinikahinya. Dari sinilah aku berusaha mencarikan calon istri yang sesuai
untuknya.

Usaha ini aku jalani dengan sepenuh hati dengan harapan mendapat balasan
dari Allah. Satu bulan berikutnya aku sudah mendapat gambaran wanita yang
bisa diprospek, dia adalah sahabatku. Setelah mantap, aku bicara dengannya
dari hati ke hati dan menyampaikan misi yang sebenarnya serta proses dijalani
sebagaimana mestinya. Kemudian sahabatnya yang manis itu memulainya
dengan melobi orang tua dan sholat istikharah untuk mendapat petunjuk yang
terbaik dari Allah. Sesuai kesepakatan, pada minggu yang ketiga ia memberikan
jawabannya, "Tolong sampaikan salam dan maafku kepada pria tersebut, saya
belum bisa menikah dengannya." Aku sedih sekali. mendengar jawaban ini.
Walau berat, aku sampaikan kabar ini kepada pria itu. Alhamdulillah ia bisa
maklum. Namun kegagalan ini semakin membuatku bersemangat untuk
menolong temanku tersebut. Dengan senyum dan penuh kehati-hatian aku mulai
lagi observasi serta menimbang-nimbang, kira-kira wanita mana lagi dari
sahabat-sahabatku yang pantas untuknya.

Hampir dua bulan hatiku bimbang, memilah dan memilihkan calon istri untuk pria
yang aku tolong karena Allah. Dalam perenungan ini, tiba-tiba melintaslah wajah
keibuan yang tegas dan manis. Ia adalah sahabat, kakak dan sekaligus guru ku.
Sahabatku, mohon maaf jika aku harus lancang menggedor hatimu untuk
menikah dengan pria ini.

Dengan mohon pertolongan Allah, aku raih gagang telepon di meja kerja, aku
menanyakan kabarnya, juga aktivitasnya, dan apakah ia sedang "proses" dengan
salah seorang pria? Dari seberang ia jawab, "Saya tidak sedang proses."
Akhirnya kami janji bertemu seusai jam kerja di kantornya di bilangan Cawang,
Jakarta Timur.

Setelah bertemu, ia sangat berterima kasih kepadaku atas perhatian ini. Ia


berjanji akan memberikan jawaban secepatnya setelah mendapat ijin dari orang
tua. Alhamdulillah, hatiku lega sekali. Namun diakhir pertemuan, aku sangat
sedih dengan pertanyaannya yang diajukan kepadaku sebagaimana sahabatku
yang pertama, "Kenapa bukan kamu saja yang menjadi istrinya?" Pertanyaan
seperti ini yang sangat aku takutkan dari awal ketika aku bersedia menolong pria
itu, karena aku juga belum menikah. Ku kuatkan hatiku tuk menjawabnya, "Jika
aku bisa hadiahkan untuk saudariku, kenapa tidak aku lakukan?"

Sepanjang langkahku kembali ke rumah tak pernah terputus do'aku "Semoga ini
yang terbaik dan diizinkan oleh Allah". Aku sadar dengan beban berat ketika
menerima dan menyampaikan putusan sahabatku tercinta, jika ia menolak.

Dalam masa penantian. walau kesibukan mendera, aku berusaha untuk


memantau perkembangan ini. Setelah tiga minggu sahabatku memberikan
jawaban via telepon yang disusul dengan SMS, isinya permintaan maaf belum
bisa menerima pria itu menjadi suaminya.

Akhirnya dengan permohonan maaf, aku harus menyampaikan kabar ini kepada
teman pria itu. Sedih, kecewa memenuhi jiwaku, tapi apa hendak dikata, Allah
lebih berkuasa atas setiap hamba-Nya. Semoga ini saat yang baik bagi pria itu
untuk mengevaluasi diri. Semoga Allah meridhai.

Saudaraku, kisah ini kupersembahkan untuk kedua sahabat tercinta dan juga
pria itu. Semoga Allah memberikan hamba-hamba-Nya yang terbaik untuk kita
semua.

Sahabatku, apa yang kita usahakan bersama ini, kini menyisakan sesuatu di
relung hatiku yang paling dalam. Semoga Allah mengampuniku atas kekhilafan
ini. Untuk itulah, sudah hampir satu bulan ini aku bermunajat kepada Allah dan
melakukan sholat istikharah. Semoga yang kulakukan ini dapat membersihkan
hatiku kembali.

lebahkoe@plasa.com

Anda mungkin juga menyukai