Anda di halaman 1dari 5

Jalan Pasar Nongko 83, Solo

I
Hari mulai larut. Semua burung berkicau sudah nyenyak di sarangnya, kecuali sang
burung hantu. Dengan tubuh yang semakin digerus waktu ini, terlintas niat untuk
kembali menilik-nilik dan mengukur-ukur jejak langkah diri dalam kehidupan.

Kenangan pun melayang ke sebuah paviliun kecil di Jalan Pasar Nongko 83, Solo. Inilah
tempat awal dasar-dasar Prodia dibangun.

Waktu itu tahun 1973. Semua bermula dari satu kejadian. Seorang ibu yang akan
menjalani transfusi darah, hasil pemeriksaan golongan darahnya keliru. Dari
seharusnya B, lantas menjadi O. Bagaimana bisa? Bagi saya, ini, ini, kekeliruan fatal
yang tak termaafkan.

Kejadian itu begitu membekas di batin saya. Sejak itu, saya pun semakin bertekad untuk
senantiasa memiliki sikap mental korek—juga disiplin dan gesit.

Bahwa kemudian ketiga sikap mental itu menular kepada semua karyawan Prodia, ya
Alhamdullilah, Puji Tuhan....

Berkat ketiga sikap mental itulah Prodia dapat berkembang pesat.

Bagi saya, laboratorium klinik, pada akhirnya, bukan sekadar tempat orang
mendapatkan hasil diagnosis penyakit. Dia harus menjadi Center of Excellence, pusat
ilmu pengetahuan, dan tempat manusia belajar memahami manusia dan kehidupannya.
Prodia juga mesti melaksanakan misi yang luhur.

Maka haram hukumnya bagi saya memalsukan vaksin untuk anak-anak.... (Penyengat)
II
Mengenang-ngenangkan kembali jejak langkah saya, teringat saya pada ledekan “si
pungguk merindukan bulan”. Ya, waktu saya mendirikan Prodia bersama tiga kawan
yang lain, dengan tegas saya katakan bahwa laboratorium klinik ini mesti menjadi yang
terbaik dan terbesar di Tanah Air. Saya percaya pada the power of thinking big.

Suatu kali, saya mengajak sejumlah manajer Prodia untuk menapak tilas ke tempat
Conrad Hilton, pemilik jaringan Hotel Hilton itu. Saya pengin mereka ikut menghayati
the power of thinking big. Di balkon lobi hotel itu, Conrad bermimpi, suatu saat hotel
itu akan menjadi miliknya. Padahal, ketika itu dia hanya punya hotel dengan satu kamar
di bekas garasi.

Kini saya menyadari, tidak ada istilah terlalu tua untuk bermimpi. Justru semakin tua,
kita perlu makin banyak bermimpi dan mewujudkannya.

Kini Prodia punya 118 cabang, 131 point of care collection centers, 17 laboratorium
rumah sakit di 104 kota besar, dan penghasilannya lebih dari Rp1 triliun per tahun. Saya
yakin, saya yakin, semua itu berangkat dari the power of thinking big. Dan tentu, tentu,
saya yakin pula, itu semua berkat penyelenggaraan ilahi. Maka patutlah saya
mengucapkan syukur Alhamdulliah.....

III
Mengenang-ngenangkan kembali jejak langkah saya, saya percaya bahwa bangsa
Indonesia itu pintar. Punya kesempatan sekolah di luar negeri, banyak yang lulus cum
laude. Kalau bertanding, banyak yang jadi juara. Tapi, di negeri sendiri, mengapa selalu
kalah dari orang asing?

Bagi saya, tidak penting lagi apakah ada sistem yang salah di sini. Yang penting, kita
bisa berbuat apa.
Ayah saya meninggal ketika saya lulus dari ITB. Saya pun pulang ke Klaten dan
melanjutkan bisnisnya menjual tembakau. Tetapi saya tidak merokok. Jadi, lebih baik
saya latih orang untuk membantu Ibu melanjutkan bisnis tersebut.

Kepada kawan-kawan di Prodia, saya tak bosan memberi semangat untuk tidak mau
kalah.

Kita harus menjadi pelopor di negeri sendiri.


Kita mulai yang orang lain belum kerjakan.
Kita lakukan yang terbaik.
Kita bikin yang belum ada.
Kita pelajari yang belum tahu.

Api semangat untuk tak lelah mengejar pengetahuan perlu dijaga.

IV
Mengenang-ngenangkan kembali jejak langkah saya, saya sadar bahwa etika harus
diletakkan di atas keterampilan. Budi pekerti luhur mesti digembleng.

Saya pun sadar ada bidang yang tak boleh disentuh manusia, apa lagi dilanggar: Itulah
wilayah Tuhan.

Malam semakin larut....


Langit
Bintang
Bulan....
V
Mengenang-ngenangkan kembali jejak langkah saya, kembali saya teringat pada bebek-
bebek yang saya angon di masa kecil di Klaten, kota kelahiran saya. Pada harum tanah
basah hujan pertama. Pada harum bau jerami. Pada gurihnya sega lethok, yang
mungkin sama sekali tidak ada gizinya, karena ia dibuat dari tempe setengah busuk.
Pada lagu di masa muda:

Sepanjang jalan kenangan kita selalu bergandeng tangan


Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra
Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu
Menambah nikmatnya malam syahdu

Mengenang-ngenangkan kembali jejak langkah saya, saya teringat pada puisi WS


Rendra, “Sajak Seorang Tua untuk Istrinya”:

Suka duka kita bukanlah istimewa, kerna setiap orang mengalaminya.


Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta menciptakan dan mengukir dunia.

Kita menyandang tugas, kerna tugas adalah tugas. Bukannya demi sorga atau
neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian dan harga kita adalah kehormatan kita.
.....
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, nasib, dan kehidupan.

Jakarta, 15 Juli 2016


Disadur dan dikembangkan sebagai naskah dramatic reading oleh Candra Gautama
dari Buku Impian Besar Si Pengangon Bebek.

Anda mungkin juga menyukai