Anda di halaman 1dari 3

Kisah Sedih ala Penceracau Ulung

Oleh Robertus Rony Setiawan

Empat belas cerita pendek yang terkumpul dalam buku berjudul Bakat Menggonggong (Mojok, 2016)
sungguh mengantarkan saya ke dalam ruang penjelajahan yang baru. Sejak membuka cerpen pertama
dalam buku ini, Dea Anugerah, penulisnya, mendongeng dengan senang hati dan ramah.

Seperti menonton film, paragraf-paragraf ialah jalan pergerakan kamera. Apa yang ditangkap oleh lensa
kamera terbidik dan teruraikan dengan baik lewat tuturan kalimat-kalimat runut. Dalam cerpen
"Kemurkaan Pemuda E" kita diajak mengikuti keseharian tokoh Pemuda E yang adalah pengarang.

Dengan mata kamera yang menjadi wakil mata pembaca, Dea mengalirkan kalimat-kalimatnya sebagai
seorang pengamat. Namun, ia berbaik hati dan amat hangat sebagaimana layaknya pendongeng--
selintas saya teringat pada keceriaan Pak Raden, Ria Ernez dan boneka Susan, atau contoh pencerita
lebih mutakhir PM Toh. Saya terbawa masuk dan termasuk sebagai pengamat yang bahkan menguntit
apa-apa yang dikerjakan tokoh Pemuda E.

Perhatikanlah cara Dea mendeskripsikan amatannya terhadap Tokoh E. Ia, dengan menempatkan diri
sebagai pemandu yang terjadwal dan bermisi, berkisah dengan detail dan menyenangkan.

"...Sebagaimana sudah dijanjikan, kini kita berada di rumah Pemuda E, sekian jam setelah ia
menyelesaikan sarapan. Kita mendengar bunyi air yang diguyurkan sedikit demi sedikit ke lubang
jamban. Tentu itu Pemuda E yang sedang berak..."

Setelah itu, apa yang saya bayangkan sebagai pergerakan kamera terang disebutkan di paragraf
selanjutnya: "Sesuatu tergeletak di atas meja kerja pemuda E. Mari kita perjelas dengan zoom-in dan
sedikit tilt." Dan seterusnya seperti menyaksikan sebuah film.

Semesta Kisah Sedih

Dea Anugerah, sebagaimana disebutkan pada bagian Tentang Penulis, ialah wartawan sebuah platform
media daring, dengan terlebih dahulu bekerja sebagai editor di satu penerbit buku. Apa yang kita
pahami sebagai kepatuhan bertata bahasa sudah layak dan sepantasnya diterima (bahkan dijunjung)
penulis muda, termasuk Dea. Kemangkusan dan kejelasan kalimat sudah diiyakan sebagai sebuah
pedoman berkomunikasi via tulisan, seperti dalam teks berita yang disebarluaskan. Namun, lewat
kumpulan cerpen (kumcer) ini, dia mendobrak dan membangkang dari aturan baku itu.

Misalnya, bercerita tentang Rik, temannya yang gagal sebagai penulis, Dea--saya menduga ia dengan
sadar memilih--menulis kalimat dengan pengulangan dan penambahan anak-anak kalimat baru seperti
ini:
"...Ia menulis cerita-cerita bagus yang ringkas seperti Davis dan mengejutkan seperti Denevi dan lucu
seperti Vonnegut dan filosofis seperti Borges dan sinis seperti Maupassant dan eksperimental seperti
D.F.W. dan mengharukan seperti Hemingway. Ia menulis cerita-cerita bagus yang ringkas seperti Davis
dan mengejutkan seperti Denevi dan lucu seperti Vonnegut dan filosofis seperti Borges dan sinis seperti
Maupassant dan eksperimental seperti D.F.W. dan mengharukan seperti Hemingway dan cerewet
seperti Bolano. Dan kupikir ia akan mati di umur 34 tahun karena paru-parunya berair. Dan kupikir ia
akan mati di umur 34 tahun karena paru-paru yang berair, tanpa pernah dipedulikan orang." ("Kisah
Sedih Kontemporer [XXIV]", hal. 65)

Ada maksud penegasan atau tujuan menyangatkan atas kepedihan yang dialami tokoh Rik. Dea
menuangkan hasrat bermain-mainnya (homo ludens) lewat cerita bertutur dengan tujuan yang
terencana.

Apa sebutan yang layak untuk kesedihan yang menjengkelkan? Konyol, barangkali. Itulah yang
tertangkap dari kisah di kumcer ini. Tak hanya tentang penulis yang mati muda-dengan ketololannya tak
sanggup membuatnya diperhitungkan orang-di atas, kisah-kisah sedih dicecerkan Dea di sekujur kumcer
ini.

Di "Kisah Sedih Kontemporer (IV)" Dea menyajikan dialog dua tokoh suami-istri yang bersahut-sahutan.
Mereka hendak merundingkan perihal hak asuh atas anak mereka, Loko, dan pembagian harta gono-
gini. Bisa saja gagasan ini diolah dengan menggelontorkannya disertai bumbu drama lebai ala
telenovela. Namun Dea menuturkan percakapan jelang perpisahan antara ayah dan ibu itu dengan
sangat sederhana tapi menyisakan jejak cerita di benak kita. Suka ataupun tidak, kita bisa terangsang
untuk menerka kelanjutan percakapan yang mengarah peningkatan ketegangan hubungan mereka.

Dengan struktur cerita serupa, dua cerpen lain berlabel "kisah sedih" berkutat di tokoh Rik dan Loko.
Namun, dengan susunannya yang tak berurutan, pembaca dipersilakan berjalan-jalan dahulu
mengunjungi cerpen-cerpen dengan label--judul--lain. Sungguhpun demikian, Bakat Menggonggong
ialah sepaket cerita yang membawakan kisah-kisah sedih berbalut kekhasan bercerita. Bisa membuat
kita sejenak merasakan berliburan, sambil tak lupa bercermin pada pengalaman hidup yang dialami
tokoh-tokohnya: soal rumah tangga hingga korban perang dan bunuh diri.

Bakat Menggonggong

"I have seen dogs with more style than men, although not many dogs have style". Barangkali tidak
berlebihan bila kutipan Charles Bukowski itu tercantum di halaman perantara Daftar Isi dan cerpen
pertama buku ini.

Dea cukup yakin untuk menampilkan keunikannya bercerita: gaya tutur, struktur cerita, dan isu yang
diungkapkan lewat cerpen.

Selain kesedihan yang lumrah dihadapi pemuda usia tanggung soal percintaan berlatar belakang profil
sebagai penulis (dalam diri tokoh Frederik atau Rik, juga si Loko, pecinta perempuan), Dea enggan
mengangkat temuan dari risetnya selama residensi di Tulang Bawang Barat, Lampung, secara njelimet.
Menjadilah cerpen "Kisah Afonso" yang menceritakan apa-apa yang ia alami selama di sana dalam misi
menggubah cerita untuk mendukung "urusan-urusan asyik" bupati setempat.

"Kisah Afonso" tidak berpretensi untuk menjadi laporan ilmiah yang ketat dengan validitas penelitian,
alih-alih mengantarkan kita pada keasyikan perbenturan repihan cerita-cerita lokal yang masih simpang-
siur kebenarannya. Dalam tiga bagian, Dea sepenuhnya mengandalkan apa yang ia dengar dan telusuri
dari cerita-cerita masyarakat lokal setempat tentang sepenggal sejarah kedatangan bangsa Prancis ke
Tulang Bawang.

Sedari awal, kita digaet untuk menyimak eksposisi yang disusun mengusik:

"Seekor buaya adalah seekor buaya adalah seekor buaya, dan seorang manusia adalah seorang manusia
adalah seorang manusia. Apakah itu truisme? Tidak. Afonso Garcia de Solis, misalnya, adalah seekor
buaya adalah seorang manusia adalah penjelajah asal Eropa dan, menurut seorang antropolog, adalah
seekor ikan baung..." (hal. 11)

Sekali lagi, Dea asyik bermain-main dengan tata bahasa untuk menyentil kesadaran kita yang cenderung
konservatif. Itu pula yang saya alami lantaran kosakata yang ia gunakan kerap terasa tidak populer tapi
sesungguhnya memperkaya cara penuturan. Ia memakai "merancap" alih-alih maturbasi atau onani,
juga "memacak" sebagai pengganti melampirkan atau menyertakan. Dengan penguasaan kosakata yang
luas itu, cara bercerita Dea menjadi khas. Sebuah "gonggongan" yang memancing perhatian.

Namun, kalaupun gonggongan itu bisa membuat perhatian kita beralih, Dea alpa untuk mengantisipasi
"gonggongannya". Ia kelewat cerewet untuk membicarakan--mengomentari, menanggapi, mengingat-
ingat--satu-dua kejadian yang terasa terlalu jauh kaitannya dengan persoalan yang tengah dihadapi
tokoh-tokoh dalam cerpennya.

Menghadirkan sosok Harmoko, Menteri Penerangan era Orde Baru, menjadi kurang relevan dengan
kekhusyukan kita mengikuti pergumulan tokoh penulis untuk bernegosiasi dengan kemungkinan ide-ide
cerita yang bakal banyak diminati publik ("Acara Tengah Malam", hal.108). Ceracau semacam itulah
yang dapat membuat jenuh saat membaca kumcer ini. Tetapi hal itu tertolong oleh struktur cerpen yang
runtut, ringkas, dan singkat.

Dengan kelihaian mengatur komposisi bahan bangunan cerita, Dea menggamit benak saya. Kapan lagi
aktivitas membaca sastra terasa lebih menyenangkan? Bila ingin lebih diperhatikan orang, barangkali
Dea harus sedikit menahan diri untuk ocehan atau igauannya. [E09]

Anda mungkin juga menyukai