Anda di halaman 1dari 1

Belajar dari Pelangi

Oleh Robertus Rony Setiawan (mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM 2007) Pelangi pelangi, alangkah indahmu. Merah, kuning, hijau di langit yang biru Terngiang dalam ingatan kita lagu indah gubahan A.T. Mahmud itu. Ketika duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK), keceriaan masa kecil kita seakan digelorakan oleh nyanyian itu. Dengan naluri keibuan, ibu guru TK juga mengajak kita bersemangat melantunkan lagu anak-anak yang lain. Yang penting mereka riang gembira dan tak kehilangan masa kecilnya, begitu kiranya pikir sang guru. Toh waktu itu kita tak pernah protes bila di kelas setiap hari menyanyi. Berbeda saat sudah jadi mahasiswa, bisa teriak dengan semangat meluap-luap, Turunkan harga BBM!! Sekitar sepuluh tahun lalu, anak-anak seusia murid TK seakan dirayakan masa kecilnya oleh lagu anak-anak populer yang kreatif. Sebut saja lantunan Diobok-obok yang meluncur merdu dan menggemaskan dari bibir Joshua. Atau Sepatu Kaca-nya Trio Kwek-Kwek. Tak mau kalah, Bondan Prakoso juga nyaring bersuara, Si lumba-lumba, si lumba-lumba Itu catatan masa lalu. Kini siapa berani menyangkal bahwa lagu anak-anak seperti kehilangan corong suara? Terlebih adik-adik kecil kita yang tampil di TV terdengar fasih menyanyikan tembang anak band yang kebanyakan bicara soal cinta. Beralasan supaya jadi bintang biduan, merekaentah sadar atau tidaksangat atraktif dan enerjik bernyanyi, Cinta ini membunuhku Belum lagi mulut gadis cilik yang komat-kamit bersenandung, Aku bukan wonder woman-mu Ah, bukankah belum semestinya mereka bergaul dengan lagu-lagu orang dewasa semacam itu? Pelangi, nyanyian yang bercerita pesona lengkung warna-warni yang terkadang tampak di langit sehabis hujan itu, mengandung arti yang patut direnungkan. Hidup bersama orang lain menyadarkan hidup kita yang penuh warna dalam perbedaan. Kota yang kita tempati ini jelas memperlihatkannya. Yogyakarta, miniatur Indonesia, adalah tempat semua orang dari berbagai daerah tumplek-blek. Di sini kita berjumpa dengan saudara sebangsa setanah air yang berlatar belakang budaya, ras, agama, bahasa, logat, hingga watak yang tak seragam. Meskipun bercorak multikultural, Yogya terbilang toleran bagi terjalinnya interaksi dalam keberagaman. Keramahan masyarakatnya merupakan salah satu penunjang. Mahasiswa yang berperan besar membangun keberagaman selayaknya menjaga keluhuran budaya asli Yogya. Ini demi pertumbuhkembangan kerukunan dan keharmonisan hidup bermasyarakat. Secara khusus bagi mahasiswa baru, sambutan hangat warga Yogya perlu disapa dengan bertingkah laku santun dan peka terhadap situasi sosial di tengah riuh kota budaya ini. Keindahan pelangi Yogya itu mesti dipelihara. Jangan sampai bernasib seperti Pelangi yang mulai membisu karena hentakan lagu pop menye-menye. Peribahasa Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung harus menjadi pakem dalam lakon mahasiswa menghidupi panggung kota pelajar. Dengan begitu, kita yakin berharap awan mendung modernitas tak kunjung menutupi cerah bianglala keberagaman pada langit kehidupan Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai