Anda di halaman 1dari 27

BAB III DASAR TEORI

3.1 Metode Penambangan


Sistem penambangan yang diterapkan oleh PT Bukit Asam Tbk adalah metode
tambang terbuka dengan menggunakan Bucket Wheel Excavator (BWE system)
dan Truck Shovel. Batuan penutup akan ditimbun di lokasi yang direncanakan
humus dan NAF akan diangkat menuju lokasi rencana lahan yang akan
direklamasi. Material batubara yang tergali akan diangkut langsung menuju Dump
Hopper dan dengan belt conveyor menuju Stockpile dan Train Loading Station
(TLS). Sebagian batubara juga akan ditumpuk di Temporary Stockpile untuk
dibawa ke pelabuhan atau dermaga sesuai dengan jadwal pemasaran batubara.

Selain menggunakan bahan bakar minyak (BBM) konvensional, saat ini PTBA
telah menggunakan sistem penambangan elektrifikasi yang menggunakan sistem
hybrid dan elektrik. Peralatan elektrifikasi yang menggunakan Shovel Electric PC
300 dan HD Bellaz. Keuntungan dari penerapan sistem penambangan elektrifikasi
yang ada di Pit 2 dan Pit 3 Timur diantaranya memanfaatkan sumber daya energi
listrik milik PTBA (PLTU Mulut Tambang), penurunan biaya operasional BBM
dan penurunan emisi gas kaca.

3.2 Regulasi Reklamasi Tambang Batubara


Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan
lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat
berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Untuk melakasanakan
reklamasi diperlukan perencanaan yang baik, agar dalam pelaksanaannya dapat
tercapai sasaran sesuai yang dikehendaki. Dalam hal ini reklamasi harus
disesuaikan dengan tata ruang. Perencanaan reklamasi harus sudah disiapkan

III - 1
sebelum melakukan operasi penambangan dan merupakan program yang terpadu
dalam kegiatan operesi penambangan. Landasan Hukum dalam kegiatan
Reklamasi Lingkungan hidup merupakan hal yang paling disorot dalam kegiatan
pertambangan dan program reklamasi adalah hal mutlak yang harus dilaksanakan
suatu perusahaan pertambangan. Untuk mengendaikan dampak negatif kegiatan
penambangan, sekaligus mengupayakan pembangunan sektor pertambangan
berwawasan lingkungan, maka kegiatan penambangan yang berdampak besar dan
penting diwajibkan mengikuti peraturan perundangan.

Mengacu pada regulasi pemerintah tentang pertambangan berdasarkan Undang -


Undang Mineral dan Batubara No. 4 tahun 2009, mewajibkan setiap perusahaan
tambang melakukan reklamasi, dan secara rinci diatur pada Peraturan Pemerintah
nomor 78 tahun 2010 tentang reklamasi dan pasca tambang. Proses reklamasi
bekas tambang diharapkan dapat melibatkan peran masyarakat agar dapat
menyentuh dari sisi sosial, ekonomi, budaya dan politik yang berkembang di
masyarakat. Sedangkan pada Peraturan terbaru Peraturan Menteri ESDM no.26
tahun 2018 tentang Pelaksanaan dan kaidah pertambangan yang baik dan
pengawasan pertambanagan mineral dan Batubara dijelaskan bahwa :
1. Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib:
a. Menyampaikan rencana Reklamasi tahap Eksplorasi sesuai Dokumen
Lingkungan Hidup;
b. menempatkan jaminan Reklamasi tahap Eksplorasi sesuai dengan penetapan
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya;
c. melaksanakan Reklamasi tahap Eksplorasi;
d. melaporkan pelaksanaan Reklamasi tahap Eksplorasi;
e. menyampaikan rencana Reklamasi tahap operasi produksi pada saat
mengajukan permohonan peningkatan IUP Operasi Produksi atau IUPK
Operasi Produksi; dan
f. menyampaikan rencana Pascatambang pada saat mengajukan permohonan
peningkatan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.

III - 2
(2) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib:
a. menempatkan jaminan Reklamasi tahap operasi produksi dan jaminan
Pascatambang sesuai dengan penetapan Menteri atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya;
b. menyampaikan rencana Reklamasi tahap operasi produksi secara periodik;
c. melaksanakan Reklamasi tahap operasi produksi dan Pascatambang; dan
d. melaporkan pelaksanaan Reklamasi tahap operasi produksi dan Pascatambang.

3.3 Siklus Hidrologi


Air yang berada di dalam maupun di permukaan bumi mengalami proses yang
membentuk daur. Secara umum daur hidrologi terjadi karena air yang menguap ke
udara dari permukaan tanah dan laut akan terkondensasi dan kembali jatuh ke
bumi (Gambar 3.1). Kejadian ini disebut presipitasi yang dapat berbentuk hujan,
salju, atau embun. Peristiwa perubahan air menjadi uap air dan bergerak dari
permukaan tanah ke udara disebut evaporasi, sedangkan penguapan air dari
tanaman disebut transpirasi. Jika kedua proses ini terjadi secara bersama-sama
maka disebut evapotranspirasi (Soemarto, 1995).

Gambar 3.1 Daur Hidrologi

III - 3
3.3.1 Presipitasi
Preipitasi adalah peristiwa jatuhnya cairan atmosfer ke permukaan bumi, sumber
dari peripitasi adalah laut, udara membawa titik – titik uap air laut bergerak
menuju daerah dataran tinggi yang dapat menyebabkan air mendingin sampai
dibawah titik embun dan menyebabkan presipitasi berupa air hujan, salju dan
bentuk presipitasi lainnya. Untuk wilayah Indonesia yang beriklim tropis, bentuk
presipitasi yang paling penting adalah hujan. Jika membicarakan tentang data
hujan, ada 5 buah unsur yang harus ditinjau, yaitu (C.D. Soemarto, 1999) :
1. Intensitas (i), adalah laju curah hujan sama dengan tinggi air persatuan waktu,
misalnya mm/menit, mm/jam, mm/hari.
2. Lama waktu atau durasi (t), adalah lamanya curah hujan terjadi dalam menit
atau jam
3. Tinggi curah hujan (d) adalah banyaknya hujan yang dinyatakan dalam
ketebalan air diatas permukaan datar, dalam mm
4. Frekuensi, adalah frekuensi kejadian terjadinya hujan, biasanya dinyatakan
dengan waktu ulang (T), misalnya sekali dalam T tahun.
5. Luas, adalah luas geografis curah hujan (A)
Tahapan menentukan kuantitatif data presipitasi atau curah hujan (C.D. Soemarto,
1999) :
1. Pengukuran presipitasi atau curah hujan.
Pengukuran presiitasi dapat dilakukan dengan alat pengukur curah hujan yaitu
pengakaran hujan dan pencatat hujan. Penangkar hujan untuk menampung
hujan yang jatuh dikawasan tersebut, edang pencatat hujan untuk mencatat
tinggi hujan dari alat penangkar hujan. Tujuan utama setiap pengukuran
presipitasi adalah untuk mendapatkan contoh yang benar – benar mewakili
curah hujan di Kawasan penelitian WMO (World Meteorological Office),
Ersin Syhan, ( terjemahan Sentot Subagyo, 1990).
2. Frekuensi pengukuran.
Frekuensi pencatatan dan pengukuran terhadap curah hujan yang jatuh di suatu
Kawasan dapat dilakukan sebanyak :

III - 4
 Sekali dalam sehari, dilakuaknan dengan alat pengukur manual yang
mengukur tiap hari wadah penangkar hujan dengan waktu yang teratur.
 Sekali dalam seminggu atau sebulan, namun dilakukan dengan alat
pengukur otomatis yang mana menghasilkan data curah hujan setiap saat
dan dihubungkan dengan computer.
3. Memproses data curah hujan
Menentukan curah hujan areal dengan melakukan penakaran dan pencatatan.
Jika dalam suatu areal terdapat bebrapa alat penakar atau pencatat curah hujan,
maka dapat diambil nilai rata – rata.

3.3.2 Infiltrasi
Infiltrasi adalah aliran air kedalam tanah melalui permukaan tanah itu sendiri.
Laju infiltrasi actual adalah laju air berpenetrasi ke permukaan tanah pada setiap
waktu dengan gaya – gaya kombinasi gravitasi, vikovitas dan kapilaritas (Fac).

3.3.3 Evapotranspirasi
Evapotranspirasi merupakan gabungan dari evaporasi dan transpirasi. Evaporasi
adalah proses pertukaran molekul air di permukaan menjadi molekul uap air di
permukaan menjadi molekul uap air di atmosfer akibat panas, sedangkan
transpirasi adalah proses penguapan pada tumbuh – tumbuhan melalui sel – sel
stomata. Faktor – faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah :
 Radiasi matahari, karena proses perubahan air dari wujud cair menjadi gas
memerlukan panas (penyinaran matahari secara langsung)
 Angin yang berfungsi membawa uap air dari satu tempat ke tempat lain.
 Kelemaban relative
 Suhu
 Jenis tumbuhan, karena evapotranpirasi dibatasi oleh persediaan air yang
memiliki oleh tumbuh – tumbuhan serta ukuran stomata.
 Jenis tanah, karena kadar kelembapan tanah membatasi persediaan air
yang diperlukan tumbuhan.

III - 5
Menurut Ven T.C, David R.M dan Larry W.S (1988) Evapotranspirasi dapat
dihitung dengan rumus Turc sebagai berikut :

.............................................................................. (3.1)
Dimana :
ET = Evapotranspirasi
P = Curah hujan tahunan rata – rata (mm/tahun)
T = Temperatur rata – rata (°C)
L(T) = Fungsi Suhu
= 300 + 25(T) + 0,05(T3)

3.4 Curah Hujan


Hujan merupakan air yang jatuh ke permukaan bumi dan merupakan uap air di
atmosfir yang terkondensasi dan jatuh dalam bentuk tetesan air. Sistem penyaliran
tambang kini lebih ditujukan dalam penanganan air permukaan, ini karena air
yang masuk ke dalam lokasi tambang sebagian besar adalah air hujan. Air
tambang akan ditampung dalam kolam (sump), selanjutnya dikeluarkan dengan
pompa melalui jalur pemompaan ke kolam pengendapan (settling pond). Air
limpasannya (overflow) akan dibuang atau dialirkan ke luar lokasi tambang atau
ke sungai terdekat dan lumpur endapannya (underflow) dibersihkan secara
berkala. Terdapat beberapa alat pengukur curah hujan, diantaranya: ombrometer
biasa, ombrometer observatorium, alat pengukur hujan Hellman. Alat pengukur
hujan yang digunakan di PT BA adalah alat pengukut hujan otomatis Hellman
(Gambar 3.2).

III - 6
Gambar 3.2 Alat Pengukur Hujan Otomatis Hellman

Curah hujan merupakan salah satu faktor penting dalam suatu sistem penyaliran,
karena tinggi rendahnya curah hujan akan mempengaruhi besar kecilnya debit air
tambang yang harus diatasi. Penentuan data curah hujan dimaksudkan untuk
mendapatkan curah hujan rencana dimana berguna untuk menjadi dasar penentuan
nilai intensitas hujan.

3.4.1 Hujan Rencana


Hujan rencana adalah hujan harian maksimum yang akan digunakan untuk
menghitung intensitas hujan. Ada beberapa jenis distribusi statistik yang dapat
dipakai untuk menentukan besarnya curah hujan rencana, seperti distribusi
Gumbel, Log Pearson III, Log Normal, dan beberapa cara lain. Metode–
metode ini harus diuji mana yang bisa dipakai dalam perhitungan.
Pengujian tersebut melalui pengukuran dispersi. Untuk mendapatkan curah hujan
rancangan (Rt) dilakukan melalui analisa frekuensi antara lain :
A. Metode Distribusi Normal

................................................................................................. (3.2)

.......................................................................................... (3.3)

III - 7
Keterangan :
XT = Besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T tahun
X = Rata – rata hitung variat
Sx = Standard deviasi
K = faktor frekuensi (nilai variable reduksi Gauss)

B. Metode Distribusi Log Normal

............................................................................................... (3.4)

........................................................................... (3.5)

......................................................................................... (3.6)
Keterangan :
X = nilai variat pengamatan
Slog x = standar deviasi dari logaritma
n = jumlah data
log X = logaritma rata – rata
k = faktor frekuensi

C. Metode Distribusi Gumbel


Perhitungan curah hujan rencana menurut Metode Gumbel dapat dinyatakan
sebagai berikut :

................................................................................................. (3.7)
Keterangan :
Xt = besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T Tahun
X = rata – rata x maksimum dari data Xi
k = faktor frekuensi

............................................................................................................ (3.8)

III - 8
Dimana :
Yn, Sn = besaran yang mempunyai fungsi dari jumlah pengamatan
Yt = reduksi sebagi fungsi dari probabilitas
n = jumlah data

Tahap – tahap perhitungan yang ada dalam metode Gumnel yaitu:


1. Rata-rata Curah Hujan ( )

Rata-rata curah hujan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

= ............................................................................................................ (3.9)

Keterangan:
∑X = Jumlah curah hujan harian maksimum
N = Jumlah data

2. Reduced Mean (Yn)


Nilai reduce mean merupakan nilai yang tergantung dengan urutan sampel yang
diurutkan sesuai dengan besar data dengan jumlah data yang digunakan Nilai
reduced mean dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
  ( n  1  m ) 
Yn   ln  ln   ......................................................................... (3.10)
  n  1 
Keterangan:
n = jumlah sample (data) yang digunakan
m = urutan sample (m = 1,2,3,…)

3. Standart Deviation (S)


Nilai standar deviation dihitung dengan rumus sebagai berikut:

  Xi  X 
2

S ......................................................................................... (3.11)
n 1

Keterangan:
Xi = Jumlah curah hujan harian maksimum
X = rata-rata curah hujan

III - 9
n = jumlah data
4. Reduced Standart Deviation (Sn)
Nilai reduced standart deviation dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Sn 
  Yn  Yn   2
................................................................................ (3.12)
n 1
Keterangan:
Yn = Reduce Mean
Yn‾ = Rata-rata Reduce Mean
n = Jumlah sampel

5. Reduced Variate (YTr)


Nilai reduced variate dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Yt = ......................................................................................... (3.13)

Keterangan:
T = Periode ulang (tahun)

D. Metode Log Pearson Type III


Metode yang dianjurkan dalam pemakaian Log Pearson Type III adalah dengan
mengkonversikan rangkaian datanya menjadi bentuk logaritma.

.............................................................................................. (3.14)

.......................................................................... (3.15)

............................................................................... (3.16)

Nilai X bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan :

................................................................................. (3.17)
Keterangan :
Log X = logaritma rata – rata

III - 10
SlogX = standart deviasi dari logaritma
Cs = koefisien kemencengan
k = faktor frekuens
n = jumlah data

Untuk mengetahui jenis distribusi yang dipakai untuk melakukan perhitungan


rencana curah hujan dapat dilihat syarat – syarat pada tabel berikut :

Tabel 3.1 Syarat pemilihan Jenis Distribusi Curah Hujan Rencana


Jenis Distribusi Syarat
Cs ≈ 0
Normal
Ck = 3
Cs ≤ 1,1396
Gumbel
Ck ≤ 5,4002
Log Pearson Cs ≠ 0
Cs ≈ 3Cv + Cv² = 3
Log Normal
Ck = 5,383

Dimana untuk mencari nilai dari syarat diatas ditentukan jenis sebaran yang
sesuai, dalam penentuan jenis sebaran diperlukan faktor-faktor sebagai berikut :
1) Standar Deviasi (Sd)

  Xi  X 
2

S ..................................................................................... (3.18)
n 1

2) Koefisien Skewness (Cs)

.................................................................................. (3.19)

3) Koefisien Kurtosis (Ck)

................................................................................... (3.20)

III - 11
4) Koefisien Variasi (Cv)

..................................................................................... (3.21)

3.4.2 Periode Ulang Hujan


Periode ulang hujan dapat diartikan dengan periode (tahun) dimana suatu hujan
dengan intensitas hujan yang sama kemungkinan akan dapat terjadi lagi pada
tahun berikutnya. Penentuan Periode Ulang Hujan bergantung pada berapa lama
umur tambang kan berlangsung dan menghitung resiko hidrologi dan dapat
dihitung menggunakan distribusi normal dengan konsep peluang.

Tabel 3.2 Periode Ulang Hujan Rencana (Kite, G.W. 1997)

Periode Ulang Hujan


Wilayah
(Tahun)
Sarana Tambang 2–5
Lereng Tambang dan Penimbunan 5 – 10
Sumuran Utama 10 – 25
Penyaliran Keliling Tambang 25
Pemindahan Aliran Sungai 100

Variabel-variabel di atas apabila dimasukkan ke dalam persamaan maka menjadi:

……………………………………………...……………. (3.22)

Keterangan:
Pt = Resiko Hidrologi (kemunkginan suatu kejadian akan terjadi minimal
satu kali pada periode ulang tertentu)
Tt = Periode ulang (dalam rancangan ini digunakan periode ulang tahun).
TL = Umur tambang (Tahun).
Untuk penetapan periode ulang hujan lebih ditekankan pada masalah kebijakan
dan resiko yang perlu di ambil sesuai perencanaan.

III - 12
3.4.3 Intensitas Hujan (I)
Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu.
Perhitungan intensitas menggunakan persamaan Mononobe yaitu:
2/3
R  24 
I  24   ………………………………...……………….………… (3.23)
24  t 

Keterangan:
I = intensitas hujan (mm/jam)
R24 = curah hujan maksimum harian selama 24 jam (mm)
t = lamanya hujan (jam)

Tabel 3.3 Keadaan curah hujan & Intensitas curah hujan (Suryono Sosrodarsono dan Takeda
K., 1983)
Keadaan Intensitas Curah Hujan
1 Jam 24 Jam
Curah Hujan Kondisi
Hujan Sangat Ringan <1 <5 Tanah Agak Basah
Hujan Ringan 1–5 5 – 20 Tanah menjadi basah semuanya
Hujan Normal 5 - 10 20 – 50 Bunyi curah hujan terdengar
Hujan Lebat 10 - 20 50 – 100 Air tergenang di seluruh permukaan
tanah dan bunyi terdengar dari
genangan
Hujan Sangat Lebat >20 >100 Hujan seperti tumpahan

3.4.4 Air Limpasan


Air limpasan yaitu bagian dari curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah,
sungai, danau, hingga laut. Aliran itu terjadi akibat curah hujan yang jatuh ke
permukaan tidak terinfiltrasi semua karena disebabkan oleh intenitas curah hujan
atau faktor lereang dan kekompakan batuan di daerah tersebut. Aspek-aspek yang
berpengaruh yaitu curah hujan, tanah, tutupan, dan luas daerah aliran.
1. Perkiraan debit air limpasan
Untuk memperkirakan debit air limpasan maksimal di gunakan rumus rasional,
yaitu :
Q = 0,278. C. I. A ………...……………………………………..………… (3.24)

III - 13
Keterangan :
Q = Debit air limpaan maksimum (m3/detik)
C = Koefisien limpasan
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
A = Luas daerah tangkapan hujan (km2)

2. Koefisien limpasan (C)


Koefisien limpasan merupakan bilangan yang menunjukkan antara perbandingan
besarnya limpasan permukaan dengan intensitas curah hujan yang terjadi pada
tiap – tiap daerah tangkapan hujan (Cacthment Area). Koefisien limpasan setiap
daerah berbeda dalam penentuan koefisien limpasan faktor-faktor yang harus di
perhatikan adalah :

Tabel 3.4 Koefisien Limpasan (Suwandhi, 2004)


Kemiringan Jenis lahan C

< 3% (datar) Sawah, rawa 0,2


Hutan, perkebunan 0,3
Perumahan 0,4
3% - 15% (sedang) Hutan, perkebunan 0,4
Perumahan 0,5
semak-semak agak jarang 0,6
Lahan terbuka 0,7
>15% (curam) Hutan 0,6
Perumahan 0,7
Semak-semak agak jarang 0,8
Lahan terbuka daerah tambang 0,9

3.5 Daerah Tangkapan Hujan (Catchment Area)


Catchment area menurut Suwandhi (2004) merupakan suatu areal atau daerah
tangkapan hujan dimana batas wilayah tangkapannya ditentukan dari titik-titik
elevasi tertinggi sehingga akhirnya merupakan suatu poligon tertutup yang mana
polanya disesuaikan dengan kondisi topografi, dengan mengikuti kecenderungan
arah gerak air. Dengan pembatasan catchment area maka diperkirakan setiap
debit hujan yang tertangkap akan terkonsentrasi pada elevasi yang terendah pada

III - 14
catchment area tersebut. Pembatasan catchment area biasanya dilakukan pada
peta topografi, dan untuk perencanaan sistem penyaliran di anjurkan dengan
menggunakan peta rencana penambangan dan peta situasi tambang agar
didapatkan hasil yang lebih baik. Catchment area atau yang sering juga disebut
sebagai drainage basin, watershield atau daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu
daerah yang dibatasi oleh punggung perbukitan atau titik tertinggi yang apabila
terjadi hujan, air akan mengalir ke titik terendah di daerah tersebut. Penentuan
catchment area pada suatu area pertambangan dapat ditentukan dengan
menganalisis peta topografi dan peta kemajuan tambang. Catchment area didapat
dengan cara menghubungkan titik-titik tertinggi pada peta dengan memperhatikan
arah aliran air di daerah tersebut hingga didapatkan sebuah poligon tertutup.

3.6 Sistem Penyaliran


Sistem penyaliran tambang merupakan sebuah upaya untuk melakukan
pengontrolan air permukaan dan air bawah tanah yang berpotensi mengganggu
aktivitas penambangan. Sasaran dari rancangan penyaliran suatu tambang terbuka
adalah untuk meminimalkan air yang akan masuk ke dalam pit dengan cara
mencegah limpasan dari luar pit masuk ke dalam pit, mengoptimalkan
penanganan air yang masuk ke dalam pit, mengelola aliran air tambang (mine
water management), dan mengendalikan dampak lingkungan. Khusus untuk
tambang terbuka, sistem penyaliran air dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Mine Drainage
Mine drainage merupakan upaya untuk mencegah masuknya atau mengalirnya air
dari luar ke dalam area aktivitas penambangan. Hal ini umumnya dilakukan untuk
menangani air tanah dan air yang berasal dari sumber air permukaan (sungai,
danau, rawa, dsb). Untuk menangani air permukaan ada beberapa bentuk upaya
yang bisa dilakukan, yaitu :
a. Pembuatan saluran paritan (open channel) di area pit sepanjang daerah
berpotensi untuk mencegah masuknya air limpasan ke dalam pit.
b. Pembuatan sumuran di luar pit (out sump) sebagai tempat penampungan

III - 15
sementara dari aliran air limpasan baik aliran langsung dari topografi maupun
dari open channel di luar pit yang sengaja dialirkan kesana. Untuk selanjutnya
bisa dilakukan upaya pemompaan agar air pada sump tidak meluap dan masuk
ke dalam pit.

2. Mine Dewatering
Merupakan upaya untuk mengeluarkan air yang telah masuk ke dalam area
aktivitas penambangan. Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan, yaitu :
a. Pembuatan saluran paritan (open channel) di dalam pit yang menuju sump
b. Pembuatan sumuran di dalam pit (in sump) yang kemudian dilakukan
pemompaan air dari sumuran ke luar pit.
c. Pembuatan control sump
Rancangan sistem penyaliran pada umumnya menganalisis mengenai dimensi
dan posisi paritan (open channel), sumuran (sump), gorong-gorong (culvert),
analisis jenis dan jumlah pompa dan pipa, serta rancangan kolam pengendapan
(settling pond).

3.7 Sump (Kolam Penampungan)


Menurut Suwandhi (2004) sump merupakan kolam penampungan air yang dibuat
untuk penampung air limpasan, yang dibuat sementara sebelum air itu
dipompakan, serta dapat berfungsi sebagai pengendapan lumpur. Pengaliran air
dari sump akan dipengaruhi oleh sistem drainase tambang yang disesuaikan
dengan geografis daerah tambang dan kestabilan lereng tambang. Berdasarkan
tata letak kolam penampung (sump), sistem penirisan tambang dapat dibedakan
menjadi (Suwandhi, 2004):
a. Sistem Penirisan Memusat
Pada sistem ini sump akan ditempatkan di setiap jenjang tambang (bench),
dengan sistem pengalirannya dari jenjang paling atas menuju jenjang
dibawahnya sehingga akhirnya air dipusatkan di main sump untuk kemudian
dipompakan keluar tambang.
b. Sistem Penirisan Tidak Memusat

III - 16
Sistem ini dapat dilakukan bila kedalaman tambang relatif dangkal dengan
keadaan geografis daerah luar tambang memungkinkan untuk mengalirkan air
langsung dari sump keluar tambang.

Berdasarkan penempatannya, sump dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu


(Suwandhi, 2004):
1. Travelling Sump
Sump ini dibuat pada daerah front tambang. Tujuan dibuatnya sump ini adalah
untuk menanggulangi air permukaan. Jangka waktu penggunaan sump ini
relatif singkat dan selalu ditempatkan sesuai dengan kemajuan tambang.
2. Sump Jenjang
Sump ini dibuat secara terencana baik dalam pemilihan lokasi maupun
volumenya. Penempatan sump ini adalah pada jenjang tambang dan biasanya di
bagian lereng tepi tambang.
3. Main Sump
Sump ini dibuat sebagai tempat penampungan air terakhir. Pada umumnya
sump ini dibuat pada elevasi terendah dari dasar tambang.

3.8 Pumping (Pemompaan)


Untuk memindahkan zat cair keluar dari tambang diperlukan kegiatan
pemompaan dengan bantuan gaya tekan yang dihasilkan dari sebuah alat pada
pompa dimana dapat mengangkat zat cair dari tempat yang lebih rendah ke tempat
yang lebih tinggi. Pemasangan pompa dapat dilakukan dengan cara seri dan
paralel. Pemasangan pompa secara seri dilakukan karena head pompa yang
digunakan tidak mencukupi untuk menaikkan air sampai ketinggian tertentu.
Pemasangan pompa secara paralel dilakukan karena debit pompa yang digunakan
tidak mencukupi untuk mengeluarkan air sehingga harus digunakan dua pompa
atau lebih yang dipasang secara paralel. Pompa yang telah lama digunakan atau
beroperasi akan memiliki debit yang berkurang karena ada faktor waktu
pemakaian. Untuk menghitung hasil pengujian debit digunakan metode propeller
(kincir) dimana :

III - 17
.............................................................................................................. (3.25)
Dimana :
N = Jumlah putaran kincir
t = waktu (s)

kemudian setelah dihasilkan dari nilai “n” dilanjutkan dengan perhitungan


kecepatan aliran :
 Jika nilai dari n = < 2,53, maka dalam menentukan kcepatan alirannya
digunakan rumus :
V= 0,1155 n + 0,1869 m/s ........................................................................ (3.26)
Sedangkan jika nilai n = >2,53, digunakan rumus :
V= 0,1170 n + 0,1831 m/s......................................................................... (3.27)

3.8.1 Jenis Pompa


Pompa adalah suatu mesin/alat yang berfungsi untuk memindahkan air dari level
rendah menuju level yang lebih tinggi. Pada tambang, pompa dipakai untuk
mengeluarkan air dari sumuran di lantai pit paling rendah menuju keluar pit yang
letaknya lebih tinggi. Menurut Sularso dan Tahara (2000), pompa dibagi atas 3
jenis, yaitu :

1. Pompa sentrifugal
Pompa sentrifugal seperti dilihatkan pada gambar 3.3, mempunyai sebuah
impeller (baling – baling) untuk mengangkat zat cair dari tempat yang lebih
rendah ke tempat yang lebih tinggi. Tinggi pompa terutama ditimbulkan oleh
gaya dorong sentrifugal putaran sudu – sudu (impeller). Jenis pompa ini banyak
digunakan pada ketinggian (head) yang besar.

III - 18
(Sumber : Sularso, Tahara, 2000)
Gambar 3.3. Arah aliran pompa sentrifugal

2. Pompa aliran campur


Pada pompa ini, salah satu ujungnya dipasang impeler yang ditumpu pada sebuah
bantalan, sedangkan ujung yang lain dipasang kopling dengan sebuah bantalan
luar didekatnya. Bantalan luar terdiri dari sebuah bantalan aksial dan bantalan
radial yang pada umumnya berupa bantalan gelinding.

3. Pompa aliran aksial


Pada pompa ini, aliran zat cair yang meniggalkan impeler akan bergerak
sepanjang permukaan silinder ke luar. Kontruksi pompa ini hampir sama dengan
pompa aliran campur kecuali bentuk impeler dan difusor keluarnya. Tinggi pompa
terutama ditimbulkan oleh gaya sudu pada air. Jenis ini banyak digunakan untuk
debit yang cukup besar dengan ketinggian rendah (head kecil).

(Sumber : Sularso, Tahara, 2000)


Gambar 3.4. Arah aliran pompa aksial

3.8.2 Head Pompa


Untuk perhitungan head pompa digunakan prinsip Bernoulli. Bentuk persamaan
Bernoulli untuk aliran tak-termampatkan menurut Sularso, dkk (2000) dihitung
dalam persamaan dibawah ini:

....................................................................................... (3.28)

dimana :
P = tekanan (bar)

III - 19
γ = berat spesifik (kN/m3)
V = kecepatan aliran fluida (m/s2)
Z1 = elevasi hisap (m)
g = percepatan gravitasi (m/s2)

Bentuk persamaan head total pompa menurut Sularso, dkk (2000) dapat ditulis
sebagai berikut:

...................................................................... (3.29)

dimana:
H = Head total pompa (m)
ha = Head statis total (m),
Δhp = Perbedan head tekan yang bekerja pada kedua permukaan air (m)
hl = Beberapa keruguian head di pipa, katup, belokan, dambungan, dll (m)
Vd = kecepatan aliran rata-rata dititik keluar pipa (m/s)

3.9 Hosting (Pemipaan)


Pipa adalah saluran tertutup berpenampang lingkaran dan digunakan untuk
mengalirkan fluida. Pipa (hosting) digunakan untuk keperluan pemompaan dalam
aktivitas penambangan. Air yang masuk ke kolam penampungan (sump) dialirkan
melalui instalasi pipa keluar tambang yaitu ke saluran tambang. Pipa yang
digunakan PT. Bukit Asam Tbk adalah pipa karet karena jalur yang dilewati pipa
merupakan multi bench dengan kondisi permukaan dalam pipa sangat mulus. Pipa
yang biasa digunakan untuk kegiatan dewatering adalah jenis HDPE (High
Density Polyethylene). Pipa ini termasuk jenis pipa thermoplastic, yaitu terbuat
dari resin dan dapat dibentuk – bentuk pada saat pemanasan. PE adalah struktur
molekul tinggi yang termasuk dalam grup Polyolefine. Formula kimiawinya
adalah -(CH2 – CH2)n.

III - 20
(Sumber : dokumentasi penulis)
Gambar 3.5. Pipa HDPE (High Density Polyethylene).

Sistem pemipaan akan sangat berhubungan erat dengan head kerugian yang
dihasilkan oleh pipa. Menurut Sularso, dkk (2000) perhitungan besarnya head
loss pada pipa dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Hazen-William
yaitu sebagai berikut:
1. Head loss pada pipa panjang

........................................................................... (3.30)

dimana :
HL = Head loss pipa (m)
Q = Debit aliran pipa (m3/detik)
C = Konstanta Hazen-Williams (Tabel 2.4)
D = Diameter pipa (m)
L = Panjang pipa (m)

Tabel 3.5 Konstanta Hazen – Williams Berbagai Jenis Pipa (Sularso dkk, 2000)

III - 21
No JENIS PIPA NILAI C
1 Pipa besi cor baru 130
2 Pipa besi cor lama 100
3 Pipa besi cor lama / permukaan dalam kasar 70
4 Pipa baja baru 130
5 Pipa baja sedang / setengah pakai 100
6 Pipa baja lama 80
7 Pipa Plastik "Polyethylene" 140

2. Head loss pada katup hisap


v2
H v = fv ...................................................................................................... (3.31)
2g

Dimana :
Hv = kerugian head katup (m)
v = kecepatan rata-rata di penampang masuk katup (m/s)
g = percepatan gravitasi (m/s2)
f = koefisien kerugian katup (Tabel 2.8)

3. Head loss pada ujung pipa keluar


v2
Hf = f ........................................................................................................
2g

(3.32)
dimana :
f =1
v = kecepatan rata-rata pada pipa keluar

Tabel 3.6 Koefisien Kerugian Dari Berbagai Katup (Sularso dkk, 2000)

DIAMETER (mm)
JENIS KATUP
100 150 200 250 300 400 500 600 700 800 900 1000
Katup Sorong 0,14 0,12
Katup kupu – kupu 0,6 - 0,16 (bervariasi menurut konstruksi dan diameter)
Katup Putar 0,09 - 0,026 (bervariasi menurut diameter)

III - 22
Katup cegah jenis
1,2 1,15 1,1 1 0,98 0,96 0,94 0,92 0,9 0,88
ayun
Katup cegah tutup
1,2 1,15 1,1 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4
cepat jenis tekanan
Katup cegah jenis
1,44 1,39 1,34 1,3 1,2
angkat bebas
Katup cegah tutup-
7,3 6,6 5,9 5,3 4,6
cepat jenis pegas
Katup kepak 0,5
Katup isap saringan 1,97 1,91 1,84 1,78 1,72
Katup pintu 0,4
Reducer 0,03

3.10 Saluran Terbuka (Open Channel)


Bentuk penampang saluran terbuka umumnya dipilih berdasarkan debit air, tipe
material pembentuk saluran serta kemudahan dalam pembuatannya. Saluran air
dengan penampang persegi empat atau segitiga umumnya debit kecil sedangkan
penampang trapesium untuk debit yang besar. Faktor – faktor yang harus
diperhatikan dalam perencanaan saluran tambang antara lain :
1. Penampang Saluran
Bentuk penampang saluran tambang pada umumnya dipilih berdasarkan debit
air yang masuk, tipe material pembentuk dinding saluran serta mudahnya
dalam pembuatan dan perawatan. Ada beberapa bentuk penampang saluran air
antara lain bentuk segitiga, segi empat dan trapezium. Bentuk penampang
segitiga dan segi empat umumnya untuk kapasitas aliran yang kecil, sedangkan
penampang trapezium untuk debit yang besar.
2. Jagaan saluran
Jagaan saluran adalah jarak vertical dari puncak saluran ke permukaan air pada
kondisi rencana. Jarak ini harus cukup untuk mencegah gelombang atau
kenaikan muka air yang melimpah ke tepi. Besarnya jagaan saluran terbuka
umumnya berkisar antara 5 % - 30 % dari kedalaman air.
3. Kemiringan Saluran
Kemiringan saluran terutama tergantung pada jenis bahan yang digunakan.
Dalam perencanaan saluran, kemiringan dinding saluran sesuai dengan bahan
pada tubuh saluran. Berikut adalah tabel kemiringan dinding saluran yang
sesuai untuk berbagai jenis bahan :

III - 23
Tabel 3.8.Sifat-sifat Hidrolik pada Saluran Terbuka
Kemiringan Rata-rata Kecepatan Rata-rata
Dasar Saluran (%) (m/detik)
Kurang dari 1 0,4
1–2 0,6
2–4 0,9
4–6 1,2
6 – 10 1,5
10 – 15 2,4
(Sumber :Awang Suwandhi, Ir., M.Sc, Perencanaan Sistem Penyaliran Tambang)

Untuk menentukan dimensi saluran terbuka, dilakukan perhitungan dengan


menggunakan rumus manning. Penentuan dimensi penampang saluran penyaliran
berdasarkan rumus Manning, yaitu :

Q = A . 1/n . S1/2 . R2/3...................................................................................... (3.33)

Keterangan :
Q = Debit pengaliran (m3/detik)
A = Luas penampang basah (m2)
S = Kemiringan dasar saluran (%)
R = Jari-jari hidrolis (m)
n = Koefisien kekasaran dinding saluran menurut Manning.

Harga koefisien kekasaran ring canal ditentukan berdasarkan tipe dinding saluran.
Berikut tabel koefisien dinding saluran untuk persamaan Manning :

Tabel 3.9 Koefisien Kekasaran Dinding Saluran


Tipe dinding saluran N
Semen 0,010 – 0,014
Beton 0,011 – 0,016
Bata 0,012 – 0,020
Besi 0,013 – 0,017
Tanah 0,020 – 0,030
Gravel 0,022 – 0,035
Tanah yang ditanam 0,025 – 0,040

III - 24
Beberapa macam penampang saluran :
1. Bentuk segi empat

Gambar 3.6 Saluran terbuka bentuk segi empat

 Lebar dasar saluran = 2d


 Luas penampang basah = 2d2
 Keliling basah = 4d
2. Bentuk setengah lingkaran

Gambar 3.7 Saluran terbuka bentuk setengah lingkaran

 Sudut tengah = 90°


 Luas penampang basah (A) = d2

 Jari -jari hidrolis (R) =


 Keliling basah = 2d. √2

3. Bentuk Trapesium
Dalam menentukan dimensi saluran bentuk trapezium dengan luas makimum
hidrolis, luas penampang basah saluran (A), jari – jari hidrolik (R), Kedalaman
penampang aliran (d), lebar dasar saluran (b), penampang sisi saluran dari

III - 25
permukaan (a), lebar permukaan saluran (B), dan kemiringan dinding saluran (m),
mempunyai hubangan yang dapat dinyatakan sebagai berikut :
A = b . d + m . d2
R = 0,5.d
B = b + 2m . d
b/d = 2 {(1 + m2)0,5 – m)
a = d/sinα
Penambahan tinggi jagaan adalah 20 % dari d

Penampang saluran buatan biasanya direncanakan berdasarkan bentuk geometris


yang umum. Bentuk saluran yang paling sering digunakan dan dipakai adalah
bentuk trapezium, sebab mudah dalam pembuatannya, murah, efisien dan mudah
dalam perawatannya, serta stabilitas kemiringan dindinggnya dapat disesuaikan
menurut keadaan daerah. Untuk dimensi penyaliran dengan bentuk trapezium
dengan luas penampang optimum dan mempunyai sudut kemiringan 60°, maka :
z = 1/tg α
= 1/tg 60°
= 0,58
Sehingga harga b/d adalah :
b/d = 2 {(1 + m2)0,5 – m}
b = 1,152d

Kemiringan dinding saluran tergantung pada macam material atau bahan yang
membentuk tubuh saluran . Kemiringan dinding saluran yang saluran yang sesuai
dengan bahan yang membentuk tubuh saluran. Untuk kemiringan dasar saluran
dapat dihitung berdasarkan beda ketinggian pada bagian hulu dan hilir dari saluran
dibagi panjang saluran sampai ke kpl, menggunakan rumus sebagai berikut :
ΔZ = Z1 – Z2
Dimana :
Z1 = Ketinggian saluran dibagian hulu
Z2 = Ketinggian saluran dibagian hilir

III - 26
Kemudian, kemiringan dasar saluran dapat dihitung sebagai berikut :
S = (ΔZ/L) x 100%
Dimana :
ΔZ = Selisih ketinggian bagian hulu dan hilir saluran
L = Jarak antara pipa buang ke kpl

Gambar 3.8 Saluran terbuka berbentuk trapesium

Keterangan :
a = panjang sisi saluran dasar permukaan
b = lebar dasar saluran
B = lebar permukaan saluran
h = tinggi saluran
x = tinggi jagaan
d = kedalaman aliran
α = sudut kemiringan saluran

III - 27

Anda mungkin juga menyukai