Anda di halaman 1dari 16

LABORATORIUM TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL

PROGRAM STUDI FARMASI F-MIPA


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

PRAKTIKUM FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL


INJEKSI METAMPIRON DAN INJEKSI RIBOFLAVIN

Disusun Oleh :
Kelompok V
Kukuh Bagus N. (J1E1110)
Nurhikmah (J1E111032)
Nadya Luthfiana (J1E111033)
Risa Ahdyani (J1E111034)
Supian Noor (J1E111035)
Liona Febriana (J1E1110)
Singgih Tri W. (J1E1110)
Achmad Nabil (J1E1110)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU

2014
PRAKTIKUM FORMULAIS DAN TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL
VOLUME KECIL (INJEKSI METAMPIRON DAN INJEKSI
RIBOFLAVIN)

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahan obat jarang diberikan sendiri-sendiri, tetapi lebih sering
merupakan suatu formula yang dikombinasi dengan satu atau lebih zat
bukan obat yang bermanfaat untuk kegunaan farmasi yang bermcam-
macam dan khusus. Melalui penggunaan yang selektif dari zat obat ini
sebagai bahan farmasi akan dihasilkan sediaan farmasi atau bentuk sediaan
dengan tipe yang bermacam-macam (Ansel, 1985). Salah satunya adalah
sediaan parenteral atau injeksi.
Injeksi telah digunakan pertama kalinya pada manusia sejak tahun
1660, meskipun demikian perkembangan pertama injeksi semprot baru
berlangsung pada tahun 1852, khususnya pada saat dikenalkannya ampul
gelas, untuk mengembangkan aplikasi ini lebih lanjut (Voigt,1995). Injeksi
atau obat suntik didefinisikan secara luas sebagai sediaan steril bebas
pirogen yang dimaksudkan untuk diberikan secara parenteral (Ansel,
1985).
Istilah parenteral berasal dari bahasa Yunani yaitu para yang
berarti di smaping dan enteron yang berarti usus, di mana keduanya
menunjukkan sesuatu yang diberikan di luar dari usus dan tidak melalui
system saluran pencernaan. Obat yang diberikan dengan cara parenteral
adalah sesuatu yang disuntikkan melalui lubang jarum yang runcing ke
dalam tubuh pada berbagai tempat dan dengan bermacam-macam
kedalaman. Pada umumnya pemberian dengan cara parenteral dilakukan
bila diinginkan kerja obat yang cepat seperti pada keadaan gawat, bila
penderita tidak dapat diajak bekerja sama dengan baik, tidak sadar, tidak
dapat atau tidak tahan menerima pengobatan melalui mulut (oral) atau bila
obat itu sendiri tidak efektif dengan dengan cara pemberian lain (Ansel,
1985).
Pada praktikum ini dibuat sediaan steril volume kecil berupa
injeksi metampiron dan injeksi riboflavin.. Sterilitas pada sediaan-sediaan
ini sangat penting karena cairan tersebut langsung berhubungan dengan
cairan dan jaringan tubuh yang memungkinkan infeksi terjadi dengan
mudah (Ansel, 1985).
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mampu
memahami dan terampil dalam pembuatan injeksi metampiron dan injeksi
riboflavin serta kontrol kualitas sediaan steril (evaluasi sediaan).

II. DASAR TEORI


Istilah parenteral berasal dari bahasa Yunani yaitu para yang berarti di
smaping dan enteron yang berarti usus, di mana keduanya menunjukkan
sesuatu yang diberikan di luar dari usus dan tidak melalui system saluran
pencernaan. Obat yang diberikan dengan cara parenteral adalah sesuatu yang
disuntikkan melalui lubang jarum yang runcing ke dalam tubuh pada berbagai
tempat dan dengan bermacam-macam kedalaman. Tiga cara utama dari
pemberian parenteral adalah subkutan, intramuscular (IM) dan intravena (IV)
walaupun ada yang lain seperti intrakardiak dan intraspinal (Ansel, 1985).
Obat-obat yang rusak atau diinaktifkan dalam sistem saluran cerna atau
tidak diabsorbsi dengan baik untuk memberikan respon memuaskan dapat
diberikan secara parenteral. Cara parenteral juga disukai bila dibutuhkan
absorbsi yang segera, seperti pada keadaan darurat. Absorbsi melalui cara
parenteral tidak saja lebih cepat dari sesudah pemberian oral, tapi kadar obat
dalam darah yang dihasilkan jauh lebih mudah diramalkan, karena sedikit
yang hilang sesudah penyuntikan subkutan atau intramuscular, dan benarbenar
tidak ada yang hilang pada penyuntikan intravena; secara umum ini juga
memungkinkan pemberian dosis yang lebih kecil (Ansel, 1985).
Kerja optimal dan sifat tersatukan dari larutan obat yang diberikan secara
parenteral hanya akan diperoleh jika persyaratan berikut terpenuhi:
a. Sesuainya kandungan bahan obat yang dinyatakan dalam etiket dan yang
ada dalam sediaan, tidak terjadi pengurangan efek selama penyimpanan
akibat perusakan obat secara kimia dan sebagainya.
b. Penggunaan wadah yang cocok, yang tidak hanya memungkinkan sediaan
tetap steril tetapi juga mencegah terjadinya interaksi antara bahan obat dan
material dinding wadah.
c. Tersatukan tanpa terjadi reaksi. Untuk itu beberapa faktor yang paling
menentukan adalah: bebas kuman, bebas pirogen, bebas pelarut yang
secara fisiologis tidak netral, isotonis, isohidris, dan bebas bahan
melayang.
(Voigt, 1995).
Produk steril yang banyak diproduksi di industri farmasi adalah dalam
bentuk larutan terbagi (ampul) dan bentuk serbuk padat siap untuk
digunakan dengan diencerkan terlebih dahulu dengan larutan pembawa
(vial). Sediaan parental, bisa diberikan dengan berbagai rute : intra vena
(i.v), sub cutan (s.c), intradermal, intramuskular (i.m), intra articular, dan
intrathecal. Bentuk sediaan sangat mempengaruhi cara (rute) pemberian.
Sediaan bentuk suspensi, misalnya tidak akan pernah diberikan secara
intravena yang langsung masuk ke dalam pembuluh darah karena adanya
bahaya hambatan kapiler dari partikel yang tidak larut, meskipun
suspensi yang dibuat telah diberikan dengan ukuran partikel dari fase
dispersi yang dikontrol dengan hati-hati. Demikian pula obat yang
diberikan secara intraspinal (jaringan syaraf di otak), hanya bisa
diberikan dengan larutan dengan kemurnian paling tinggi, oleh karena
sensivitas jaringan syaraf terhadap iritasi dan kontaminasi (Priyambodo,
2007).
Cairan darah dan cairan jaringan memiliki tekanan osmotiknya sendiri.
Jika hanya sejumlah kecil cairan diinjeksikan ke dalam vena, tidak
dikhawatirkan akan munculnya rasa nyeri atau rangsangan, juga jika larutan
tidak isotonis, oleh karena darah akan mengencerkan secara cepat. Pada
pemakaian beberapa milliliter larutan yang tidak isotonis, dan yang lebih jelas
lagi pada saat pemakaiannya dalam bentuk larutan infuse, harus
diperhitungkan dengan terjadinya kerusakan eritrosit (Voigt, 1995).

III. PRAFORMULASI
1. Tinjauan Farmakologi
a. Efek utama
Metampiron (antalgin) termasuk ke dalam golongan analgetika perifer
dimana obat ini memiliki efek sebagai analgetik, antipiretik dan
antiradang (Tjay & Rahardja, 2007).
Riboflavin (vitamin B2) berperan penting dalam pemeliharaan
kesehatan kulit (bibir), mata, otot dan tulang (Tjay & Rahardja, 2007).
b. Efek samping
Efek samping dari penggunaan metampiron adalah terjadinya
gangguan lambung-usus, kerusakan darah dan reaksi alergi kulit (Tjay
& Rahardja, 2007).
Penggunaan riboflavin dalam dosis besar akan menyebabkan urine
menjadi berwarna kuning terang yang dapat mengganggu hasil uji lab
tertentu (Sweetman, 2009).
c. Kontra indikasi
Metampiron dikontraindikasikan untuk ibu hamil dan menyusui (Tjay
& Rahardja, 2007).
Riboflavin tidak memiliki kontra indikasi.
2. Tinjauan Fisikokimia
a. Kelarutan
Metampiron sangat larut dalam air, larut dalam alkohol (Sweetman,
2009).
Riboflavin sangat larut dalam air, praktis tidak larut dalam alkohol
(Sweetman, 2009).
b. Stabilitas
Riboflavin stabil dalam bentuk serbuk, namun dalam bentuk larutan
dapat menjadi tidak stabil dengan adanya paparan cahaya dan
keberadaan bahan alkali (Sweetman, 2009).
c. Cara penggunaan dan dosis
 Metampiron : Pada penggunaan oral digunakan 0,5-4 gram sehari
dalam 3-4 dosis (Tjay & Rahardja, 2007). Dapat digunakan pada
sediaan injeksi intramuskular dan intravena (Sweetman, 2009).
 Riboflavin : Pada defisiensi 5-10 mg sehari, profilaksis 2 mg
(Na-fosfat) (Tjay & Rahardja, 2007).

IV. FORMULASI
4.1 Formulasi Standar
Formulasi I
R/ Riboflavin 0,25
Asam salisilat 0,175
Dinatrium hidrogen fosfat 0.225
Natrium salisilat 3,8
Ad aqua pro injectio 50 ml
(Kemenkes, 1966)

Formulasi II
R/ Antalgin 15
Ad aqua pro injectio 50 ml
(Kemenkes, 1966).

4.2 Penimbangan Bahan


Formulasi I
Riboflavin : 0,25 + (0,25 x 10%) : 0,275 g
Asam salisilat : 0,175 + (0,175 x 10%) : 0,1925 g
Dinatrium hidrogen : 0.225 + (0.225 x 10%) : 0.2475 g
fosfat
Natrium salisilat : 3.8 + (3.8 x 10%) : 4.18 g
Total penimbangan : 4.895 g
Formulasi II
Antalgin : 15 + (15 x 10%) : 16,5 g
Total penimbangan : 16,5 g

V. METODE KERJA
5.1 Alat dan Bahan
Alat- alat yang digunakan yaitu :
1) Autoklaf
2) Beaker glass 100 mL
3) Beaker glass 250 mL
4) Corong kaca
5) Erlenmeyer 100 mL
6) Gelas ukur 10 mL
7) Gelas ukur 25 mL
8) Inkubator
9) Kaca arloji
10) Laminar Air Flow
11) Oven
12) Pengaduk kaca
13) Pinset
14) Pipet tetes
15) Spuit
16) Sudip
17) Tabung reaksi
18) Vial
Bahan-bahan yang digunakan yaitu sebagai berikut :
1) Aluminium foil
2) Antalgin
3) Asam salisilat
4) Aquadest
5) Aqua pro injeksi
6) Dinatrium hidrogen fosfat
7) Kertas perkamen
8) Kertas pH
9) Kertas saring
10) Larutan tepol
11) Media agar
12) Metilen blue
13) Natrium salisilat
14) Riboflavin
15) Tioglikolat

5.2 Cara Kerja


5.3 Sterilisasi Alat
1. Menyuci alat-alat yang diperlukan.
2. Menyuci alat-alat dengan tepol , bilas, dan lap hingga kering.
3. Membungkus alat-alat dengan aluminium foil, kemudian memasukkan
ke dalam kertas perkamen.
4. Mensterilkan alat-alat gelas dalam oven dan alat-alat karet dalam
autoklaf.

5.4 Pembuatan Sediaan


5.4.1 Riboflavin
1. Menimbang riboflavin sebanyak 0,275 gram.
2. Menimbang asam salisilat sebanyak 0,175 gram.
3. Menimbang diantrium hidrogen fosfat sebanyak 0,225 gram.
4. Menimbang natrium salisilat sebanyak 3,8 gram.
5. Meleburkan asam salisilat dalam cawan penguap.
6. Melarutkan riboflavin dengan aqua pro injeksi ad 5 mL, kemudian
mencampurkan dengan hasil leburan asam salisilat, aduk ad larut.
7. Menambahkan dinatrium hidrogen fosfat dan natrium salisilat ke
dalam campuran tersebut ad larut.
8. Menambahkan aqua pro injeksi pi ad 45 mL.
9. Menyaring larutan dengan kertas saring.
10. Memasukkan filtrat larutan injeksi riboflavin ke dalam vial 10 mL
sebanyak 5 buah vial.
5.4.2 Antalgin
1. Menimbang antalgin sebanyak 16,5 gram.
2. Melarutkan antalgin dengan aqua pro injeksi ad 5 mL aduk ad larut.
3. Menambahkan dengan aqua pro injeksi ad 45 mL.
4. Menyaring larutan dengan kertas saring.
5. Memasukkan filtrate larutan injeksi antalgin ke dalam vial 10 mL
sebanyak 5 buah vial.
5.4.3 Pembuatan Media Tioglikolat Cair
1. Menimbang tioglikolat sebanyak 6 gram.
2. Memasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml yang sudah ditara 200 ml.
3. Melarutkan media dalam aquadest sebanyak 200 ml, jika perlu
dengan pemanasan sambil diaduk.
4. Memasukkan media yang digunakan untuk uji sterilitas sediaan
injeksi ke dalam tabung reaksi sebanyak @ 10 ml.
5. Menyumbat mulut tabung reaksi dengan kapas.
6. Mensterilisasi media dengan autoklaf pada suhu 121° C selama 15
menit.

5.5 Uji Evaluasi Sediaan


a. Uji kebocoran
1) Metilen blue yang dilarutkan dalam air dimasukkan ke dalam
beaker glass.
2) Kemasan berisi sediaan riboflavin (berwarna kuning) dan antalgin
dimasukkan ke dalam masing-masing beaker glass berisi larutan
metilen blue.
3) Diamati kebocoran sediaan dengan memperhatikan perubahan
warna pada cairan.
b. Uji pH
1) Kertas pH dimasukkan ke dalam sediaan.
2) Perubahan warna yang dihasilkan setelah kertas dimasukkan
diamati dan disesuaikan pH nya.
c. Uji sterilitas
1) Sediaan sebanyak 1 mL masing-masing dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang telah berisi media agar.
2) Tabung reaksi dimasukkan ke dalam inkubator dan diamati pada
hari ke 3, 5 dan 7.
d. Uji kejernihan
1) Sediaan di dalam kemasan diletakkan di depan kertas putih.
2) Sediaan disinari dari samping.
3) Diamati kejernihan pada sediaan tersebut.

VI. HASIL
No Perlakuan Uji Hasil Pengamatan Gambar

1 Evaluasi Tidak terjadi kebocoran


kebocoran

2 Evaluasi Sediaan berwarna kuning


kejernihan dan kecoklatan dan tidak ada
warna terdapat partikel (jernih)

Riboflavin
Antalgin

3 Evaluasi sterilisasi Ada terlihat mikroba yang


tumbuh pada hari ke-7

Hari ke 1

Hari ke 3

Hari ke 5
Hari ke 7

4 Uji pH pH yang diperoleh adalah


4

Riboflavin

Antalgin

VII. PEMBAHASAN
Percobaan kali ini adalah pembuatan sediaan steril volume kecil dengan
tujuan agar mahasiswa mampu memahami dan terampil dalam pembuatan
sediaan injeksi dan kontrol kualitas sediaan steril. Sediaan steril volume
kecil yang dibuat pada praktikum ini adalah sediaan injeksi vitamin B6
(Riboflavin) dan injeksi antalgin (metamfiron). Sediaan injeksi harus dibuat
steril bertujuan mencegah terjadinya infeksi oleh mikroorganisme yang
masuk kedalam tubuh lewat sediaan obat yang diinjeksikan. Steril adalah
suatu keadaan bebas dari semua kontaminasi serta pertumbuhan
mikroorganisme baik bentuk vegetatif maupun bentuk spora serta bebas
patogen dan pirogen. Sediaan injeksi dapat diberikan melalui rute subkutan,
intraperitoneal, rute intramusukular dan rute intravena. Sediaan injeksi
memiliki keuntungan yaitu memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan
rute peroral dan ditujukan untuk obat yang tidak stabil pada asam lambung,
mengiritasi lambung dan absorpsinya rendah pada gastrointestinal.
Kerugian sediaan injeksi adalah rasa nyeri saat injeksi obat serta rentang
terjadinya infeksi, perlu keahlian khusus dalam penggunaannya. Sediaan
volume kecil adalah sedian steril dengan volume dibawah 100 ml baik
pemberian single dose atau multiple dose, umumnya larutan steril volume
kecil dimasukkan dalam vial atau ampul.
Langkah pertama pengujian yaitu sterilisasi alat, pertama-tama alat-alat
gelas dan karet direndam menggunakan tepol (desinfektan) bertujuan untuk
membunuh bakteri yang ada pada peralatan, kemudian dicuci bersih dengan
menggunakan air. Alat-alat kemudian dikeringkan dengan menggunakan tisu
dan dibungkus dengan alumunium foil dan kertas perkamen untuk mencegah
adanya bakteri pada peralatan setelah disterilkan. Alat-alat gelas disterilkan
dengan metode pemanasan kering menggunakan oven pada suhu 2000 C
selama 1 jam karena peralatan gelas tahan terhadap pemanasan yang tinggi
sedangkan alat karet disterilkan dengan metode pemanasan basah
menggunakan autoklaf 1210 C selama 30 menit karena alat karet tidak tahan
terhadap pemanasan yang tinggi.
Pembuatan sediaan riboflavin, pertama-tama semua bahan yang
diperlukan ditimbang dengan dilebihkan 10% penimbangannya dari
formulasi yang dibuat. Riboflavin (B2) merupakan zat aktif (vitamin), asam
salisilat sebagai pendapar, natrium salisilat sebagai pendapar dan dinatrium
hidrogen fosfat sebagai pendapar. Pendapar digunakan untuk
mempertahankan pH pada pH 5-6,5 agar riboflavin dalam keadaan stabil.
Asam salisilat dileburkan terlebih dahulu karena asam salisilat sukar larut
dalam air, kemudian riboflavin dilarutkan dalam aqua pro injeksi 5 mL
kemudian dicampur dengan hasil leburan asam salisilat dan diaduk hingga
homogen, kemudian ditambahkan dinatrium hidrogen fosfat dan natrium
salisilat ke dalam campuran tersebut kemudian diaduk hingga larut. Larutan
ditambahkan dengan aqua pro injeksi sebanyak 45 mL sehingga didapatkan
sediaan injeksi riboflavin 50 mL. Larutan kemudian disaring menggunakan
kertas saring untuk memisahkan dari pengotor. Filtrat injeksi riboflavin
dibagi menjadi 5 vial sebanyak 10 mL tiap vial.
Sediaan antalgin, pertama-tama antalgin ditimbang dan dilebihkan
sebanyak 10%. Kemudian antalgin dilarutkan dalam aqua pro injeksi
sebanyak 5 ml diaduk hingga larut. Antalgin diketahui memiliki kelarutan
yang baik dalam air sehingga tidak memerlukan perlakuan khusus.
Kemudian ditambahkan 45 mL aqua pro injeksi sehingga diperoleh larutan
antalgin injeksi 50 ml. Larutan disaring dengan kertas saring untuk
memisahkan pengotor. Filtrat dibagi menjadi 5 vial sebanyak 10 ml tiap
vialnya.
Sediaan yang telah dibuat diuji sterilitas dengan menggunakan media
tioglikolat cair. Tioglikolat ditimbang sebanyak 6 gram, kemudian
dilarutkan dengan aquadest 200 ml. diaduk menggunakan magnetik stirer.
Media tioglikolat cair dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian
disterilisasi menggunakan autoklaf suhu 1210 C selama 15 menit agar media
bebas dari mikroorganisme. Sediaan injeksi yang dibuat kemudian diambil 1
ml dan dimasukkan ke dalam media, kemudian tabung reaksi ditutup dengan
kapas dan alumunium foil. Media diinkubasikan selama 1 minggu dan
diamati pada hari ke1, 3, 4 dan 7. Hasil yang diperoleh pada sediaan injeksi
riboflavin dan antalgin pada hari ke 1, 3, 5 tidak terdapat pertumbuhan
bakteri pada media tioglikolat, namun pada hari ke 7 terdapat pertumbuhan
mikroba yang ditunjukan adanya sedikit endapan pada media tioglikolat
sehingga sediaan yang dibuat tidak memenuhi uji sterilitas.
Evaluasi yang dilakukan adalah uji kebocoran vial, uji pH, uji sterilitas
dan uji kejernihan pada sediaan yang dibuat. Uji kebocoran vial dilakukan
dengan cara vial yang berisi sediaan riboflain (berwarna kuning) dan
antalgin (bening) dimasukkan dalam beaker glass berisi larutan metilen blue.
Kemudian diamati kebocoran sediaan dengan memperhatikan warna
sediaan, jik terdapat kebocoran maka metilen blue akan masuk kedalam vial.
Hasil yang diperoleh vial memenuhi syarat uji kebocoran. Uji pH dilakukan
dengan menggunakan kertas pH yang dimasukkan ke dalam sediaan
kemudian diamati perubahan warna pada kertas pH dan dibandingkan
dengan tabel warna sehingga diketahui pH dari sediaan. Hasil yang
diperoleh pH riboflavin dan antalgin adalah memiliki pH 4. Pengujian
selanjutnya adalah pengujian kejernihan. Kejernihan merupakan indikator
kesterilan sediaan yang dibuat, karena sediaan steril umumnya jernih
(kecuali suspensi). Kejernihan dapat diamati dengan mata langsung atau
menggunakan penyinaran sehingga dapat dilihat kejernihan sediaan. Sediaan
riboflavin yang dibuat jernih dan berwarna kekuningan sedangkan sediaan
antalgin jernih dan berwarna lebih bening. Sediaan steril yang dibuat telah
memenuhi persyaratan uji kebocoran vial, uji kejernihan dan uji pH namun
sediaan steril injeksi riboflavin dan antalgin belum memenuhi persyaratan
uji sterilitas.

VIII. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah:
1. Sediaan steril adalah sediaan yang bebas dari semua kontaminasi serta
pertumbuhan mikrooganisme baik bentuk vegetatif maupun spora serta
bebas dari patogen dan pirogen.
2. Sediaan injeksi merupakan sediaan parenteral yang steril untuk
mencegah terjadinya infeksi dan gejala infeksi pada tubuh.
3. Sediaan volume kecil yang dibuat pada percobaan ini adalah injeksi
riboflavin (B2) dan antalgin (metampiron).
4. Sediaan steril yang dibuat memenuhi syarat uji kebocoran vial, uji
kejernihan sediaan dan uji pH namun tidak memenuhi syarat uji
sterilitas.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas Indonesia


Press. Jakarta.

Kemenkes. 1966. Formularium Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia. Jakarta.

Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri. Global Pustaka Utama.


Yogyakarta.

Rowe, R. C., J. S. Paul & C. O. Sian. 2009. Handbook of Pharmaceutical


Excipients. Pharmaceutical Press. London.

Sweetman, C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference 36th Edition.


Pharmaceutical Press. London.

Tjay, T.H. & K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. PT Elex Media Komputindo.
Jakarta.

USP. 2007. United States Pharmacopeia-National Formulary 30. Mercel dekker.


USA.

Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gadjah Mada University


Press. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai