Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KERAJAAN ACEH

SITI FATIMAH

MADRASAH ALIYAH NEGRI 2

LAMONGAN

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan MAKALAH yang berjudul “Kerajaan Aceh” ini dengan sebaik-
baiknya.

Dalam penyusunan Makalah ini penulis menyadari kalau bnayak kesalahan dalam
pembuatan makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan
proposal ini dan semoga Makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya, Amin.

Lamongan, Mei 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante),
Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari
negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat
hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah
sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar,
khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak
kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho dan Tangse. Seumileuk artinya dataran
yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee
Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah
tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni.
Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang
nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu
menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti
dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma),
yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.
Zainuddin, Tarich Atjeh Dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961),
23. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 2 Luas Aceh menurut
Djawatan Topologi (1913), seluas 1066,2 G.M2 atau 58708 Km2 . Karena letak Aceh di
Selat Malaka yang strategis dengan Teluk Persia dan Benggala maka, menjadi pengaruh
terhadap kemajuan daerah dan penduduknya baik dalam perdangangan dan kebudayaan.
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah
berdiri di provinsi Aceh di Indonesia, Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera
dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam. Menurut Lombard, dalam Hikayat Aceh
mengisahkan munculnya kerajaan Aceh Darussalam sebagai hasil jenis pembauran
pemukiman, yaitu raja-raja dari kedua pemukiman (Mahkota Alam dan Darul Kamal)
yang bergabung dengan mengawinkan anak mereka.
Hikayat Aceh mencatat bahwa Musaffar Shah menjadi raja di Mahkota Alam dan
Inayat Shah menjadi raja di Darul Kamal. Keduannya terus berperang, yang berakhir
dengan kemenangan Musaffar Shah. Tindakan lanjut kemenangan itu, Sultan Musaffar
Shah menyatukan negeri tersebut dalam satu Kesultanan. Hasil gabungan itulah yang
kemudian menjadi Aceh Darussalam.
Kerajaan Islam awal nusantara yang memainkan peranan penting dalam
perkembangan agama dan kebudayaan Islam di Asia Tenggara, terletak di daerah yang
kini disebut propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Samudra Pasai (1272-1450 M) ,
Aceh Darussalam (1516-1700 M) dan Malaka (1400-1511 M) di Semenanjung Malaya.

B. Rumusan Masalah

1. Sebutkan nama-nama kerajaan aceh?


2. Jelaskan letak geografis kerajaan aceh?
3. Jelaskan kondisi keagamaan kerajaan aceh?
4. Jelaskan kondisi ekonomi kerajaan aceh?
5. Jelaskan kondisi politik kerajaan aceh?
6. Jelaskan kondisi sosial dan budaya kerajaan aceh?

C. Tujuan
1. Menyebutkan nama-nama kerajaan aceh
2. Menjelaskan letak geografis kerajaan aceh
3. Menjelaskan kondisi keagamaan kerajaan aceh
4. Menjelaskan kondisi ekonomi kerajaan aceh
5. Menjelaskan kondisi politik kerajaan aceh
6. Menjelaskan kondisi sosial dan budaya kerajaan aceh
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Nama Kerajaan
1. Sultan Ali Mughayat Syah
Seperti Penjelasan yang telah disebutkan Sultan Ali Mughayat Syah adalah raja
pertama dalam Sejarah Kerajaan Aceh yang memerintah dari tahun 1514 hingga
tahun 1528 M. Pada masa Sultan Ali melakukan perluasan ke beberapa daerah yang
berada di wilayah Sumatera Utara, yaitu daerah Daya dan Pasai, serta mengadakan
serangan kepada wilayah kedudukan Portugis di Malaka dan menyerang kerajaan
Aru. Penyerangan ke wilayah Aru ternyata berdampak kepada wilayah Johor dan
Portugis yang menajdi kekuatan militer wilayah Aru, akan tetapi usaha penyerangan
ini gagal karena tentaranya telah dikalahkan oleh armada Portugis. Sultan ali wafat
pada tahun 1530, sehingga kepemimpinan digantikan oleh putranya yang bernama
Salahuddin.
2. Sultan Salahudin
Masa pemerintahan Sultan Salahudin berawal Setelah wafatnya Sultan Ali
Mughayat Syah rentang kepemimpinan berkisar dari tahun 1530 hingga 1537 M.
Pada masa kepemimpinan Sultan Salahudin kerajaan Aceh mengalami kegoyahan
serta kemunduran sebab Raja tidak mengurus pemerintahan dengan benar sehingga
terjadi pergantian kepemimpinan pada tahun 1537 M di mana sultan Salahudin
digantikan oleh saudaranya yang bernama Sultan Alaudin Riayat Syah.
3. Sultan Alaudin Riayat Syah
Sultan Alaudin Riayat Syah menjadi pemimpin Kerajaan Aceh pada rentang tahun
1537 hingga 1568 M. Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin, Kerajaan mengakami
perkembangan salah satunya Kerajaan aceh menjadi Bandar utama di kawasan Asia
bagi pedagang Muslim mancanegara. Hal ini semakin didukung oleh kondisi Malaka
yang telah direbut Portugis, sehingga para pedagan lebih memilih untuk menghindari
selat Malaka dan berganti rute ke pesisir bagian Barat Sumatera.
Kejadian itu membuat Kerajaan Aceh berada dalam posisi yang strategis serta
menjadi Bandar transit lada dari wilayah Sumatera dan rempah-rempah dari Maluku.
Disisi lain kedudukan yang startegis ini mengalami rintangan sebab Portugis yang
mengetahui hal ini terus melakukan ancaman, sehingga untuk menghadapi perlakuan
dan persaingan terhadap portugis kerajaan Aceh kemudian membangun pasukan
angkatan laut yang kuat, hal ini diwujudkan dengan cara membangun hubungan
diplomatik dengan kerajaan turki ottoman yang dianggap sebagai pemegang
kedaulatan Islam tertinggi saat itu.
4. Sultan Iskandar Muda
Setelah masa kepemimpinan Sultan Alaudin pemerintahan kerajaan aceh
dilanjutkan Oleh Sultan Iskandar Muda seperti yang telah di sebutkan di awal
Pemeirntahan ini menjadi puncak kejayaan kerajaan Aceh. Sultan Iskanda muda
mulai naik tahta pada awal abad ke-17. hal – hal yang dikakukan oleh Sultan iskandar
muda untuk memperkuat posisi Kerajaan Aceh sebagai pusat perdagangan
diantaranya :
a. Merebut pelabuhan penting
Sultan Iskandar Muda melakukan upaya untuk menguasai wilayah di pesisir
barat dan timur Sumatera, seperti wilayah Johor dan Paahang. Hal ini ditujukan
untuk memperluas wilayah kerajaan Aceh serta luasanya wilayah menandakan
kuatnya posisi suatu kerajaan saat itu.
b. Menyerang Kedudukan Portugis
Pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh sempat
melakukan penyerangan terhadap kedudukan Portugis di Malaka serta kapal-
kapal portugis yang melewati wilayah selat Malaka. Dalam penyerangan yang
telah dilakukan pada tahun 1614 Aceh sempat memenangkan perlawanan
terhadap armada Portugis tepatnya di sekitar pulau Bintan.
c. Melakukan hubungan dengan bangsa asing
Sultan Iskandar Muda melakukan bekerjasama dengan berbagai bangsa salah
satu contohnya yaitu kerjasama dengan negara Inggris dan Belanda untuk
membantu dalam upaya perlemahan pengaruh Portugis saat itu, serta hubungan
dengan kerajaan turki.
5. Sultan Iskandar Thani
Setelah masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda berakhir, penguasaan kerajaan
Aceh digantikan oleh Sultan Iskandar Thani. Pada masa kepemimpinannya Sultan
iskandar thani melakukan pembangunan dan kemajuan terhadap kerajaan aceh yang
berbeda dari pemimpin terdahu yang lebih fokus pada pembangunan dalam negeri
daripada pada melakukan politik ekspansi. Hal ini membuat Kerajaan Aceh
mengalami suasana damai karena tidak ada upaya untuk menyerang atau memperluas
wilayah yang sering berakibat dengan adanya perang. Selain itu Pada masa Sultan
Iskandar thani, Hukum yang ditegakkan di kerajaan yaitu hukum yang berdasarkan
syariat Islam, dan bukan semata-mata bergantung pada kekuasaan yang seringkali
berlaku sewenang-wenang. Hubungan terhadap wilayah taklukan pun berjalan baik
dan tidak mementingkan alasan politis dan militer.
Pada Masa kepemimpinan Sultan Iskandar Thani terdapat perhatian kepada
kemajuan studi agama Islam. Dapat dikatakan kajian islam berkembang di kerajaan
Aceh dan hal ini didukung oleh seorang ulama besar dari Gujarat yang
bernama Nuruddin Arraniri, ulama tersebut juga menulis buku tentang sejarah Aceh
berjudul Bustanu’s Salatin.

B. Letak Geografis
Kerajaan Aceh Darussalam mulai awal abad XVI hingga abad XIX (tahun
1873/1874) terletak di ujung sebelah Utara pulau sumatera dan merupakan bahagian
paling utara dan paling barat dari kepulauan Nusantara. Di sebelah Barat terbentang
Samudera Hindia, sebelah timur dan utara terbentang selat Malaka.
Pada masa itu, selat malaka merupakan jalur perdagangan yang ramai dilauli
kapal kapal dari tiongkok dan kepulauan Nusantara ke India. Tempat-tempat strategis di
sepanjang selat malaka, saling berganti sebagai pelabuhan niaga dan tempat mengambil
perbekalan bagi kapal-kapal yang lewat di Selat Malaka.
Selama beberapa abad, Malaka terkenal sebagai pusat niaga tiga jurusan antara
negeri Tiongkok, India, nan negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, Malaka dan
bandar-Bandar di pantai Selat Malaka berfungsi juga sebagai pusat penyebaran agama
Islam yang dilakukan para pedagang Islam yang berasal dari negeri-negeri di Timur
Tengah dan juga dari Gujarat. Muncul dan berkembangnya Kerajaan Aceh Darussalam
pada abad XVI dan XVII dipengaruhi juga oleh letak geografisnya pada jalur pelayaran
selat malaka.

C. Kondisi Keagamaan
Sebagian besar masyarakat Aceh beragama Islam. Oleh karena itu, kehidupan
social masyarakatnya diatur menurut hokum Islam. Golongan ulama menjadi peranan
penting dalam masyarakat. Mereka menjadi pemimpin agama dan penasihat pemerintah.
Pemerintah Aceh sangat memperhatikan pendidikan Agama Islam. Pada saat itu terdapat
lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan
yaitu:
a. Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya
para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
b. Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus
masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
c. Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan
sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu
pendidikannya.
Adapun jenjang pendidikan yang ada adalah sebagai berikut :
a. Meunasah (Madrasah), Terdapat disetiap kampung, berfungsi sebagai sekolah dasar.
b. Rangkang, merupakan masjid sebagai tempat berbagai aktifitas umat termasuk
pendidikan (setingkat Madrasah tsanawiyah)
c. Dayah, Terdapat disetiap daerah ulebalang dan terkadang berpusat di masjid, dapat
disamakan dengan Madrasah Aliyah sekarang.
d. Dayah Teuku Cik, Dapat disamakan dengan Perguruan Tinggi atau akademi. Salah
satu tokoh pendidikan agama Islam yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah
Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran
tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah
Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin.

D. Kondisi Ekonomi
Kerajaan Aceh yang terletak di jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan selat
Malaka, kerjaan Aceh Menfokuskan laju perkembangan perekonomiannnya pada bidang
perdagangan. Pada saat pemerintahan sultan alaudin riayat syah, seperti dijelaskan diatas
Aceh mengalami perkembangan menjadi Bandar utama di Asia bagi para pedagang
mancanegara, seperti Belanda, inggris, arab, Persia, turki.
Kebanyakan komoditas yang diperdagangkan dari Aceh yaitu lada, beras, barang
tambang seperti timah, perak dan emas serta rempah-rempah yang berasal dari Maluku.
Serta di wilayah Aceh terdapat pedagang mancanegara yang menawarkan barang
dagangan dalam hal ini bisa disebut terjadi proses impor, contohnya produk Porselin dan
sutera yang dibawa dari pedagang Jepang dan Cina, dan produk minyak wangi dari
negara Eropa. Selain itu kapal pedagang Aceh aktif melakukan perdagangan hingga
kawasan laut merah.
Kehidupan masyarakat kerajaan Aceh mengenal adanya Struktur sosial yang
terdiri dari empat golongan, yaitu golongan teuku atau kaum bangsawan yang memiliki
kewenangan dalam kekuasaan pemerintahan sipil, kedua yaitu golongan tengku yang
terdiri dari kaum ulama yang berperanan dalam bidang keagamaan, golongan ketiga yairu
hulubalang atau ulebalang terdiri dari para prajurit, dan rakyat biasa. Pebedaan golongan
ini terkadang menimbulkan persaingan hal ini biasa terjadi di kalangan golongan Tengku
dan Teuku.
Selanjutnya Kehidupan budaya selama masa kerajaan Aceh tidak banyak
diketahui Perkembangan kebudayaan yang terlihat nyata adalah bangunan masjid
Baiturrahman yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

E. Kondisi Politik
Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah
melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah
pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang
kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri
dan menentang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah
datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin
berdagang di Aceh.
Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia
berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan
karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil.
Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636,
kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di
wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar,
Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan
oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642.
Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih
mementingkan pembangunan dalam negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa
pemerintahannnya yang singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan
sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan
bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang
pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin
tarekat dari Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan
Iskandar Sani. Maka dari itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan.
Pada masa ini terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan
agama (Teungku).
Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang
sultanah (sultan perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin
Tajul Alam (1641- 1675), janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu
Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat
Syah ini turun fatwa dari Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada
1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali.
Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan
Jawharul Alam Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal
Inggris, Thomas Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah
ditundukkan oleh Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai
Indonesia tengah digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818,
Raffles yang ketika itu berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang
dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi sultan
Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam.
Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London,
Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan
praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat
Sumatera, Belanda kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan
Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh
terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari
Aceh, pria-wanita, di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik
perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi
Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat
bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di
Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia
F. Kondisi Sosial dan Budaya
Selain di bidang perekonomian, pengaruh letak yang strategis membuat
kehidupan sosial budaya di kerajaan Aceh tumbuh pesat. Hal ini disebabkan karena
interaksi dengan orang-orang luar seperti pedagang-pedagang dari Timur Tengah dan
Eropa.
Kehidupan sosial budaya dapat dilihat landasan hukum yang berlaku yang
didasari dari ajaran Islam. Hukum adat ini disebut hukum adat Makuta Alam.
Berdasarkan hukum ini, pengangkatan seorang sultan diatur dengan sedemikian rupa
dengan melibatkan ulama dan perdana menteri.
Sisa-sisa arsitektur bangunan peninggalan kesultanan Aceh keberadaannya tidak
terlalu banyak, disebabkan karena sudah terbakar pada masa perang Aceh. Beberapa
bangunan yang masih tersisa contohnya seperti Istana Dalam Darud Donya yang
sekarang menjadi Pendopo Gubernur Aceh.
Selain istana, beberapa peninggalan yang masih dapat kita lihat sampai sekarang
seperti Masjid Tua Indrapuri, Benteng Indra Patra, Gunongan, Pinto Khop, dan kompleks
pemakaman keluarga kesultanan Aceh.
BAB 3

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante),
Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari
negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat
hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah
sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar,
khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak
kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho dan Tangse. Seumileuk artinya dataran
yang luas.
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah
berdiri di provinsi Aceh di Indonesia, Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera
dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam. Menurut Lombard, dalam Hikayat Aceh
mengisahkan munculnya kerajaan Aceh Darussalam sebagai hasil jenis pembauran
pemukiman, yaitu raja-raja dari kedua pemukiman (Mahkota Alam dan Darul Kamal)
yang bergabung dengan mengawinkan anak mereka.

B. Saran
1. Banyak orang yang tidak mengenalnya. Namanya hilang ditelan zaman sungguh hal
yang sangat menyedihkan, realitas pahlawan wanita hebat yang dilupakan oleh
bangsanya sendiri. Orang lebih mengagungagungkan RA Kartini sebagai pahlawan
emansipasi wanita. Padahal Kartini tidak ada apa-apanya dibandingkan Malahayti.
Padahal dikala wanita-wanita belum mengenal emansipasi, Malahayati justru telah
menjadi seorang laksamana dan mempimpin beribu-ribu pasukan baik Armada Laut
Kerajaan Aceh Darussalam maupun Armada Inong Bale dan ia menjabat pula sebagai
Komandan Protokol Istana, Kepala Rahasia Kerajaan dan Diplomat. Sebuah jabatan
yang sangat hebat yang dijabati oleh seorang perempuan yang sampai saat ini masih
dianggap tabu dijabati oleh seorang wanita.
2. Saran saya agar pemerintah tidak memanipulasi pejuangan para pahlawan wanita dan
berterus terang bahwa terdapat para pahlawan wanita yang memiliki peranan yang
sangat besar bagi Indonesia. Aneh rasanya sangat minim sekali literatur yang ditulis
oleh penulis Indonesia yang membahas tentang Malahayati tetapi begitu banyak
kisahnya ditulis oleh penulis- penulis barat dengan memuji-muji sang laksamana.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/11931943/SEJARAH_KERAJAAN_ACEH

https://sejarahlengkap.com/indonesia/kerajaan/sejarah-kerajaan-aceh

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh

Anda mungkin juga menyukai