LEPTOSPIROSIS
A. Definisi
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh salah satu dari
spirochete patogenik dari family Leptospiraceae. Penyakit ini disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interrogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya.
Manusia terinfeksi oleh hewan carrier seperti tikus dan hewan ternak. Penyakit ini pertama
kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 . Bentuk beratnya dikenal sebagai Weil’s
disease. (Gantz et.al, 2006)
Penyakit ini umumnya ringan namun juga bisa menjadi berat akibat dari bakteremia
yang mempengaruhi pembuluh darah kecil. Perubahan transien pada fungsi ginjal sering
dijumpai, umumnya membaik dalam 3 sampai 6 minggu. Pemeriksaan laboratorium
adalah penting karena gambaran klinis tidak patognomonik.
B. Epidemiologi
Pada daerah endemik leptospira akut bisa terjadi pada 5-20% populasi yang terpapar
setiap tahunnya, penapisan serologis pada pasien meningitis aseptik dan uveitis bisa
menunjukkan leptospira dan antibodi (bisa ditunjukkan selama 2 sampai 10 tahun dari
masa infeksi) bisa didapatkan 20 sampai 80%. Leptospira bisa terdapat pada binatang
peliharaan seperti anjing, lembu, babi kerbau maupun binatang liar seperti tikus, musang,
tupai , dll. Penyakit ini dapat berjangkit pada laki-laki dan wanita semua umur, namun
lebih banyak mengenai laki-laki dewasa muda. Leptospirosis tersebar di seluruh dunia,
namun terbanyak di dapati di daerah tropis. Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.1-6
Penularan langsung terjadi melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang
mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu, dari hewan ke manusia
merupakan penyakit akibat pekerjaan, dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat
terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen, atau dari ibu penderita leptospira
ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu. Penularan tidak langsung terjadi melalui
genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.11
Faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung/terpajan air dan rawa
yang terkontaminasi yaitu : kontak dengan air yang terkontaminasi kuman leptospira/urin
tikus saat banjir, pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung, mencuci atau mandi di
danau, peternak yang terpajan, tukang kebun, petani tanpa alas kaki di sawah, pekerja
potong hewan, tukang daging, pembersih selokan, pekerja tambang, pemancing ikan dan
pekerja tambak, anak yang bermain di genangan air atau rawa, tempat rekreasi air tawar,
petugas laboratorium yang memeriksa spesimen leptospira serta petugas kebersihan di
rumah sakit.11
C. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira. Genus leptospira terdiri dari 2
kelompok atau kompleks, yaitu patogen linterrogans, dan yang non patogen atau saprofit
L.biflexa. Kelompok patogen terdapat pada hewan dan manusia. Ciri khas dari organisme
ini yakni terbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 cm dengan spiral yang sangat halus,
lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu ujung organisme sering membengkat, membentuk suatu
kait terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan flagella. SP irochaeta ini halus,
sehingga dalam mikroskopis lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus
kecil-kecil dengan pemeriksaan lapangan redup mikroskopis biasa morfologi lekospira
secara vibum dapat dilihat. Lepto spina membutuhkan media dan kondisi yang khusus
untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk membuat kultur yang
positif dengan mediaum Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik.
Kelompok yang patogen terdiri atas sub group yang masing-masing terbagi atas
berbagai serotipe yang jumlanya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan lebih dari 240
serotipe yang tergabung dalam 23 sergrup, diantaranya yang dapat menginfeksi manusia
adalah licterohaemorhagiae, L.Javanika, L.celledoni, L.canicola, L.ballum, L.pyrogeres,
Lcynopterl, L.automnalis, L.australis, L.pomona, L.gripothyphosa, L.hepdomadis,
L.batakae, L.tardssovi, L.panaka, L.anadamena (shermani), L.rananum, L.bufonis,
L.copenhageni. Menurut para peneliti yang sering menginfeksi manusia adalah Lictero
haemorrhagieae dengan reservoir tikus, L.canicola dengan reservoir anjing, dan
L.pomona dengan reservoirnya sapi dan babi.
D. Cara Penularan
Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne
disease). Urin dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama
penularan, baik pada manusia maupun pada hewan. Kemampuan Leptospira untuk
bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu factor penentu utama ia dapat
menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan membantu penyebaran
penyakit ini, terutama di daerah banjir . Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi
kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan
penyebaran di dalam aliran darah induk semang.
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir.
Keadaan banjir dapat menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya
genengan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur serta banyak timbunan sampah yang
menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa
banjir kemudian masuk ketubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput
lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar
utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya
reproduksi tinggi.
Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang
Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus. Bentuk
penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak
langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput
lender (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di kulit, mulut, cairan urin, kontak
seksual dan cairan abortus (gugur kandungan) Penularan dari manusia ke manusia jarang
terjadi.
G. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mendukung penegakan
diagnosis dan tingkat keterlibatan organ pada infeksi leptospirosis, diantaranya adalah:3,7
1. Pemeriksaan darah lengkap
Pada pemeriksaan DL dapat ditemukan leukositosis dengan shift to the left serta
peningkatan laju endap darah (LED). Adanya perdarahan pada paru atau organ lain
dapat memberikan gambaran anemia. Trombositopenia adalah satu pemeriksaan yang
umum ditemukan pada infeksi trombosit, walaupun adanya trombositopenia tidak
berarti terjadi koagulasi intravaskular diseminata. Pada pasien dengan penyakit Weil’s
dengan keterlibatan ginjal dapat ditemukan peningkatan kadar ureum serta kreatinin
darah. Kadar bilirubin juga dapat meningkat sebagai akibat obstruksi pada level
intrahepatik. Kadar alkalin fosfatase juga dapat meningkat hingga 10 kali lipat.
2. Urinalisis
Pada urinalisa dapat ditemukan proteinuria. Pada pemeriksaan mikroskopis dapat
ditemukan leukosit, eritrosit, serta sedimen hyaline maupun sedimen granular.
3. Pemeriksaan radiologis
Foto thoraks dilakukan untuk melihat keterlibatan paru pada penyakit Weil’s.
Ultrasonografi (USG) abdomen juga dapat dilakukan untuk melihat adanya
kolesistitis.
4. Pemeriksaan serologis
Antibodi antileptospira dapat dideteksi dengan menggunakan tes aglutinasi
mikroskopik (MAT) meskipun ketersediaannya saat ini masih terbatas. Selain MAT,
pemeriksaan serologis lain seperti ELISA IgM atau SAT juga dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis.
5. Mikroskop lapang gelap
Ditemukannya spiroketa dengan mikroskop lapang gelap dapat membantu penegakan
diagnosa leptospirosis. Meskipun pemeriksaan penunjang dapat membantu penegakan
diagnosis leptospirosis, diagnosis definitif leptospirosis dilakukan dengan penemuan
organisme dalam isolasi kultur dalam medium semisolid (misal; medium EMJH
Fletcher) ataupun dengan pemeriksaan lapang gelap, tes serologis, dan deteksi DNA
spesifik dengan PCR.3,7
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding leptospirosis akut tergantung pada fase dalam perjalanan penyakitnya.
Pada fase akut ketika gejala yang dominan adalah demam dan mialgia, diagnosis banding
leptospirosis antara lain seperti influenza, malaria, infeksi virus seperti dengue atau
chikungunya. Pada fase berat, penyakit Weil’s diagnosis banding dapat berkembang
menjadi malaria, demam tifoid atau hepatitis viral dengan berbagai macam keterlibatan
organ.7
H. Penatalaksanaan
Beberapa antibiotik memiliki aktivitas anti Leptospira seperti ditunjukan pada tabel 1.
Durasi pengobatan 10-14 hari. Apabila pasien mengalami Leptospirosis sedang/berat
dengan keterlibatan organ, misalnya ginjal, maka penatalaksanaan komplikasi harus
dilakukan sesuai dengan organ yang terlibat, misalnya hemodialisa, transfusi darah,
bahkan jika diperlukan perawatan di ruang rawat intensif (ICU).7
I. Pencegahan
Tidak terdapat vaksin yang tersedia untuk mencegah infeksi leptospirosis. Salah satu
langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan antibiotik
profilaksis dengan doksisiklin 200 mg per oral seminggu sekali.3 Doksisiklin 200 mg
setiap minggu dapat digunakan untuk pencegahan leptospirosis dengan efektivitas hingga
95% dan direkomendasikan pada orang yang diperkirakan terpajan dalam jangka waktu
tertentu. Hindari paparan dari air seni dan jaringan hewan terinfeksi, vaksinasi hewan
peliharaan dan hewan ternak, eradikasi hewan liar reservoar. 4
Yang pekerjaannya menyangkut binatang:
• Tutupilah luka dan lecet dengan balut kedap air.
• Pakailah pakaian pelindung misalnya sarung tangan, pelindung atau perisai mata,
jubah kain dan sepatu bila menangani binatang yang mungkin terkena, terutama jika
ada kemungkinan menyentuh air seninya.
• Pakailah sarung tangan jika menangani ari-ari hewan, janinnya yang mati di dalam
maupun digugurkan atau dagingnya.
• Mandilah sesudah bekerja dan cucilah serta keringkan tangan sesudah menangani apa
pun yang mungkin terkena.
• Jangan makan atau merokok sambil menangani binatang yang mungkin terkena. Cuci
dan keringkan tangan sebelum makan atau merokok.
• Ikutilah anjuran dokter hewan kalau memberi vaksin kepada hewan.
Untuk yang lain:
• Hindarkanlah berenang di dalam air yang mungkin dicemari dengan air seni binatang.
• Tutupilah luka dan lecet dengan balut kedap air terutama sebelum bersentuhan dengan
tanah, lumpur atau air yang mungkin dicemari air kencing binatang.
• Pakailah sepatu bila keluar terutama jika tanahnya basah atau berlumpur.
• Pakailah sarung tangan bila berkebun.
B. Rencana Keperawatan
No Tujuan dan Criteria Hasil
Diagnosa Keperawatan Intervensi (NIC)
(NOC)
1 Hipertermia berhubungan NOC : Thermoregulation NIC :
denganpeningkatan Kriteria Hasil : Fever treatment
metabolisme tubuh, proses Suhu tubuh dalam rentang
§ Monitor suhu sesering mungkin
penyakit normal § Monitor IWL
Nadi dan RR dalam rentang
§ Monitor warna dan suhu kulit
normal § Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Tidak ada perubahan warna
§ Monitor penurunan tingkat kesadaran
kulit dan tidak ada pusing,
§ Monitor WBC, Hb, dan Hct
merasa nyaman § Monitor intake dan output
§ Berikan anti piretik
§ Berikan pengobatan untuk mengatasi
penyebab demam
§ Selimuti pasien
§ Lakukan tapid sponge
§ Berikan cairan intravena
§ Kompres pasien pada lipat paha dan
aksila
§ Tingkatkan sirkulasi udara
§ Berikan pengobatan untuk mencegah
terjadinya menggigil
Temperature regulation
§ Monitor suhu minimal tiap 2 jam
§ Rencanakan monitoring suhu secara
kontinyu
§ Monitor TD, nadi, dan RR
§ Monitor warna dan suhu kulit
§ Monitor tanda-tanda hipertermi dan
hipotermi
§ Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
§ Selimuti pasien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh
§ Ajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas
§ Diskusikan tentang pentingnya
pengaturan suhu dan kemungkinan
efek negatif dari kedinginan
§ Beritahukan tentang indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan emergency
yang diperlukan
§ Ajarkan indikasi dari hipotermi dan
penanganan yang diperlukan
§ Berikan anti piretik jika perlu
Gantz NM, Brown RB, Berk SL, Myers JW. Leptospirosis. In : Manual of Clinical Problems
in Infectious Disease. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins, 2006 : 311-3
Hickey W.P, Demers D, Leptospirosis 2006. available at : http//www.emedicine.com.
Downloaded on 4 July 2007.
Levett Paul N. Leptospirosis. Clin. Microbial. Reviews 2001; University of the West Indies,
School of Clinical Medicine & Research, and Leptospira Laboratory, Ministry of
Health, Barbados. Vol. 14(2):296-326
Mc Kenzie DJ. Leptospirosis in Human. available at : http//www.emedicine.com.
Downloaded on 4 July 2007.
Meites E, Jay MT, Deresinski S, Shieh WJ, Zaki SR, Reemerging leptospirosis, California. In
: Emerging Infectious Disease 2004 ; 10 (3) : 406-11. Available at
http://www.cdc.gov/eid
Pohan H. Gambaran klinis dan laboratoris leptospirosis di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dan RS Persahabatan, Jakarta . Majalah kedokteran Indonesia Vol : 50 Nomor : 2
Februari 2000
Pohan H. Kasus Leptospirosis di Jakarta. Dalam : Current Diagnosis and Treatment in
Internal Medicine 2003. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 2003: 68-75.
Soetanto T, Soeroso S, Ningsih S. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI. 2004
Speelman P. Leptospirosis. In : Braunwauld E, Kasper D, Fauci A, etc. Harrison’s Principles
of Internal Medicine,16th ed. New York : McGraw-Hill, 2005 : 988-991
Tanomkiat W, Poosawat P. Pulmonary radiographic findings in 118 leptospirosis patients.
Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2005; 36 : 1247-51
Thanachai Panaphut, Somnuek Domrongkitchaiporn,Asda Vibhagool, Bandit Thinkamrop,
Wattanachai Susaengrat. Ceftriaxone Compared with Sodium Penicillin G for
Treatment of Severe Leptospirosis. Clinical Infectious Diseases 2003; 36:1507–13
Zein U . Leptospirosis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006 : 1845-8
Zulkarnain I. Management of leptospirosis, recent development. Dalam : Current Diagnosis
and Treatment in Internal Medicine 2003. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2003: 76-81