BAB II
PEMBAHASAN
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,
berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera
terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian
banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani
akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu
manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( ≤ usia 28 hari) membutuhkan
pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang
mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).
2. Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan
Kasus kegawatdaruratan obstetri ialah kasus yang apabila tidak segera ditangani akan
berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinya. Kasus ini menjadi
penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir. Secara umum terdapat 4 penyebab
utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir dari sisi obstetri, yaitu (1) perdarahan; (2)
infeksi sepsis; (3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; dan (4) persalinan macet (distosia).
Persalinan macet hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung, sedangkan ketiga penyebab
yang lain dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan, dan masa nifas. Kasus perdarahan yang
dimaksud di sini adalah perdarahan yang diakibatkan oleh perlukaan jalan lahir mencakup
juga kasus ruptur uteri. Selain keempat penyebab kematian tersebut, masih banyak jenis
kasus kegawatdaruratan obstetrik baik yang terkait langsung dengan kehamilan dan
persalinan, misalnya emboli air ketuban, kehamilan ektopik, maupun yang tidak terkait
langsung dengan kehamilan dan persalinan, misalnya luka bakar, syok anafilaktik karena obat
cukup luas.
1. Kasus perdarahan, dapat bermanifestasi mulai dari perdarahan berwujud bercak merembes,
2. Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan pervagianam
pusing kepala, bengkak, penglihatan kabur, kejang-kejang, sampai koma/pingsan/ tidak sadar.
4. Kasus persalinan macet, lebih mudah dikenal apabila kemajuan persalinan tidak berlangsung
sesuai dengan batas waktu yang normal, tetapi kasus persalinan macet ini dapat merupakan
pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat manifestasi klinik kasus
kegawatdaruratan obstetri yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, mengenal
kasus tersebut tidak selalu mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan, kemampuan daya
pikir dan daya analisis, serta pengalaman tenaga penolong. Kesalahan ataupun kelambatan
dalam menentukan kasus dapat berakibat fatal. Dalam prinsip, padad saat menerima setiap
kasus yang dihadapi harus dianggap gawatdarurat atau setidak-tidaknya dianggap berpotensi
gawatdarurat, sampai ternyata setelah pemeriksaan selesai kasus itu ternyata bukan kasus
gawatdarurat.
(diagnosa) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang
tidak panik, walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam
kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun prosedur
pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan
antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap diperhatikan.
3. Kegawatdaruratan Maternal
3.1.Perdarahan Postpartum
sebanyak 500 mL atau lebih setelah selesainya kala III. Oleh karena itu, wanita melahirkan
secara pervaginam mengeluarkan darah sebanyak itu atau lebih, ketika diukur secara
kuantitatif. Hal ini dibandingkan dengan kehilangan darah sebanyak 1000 mL pada sectio
cesaria, 1400 mL pada histerektomi cesaria elektif, dan 3000 sampai 3500 mL untuk
histerektomi cesaria emergensi (Chestnut dkk, 1985; Clark and colleagues, 1984).
pada persalinan pervaginam dan sectio cesaria. Meskipun beberapa penelitian mengatakan
persalinan normal seringkali menyebabkan perdarahan lebih dari 500 mL tanpa adanya suatu
gangguan pada kondisi ibu. Hal ini mengakibatkan penerapan definisi yang lebih luas untuk
mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik jika tidak diterapi. Kehilangan darah lebih dari
1000 mL dengan persalinan pervaginam atau penurunan kadar hematokrit lebih dari 10% dari
meningkatkan volume darah 30 – 60 %, dimana pada rata-rata wanita sebesar 1-2 L (Pitchard,
1965). Wanita tersebut akan mentoleransi kehilangan darah, tanpa ada perubahan kadar
hematokrit postpartum, karena kehilangan darah pada saat melahirkan mendekati banyaknya
a. Perdarahan post partum primer, bila perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Perdarahan post partum sekunder, bila perdarahan terjadi setelah 24 jam pertama hingga 6
3.1.2. Epidemiologi
3.1.2.1.Insiden
Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada
kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan
Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal hal
ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi,
3.1.3. Etiologi
dimana korpus uteri tidak berkontraksi dengan baik, mengakibatkan perdarahan yang terus
b) Kelelahan uterus (misalnya pada percepatan atau persalinan yang lama, amnionitis)
c) Obstruksi uterus (misal pada retensio plasenta atau bagian dari janin, plasenta akreta)
Penyebab terbanyak kedua adalah trauma uterus, servik dan/atau vagina. Faktor resiko
d) Episiotomi
Gangguan koagulasi dan trombositopenia, yang terjadi sebelum atau pada saat kala II
pelvis. Hematom ini dapat diraba dan seharusnya diduga bila tanda vital pasien tidak stabil
ada penelitian yang menunjukkan hubungan antara tarikan pada tali pusat dan inverse urteri,
meskipun banyak praktisi klinis mengindikasikan bahwa hubungan tersebut dapat terjadi.
Ruptur uteri dapat dihubungkan dengan perdarahan pervaginam yang sedikt tetapi
harus dipertimbangkan bila terjadi nyeri abdomen yang hebat dan hemodinamik yang tidak
stabil.
a) Preeklampsia
Atonia uteri dan kegagalan kontraksi dan relaksasi miometrium dapat mengakibatkan
perdarahan yang cepat dan massif dan hipovolemik syok. Uterus yang terlalu meregang baik
absolute maupun relative, adalah factor resiko mayor untuk atonia uteri. Uterus yang terlalu
abnormalitas janin ( misalnya hidrosefalus berat); suatu struktur uteri yang abnormal; atau
gangguan persalinan plasenta atau distensi dengan perdarahan sebelum plasenta dilahirkan.
persalinan yang lama atau percepatan persalinan, khususnya jika distimulasi. Dapat juga
merupakan hasil dari inhibisi kontraksi oleh obat seperti anestesi halogen, nitrat, AINS,
MgSO4, beta-simpatomimetik, dan nifedipin. Penyebab lain plasenta letak rendah, toksin
Trauma dapat terjadi pada persalinan yang lama dan sulit, khususnya jika pasien
memiliki CPD ( cefalopelvic disproportion) relatif atau absolute dan uterus telah distimulasi
risiko terjadinya trauma. Trauma juga dapat terjadi pada manipulasi janin intra maupun ekstra
uterin. Risiko yang paling besar mungkin dihubungkan dengan versi internal dan ekstraksi
pada kembar kedua; bagaimanapun, ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat versi eksternal.
Akhirnya, trauma mengakibatkan usaha untuk mengeluarkan retensi plasenta secara manual
atau dengan menggunakan instrument. Uterus harus selalu berada dalam kendali dengan cara
meletakkan tangan di atas abdomen pada prosedur tersebut. Injeksi salin/oksitosin intravena
serviks harus diinspeksi pada persalinan tersebut. Persalinan per vaginam dengan bantuan
(forceps atau vakum) tidak boleh dilakukan tanpa adanya pembukaan lengkap. Laserasi
servikal dapat terjadi secara spontan. Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat menahan untuk
tidak mengedan sebelum terjadi dilatasi penuh dari serviks. Terkadang eksplorasi manual
atau instrumentasi dari uterus dapat mengakibatkan kerusakan serviks. Sangat jarang, serviks
sengaja diinsisi pada posisi jam 2 dan/atau jam 10 untuk mengeluarkan kepala bayi yang
Laserasi dinding vagina sering dijumpai pada persalinan pervaginam operatif, tetapi
hal ini terjadi secara spontan, khususnya jika tangan janin bersamaan dengan kepala. Laserasi
dapat terjadi pada saat manipulasi pada distosia bahu. Trauma vagina letak rendah terjadi
yang lengkap mengakibatkan retraksi yang berkelanjutan dan oklusi pembuluh darah yang
optimal.
Retensi plasenta lebih sering bila plasenta suksenturiata atau lobus aksesoris. Setelah
plasenta dilahirkan dan dijumpai perdarahan minimal, plasenta harus diperiksa apakah
preterm yang ekstrim (khususnya < 24 minggu), dan perdarahan yang hebat dapat terjadi. Ini
harus dijadikan pertimbangan pada persalinan pada awal kehamilan, baik mereka spontan
melaporkan retensio plasenta membutuhkan dilatasi dan kuretase dari 3.4 % misoprostol oral
2005).
Kegagalan pelepasan menyeluruh dari plasenta terjadi pada plasenta akreta dan
variannya. Pada kondisi ini plasenta lebih masuk dan lebih lengket. Perdarahan signifikan
yang terjadi dari tempat perlekatan dan pelepasan yang normal menandakan adanya akreta
sebagian. Akreta lengkap dimana seluruh permukaan plasenta melekat abnormal, atau masuk
lebih dalam (plasenta inkreta atau perkreta), muungkin tidak menyebabkan perdarahan masif
secara langsung, tapi dapat mengakibatkan adanya usaha yang lebih agresif untuk
melepaskan plasenta. Kondisi seperti ini harus dipertimbangkan jika plasenta terimplantasi
pada jaringan parut di uterus sebelumya, khususnya jika dihubungkan dengan plasenta previa.
perdarahan post partum yang berat, termasuk kemungkinan dibutuhkannya transfuse dan
histerektomi. Darah mungkin dapat menahan uterus dan mencegah terjadinya kontraksi yang
efektif.
d. Trombosis
Pada awal periode postpartum, gangguan koagulasi dan platelet biasanya tidak selalu
mengakibatkan perdarahan yang massif, hal ini dikarenakan adanya kontraksi uterus yang
mencegah terjadinya perdarahan (Baskett,1999). Fibrin pada plasenta dan bekuan darah pada
pembuluh darah berperan pada awal masa postpartum, gangguan padahal ini dapat
menyebabkan perdarahan postpartum tipe lambat atau eksaserbasi perdarahan karena sebab
berhubungan dengan penyakit lain yang menyertai, seperti ITP atau HELLP sindrom
(hemolisis, peningkatan enzim hati, dan penurunan platelet), abruptio plasenta, DIC, atau
sepsis. Kebanyakan hal ini terjadi bersamaan meskipun tidak didiagnosa sebelumnya.
3.1.4. Patofisiologi
Dalam masa kehamilan, volume darah ibu meningkat kurang lebih 50% (dari 4 L
menjadi 6 L). Volume plasma meningkat melebihi jumlah total sel darah merah, yang
darah digunakan untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta dan persiapan
Diperkirakan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 mL/menit, yang berarti 10-
15% dari curah jantung. Kebanyakan dari aliran ini melewati plasenta yang memiliki
resistensi yang rendah. Pembuluh darah uterus menyuplai sisi plasenta melewati serat
miometrium. Ketika serat ini berkontraksi pada saat persalinan, terjadi retraksi miometrium.
Retraksi merupakan karakteristik yang unik pada otot uterus untuk melakukan hal tersebut
serat memendek mengikuti tiap kontraksi. Pembuluh darah terjepit pada proses kontraksi ini,
dan normalnya perdarahan akan terhenti. Hal ini merupakan ’ligasi hidup’ atau ’jahitan
Atonia uteri adalah kegagalan otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan
beretraksi. Hal ini merupakan penyebab penting dari Perdarahan post partum dan biasanya
terjadi segera setelah bayi dilahirkan hingga 4 jam setelah persalinan. Trauma traktus
genitalia (uterus, serviks, vagina, labia, klitoris) pada persalinan mengakibatkan perdarahan
yang lebih banyak dibandingkan pada wanita yang tidak hamil karena adanya peningkatan
suplai darah terhadap jaringan ini. Trauma khususnya berhubungan dengan persalinan, baik
3.1.5.1.Anamnesa
Selain menanyakan hal umum tentang periode perinatal, tanyakan tentang episode
perdarahan postpartum sebelumnya, riwayat seksio sesaria, paritas, dan riwayat fetus
gandaatau polihidramnion.
a) Tentukan jika pasien atau keluarganya memiliki riwayat gangguan koagulasi atau perdarahan
blocker) atau penyakit jantung ( missal digoxin, warfarin). Informasi ini penting jika
dilaksanakan dengan cepat sebelum terjadi sekuele dari hipovolemia yang berat.
3.1.6.1.Laboratorium
a) Darah Lengkap
c) Kadar fibrinogen diperiksa untuk menilai adanya konsumtif koagulopati. Kadarnya secara
normal meningkat dari 300-600 pda kehamilan, pada kadar yang terlalu rendah atau dibawah
3.1.6.2.Pemeriksaan Radiologi
a) USG dapat membantu menemukan abnormalitas dalam kavum uteri dan adanya hematom.
Tes D-dimer (tes monoklonal antibodi) untuk menentukan jika kadar serum produk
3.1.7. Manajemen
pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ – organ penting. Pantau terus perdarahan,
Pastikan dua kateler intravena ukuran besar (16) untuk memudahkan pemberian
cairan dan darah secara bersamaan apabila diperlukan resusitasi cairan cepat.
2. Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell
3. Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urin (dikatakan perfusi cairan ke
1) Atonia uteri
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di fundus uteri dan
lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina. Apabila terus
teraba lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu dilakukan massase yang lebih keras
dan pemberian oxytocin. Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah kontraksi uterus
masih berlanjut, letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan tangan yang satunya
dimasukkan lewat jalan lahir dan ditekankan pada fornix anterior. Pemberian uterotonica
jenis lain dianjurkan apabila setelah pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal
2) Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual
ahli menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general
anestesi kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama
dilakukan eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual ulang tanpa
Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi dan manual removal.
Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah berkontraksi
dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari
perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi penjahitan setelah
diketahui sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir
hematom sangat besar curigai sumber hematom karena pecahnya arteri, cari dan lakukan
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri, sisa plasenta dan
perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik mak kecurigaan penyebab
perdarahan adalah gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian produk darah
pengganti ( trombosit,fibrinogen).
4. Kegawatdaruratan Neonatal
4.1.1. Definisi
Hipotermia adalah suatu kondisi di mana mekanisme tubuh mengatasi tekanan suhu
dingin. Hipotermia juga dapat didefinisikan sebagai suhu bagian dalam tubuh di bawah 35
°C. Tubuh manusia mampu mengatur suhu pada zona termonetral , yaitu antara 36,5-37,5 °C.
Di luar suhu tersebut, respon tubuh untuk mengatur suhu akan aktif menyeimbangkan
produksi panas dan kehilangan panas dalam tubuh. (Rukiyah dkk, 2010:283 ).
Bayi Hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Adapun suhu
normal bayi adalah 36,5-37,5 ºC (Suhu axila). Gejala awal hipotermi apabila suhu awal <36
ºC atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi
sudah mengalami hipotermi sedang (suhu 32-36ºC). Disebut hipotermi berat bila suhu <32
ºC, diperlukan termometer ukuran rendah (low reading thermometer ) yang dapat mengukur
sampai 25 ºC.
Hipotermia dapat terjadi dengan cepat pada bayi yang sangat kecil atau bayi yang
diresusitasi atau dipisahkan dari ibu, dalam kasus-kasus ini suhu dapat cepat turun <35˚C (
Hipotermi pada BBL adalah suhu di bawah 36,5 ºC, yang terbagi atas : hipotermi
ringan (cold stres) yaitu suhu antara 36-36,5 ºC, hipotermi sedang yaitu antara 32-36ºC, dan
Menurut (Yunanto, 2008:42) penurunan suhu tubuh dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
4.1.3. Diagnosis
pengukuran suhu baik suhu tubuh atau kulit bayi. Pengukuran suhu ini sangat bermanfaat
sebagai salah satu petunjuk penting untuk deteksi awal adanya suatu penyakit, dan
pengukuranya dapat dilakukan melalui aksila, rektal atau kulit. Melalui aksila merupakan
prosedur pengukuran suhu bayi yang dianjurkan, oleh karena mudah, sederhana dan aman.
Tetapi pengukuran melalui rektal sangat dianjurkan untuk dilakukan pertama kali pada semua
BBL, oleh karena sekaligus sebagai tes skrining untuk kemungkinan adanya anus
imperforatus. Pengukuran suhu rektal tidak dilakukan sebagai prosedur pemeriksaan yang
4.1.4. Etiologi
Perinatal adalah bayi yang baru mengalami proses kelahiran dan harus menyesuaikan
diri dari kehidupan intera uterin ke kehidupan ekstra uterin selama 28 hari. Empat aspek
transisi pada bayi baru lahir dimasa perinatal yang cepat berlangsung adalah sistem
2010:2).
c. bayi baru lahir tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan,
g. distress pernapasan,
h. sepsis
i. pada bayi prematur atau bayi kecil memiliki cadangan glukosa yang sedikit.
a) Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dengan sempurna
b) Permukaan tubuh bayi relatif lebih luas
d) Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakainnya agar dia tidak kedinginan
e) Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan, seperti lingkungan dingin,
basah, atau bayi yang telanjang,cold linen, selama perjalanan dan beberapa keadaan seperti
mandi, pengambilan sampel darah, pemberian infus, serta pembedahan. Juga peningkatan
f) Ketidaksanggupan menahan panas, seperti pada permukaan tubuh yang relatif luas, kurang
dan tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas yang lebih besar pada
BBLR.
g) Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat, misalnya
bayi preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem syaraf pusat sehubungan dengan
Hipotermi dapat terjadi setiap saat apabila suhu disekelilingi bayi rendah dan upaya
mempertahankan suhu tubuh tidak di terapkan secara tepat,terutama pada masa stabilisasi
Untuk memfungsikan otak memerlukan glukosa dalam jumlah tertentu. Pada BBL
jumlah glukosa akan turun dalam waktu cepat. BBL yang tidak dapat mencerna glukosa dari
glikogen dalam hal ini terjadi bila bayi mempunyai persediaan glikogen cukup yang disimpan
dalam hati. Koreksi penurunan kadar gula darah dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) melalui
penggunaan ASI, (2) melalui penggunaan cadangan glikogen, (3) melalui pembuatan glukosa
melalui beberapa mekanisme, yang berkaitan dengan kemampuan tubuh untuk menjaga
Hal ini dapat disebabkan kegagalan dalam sistem endokrin dan terjadi penurunan basal
metabolisme tubuh, sehingga timbul proses penurunan produksi panas, misalnya pada
Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan panas.
1) Konduksi
Perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedan suhu antara kedua obyek.
Kehilangan panas terjadi saat terjadi kontak langsung antara kulit BBL dengan permukaan
yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas terjadipada BBL yang berada pada
2) Konveksi
Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaankulit bayi dan
aliran udara yang dingin di permukaan tubuh bayi. Sumber kehilangan panas disini dapat
berupa: inkubator dengan jendela yang terbuka,atau pada waktu proses transportasi BBL ke
rumah sakit.
3) Radiasi
Perpindahan suhu dari suatu objek yang dingin, misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat
dikelilingi lingkungan yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu
4) Evaporasi
Panas terbuang akibat penguapan, melalui permukaan kulit dan traktus repiratoris. Sumber
kehilangan panas dapat berupa BBL yang basah setelah lahir,atau pada waktu dimandikan.
3. Kegagalan Termoregulasi
persalinan/post partum, defek neurologik dan paparan obat prenatal (analgesik/anestesi) dapat
menekan respons neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan
mengalami masalah dalam pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau hipertermi.
a. Hipoglikemia-sidosis metabolik
berat
f. Shock
g. Apnea
Menurut (Rukiyah dkk, 2010:287) beberapa ciri jika seorang bayi terkena hipotermi
antara lain :
a. Bayi menggigil (walau biasanya ciri ini tidak mudah terlihat pada bayi kecil)
b. Kulit anak terlihat belang-belang, merah campur putih atau timbul bercak-bercak.
e. Lebih parah lagi jika anak menjadi biru yang bisa dilihat pada bibir dan ujung-ujung jarinya.
Ada prinsip dasar untuk mempertahankan suhu tubuh bayi baru lahir,yaitu.
Bayi lahir dengan tubuh basah oleh air ketuban. Aliran udara melalui jendela/pintu yang
terbuka akan mempercepat terjadinya penguapan dan bayi lebih cepat kehilangan panas
tubuh. Akibatnya dapat timbul serangan dingin (cold stress) yang merupakan gejala awal
hipotermia. Bayi kedinginan biasanya tidak memperlihatkan gejala menggigil oleh karena
kontrol suhunya masih belum sempurna. Hal ini menyebabkan gejala awal hipotermia
seringkali tidak terdeteksi oleh ibu atau keluarga bayi atau penolong persalinan.
Untuk mencengah terjadinya serangan dingin setiap bayi lahir harus segera dikeringkan
dengan handuk yang kering dan bersih (sebaiknya handuk tersebut dihangatkan terlebih
dahulu). Mengeringkan tubuh bayi harus dilakukan dengan cepat.dimulai dari kepala
kemudian seluruh tubuh bayi. Handuk yang basah harus diganti dengan handuk lain yang
b) Setelah tubuh bayi kering segera dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup kepala,kaos
tangan dan kaki. Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu untuk mendapatkan
c) Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat merangsang rooting
d) Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.
g) Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil.
Menurut (Yunanto, 2008:45) kesempatan untuk bertahan hidup pada BBL ditandai
dengan keberhasilan usahanya dalam mencegah hilangnya panas dari tubuh.Untuk itu, BBL
Menurut (Rukiyah dkk, 2010:290) bayi yang mengalami hipotermia biasanya mudah
sekali meninggal. Tindakan yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan bayi di
dalam incubator atau melalui penyinaran lampu. Cara lain yang sangat sederhana dan mudah
dilakukan oleh setiap ibu adalah menghangatkan bayi melalui panas tubuh ibu. Bayi
diletakkan telungkup di dada ibu agar terjadi kontak kulit langsung ibu dan bayi. Untuk
menjaga agar bayi tetap hangat, tubuh ibu dan bayi harus berada di dalam satu pakaian
(merupakan teknologi tepat guna baru) disebut sebagai metoda kangguru. Sebaiknya ibu
menggunakan pakaian longgar berkancing depan. Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan
selimut atau kain hangat yang disetrika terlebih dahulu, yang digunakan untuk menutupi
tubuh bayi dan ibu.Lakukanlah berulang kali sampai tubuh bayi hangat. Biasanya bayi
hipotermia menderita hipoglikemia , sehingga bayi harus diberi ASI sedikit-sedikit sesering
mungkin. Bila bayi tidak menghisap, diberi infus glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kgper hari.
Menurut Agustinayanto (2008) metode kanguru atau perawatan bayi lekat ditemukan
sejak tahun 1983, sangat bermanfaat untuk merawat bayi yang lahir dengan hipotermi baik
selama perawatan di rumah sakit ataupun di rumah. Perawatan bayi dengan metode kanguru
bisa digunakan sebagai pengganti perawatan dengan inkubator. Caranya, dengan mengenakan
popok dan tutup kepala pada bayi yang baru lahir. Kemudian, bayi diletakkan di antara
payudara ibu dan ditutupi baju ibu yang berfungsi sebagai kantung kanguru. Posisi bayi tegak
ketika ibu berdiri atau duduk,dan tengkurap atau miring ketika ibu berbaring. Hal ini
dilakukan sepanjang hari oleh ibu atau pengganti ibu (ayah atau anggota keluarga lain). Suhu
optimal didapat lewat kontak langsung kulit ibu dengan kulit bayi (skin to skin contact). Suhu
ibu merupakan sumber panas yang efisien dan murah. Kontak erat dan interaksi ibu-bayi akan
membuat bayi merasa nyaman dan aman, serta meningkatkan perkembanganpsikomotor bayi
Keuntungan yang di dapat dari metode kanguru bagi perawatan bayi yaitu.
d. Mengurangi stres pada ibu dan bayi. Mengurangi lama menangis pada bayi.
a. Beri bayi pakaian, topi, popok dan kaus kaki yang telah dihangatkan lebih dahulu.
b. Letakkan bayi di dada ibu, dengan posisi tegak langsung ke kulit ibu dan pastikan kepala
bayi sudah terfiksasi pada dada ibu. Posisikan bayi dengan siku dan tungkai tertekuk, kepala
dan dada bayi terletak di dada ibu dengan kepala agak sedikit mendongak.
c. Dapat pula memakai baju dengan ukuran lebih besar dari badan ibu,dan bayi diletakkan di
antara payudara ibu, baju ditangkupkan, kemudian ibu memakai selendang yang dililitkan di
d. Bila baju ibu tidak dapat menyokong bayi , dapat digunakan handuk atau kain lebar yang
elastik atau kantong yang dibuat sedemikian untuk menjaga tubuh bayi.
e. Ibu dapat beraktivitas dengan bebas, dapat bebas bergerak walau berdiri,duduk, jalan, makan
dan mengobrol. Pada waktu tidur, posisi ibu setengah duduk atau dengan jalan meletakkan
f. Bila ibu perlu istirahat, dapat digantikan oleh ayah atau orang lain.
g. Dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan persiapan ibu, bayi, posisi bayi,pemantauan bayi,
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang
terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian
banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan
manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( ≤ usia 28 hari) membutuhkan
pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang
mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).
Kasus kegawatdaruratan obstetri dan noenatal apabila tidak segera ditangani akan
berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinya. Kasus ini menjadi
penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir. Secara umum terdapat 4 penyebab
utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir dari sisi obstetri, yaitu (1) perdarahan; (2)
infeksi sepsis; (3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; dan (4) persalinan macet (distosia).
Terdapat lebih dari ¾ ( tiga perempat) kematian noenatal disebabkan kesulitan bernapas saat
lahir ( asfiksia), infeksi, komplikasi lahir, dan berat badan lahir yang rendah
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kegawatdaruratan Maternal Dan Neonatal
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,
seringkali merupakan kejadian yang berrbahaya (Dorlan, 2011).
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala
berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera
guna menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang
terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian
banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan
bayinya (Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani
akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu
janin dan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002)
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi
dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( ≤ usia 28 hari)
membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi
patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau,
2006).
Penanganan kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat tim
medis yang menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas kesehatan
yang terlatih untuk setiap kasus-kasus kegawatdaruratan.
f. Pemberian Antibiotika
Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada kasus sepsiS, syok
septik, cidera intraabdominal, dan perforasi uterus.
Pada kasus syok, pemberian antibiotika intravena lebih diutamakan sebab lebih cepat
menyebarkan obat ke jaringan yang terkena infeksi. Apabila pemberian intravena tidak
memungkinkan, obat dapat diberikan intramuskular. Pemberian antibiotika per oral diberikan
jika pemberian intra vena dan intramuskular tidak memungkinkan, yaitu jika pasien dalam
keadaan syok, pada infeksi ringan, atau untuk mencegah infeksi yang belum timbul, tetapi
diantisipasi dapat terjadi sebagai komplikasi.
Profilaksis antibiotika adalah pemberian antibiotika untuk pencegahan infeksi pada
kasus tanpa tanda-tanda dan gejala infeksi. Antibiotika diberikan dalam dosis tugngal, paling
banyak ialah 3 kali dosis. Sebaiknya profilaksis antibiotika diberikan setelah tali pusat diklem
untuk menghindari efeknya pada bayi. Profilaksis antibiotika yang diberikan dalam dosis
terapeutik selain menyalahi prinsip juga tidak perlu dan suatu pemborosan bagi si penderita.
Risiko penggunaan antibiotika berlebihan ialah retensi kuma, efek samping, toksisitas, reaksi
alergi, dan biaya yang tidak perlu dikeluarkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal bukanlah merupakan tanggung jawab
petugas kesehatan untuk mengananinya. Namun, dibutuhkan peran serta berbagai pihak
dalam mewujudkan kondisi yang mendukung demi tercapainya keselamatan ibu dan bayi
yang mengalami kegawatan melalui sistem pertolongan yang sinergi, bekerja efektif, efisien,
dan kontinu.
Kasus kegawatdaruratan merupakan hal yang saat ini mendapat perhatian yang begitu
besar. Oleh karena itu, diharapkan seluruh pihak memberikan kontribusinya dalam merespon
kasus kegawatdaruratan ini. Bagi mahasiswa, sudah seyogyanya memberikan peran dengan
mempelajari dengan sungguh-sunggu kasus-kasus kegawatadaruratan dan memaksimalkan
keterampilan dalam melakukan penanganan kegawatdaruratan yang berada dalam koridor
wewenang bidan.
http://desitatrijayanti.blogspot.com/2014/03/penanganan-umum-pada-kondisi.html