Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN INDIVIDU

FOCUS GROUP DISCUSSION


SKENARIO 2
“Layer Periode Produksi Mati Mendadak”

Disusun Oleh :
Nama : VIKA ICHSANIA NINDITYA
NIM : 15/377781/KH/8504

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019

1
I. JUDUL/TOPIK DISKUSI
“Layer Periode Produksi Mati Mendadak”

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


1. Mengetahui karakter penyakit Newcastle Disease dan mampu mendiagnosa
penyakit tersebut di lapangan.
2. Mengetahui berbagai macam penyakit parasit (cacing pita) dari siklus hidup,
penularan, dan diagnosanya.
3. Mengetahui bagaimana cara isolasi dan identifikasi NDV sebagai teknik
diagnosa suatu penyakit.
4. Mengetahui bagaimana cara penanganan kasus NDV dan menyusun suatu
program vaksinasi penyakit ND.
5. Mengetahui bagaiamana cara menyusun program kesehatan bagi ayam petelur
sebagai tindakan pencegahan penyakit cacing dan ND serta program biosekuriti
pada peternakan unggas.

III. SKEMA PEMBELAJARAN

Virus (NDV)
Etiologi
Parasit
(cacing pita)
Patogenesis

Gejala klinis
"Layer Periode
Produksi Mati
Mendadak " Pemeriksan
Diagnosa
laboratorium

Penanganan
Program
vaksinasi
Pencegahan
Biosecurity
IV. TOPIK DISKUSI
A. Karakter Virus Newcastle Disease Beserta Patogenesis dan Gejala Klinis
1. Etiologi
Penyakit Newcastle adalah penyakit unggas menular yang
mempengaruhi banyak spesies unggas domestik dan liar, dan menular ke
manusia. Virus ini pertama kali diidentifikasi di Jawa, Indonesia, pada tahun
1926, dan pada tahun 1927, di Newcastle-upon-Tyne, Inggris (dari mana ia
mendapatkan namanya).

Gambar 1. Struktur Protein dari Paramyxoviruses.

Agen penyebab penyakit ini yaitu Newcastle Disease Virus (NDV),


adalah varian dari avian paramyxovirus 1 (APMV-1), virus RNA single-
stranded. NDV / APMV-1 termasuk dalam genus Avulavirus di keluarga
Paramyxoviridae. Virus NDV memiliki total panjang genom sekitar 15,2 kb
menyandi 6 protein penting, yakni nucleocapsid (N), phosphoprotein (P), matrix
(M), Fusion (F), hemaglutinin-lneuramnidase (HN) dan RNA-dependent RNA
polymerase (L). Ada dua protein penting pada virus ND, yakni HN dan F.
Protein H merupakan protein yang melekat dan mengikat pada reseptor
pada bagian luar membran sel inang, termasuk sel darah merah. Perlekatan virus
ke sel darah merah adalah sifat penting yang digunakan di laboratorium untuk
mendeteksi keberadaan virus dan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus.
Bagian N (neuraminidase) merupakan enzim aktif yang membantu
dalam pelepasan virus dari membran sel inang. Aktivitas enzim ini
mempengaruhi waktu yang dibutuhkan bagi virus untuk mengelusi dari sel
darah merah. Protein F berfungsi untuk fusi antara amplop virus dengan
membran sel inang. Hal ini memungkinkan penetrasi sel inang oleh genom
virus. Pada saat fusi terjadi, bentuk protein fusiasli harus diubah. Perubahan ini
terjadi ketika protease inang membelah atau memotong protein virus pada
tempat pembelahan spesifik. Setelah ini terjadi, protein fusi diaktifkan dan pada
saat inilah terjadinya fusi. Urutan asam amino di sekitar tempat pembelahan
akan menentukan berbagai enzim protease yang dapat mengaktifkan
pembelahan protein. Urutan ini selanjutnya akan menentukan virulensi virus.
Strain NDV dapat dikategorikan sebagai velogenic (sangat virulen),
mesogenic (virulen sedang) dan lentogenic (nonvirulen). Strain velogenik
menghasilkan tanda-tanda saraf dan pernafasan yang parah, menyebar dengan
cepat, dan menyebabkan angka kematian sampai 90%. Strain mesogenik
menyebabkan batuk, mempengaruhi kualitas dan produksi telur, dan
menghasilkan angka kematian hingga 10%. Strain lentogenik menghasilkan
tanda ringan dengan angka kematian yang kecil.
2. Epidemiologi
a) Tingkat morbiditas penyakit sangat tinggi yaitu sekitar 90-100% dengan
tingkat kematian penderita hamper 100%.
b) Biasanya wabah terjadi pada peralihan musim, dari musim panas ke musim
hujan atau sebaliknya, yaitu pada saat ayam mengalami stress.
c) Hampir semua jenis unggas dan bangsa burung peka terhadap penyakit ini.
d) Penyakit dapat ditularkan dapat berupa kontak langsung antara unggas sakit
dengan yang sehat. Disamping itu, penularan juga terjadi secara kontak
tidak langsung antara unggas yang sehat dengan orang, bahan-bahan atau
alat-alat, debu dan udara yang tercemar ND.
3. Patogenesis
ND ditransmisikan paling sering dengan kontak langsung dengan
unggas berpenyakit atau pembawa. Burung yang terinfeksi dapat menyebarkan
virus di kotoran mereka, mencemari lingkungan. Transmisi kemudian bisa
terjadi dengan kontak langsung dengan kotoran dan pernafasan pembuangan
atau makanan yang terkontaminasi, air, peralatan, dan kain manusia. Newcastle
Virus penyakit bisa bertahan selama beberapa minggu di lingkungan, terutama
di cuaca dingin. Umumnya virus disebarkan saat inkubasi periode dan untuk
waktu yang singkat selama pemulihan. Virus ini hadir di semua bagian bangkai
dari burung yang terinfeksi. Penyakit ini sangat menular, dalam suatu flock,
penularan pada seluruh populasi dapat terjadi dalam dua sampai enam hari.
Virus ND dibagi menjadi 4 galur yaitu galur lentogenik, galur
mesogenik, galur velogenik, dan galur enterik asimtomatik. Pada galur
lentogenik, infeksi biasanya bersifat subklinis sampai menimbulkan penyakit
pernafasan ringan dan kematian unggas umumnya sangat rendah. Pada galur
mesogenik, infeksinya menimbulkan penyakit pernafasan akut, saraf, anoreksia,
sianosis pada pial dan jengger, dan edema di kepala, namun mortalitas rendah.
Sedangkan infeksi velogenik menimbulkan morbiditas dan mortalitas 100%
dengan gejala klinis bervariasi seperti anoreksia, konjungtiva merah dan udema,
diare putih kehijauan, sianosis pada leher dan kepala, serta gejala saraf seperti
tremor, spasmus, paralisis kaki dan sayap, serta gejala saraf yang khas adalah
tortikolis. Kematian ayam dapat terjadi secara mendadak dengan atau tanpa
gejala klinis. Jika masih bertahan hidup, ayam akan mengalami kerusakan saraf
dan gangguan produksi telur bersifat permanen (Kencana, 2012). Serta galur
enterik asimtomatik yang tidak menimbulkan sakit seperti galur V4 dan Ulster
2C. Anggota ordo Phasianiformes khusunya ayam terutama ayam petelur sangat
rentan terhadap penyakit ND (Aryoputranto, 2011). Dampak penyakit ND
terhadap ayam petelur terjadi penurunan produksi telur, dan telur yang
abnormal pada warna, kulit, dan albuminnya (Aldous dan Alexander, 2001).
4. Gejala Klinis
NDV menyerang sistem respiratori, saraf, dan digesti. Gejala klinis
sangat bervariasi bergantung pada strain virus, spesies, dan imunitas bawaan.
Masa inkubasi dari penyakit ini berkisar antara 2 sampai 15 hari. Burung
terinfeksi dapat menunjukan beberapa tanda sebagai berikut :
 Respiratori : bersin, dyspnea, nasal discharge, coughing
 Digesti : diare hijau berair
 Depresi, tremor, sayap layu, kepala dan leher berputar atau tortikolis,
berputar putar, dan parilisa.
 Kebengkakan jaringan disekitar mata dan leher.
Gambar 2. NDV terwarnai coklat pada konjungtiva ayam.
Produksi telur sebagian atau sepenuhnya dapat terjadi. Abnormalitas
telur dapat terlihat pada warna, bentuk, atau kerabang dan memiliki albumin
cair. Mortalitas bervariasi namun dapat mencapi 100 %. Unggas yang telah
divaksinasi dengan benar tidak akan menunjukan gejala infeksi apapun kecuali
penurunan produksi telur, namun tetap dapat menularkan virus melalui air ludah
dan feses.
5. Perubahan Patologis
Lesi makroskopik hanya dapat terlihat pada infeksi Newcastle Disease
yang bersifat viscerotropik velogenik. Petekie dapat terlihat pada membrane
serosa; hemoragi pada mukosa proventrikulus dan serosa intestinal biasanya
diikuti dengan adanya lesi multifocal, area hemoragi nekrotik pada permukaan
mukosa di intestinal, terutama pada foci limfoid seperti ceca tonsil. Nekrosis
pada lien dan hemoragi dan edema pada timus kadang terlihat. Infeksi bakteri
sekunder meningkat seiring dengan keparahan lesi respiratorik.
6. Diagnosa
Newcastle Disease didiagnosa berdasarkan atas epizootologi, gejala
klinis, patologis, virologis serta pengukuhan diagnosa melalui pemeriksaan
laboratorium dangan pemeriksaan serologis yaitu isolasi dan identifikasi.
Kejadian ND pada umumnya bersifat endemik dengan gejala klinis dan
perubahan patologis sangat bervariasi. Kehebatan penyakit bergantung dari
galur virus, jenis dan umur hospes, adanya infeksi sekunder dan faktor
lingkungan (Tabbu, 2000). Nilai diagnosa secara serologis sangat bergantung
dari pada status vaksinasi atau infeksi alam. Adanya antibodi dalam serum atau
tanpa diikuti gejala klinis merupakan indikasi adanya infeksi ND. Secara umum
uji serologis yang lazim digunakan untuk deteksi ND dan sebagai indikator
derajat kekebalan kelompok ayam dalam suatu peternakan adalah uji hambatan
hemaglutinasi (HI) secara beta prosedur yaitu prosedur virus konstan dengan
berbagai konsentrasi serum (Mohhamed et al.,2013; Mahardika et al., 2015).
7. Diagnosa Banding
Penyakit ND sangat mirip dengan penyakit Avian influenza (AI) dan
beberapa penyakit lain yang dapat mengelirukan diagnosa ND yaitu penyakit
yang disertai gangguan pernafasan dan reproduksi seperti Infectious bronchitis
(IB), infectious laryngotracheitis (ILT), chronic respiratory disease (CDC).
Penyakit dengan gangguan saraf yaitu avian encephalomyelitis (AE). Penyakit
bakteri seperti fowl cholera, mikoplasmosis, salmonellosis dan penyakit jamur
aspergilosis (Alexandre, 2001; Kencana, 2012).

B. Isolasi dan Identifikasi Newcastle Disease Virus (NDV)


Sampel yang digunakan untuk isolasi NDV adalah swab kloaka atau swab
trakea. Sampel swanb diambil secara steril dan dimasukkan ke dalam larutan buffer
dan antibiotic dengan pH 7,0-7,4. Sampel NDV yang virulen didapatkan dari paru-
paru, hati, jantung dan otak. Sampel yang telah diambil sebaiknya disimpan dalam
lemari es pada suhu 4ºC (Dufour-Zavala, 2008).
Newcastle disease virus merupakan virus yang dapat tumbuh baik pada
media kultur sel. NDV ditanam pada telur ayam berembrio (TAB) yang bersifat
specific pathogen free (SPF). Inokulasi NDV dilakukan melalui rute allantois. Telur
disimpan pada suhu 37ºC dan dipanen dalam waktu 5-7 hari (Dufour-Zavala, 2008).
Identifikasi NDV dilakukan dengan melakukan uji hemaglutinasi (HA), uji
hemaglutinasi inhibisi (HI), RT-PCR, dan ELISA. Uji hemaglutinasi dilakukan
untuk melihat titer virus pada cairan allantois, sedangkan uji hemaglutinasi inhibisi
dilakukan untuk melihat titer antibodi yang dihasilkan. Uji PCR dan ELISA
dilakukan untuk mengidentifikasi NDV secara serologis (Dufour-zavala, 2008).
C. Penanganan dan Program Vaksinasi
Penanganan pada ayam yang terkena NDV adalah dengan dimusnahkan dari
populasi. Program vaksinasi pada ayam yaitu
Umur Ayam Vaksin Jenis vaksin Teknik aplikasi

1 hari Gumboro Gumboro aktif Tetes mata

4 hari ND a. ND aktif (HB, Tetes mata, tetes


F) hidung
b. ND inaktif Tetes mulut

7 hari IB IB aktif Tetes mata

11 hari Gumboro Gumboro aktif Tetes mata,


air minum

21 hari Gumboro Gumboro aktif Tetes mata,


air minum

21-28 hari ND ND aktif Tetes mata,


air minum

30 hari IB IB aktif Tetes mata,


air minum

8 minggu ND ND aktif/ inaktif Injeksi,


air minum

3-4 bulan sekali ND ND aktif/ inaktif Injeksi,


air minum

18 minggu ND,IB,EDS ND + IB + EDS Injeksi


76

Biosekuriti pada peternakan unggas bertujuan untuk mencegah terjadinya


penyakit, yaitu terdiri dari isolasi, pengawasan lalu lintas. Dan sanitasi.
Pengawasan lalu lintas peternakan terdiri dari larangan masuk bagi orang yang
tidak berkepentingan, penyemprotan dengan desinfektan terhadap peralatan dan
kendaraan yang akan masuk kedalam kandang, spir, sales, atau petugas lain ganti
pakaian khusus dan dilakukan penyemprotan sebelum masuk kandang, serta
hindari pinjam meminjam peralatan antar peternak. Tindakan sanitasi yang
dilakukan adalah dengan mencuci kaki sebelum masuk ke dalam kandang,
melakukan desinfeksi kandang sebelum DOC masuk, membersihkan pakan ternak
yang jatuh, membersihkan kandang dan sekelilingnya, menghindari penumpukan
sampah, serta melakukan desinfeksi terhadap tempat pakan, tempat minum, tempat
telur, dan pakaian petugas kandang (Saadah dkk, 2010).

Cestodiasis
Infeksi Raillietina pada ayam dapat disebabkan oleh Raillietina cesticillus,
Raillietina tetragona, dan Raillietina echinohothrida. Cacing ini merupakan cacing
pita pada ayam yang paling umum di Amerika Utara dan mungkin diseluruh dunia.
Tubuhnya mempunyai banyak proglotid. Terdapat rostelum dengan kait berbentuk
palu yang tersusun dalam lingkaran ganda. Alat penghisap biasanya dipersenjatai
dengan kait yang kecil dan berdegenerasi yang tersusun dalam beberapa lingkaran.
Terdapat kantung parenkimatosa dalam proglotid bunting masing-masing dengan
satu atau beberapa telur (Levine, 1994).
Raillietina cistisellus panjangnya dapat mencapai 13 cm, tetapi biasanya
lebih pendek. Skolek mempunyai Rostelum yang lebar dengan 400-500 kait, dan
alat penghisap biasanya tidak dipersenjatai. Setiap kapsula telur berisi satu telur
berdiameter 75-88 mikron. Stadium peralihan adalah sistiserkoid, ditemukan dalam
kumbang tinja, kumbang tanah, dan kumbang hitam genus Amara, Anisotarurus,
Choeridium, Cratacanthus, Calathus, Selenophorus, Stenolaphus, dan Stenocellus,
dan secara buatan juga pada kumbang tepung tribolium (Levine, 1994). Raillietina
cistisellus menimbulkan lesi pada usus dan hambatan pertumbuhan, namun pada
infeksi buatan ternyata cacing tersebut bersifat tidak patogenik (Tabbu, 2002).
Raillietina echinobotrida terdapat dalam usus halus ayam dan kalkun di
seluruh dunia. Panjangnya mencapai 25 cm, dan mempunyai rostelum dengan 200
kait yang panjangnya 10-13 mikron dalam 2 baris. Alat penghisapnya dipersenjatai
dengan 8-10 baris kait yang agak besar. Telur terbungkus oleh kapsula, setiap
kapsula terdapat 6-12 telur. Merupakan salah satu cacing pita paling patogenik
karena sering menimbulkan nodula tempat melekatnya pada dinding usus dan
kadang-kadang nodul ini dapat melubangi usus halus dan menyebabkan peritonitis.
Beberapa peneliti melaporkan adanya granuloma dengan diameter 1-6 mm pada
tempat perlekatan cacing pita tersebut dalam waktu enam bulan pasca infeksi.
Pembentukan granuloma tersebut dapat dihubungkan dengan enteritis proliferatifa
dan infiltrasi limfosit, heterofil dan eosinofil. Sistiserkoid terdapat pada semut
genus Pheidole dan Tetramurium (Levine, 1994 ; Tabbu, 2000).

Raillietina tetragona terdapat dalam usus halus bagian posterior pada ayam
dan bangsa ayam lain di dunia. Panjangnya mencapai 25 cm dan lebar 3mm
mempunyai rostelum satu baris dari 100 kait–kait yang panjangnya 6-8 mikron.
Alat penghisap dipersenjatai dengan 8-10 baris kait yang lebih kecil dari yang
dimiliki Raillietina echinobotrida; kait ini mudah lepas. Telur terbungkus oleh
kapsula, di dalam setiap kapsula terdapat 8-12 telur. Sistiserkoid terdapat dalam
semut genus Phidola dan Tetramurium (Levine, 1994).
Penanggulangan cacing pita membutuhkan pengendalian hospes perantara
untuk mencegah infeksi ulangan dan pengobatan ayam yang terinfeksi untuk
membasmi cacing tersebut. Pengobatan terhadap cacing pita pada ayam dapat
dilakukan dengan butinorat (dibutiltin dilaurat). Bahan tersebut dilaporkan efektif
untuk mengobati penyakit yang ditimbulkan oleh enam spesies cacing pita pada
ayam yaitu Raillietina cesticillus, Raillietina tetragona, Choanotaenia
infundihulum, Davainea proglottina, Hymenolepis carioca dan Amoehotaenia
sphenoides. Obat tersebut dapat juga diberikan dalam bentuk kombinasi dengan
piperazin dan fenotiazin melalui pakan. Di samping itu, dapat juga diberikan
beberapa turunan benzimidazol, misalnya mebendazol, fenbendazol, dan
albendazol bersama pakan atau melalui air minum dengan hasil yang bervariasi.
Suatu obat anti cacing pita harus merusak skoleks agar cacing tersebut dapat mati.
Jika skoleks masih berfungsi dan hanya segmen bagian belakang yang dirusak,
maka segmen baru dapat dibentuk lagi dan ayam akan terinfeksi lagi oleh cacing
tersebut (Tabbu, 2000 ; Akoso, 2002).
Pencegahan Cestodiasis
Tata laksana pencegahan cestodiasis meliputi:
a. Optimalisasi program deworming
Pengendalian penyakit cacingan merupakan salah satu usaha untuk
mendapatkan hasil peternakan yang optimal, usaha pencegahan yaitu: pemberian obat
cacing. Obat cacing (anthelmintik) merupakan senyawa yang berfungsi membasmi cacing
sehingga dikeluarkan dari saluran pencernaan, jaringan atau organ tempat cacing berada
dalam tubuh hewan. Secara garis besar, cara kerja obat cacing ada 2 yaitu mempengaruhi
syaraf otot cacing dan mengganggu proses pembentukan energi. Cara kerja yang pertama
akan mengakibatkan cacing lumpuh sehingga dengan mudah dikeluarkan dari tubuh ternak
bersama dengan feses. Sedangkan cara kerja kedua menyebabkan cacing kehilangan energi
dan akhirnya mati (Argus dkk., 2013).
Pengendalian cacing melalui program pencegahan adalah salah satu pilihan
bijak yang bisa diambil peternak, terutama bagi peternak yang ayam peliharaannya
pernah terserang cacingan. Strateginya adalah dengan memberikan obat cacing pada
1 bulan pertama pemeliharaan (umur 31 hari), kemudian diulang tiap beberapa
bulan. Waktu pengulangan pemberian obat cacing ini akan lebih tepat bila disesuikan
dengan periode prepaten cacing yang menyerang. Periode prepaten adalah rentang
waktu antara masuknya telur infektif ke dalam tubuh ayam hingga keluarnya telur
cacing baru yang dihasilkan cacing dewasa dari dalam tubuh ayam ke lingkungan
luar. Adapun periode prepaten dari beberapa jenis cacing tercantum pada Tabel 1.
Dari Tabel 1, terlihat bahwa periode prepaten cacing pita 14-21 hari. Atas dasar
data inilah, maka jika ayam dipelihara di kandang postal atau non slat, lakukan
pengulangan pemberian obat cacing tiap 14-21 hari atau sekitar 0,5-1 bulan.
Sedangkan bila ayam dipelihara pada kandang baterai/slat pengulangan bisa
dilakukan tiap 3 bulan karena ayam tidak kontak dengan litter. Yang perlu
diperhatikan saat pemberian obat cacing ialah tentukan terlebih dahulu zat aktif apa
yang diberikan untuk ayam. Ada beberapa jenis zat aktif yang biasa terkandung
dalam obat cacing untuk ayam, dan masing-masing zat aktif tersebut ada yang
berspektrum luas (bisa sekaligus membasmi cacing gilig dan pita) maupun tidak.
Contohnya niclosamide, obat ini efektif untuk mengatasi cacing pita.
Pemberian niclosamide diaplikasikan melalui ransum karena tidak larut
air. Niclosamide juga tidak dapat diserap usus sehingga batas keamanannya luas.
Dapat juga diberikan Nyclosol yang mengandung niclosamide 200 gram dan
levamisole 40 gram. Dosis diberikan 0.5 gram Nyclosol per kg berat badan atau
setara dengan 7.5 Kg per ton pakan (dosis sekali pakai pada pemberian pakan
pertama) (Sujana, 2017).

b. Pelaksanaan Good Manajement Practice dalam upaya menurunkan kejadian


cestodiasis dan pengendalian hospes intermedet cestoda. Meliputi:
a) Kontrol manajemen
Penanganan feses dengan baik sehingga feses tetap kering merupakan
teknik pengendalian lalat yang paling efektif. Kita tahu, feses yang lembab
menjadi tempat perkembangbiakan lalat yang sangat baik (termasuk tempat
perkembangbiakan bibit penyakit). Dalam 0,45 kg feses yang lembab dapat
dijadikan tempat berkembang biak (melangsungkan siklus hidup) 1.000 ekor
lalat. Feses yang baru dikeluarkan oleh ayam yang memiliki kadar air sebesar
75-80% merupakan kondisi ideal bagi perkembangbiakan lalat. Feses ini harus
segera diturunkan kadar airnya menjadi 30% atau kurang untuk mencegah
perkembangbiakan lalat.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghambat perkembangbiakan
lalat ialah :
1. Membersihkan feses minimal setiap minggu sekali. Hal ini berdasarkan lama
siklus hidup lalat, dimana lalat bertelur setiap seminggu sekali.
2. Berikan ransum dengan kandungan zat nutrisi yang sesuai, terutama
kandungan protein kasar dan garam. Ransum dengan kandungan protein
kasar dan garam yang tinggi dapat memicu ayam minum banyak sehingga
feses menjadi encer (basah).
3. Jika perlu tambahkan batu kapur maupun abu pada litter sehingga dapat
membantu mengembalikan kemampuan tanah menyerap air.
4. Hati-hati saat penggantian atau pengisian tempat minum. Jangan sampai air
minum tumpah. Selain itu perhatikan kondisi tempat minum atau paralon dan
segera perbaiki kondisi genting yang bocor.
5. Jika feses akan disimpan, keringkan feses terlebih dahulu (kadar air < 30%)
dengan cara dijemur diterik matahari (jika memungkinkan). Feses yang
disimpan dalam kondisi lembab bisa mempercepat perkembangbiakan larva
lalat.
6. Perhatikan sistem sirkulasi udara (ventilasi). Kondisi ventilasi kandang yang
baik dapat mempercepat proses pengeringan feses.
7. Lakukan perbaikan pada atap yang bocor.
8. Pastikan intalasi saluran pembuangan air berfungsi baik, jangan biarkan air
mengendap.

Selain menjaga feses tetap kering, melakukan sanitasi kandang dengan baik
juga menjadi langkah tepat untuk mengendalikan perkembangbiakan lalat.
Langkah sanitasi yang dapat dilakukan yaitu :

1. Segera buang atau singkirkan bangkai ayam mati maupun telur yang pecah.
2. Bersihkan ransum dan feses yang tumpah segera, terlebih lagi jika
kondisinya basah.
3. Bersihkan kandang dan peralatan kandang secara rutin kemudian semprot
dengan desinfektan seperti Antisep, Neo Antisep atau Medisep.
(Surjana, 2017)
b) Kontrol mekanik
Teknik pengendalian lalat ini relatif banyak diaplikasikan oleh masyarakat
pada umumnya. Di pasaran, juga telah banyak dijual perangkat alat untuk
membasmi lalat, biasanya disebut sebagai perangkap lalat. Perangkap tersebut
bekerja secara elektrikal (aliran arus listrik) dan dilengkapi dengan bahan yang
dapat menarik perhatian lalat untuk mendekat. Perangkap lalat seringkali
diletakkan di tengah kandang. Di tempat penyimpanan telur sebaiknya juga
diletakkan perangkap lalat ini. Lalat tidak akan bergerak atau terbang melawan
arus atau arah angin. Oleh karenanya tempatkan fan atau kipas angin dengan arah
aliran angin keluar kandang atau ke arah pintu kandang (Surjana, 2017)
c) Kontrol kimiawi
Kontrol kimiawi dapat menggunakan bahan kimia seperti Larvatox.
Dosisnya dengan dicampurkan 100 gram Larvatox dengan 5 kg ransum secara
bertahap, kemudian campurkan dengan 1 ton ransum sampai homogen.
Larvatox diberikan selama 4-6 minggu berturut-turut kemudian dihentikan
selama 4-8 minggu dan gunakan kembali jika lalat terlihat mulai berkembang
biak (Ahmad dkk., 2015).

V. KESIMPULAN
Penyakit NDV sangat mematikan dan sifatnya cepat menular ke ayam-
ayam yang lain. Gejala yang ditimbulkan tergantung dengan stadium infeksi dari
NDV sendiri. Teknik diagnosa yang sering dilakukan adalah dengan teknik
TAB, RT-PCR, dan ELISA. Penanggulangan dan pencegahan dari penyakit ini
adalah dilakukannya perbaikan pada manajemen kandang yang paling utama
adalah sanitasi dan biosekuritinya dan dilakukan program vaksinasi semnejak
ayam DOC. Cestodiasis yang sering menyerang pada ayam adalah Raillietina
spp. dengan vektor lalat dan semut. gejala yang sering terjadi adalah penurunan
produksi dari ayam petelur.
Pencegahan kejadian cestodiasis dengan menerapkan program de
worming secara berkala dan pengendalian kejadian cestodiasis dengan
menerapkan good manajemen practice dalam upaya penurunan hospes
intermediet cestoda dan penurunan cacing cestoda di lingkungan.
VI. LUARAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu mengetahui karakter penyakit Newcastle Disease dan mampu


mendiagnosa penyakit tersebut di lapangan.
2. Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana cara isolasi dan identifikasi NDV
sebagai teknik diagnosa suatu penyakit.
3. Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana cara penanganan kasus NDV dan
menyusun suatu program vaksinasi penyakit ND.
4. Mahasiswa mampu mengetahui bagaiamana cara menyusun program kesehatan
bagi ayam petelur sebagai tindakan pencegahan penyakit cacing dan ND serta
program biosekuriti pada peternakan unggas.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Abbas AK and Lichtman AH. 2005. Cellular and Molecular Immunology 5th Edition.
Elseiver Inc. USA.
Adi, A.A.A., M. Astawa, N.M. Putra, K.S.A. Hayashi, and Y. Matsumoto. 2010.
Isolation and characterization of a pathogenic newcastle disease virus from a
natural case in Indonesia. J. Vet. Med. Sci. 72(3):313-319
Ahmad, I., Susanti, S., Kustiati, yusmalinar, S., Rahayu, R., Hariani, N. 2015.
Resistensi lalat rumah, Musca domestica Linnaeus (Diptera: Muscidae) dari
empat kota di Indonesia terhadap permetrin dan propoksur. Jurnal Entomologi
Indonesia, November 2015, Vol. 12 No. 3, 123–128.
Akoso, B.T. 2002. Kesehatan Unggas. Cetakan kelima. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Hal 91,92;130-133.
Alexander DJ. 2001. Newcastle Disease. The Gordon Memorial Lecture. Br.Poult.Sci
42 : 117 – 128.
Alexander, DJ and DA Senne. 2008. Newcastle disease, other avian paramyxoviruses,
and pneumovirus infections. In Diseases of Poultry, 12th ed. Y.M. Saif. et al.
(ed.). Blackwell Publishing, Ames, Iowa.
Argus, Jamaluddin, Khoirulloh, Firdausi, N., Tanwil. 2013. Model Edukasi Penerapan
Ipteks & Keterampilan Ramuan Pepaya Sebagai Anthelmintik Pada Ayam.
Jurnal Peternakan, Vol. 1, 63-67.
Dufour-Zavala, L. 2008. A Laboratory Manual for the Isolation, Identification, and
Characterization of Avian Pathogens Fifth Edition. Jacksonvill, FI: American
Association of Avian Pathologists.
E.W. Aldous, dan D.J. Alexander. Newcastle disease in pheasants (Phasianus
colchicus): a review. Vet J. 2008 ;175:181-5.
Kencana, GAY. 2012. Penyakit Virus Unggas. Udayana University Press. Denpasar.
Levine, N.D., 1994, Protozology Veteriner, diterjemahkan oleh Soeprapto, S., Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.Hal: 265, 317-323.
Mahardika IGNK, Astawa INM, Kencana GAY, Suardana IBK dan Sari TK. 2015.
Teknik Lab Virus. Udayana Universuty Press. Denpasar.
Mohhamed MH, Zahir AAH, Kadhim LI and Hasson MF. 2013. Conventional and
Molecular Detection of Newcastle Disease and Infectious Bursal Disease in
Chickens. J Wourld’s Poult Res 3 (1) : 05-12.
Permin, A and J.W., Hansen. 1998. Epidemiology, Diagnosis and control Poultry
Parasites. FAO Animal Health Manual. FAO United Nation, Rome.
Saadah; Lestari, V.S; Natsir, A; Ali, H.M. 2010. Penerapan Biosekuriti untuk Kegiatan
Usaha Peternakan Unggas Non Industri Komersial di Sulawesi Selatan.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Sudarmono, A.S. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Yogyakarya:
Kanisius
Sujana, E. 2017. Program Kesehatan Ternak Unggas. Kemendikbud.
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 2. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai