Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Pandangan

Pandangan merupakan hasil perbuatan memandang, memperhatkan atau

melihat, karena sesuatu yang disegani ataupun dihormati. Yang pada umumnya

pandangan merupakan suatu realitas yang nyata. ( KBBI edisi 3 )

Pandangan pada dasarnya memiliki makna yang sangat luas, berbagai

penafsiran dan pendapat menyertai dalam aspek kehidupan bermasyarakat dalam

lingkup yang luas, lingkungan maupun dalam lingkup yang kecil yaitu terhadap

hewan.Terdapat berbagai pandangan terhadap bagaimana hewan dan

pemberlakuan terhadap hewan, yaitu salah satunya adalah :

2.1.1. Etologi Modern ( Lorenz dan Tindbergen)

Etologi modern lahir sebagai suatu pandangan penting karena pekerjaan

para pakar ilmu hewan Eropa, khususnya Konrad Lorenz (1903-1989). Etologi

menekankan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh biologi, terkait dengan

evolusi dan ditandai oleh periode penting atau peka. Konsep periode penting

(critical period), adalah suatu periode tertentu yang sangat dini dalam

perkembangan yang memunculkan perilaku tertentu secara optimal. Konsep

etologi untuk belajar dengan cepat dan alamiah dalam satu periode waktu yang

kritis yang melibatkan kedekatan dengan obyek yang dilihat bergerak pertama

kali.
Para Etologis adalah para pengamat perilaku yang teliti, dan mereka yakin

bahwa laboratorium bukanlah setting yang baik untuk mengamati perilaku.

Mereka mengamati perilaku secara teliti dalam lingkungan alamiahnya seperti :

di rumah, taman bermain, tetangga, sekolah, rumah sakit dan lain-lain.

Pendekatan Metodologis (Pendekatan yang memahami tingkah laku dengan

setting yang alamiah) Langkah–langkahnya :

- Mengetahui informasi tentang spesies tersebut sebanyak mungkin,

- Mengamati tingkah laku khasnya,

- Membandingkan dengan tingkah laku spesies yang lain.

Jadi, pada dasarnya pandangan merupakan bagaimana cara orang

memandang terhadap sesuatu yang dia hormati maupun segani, dalam berbagai

macam aspek kehidupan, dalam hal ini hewan. Bagaimana seorang memandang

dan memperlakukan hewan.

2.2. Pengertian Mahasiswa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), mahasiswa adalah

mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi (Poerwadarminta, 2005).

Mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu

ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang

setingkat dengan perguruan tinggi.Umumnya mahasiswa berada pada tahapan

remaja akhir,yaitu berusia 18–1 tahun. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat

intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan terencanaan dalam

bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat
yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip

yang saling melengkapi.

Mahasiswa adalah manusia yang tercipta untuk selalu berpikir yang saling

melengkapi (Siswoyo, 2007).Mahasiswa adalah individu yang belajar dan

menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam

menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa

itu sendiri, karena pada kenyataanya banyak diantara mahasiswa itu sendiri yang

sudah disibukkan dengan kegiatan organisasi kemahasiswaan.

2.3. Hewan Ternak

Ternak adalah hewan yang dengan sengaja dipelihara sebagai sumber pangan,

sumber bahan baku industri, atau sebagai pembantu pekerjaan manusia. Usaha

pemeliharaan ternak disebut sebagai peternakan (atau perikanan, untuk

kelompok hewan tertentu) dan merupakan bagian dari kegiatan pertanian secara

umum.

2.3.1.Sejarah hewan ternak

Hewan didomestikasikan ketika perkembangbiakan dan kehidupan mereka

dikendalikan oleh manusia. Sepanjang waktu berlalu, perilaku hewan, siklus

hidup serta fisiologinya telah berubah secara signifikan. Saat ini begitu banyak

hewan ternak yang tidak mampu hidup di alam liar. Anjing didomestikasikan di

Asia Timur 15000 tahun yang lalu. Kambing dan domba didomestikan di Asia

8000 tahun yang lalu. Babi didomestikasikan 7000 tahun yang lalu di Timur

Tengah dan China.


2.3.2. Pemeliharaan Hewan Ternak

Praktek pemeliharaan hewan ternak sangat bervariasi di berbagai tempat di

dunia, dan bervariasi pula antara jenis hewan. Hewan ternak umumnya dipelihara

di dalam kandang dan diberi makan atau diberikan akses menuju makanan

(digembalakan). Beberapa tidak mengkandangkan hewannya atau membiarkan

hewan memilih kapan akan masuk kandang (jelajah bebas). Pemeiharaan hewan

ternak dalam sejarah merupakah bagian dari kehidupan kaum nomaden yang

berpindah-pindah mengikuti musim. Beberapa kaum di Asia Tengah dan Afrika

Utara masih hidup sebagai kaum nomaden bersama hewan ternaknya.

Kandang hewan memiliki bentuk dan jenis yang bervariasi, mulai dari pagar

tertutup tanpa atap, hingga bangunan bertingkat dengan atap dan memiliki

mekanisme pengaturan temperatur dan kelembaban (lihat lingkungan dan

bangunan pertanian). Kandang umumnya hanya digunakan sebagai tempat hewan

ternak untuk tidur dan diberi makan; jenis kandang lain diperuntukan khusus

untuk perkawinan hewan dan pemeliharaan anakan hewan.

Hewan yang dipelihara di dalam kandang umumnya bersifat intensif jika

pemeliharaan di luar ruangan tidak dianggap menguntungkan karena

membutuhkan lahan yang luas. Namun pemeliharaan di dalam kandang bersifat

kontroversial karena menghasilkan berbagai masalah seperti bau, penanganan

limbah, penyebaran penyakit hewan, dan kesejahteraan hewan (lihat peternakan

pabrik).
Hewan ternak dapat dipantau dengan berbagai cara seperti penggunaan label

(dicat di atas kulit hewan atau digantung di telinga) atau dengan cara yang modern

seperti penggunaan RFID yang ditanam di bawah kulit. Implan microchip juga

dapat ditanam di dalam tubuh hewan ternak untuk memantau kondisi hewan

seperti perubahan komposisi darah, denyut jantung, temperatur tubuh, dan

sebagainya sehingga dapat menjadi pengingat jika hewan ternak menunjukan

gejala sakit.

Penggunaan hormon pertumbuhan untuk meningkatkan laju pertumbuhan

hewan ternak juga dilakukan, namun dibatasi karena dapat mengganggu kesehatan

hewan dan kualitas produk hewan yang dihasilkan. Bahan kimia lain yang

digunakan pada peternakan adalah vaksin dan multivitamin untuk menjaga

kesehatan hewan, dan pestisida untuk mencegah keberadaan serangga di dalam

kandang. Metode ini umumnya dilakukan di dalam peternakan pabrik karena

secara alami hewan ternak tidak mampu membersihkan diri di dalam kandang

yang sempit.

2.4. Fasciola Hepatica

2.4.1. Etiologi

Klasifikasi dan Morfologi Fasciola sp.

Cacing Fasciola sp.diklasifikasikan ke dalam filum Platyhelmintes, kelas

Trematoda, ordo Digenea, family Fasciolidae, genus Fasciola, spesies Fasciola

hepatica dan Fasciola gigantica. Morfologi Fasciola sp. (Nguyen, 2012) Fasciola

gigantica berukuran 25-27 x -12 mm, mempunyai pundak sempit, ujung posterior
tumpul, varium lebih panjang dengan banyak cabang, sedangkan Fasciola

hepatica berukuran 35x 10 mm, mempunyai pundak lebar dan ujung posterior

lancip. Telur Fasciola gigantica memiliki operkulum, berwarna emas dan

berukuran 190 x 100 , sedangkan telur Fasciola hepatica juga memiliki

operkulum, berwarna kuning emas dan berukuran 150 x 90 μ (Baker,

2007).Morfologi telur Fasciola sp. (Purwanta, dkk., 2009) Purwanta, dkk.

mengemukakan unsur-unsur yang tampak jelas pada telur Fasciola sp. yang dilihat

di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 ialah sel-sel kuning telur yolk)dan

sel germinal yang tampak transparan di daerah operkulum pada salah satu

kutubnya.

2.4.2 Siklus hidup

Siklus hidup Fasciola sp.(Bogitsh,dkk., 2012)Di dalam tubuh hospes yaitu ternak,

ikan, dan manusia, cacing dewasa hidup di dalam hati dan bertelur di usus,

kemudian telur keluar bersama dengan feses.Telur menetas menjadi larva dengan

cilia (rambut getar) seluruh permukaan tubuhnya yang disebut mirasidium.Larva

Irasidium kemudian berenang mencari siput Lymnea. Mirasidium akan mati bila

tidak masuk ke dalam siput air tawar Lymnea rubiginosa).Setelah berada dalam

tubuh siput selama minggu, mirasidium akan berubah menjadi sporosis. Larva

tersebut mempunyai kemampuan reproduksi secara aseksual dengan cara

paedogenesis di dalam tubuh siput, sehingga membentuk larva yang banyak.

Selanjutnya sporosis melakukan paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian

redia melakukan paedogenesis menjadi serkaria.Larva Erkaria kemudian berekor


menjadi metaserkaria, dan segera keluar dari siput dan berenang mencari tanaman

yang ada dipinggir perairan misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air

lainnya. Setelah menempel, metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi

kista yang dapat bertahan lama pada rumput, tanaman padi, atau tumbuhan air.

Apabila tumbuhan tersebut termakan oleh hewan ruminansia maka kista tersebut

dapat menembus dinding usus, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran

empedu dan menjadi dewasa selama beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini

terulang kembali (Ditjennak,2012).

2.4.3 Distribusi Penyakit

Di Indonesia penyakit ini telah lama dikenal dan tersebar luas. Keadaan

alam Indonesia dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi memungkinkan

parasit seperti cacing berkembang dengan baik. Sifat hermaprodit Fasciola sp.juga

akan mempercepat perkembangbiakan cacing hati tersebut. cacing ini banyak

menyerang ruminansia yang biasanya memakan rumput yang tercemar

metaserkaria, tetapi dapat juga menyerang manusia.

2.4.4 Patogenesis

Fasciolosis pada sapi, kerbau, domba, dan kambing dapat berlangsung akut

maupun kronis. Kasus akut umumnya terjadi arena invasi cacing muda

berlangsung secara masif dalam waktu singkat dan merusak parenkim hati

sehingga fungsi hati sangat terganggu serta menimbulkan perdarahan pada rongga

peritoneum.Meskipun cacing muda hidup dalam parenkim hati, parasit tersebut


juga dapat menghisap darah, seperti cacing dewasa dan menyebabkan anemia

pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. diperkirakan 10 ekor

cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2

ml/hari.asciolosis kronis berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktivitas cacing

dewasa di dalam saluran empedu, baik di dalam hati maupun di luar

hati.Fasciolosis menyebabkan cholangitis, obstruksi saluran empedu, kerusakan

jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Anemia terjadi karena cacing dewasa

mengisap darah serta kehilangan persediaan zat besi (Subronto,2007).Lesi yang

disebabkan oleh infeksi Fasciola sp. pada semua ternak hampir sama bergantung

pada tingkat infeksinya. Kerusakan hati aling banyak terjadi antara minggu ke 12-

15 pasca infeksi. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada waktu cacing uda mulai

menembus dinding usus tetapi kerusakan yang erat dan peradangan mulai terjadi

sewaktu cacing bermigrasi dalam parenkim hati dan ketika berada dalam saluran

empedu dan kantong empedu (Ditjennak,2012).

2.4.5 Gejala Klinis

Fasciola sp. merupakan jenis parasit yang paling banyak menyerang sapi. Sapi

yang terserang asciola sp. akan tampak pucat, lesu, mata membengkak, ubuh urus,

dan bulu kasar serta kusam atau berdiri. asciola sp.yang masih muda merusak sel-

sel parenkim hati dan cacing dewasa hidup sebagai parasit dalam pembuluh-

pembuluh darah yang ada di hati.Sapi yang terserang Fasciola sp.mengalami

gangguan fungsi hati, peradangan hati dan empedu, obstipasi,serta gangguan

pertumbuhan (Guntoro,2002).
Tingkat infeksi fasciolosis bergantung pada jumlah metaserkaria yang tertelan dan

infektivitasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat banyak akan

mengakibatkan kematian pada ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa.

Manifestasi fasciolosis juga bergantung pada stadium infeksi yaitu migrasi cacing

muda dan perkembangan cacing dewasa dalam saluran empedu (Ditjennak,2012).

2.4.6 Diagnosa

Diagnosa fasciolosis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni diagnosa klinis dan

diagnosa laboratorium. Diagnosa klinis berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan,

maka sebagai penunjang diagnosa dapat digunakan pemeriksaan ultrasonografi

(USG), sedangkan diagnosa laboratorium ilakukan dengan pemeriksaan feses,

biopsi hati, uji serologi ntuk deteksi antibodi dan antigen serta western

blotting(Ditjennak,2012).Penentuan diagnosa fasciolosis seekor hewan atau

sekelompok hewan dapat dibuktikan, salah satunya dengan melakukan

pemeriksaan feses.

2.4.7. Pengobatan dan Pengendalian

Keberhasilan pengobatan fasciolosis bergantung pada efektivitas obat terhadap

stadium perkembangan cacing. Obat cacing yang digunakan harus bersifat toksik

minimalagar jaringan hati tidak mengalami kerusakan. Obat yang baik adalah obat

yang mampu membunuh Fasciola sp.yang sedang migrasi dan cacing dewasa,

serta tidak toksik pada jaringan (Subronto,2007).

Anda mungkin juga menyukai