Anda di halaman 1dari 18

KROMOMIKOSIS

Dibuat oleh:

Dwi

Febi Enjelia Geofani Artan (17.72.018098)

Woro

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN
2019

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa
sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah ini
dengan baik

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen Mikologi kami
Ibu Nurul Komariah, S.Si., M.Kes yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Palangkaraya, 28 Maret 2019

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................................1
C. Tujuan Makalah...........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................................3
A. Definisi.........................................................................................................................................3
B. Epidemiologi................................................................................................................................3
C. Etiologi.........................................................................................................................................5
D. Gejala Klinis.................................................................................................................................6
E. Diagnosis......................................................................................................................................9
BAB III PENUTUP...............................................................................................................................13
A. Kesimpulan................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................14

3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kromomikosis atau kromoblastomikosis merupakan infeksi jamur profunda kronis yang
disebabkan jamur berpigmen (dematiacieous) pada jaringan subkutan (Wolff & Johnson, 2009;
Elewski dkk., 2012; Goldsmith dkk., 2012). Penyakit ini paling sering disebabkan oleh spesies jamur
Fonsecaea pedrosoi yang hidup saprofit pada tanah (James dkk., 2011). Infeksi sering terjadi pada
kaki dengan lesi awal berupa papul atau nodul yang menjadi plak veruka dalam beberapa bulan atau
tahun (Annaissie dkk., 2009; Elewski dkk., 2012).
Daerah tropis dan subtropis merupakan tempat dengan insidensi kromomikosis terbanyak
(Anaissie dkk., 2009, Elewski, 2012; Warnock, 2012; Wolff & Johnson, 2012), namun penyakit ini
dapat terjadi di seluruh bagian dunia (Tamura dkk., 2011). Pedesaan merupakan lokasi sporadik
untuk penyakit ini, dengan insidensi terbanyak pada pria dewasa yang bekerja sebagai petani,
peternak dan penambang (dilaporkan hingga 90% kasus), sebab kelompok ini sering mengalami
trauma pada kulit dan sering mendapat kontak langsung dengan tanah, terutama jika berjalan di atas
tanah tanpa alas kaki (Tamura dkk., 2011; Elewski dkk., 2012).
Permasalahan pada kromomikosis adalah sulitnya pengobatan akibat pilihan terapeutik yang
terbatas (Annaissie dkk., 2009; James dkk., 2011). Pada lesi yang kecil, bedah eksisi atau krioterapi
merupakan pilihan terapi, namun harus dikombinasikan dengan kemoterapi antifungal (Burns dkk.,
2010). Beberapa klinisi juga menganjurkan termoterapi dengan suhu panas, sebab terdapat bukti
bahwa jamur penyebab kromomikosis tidak dapat tumbuh pada suhu tinggi (Wolff & Johnson, 2009;
Tamura dkk., 2011; Elewski dkk., 2012).
Kromomikosis tergolong penyakit yang jarang ditemukan dan literatur yang membahas penyakit
ini masih sangat terbatas. Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk mengumpulkan informasi
dari berbagai sumber dan menambah tinjauan pustaka mengenai topik penyakit kromomikosis,
terutama diperuntukkan bagi dokter umum agar dapat mengenali dan memberikan terapi awal yang
tepat bagi penderita penyakit infeksi ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Kromomikosis?
2. Apa epidemiologi dari Kromomikosis?
3. Apa Etiologi dari Kromomikosis?
4. Bagaimana gejala klinis Kromomikosis?
5. Bagaimana diagnosis Kromomikosis?

1
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui definisi dari Kromomikosis.
2. Untuk mengetahui epidemiologi dari Kromomikosis.
3. Untuk mengetahui etiologi dari Kromomikosis.
4. Untuk mengetahui gejala klinis Kromomikosis
5. Untuk mengetahui diagnosis Kromomikosis

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Defi nisi
Kromomikosis merupakan istilah untuk menyebut penyakit mikosis profunda yang disebabkan
infeksi jamur dengan dinding mycelium yang mengandung pigmen melanin (dematiaceous) (Orkin
dkk., 1991; Tamura dkk., 2011; Goldsmith dkk., 2012).

Kromomikosis berasal dari kata “chroma” dan “mycosis”. Istilah “chroma“ berarti berwarna atau
berpigmen, sedangkan “myces” berarti jamur dan akhiran “-osis” berarti kondisi. Sebagian peneliti
lebih senang menggunakan istilah kromoblastomikosis untuk kondisi penyakit ini, namun istilah
tersebut lebih dekat maknanya dengan blastomikosis yang melakukan pembelahan seluler dengan
tunas atau budding (“blastos”), sementara yang terjadi pada penyakit ini adalah pembentukan septa
ekuatorial, sehingga istilah kromomikosis lebih cocok. Penyakit feohifomikosis juga disebabkan oleh
jamur dematiaceous, namun pada penyakit tersebut, temuan mikroskopik berupa hifa atau ragi
(yeast) dalam kista fibrosa, sedangkan pada kromomikosis terjadi pembentukan plak verukosa dan
temuan badan sklerotik (Pene-Penabad dkk., 2003; James dkk., 2011; Elewski dkk., 2012). Pada
akhirnya para peneliti tetap menggunakan nama kromomikosis atau kromoblastomikosis untuk
mengidentifikasi penyakit ini, walaupun ada sedikit literatur yang menganggap kedua istilah tersebut
merupakan penyakit yang berbeda (Anaissie dkk., 2009).
Selain kromoblastomikosis, kromomikosis memiliki berbagai sinonim lain akibat sulitnya
pemberian nama yang tepat untuk kondisi penyakit ini. Di antaranya adalah kladosporiosis,
dermatitis verukosa, feosporotrikosis, penyakit Pedroso dan penyakit Fonseca. Namun istilah-istilah
tersebut lebih jarang digunakan (Elewski dkk., 2012).

B. Epidemiologi
Pedrosoi pertama kali mengidentifikasi kromomikosis di Brazil pada tahun 1911. Kasus pertama
di Inggris ditemukan di Boston 4 tahun kemudian oleh Medlar dan Lane (James dkk., 2011; Elewski
dkk., 2012). Kejadian kromomikosis sering ditemukan pada daerah beriklim tropis dan subtropis
dengan suhu sedang, namun dapat terjadi di seluruh dunia (Elewski dkk., 2012; Tamura dkk., 2011).
Kejadian di luar daerah epidemik, seperti di Eropa, diduga terjadi akibat dibawa pada jalur
perdagangan, yaitu impor tanaman dan kayu (Goldsmith dkk., 2012). Didapatkan pula laporan bahwa
transmisi kromomikosis dapat terjadi melalui logam, seperti pada kendaraan dan jarum akupuntur

3
(Warrell dkk., 2005). Kini kasus penyakit kromomikosis telah dilaporkan di berbagai negara, yaitu
Amerika Utara, Tengah dan Selatan, Kuba, Jamaika, Kepulauan Karibia, India, Afrika Selatan,
Madagaskar, Asia Timur, Australia, Indonesia, berikut Eropa Utara dan Rusia (Warrell dkk., 2005;
Burns dkk., 2010; James dkk., 2012; Goldsmith dkk., 2012).
Jamur penyebab kromomikosis merupakan organisme saprofit yang dapat ditemukan di dalam
tanah dan menyerap nutrien dari tanaman atau kayu yang membusuk (Orkin dkk., 1991; Annaissie
dkk., 2009; Tamura dkk., 2012; Goldsmith dkk., 2012; Warnock, 2012). Sebagian besar organisme
jamur tersebut umumnya menyukai daerah dengan curah hujan lebih besar dari 2,5 m (100 inci)
dalam satu tahun dan pada temperatur kisaran 12oC hingga 24oC (Wolff & Johnson, 2009).
Penderita kromomikosis kebanyakan adalah pria dewasa, dengan perbandingan 4:1 dibanding
penderita wanita (James dkk., 2011). Penduduk di pedesaan yang bekerja sebagai petani, peternak
dan pekerja tambang paling sering terjangkit, yaitu sekitar 75-90% dari keseluruhan kasus, karena
pekerjaan ini sering berkaitan dengan trauma pada kulit dan sentuhan langsung dengan tanah yang
terkontaminasi (Wolff & Johnson, 2009; Tamura dkk., 2011; Elewski dkk., 2012; Warnock, 2012).
Pria dewasa dengan usia 20 hingga 60 tahun adalah saat onset yang paling sering ditemukan,
namun telah dilaporkan terjadi kasus kromomikosis pada usia anak (Wolff & Johnson, 2009; Burns
dkk., 2010). Kasus pada anak yang jarang menimbulkan kecurigaan adanya faktor lain yang
mencetuskan onset kromomikosis selain trauma pada kulit dan paparan materi terkontaminasi,
mengingat usia anak juga terkait dengan trauma kecil pada kulit dan kontak dengan tanah (Warrell
dkk., 2005).
Lesi pertama umumnya muncul mengikuti trauma pada kaki dan tungkai (Gambar 1), yang sering
terjadi akibat tidak memakai alas kaki saat bekerja (Burns dkk, 2010; James dkk., 2011; Tamura dkk.,
2011; Elewski dkk., 2012). Riwayat tertusuk duri tanaman atau pecahan kayu diingat pada 16%
penderita (James dkk., 2011). Meskipun begitu, implantasi jamur dapat terjadi pada bagian tubuh
mana pun yang terkontaminasi, seperti lengan dan batang tubuh (Anaissie dkk., 2009; Elewski dkk.,
2012; James dkk., 2011; Goldsmith dkk., 2012). Jamur dari tanah masuk melalui abrasi pada kulit,
berkembang membentuk nodul-nodul dan kutil menyerupai kembang kol (Ryan, 2004; Anaissie dkk.,
2009).

4
Gambar 1. Kromoblastomikosis pada kaki (James dkk., 2011)

C. Eti ologi
Terdapat beberapa spesies jamur penyebab kromomikosis, yaitu Fonsecaea pedrosoi, Fonsecaea
compacta, Fonsecaea monophora, Phialophora verrucosa, Wangiella dermatitidis, Cladophialophora
carrionii (dulu bernama Cladosporium carrionii), Rhinocladiella aquaspersa dan Botryomyces
caespitosus, namun sebagian besar kasus disebabkan oleh F. pedrosoi dan C. carrionii (Pena-
Penabad dkk., 2003; Wolff & Johnson, 2009; Burns dkk., 2010; Elewski dkk., 2012; Goldsmith dkk.,
2012). Gambaran klinis dan morfologi koloni dari masing-masing spesies jamur tersebut sangat
mirip, tetapi dapat dibedakan berdasarkan gambaran mikroskopik dan karakteristik konidia (Elewski
dkk, 2012).
Fonsecaea pedrosoi umumnya ditemukan pada iklim tropis dengan kelembapan dan curah hujan
tinggi, sementara Cladophialophora carrionii ditemukan pada daerah beriklim tropis yang sedikit
gersang dan siklus hujan yang sedikit seperti Kuba, Venezuela, Afrika Selatan dan Australia.
Phialophora verrucosa merupakan spesies yang paling pertama dilaporkan pada kasus kromomikosis
dan Rhinocladiella aquaspersa merupakan penyebab yang paling jarang dilaporkan (Warrell dkk.,
2005; Anaissie dkk., 2009).

5
Secara mikroskopik, F. pedrosoi memiliki konidiasi dominan berbentuk simpodial, dengan konidia
berbatasan dengan bagian atas sel. Konidia coklat bersel satu yang diproduksi pada dentikel pendek
dapat menghasilkan konidia sekunder dengan cara yang sama. Konidia yang diproduksi oleh
pertunasan secara acropetal juga ditemukan pada sebagian besar isolat, dan beberapa isolat akan
menghasilkan sedikit phialide, yaitu semacam kantung vesikel pada bagian pucuk konidiofor (Burns
dkk., 2010).
Bentuk pertunasan acropetal juga dominan pada C. carrionii, dengan produksi konidia seperti
rantai panjang yang pucat, berbentuk oval atau seperti lemon. Rantai tersebut bercabang dengan
interval yang cukup dekat. Pada media starvation, seperti agar jagung dengan setengah kekuatan
materi (half-strength), phialide bulat dapat muncul oleh konversi dari beberapa sel dalam rantai
bercabang (Burns dkk., 2010).
Pasien mungkin dapat terinfeksi oleh lebih dari satu organisme jamur. Kondisi penyakit berbeda
seperti kromomikosis dan paracoccidioidomycosis telah dilaporkan terjadi pada pasien yang sama.
Pasien juga dapat memiliki kromomikosis bersamaan dengan mycetoma atau feohifomikosis yang
invasif. Lesi SSP umumnya dikaitkan dengan infeksi Cladosporium trichoides (James dkk., 2011).

D. Gejala Klinis
Infeksi terjadi melalui implantasi ke bagian epidermis, dermis atau subkutan secara inokulasi
langsung melalui trauma pada kulit yang bersentuhan dengan tanah (James dkk., 2011; Elewski dkk.,
2012). Transmisi melalui autoinokulasi pada bagian tubuh lain dapat terjadi, namun tidak dilaporkan
terjadi kejadian transmisi antar manusia atau antara manusia dan binatang (Warrell dkk., 2005; Wolff
dkk., 2009).
Lesi biasanya ditemukan pada daerah tubuh yang yang terekspos, biasanya pada kaki, lutut,
tangan, muka dan leher. Sebuah papul yang membesar secara perlahan yang kemudian akan
membentuk suatu plak hiperkeratosis. Pada beberapa lesi plak ini datar dan menyebar secara lambat
dengan scar disentral lesi. Lesi awal dapat menjadi ulkus. Kemudian, setelah beberapa bulan atau
tahun, terbentuklah massa hiperkeratosis yang besar dan biasanya memiliki ketebalan kira-kira 3cm.
Ulkus sekunder dapat terjadi. Lesi ini biasanya memberikan rasa nyeri kecuali jika terjadi infeksi
bakteri sekunder dapat menyebabkan gatal dan nyeri. Lesi satelit terbentuk akibat garukan, dan
mungkin dapat menyebar melalui jaringan limfatik ketempat yang jauh. Penyebaran secara
hematogen dapat terjadi namun jarang, dan abses pada otak pernah ditemukan. Infeksi sekunder
akhirnya dapat menyebakan stasis limfatik yang akhirnya menjadi elefantisiasis. Beberapa bentuk

6
dari lesi dapat membentuk lesi psoriasiform. Karsinoma sel skuamosa dapat terjadi pada lesi kronik
(Atherton D.J, Dkk, 1998).
Lesi awal dari infeksi biasanya ditemukan pada kaki, lutut, tangan dan tungkai atas. Gambaran
klinik bervariasi, lesi awal berupa papul yang menyebar secara lambat selama beberapa bulan
sampai tahun. Kemudian lesi ini akan membentuk suatu plak dengan bagian tengah yang atropi.
Bentuk yang agak sering berupa verrucous menyebar secara lambat dan local (Flekman Philip, Dkk,
2008).

Gambar 1: lesi awal berupa papul pada kromoblastomikosis

Gambar 2: Plak dari kromoblastomikosis

7
Gambar 3 : Plak verrucous soliter dikelilingi eritem halo

Berdasarkan bentuknya, penyakit ini dapat dibedakan menjadi lesi nodular, tumoral, verukosa,
plakat dan sikatrikal.

1. Lesi Nodular
Jenis nodular merupakan lesi paling awal dan elemen terkecil gambaran klinis kromomikosis.
Tipe ini bernodul lunak, merah muda pucat atau ungu. Permukaan bisa halus, papiler atau
bersisik. Lesi nodul akan bertambah banyak secara bertahap dan berubah menjadi lesi tumoral
yang lebih besar.
2. Lesi Tumoral
Jenis tumoral digambarkan jauh lebih besar dan lebih menonjol, papilomatosa, kadang-kadang
berlobus-lobus seperti massa tumor, sebagian atau seluruhnya ditutupi sisa epidermal kotor
abu-abu, krusta dan keratosis. Pada jenis ini paling sering mengenai kaki dan tibia dan memiliki
tampilan seperti kembang kol.
3. Lesi Verukosa
Tipe verukosa yang ditandai dengan hyperkeratosis yaitu tampilan lesi verukosa dan mungkin
menyerupai veruka vulgaris.
4. Lesi Plakat

8
Tipe plakat adalah bentuk paling sering pada kromomikosis. Mencakup lesi dari berbagai bentuk
dan ukuran, berwarna kemerahan sampai keunguan dan bersisik pada permukaannya.
5. Lesi Sikartikal
Jenis sikatrikal adalah lesi pada tingkat kulit yang terbentuk oleh pertumbuhan perifer dengan
atropik jaringan parut, sementara di pusat lesi terjadi proses penyembuhan. Biasanya bentuk lesi
anular dan melengkung dalam lesi.

Lesi pada kromomikosis dapat dibedakan menurut tingkat keparahannya yaitu, 1) Bentuk ringan,
yaitu nodul dengan diameter < 5 cm; 2) Bentuk sedang, yaitu jenis satu atau beberapa lesi tumoral,
verukosa atau jenis plakat terisolasi atau bergabung yang saling berdekatan dengan diameter < 15
cm; dan 3) Bentuk berat, yaitu jenis satu atau beberapa lesi yang meliputi luas daerah kulit, saling
berdekatan dan jauh. Lesi berat cenderung memberikan hasil buruk dalam pengobatan atau menjadi
resisten.

E. Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, namun
tidak ada uji serologis yang dapat dilakukakan (Orkin, 1991). Spesimen sebaiknya diambil melalui
kerokan titik hitam (black dots) atau mikroabses pada nodul verukosa, kemudian dilakukan
pemeriksaan dengan larutan KOH 10-20% untuk menemukan badan Medlar (disebut juga sebagai sel
sklerotik, sel muriformis atau sel fumagoid) yang khas pada kromomikosis. Badan Medlar (Gambar 5)
merupakan elemen jamur yang berbentuk bulat, berpigmen kecoklatan dan berstruktur polihedral
dengan dinding yang terdiri dari 2 lamina berdiameter 4-6 m, dengan morfologi copper pennies
(uang logam tembaga). Biopsi juga sebaiknya dilakukan untuk mendapatkan gambaran histopatologi
(Orkin dkk., 1991; Pena-Penabad dkk., 2003; Warrell dkk., 2005; Wolff & Johnson, 2009; Anaissie
dkk., 2009; Burns dkk., 2010; Tamura dkk., 2011; Goldsmith dkk., 2012).

9
Temuan sel sklerotik pada pemeriksaan dengan larutan KOH 10% pada mikroskop dengan
perbesaran 200x (Tamura dkk., 2011).

Gambaran histopatologi pada kerokan lesi kromomikosis didapatkan gambaran yang menyerupai
respons granuloma benda asing, dengan daerah-daerah isolasi pembentukan abses mikro. Kelompok
sel jamur atau disebut badan Medlar dapat ditemukan di dalam sel-sel raksasa makrofag atau sel
Langerhans pada granuloma (Gambar 6) (Pena-Penabad dkk., 2003; Tamura dkk., 2011). Selain itu
ditemukan juga hiperplasia pseudoepiteliomatosa pada lapisan epidermis dan eliminasi sel jamur
pada lapisan transepidermal yang umumnya berupa inflamasi pada stratum korneum. Jaringan
antara nodul granulomatosa menunjukkan fibrosis kronis. Jika terjadi ulserasi dan selulitis, dapat
ditemukan tanda infeksi bakteri sekunder, seperti limfadenitis regional (Anaissie dkk., 2009; Burns
dkk., 2010; James dkk., 2012).

Gambaran histologi sel sklerotik di dalam sel raksasa dengan pewarnaan PAS dan perbesaran
mikroskop 200x (Tamura dkk., 2011).

10
Perkembangbiakan melalui septasi ekuatorial merupakan tanda penting lainnya bagi
kromomikosis, bukan melalui pertunasan (budding) seperti pada blastomikosis. Preparat dengan
pewarnaan HE atau Giemsa untuk menemukan antigen jamur menunjukkan bahwa organisme
tersebut biasanya menumpuk di makrofag atau sel Langerhans. Kehadiran badan sklerotik (badan
Medlar) dengan morfologi copper pennies (uang logam tembaga) membedakan penyakit ini dari
feohifomikosis invasif (Gambar 7). Respons kekebalan terhadap organisme tampaknya
mempengaruhi presentasi klinis dan histologis. Pasien dengan lesi plak verukosa menunjukkan
respons kekebalan jenis T-helper 2 (Th2), sementara lesi plak atrofi eritema memiliki respons tipe T-
helper 1 (Th1) (James dkk., 2012).
Kultur in vivo pada agar dextrose Saboraud menunjukkan koloni berwarna hitam kehijauan
ditutupi beludru halus, berbatas tegas dan tumbuh lambat, yaitu selama 4-6 minggu pada suhu 25-
30oC (Gambar 8). Tiga bentuk produksi konidia dapat diamati pada organisme yang paling umum
menginfeksi: pertunasan acropetal, produksi phialide dan konidiasi simpodial. Beberapa organisme
yang polimorfik dapat menunjukkan lebih dari satu jenis konidiasi secara bersamaan (Wolff &
Johnson, 2009; Burns dkk., 2010; Tamura dkk., 2011; Goldsmith dkk., 2012). Terdapat 3 tipe konidia
mayor, yaitu (Elewski dkk., 2012):
- Menyerupai Cladophialophora: Rantai dengan cabang panjang dengan sel perisai pada titik-titik
percabangan).
- Menyerupai Phialophora: Berbentuk tunas yang meluap dari dalam vas.
- Menyerupai Rhinocladiella: Konfigurasi mirip dengan sikat maskara.

Badan sklerotik dalam dermis bebas dan dalam sel raksasa pada pewarnaan HE pada mikroskop
dengan dengan perbesaran 400x (Pena-Penabad dkk., 2003)

11
Hasil kultur jamur pada agar dextrose Saboraud pada suhu kamar selama 30 hari, didapatkan
gambaran tumpukan koloni dengan beludru halus dan berwarna gelap dengan diameter kisaran 8,5 cm
(Tamura dkk., 2011).

12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Kromomikosis, disebut juga sebagai kromoblastomikosis, merupakan infeksi jamur profunda
kronis yang disebabkan jamur berpigmen (dematiacieous) pada jaringan subkutan dengan gambaran
nodular dan verukosa yang dapat meluas dan menjadi plak besar dengan jaringan hemopurulen yang
mudah berdarah. Kejadian kromomikosis sering ditemukan pada daerah beriklim tropis dan
subtropis dengan suhu sedang, namun dapat terjadi di seluruh dunia. Penyakit ini umumnya
menyerang pria dewasa berusia 20 hingga 60 yang bekerja sebagai petani, peternak atau pekerja
tambang. Organimse penyebab kromomikosis hidup secara saprofit pada tanah dan masuk ke dalam
tubuh manusia melalui inokulasi langsung pada trauma kulit. Terdapat beberapa spesies jamur
penyebab kromomikosis, namun sebagian besar kasus disebabkan oleh Fonsecaea pedrosoi dan
Cladophialophora carrionii. Diagnosis kromomikosis dilakukan dengan melihat pada gambaran klinis
dan melalui pemeriksaan laboratorium, seperti kerokan kulit yang ditambahkan larutan KOH 10-20%
dan biopsi granuloma untuk melihat gambaran badan Medlar berbentuk “koin tembaga” yang khas
pada kromomikosis. Biakan organisme jamur pada agar dextrose Saboraud menghasilkan koloni
jamur berwarna hitam kehijauan dengan beludru halus. Pengobatan kromomikosis memerlukan
waktu yang lama dan kombinasi beberapa terapi, seperti penggunaan agen antifungal, bedah eksisi,
krioterapi dan termoterapi. Prognosis penyakit ini baik jika pengobatan sempurna dan tanpa penyulit
seperti infeksi bakterial sekunder dan karsinoma.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anaissie EJ, Mc Grinn MR & Pfallen MA. 2009. Clinical Mycology, 2nd Edition. Churchill Livingstone
Elsevier. p518-519.

Atherton D.J, Gennery A.R., Cant A.J. Rook’s Textbook Of Dermatology. 6th,edition. In : Burns Tony,
Breathnach Stephen, Cox Neil, Grittittis Christopher. Chromoblastomycosis. USA : Blackwell, 1998.
Hlm 1357-8

Burns T, Breathnach S, Cox N & Grifftith C. 2010. Rook’s Textbook of Dermatology, 8th Edition. New Jersey:
Wiley Blackwell. p1713-1714.

Elewski BE, Hughey LC, Sobera JO & Hay R. 2012. Fungal Diseases. In: Callon JP, Carroni L, Heymann WR,
Hruza GJ, Manaini AJ, Patterson JW, Rocken M & Schwarz T (editors). Bolognia’s Dermatology, 3rd
Edition. Saunders Elsevier. p1267-1270.

Flekman philip, Digiovanna J John. Fitzpatricks Dermatology in general medicine. 7rd edition. In : Wolff K,
A Lowwel, Goldsmith A Stephen, Gilchrest Barbara, Paller S, Leffel J. Chromoblastomycosis. New
York: Mc Graw-Hill Inc, 2008. hlm 2315-16

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ & Wolff K. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine, 8th Edition. McGraw-Hill. p2315-2316.

James WD, Elston DM & Berger TG. 2011. Andrew’s Disease of the Skin: Clinical Dermatology, 11 th
Edition. Saunders Elsevier. p313-314.

Orkin M, Maibach HI & Dahl MV. 1991. Lange’s Dermatology. Connecticut: Appleton & Lange. p171-172.

Pena-Penabad C, Duran MT, Yebra MT, Rodriguez-Lozano J, Vieira V & Fonseca E. 2003. Chromomycosis
due to Exophiala jeanselmei in a Renal Transplant Resipient. Eur. J. Dermatol.; 13: p305-307.

Ryan KJ. 2004. Characteristic of Fungi. In: Ryan KJ & Ray CG. Sherris Medical Microbyology – an
Introduction to Infectious Disease, 4th Edition. McGraw-Hill. p657.

Slesak G, Inthalad S, Strobel M, Marschal M, Hall MJR & Newton PN. 2011. Chromoblastomycosis after a
Leech Bite Complicated by Myasis: a Case Report. BMC Infectious Disease; 11: p14-21.

Tamura K, Matsuyama T, Yahagi E, Kojima T, Akasaka E, Kondo A, Ikoma N, Mabuchi T, Tamiya S, Ozawa A
& Mochizuki T. 2011. A Case of Chromomycosis Treated by Surgical Therapy Combined with
Preceded Oral Administration of Terbinafine to Reduce the Size of the Lesion. Tokai. J. Exp. Clin.
Med.; 37(1): p6-10.

Warnock DW. 2012. Fungi: Superficial, Suncutaneous and Systemic Mycoses. In: Greenwood D, Barer M,
Slack R & Irving W (editors). Medical Microbiology – a Guide to Microbial Infections: Pathogenesis,
Immunity, Laboratory Investigation and Control, 18 th Edition. Churcill Livingstone Elsevier. p616-
641.

14
Warrell DA, Cox TM, Firth JD & Benz Jr EJ. 2005. Oxford Textbook of Medicine, 4th Edition. New York:
Oxford University Press.

Wolff K & Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology, 6 th Edition.
McGraw-Hill. p742-743.

15

Anda mungkin juga menyukai