Anda di halaman 1dari 4

Kelembagaan Kebijaksanaan Moneter

Sektor perbankan atau sektor keuangan formal di Indonesia dalam tahun-tahun pertama
kemerdekaan terdiri dari sebuah bank sentral (yang juga beroperasi sebagai bank umum), 5 bank
umum yang besar (4 di antaranya bank-bank dagang warisan jaman Penjajahan, dan yang
kemudian dinasionalisasi dalam tahun 1950an), sebuah bank pembangunan (investment bank )
milik negara, sekitar 100 bank-bank swasta domestik kecil dan 4 buah bank asing. Orientasi
perbankan pada waktu itu terutama tertuju pada pembiayaan dan kelancaran perdagangan
intemasional, di samping terbuka kesempatan untuk memperluas ruang lingkup kegiatan
perbankan. Misalnya pada tahun 1952, telah ada perdagangan saham-saham luar negeri,
meskipun dalam jumlah yang kecil, dan selama tahun 1950an pemerintah mengeluarkan
obligasi-obligasi. Namun, lembaga-lembaga keuangan hanya dapat berkembang dengan baik
dalam keadaan harga-harga yang relatif stabil. Dengan terjerembabnya Indonesia ke dalam
keadaan hiperinflasi, lembaga-lembaga keuangan yang ada mengalami masa surut.

Menjelang tahun 1965, bank-bank umum tidak dapat lagi menjalankan fungsi-fungsinya yang
normal: lnflasi telah merongrong kemampuan bank umum menarik dana-dana masyarakat, dan
akibatnya kegiatan perbankan di bidang peminjaman menjadi tidak berarti. Seluruh sektor
perbankan hanya berperan sebagai saluran pembiayaan defisit APBN. Banyak bank-bank umum
swasta tutup, dan hanya bank-bank milik pemerintah yang masih dapat bertahan karena telah
berubah fungsinya menjadi salah satu saluran penciptaan uang; mereka sesungguhnya hanya
menjadi semacam cabang dari bank sentral dan diawasi langsung oleh penguasa moneter. Pada
tahun 1964 semua bank asing ditutup.

Struktur perbankan yang demikian inilah yang diwarisi oleh Pemerintah Orde Baru pada tahun
1965. Menyadari adanya kegagalan kebijaksanaan yang mengandalkan campur tangan langsung
pemerintah di masa lalu, Pemerintah Orde Baru berusaha untuk mengurangi peran negara di
dalam kehidupan ekonomi, dengan lebih mengandalkan kekuatan-kekuatan pasar dan memberi
kesempatan kepada sektor swasta untuk mengambil peranan lebih besar di dalam perekonomian.
Pada jaman itu konglomerasi bank milik negara yang merupakan peleburan bank-bank
pemerintah ke dalam satu unit administrasi dihapuskan, dan satu tingkat kebebasan bertindak
tertentu dikembangkan kepada masing-masing bank pemerintah. Pemberian izin usaha bank baru
diberhentikan sejak tahun 1971.

Bank-bank pemerintah ini merupakan unsur pokok dari sistem perbankan di Indonesia pada saat
itu. Dengan sekitar 600 cabangnya di seluruh Indonesia, bank-bank ini merupakan satu jaringan
luas yang diharapkan dapat menjadi wadah perkembangan sistem keuangan selanjutnya. Bank-
bank ini mempunyai hubungan khusus dengan bank sentral sehingga simpanan-simpanan yang
ada pada mereka terjamin, dan kadang-kadang dengan hubungan ini mereka dapat menawarkan
bunga deposito yang cukup tinggi karena memperoleh subsidi. Selain itu, mereka dapat
memperoleh dana murah untuk disalurkan ke bidang-bidang lain yang menguntungkan mereka.
Sebagai imbalan dari fasilitas-fasilitas khusus ini bank-bank pemerintah diwajibkan memberi
pinjaman kepada proyek-proyek khusus dan sektor-sektor yang diprioritaskan oleh pemerintah,
menyediakan fasilitas-fasilitas perbankan sampai ke tingkat desa, dan menyerahkan kepada
pemerintah hak untuk menentukan tingkat bunga, baik untuk simpanan/deposito yang mereka
terima maupun untuk pinjaman-pinjaman yang mereka berikan. Dengan makin berkembangnya
bank-bank umum, Bank Indonesia (yang sebelumnya bertindak sebagai bank sentral dan
sekaligus sebagai bank umum) menghentikan fungsi bank umumnya. Perubahan ini secara resmi
dicantumkan dalam Undang-undang Bank Sentral tahun 1968.

Di samping kebijaksanaan baru diberlakukan terhadap bank-bank pemerintah tersebut, bank-


bank umum milik swasta dan cabang-cabang bank asing juga menikmati iklim usaha yang lebih
baik setelah 1968. Banyak bank swasta tidak berfungsi sebagai bank dalam arti yang
sesungguhnya dan hanya merupakan alat perusahaan swasta untuk memperlancar kegiatan
keuangannya. Namun sejak awal 1970an, bank-bank ini muncul sebagai bank dalam arti
sesungguhnya, dan menerima simpanan dari perusahaan-perusahaan nasabah mereka dan juga
memberikan kredit kepada mereka. Setelah 1972 bank-bank asing telah membuka kantor
perwakilan dan kantor-kantor bank asing ini juga membawa pengaruh-pengaruh positif terhadap
perkembangan sektor keuangan di Indonesia, dengan makin eratnya hubungan Indonesia pusat-
pusat keuangan internasional, para peminjam kredit yang bonafide (misalnya perusahaan negara
dan perusahaan patungan) mulai menyadari bahwa mereka dapat memperoleh dana yang lebih
murah di luar negeri. Perkembangan kelembagaan ini telah memperlancar aliran modal dalam
jumlah yang besar ke dalam negeri.

Mengingat derasnya aliran modal dalam jumlah yang besar ke dalam negeri di satu pihak,
dan di lain pihak kemampuan sistem perbankan yang dianggap kurang memadai dalam menyerap
dana masyarakat, maka baru pada tahun 1983 pemerintah mengeluarkan deregulasi perbankan
untuk pertama kalinya, yang dikenal dengan Paket juni (Pakjun) 1983. Paket ini memberikan
kemudahan bagi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan
dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam Penyaluran kredit. Dalam
paket ini juga diperkenalkan adanya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat Berharga
Pasar Uang (SBPU). Pakjun tersebut berhasil ”menarik” dana masyarakat ke bank secara
dramatis dan diharapkan bisa merangsang pertumbuhan perbankan.

Lima tahun setelah Pakjun itu, pemerintah mengeluarkan Paket 27 Oktober 1988 yang
dikenal dengan Pakto 88. Paket ini adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan
Indonesia Hanya dengan modal Rp 10 miliar, siapa saja bisa mendirikan bank baru. Dan kepada
bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diizinkan membuka cabangnya di enam kota.
Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diizinkan. Reserve
requirement bank lokal diturunkan dari 15% menjadi 2% Pakto 88 dianggap telah banyak
mengubah kehidupan perbm hasional. Iumlah bank tumbuh dari 111 bank pada Maret 1989
menjadi 176 bank pada Maret 1991. Pada tahun 1992 tercatat jumlah bank 17 ribu buah, 8400 di
antaranya adalah BPR (bank perkreditan rakyat). Kelihatannya, banyak dana-dana luar negeri
yang masuk lewat pasar modal, yang dipakai untuk mendirikan bank di Indonesia. Akibat
sampingannya adalah menjamumya bank-bank gelap. Agaknya gairah memanfaatkan
pertumbuhan bank itu membuka ”mata nakal” para spekulan yang tahu benar keinginan nasabah
untuk mendapat bunga tabungan atau deposito setinggi-tingginya. Pemerintah juga telah
mengizinkan dibukanya lembaga-lembaga keuangan non bank. Lembaga-lembaga ini
dimaksudkan sebagai alat untuk memobilisasi dana-dana jangka panjang (baik yang berasal dari
dalam negeri maupun dari luar negeri) untuk membiayai investasi dari perusahaan-perusahaan.
Lembaga-lembaga ini biasanya didirikan dalam bentuk kongsi antara mereka yang mempunyai
kepentingan perbankan di dalam negeri dan di luar negeri. Dalam praktek, lembaga-lembaga ini
berfungsi seperti bank meskipun mereka tidak menerima giro dan cenderung untuk mempunyai
nasabah perusahaan-perusahaan besar. Bursa efek dihidupkan kembali dan disempurnakan.
Pertumbuhan lembaga sektor moneter, khususnya bank baru, terus berlanjut dan tampaknya tidak
terkendali.

Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja. mobilisasi dana deposito
dan tabungan juga semakin kompetitif. Kebijaksanaan yang terlalu bebas tersebut menyebabkan
banyak pihak yang dirugikan karena tidak profesionalnya bank (terutama dalam memberikan
pinjaman kredit). Pertimbangan pemerintah adalah tahun 1988 dijadikan tahun untuk ekspansi
dan tahun 1991-1994 untuk menguatkan perbankan Indonesia.

Pada tahun 1991 pemerintah meluncurkan paket kebijaksanaan mengatur syarat bahwa modal
sendiri dari sebuah bank seharusnya sebesar 8 % dari seluruh aset, karena diyakini bahwa pada
saat itu banyak bank yang mempunyai kecukupan modal (dikenal dengan istilah capital adequacy
ratio atau CAR, perbandingan antara modal sendiri dengan aset) sangat rendah, di bawah 5
persen malah ada yang negatif. Aturan ini membuat bank-bank memperkuat modalnya sendiri.
Kemudian Maret 1992 pemerintah mengeluarkan undang-undang perbankan No. 7 yang
mengatur berbagai syarat untuk mendirikan bank-bank, seperti susunan organisasi, permodalan,
kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja dan lain-lainnya. Dan pada tahun itu
juga pemerintah menaikkan modal minimum pendirian bank, dari Rp 10 miliar menjadi Rp 50
miliar. Meskipun syarat permodalan dan lainnya dalam mendirikan bank diperketat,
pertumbuhan bank baru masih berlanjut hingga tahun 1994. Banyak bank dikuasai para
konglomerat, yang ternyata menyuburkan praktek pemberian kredit untuk kelompok usaha
mereka sendiri. Beberapa bank berubah menjadi bank devisa karena syaratnya yang dianggap
masih terlalu lunak.
Meledaknya jumlah bank itu diikuti dengan kompetisi sengit dalam perekrutan tenaga kerja,
terjadi heboh pembajakan karyawan bank. Kompetisi sengit juga terjadi dalam hal mobilisasi
dana masyarakat (giro, deposito dan tabungan) dan usaha untuk mengucurkan kredit dan
pinjaman. Yang terjadi adalah tindakan hati-hati dan keamanan dalam menyalurkan kredit
menjadi terabaikan, tingkat bunga membubung tinggi, yang akhirnya diikuti Oleh kredit macet
yang menggunung. Banyak bank mengalami kesulitan likuiditas dan para konglomerat pemilik
bank terjun ke dunia politik untuk memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan Sumber daya
ekonomi, yang berujung pada skandal Likuiditas Bank Indonesia (LBI), maksudnya tidak sedikit
bantuan likuiditas yang disalah gunakan dan diselewengkan.

Pembenahan dan penguatan sistem perbankan masih terus dijalankan, misalnya melonggarkan
aturan soal CAR (yang membolehkan seluruh laba tahun sebelumnya dimasukkan ke dalam
komponen modal sendiri), pemberian kredit bagi grup usahanya (diturunkan dari 50 persen
menjadi 20 persen dari total kredit yang disalurkan), pengaturan kredit usaha kecil, cadangan
Wajib minimum bagi perbankan (diubah dari 3 persen menjadi 5 persen) dan lain-lain. Pada
bulan Juli 1997 ditentukan pembatasan pemberian kredit oleh bank umum kepada perusahaan
pengembang properti dan kebijaksanaan penundaan terhadap mega proyek, karena banyaknya
kredit macet di bidang tersebut. Kemelut perbankan ini akhirnya berujung pada pengumuman
pemerintah pada 1 November 1997 untuk melikuidasi 16 bank secara serentak dan 22 April 1998
mengumumkan 54 bank dimasukkan ke dalam program penyehatan di bawah BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional). Sejumlah bank lain akan melakukan merger, termaSuk bank
milik pemerintah.

Krisis perbankan yang terjadi di Indonesia tergolong yang paling parah dibandingkan yang
terjadi di negara lain, Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand. Kemelut perbankan yang terjadi di
negara-negara Amerika Latin pun tidak separah yang di Indonesia. Babak berikutnya secara
alamiah adalah bahwa jumlah bank kian menyusut. Lalu muncul sosok bank-bank besar yang
jumlahnya relatif sedikit, jumlah bank swasta nasional terpangkas dari 160 buah sebelum krisis
menjadi hanya 81 buah per Juni 2000. Penguatan dan pembenahan perbankan tidak berhenti di
sini, melainkan baru membuka lembaran baru menuju sistem perbankan (keuangan) yang sehat.
Banyak peraturan Bank Indonesia yang telah dikeluarkan, misalnya saja tahun 2005 dikeluarkan
peraturan Bank Indonesia mengenai perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank
Indonesia dalam rupiah dan valuta asing. Perkembangan jumlah bank

Dari 2002 sampai 2007 disajikan pada Tabel 8.6. Dari tabel tersebut ternyata bahwa dalam kurun
waktu enam tahun (2002-2007) jumlah bank mengalami penurunan dari 302 buah (2002)
menjadi hanya 260 buah (2007), yang berarti ada penurunan sekitar 14 persen. Bank yang
mengalami penurunan dalam jumlah adalah bank umum (-21 buah) bank umum swasta nasional
(BUSN) devisa (-3 buah) dan non devisa (7 buah), dan bank campuran (12 buah), sedangkan
jumlah bank persero tetap (5 buah) dan BPD tetap 26 buah. Satusatunya bank yang mengalami
peningkatan jumlah adalah bank asing, dari 10 buah (2002) menjadi 11 buah (2007). Sedangkan
kalau yang dilihat dari jumlah kantor bank, tampaknya semua jenis bank melakukan penambahan
jumlah kantornya, sehingga secara keseluruhan jumlah kantor bank meningkat dari sekitar 13
ribu (2002) menjadi lebih dari 19 ribu (2007) atau sekitar 50 persen dalam kurun waktu enam
tahun. Melihat angka-angka ini, mungkin secara umum dapat dikatakan bahwa sistem perbankan
di Indonesia belum begitu sehat, masih terdapat terlalu banyak bank sebagai akibat dari Pakto 88,
masih akan terjadi pengurangan jumlah bank. Hal ini juga ditunjukkan oleh dana masyarakat
yang masuk ke sistem perbankan yang terlalu banyak dibandingkan dengan kemampuan
menyalurkannya, sehjngga LDR bank secara keseluruhan hanya mencapai 57 persen, seperti
ditunjukkan pada seksi sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai