Anda di halaman 1dari 17

RMK PERILAKU KEORGANISASIAN

KEKUASAAN DAN POLITIK


SAP 10 DAN PERTEMUAN KE-10

Oleh:

Kelompok 4

1. Ni Luh Ayu Suarningsih NIM/ABSEN. 1607532012 / 10


2. Ida Ayu Santi Dharmastri Laksmi NIM/ABSEN. 1607532027 / 22
3. Made Bayu Suartama NIM/ABSEN. 1607532032 / 26
4. Clara Yunneke Tanadi NIM/ABSEN. 1607532037 / 28
5. I Made Hari Wicaksana NIM/ABSEN. 1607532039 / 30
6. Dicky Wahyudi Rumaday NIM/ABSEN. 1607532040 / 31
7. I Gede Adhi Brahmanda NIM/ABSEN. 1607532061 / 37

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2018/2019
KEKUASAAN DAN POLITIK

0
10.1. KONSEP MENGENAI KEKUASAAN

10.1.1. Definisi Kekuasaan


Kekuasaan (power) menurut Robbins dan Judge (2015:279) merupakan kapasitas
yang dimiliki A untuk memengaruhi perilaku B, sehingga B melakukannya sesuai keinginan
A. Seseorang bisa jadi memiliki kekuasaan tapi tidak menggunakannya; baik berupa
kemampuan maupun potensial. Mungkin aspek yang paling penting dari kekuasaan adalah
apakah terdapat fungsi ketergantungan.
Robbins dan Judge (2015:280) menjelaskan ketergantungan sebagai hubungan B
dengan A, di mana A memiliki apa yang dibutuhkan B. Semakin besar ketergantungan B
terhadap A, semakin besar kekuasaan A dalam hubungan tersebut. Ketergantungan
berdasarkan pada alternatif yang diterima A dan seberapa penting bagi B mengenai
alternative kontrol A. Seseorang dapat memiliki kekuasaan atas Anda hanya jika dia memiliki
kontrol terhadap apa yang Anda inginkan.

10.1.2. Membedakan Kepimpinan Dengan Kekuasaan


Robbins dan Judge (2015:280) membedakan kepimpinan dengan kekuasaan melalui
kekuasaan tidak memerlukan kesesuaian tujuan, hanya ketergantungan semata. Kepimpinan,
pada sisi lain, memerlukan beberapa kesesuaian di antara tujuan-tujuan pemimpin dengan
yang dipimpin. Perbedaan keduanya terkait dengan arahan dari pengaruh. Kepimpinan
menitik beratkan pada pengaruh ke arah bawah kepada para pengikut. Kekuasaan menurut
beberapa riset yang dikeluarkan, menitikberatkan pada taktik untuk memperoleh kepatuhan.
Ini melampaui individu sebagai pelaksana kekuasaan, karena kelompok sama halnya dengan
para individu dapat menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan para individu atau
kelompok lainnya.

10.1.3. Dasar Kekuasaan


Robbins dan Judge (2015:281) membagi dasar atau sumber kekuasaan ke dalam dua
pengelompokkan umum yaitu:
1) Kekuasaan Formal
Kekuasaan formal didasarkan pada posisi seorang individu di dalam organisasi.
Ini dapat berasal dari kemampuan untuk memaksa atau memberikan imbalan,
atau dari wewenang formal. Kekuasaan formal dibagi menjadi tiga menurut
Robbin dan Judge (2015:281) yaitu:

1
(a) Kekuasaan Paksaan, merupakan dasar kekuasaan yang bergantung pada
ketakutan atas hasil yang negatif akibat kegagalan untuk memenuhi.
(b) Kekuasaan Imbalan, merupakan pencapaian kepatuhan yang didasarkan
pada kemampuan untuk mendistribusikan imbalan yang mana orang lain
memandangnya berharga.
(c) Kekuasaan Legitimasi, merupakan kekuasaan yang diterima oleh seseorang
sebagai hasil dari posisinya di dalam hierarki formal suatu organisasi.
2) Kekuasaan Pribadi
Kekuasaan pribadi berasal dari karakteristik unik individu. Robbins dan Judge
(2015:282) membagi kekuasaan pribadi menjadi dua yaitu:
(a) Kekuasaan Karena Keahlian, merupakan pengaruh yang didasarkan pada
keahlian atau pengetahuan khusus.
(b) Kekuasaan Acuan, merupakan pengaruh yang didasarkan pada identifikasi
dengan seseorang yang memiliki sumber daya atau sifat pribadi yang
diinginkan.

10.1.4. Ketergantungan: Kunci Menuju Kesuksesan


Aspek terpenting dari kekuasaan adalah bahwa hal ini merupakan suatu fungsi
kebergantungan. Dalam bagian ini, akan ditunjukkan betapa pentingnya pemahaman
mengenai kebergantungan dalam upaya untuk lebih lanjut memahami kekuasaan itu sendiri
(Robbins dan Judge, 2015:283).
1) Merumuskan Kebergantungan Secara Umum
Semakin besar ketergantungan B kepada A, semakin besar kekuasaan A atas B.
Ketika Anda memiliki apa pun yang dibutuhkan orang lain dan hanya Anda
seorang dirilah yang mengendalikannya, Anda membuat orang lain itu bergantung
kepada Anda dan, karena itu, Anda berkuasa atasnya. Jadi, ketergantungan
berbanding terbalik dengan sumber-sumber penawaran alternative (Robbins dan
Judge, 2015:283).

2) Apakah yang Menciptakan Kebergantungan?


Ketergantungan akan meningkat manakala sumber-sumber daya yang Anda
kendalikan itu pentingnya, langka, dan tak tergantikan.
(a)Pentingnya, jika tak seorang pun menginginkan yang Anda
miliki,ketergantungan pada Anda tidak akan tercipta. Karena itu, untuk
menciptakan ketergantungan, hal-hal yang Anda kontrol haruslah hal-hal yang
dipandang penting. Banyak organisasi, misalnya, secara aktif berusaha
menghindari ketidakpastian. Karenanya kita akan menemukan bahwa individu
atau kelompok yang dapat menghilangkan ketidakpastian suatu organisasi

2
akan dipandang sebagai penguasa sumber daya yang penting (Robbins dan
Judge, 2015:283).
(b)Kelangkaan, sebagaimana dinyatakan sebelumnya, jika sesuatu itu berjumlah
banyak, kepemilikan atasnya tidak akan meningkatkan derajat kekuasaan
Anda. Suatu sumber daya harus bisa dilihat sebagai sesuatu yang langka guna
menciptakan ketergantungan. Ini dapat membantu menjelaskan bagaimana
para bawahan dalam sebuah organisasi yang memiliki pengetahuan penting
yang tidak dimiliki pemimpin mendapatkan kekuasaan atas kelompok yang
disebut terakhir ini. Kepemilikan sumber daya yang langka dalam hal ini,
pengetahuan yang penting menjadikan pemimpin bergantung pada bawahan.
Ketergantungan lebih jauh dapat dilihat dalam kekuasaan yang termasuk
kategori jabatan. Individu-individu yang memiliki jabatan di mana persediaan
personel relatif rendah dibandingkan dengan kebutuhnnya dapat merundingkan
paket-paket kompensasi dan tunjangan yang jauh lebih menarik dibanding bila
jumlah calonnya banyak. Pengelola perguruan tinggi saat ini tidak menemui
masalah utnuk mencari dosen bahasa Inggris. Sebaliknya pasar untuk guru
teknik komputer sangat ketat: permintaan memungkinkan mereka utnuk
merundingkan gaji yang lebih tinggi, beban mengajar yang lebih rendah, dan
tunjangan lainnya (Robbins dan Judge, 2015:284).
(c)Tidak Tergantikan, semakin sedikit pengganti yang tersedia bagi suatu
sumber daya, semakin besar kekuasaan yang diberikan oleh kontrol atas
sumber daya tersebut. Pendidikan yang lebih tinggi sekali lagi menyediakan
contoh yang sempurna. Di universitas-universitas di mana ada tekanan yang
kuat bagi tenaga pengajar untuk menerbitkan karya mereka, kita dapat
mengatakan bahwa kekuasaan seorang kepala jurusan atas seorang tenaga
pengajar berkorelasi terbalik dengan banyaknya publikasi tenaga pengajar
yang bersangkutan. Semakin banyak pengakuan yang diterima oleh seorang
tenaga pengajar itu melalui publikasi karyaya, semakin leluasalah ia. Artinya,
karena universitas-universitas lain menginginkan tenaga pengajar yang banyak
mempublikasikan karyanya dan terpandang, pemintaan akan jasa tenaga
pengajar tersebut pun meningkat. Meskipun masa kerja juga turut mengubah
hubungan ini dengan cara membatasi alternatif yang dimiliki kepala jurusan,
tenaga-tenaga pengajar yang baru sedikit mempublikasikan karyanya atau
tidak memiliki publikasi sama sekali memiliki mobilitas paling kecil dan

3
mendapat pengaruh terbesar dari atasan mereka (Robbins dan Judge,
2015:284).

10.1.5. Kekuasaan Taktik


Kekuasaan taktik menurut Robbins dan Judge (2015:285) merupakan cara-cara yang
mana para individu akan menerjemahkan kekuasaan yang mendasari ke dalam tindakan-
tindakan yang spesifik. Riset telah mengidentifikasi sembilan pengaruh taktik yang berbeda:
a) Legitimasi. Mengandalkan posisi kewenangan seseorang atau menekankan
bahwa sebuah permintaan selarasdengan kebijakan atau ketentuan dalam
organisasi.
b) Bujukan yang rasional. Menyajikan argumen-argumen yang logis dan berbagai
bukti faktual untuk memperlihatkan bahwa sebuah permintaan itu masuk akal.
c) Daya tarik yang menjadi sumber inspirasi. Mengembangkan komitmen
emosinal dengan cara menyerukan nilai-nilai, kebutuhan, harapan, dan aspirasi
sebuah sasaran.
d) Konsultasi. Meningkatkan motivasi dan dukungan dari pihak yang menjadi
sasaran dengan cara melibatkannya dalam memutuskan bagaimana rencana atau
perubahan akan di jalankan.
e) Pertukaran. Memberikan imbalan kepada terget atau sasaran berupa uang atau
penghargaan lain sebagai ganti karena mau menaati suatu permintaan.
f) Daya tarik pribadi. Meminta kepatuhan berdasarkan persahabatan atau
kesetiaan.
g) Menjilat. Menggunakan rayuan, pujian, atau perilaku bersahabat sebelum
membuat permintaan.
h) Tekanan. Menggunakan peringatan, tuntutan tegas, dan ancaman.
i) Koalisi. Meminta bantuan orang lain untuk membujuk sasaran (target) atau
mengguanakan dukungan orang lain sebagai alasan agar si sasaran setuju.

10.1.6. Bagaimana Kekuasaan Dapat Memengaruhi Orang-Orang


Frank Llyod Wright, seorang arsitek dari Amerika merupakan sebuah contoh yang
baik terhadap efek negatif kekuasaan. Kekuasaan nampaknya memiliki beberapa efek
menggangu yang penting terhadap kita. Kekuasaan tidak memengaruhi setiap orang dengan
cara yang sama, dan bahkan terdapat efek positif dan kekuasaan. Mari kita pertimbangkan
masing-masing dari hal ini secara berurutan.
a) Efek berbahaya dari kekuasaan bergantung pada kepribadian seorang Riset yang
menyatakan bahwa jika kita memiliki kepribadian cemas, maka kekuasaan itu
akan merusak kita karena kita kurang memikirkan untuk menggunakan kekuasaan
agar menguntungkan kita.

4
b) Efek merusak dari kekuasaan dapat dikurangi oleh sistem organisasi.
c) Memaafkan, tetapi kita memiliki kekuatan untuk mengumpulkan efek negatif dari
kekuasaan.
Terdapat faktor-faktor yang dapat memperbaiki efek negatif dari kekuasaan. Tetapi
terdapat pula efek positifnya. Kekuasaan akan memberikan energi dan mengarahkan pada
pendekatan motivasi (yaitu, semakin termotivasi untuk mencapai tujuan). Salah satu riset
menemukan, sebagai contoh yakni bahwa nilai dari membantu orang lain hanya
diterjemahkan ke dalam perilaku kerja aktual ketika orang merasakan kekuasaan.
Riset ini menunjuk pada sebuah wawasan yang penting mengenai kekuasaan. Kajian
lainnya engungkapkan bahwa kekuasaan mengarah pada perilaku yang mementingkan diri
sendiri tersebut hanya bagi mereka dengan indentifikasi moral yang lemah (yaitu, keadaan
yang mana moral merupakan inti dari seseorang). Hal ini diungkapkan oleh Robbins dan
Judge (2015:288).
10.1.7. Pelecehan Seksual: Kekuasaan Yang Tidak Seimbang di Tempat Kerja
Pelecehan Seksual didefinisikan oleh Robbins dan Judge (2015:289) sebagai segala
aktivitas yang telah diinginkan atas keadaan seksual yang memengaruhi pekerjaan seorang
individu dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman. Organisasi pada umumnya
membuat kemajuan dengan membatasi bentuk nyata pelecehan seksual. Pelecehan seksual
meliputi sentuhan fisik yang tidak diinginkan, permintaan kencan yang berulang ketika telah
dijelaskan bahwa orang tersebut tidak tertarik, dan ancaman yang memaksabahwa seseorang
akan kehilangan pekerjaannya apalabila menolak sebuah proposisi seksual.
Pelecehan seksual lebih cenderung terjadi ketika terdapat perbedaan kekuasaan yang
besar. Supervisior pekerjaan dua kombinasi karakteristik yang terbaik atas hubungan
kekuasaan yang tidak merata, di mana kekuasaan formal memberikan kepada supervisior
kapasitas untuk memberikan imbalan dan memaksa. Wanita yang memiliki jabatan tinggi
dalam organisasi dapat juga mengalami pelecehan seksual dari para pria yang memiliki posisi
jabatan yang lebih rendah, meskipun situasi ini tidak mendapat perhatian yang hampir sama
banyaknya dengan peleehan oleh atasan atau supervisior. Perilah kekuasaan, para pekerja
merendahkan wanita denganmenyoroti gender secara stereotip tradisional yang
mencerminkan secara negatif terhadapnya (misalnya, ketidak berdayaan, kepasifan, atau
kurangnya komitmen ata karier), biasanya dalam upaya untuk memperoleh kekuasan atau
untuk meminimalkan perbedaan kekuasaan. Di sini terdapat beberapa cara yang dilakukan
oleh para manajer agar dapat melindungi diri mereka sendiri dan parapekerja mereka dari
pelechan seksual (Robbins dan Judge, 2015:290-291), yaitu:
5
1) Memastikan suatu kebijakan aktif yang mendefinisikan apa yang merupakan
pelecehan seksual, misalnya dengan mengumumkan pemutusan hubungan kerja
bagi orang yang melakukan pelecehan seksual terhadap orang yang melakukan
pelecehan seksual terhadap pekerja lainnya, dan menetapkan prosedur untuk
menyampaikan keluhan.
2) Meyakinkan para pekerja bahwa mereka tidak akan berhdapan dengan pembahasan
jika mereka menyampaikan keluhan.
3) Menginvestigasi seluruh keluhan, dan memberitahukan kepada departemen hokum
dan seumber daya manusia.
4) Memastikan para pelanggar diberikan kedisiplinan atau diberhentikan.
5) Menetapkan seminar-seminar di perusahaan untuk meningkatkan kewaspadaan dari
para pekerja atas persoalan pelecehan seksual.
10.2. KONSEP MENGENAI POLITIK

10.2.1. Politik: Kekuasaan Beraksi


1) Definisi dari Politik Organisasi
Definisi ini mencakup apa yang sebgian besar orang maksudkan ketika mereka
berbicara mengenai politik organisasi. Perilaku politik berada di luar persyaratan
pekerjaan yang dispesifikasikan. Ini memerlukan beberapa upaya untuk
memanfaatkan basis kekuasaan. Meliputi upaya untuk memengaruhi tujuan,
criteria, atau proses yang digunaka dalam pengambilan keputusan. Definisi kami
cukup luas yang mencakup perilaku berpolitik yang bervariasi seperti misalnya
menahan informasi yang sangat penting dari para pengambil keputusan,
bergabung dengan koalisi, pemberi informasi, menyebarkan rumor, membocorkan
informasi yang bersifat rahasia kepada media, dan melobi atas kepentingan atau
terhadap individu tertentu. Perlaku politik menurut Robbins dan Judge (2015:291)
adalah aktivitas yang tidak dipersyaratkan sebagai bagian dari peranan formal
seseorang dari organisasi tetapi yang memengaruhi, atau berupaya untuk
memengaruhi, distribusi keuntungan dan kerugian di dalam organisasi.
2) Realitas Politik
Politik adalah sebuah kenyataan realitas hidup dalam organisasi. Organisasi
terbentuk dari individu dan kelompok dengan nilai, tujuan, dan kepentingan yang
berbeda-beda. Fakta ini, mengandung potensi timbulnya konflik untuk
memperebutkan sumber daya. Sumber daya yang dimiliki organisasi juga ada
batasnya, sehingga potensi konflik berubah menjadi konflik nyata. Lebih jauh,
entah benar atau salah, keuntungan satu orang atau kelompok seringkali dipahami
6
akan diperoleh dengan mengurbankan orang-orang atau kelompok lain dalam
organisasi. Barangkali, faktor terpenting yang mendorong tumbuhnya politik di
dalam organisasi adalah kesadaran bahwan sebagian besar “fakta” yang
digunakan untuk mendasarkan pengalokasian sumber daya yang terbatas itu
terbuka untuk ditafsirkan secara beragam. Terakhir, karena sebagian besar
keputusan harus dibuat dalam ambiguitas- di mana fakta jarang yang sepenuhnya
objektif dan, karenanya, terbuka untuk diinterprestasikan – orang–orang di dalam
organisasi akan menggunakan pengaruh apa pun semampu mereka untuk
menelikung kenyataan demi memperjuangkan tujuan dan kepentingan mereka.
Hal ini memunculkan aktivitas yang kita kenal dengan Politisasi.
Jadi untuk menjawab mengenai apakah mungkin bagi sebuah organisasi bebas
dari politik bisa dijawab “Ya”, jika semua anggota punya tujuan dan kepentingan
yang sama, sumber daya tidak langka, serta kinerja benar-benar jelas dan objektif
(Robbins dan Judge, 2015:292).

10.2.2. Penyebab Dan Konsekuensi Dari Perilaku Politik


1) Faktor-Faktor yang Memberikan Kontribusi bagi Perilaku Politik
(a) Faktor Individu. Para peneliti telah mengidentifikasi sifat-sifat keperibadian
tertentu, kebutuhan, dan beberapa faktor lain yang dapat dikaitkan dengan
perilaku politik seseorang. Dalam hal sifat, kita menemukan bahwa para
karyawan yang mempu merefleksi diri secara baik (high self-monitor), memiliki
pusat kendali (locus of control) internal, dan memiliki kebutuhan yang tinggi
akan kekuasaan punya kemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam perilaku
politik. Orang yang mampu merefleksi diri secara baik lebih sensitive terhadap
berbagai tanda sosial, mampu menampilkan tingkat kecedasarn social, dan
terampil dalam berperilaku politik daripada mereka yang kurang mampu
merefleksi diri (low self monitor). Selain itu investasi seseorang dalam organisasi,
alterbatir-alternatif yang diyakininya ada, dan harapan akan kesuksesan turut
mempengaruhi sejauh mmama ia akan memanfaatkan sarana tindakan politik
yang tidak sah (Robbins dan Judge, 2015:293).
(b) Faktor-Faktor Organisasi. Kegiatan politik kiranya lebih merupakan fungsi
karakteristik organisasi ketimbang fungsi variabel perbedaan individu. Tanpa
menafikan peran yang mungkin dijalankan oleh perbedaan-perbedaan individual
dalam menumbuhkembangkan prose politisasi, bukti menunjukkan bahwa situasi
dan kultur tertentulah yang lebih mendukung politik. Selain itu, kultur yang
tercirikan oleh tingkat kepercayaan yang rendah, ambiguitas peran, sistem
7
evaluasi kinerja yang tidak jelas, praktik-praktik alokasi imalan zero-sum
(perolehan hangus karena kurang memuaskan), pengambilan keputusan secara
demikartis, tekanan yang tinggi atas kinerja, dan manajer-manajer senior yang
egois menciptakan lahan pembiakan yang subur bagi politisasi.
Bila kultur sebuah organisasi semakin menekankan pendekatan zero-sum atau
menang-kalah dalam kebijakan alokasi imbalannya, karyawan akan semakin
termotivasi untuk melibatkan diri dalam politisasi. Terakhir, ketika pada
karyawan melihat orang-orang yang ada di puncak terlibat dalam perilaku politik,
khususnya ketika mereka berhasil melakukannya dan mendapatkan imbalan atas
keberhasilan itu, terceiptakan sebuah suasana yang mendukung politisasi.
Politisasi dalam pengertian tertentu, membuka jalan bagi mereka yang memiliki
kedudukan lebih rendah dalam organisasi untuk juga bermain politik sembari
member kesan bahwa perilaku semacam ini dapat diterima dan wajar (Robbins
dan Judge, 2015:294).
2) Bagaimana Orang-Orang Memberikan Tanggapan terhadap Politik
Organisasi
Kita melihat hasil-hasil yang menguntungkan bagi mereka yang berhasil dalam
perilaku politiknya tetapi sebagian besar orang yang keterampilan politiknya
biasa-biasa saja atai tidak mau bermain politik hasilnya cenderung negatif.
Persepsi terhadap politik cenderung meningkatkan kecemasan dan stres kerja. Hal
ini disebabkan oleh persepsi bahwa, dengan tidak terlibat dalam politik, seseorang
bisa kehilangan pijakan kepada orang lain yang aktif bermain politik; atau
sebaliknya. Lantaran ada tekanan tambahan yang dirasakan oleh individu-
individu karena masuk ke dan bersaing dalam arena politik.
Dari kesimpulan di atas penjelasan menarik telah disampaikan, antara lain:
(a) Hubungan politik – kinerja tampaknya dimoderatkan oleh pemahaman
individu tentang “bagaimana” dan “mengapa” politik organisasi itu.
(b) Ketika politik dipandang sebagai ancaman dan senantiasa direspon secara
defensive, akhirnya yang muncul adalah hasil yang negatif.
Manakala memandang politik sebagai ancaman alih-alih sebagai peluang, orang
tak jarang akan meresponnya dengan perilaku defensif (defensive behavior) -
perilaku reaktif dan protektif untuk menghindari aksi, disalahkan, atau perubahan
(Robbins dan Judge, 2015:295).

10.2.3. Etika Dalam Perilaku Berpolitik


8
Meskipun tidak terdapat jalan pintas yang jelas untuk membedskan bermain politik
yang beretika dari yang tidak beretika, terdapat beberapa pertanyaan harus dipertimbangkan
misalnya, apakah gunanya terlibat dalam bermain politik?.
Ketika berhadapan dengan dilema etika mengenai politik organisasi, berusaha
mempertimbangkan apakah bermain politik berharga dibanding risikonya dan apakah yang
lainnya akan firugikan dalam proses tersebut (Robbins dan Judge, 2015:300).

10.2.4. Memetakan Karier Politik Anda


Salah satu cara yang sangat bermanfaat untuk berpikir mengenai kekuasaan dan
politik adalah dalam hal karier anda sendiri. Berpikirlah mengenai karir anda di dalam pilihan
organisasi anda. Asumsikan bahwa promosi anda masa mendatang akan bergantung pada
lima orang, meliputi Jamie, supervisor langsung anda. Anda memiliki hubungan yang akrab
dengan Jamie (sebaliknya anda akan benar-benar berada dalam masalah). Anda juga memiliki
hubungan yang akrab dengan Zack, bagian keuangan. Namun, bagi orang lain anda memiliki
hubungan yang longgar dengan Lane, atau tidak ada hubungan sama sekali dengan Jia dan
Marty. Salah satu implikasi yang nyata dari peta ini adalah untuk merumuskan rencana untuk
lebih memiliki pengaruh dan hubungan yang lebih akrab dengan orang-orang tersebut
(Robbins dan Judge, 2015:301).

10.3. KONSEP MENGENAI IMBALAN DAN HUKUMAN DALAM ORGANISASI

10.3.1. Beberapa Isu Tentang Imbalan


Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita (1997) dalama Komang Ardana, Mujiani,
dan Sriarti (2013:137) mencatat beberapa isu penting yang menyangkut tentang imbalan yang
sering mewarnai kehidupan suatu organisasi. adapun isu-isu tersebut adalah sebagai berikut.
1) Bahwa orang bekerja pada suatu organisasi tertentu adalah dilator belakangi oleh
berbagai macam alasan ataumotif dan salah satunya yang sangat dominan adalah
untuk menjaring imbalan sebab dengan imbalan yang diperolehnya ia akan dapat
memuaskan aneka kebutuhan yang sering mengejarnya.
2) Bahwa uang bukanlah satu-satunya imbalan yang diburu orang dalam bekerja.
Ternyata disamping uang ada pencarian lain yang terkait dengan imbalan yang
diimpikan.
3) Imbalan yang dicari para pekerja ternyata bervariasi sepanjang waktu, sesuai
dengan dinamika perubahan kondisi yang terjadi dalam kehidupan seseorang.
Tingkat imbalan yang diburu oleh seseorang pekerja akan sangat terkait dengan
kebutuhan yang menghadangnya.

10.3.2. Kebutuhan Hubungan Kerja


9
Perkembangan kebutuhan akan hubungan kerja, biasanya sejalan dengan
perkembangan orang, dari ia berada dalam masa kanak-kanak hingga mencapai masa
pendidikan formal, masa awal karier, dan berarkhir pada masa kematangan karier. Douglas
yang dikutip oleh Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita (1997) dalam Komang Ardana,
Mujato, dan Sriarthi (2013:139) mengatakan bahwa pendidikan dan pengalaman kerja
tertentu akan mengarah kepada kebutuhan hubungan kerja yang spesifik yang dialami
seseorang pada setiap bagian dari waktu perkembangan tersebut.
Pada saat memasuki awal karier di dalam organisasi seseorang akan sangat peduli
dengan perkembangan kariet, mengembangkan persahabatan, menghasilkan uang,
mengembangkan keahlian dan Pengakuan dari pegawai lain dan bos
Setelah sampai pada tingkat kematangan karier (sekitar umur 40-50 tahun)
kebutuhannya berbeda, biasanya dalam bentuk pencapaian akhir karier, otonom dalm bekerja,
kebutuhan kekuasaan dan prestise dalam kelompok yang lebih luas.
Proses belajar terus menerus adalah kebutuhan yang terus dipupuk. Imbalan yang
dicari adalah pendidikan formal dan kebutuhannya akan terus berkembang kepada kepatuhan
lainnya.
Salah satu cara untuk mengetahui tingkat kebutuhan bekerja karena terkait dengan
jenis imbalan yang perlu disiapkan Oleh organisasi, menurut lndriyo Gotosudarmo dan l
Nyoman Sudita (1997) dapat dilakukan dengan menyebarkan angket, kepada karyawan
diminta untuk memberi pendapat tentang bermacam-macam kebutuhan yang telah ada di
angket tersebut yang kemudian di skor dari 1 sampai 7, skor 1 menunjukkan sangat rendah
dan skor 7 menggambarkan skala yang tinggi
Faktor penting yang perlu dipahami oleh manajer dalam meramalkan perilaku dan
prestasi karyawan adalah dengan cara membuat keseimbangan antara profll kebutuhan
individu dengan kombinasi imbalan yang ditawarkan oleh organisasi (Komang Ardana,
Mujato, dan Sriarthi, 2013:140)

10.3.3. Tujuan Dan Jenis-Jenis Imbalan


1) Tujuan imbalan
Tujuan memberi imbalan menurut Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita
(1997) dan Gibson dan kawan-kawan (1996) dalam Komang Ardana, Mujati, dan
Sriarthi (2013:140) pada dasamya adalah seperti yang diuraikan berikut ini:
(a) Untuk atau dalam rangka memotivasi anggota organisasi. sistem imbalan
yang dirancang oleh suatu organisasi harus mampu memacu motivasi kerja
dari anggota organisasi. agar dapat berprestasi pada tingkat yang tinggi.
Untuk itu imbalan yang dibentuk oleh organisasi harus memiliki nilai di mata
anggota organisasi.
10
(b) Untuk atau dalam rangka membuat kerasan pekerja yang sudah ada. Sistem
imbalan yang dibuat oleh suatu organisasi antara lain ditujunkan untuk
mempertahankan pekerja yang sudah ada, terutama pekerja yang berkualitas,
agar mereka tetap kerasan bekerja (loyal) dan tidak mudah hengkang ke
organisasi lain.
(c) Untuk dalam rangka menarik orang-orang vang berkualitas. Kemajuan suatu
organisasi antara lain ditentukan oleh kualitas orang-orang yang ada di
dalamnya. Salah satu daya tarik seseorang masuk bergabung kedalam suatu
organisasi adalah sistem imbalan yang dibentuk dan diterapkan oleh
organisasi tersebut. Karenanya sistem imbalan yang dirancang oleh
organisasi harus mampu untuk menarik orang-orang yang berkualitas
tersebut masuk bergabung ke dalam organisasi.
2) Jenis-Jenis Imbalan
llmuwan perilaku membedakan imbalan kedalam dua katagori besar, yaitu:
(a) Imbalan Intrinsik.
Yakni jenis imbalan yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri, atau
imbalan yang mempakan bagian daft pekerjaan itu sendiri. Menurut Gibson
dan kawan-kawan (1996) dalam Komang Ardana, Mujato, dan Sriarthi
(2013:141-142) imbalan instrinsik meliputi:
(1) Penyelesaian tugas.
Kemampuan untuk menyelesaikan tugas suatu perusahaan dengan baik
merupakan hal penting bagi sejumlah orang. Dampak yang dirasakan
seseorang dengan penyelesaian tugasnya dengan baik adalah imbalan
terhadap dirinya.
(2) Pencapaian prestasi.
Pencapaian prestasi berkaitan dengan kemampuan untuk menyelesaikan
tujuan yang menantang (challenging goal) menurut salah satu teori
motivasi yaitu teori penetapan tujuan, bahwa penetapan tujuan yang
lebih menantang dapat meningkatkan prestasi kerja.
(3) Otonomi.
Babyak orang yang puas bekerja jika mereka diberi kebebasan dalam
melaksanakan tugasnya dan diikutsertakan dalm proses pengambilan
keputusan.perasaan otonom dapat diciptakan melalui perwujudan
keinginan tersebut.
(4) Pertumbuhan pribadi
Pertumbuhan pribadi pada dasarnya berkaitan dengan kemampuan dan
peluang yang tersedia bagi karyawan untuk mengembangkan keahlian
dan kariernya. Untuk memenuhi hal ini, dapat dilakukan dengan cara
11
membuat mekanisme atau aturan pengembangan karier yang jelas dan
dan diketahui oleh para anggota organisasinya.
(b) Imbalan Ekstrinsik
Adalah jenis imbalan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan tetapi berasal
dari pekerjaan (Komang Ardana, Mujiati, dan Sriarthi, 2015:143-144),
meliputi:
(1) Imbalan finansial
Yang dapat berbentuk gaji, upah, atau bonus. Gaji penerimaan bersifat
rutin dan tetap setiap bulan apakah pekerja masuk kerja atau tidak. Gaji
dikaitkan dengan prestasi masa lampau. Bonus berkaitan dengan prestasi
karyawan yang muktakhir (current), dimana pemberiannya diberikan pada
prestasi-prestasi tertentu yang mampu diraih karyawan. Untuk merancang
sistem imbalan finansial khususnya upah gaji dan perlu
mempertimbangkan faktor-faktor yaitu
(a) Keadilan
(b) Kemampuan organisasi
(c) Mengaitkan dengan prestasi
(d) Peraturan pemerintah
(e) Kompetitif
(2) Jaminan sosial (Fringe Benefit)
Jaminan sosial anatara lain: jaminan hari tua, asuransi tenaga kerja, biaya
opname di rumah sakit, biaya perumahan dan lain sebagainya. Jaminan
sosial akan memberikan rasa aman bagi karyawan.
(3) Profit-sharing
Profit-sharing pada dasarnya mendorong partisipasi dan prestasi dari para
pekerja dengan memberikan bagian tertentu dari laba perusahaan yang
bentuknya bisa berupa kas maupun saham.
(4) Penghargaan atau pengakuan
Prestasi yang baik perlu mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas
jerih payah karyawan yang telah mereka sumbangkan pada organisasi.
Yang paling penting adalah penghargaan yang diberikan agar bernilai di
mata karyawan.
(5) Promosi
Promosi merupakan pemindahan secara vertikal ke jenjang yang lebih
tinggi yang disertai dengan adanya kenaikan tanggung jawab dan imbalan.
Dalam menentukan siapa di antara karyawan yang akan dipromosikan,
perlu mempertimbangkan minimal empat faktor atau azas yaitu:
(a) Prestasi kerja
(b) Senioritas
(c) Keadilan
(d) Persahabatan
12
(6) Keanggotaan
Keanggotaan dalam kelompok informal memberikan sejumlah imbalan
seperti kesempatan untuk bergaul, kesempatan untuk memimpin secara
informal, kesempatan memberikan informasi tentang pekerjaan dengan
orang lain dan mendapatkan perlindungan dari kelompok terhadap
manajemen dan orang lain di luar kelompok.

10.3.4. Pengaruh Imbalan Terhadap Prestasi Kerja


Imbalan dapat dipakai sebagai dorongan atau motivasi pada suatu tingkat oerilaku dan
prestasi, dan dorongan pemilihan organisasi sebagai tempat bekerja. Selain itu, imbalan juga
dapat memenuhi kebutuhan hubungan kerja.
Imbalan dapat sebagai penguat berbagai macam perilaku seseorang. Imbalan
memuaskan kebutuhan, mengarahkan pada proses pembelajaran perilaku baru, dan
mengarahkan seseorang pada pemilihan perilaku alternatif (Ardana, Mujiati, dan Sirarthi,
2013:144).
Peran imbalan terhadap prestasi (Ardana, Mujiati, dan Sirarthi, 2013:145):
1) Bahwa uang harus dipertimbangkan sebagai tujuan orang bekerja yang
mampu memenuhi kekurangan kebutuhannya.
2) Uang dapat menjadi sumber ketidakpuasan yang potensial jika
jumlahnya jauh dari yang diharapkan, tetapi tidak dapat berfungsi
sebagai faktor pemuas.
3) Uang dapat dipandang sebagai alat untuk mencapai hasil yang
diinginkan.
4) Uang dapat berfungsi sebagai penguat, jika diberikan kepada seseorang
berkaitan dengan prestasi tertentu.

10.3.5. Pendekatan Sistem Imbalan Non-Tradisional


Seiring dengan perjalanan waktu beberapa praktisi bisnis mencoba menawarkan
program imbalan yang lebih baru dan lebih inovatif namun sebagian besar masih dalam taraf
eksperimen. Ada empat pendekatan imbalan yang berebda yang berlum secara luas teruji
yang dikemukakan oleh Gibson dan kawan-kawan (1996), yaitu:
1) Tunjangan Model Kafetria
Melalui model ini karyawan dimungkinkan mengembangkan dan mengalokasikan
paket tunjangan yang secara pribadi dianggap menarik oleh mereka. Kepada
mereka oleh organisasi diinformasikan total tunjangan yang disetujian, organisasi
diinformasikan total tunjangan yang disetujui, kemudian menyampaikan
tunjangan tersebut menurut apa yang disukai karyawan. Model ini menjadi actual
13
karena pada dasarnya karyawan memiliki variasi keinginan dan organisasi
berkesempatanuntuk menawarkan program yang cocok dengan keinginan
karyawan secara individual.
Misalnya karyawan bisa mengambil dalam bentuk uang kas lainnya mengambil
tunjangan proteksi kesehatan. Keuntungan model ini adalah karyawan dapat
berperan aktif dalam menentukan alokasi tunjangan, di samping menerima
tunjangan yang secara pribadi amat bernilai buat mereka, dan tunjangan dalam
model ini membuat nilai ekonomi tunjangan semakin jelas bagi karyawan.
Kelemahannya model ini adalah dalam hal pengadministrasian dan dokumentasi
menjadi lebih rumit, cenderung kurang efisien.
2) Banking Time Off (Menabung Cuti Kerja)
Suatu praktik imbalan yang memungkinkan karyawan memperoleh cuti kerja di
samping cuti lain, yang disebabkan karena yang bersangkutan menorehkan suatu
prestasi. Program ini menjadi menarik bagi pegawai karena cuti adalah sesuatu
yang menyenangkan. Syaratnya organisasi harus memiliki sistem penilaian yang
saih.
3) Pembayaran berdasarkan Keterampilan
Dalam sistem kompensasi yang tradisional, karakteristik pekerjaan (tingkat
kesulitan dan kompleksitas pekerjaan), kondisi pasar tenaga kerja menjadi
penentu tingkat pembayaran karyawan dan rentangnya. Tetapi dalam program
pembayaran berdasarkan ketrampilan, pembayaran kepada karyawan tergantung
tidak hanya pada faktor pekerjaan, namun juga terkait dengan tingkat dan ragam
keterampilan yang dimiliki. Program ini mencoba meninjau dari sisi efisiensi atau
nilai tambah pada prestasi kerja. Keuntungan menerapkan program ini antara lain,
karyawan menjadi lebih ahli dan fleksibel, produktivitas naik, biaya pengawasan
berkurang, karyawan lebih termotivasi untuk meningkatkan atau menambah
ketrampilannya, karyawan memperoleh pembayaran yang lebih adil.
Kelemahannya berpotensi menjadikan karyawan frustasi dan kehilangan arah bila
ketrampilan yang dimilikinya tidak terpakai. Maka sebaiknya dilakukan analisis
biaya dan manfaat secara seksama sebelum program ini dijalankan.
4) Gain Sharing (Pembagian Hasil)
Bentuk formula pembayaran imbalan yang didasarkan pada insentif kelompok, di
mana pegawai turut serta berkontribusi dalam perolean pendapatan organisasi
melalui prestasi aktualnya yang meningkat.
Manfaat program ini antara lain, efektif mendorong motivasi dan produktivitas,
mengurang absensi dan keluar masuknya pegawai dan dapat meningkatkan
kualitas produk. Kritiknya adalah efeknya tidak berjangka panjang.
14
10.3.6. Hukuman Dalam Organisasi
Analisis dan diskusi tentang motivasi kerja dalam manajemen organisasi senantiasa
berfokus pada bagaiman memperoleh perilaku dan prestasi yang diinginkan, namun sering
yang muncul adalah prestasi dan perilaku yang justru yang tidak diinginkan. Berhadapan
dengan kenyataan yang seperti itu meskipun terkadang tidak menyenangkan dan kurang itu
meskipun terkadang tidak menyenangkan dan kurang popular hukuman dan tindakan disiplin
harus diterapkan untuk menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan dan jebloknya prestasi.
Hukuman merupakan pemberian hasil yang tidak diinginkan (menyakitkan) jntuk
mengeliminir perilaku yang tidak diinginkan tersebut (Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman
Sudita, 1997).
Hukuman bukan merupakan cara yang yang efektif bagi manajer untuk mengubah
perilaku. Beberapa alasan yang dikemukakan mengapa hukuman tidak efektif dalam
mengubah perilaku.
1) Hukuman hanya mempengaruhi perilaku yang bersifat sementara dan tidak
berlangsung lama.
2) Menggunakan hukuman akan diikuti dengan efek samping berupa emosional
yang justru dapat merugikan.
3) Penerapan hukuman dalam organisasi kurang manusiawi.
Memaksakan dalam memberikan tindakan hukuman perlu memperhatikan hal-hal
seperti (Indriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, 1997):
1) Waktu pemberian hukuman.
Hukuman diberikan segera setelah perilaku yang tidak diinginkan dilakukan.
2) Intensitas hukuman.
Hukuman akan mencapai tingkat efektifitas yang lebih besar, jika intensitas
hukuman tersebut cukup kuat.
3) Konsistensi hukuman
Hukuman harus dilakukan secara konsisten terhadap setiap perilaku yang tidak
diinginkan terjadi.

4) Kejelasan alasan/klarifikasi.
Orang yang dihukum harus mengetahui dengan jelas mengapa mereka dihukum.

15
DAFTAR RUJUKAN

Ardana, Komang, Mujiati, Ni Wayan, dan Sriathi, Anak Agung Ayu.2013.Perilaku


Keorganisasian Edisi 2.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Gibson dkk.1996.Organisasi: Perilaku – Struktur – Proses Edisi Kedelapan.Jakarta:PT.


Binarupa Aksara (Buku Jilid 1).

Indriyo G., dan Sudita, I Nyoman.1997.Perilaku Keorganisasian Edisi Pertama.Yogayakarta:


BPPFE.

Robbins, Stephen P. dan Judge, Timothy A.2015.Perilaku Organisasi Edisi


16.Jakarta:Salemba Empat

16

Anda mungkin juga menyukai