Anda di halaman 1dari 12

Bab 10

Kekuasaan dan Politik di Dalam


Organisasi

10.1 Pendahuluan
Kekuasaan atau power banyak dibahas dalam literatur manajemen,
administrasi maupun ilmu politik. Di dalam organisasi bisnis, kekuasaan dapat
dikonstruksikan sebagai bagian dari proses kepemimpinan di dalam organisasi.
Di mana relasi kekuasaan antara manajer dan anak buah, atau pemimpin dan
pengikutnya ditujukan untuk mencapai kinerja organisasi, mencapai tujuan
melalui kerjasama di antara sumber daya manusia yang ada. Politik, sebagai
“seni“ untuk mencapai kinerja organisasi, juga merupakan bagian dari relasi
antara pemimpin dan anak buahnya. Mencakup berbagai taktik mengelola
pengaruh, menggunakan berbagai sumber kekuasaan, sehingga relasi
kekuasaan menjadi nilai tambah untuk proses kinerja, mewujudkan tujuan-
tujuan perusahaan. Di chapter 10 ini akan dibahas, mengenai konsep
kekuasaan, sumber sumber kekuasaan dan politik di perusahaan dan sepintas
akan dijelaskan relevansi kekuasaan di dalam model bisnis digital saat ini.
122 Perilaku Organisasi

10.2 Konsep Kekuasaan


Kekuasaan atau Power adalah kapasitas seserorang, tim atau organisasi untuk
memengaruhi orang, tim atau organisasi lain (Schermerhorn, 2012); McShane,
2012). Dalam kajian kekuasaan di organisasi seringkali merujuk kepada
seseorng yang memiliki posisi, jabatan tertentu. Sebutlah manajer, kepala
divisi atau direktur utama. Berbeda dengan bayangan banyak orang bahwa
kekuasaan itu sesuatu yang megah dan dimiliki oleh orang orang tertentu saja.
Sebaliknya kekuasaan semata potensi, yang ada di seseorang, kelompok atau
organisasi untuk, mengubah sesuatu. Utamanya di dalam kajian bisnis,
kekuasaan adalah potensi pemimpin untuk mengubah sikap dan perilaku orang
lain (McShane, 2012), atau pemimpin untuk menjalankan koordinasi,
memastikan pekerjaan selesai melalui pihak lain, dan mengelola jejaring dan
saling ketergantungan (Daft, 2014). Semula orang lain tersebut memiliki sikap
dan perilaku yang berbeda dengan keinginan pihak yang memiliki potensi
kekuasaan. Sebagai potensi, kekuasaan bila tidak digunakan tidak akan
memiliki pengaruh untuk orang lain. Mengingat seringkali seseorang tidak
menyadari memiliki potensi kekuasaan. Sebaliknya seseorang boleh saja
‘‘merasa‘‘ punya kekuasaan atas orang lain, namun bila yang bersangkutan
tidak dapat mengubah sikap atau perilaku orang lain di dalam kekuasaannya
tersebut, sesungguhnya orang tersebut tidak berkuasa (powerless). Atau
seorang manajer tidak dapat mengelola jaringan dan kerjasama stafnya
sehingga pekerjaan terbengkalai dan target perusahaan tidak tercapai. Yang
bersangkutan tidak melakukan apa-apa dengan potensi kekuasaan yang
dimilikinya (Bass, 2006).
Secara alamiah, dapat disampaikan bahwa kekuasaan merupakan relasi atau
hubungan antara pihak yang berkuasa dan pihak yang kurang berkuasa.
Namun relasi kekuasaan, merupakan fenomena relasi akan adanya salah satu
pihak tergantung kepada pihak lain, dan adanya saling ketergantungan di
antara keduanya, sebagaimana Gambar 10.1.
Bagaimana menjelaskan konsepsi kekuasaan, dalam gambar tersebut, bab ini
mengidentifikasi 3 prinsip dalam hubungan kekuasaan:
1. Hubungan kekuasaan bilamana ada salah satu pihak yang tergantung
2. Hubungan kekuasaan adalah perseptual
3. Hubungan kekuasaan berjalan bilamana salah satu pihak melakukan
countervailing power
Bab 10 Kekuasaan dan Politik di Dalam Organisasi 123

Gambar 10.1: Relasi Kekuasaan Antara A dan B, (Adaptasi dari McShane,


2012)

10.2.1 Ketergantungan
Fenomena hubungan kekuasaan bilamana ada salah satu pihak yang
tergantung, menentukan siapa yang lebih berkuasa. Salah satu pihak (orang,
kelompok atau organisasi) percaya atas orang lain untuk sesuatu yang
dipercaya bernilai. Dalam Gambar 10.1, misalnya pihak B bergantung dengan
pihak A, untuk mendapatkan apa yang diinginkan pihak B. Mungkin sesuatu
yang bernilai bagi pihak B itu, misalnya menginginkan promosi jabatan yang
lebih tinggi, peningkatan ilmu atau keahlian, atau relasi dengan pihak yang
yang diinginkan. Sementara pihak B, juga tidak memiliki informasi, akses atau
sumber daya sebanyak A, sehingga B mengkalkulasi kemungkinan tidak
mendapatkan promosi, penugasan khusus untuk meningkatkan ilmu, atau
akses relasi, tanpa campur tangan A atau kontrol A. Ketergantungan B tersebut
atas A adalah hubungan kekuasaan. Di mana B kalah berkuasa atas A.
Dengan kata lain, A memiliki kekuasaan, sebagai manajer, dengan
kapasitasnya, untuk mengubah sikap atau perilaku B atas sesuai keinginan A.
A juga memiliki kekuasaan untuk B menyelesaikan pekerjaannya bersama
sama dengan tim yang dibentuk A. Misalnya, boleh saja B, seorang yang
menyayangi keluarga dan tidak menyukai berjauhan dengan keluarga. Namun,
sesuai keinginan A, maka B mengikutinya ditempatkan tugas di luar negeri,
berjauhan dengan keluarga. Bekerjasama dengan berbagai latarbelakang yang
berbeda, meninggalkan semua kenyamanan yang dinikmati pekerjaan
terdahulu.
124 Perilaku Organisasi

Pembahasan relasi kekuasaan dan fenomena ketergantungan menjadi perhatian


utama bagi siapapun yang tengah berkuasa. Bass (2006) misalnya
menyebutkan bahwa mereka yang menjadi pemimpin karena ditunjuk
(appointed) bukan dipilih melalui seleksi terbuka- seringkali melemah
kekuasaannya, ketika yang bersangkutan tidak dapat berkinerja optimal sesuai
harapan pihak yang menunjuknya. Hal ini dapat dijelaskan karena yang
bersangkutan, tidak dapat lagi diharapkan sebagai pihak tempat bergantung,
seiring dengan kinerjanya yang tidak optimal. Yang bersangkutan tidak dapat
memenuhi target kinerja perusahaan, apalagi menjadi tempat bergantung para
bawahannya. Dengan demikian mengapa di organisasi, seseorang yang
memiliki jabatan berupaya keras mencapai standar kinerja, selain untuk
kemajuan organisasi, ia sekaligus memelihara relasi kekuasaannya, menjadi
tempat bergantung bagi bawahannya.

10.2.2 Persepsi Relasional


Bagaimana persepsi antar pihak muncul di dalam relasi kekuasaan, Gambar.
10.1, menjelaskannya. Pihak B, bergantung kepada A, karena muncul persepsi
B atas A bahwa A lah yang dapat ‘‘efektif‘‘ memenuhi keinginan B, misalnya
B dipromosikan pada saatnya. Meski A hanyalah salah satu dari anggota tim
penilai akhir, dalam tim penentuan promosi jabatan atau panitia seleksi, namun
demikian, persepsi relasional A atas B lah yang membuat A memiliki relasi
kekuasaan. Fenomena persepsi relasional dalam kekuasaan ini juga
menjelaskan, bila ada ‘‘perantara‘‘ atau makelar yang akan mengatur
kepentigan atas sesuatu. Mengapa seorang perantara seringkali mendapatkan
kekuasaan ‘‘mengatur“, karena pihak pihak yang berkepentingan
mempersepsikannya perantara tersebut dapat mengatur menyelesaikan sebuah
urusan. Alhasil ada persepsi relasional antara seorang perantara dan pihak yang
dibantunya. Bayangkan bila si perantara tidak dipersepsikan cukup berkuasa
oleh yang berkepentingan untuk menyelesaikan sebuah kasus. Maka serta
merta, si perantara juga tidak ada relasi kekuasaan alias di abaikan saja
kehadirannya, meski mengumbar cerita selangit meyakinkan “kekuasaannya“

10.2.3 Countervailing Power


Relasi kekuasaan juga mengenal fenomena countevailing power, sebagaimana
Gambar 10.1. Bahwa pihak yang berkuasa, menjalankan kekuasaannya lebih
efektif (mengubah sikap atau perilaku orang lain atau pengikutnya) bila ada
countervailing dari bawahannya. Misalnya B, sesungguhnya tidak
Bab 10 Kekuasaan dan Politik di Dalam Organisasi 125

menghendaki pindah tugas berjauhan dengan keluarga. Namun karena


keinginan atas sesuatu hal, B mengikuti kemauan A untuk ditugaskan
berjauhan dengan keluarganya. Ada fenomena relasi dalam bentuk
coutervailing power oleh B atas A. B secara sadar meng “counter“ hubungan
kekuasaan atas A, mempertahankan standar kinerja yang diminta perusahaan.
Bisa saja B dengan kesadarannya tidak melakukan standar kinerja perusahaan,
bahkan menghindar bekerja. Sehingga kekuasaan A atas B tidak efektif.
Namun karena countervailing power B atas A terjadi, sehingga relasi
kekuasaan antara pemimpin (A) dan pengikutnya (B) efektif. Countervailing
power pada kenyataan terjadi di relasi kekuasaan di mana saja. Fenomena
koalisi antar antar organisasi politik misalnya. Ketika koalisi partai
mendapatkan countervailing power dari anggota partai koalisianya, koalisi
akan saling memelihara relasi kekuasaan atas anggota koalisi. Namun dalam
kesempatan lain, mereka memutus relasi kekuasaan, meniadakan
courtervailing power di antara mereka, sehingga koalisi bubar, dan selanjutnya
masing-masing partai bersaing adu kekuasaan dan pengaruh.

10.3 Sumber Kekuasaan dan Dinamika


Politik
Kekuasaan seseorang tidak serta merta ada, namun ia memiliki sumber-
sumber kekuasaan. Seseorang yang menguasa sumber-sumber kekuasaannya,
ia berpotensi menggunakannya untuk membuat orang lain dibawah
kekuasaannya. Sehingga terdapat dinamika pengaruh penggunaan sumber
kekuasaan untuk membuat perubahan di perusahaan. Mengkombinasikan
berbagai sumber-sumber kekuasaan sehingga kekuasaan efektif, merupakan
seni di dalam mencapai tujuan. Seringkali disebut sebagai politik di organisasi.
Dalam literatur, sumber-sumber kekuasaan dapat dibagi dari beberapa sumber.
Sejauh mana efektif kombinasi antaranya, merupakan seni berpolitik. Sumber
sumber kekuasaan dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, kekuasaan yang
bersumber dari posisi atau peranan seseorang atau unit di dalam organisasi.
Potensi kekuasaan bisa muncul karena posisi formal dalam suatu perusahaan,
atau karena peranan suatu unit yang diberikan oleh perusahaan. Termasuk
dalam sumber-sumber kekuasaan kategori ini adalah legitimasi, koersi dan
imbalan atau reward. Kedua, kekuasaan yang bersumber dari karakteristik
126 Perilaku Organisasi

seseorang, yaitu keahlian yang dibutuhkan dalam organisasi, dan referensi


kedekatan dengan seseorang atau sesuatu yang penting bagi organisasi.
Bagaimana sumber sumber kekuasaan dan dinamika pencapaian tujuan
perusahaan? Berikut pembahasan sumber sumber kekuasaan dan
dinamikanya.

10.3.1 Legitimasi
Legitimasi adalah sumber kekuasaan yang berasal dari hak melekat dari dari
suatu posisi formal. Hak ini biasanya tertuang dalam peraturan, atau uraian
jabatan seseorang, sehingga hak melekat kewenangan untuk meminta
seseorang melakukan sesuatu. Teristimewa di dalam sumber legitimasi ini
adalah “kesepakatan” atas relasi kekuasaan pemimpin atau manajer atas staf
nya. Mereka mematuhi manajernya atas dasar sesuatu yang syah dan
dianggap benar oleh pengikut atau karyawan atas pemimpinnya. Seorang
manajer meminta anakbuahnya untuk lembur bekerja adalah bentuk relasi
kekuasaan atas dasar sumber legitimasi. Bila pemimpin baru diangkat, atau
rotasi pemimpin dari bagian lain, maka para anak buah akan mematuhi
pemimpin tersebut, meski yang bersangkutan baru menduduki posisi tersebut.
Meskipun pemimpin berusia muda,dan katakan belum berpengalaman banyak,
namun anak buah akan menjalankan tugas tugas tertentu yang diminta
pemimpin tersebut. Hal ini karena pemimpin baru tersebut menjalankan
kekuasaannya bersumber dari uraian jabatan. Secara sertamerta, pemimpin
baru tersebut memiliki relasi kekuasaan yang efektif atas anakbuahnya karena
legitimasi pemimpin baru tersebut: posisi formal, hak yang diemban dan
otoritas yang dimilikinya.
Dinamika pengaruh, yang bersumber dari kekuasaan legitimasi, untuk
mencapai tujuan ini, menjadi efektif ketika banyak keputusan keputusannya
dianggap benar sesuai dengan uraian jabatan. Tidak ada keputusan yang
melampai kewenangannya. Dinamika pengaruh legitimasi teruji ketika situasi
pembuatan keputusan di perusahaan membuat diskresi atas sesuatu. Diskresi
adalah derajat kebebasa pembuatan keputusan dengan kondisi aturan
pelaksanaan yang belum jelas aturan mainnya.Diskresi juga seringkali tidak
melibatkan persetujuan pihak lain. Oleh karena itu dinamika efektivitas
pengaruh untuk mencapai tujuan ini seringkali melibatkan sejauh mana
diskresi seorang manajer, memiliki efek positif, seperti produktivitas
perusahaan. Atau mengedepankan keadilan, bila diskresinya melibatkan
sesuatu yang dilematis. Sehingga sumber kekuasaan legitimasi efektif
Bab 10 Kekuasaan dan Politik di Dalam Organisasi 127

digunakan pengaruhnya dalam relasi kekuasaan antara manajer dan anak


buahnya. Visibilitas, atau kehadiran fisik, symbol kepemimpinan, juga perlu
diperhatikan dalam menakar efektivitas pengaruh yang bersumber dari relasi
kekuasaan legitimasi ini. Memastikan kehadiran fisik dalam kondisi kondisi
kritis, hadir dalam kegiatan tingkat operasional yang langsung bersentuhan
dengan lapangan, terjun dalam pelayanan akan membantu efektivitas pengaruh
yang bersumber dari kekuasaan legitamasi. Visibilitas juga dapat diperhatikan
ketika manajer menggunakan seragam kebesaran, dresscode yang
menunjukkan posisi formal. Ia menjalankan politik, seni untuk mengelola
sumber kekuasaan legitimasi. Berbagai simbol keahlian, misalnya sertifikat
dari perguruan tinggi ternama, gelas akademik yang tinggi, juga bagian untuk
memperkuat pengaruh kekuasaan bersumber legitimasi. Manajer
menghadirkan symbol penghargaan, protocol pengawalan merupakan upaya
mengelola sumber legitimasi efektif di dalam dinamika pengaruh kekuasaan
di dalam organisasi.

10.3.2 Koersi
Kekuasaan koersi juga bersumber kepada posisi dan hak melekat dari dari
suatu posisi formal, untuk memberikan hukuman, teguran, peringatan. Hak ini
biasanya tidak tertuang secara formal dalam peraturan, atau uraian jabatan
seseorang. Namun kewenangan yang melekat di suatu posisi, memungkinkan
manajer meminta anak buah untuk melakukan sesuatu, dan bila tidak
dijalankan atau tidak sesuai dengan standar formal yang disepakati, pemimpin
atau manajer dapat memberikan sanksi staf nya. Sumber kekuasaan koersi ini
merupakan potensi yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki kewenangan
atau menduduki posisi tertentu, dan akan efektif menggunakan sumber
kekuasaan ini agar pengikut atau karyawan mematuhi pemimpinnya. Tidak
peduli seseorang menyukai atau tidak menyukai penugasan dari pemimpinnya
ini, seorang anak buah akan menjalankannya mengingat sanksi atau hukuman
menunggu untuk mereka yang mengabaikan perintah pemimpinnya.
Efektivitas pengaruh untuk mencapai tujuan yang bersumber dari kekuasaan
koersif ini, dalam realitanya memerlukan sentralitas kewenangan yang
proporsional. Sentralitas kewenangan pemimpin, akan membuat tingkat
ketergantungan anak buah makin kuat. Dalam konteks relasi
kekuasaan:kepatuhan anak buat atau unit lain untuk memenuhi standar
perusahaan adalah yang diharapkan dari sentralisasi dan sumber kekuasaan
koersi ini. Alhasil, relasi kekuasaan atas dasar koersi ini akan efektif
128 Perilaku Organisasi

pengaruhnya. Seperti membuat hukuman yang memiliki efek jera


(punishment) atau untuk memperkuat perilaku positif di dalam perusahaan
(positif re-inforcement). Misalnya, sentralisasi unit internal audit dapat
diposisikan sebagai upaya menjalankan pengaruh kekuasaan unit internal audit
dengan unit-unit lain di perusahaan agar efektif. Sehingga, bila ada temuan
audit yang berindikasi kepada kecurangan atau perbuatan kriminal, dapat
dicegah kedepannya melalui kekuasaan koersi. Sebaliknya, bagi pihak yang
menjadi subyek audit, ada ketergantungan dalam bentuk kepatuhan
(compliance) yang positif, untuk mengelola standar yang diinginkan
perusahaan, melalui unit interna audit. Dan bila standar kepatuhan itu
diabaikan, atas dasar sumber kekuasaan legitmasi dan koersi, akan dikenakan
kepada pihak yang abai. Pencapaian tujuan untuk menegakkan tatakelola
perusahaan yang baik dengan demikian akan lebih efektif pengaruhnya bila
digunakan kombinasi sumber kekuasaan.

10.3.3 Imbalan
Sumber kekuasaan, berdasarkan posisi seorang pemimpin atau manajer, untuk
memberikan imbalan kepada anak buah, merupakan bentuk relasi kekuasaan
yang mudah diamati. Imbalan di perusahaan seperti kenaikan gaji, promosi,
toleransi tenggat waktu, merupakan bentuk-bentuk sumber kekuasaan yang
dimiliki seorang manajer. Sehingga seorang pemimpin dapat efektif
menjalankan kekuasaan, membuat seseorang atau anak buah merubah sikap
atau perilakunya. Pada sisi lain, seorang manajer sebaiknya menggeluti sumber
kekuasaan imbalan dibanding melakukan hukuman kepada anak buah.
Efektivitas pengaruh kekuasaan imbalan ini meningkat ketika dikombinasikan
dengan sumber kekuasaan lain dan taktik memengaruhi, seperti gaya bahasa
pemimpin dan pesona baik pemimpin.
Potensi pemimpin memberikan imbalan merupakan sumber kekuasaan
manajer yang efektif sehingga relasi kekuasaan atas dasar ketergantungsan
anak buah kepada manajernya, dapat dikelola untuk seni mencapai tujuan
organisasi. Manajer dapat mengelola imbalan secara baik, diberikan atas dasar
meritokrasi atau pencapaian kinerja. Dengan demikian sumber sumber
kekuasaan yang lain, seperti legitimasi akan menguat dimata anak buah.
Bermodalkan legitimasi yang dimilikinya, seorang pemimpin kemudian tidak
hanya memengaruhi orang orang per orang perilaku atau sikap anak buah,
namun posisi yang dimilikinya dapat dikapitalisasi menjadi kohesivitas,
counterprevailing power antara pemimpin dan anak buah atau tim. Dengan
Bab 10 Kekuasaan dan Politik di Dalam Organisasi 129

meritokrasi, menjauhi nepotisme, kolusi misalnya, relasi perseptual antara


manajer dan anak buah, dimaknai sebagai mekanisme yang adil, tidak pilih
kasih, dan memberikan harapan bagi setiap anak buah. Dan bagi mereka yang
berkontribusi prima di dalam tim, dapat menggantungkan diri kepada
pemimpin yang sanggup mengelola imbalan ini. Di mana pemimpin
memprioritaskan prospek karir bagi staf yang beprestasi lebih baik. Sumber
kekuasaan yang bersumber dari posisi formal, seperti legitimasi, imbalan dan
koersi ini dengan demikian menjadi kombinasi instrument pengaruh mencapai
tujuan perusahaan. Kekuasaan merupakan nilai tambah proses pencapaian
kinerja, mendorong produktivitas pengikut, dan bukan sebaliknya, kekuasaan
formal sebagai previlage keistimewaan diri sendiri pemimpin saja. Efektivitas
pengaruh sumber kekuasaan imbalan kepada anak buah, dapat ditakar dengan
sejauh mana substitusi atau alternatif dari keberadaan pihak pemegang
kekuasaan. Dengan kata lain, efektivitas kekuasaan memberikan imbalan, akan
berkurang, bila alternatif imbalan banyak tersedia, atau pihak yang dapat
memberikan imbalan terbagi di beberapa orang.

10.3.4 Keahlian
Keahlian, merupakan sumber kekuasaan yang kian relevan saat ini. Berbeda
dengan sumber-sumber kekuasaan bersumber dari posisi formal yang diemban
oleh manajer atau pemimpin, keahlian merupakan sumber kekuasaan dari diri
seseorang. Sebagai bawaan yang ada pada diri seseorang, misalnya keahlian,
keterampilan atau hal lain yang dianggap berharga bagi kelompoknya. Sumber
kekuasaan keahlian akan efektif bila melekat kepada posisi, sehingga beberapa
sumber kekuasaan digunakan sekaligus untuk membuat kekuasaan efektif.
Misalnya, dokter dengan perawat. Seorang dokter akan efektif pengaruhnya
bila memiliki kewenangan atau menjabat posisi di rumah sakit, dan konsisten
menggunakan keahliannya. Sehingga sumber kekuasaan lain, seperti
legitimasi, imbalan, akan optimal memengaruhi anak buah mencapai kinerja
rumah sakit.

10.3.5 Referensi
Referensi atau kedekatan seseorang, dapat menjadi sumber kekuasaan.
Utamanya, pihak pemilik kekuasaan diidentifikasikan dengan sesuatu yang
penting, berharga atau sesuatu yang dihormati atas keberadaan dirinya.
Seorang yang menjabat karena keturunan tokoh yang dihormati, pendiri
perusahaan atau karena kedekatan emosi dengan pihak pihak yang dihormati
130 Perilaku Organisasi

perusahaan,maka ia mendapatkan sumber kekuasaan referensi. Sehingga relasi


kekuasaan dengan pengikutnya atau orang lain mengikuti situasi sejauh mana
ia dapat mengakses dengan pihak yang dihormati tersebut. Sebagaimana
penelitian Bass (2006), disebutkan seseorang yang mendapatkan kekuasaan
karena ditunjuk, baik keturunan atau kedekatan dengan seseorang, perlu untuk
memelihara pengaruh kekuasaannya dengan memelihara kedekatan dengan
seseorang tersebut. Dengan demikian pengaruhnya tetap efektif.

10.4 Kekuasaan dan Digital Natives


John Palfrey dan Urs Gasser (2008) mengidentifikasi kelompok ‘digital
natives”, kelompok demografi yang lahir dan beranjak dewasa dengan
komunikasi elektronik di dalam lingkungan kehidupan sehari-harinya.
Smartphone, media sosial dan jaringan Wi-Fi menjadi alat sehari hari untuk
komunikasi dan berkoordinasi secara online. Kelompok demograsi ini terlahir
tahun 2000an, dan ada yang menyebut sebagai generai millenial (GenY) dan
generasi Z, yang terlahir kemudian. Di dunia kerja, digital natives menjalani
relasi kekuasaan dengan pemimpinnya bersifat kolegial. Misalnya
menyampaikan laporan secara digital, bekerjasama dalam tim, berkolaborasi
menghasilkan inovasi dan komersialisasi produk secara online, bahkan
mengoperasikan bisnis terkoneksi “24 jam”: baik waktu setelah matahari
bersinar (after sunrise) atau waktu setelah matahari tenggelam (after sunset).
Palfrey dan Gasser, singkatnya membedakan kelompok karyawan, digital
natives, yang tidak ada lagi batas-batas geografis, budaya dan tempat kerja.
BYOD (bring your own device /membawa perangkatmu sendiri).
Sifat-sifat, kebiasaan dan harapan para digital natives kiranya perlu menjadi
perhatian bagi mereka yang mengelola relasi kekuasaan. Kemajuan teknologi
dan kelompok demografi ini, menggeser sifat alamiah relasi kekuasaan antara
pemimpin dan pengikut. Utamanya seni untuk mencapai tujuan, dalam suatu
perusahaan kini, berjalan seiring dengan koneksi banyak pihak, saling
berkomunikasi terbuka secara online. Informasi dan data bergerak realtime dan
menjadi inputan kerja bersama, hasil keluarannya dipengaruhi oleh kualitas
informasi, dan komunikasi yang dihasilkan secara online. Konsekwensi bagi
pengelolaan kekuasaan adalah perusahaan memerlukan gaya kepemimpinan
dilandasi untuk keinginan berbagi sumber sumber kekuasaan.
Kemajuan teknologi memungkinkan relasi kekuasaan (power) yang ditujukan
untuk memberdayakan (empower) anak buah. Bahkan pekerjaan yang
Bab 10 Kekuasaan dan Politik di Dalam Organisasi 131

menorong terbentuknya inovasi melalui system kerja yang terintegrasi, relasi


kekuasaan adalah untuk mencipta bersama (co-creation) antara pemimpin dan
anak buah. Konsep kekuasaan dan sumber kekuasaan tentu masih relevan.
Namun sifat alamiah ketergantungan dan kewenangan yang terjadi di dalam
relasi kekuasaan, nampaknya berbasis kepada saling ketergantungan, berbagi
kewenangan berdasarkan keahlian. Sumber kekuasaan, seperti pengetahuan
dan informasi,di dunia kerja era teknologi digital saat ini terbagi di berbagai
posisi di struktur organisasi. Dengan demikian relasi countervailing power
antara pemimpin dan staf di perusahaan kian relevan, dan penggunaan sumber
kekuasaan semata mata koersi, dengan demikian dipastikan akan mengurangi
efektivitas proses kerja dan mencapai tujuan perusahaan. Relasi kekuasaan
komando, menggunakan basis legitimasi formal semata, di organisasi bisnis
digital, misalnya tidak akan efektif mengelola kapasitas sumber daya
pengetahuan yang keahliannya kian terspesialisasi dan diisi oleh kelompok
demograsi yang terlahir digital tersebut. Katakan keahlian staf menyangkut
data analytics, programing robotics, dan artifisial intelligence. Diperlukan
pengelolaan relasi kekuasaan atas dasar kolaborasi, tim work untuk berbagi
pengetahuan dan keahlian. Lebih penting lagi, saat ini sumber sumber
kekuasaan didedikasikan mencapai tujuan kerja yang dilakukan secara
kolaboratif. Baik proses maupun capaian kerjanya. Dengan demikian relasi
kekuasaan dan seni mencapai tujuan “politik” di organisasi memerlukan
taktik-taktik tertentu untuk menerapkan berbagai sumber kekuasaan.
Sumber daya keahlian yang dimiliki oleh kelompok digital natives ini juga
memerlukan kontekstualisasi kewenangan, yang biasanya melekat di jabatan
atau posisi dengan status kerja tetap. Sementara saat ini kewenangan seringkali
dalam konteks status kontrak, dan relasi berbagi kekuasaan dengan berbagai
pihak di belahan dunia Tenaga kerja kontrak ini akan diisi oleh mereka yang
memiliki keterampilan tinggi,pengetahuan dan kecakapan yang tidak dimiliki
oleh karyawan yang sudah ada, dan sulit didapatkan dalam jenjang organisasi.
Misalnya, banyak lembaga memakai tenaga kerja keuangan dan IT. Mereka
meskipun berstatus kontrak, namun terlibat secara intensif dalam rutin sehari-
hari lembaga dan memengaruhi kinerja perusahaan. Sehingga relasi kekuasaan
antara pemimpin dan staf kontrak ini, diutamakan untuk memfasilitasi
penyebaran informasi dan kapasitas membangun proses kerja secara tim dan
kolaboratif. Kerja sama kian diperlukan sehingga peran atasan dan bawahan
menjadi lebih sejajar. Tiap orang perlu memahami peranannya dalam konteks
yang lebih fleksibel.
Bab 10 Kekuasaan dan Politik di Dalam Organisasi 131

10.5 Soft Power


Penggunaan teknologi dan pergeseran demografis, dengan demikian tidak hanya mengubah
sistem dan proses di dalam perusahaan, tapi juga perubahan relasi kekuasaan dan penggunaan
sumber-sumber kekuasaan dengan taktik pengaruh yang lebih lunak (soft). Membangun
relasi kekuasaan yang kolaboratif secara online, bertumpu pada konektivitas gudang gudang
pengetahuan yang tersebar dan dapat dikolaborasikan secara daring. Sehingga tugas pokok dan
fungsi pemimpin, adalah membangun relasi kekuasaan dengan membangun konektivitas
digital dengan pihak-pihak di dalam dan di luar perusahaan. Penggunaan sumber kekuasaan
(power) perlu disertai dengan softpower: kecakapan untuk memengaruhi dan memastikan
keterikatan seseorang mencapai tujuan organisasi, melalui komunikasi, persuasi dan pesona
(charm). Dikutip oleh Gask (2013), bahwa Google Inc. mengindentifikasi manager nya
sebagai atasan yang lebih baik, bilamana seorang manager di Google Inc. memiliki ketrampilan
sebagai “a good coach”, memberdayakan tim, mengutamakan kepentingan karyawan untuk
sukses danlebih sejahtera sebagai prioritas utama.
Kian pentingnya penggunaan kekuasaan ‘soft” di era digital ini dengan demikian diharapkan setiap
pihak, saling menjaga relasi kekuasaan. Menjadi pemegang kekuasaan yang terhormat dengan
menjaga relasi kekuasaannya. Pemimpin dan anak buah membiasakan diri bersuara dan
“berkicau”, namun juga menjadi pendengar yang empatik secara bersamaan. Mereka membuka
dialog namun juga penyimak aktif dan pemberi feedback yang konstruktif. Pada gilirannya hal ini
akan terbangun relasi kekuasaan kolegial antara atasan dan bawahan, yang semula bertema kontrol.
Setiap orang menggumuli sumber kekuasaanya, namun bertanggung jawab untuk bekerja dengan
pihak lain. Tiap pekerja akan memiliki otonomi untuk menggunakan akses dan menentukan
outcome, sekaligus mengelola perilaku sendiri untuk memonitor kualitas dan produktivitas sendiri.
Pekerjaan selesai tidak hanya di pundak pemimpin, manajer, namun juga di pundak masing-
masing individu (Prasetya, 2019).
Mengelola pengaruh menggunakan softpower, dapat disampaikan pula mengelola sumber sumber
kekuasaan dengan taktik yang menjauhi kebohongan (dishonest), menghindari pemaksaan, kekasaran
dan manipulatif (deliberate machiavellianism) DuBrin, (2013). Dengan demikian sumber sumber
kekuasaan dan seni untuk pencapai tujuan, dijalankan untuk membahagiakan orang
lain,membebaskan dari ketakutan, anak buat bekerja di dalam tim, berkolaborasi menghasilkan
capaianperusahaan untuk kesejahteraan dan masa depan yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai