2) Unsur Kekuasaan
Kekuasaan terdiri dari tiga unsur, yaitu tujuan, cara, dan hasil. Kekuasaan dapat
digunakan untuk tujuan yang baik dan yang tidak baik. Tujuan dari penggunaan
kekuasaan biasanya akan mempengaruhi cara yang dipilih oleh individu atau kelompok
yang memiliki kekuasaan. Jika pemegang kekuasaan memiliki tujuan yang baik, maka
cara yang dipilih juga akan baik. Dan sebaliknya, jika pemegang kekuasaan
menghendaki tujuan yang tidak baik, maka cara yang digunakan juga tidak baik,
misalnya dengan mengancam. Kemudian, unsur yang terakhir atau hasil dari kekuasaan
dapat dilihat dari jumlah individu yang dapat dikendalikan atau dipengaruhi, dan
seberapa besar pengaruh kekuasaan tersebut. Sikap pihak yang dikuasai, turut
menentukan kualitas kekuasan yang berlaku atas dirinya. Jika diterima dan didukung,
1
Patricia Dhiana Paramita, Keterkaitan Antara Politik Dan Kekuasaan Dalam Organisasi, Hal. 6
maka kekuasaan itu merupakan wibawa. Kekuasaan yang demikian tidak banyak
memerlukan paksaan (kekuatan) dalam penggunannya.
3) Tipe-tipe Kekuasaan
Menurut Tosi, Rizzo, dan Carrol (1990), ada lima tipe kekuasaan, yaitu :
a. Reward Power Tipe kekuasaan ini memusatkan perhatian pada kemampuan untuk
memberi ganjaran atau imbalan atas pekerjaan atau tugas yang dilakukan orang lain.
Kekuasaan ini akan terwujud melalui suatu kejadian atau situasi yang memungkinkan
orang lain menemukan kepuasan. Dalam deskripsi konkrit adalah jika anda dapat
menjamin atau memberi kepastian gaji atau jabatan akan meningkat, maka dapat
menggunkan reward power. Bahwa seseorang dapat melakukan reward power karena
ia mampu memberi kepuasan kepada orang lain.
b. Coercive Power Kekuasaan yang bertipe paksaan ini, lebih memusatkan pandangan
kemampuan untuk memberi hukuman kepada orang lain. Tipe koersif ini berlaku jika
bawahan merasakan bahwa atasannya yang mempunyai ‘lisensi’ untuk menghukum
dengan tugas-tugas yang sulit, mencaci maki sampai kekuasaannya memotong gaji
karyawan. Menurut David Lawless, jika tipe kekuasaan yang poersif ini terlalu banyak
digunakan akan membawa kemungkinan bawahan melakukan tindakan balas dendam
atas perlakuan atau hukuman yang dirasakannya tidak adil, bahkan sangat mungkin
bawahan atau karyawan akan meninggalkan pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya.
c. Referent Power Tipe kekuasaan ini didasarkan pada satu hubungan ‘kesukaan’ atau
liking, dalam arti ketika seseorang mengidentifikasi orang lain yang mempunyai
kualitas atau persyaratan seperti yang diinginkannya. Dalam uraian yang lebih konkrit,
seorang pimpinan akan mempunyai referensi terhadap para bawahannya yang mampu
melaksanakan pekerjaan dan bertanggung jawab atas pekerjaan yang diberikan
atasannya.
d. Expert Power Kekuasaan yang berdasar pada keahlian ini, memfokuskan diri pada
suatu keyakinan bahwa seseorang yang mempunyai kekuasaan, pastilah ia memiliki
pengetahuan, keahlian dan informasi yang lebih banyak dalam suatu persoalan.
Seorang atasan akan dianggap memilik Expert power tentang pemecahan suatu
persoalan tertentu, kalau bawahannya selalu berkonsultasi dengan pimpinan tersebut
dan menerima jalan pemecahan yang diberikan pimpinan. Inilah indikasi dari
munculnya expert power.
e. Legitimate Power Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang sebenarnya (actual
power), ketika seseorang melalui suatu persetujuan dan kesepakatan diberi hak untuk
mengatur dan menentukan perilaku orang lain dalam suatu organisasi. Tipe kekuasaan
ini bersandar pada struktur social suatu organisasi, dan terutama pada nilai-nilai
cultural. Dalam contoh yang nyata, jika seseorang dianggap lebih tua, memiliki
senioritas dalam organisasi, maka orang lain setuju untuk mengizinkan orang tersebut
melaksanakan kekuasaan yang sudah dilegitimasi tersebut. Kekuasaan hampir selalu
berkaitan dengan praktik-praktik seperti penggunaan rangsangan (insentif) atau
paksaan (coercion) guna mengamankan tindakan menuju tujuan yang telah ditetapkan.
Seharusnya orang-orang yang berada di pucuk pimpinan, mengupayakan untuk sedikit
menggunakan insentif dan koersif. Sebab secara alamiah cara yang paling efisien dan
ekonomis supaya bawahan secara sukarela dan patuh untuk melaksanakan pekerjaan
adalah dengan cara mempersuasi mereka. cara-cara koersif dan insentif ini selalu lebih
mahal, dibanding jika karyawan secara spontan termotivasi untuk mencapai tujuan
organisasi yang mereka pahami berasal dari Definisi tradisional kekuasaan difokuskan
pada kemampuan perorangan untuk menentukan atau membatasi hasil-hasil.
5) Hubungan Pemerintahan
2
Ibid, Hal. 8-9
merupakan proses penyebaran dan pertukaran informasi di dalam dan dengan luar
organisasi. Melalui komunikasi pemerintahan, maka eksekutif pemerintahan bertukar dan
membagi informasi dengan yang lain, yaitu dengan legislatif, dengan staf, dengan pelaku
bisnis, dan dengan masyarakat. Melalui komunikasi, eksekutif pemerintah atau
administrator atau manajer pemerintah bermaksud untuk mempengaruhi sikap (attitude),
pemahaman (understanding), dan perilaku (behavior) birokrasi dan masyarakat. Dengan
demikian, tiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan demokratis
merupakan bagian dari proses komunikasi pemerintahan, baik sebagai sender di satu waktu,
dan di waktu lain ia menjadi receiver.
Komunikasi bagi pimpinan bukan saja sebagai alat untuk menyampaikan informasi
tetapi juga sarana memadukan aktivitas kerja sama keorganisasian (organizational
cooperation). Michele Tolela Myers dan Gail E Myers (dalam Ulbert, 1992:220),
menyatakan, ”communication is what permits people to organize,..without communication
there is no organized activity”. Aktivitas komunikasi yang dilancarkan oleh anggota
organisasi dalam hubungan kerja, pada umumnya bertujuan untuk:
1. Meningkatkan hubungan kerja dan kerja sama yang baik antar individu dan antar unit
organisasi atau departemen;
2. Mengetahui sedini mungkin masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan
pekerjaan dari masing-masing unit organisasi;
3. Mengurangi aspek negatif dari timbulnya konflik maupun frustrasi;
4. Mendorong semangat kerja (Gondokusumo, 1980 : 2).
Suasana kerja akan terasa lebih intim apabila komunikasi yang dilancarkan dapat
berlangsung dua arah (two way communication), kerena dengan interaksi langsung antara
atasan dan bawahan secara tatap muka (face to face) diharapkan akan dapat menciptakan
suasana keterbukaan, sehingga masing-masing pihak dapat saling menyesuaikan diri secara
timbal balik (mutual adaptation) dalam tingkat strong emotion (adanya keterlibatan emosi).
Apabila komunikasi diartikan sebagai proses interaksi dan penyampaian informasi, maka
proses interaksi tersebut berlangsung dalam suatu jaringan kerja komunikasi yang dapat
terjadi melalui struktur formal atau proses informal. Hakikat jaringan kerja adalah suatu
pola-pola saluran komunikasi dari pesan-pesan ke dan dari suatu kelompok ke kelompok
lain atau di antara anggota dalam satu kelompok. Jaringan komunikasi yang muncul dapat
secara terpusat, menyebar sekuensial, dan resiprokal. Oleh karena saluran komunikasi
formal ditetapkan melalui hierarki organisasi dan wewenang, serta tanggung jawab maka
arus informasi dalam proses komunikasi bervariasi antara komunikasi vertikal, komunikasi
horizontal, dan komunikasi diagonal. Komunikasi vertikal sebagaimana telah diuraikan
pada bab terdahulu, merupakan komunikasi di mana arus informasi dalam organisasi
mengalir dari superior ke supervisor hingga ke subordinasi atau dari orang pada jenjang
hierarki paling tinggi ke jenjang hierarki paling bawah. Sedangkan komunikasi horizontal
adalah proses komunikasi yang menunjukkan arus informasi di antara orang- orang sejawat
(peers) pada tingkat hierarki yang sama dalam organisasi, misalnya antara manajer dengan
manajer, antara supervisor dengan supervisor, antara karyawan dengan karyawan.
Komunikasi horizontal mempunyai tiga tujuan sebagaimana dikemukakan oleh Myers &
Myers,1982, yaitu:
1. To provide socio emotional support among peers, or to help everybody get along better
(untuk memberikan dukungan emosi sosial di antara teman, atau membantu setiap
orang berhubungan dengan lebih baik);
2. To permit coordination between peers in the work process so they can do a more
efficient job (untuk memberikan koordinasi antara teman dalam proses kerja, sehingga
mereka dapat bekerja lebih efektif);
3. To diffuse the locus of control in the organization or to spread the authority and
responsibility (untuk menghilangkan pemusatan kontrol dalam organisasi atau untuk
menyebarkan wewenang dan tanggung jawab).
Di samping jenis dan bentuk- bentuk komunikasi yang diuraikan di atas, dalam
organisasi dikenal juga komunikasi formal dan komunikasi informal. Yang termasuk
komunikasi formal adalah komunikasi yang cenderung memperlihatkan komunikasi tugas,
yakni komunikasi antara bawahan dengan atasan, atau sebaliknya. Dengan perkataan lain,
saluran komunikasi formal mengikuti jenjang komando yang sudah mapan (establish)
melalui suatu hierarki otoritas organisasi. Oleh karena saluran komunikasi formal diakui
sebagai suatu yang resmi (official) dan otoritatif maka cenderung merupakan tipikal dari
komunikasi tertulis. Ciri lain dari komunikasi formal adalah digunakan untuk semua pesan-
pesan resmi, termasuk pengarahan, prosedur, kebijakan, keputusan, memorandum,
instruksi kerja dan lain-lain. Komunikasi informal pada umumnya tidak mengikuti jalur
hierarki organisasi dan otoritas. Akan tetapi, merupakan saluran komunikasi yang tidak
direncanakan oleh superior. Dalam kenyataan di lapangan komunikasi informal sering
melangkahi saluran komunikasi formal. Selain dari berbagai saluran komunikasi,
permasalahan yang tidak dapat diabaikan dalam berkomunikasi adalah perbedaan latar
belakang budaya di antara pengirim dan penerima pesan, karena kultural dapat
menimbulkan error atau noise dalam pengertian pesan yang disampaikan, karena orang
yang berbeda latar belakang budaya dapat menafsirkan komunikasi yang sama secara
berbeda. Ini dapat menyebabkan perbedaan dalam membuat sandi bagi komunikator dan
proses menguraikan sandi bagi komunikan. Jika ada kesamaan pengertian antara sandi yang
dibuat dengan sandi yang diuraikan, maka proses komunikasi menjadi efektif dan jika
terjadi perbedaan di antara keduanya, tentu proses komunikasi akan terganggu.
Komunikasi yang baik pada umumnya adalah komunikasi yang dilakukan secara
parsimony, yakni sederhana, mudah dimengerti, dan tidak berbelit-belit. Dalam
organisasi yang efektif komunikasi mengalir ke berbagai arah, ke bawah, ke atas, dan
ke samping secara bersilang, sebagaimana dikemukakan Wayne dan Faules (1998:184-
195) bahwa komunikasi ke bawah dalam sebuah organisasi, berarti bahwa informasi
mengalir dari jabatan yang berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang berotoritas lebih
rendah. Komunikasi ke atas dalam organisasi, berarti bahwa informasi mengalir dari
tingkat yang lebih rendah (bawahan) ke tingkat yang lebih tinggi (penyelia). Sedangkan
komunikasi horizontal terdiri dari penyampaian informasi di antara rekan-rekan sejawat
dalam unit kerja yang sama.3
3
Erliana Hasan, Paradigma Komunikasi Pemerintahan, IPEM4319/Modul 1, Hal. 1.30 – 1.36
keselamatan, istirahat, pakaian dan makanan. Dalam memenuhi kebutuhan dasar itu,
manusia perlu bekerja sama dan berkelompok dengan orang lain; dan bagi kebutuhan
sekunder maka diperlukan bahasa untuk berkomunikasi menurut makna yang
disepakati bersama, dan institusi sosial yang berlaku sebagai kontrol dalam aktivitas
dan mengembangkan masyarakat. Kebutuhan sekunder tersebut adalah kebutuhan
untuk bekerjasama, menyelesaikan konflik, dan interaksi antar sesama warga
masyarakat. Dengan timbulnya kebutuhan dasar dan sekunder tersebut maka terbentuk
pula institusi sosial yang dapat memberi pedoman melakukan kontrol dan
mempersatukan (integrasi) anggota masyarakat. Untuk membentuk institusi-institusi
tersebut, masyarakat membuat kesepakatan atau perjanjian diantara mereka, yang
menurut Rosseau (terjemahan Sumardjo, 1986 : 15) adalah konflik kontrak sosial
(social contract). Adanya kontrak sosial tersebut selanjutnya melahirkan kekuasan dan
institusi pemerintahan.
Pola Tingkah Laku Individu adalah perilaku baik itu ucapan atau tindakan individu
yang bisa diperhatikan, diukur serta dinilai yang dilakukan secara sadar maupun tidak
sadar. Polah tingkah laku juga diartikan sebagai reaksi individu atas rangsangan yang
muncul di lingkungannya. Polah tingkah laku individu secara singkat bisa juga diartikan
sebagai bagaimana seorang individu bertingkah laku yang mencakup perbuatan nyata yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara naluriah atau pun biologis.
Karena Rusadi Sumitaputra membatasi polah tingkah laku individu sehubungan dengan
budaya politik maka pengertiannya bisa dipersempit menjadi bagaimana seseorang
bertingkah laku sebagai reaksi atas rangsangan yang ada di lingkungan politiknya. Adapun
pekerjaan sudah kita ketahui bersama, maka dalam hal ini dapat disimpulkan pola tingkah
laku individu dan pekerjaan ialah bagaimana individu bertingkah laku yang mencakup
perbuatan nyata yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang berdampingan
dengan pekerjaan.
1) Karakteristik Individu
Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan
karakteristik yang memperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan
karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis
maupun faktor sosial psikologis. Kepribadian, perilaku apa yang diperkuat, dipikirkan, dan
dirasakan oleh seseorang (individu) merupakan hasil dari perpaduan antara faktor biologis
sebagaimana unsur bawaan dan pengaruh lingkungan.
Natur dan nature merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik-
karakteristik individu dalam hal fisik, mental, dan emosional pada setiap tingkat
perkembangan. Seorang bayi yang baru lahir merupakan hasil dari dua garis keluarga, yaitu
garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu. Sejak terjadinya pembuahan atau konsepsi
kehidupan yang baru, maka secara berkesinambungan dipengaruhi oleh bermacam-macam
faktor lingkungan yang merangsang.
2) Perbedaan Individu
Organisasi dibentuk oleh sekelompok individu yang saling bekerja sama. Tetapi dalam
organisasi, individu adalah sesuatu yang unik yang akan memunculkan perilaku yang berbeda
dengan individu-individu lainnya. Hal inilah mempengaruhi perilaku dan perbedaan individu
dalam sebuah organisasi.
1. Kecerdasan
2. Hasilbelajar
3. Bakat
4. Sikap
5. Kebiasaan
6. Pengetahuan
7. Kepribadian
8. cita-cita
9. kebutuhan
10. minat
11. pola-pola dan tempo perkembangan
12. ciri-ciri jasmaniah
13. latar belakang lingkungan.4
4
https://www.kompasiana.com/mufidahfisha/551fc1508133112e0d9df58c/individu-dalam-organisasi, diakses
appda tanggal 15 November 2019 pada pukul 07.39 WITA