Oleh :
Pembimbing :
Dr. Mutia Sinta, Sp.S
Dr. Dwi Kusumaningsih, Sp.S
HALAMAN JUDUL
CASE REPORT
SEORANG WANITA 33 TAHUN DENGAN MULTIPLE MYELOMA
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing :
Dr. Mutia Sinta, Sp.S (..............................)
Dipresentasikan dihadapan :
Dr. Mutia Sinta, Sp.S (..............................)
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I STATUS PASIEN........................................................................................................1
I. IDENTITAS PASIEN..............................................................................................1
II. ANAMNESIS......................................................................................................1
III. PEMERIKSAAN FISIK......................................................................................2
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG........................................................................6
V. ASSESMENT / DIAGNOSIS KERJA..................................................................11
VI. PROGNOSIS.....................................................................................................11
VII. POMR (PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD).................................12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................13
A. DEFINISI..............................................................................................................13
B. ANATOMI............................................................................................................13
C. EPIDEMIOLOGI..................................................................................................14
D. ETIOLOGI............................................................................................................14
E. FAKTOR RISIKO.................................................................................................14
F. PATOFISIOLOGI..................................................................................................15
G. DIAGNOSIS.........................................................................................................16
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG..........................................................................17
J. PENATALAKSANAAN.......................................................................................23
K. KOMPLIKASI......................................................................................................28
L. PROGNOSIS.........................................................................................................28
BAB III PEMBAHASAN.....................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................32
3
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. S
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sooko
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 21 Januari 2019
Pasien mengaku 6 bulan yang lalu tiba-tiba jatuh di kamar mandi dan
pinggangnya sakit, setelah itu dibawa ke dokter spesialis tulang dan
dinyatakan tidak ada kelainan tulang. 2 bulan kemudian, pasien
merasakan ada benjolan di payudara dan dilakukan pembedahan di rumah
sakit swasta.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Penyakit Serupa : diakui, 1 bulan yang lalu
2
6. Ekstremitas
- Ekstremitas superior : akral hangat (+/+) normal, edema (-/-)
normal
- Ekstremitas inferior : akral hangat (+/+) normal, edema (-/-)
normal
-
D. Status Neurologi
2. Tanda Meningeal :
- Kaku kuduk : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Brudzinski III : (-)
- Brudzinski IV : (-)
- Kernig sign : (-)
3. Nervus Kranialis :
Nervus Pemeriksaan Dextra Sinistra
I (Olfaktorius) Fungsi pembau dalam batas dalam batas
normal normal
II (Optikus) a. Visus a. ≥ 2/60 a. ≥ 2/60
b. Lapangan pandang b. Normal b. Normal
c. Pengenalan warna c. Normal c. Normal
d. Funduskopi d. Tidak d. Tidak
dilakukan dilakukan
III, IV, VI a. Ptosis a. (-) a. (-)
(Okulomotorius b. Gerakan mata ke atas, medial, b. (+) b. (+)
, Trochlearis, bawah
Abdusens) c. Gerakan mata ke medial bawah
c. (+) c. (+)
d. Gerakan mata ke lateral
e. Pemeriksaan pupil d. (+) d. (+)
- Ukuran (mm) e. – e. –
- Reflex cahaya langsung (3) (3)
- Reflex cahaya tdk langsung (+) (+)
- Reaksi akomodasi (+) (+)
(+) (+)
V (Trigeminus) a. Sensorik wajah a. Dalam a. Dalam
b. Motoric : batas batas
4
4. Sensorik
Jenis Sensorik Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
5
5. Motorik
Pemeriksaan Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
Kiri Kanan Kiri Kanan
a. Kekuata 5/ 5/ 5 4/ 4/ 4 5/ 5/ 5 4/ 4/ 4
n
b. Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas
Terbatas Terbatas
c. Tonus Normal Normal Normal Normal
d. Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
e. Lateralisasi : (-)
f. Fascikulasi : (-)
g. Klonus : patella (-/-), ankle (-/-)
6. Refleks Fisiologis
BPR (+2/+2)
TPR (+2/+2)
KPR (+2/+2)
APR (+2/+2)
7. Refleks Patologis
Hoffman (-/-) Tromner (-/-) Babinsky (-/-) Chadock (-/-) Openheim
(-/-) Gordon (-/-) Schaefer (-/-) Gonda (-/-) Stransky (-/-)
8. Provokasi N.Ischiadicus
a. Laseque sign : (-/-)
b. Patrick's sign : (-/-)
c. Contrapatrick's sign : (-/-)
9. Pemeriksaan cerebellum
a. Finger to nose : (+/+)
b. Rebound test : (-/-)
6
2 Februari 2019
B. Kimia klinik
21 Januari 2019
C. Elektrolit
21 Januari 2019
22 Januari 2019
D. EKG
8
E. CT-scan Kepala
9
VI. PROGNOSIS
1. Disease : dubia ad bonam
2. Disability : dubia ad bonam
3. Discomfort : dubia ad bonam
4. Dissatisfaction : dubia ad bonam
5. Death : dubia ad bonam
11
A. DEFINISI
1. Usia
Faktor risiko berkembangnya multiple myeloma meningkat seiring
bertambahnya usia. Kurang dari 1% kasus didiagnosis pada usia di bawah
35 tahun. Sebagian besar orang yang didiagnosis dengan kanker ini berusia
setidaknya 65 tahun.
2. Jenis kelamin
Pria lebih sering mengalami multiple myeloma daripada wanita.
3. Ras
Multiple myeloma lebih dari dua kali lebih umum terjadi pada ras Afrika-
Amerika daripada ras Amerika kulit putih. Alasannya tidak diketahui.
4. Riwayat keluarga
Seseorang yang memiliki saudara kandung atau orang tua dengan
myeloma lebih mungkin untuk mendapatkannya daripada seseorang yang
tidak memiliki riwayat keluarga. Namun, sebagian besar pasien tidak
memiliki saudara yang terkena, jadi ini hanya terjadi pada sedikit kasus.
5. Memiliki penyakit sel plasma lainnya
Orang dengan gamopati monoklonal dengan signifikansi yang tidak
ditentukan (MGUS) atau plasmacytoma soliter berisiko lebih tinggi
terkena multiple myeloma daripada seseorang yang tidak memiliki
penyakit ini [ CITATION Ame181 \l 1057 ].
6. Paparan radiasi
Tingkat radiasi yang tinggi seperti yang ditemukan di pembangkit listrik
tenaga nuklir dapat meningkatkan risiko pasien terkena multiple myeloma
[ CITATION Her18 \l 1057 ].
F. PATOFISIOLOGI
Multiple myeloma berawal dari adanya abnormalitas sel B. Dalam
keadaan normal, sistem kekebalan tubuh mengatur dengan ketat proliferasi
sel B dan sekresi antibodi yang dihasilkan oleh sel B. Sebuah translokasi
kromosom antara gen imunoglobulin rantai berat (pada kromosom 14, lokus
14q32) dan suatu onkogen (tersering 11q13, 4p16.3, 6p21, 16q23, dan
20q11) sering terjadi pada pasien multiple myeloma. Hal ini menyebabkan
proliferasi sel B yang tidak terkontrol. Produksi sitokin (terutama IL-6) oleh
sel B menyebabkan banyak kerusakan lokal, seperti osteopororsis, dan
perkembangan dari sel-sel ganas disekitarnya. Antibodi yang dihasilkan
berkumpul dalam berbagai organ, yang menyebabkan gagal ginjal,
polineuropati, dan gejala lainnya.
Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberikan berbagai komplikasi,
seperti hipervolemia, hiperviskositas, diatesis hemoragik dan
krioglobulinemia. Faktor pengaktif osteoklas seperti IL-1 beta, limfotoksin
dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteolisis dan
osteoporosis. Karena kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi farktur
yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.
16
G. DIAGNOSIS
Diagnosis multiple myeloma dapat ditegakkan melalui gejala klinis,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan patologi
anatomi.
a. Gejala klinis
Myeloma dibagi menjadi asimptomatik myeloma dan simptomatik
atau myeloma aktif, bergantung pada ada atau tidaknya organ yang
berhubungan dengan myeloma atau disfungsi jaringan, termasuk
hiperkalsemia, insufisiensi renal, anemia, dan penyakit tulang. Gejala yang
umum pada multiple myeloma adalah lemah, nyeri pada tulang dengan
atau tanpa fraktur ataupun infeksi. Anemia terjadi pada sekitar 73% pasien
yang terdiagnosis. Lesi tulang berkembang pada kebanyakan 80% pasien.
Pada suatu penelitian, dilaporkan 58% pasien dengan nyeri tulang.
Kerusakan ginjal terjadi pada 20 sampai 40% pasien.
Fraktur patologis sering ditemukan pada multiple myeloma seperti
fraktur kompresi vertebra dan juga fraktur tulang panjang (contoh: femur
proksimal). Gejala-gejala yang dapat dipertimbangkan kompresi vertebra
berupa nyeri punggung, kelemahan, mati rasa, atau disestesia pada
ekstremitas. Imunitas humoral yang abnormal dan leukopenia dapat
berdampak pada infeksi yang melibatkan infeksi seperti gram-
positiveorganisme(eg, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus)
dan Haemophilus influenzae. Kadang ditemukan pasien datang dengan
keluhan perdarahan yang diakibatkan oleh trombositopenia. Gejala-gejala
hiperkalsemia berupa somnolen, nyeri tulang, konstipasi, nausea, dan rasa
haus.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan :
Pucat yang disebabkan oleh anemia
Ekimosis atau purpura sebagai tanda dari thrombositopeni
Gambaran neurologis seperti perubahan tingkat sensori , lemah, atau
carpal tunnel syndrome.
17
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pasien dengan multiple myeloma, secara khas pada pemeriksaan urin
rutin dapat ditemukan adanya proteinuria Bence Jones, dan pada apusan
darah tepi, didapatkan adanya formasi Rouleaux. Selain itu pada
pemeriksaan darah rutin, anemia normositik normokrom ditemukan pada
hampir 80% kasus. Jumlah leukosit umumnya normal, namun dapat juga
ditemukan pancytopenia, koagulasi yang abnormal dan peningkatan LED.
2. Gambaran radiologi
a. Foto polos x-ray
Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi litik multiple,
berbatas tegas, punch out, dan bulat pada calvaria, vertebra, dan pelvis.
Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Memperlihatkan :
1) Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang,
terutama vertebra yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada
jaringan myeloma. Hilangnya densitas vertebra mungkin merupakan
18
Gambar 2. Foto skull lateral yang menggambarkan sejumlah lesi litik “punch out
lesion” yang khas pada calvaria, yang merupakan karakteristik dari gambaran
multiple myeloma.
Gambar 3. Foto pelvic yang menunjukkan fokus litik kecil yang sangat banyak
sepanjang tulang pelvis dan femur yang sesuai dengan gambaran multiple myeloma.
19
b. CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada myeloma serta
menilai resiko fraktur pada tulang yang kerusakannya sudah berat. Diffuse
osteopenia dapat memberi kesan adanya keterlibatan myelomatous
sebelum lesi litik sendiri terlihat. Pada pemeriksaan ini juga dapat
ditemukan gambaran sumsum tulang yang tergantikan oleh sel tumor,
osseous lisis, destruksi trabekular dan korteks. Namun, pada umumnya
tidak dilakukan pemeriksaan kecuali jika adanya lesi fokal.
Gambar 6. Lytic expansile mass dari C5. Pada CT Scan tranversal C5 menunjukkan
adanya perluasan massa jaringan lunak (expansile soft-tissue mass) pada sepanjang
sisi kanan Vertebra Cervikal 5 dengan kerusakan tulang terkait.
c. MRI
MRI potensial digunakan pada multiple myeloma karena modalitas ini
baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada
deposit myeloma berupa suatu intensitas bulat , sinyal rendah yang fokus
di gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.
Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola
menyerupai myeloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit
namun tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple
myeloma seperti pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung
sumsum tulang untuk menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi
ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk menentukan tingkat keterlibatan
dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.
3. Patologi Anatomi
Pada pasien multiple myeloma , sel plasma berproliferasi di dalam
sumsum tulang. Sel-sel plasma memiliki ukuran yang lebih besar 2 – 3 kali
dari limfosit, dengan nuklei eksentrik licin (bulat atau oval) pada kontur
dan memiliki halo perinuklear. Sitoplasma bersifat basofilik.
Gambar 10. Biopsi sumsum tulang menunjukkan lembaran sel-sel plasma ganas pada
multiple myeloma
I. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis multiple myeloma seringkali jelas karena kebanyakan
pasien memberikan gambaran klinis khas atau kelainan hasil laboratorium,
termasuk trias berikut :1
J. PENATALAKSANAAN
Pada umumnya, pasien membutuhkan penatalaksanaan karena nyeri
pada tulang atau gejala lain yang berhubungan dengan penyakitnya. Regimen
awal yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara thalidomide dan
dexamethasone. Kombinasi lain berupa agen nonkemoterapeutik bartezomib
dan lenalidomide sedang diteliti. Bartezomib yang tersedia hanya dalam
bentuk intravena merupakan inhibitor proteosom dan memiliki aktivitas yang
bermakna pada myeloma. Lenalidomide , dengan pemberian oral merupakan
turunan dari thalidomide
Setelah pemberian terapi awal (terapi induksi) terapi konsolidasi yang
optimal untuk pasien berusia kurang dari 70 tahun adalah transplantasi stem
sel autolog. Radioterapi terlokalisasi dapat berguna sebagai terapi paliatif
nyeri pada tulang atau untuk mengeradikasi tumor pada fraktur patologis.
Hiperkalsemia dapat diterapi secara agresif, imobilisasi dan pencegahan
dehidrasi. Bifosfonat mengurangi fraktur patologis pada pasien dengan
penyakit pada tulang.
Penatalaksanaan yang bisa diberikan:
1. Obat pereda nyeri (analgetik) yang kuat dan terapi penyinaran pada
tulang yang terkena, bisa mengurangi nyeri tulang.
2. Penderita yang memiliki protein Bence-Jones di dalam air kemihnya
harus banyak minum untuk mengencerkan air kemih dan membantu
mencegah dehidrasi, yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal.
3. Penderita harus tetap aktif karena tirah baring yang berkepanjangan bisa
mempercepat terjadinya osteoporosis dan menyebabkan tulang mudah
patah. Tetapi tidak boleh lari atau mengangkat beban berat karena tulang-
tulangnya rapuh.
4. Pada penderita yang memiliki tanda-tanda infeksi (demam, menggigil,
daerah kemerahan di kulit) diberikan antibiotik.
5. Penderita dengan anemia berat bisa menjalani transfusi darah atau
mendapatkan eritropoetin (obat untuk merangsang pembentukan sel
darah merah). Kadar kalsium darah yang tinggi bisa diobati dengan
prednison dan cairan intravena, dan kadang dengan bifosfonat (obat
untuk menurunkan kadar kalsium). Allopurinol diberikan kepada
penderita yang memiliki kadar asam urat tinggi.
6. Kemoterapi memperlambat perkembangan penyakit dengan membunuh
sel plasma yang abnormal. Yang paling sering digunakan adalah melfalan
dan siklofosfamid. Kemoterapi juga membunuh sel yang normal, karena
itu sel darah dipantau dan dosisnya disesuaikan jika jumlah sel darah
24
Pengobatan yang sudah dikenal sejak tahun 1960, namun pada tahun
1961 di tarik karena terkena kasus teratogenik. Setelah itu kembali
25
K. KOMPLIKASI
Komplikasi multiple myeloma termasuk [ CITATION Bla07 \l 1057 ]:
1. Insufisiensi renal
2. Hematologi
Anemia, kegagalan sumsum tulang belakang, gangguan perdarahan
3. Infeksi
4. Tulang
Fraktur patologi, hipercalcemia
5. Neurologi
Kompresi medulla spinalis dan saraf, plasmasitomas intrakranial,
leptomeningeal
L. PROGNOSIS
1. Usia
Pasien dengan usia lebih muda memiliki prognosis lebih baik
2. Beta 2 imunoglobulin
Kadar beta 2 imunoglobulin yang tinggi menyebabkan prognosis menjadi
lebih buruk
3. Albumin
Kadar albumin yang tinggi menyebabkan prognosis menjadi lebih baik
4. LDH
Kadar LDH yang tinggi menyebabkan prognosis lebih buruk
5. Kreatinin
Kadar kreatinin yang tinggi menyebabkan prognosis menjadi lebih buruk
6. Faktor risiko
29
Multiple myeloma adalah keganasan sel B dari sel plasma yang memproduksi
protein imunoglobulin monoklonal. Hal ini ditandai dengan adanya proliferasi clone
dari sel plasma yang ganas pada sumsum tulang, protein monoklonal pada darah atau
urin, dan berkaitan dengan disfungsi organ. Multiple myeloma dapat menyebabkan
beberapa manifestasi klinis lainnya, diantaranya: gejala yang umum pada multiple
myeloma adalah lemah, nyeri pada tulang dengan atau tanpa fraktur ataupun infeksi.
Anemia terjadi pada sekitar 73% pasien yang terdiagnosis. Lesi tulang berkembang
pada kebanyakan 80% pasien.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan beberapa kriteria berikut:
1. Hiperkalsemia: serum kalsium >0,25 mmol/L (>1mg/dL) lebih tinggi dari
batas atas nilai normal atau >2.75 mmol/L (>11 mg/dL)
2. Insufisiensi ginjal: kreatinin serum >177 mol/L (>2mg/dL) atau creatinine
clearance <40 mL permenit
3. Anemia: hemoglobin <100g/dL atau hemoglobin >20g/L lebih rendah
dari batas bawah normal
4. Lesi tulang: satu atau lebih lesi osteolitik melalui gambaran radiologi.
Jika sumsum tulang memiliki <10% sel plasma monoklonal, diperlukan
lebih dari satu lesi tulang untuk membedakan dari plasmasitoma soliter
dengan pemeriksaan sumsum tulang.
Kriteria pada poin satu membahas mengenai peningkatan klasium, pada
pasien ini nilai kalsiumnya masih cenderung normal namun dalam batas atas, yaitu
10,1. Pasien dengan multiple myeloma dapat mengalami gangguan saraf yang
berhubungan dengan gangguan metabolik. Gangguan metabolik tersebut dapat
berupa hiperuremia, hiperkalsemia, hiperamonia karena insufisiensi ginjal. Selain itu,
kalsium yang tinggi dalam darah disebabkan oleh peningkatan fungsi osteoklas yang
abnormal. Keluhan utama dari pasien ini adalah kejang lebih dari 20 kali yang dapat
diakibatkan oleh hal tersebut di atas.
Kelemahan anggota gerak sebelah kanan pada pasien ini dapat disebabkan
oleh gangguan serebrovaskuler akibat dari hiperviskositas darah melalui jalur
peningkatan imunoglobulin. Pada pasien ini diperiksa hasil globulinnya yaitu 3,6.
Peningkatan globulin dapat mengganggu fungsi fibrin dalam fibrinolitik. Sehingga
dapat timbul keluhan fokal defisit neurologi, perdarahan, dan nyeri kepala.
Kriteria pada poin kedua mengenai nilai kreatinin serum, pada pasien ini juga
mengalami peningkatan, walaupun belum >2mg/dL. Kriteria ketiga, nilai
hemoglobin pasien awalnya adalah 7,2 g/dL (anemia), namun setelah diberi terapi
PRC 2 kolf hemoglobin pasien naik menjadi 10,5 g/dL. Keadaan anemia ini dapat
31
disebabkan oleh defisiensi eritropoietin karena supresi dari IL-1 dan TNF, dapat pula
disebabkan oleh insufisiensi ginjal.
Untuk melakukan diagnosis pasti, diperlukan pemeriksaan patologi anatomi
pada sumsum tulang dengan aspirasi sumsum tulang. Namun, pada kasus ini pasien
belum melakukan pemeriksaan tersebut. Selain itu, pasien sudah melakukan
pemeriksaan CT-scan kepala dan tengkorak kepala. Didapatkan hasil osteolisis pada
tulang tengkorak kepala, sedangkan pada ensefalon tidak didapatkan lesi, sesuai
dengan kriteria empat.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan medikamentosa berupa infus
asering 16 tpm, kemudian injeksi fenitoin 100 mg/8 jam yang berfungsi dalam
menangani kejang, injeksi phenitoin 100 mg/8 jam diberikan untuk mengatasi kejang
pada pasien, injeksi citicolin 500mg/12 jam untuk vitamin otak, injeksi asam
traneksamat untuk mengatasi perdarahan, drip pantoprazol 40mg/malam dalam
100ml NaCl dan sucralfat sirup 3x1 sendok untuk melindungi lambungnya.
Prognosis pada pasien ini dubia ad malam karena sudah terdapat komplikasi
neurologik.
32
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society., 2018. Risk Factors for Multiple Myeloma. [Online]
Available at: https://ww w.cancer.org/cancer/multiple-myeloma/causes-risks-
prevention/risk-factors.html [Accessed 15 Februari 2019].
Dwitya KP. Makalah patologi sistem imun “multiple myeloma”. Jurusan ilmu
kesehatan masyarakat. Semarang: Universitas Negeri Semarang; 2011 : 1-3.
Lestarini AL. Multipel mieloma. Bagian Patologi Klinik FK UNRAM/ RSU Propinsi
NTB. Jurnal kedokteran. Mataram. 2010 (6): 7-11.