Anda di halaman 1dari 34

CASE REPORT

SEORANG WANITA 33 TAHUN DENGAN MULTIPLE MYELOMA

Oleh :

Rachmawati Dwi Puspita, S.Ked J510185087


Afifah Ulinnuha, S.Ked J510185090
M. Eko Andry Setyawan, S.Ked J510185107

Pembimbing :
Dr. Mutia Sinta, Sp.S
Dr. Dwi Kusumaningsih, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019

HALAMAN JUDUL
CASE REPORT
SEORANG WANITA 33 TAHUN DENGAN MULTIPLE MYELOMA

HALAMAN PENGESAHAN

Yang diajukan oleh :

Rachmawati Dwi Puspita, S.Ked J510185087


Afifah Ulinnuha, S.Ked J510185090
M. Eko Andry Setyawan, S.Ked J510185107

Tugas ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Program Profesi Dokter


Pada hari ................., .... ................... 2019

Pembimbing :
Dr. Mutia Sinta, Sp.S (..............................)

Dr. Dwi Kusumaningsih, Sp.S (..............................)

Dipresentasikan dihadapan :
Dr. Mutia Sinta, Sp.S (..............................)

Dr. Dwi Kusumaningsih, Sp.S (..............................)

KEPANITERAAN UMUM BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I STATUS PASIEN........................................................................................................1
I. IDENTITAS PASIEN..............................................................................................1
II. ANAMNESIS......................................................................................................1
III. PEMERIKSAAN FISIK......................................................................................2
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG........................................................................6
V. ASSESMENT / DIAGNOSIS KERJA..................................................................11
VI. PROGNOSIS.....................................................................................................11
VII. POMR (PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD).................................12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................13
A. DEFINISI..............................................................................................................13
B. ANATOMI............................................................................................................13
C. EPIDEMIOLOGI..................................................................................................14
D. ETIOLOGI............................................................................................................14
E. FAKTOR RISIKO.................................................................................................14
F. PATOFISIOLOGI..................................................................................................15
G. DIAGNOSIS.........................................................................................................16
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG..........................................................................17
J. PENATALAKSANAAN.......................................................................................23
K. KOMPLIKASI......................................................................................................28
L. PROGNOSIS.........................................................................................................28
BAB III PEMBAHASAN.....................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................32

3
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. S
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sooko
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 21 Januari 2019

Tanggal pemeriksaan : 1 Februari 2019


II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama

Kejang bagian tubuh kanan


B. Riwayat Penyakit Sekarang
Kejang bagian tubuh kanan sejak 4 jam yang lalu, di rumah sudah
kejang kurang lebih 20 kali, kejang berlangsung < 5 menit, saat kejang
pasien sadar. Di IGD RSUD Harjono pasien kejang kembali dengan
durasi yang sama. Pasien juga mengeluhkan ada kelemahan anggota
gerak bagian kanan sejak 2 bulan yang lalu tapi sudah lebih baik. Pasien
mengaku merasakan kaku dan kesemutan pada anggota gerak kanan,
BABnya encer dengan frekuensi 3 kali sehari. Pasien mengeluhkan
adanya mual dan muntah, tapi tidak ada nyeri kepala. Sebelumnya pasien
mengaku pernah mengalami kejang kurang lebih 1 bulan yang lalu. Berat
badan pasien menurun secara progresif.
Sebelum dibawa ke ruang aster, pasien berada di ruang intensif
dengan keluhan kejang 2-3 kali sehari. Pasien juga mengaku BAB dan
muntah darah, pasien diberikan transfusi darah 2 kolf. Pasien dirawat di
ruang intensif selama 12 hari. Kemudian dilakukan pemeriksaan CT-scan
kepala. Pasien juga mengaku sebelumnya mengalami demam selama 3
hari. Setelah keadaan membaik pasien dipindahkan ke ruang aster.

Pasien mengaku 6 bulan yang lalu tiba-tiba jatuh di kamar mandi dan
pinggangnya sakit, setelah itu dibawa ke dokter spesialis tulang dan
dinyatakan tidak ada kelainan tulang. 2 bulan kemudian, pasien
merasakan ada benjolan di payudara dan dilakukan pembedahan di rumah
sakit swasta.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Penyakit Serupa : diakui, 1 bulan yang lalu
2

Riwayat Diabetes mellitus : disangkal


Riwayat Hipertensi : diakui
Riwayat Penyakit Ginjal : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Opname : diakui, operasi FAM
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Penyakit Serupa : disangkal
Riwayat Diabetes mellitus : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Jantung : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat konsumsi alkohol : disangkal

Riwayat konsumsi obat bebas : disangkal


III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
KU : Lemas
Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 92 x/menit, reguler
RR : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36,70C
SpO2 : 99%
C. Status Generalis
1. Kepala : Normocephal, bibir sianosis (-)
2. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil +/
+ (3mm/3mm)
3. Leher : Leher simetris, pembesaran kelenjar getah bening (-/-),
peningkatan jugular vein pressure (-)
4. Thoraks
a) Pulmo :
- Inspeksi : Bentuk dada normal (+) normal, retraksi (-) normal
- Palpasi : ketinggalan gerak (-/-) normal, fremitus (+/+) normal
- Perkusi : sonor diseluruh lapang paru kanan kiri (+) normal
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+) normal, rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis terlihat (+)
- Palpasi : ictus cordis teraba (+) normal, kuat angkat (+) normal
- Perkusi : redup pada jantung (+) normal, batas jantung tidak
membesar (+)
- Auskultasi : Suara Jantung I-II reguler (+), murmur (-), bising
jantung (-)
5. Abdomen
- Inspeksi : Jejas (-), distensi (-), massa (-)
3

- Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal,


- Palpasi : supel (+), nyeri tekan (-), defans muskuler (-)
- Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen (+) normal, hepar
pekak (+) normal, undulasi (-), pekak beralih (-)

6. Ekstremitas
- Ekstremitas superior : akral hangat (+/+) normal, edema (-/-)
normal
- Ekstremitas inferior : akral hangat (+/+) normal, edema (-/-)
normal
-
D. Status Neurologi

1. Kesadaran : Kualitatif : compos mentis


Kuantitatif : E4V5M6

2. Tanda Meningeal :
- Kaku kuduk : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Brudzinski III : (-)
- Brudzinski IV : (-)
- Kernig sign : (-)

3. Nervus Kranialis :
Nervus Pemeriksaan Dextra Sinistra
I (Olfaktorius) Fungsi pembau dalam batas dalam batas
normal normal
II (Optikus) a. Visus a. ≥ 2/60 a. ≥ 2/60
b. Lapangan pandang b. Normal b. Normal
c. Pengenalan warna c. Normal c. Normal
d. Funduskopi d. Tidak d. Tidak
dilakukan dilakukan
III, IV, VI a. Ptosis a. (-) a. (-)
(Okulomotorius b. Gerakan mata ke atas, medial, b. (+) b. (+)
, Trochlearis, bawah
Abdusens) c. Gerakan mata ke medial bawah
c. (+) c. (+)
d. Gerakan mata ke lateral
e. Pemeriksaan pupil d. (+) d. (+)
- Ukuran (mm) e. – e. –
- Reflex cahaya langsung (3) (3)
- Reflex cahaya tdk langsung (+) (+)
- Reaksi akomodasi (+) (+)
(+) (+)
V (Trigeminus) a. Sensorik wajah a. Dalam a. Dalam
b. Motoric : batas batas
4

Menggigit normal normal


Membuka mulut b. – b. –
c. Reflex kornea (+) (+)
d. Jaw reflex (+) (+)
c. (+) c. (+)
d. (+) d. (+)
VII (Fasialis) a. Motoric : a. – a. –
1. Saat diam 1. dalam 1. dalam
batas batas
normal normal
2. Saat bergerak : 2. – 2. –
Mengangkat alis (+) (+)
Menutup mata (+) (+)
Meringis (+) (+)
Menggembungkan pipi (+) (+)
b. Sensorik b. (+) b. (+)
Pengecapan 2/3 ant lidah
c. Lakrimasi c. (+) c. (+)
VIII a. Fungsi pendengaran a. dalam a. dalam
(Akustikus) b. Nystagmus batas batas
normal normal
b. (-) b. (-)
IX,X a. Inspeksi orofaring a. simetris a. simetris
(Glosofaringeus b. Pengecapan 1/3 post lidah b. dalam b. dalam
, Vagus) batas batas
normal normal
c. dalam c. dalam
c. Bersuara
batas batas
normal normal
d. dalam d. dalam
d. Fungsi menelan batas batas
normal normal
e. dalam e. dalam
e. Reflex muntah batas batas
normal normal
XI (accessories) a. Pemeriksaan a. dalam a. dalam
m.sternokleidomastoideus batas batas
normal normal
b. Pemeriksaan m.trapezius b. dalam b. dalam
batas batas
normal normal
XII Pemeriksaan otot lidah dalam batas dalam batas
(hipoglosus) normal normal

4. Sensorik
Jenis Sensorik Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
5

Kiri Kanan Kiri Kanan


1. Eksteroseptif
a. Nyeri (dalam batas (dalam (dalam batas (dalam
normal) batas normal) batas
normal) normal)
(dalam batas (dalam (dalam batas (dalam
b. Taktil
normal) batas normal) batas
normal) normal)
2. Propioseptif
a. Gerak/posisi (dalam batas (dalam (dalam batas (dalam
normal) batas normal) batas
normal) normal)
b. Tekan (dalam batas (dalam (dalam batas (dalam
normal) batas normal) batas
normal) normal)

5. Motorik
Pemeriksaan Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
Kiri Kanan Kiri Kanan
a. Kekuata 5/ 5/ 5 4/ 4/ 4 5/ 5/ 5 4/ 4/ 4
n
b. Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas
Terbatas Terbatas
c. Tonus Normal Normal Normal Normal
d. Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi

e. Lateralisasi : (-)
f. Fascikulasi : (-)
g. Klonus : patella (-/-), ankle (-/-)

6. Refleks Fisiologis
BPR (+2/+2)
TPR (+2/+2)
KPR (+2/+2)
APR (+2/+2)
7. Refleks Patologis
Hoffman (-/-) Tromner (-/-) Babinsky (-/-) Chadock (-/-) Openheim
(-/-) Gordon (-/-) Schaefer (-/-) Gonda (-/-) Stransky (-/-)
8. Provokasi N.Ischiadicus
a. Laseque sign : (-/-)
b. Patrick's sign : (-/-)
c. Contrapatrick's sign : (-/-)
9. Pemeriksaan cerebellum
a. Finger to nose : (+/+)
b. Rebound test : (-/-)
6

c. Hell to shin test : (+/+)


10. Pemeriksaan fungsi otonom
a. Miksi : Normal
b. Defekasi : Diare

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Darah Lengkap
31 Januari 2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 10,5 14,0-18,0
Leukosit 6.200 4000-10000
Hematokrit 29,1 40,0-48,0
Trombosit 21.000 150000-450000
Eritrosit 3,66 4,40-5,90
MCV 79,5 75,0-100,0
MCH 28,7 26,0-34,0
MCHC 36,1 32,0-36,0
RDW-CV 15,4 11,0-16,0
MPV 8,3 8,0-11,0
PDW 18,5 9,0-17,0
PCT 0,02 1,08-2,82
Lymph% 26,2 25,0-40,0
Mo% 10,8 0,0-9,0
Eo% 2,2 2,0-8,0
Ba% 1,2 50,0-70,0

2 Februari 2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 11,9 14,0-18,0
Leukosit 6.600 4000-10000
Hematokrit 35,2 40,0-48,0
Trombosit 47.000 150000-450000
Eritrosit 4,4 4,40-5,90
MCV 80,0 75,0-100,0
MCH 27,0 26,0-34,0
MCHC 37,8 32,0-36,0
RDW-CV 16,1 11,0-16,0
MPV 8,6 8,0-11,0
PDW 18,5 9,0-17,0
PCT 0,04 1,08-2,82
Lymph% 4,0 11,0-49,0
Mo% 20,2 0,0-9,0
Eo% 0,2 0,0-6,0
7

Ba% 0,5 0,0-2,0

B. Kimia klinik

21 Januari 2019

Trigliserida 462 20-200


Kolesterol total 266 20-200
Ureum 26,40 10-50
Creatinin 1,16 0,6-1,3
SGOT 148 1-37
SGPT 45 1-40
Albumin 4,0 3,5-5,3
Protein total 8,0 6,2-8,5
Globulin 3,6 1,5-3,0

C. Elektrolit

21 Januari 2019

Natrium 146 136,0-145,0


Kalium 6,0 3,5-5,1
Chlorida 109 98,0-107,0

22 Januari 2019

Natrium 132 136,0-145,0


Kalium 3,3 3,5-5,1
Chlorida 103 98,0-107,0
Kalsium 10,1 8,8-10,3

D. EKG
8

E. CT-scan Kepala
9

V. ASSESMENT / DIAGNOSIS KERJA


10

Diagnosis Klinis : konvulsi, parestesi, hemiparese dextra, nausea,


vomitting, melena, diare
Diagnosis Topis : korteks serebri
Diagnosis Etiologi : konvulsi ec susp. multiple myeloma

VI. PROGNOSIS
1. Disease : dubia ad bonam
2. Disability : dubia ad bonam
3. Discomfort : dubia ad bonam
4. Dissatisfaction : dubia ad bonam
5. Death : dubia ad bonam
11

VII. POMR (PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD)

Daftar Masalah Assesment Planning Planning Planning


Diagnosis terapi Monitoring
Anamnesis : 1. Konvulsi ec - Inf asering - Klinis
- Kejang fokal susp. multiple Pemeriksaa 16 tpm -Tanda Vital
-Kelemahan myeloma n patologi Inj. Phenitoin -Elektrolit
2. Diare 100 mg/8
anggota gerak anatomi
3. Hemetemesis jam
kanan -Melena sumsum Inj.
-kesemutan tulang Valisanbe
-mual, muntah -CT scan 10mg/kp IV
-diare dan BAB kepala pelan
darah - Inj. Citicolin
-muntah darah Pemeriksaa 500mg/12
jam
- berat badan n ECG
Inj. Kalnex
menurun - 100 mg/8
progresif Pemeriksaa jam
-riw. Op FAM n elektrolit Drip
Pem fisik : pantoprazol
TD : 110/80 40
mmHg mg/malam
dalam 100ml
Nadi 92x/menit
NaCl
T : 36,7 oC Sucralfat syr
Kekuatan 3 x 1 sendok
ekstremitas
superior et
inferior dextra
4/4/4
- Lab :
Hct = 35,2 (L)
PLT = 47.000 (L)
-Kimia klinik
SGOT 148 (H)
SGPT 45 (H)
Globulin 3,6 (H)
-Elekrolit
K = 3,3 (L)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Multiple myeloma adalah keganasan sel B dari sel plasma yang


memproduksi protein imunoglobulin monoklonal. Hal ini ditandai dengan
adanya proliferasi clone dari sel plasma yang ganas pada sumsum tulang,
protein monoklonal pada darah atau urin, dan berkaitan dengan disfungsi
organ.
B. ANATOMI

Lokasi predominan multiple myeloma mencakup tulang-tulang seperti


vertebra, costa, calvaria, pelvis, dan femur. Awal dari pembentukan tulang
terjadi di bagian tengah dari suatu tulang. Bagian ini disebut pusat-pusat
penulangan primer. Sesudah itu tampak pada satu atau kedua ujung-ujungnya
yang disebut pusat-pusat penulangan sekunder. Bagian-bagian dari
perkembangan tulang panjang adalah sebagai berikut:
1. Diafisis
Diafisis merupakan bagian dari tulang panjang yang dibentuk oleh
pusat penulangan primer, dan merupakan korpus dari tulang.
2. Metafisis
Metafisis merupakan bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir
batang (diafisis).
3. Lempeng epifisis
Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-
anak, yang akan menghilang pada tulang dewasa.
4. Epifisis
Epifisis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder.
14

Gambar 1. Perkembangan tulang panjang


C. EPIDEMIOLOGI

Multiple myeloma merupakan 1% dari semua keganasan dan 10%


dari tumor hematologik. Di Amerika Serikat, insiden multiple myeloma
sekitar 3 sampai 4 kasus dari 100.000 populasi per tahun, dan diperkirakan
terdapat 14.000 kasus baru tiap tahunnya. Insidennya ditemukan dua kali lipat
pada orang Afro Amerika dan pada pria. Umur median pasien rata-rata 65
tahun, dan sekitar 3% pasien kurang dari 40 tahun.
Insiden myeloma tertinggi di Afrika-Amerika dan pulau Pasifik,
intermediate di Eropa dan di Amerika Utara Kaukasia, dan terendah di
negara-negara berkembang termasuk Asia. Insiden yang lebih tinggi di
negara-negara yang lebih maju mungkin hasil dari kombinasi harapan hidup
lebih lama dan pengawasan medis lebih sering. Insiden multiple myeloma
dalam kelompok etnis lain termasuk Hawaii asli, Hispanik, Indian Amerika
dari New Mexico, dan penduduk asli Alaska lebih tinggi relatif terhadap AS
Kaukasian di wilayah geografis yang sama. Populasi Cina dan Jepang
memiliki insiden lebih rendah dari Kaukasians. Meskipun perbedaan dalam
prevalensi, karakteristik, respon terhadap terapi, dan prognosis myeloma di
seluruh dunia yang sama.
D. ETIOLOGI

Penyebab multiple myeloma belum jelas. Paparan radiasi, benzena,


dan pelarut organik lainnya, herbisida, dan insektisida mungkin memiliki
peran. Faktor genetik juga mungkin berperan pada orang-orang yang rentan
untuk terjadinya perubahan yang menghasilkan proliferasi sel plasma yang
memproduksi protein M seperti pada MGUS. Dalam sel mana terjadi
transformasi maligna tepatnya terjadinya belum jelas. Dapat ditunjukkan sel
limfosit B yang agak dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan
sumsum tulang, yang dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma. Terjadinya
onkogen yang paling penting diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang
mulai dewasa ini atau bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri. Beragam
perubahan kromosom telah ditemukan pada pasien myeloma seperti delesi
13q14, delesi 17q13, dan predominan kelainan pada 11q. Yang paling umum
adalah translokasi t (11; 14) (Q13, Q32) dan t (4; 14) (p16, P32), dan
kesalahan rekombinasi juga berpartisipasi dalam jalur transformasi. Ekspresi
dari gen myc atau ras telah dicatat dalam beberapa kasus. Mutasi pada p53
dan Rb-1, patogenesis molekul umum belum ada. Myeloma lebih sering
terjadi pada kalangan petani, pekerja kayu, pekerja kulit, dan mereka yang
terkena produk minyak bumi.
E. FAKTOR RISIKO
15

1. Usia
Faktor risiko berkembangnya multiple myeloma meningkat seiring
bertambahnya usia. Kurang dari 1% kasus didiagnosis pada usia di bawah
35 tahun. Sebagian besar orang yang didiagnosis dengan kanker ini berusia
setidaknya 65 tahun.
2. Jenis kelamin
Pria lebih sering mengalami multiple myeloma daripada wanita.
3. Ras
Multiple myeloma lebih dari dua kali lebih umum terjadi pada ras Afrika-
Amerika daripada ras Amerika kulit putih. Alasannya tidak diketahui.
4. Riwayat keluarga
Seseorang yang memiliki saudara kandung atau orang tua dengan
myeloma lebih mungkin untuk mendapatkannya daripada seseorang yang
tidak memiliki riwayat keluarga. Namun, sebagian besar pasien tidak
memiliki saudara yang terkena, jadi ini hanya terjadi pada sedikit kasus.
5. Memiliki penyakit sel plasma lainnya
Orang dengan gamopati monoklonal dengan signifikansi yang tidak
ditentukan (MGUS) atau plasmacytoma soliter berisiko lebih tinggi
terkena multiple myeloma daripada seseorang yang tidak memiliki
penyakit ini [ CITATION Ame181 \l 1057 ].
6. Paparan radiasi
Tingkat radiasi yang tinggi seperti yang ditemukan di pembangkit listrik
tenaga nuklir dapat meningkatkan risiko pasien terkena multiple myeloma
[ CITATION Her18 \l 1057 ].

F. PATOFISIOLOGI
Multiple myeloma berawal dari adanya abnormalitas sel B. Dalam
keadaan normal, sistem kekebalan tubuh mengatur dengan ketat proliferasi
sel B dan sekresi antibodi yang dihasilkan oleh sel B. Sebuah translokasi
kromosom antara gen imunoglobulin rantai berat (pada kromosom 14, lokus
14q32) dan suatu onkogen (tersering 11q13, 4p16.3, 6p21, 16q23, dan
20q11) sering terjadi pada pasien multiple myeloma. Hal ini menyebabkan
proliferasi sel B yang tidak terkontrol. Produksi sitokin (terutama IL-6) oleh
sel B menyebabkan banyak kerusakan lokal, seperti osteopororsis, dan
perkembangan dari sel-sel ganas disekitarnya. Antibodi yang dihasilkan
berkumpul dalam berbagai organ, yang menyebabkan gagal ginjal,
polineuropati, dan gejala lainnya.
Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberikan berbagai komplikasi,
seperti hipervolemia, hiperviskositas, diatesis hemoragik dan
krioglobulinemia. Faktor pengaktif osteoklas seperti IL-1 beta, limfotoksin
dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteolisis dan
osteoporosis. Karena kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi farktur
yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.
16

Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat menurun,


fungsi sumsum tulang yang menurun, neutropenia yang kadang-kadang ada
menyebabkan risiko terjadinya infeksi tinggi.

Gagal ginjal pada multiple myeloma disebabkan oleh karena


hiperkalsemia, adanya deposit myeloid pada glomerulus, hiperurisemia,
infeksi rekuren, infiltrasi protein yang berlebihan. Sedangkan anemia
disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian sumsum tulang dan
inhibisi secara langsung terhadap proses hematopoiesis, perubahan
megaloblastik akan menurunkan produksi vitamin B12 dan asam folat.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis multiple myeloma dapat ditegakkan melalui gejala klinis,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan patologi
anatomi.

a. Gejala klinis
Myeloma dibagi menjadi asimptomatik myeloma dan simptomatik
atau myeloma aktif, bergantung pada ada atau tidaknya organ yang
berhubungan dengan myeloma atau disfungsi jaringan, termasuk
hiperkalsemia, insufisiensi renal, anemia, dan penyakit tulang. Gejala yang
umum pada multiple myeloma adalah lemah, nyeri pada tulang dengan
atau tanpa fraktur ataupun infeksi. Anemia terjadi pada sekitar 73% pasien
yang terdiagnosis. Lesi tulang berkembang pada kebanyakan 80% pasien.
Pada suatu penelitian, dilaporkan 58% pasien dengan nyeri tulang.
Kerusakan ginjal terjadi pada 20 sampai 40% pasien.
Fraktur patologis sering ditemukan pada multiple myeloma seperti
fraktur kompresi vertebra dan juga fraktur tulang panjang (contoh: femur
proksimal). Gejala-gejala yang dapat dipertimbangkan kompresi vertebra
berupa nyeri punggung, kelemahan, mati rasa, atau disestesia pada
ekstremitas. Imunitas humoral yang abnormal dan leukopenia dapat
berdampak pada infeksi yang melibatkan infeksi seperti gram-
positiveorganisme(eg, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus)
dan Haemophilus influenzae. Kadang ditemukan pasien datang dengan
keluhan perdarahan yang diakibatkan oleh trombositopenia. Gejala-gejala
hiperkalsemia berupa somnolen, nyeri tulang, konstipasi, nausea, dan rasa
haus.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan :
 Pucat yang disebabkan oleh anemia
 Ekimosis atau purpura sebagai tanda dari thrombositopeni
 Gambaran neurologis seperti perubahan tingkat sensori , lemah, atau
carpal tunnel syndrome.
17

 Amiloidosis dapat ditemukan pada pasien multiple myeloma seperti


makroglossia dan carpal tunnel syndrome.
 Gangguanfungsi organ visceral seperti ginjal, hati, otak, limpa akibat
infiltrasi sel plasma (jarang).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pasien dengan multiple myeloma, secara khas pada pemeriksaan urin
rutin dapat ditemukan adanya proteinuria Bence Jones, dan pada apusan
darah tepi, didapatkan adanya formasi Rouleaux. Selain itu pada
pemeriksaan darah rutin, anemia normositik normokrom ditemukan pada
hampir 80% kasus. Jumlah leukosit umumnya normal, namun dapat juga
ditemukan pancytopenia, koagulasi yang abnormal dan peningkatan LED.
2. Gambaran radiologi
a. Foto polos x-ray
Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi litik multiple,
berbatas tegas, punch out, dan bulat pada calvaria, vertebra, dan pelvis.
Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Memperlihatkan :
1) Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang,
terutama vertebra yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada
jaringan myeloma. Hilangnya densitas vertebra mungkin merupakan
18

tanda radiologis satu-satunya pada myeloma multiple. Fraktur


patologis sering dijumpai.
2) Fraktur kompresi pada corpus vertebra tidak dapat dibedakan dengan
osteoprosis senilis.
3) Lesi-lesi litik “punch out lesion” yang menyebar dengan batas yang
jelas, lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal
scalloping.
4) Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks, menghasilkan
massa jaringan lunak. Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi
berikut ditemukan pada suatu penelitian yang melibatkan banyak
kasus: kolumna vertebra 66%, costa 44%, calvaria 41%, pelvis 28%,
femur 24%, clavicula 10% dan scapula 10%.

Gambar 2. Foto skull lateral yang menggambarkan sejumlah lesi litik “punch out
lesion” yang khas pada calvaria, yang merupakan karakteristik dari gambaran
multiple myeloma.

Gambar 3. Foto pelvic yang menunjukkan fokus litik kecil yang sangat banyak
sepanjang tulang pelvis dan femur yang sesuai dengan gambaran multiple myeloma.
19

Gambar 4. Foto femur menunjukkan adanya endosteal scalloping(erosi pada cortex


interna) pada pasien dengan multiple myeloma.

b. CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada myeloma serta
menilai resiko fraktur pada tulang yang kerusakannya sudah berat. Diffuse
osteopenia dapat memberi kesan adanya keterlibatan myelomatous
sebelum lesi litik sendiri terlihat. Pada pemeriksaan ini juga dapat
ditemukan gambaran sumsum tulang yang tergantikan oleh sel tumor,
osseous lisis, destruksi trabekular dan korteks. Namun, pada umumnya
tidak dilakukan pemeriksaan kecuali jika adanya lesi fokal.

Gambar 5. CT Scan sagital T1 – gambaran weighted pada vertebra lumbalis


menunjukkan adanya infiltrasi difus sumsum yang disebabkan oleh multiple
myeloma.
20

Gambar 6. Lytic expansile mass dari C5. Pada CT Scan tranversal C5 menunjukkan
adanya perluasan massa jaringan lunak (expansile soft-tissue mass) pada sepanjang
sisi kanan Vertebra Cervikal 5 dengan kerusakan tulang terkait.

c. MRI
MRI potensial digunakan pada multiple myeloma karena modalitas ini
baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada
deposit myeloma berupa suatu intensitas bulat , sinyal rendah yang fokus
di gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.
Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola
menyerupai myeloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit
namun tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple
myeloma seperti pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung
sumsum tulang untuk menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi
ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk menentukan tingkat keterlibatan
dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.
3. Patologi Anatomi
Pada pasien multiple myeloma , sel plasma berproliferasi di dalam
sumsum tulang. Sel-sel plasma memiliki ukuran yang lebih besar 2 – 3 kali
dari limfosit, dengan nuklei eksentrik licin (bulat atau oval) pada kontur
dan memiliki halo perinuklear. Sitoplasma bersifat basofilik.

Gambar 9. Aspirasi sumsum tulang memperlihatkan sel-sel plasma multiple


myeloma. Tampak sitoplasma berwarna biru, nukleus eksentrik, dan zona pucat
perinuclear (halo).
21

Gambar 10. Biopsi sumsum tulang menunjukkan lembaran sel-sel plasma ganas pada
multiple myeloma

Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosis multiple myeloma pada


pasien yang memiliki gambaran klinis multiple myeloma dan penyakit
jaringan konektif, metastasis kanker, limfoma, leukemia, dan infeksi
kronis telah dieksklusi adalah sumsum tulang dengan >10% sel plasma
atau plasmasitoma dengan salah satu dari kriteria berikut :
- Protein monoclonal serum (biasanya >3g/dL)
- Protein monoclonal urine
- Lesi litik pada tulang

Sistem derajat multiple myeloma


Saat ini ada dua derajat multiple myeloma yang digunakan yaitu Salmon Durie
system yang telah digunakan sejak 1975 dan the International Staging System yang
dikembangkan oleh the International Myeloma Working Group dan diperkenalkan
pada tahun 2005.
Salmon Durie staging :
a) Stadium I
• Level hemoglobin lebih dari 10 g/dL
• Level kalsium kurang dari 12 mg/dL
• Gambaran radiograf tulang normal atau plasmositoma soliter
• Protein M rendah (mis. IgG < 5 g/dL, Costa < 3 g/dL, urine < 4g/24
jam)
b) Stadium II
• Gambaran yang sesuai tidak untuk stadium I maupun stadium III
c) Stadium III
• Level hemoglobin kurang dari 8,5 g/dL
• Level kalsium lebih dari 12 g/dL
• Gambaran radiologi penyakit litik pada tulang
• Nilai protein M tinggi (mis. IgG >7 g/dL, Costa > 5 g/dL, urine > 12
g/24 jam)
d) Subklasifikasi A meliputi nilai kreatinin kurang dari 2 g/dL
e) Subklasifikasi B meliputi nilai kreatinin lebih dari 2 g/dl
22

International Staging System untuk multiple myeloma


a) Stadium I
• β2 mikroglobulin ≤ 3,5 g/dL dan albumin ≥ 3,5 g/dL
• CRP ≥ 4,0 mg/dL
• Plasma cell labeling index < 1%
• Tidak ditemukan delesi kromosom 13
• Serum Il-6 reseptor rendah
• durasi yang panjang dari awal fase plateau
b) Stadium II
• Beta-2 microglobulin level >3.5 hingga <5.5 g/dL, atau
• Beta-2 microglobulin <3.5g/dL dan albumin <3.5 g/dL
c) Stadium III
• Beta-2 microglobulin >5.5 g/dL

I. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis multiple myeloma seringkali jelas karena kebanyakan
pasien memberikan gambaran klinis khas atau kelainan hasil laboratorium,
termasuk trias berikut :1

 Protein M serum atau urin (99% kasus)


 Peningkatan jumlah sel plasma sumsum tulang
 Lesi osteolitik dan kelainan abnormal lain pada tulang.
Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding multiple myeloma
berupa metastasis tumor ke tulang.
Delapan puluh persen penyebaran tumor ganas ke tulang disebabkan
oleh keganasan primer payudara, paru, prostat, ginjal dan kelenjar gondok.
Penyebaran ini ternyata ditemukan lebih banyak di tulang skelet daripada
ekstremitas. Bone Survey atau pemeriksaan tulang-tulang secara radiografik
konvensional adalah pemeriksaan semua tulang-tulang yang paling sering
dikenai lesi-lesi metastatik yaitu skelet ekstremitas bagian proksimal. Sangat
jarang lesi megenai sebelah distal siku atau lutut. Bila ada lesi pada bagian
tersebut harus dipikirkan kemungkinan multiple myeloma.22

Gambaran radiologik dari metastasis tulang terkadang bisa memberi


petunjuk dari mana asal tumor. Sebagian besar proses metastasis memberikan
gambaran “lytic” yaitu bayangan radiolusen pada tulang. Sedangkan
gambaran "blastic" adalah apabila kita temukan lesi dengan densitas yang
lebih tinggi dari tulang sendiri. Keadaan yang lebih jarang ini kita temukan
pada metastasis dari tumor primer seperti prostat, payudara, lebih jarang pada
karsinoma kolon, paru, pankreas. Sedangkan pada multiple myeloma
ditemukan gambaran lesi litik multiple berbatas tegas, punch out, dan bulat.
Selain gambaran radiologik, ditemukannya proteinuri Bence Jones pada
23

pemeriksaan urin rutin dapat menyingkirkan adanya metastasis tumor ke


tulang.

J. PENATALAKSANAAN
Pada umumnya, pasien membutuhkan penatalaksanaan karena nyeri
pada tulang atau gejala lain yang berhubungan dengan penyakitnya. Regimen
awal yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara thalidomide dan
dexamethasone. Kombinasi lain berupa agen nonkemoterapeutik bartezomib
dan lenalidomide sedang diteliti. Bartezomib yang tersedia hanya dalam
bentuk intravena merupakan inhibitor proteosom dan memiliki aktivitas yang
bermakna pada myeloma. Lenalidomide , dengan pemberian oral merupakan
turunan dari thalidomide
Setelah pemberian terapi awal (terapi induksi) terapi konsolidasi yang
optimal untuk pasien berusia kurang dari 70 tahun adalah transplantasi stem
sel autolog. Radioterapi terlokalisasi dapat berguna sebagai terapi paliatif
nyeri pada tulang atau untuk mengeradikasi tumor pada fraktur patologis.
Hiperkalsemia dapat diterapi secara agresif, imobilisasi dan pencegahan
dehidrasi. Bifosfonat mengurangi fraktur patologis pada pasien dengan
penyakit pada tulang.
Penatalaksanaan yang bisa diberikan:

1. Obat pereda nyeri (analgetik) yang kuat dan terapi penyinaran pada
tulang yang terkena, bisa mengurangi nyeri tulang.
2. Penderita yang memiliki protein Bence-Jones di dalam air kemihnya
harus banyak minum untuk mengencerkan air kemih dan membantu
mencegah dehidrasi, yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal.
3. Penderita harus tetap aktif karena tirah baring yang berkepanjangan bisa
mempercepat terjadinya osteoporosis dan menyebabkan tulang mudah
patah. Tetapi tidak boleh lari atau mengangkat beban berat karena tulang-
tulangnya rapuh.
4. Pada penderita yang memiliki tanda-tanda infeksi (demam, menggigil,
daerah kemerahan di kulit) diberikan antibiotik.
5. Penderita dengan anemia berat bisa menjalani transfusi darah atau
mendapatkan eritropoetin (obat untuk merangsang pembentukan sel
darah merah). Kadar kalsium darah yang tinggi bisa diobati dengan
prednison dan cairan intravena, dan kadang dengan bifosfonat (obat
untuk menurunkan kadar kalsium). Allopurinol diberikan kepada
penderita yang memiliki kadar asam urat tinggi.
6. Kemoterapi memperlambat perkembangan penyakit dengan membunuh
sel plasma yang abnormal. Yang paling sering digunakan adalah melfalan
dan siklofosfamid. Kemoterapi juga membunuh sel yang normal, karena
itu sel darah dipantau dan dosisnya disesuaikan jika jumlah sel darah
24

putih dan trombosit terlalu banyak berkurang. Kortikosteroid (misalnya


prednison atau deksametason) juga diberikan sebagai bagian dari
kemoterapi.
7. Kemoterapi dosis tinggi dikombinasikan dengan terapi penyinaran masih
dalam penelitian. Pengobatan kombinasi ini sangat beracun, sehingga
sebelum pengobatan sel stem harus diangkat dari darah atau sumsum
tulang penderita dan dikembalikan lagi setelah pengobatan selesai.
Biasanya prosedur ini dilakukan pada penderita yang berusia dibawah 50
tahun. peneliti dari Klinik Mayo melaporkan 67 persen pasien yang
menggunakan Revlimid (plus steroid dexamethasone) sebagai terapi
utama, mencapai reaksi yang dikategorikan lengkap atau sangat baik,
dengan tingkat perkembangan penyakit rendah yang berlanjut bahkan
setelah dua tahun.
8. Perawatan pasca-radiasi dan pasca-kemoterapi diberikan pada kasus yang
berat. Selain itu, pasien juga dipantau kalau-kalau ada infeksi,
perdarahan, dan ketidakseimbangan elektrolit. Pasien dianjurkan untuk
memantau gejala yang muncul di rumah, termasuk gejala yang timbul
dari patah tulang, kejang, dan batu ginjal.
Pada Penatalaksaan untuk pasien multipel mieloma harus dilihat dari
gejala awal, statifikasi, dan diagnostiknya. Apabila pada pasien masih di
temukan gejala asimptomatik, tidak perlu di obati karena tidak
menguntungkan, tetapi pada pasien tersebut harus tetap di monitor
progrevitasnya penyakitnya dengan mengevaluasi selama kurang lebih 3-6
bulan. Pada penderita yang simtomatik membutuhkan pengobatan yang
berupa transplantasi sumsum tulang Hemotopoietic Stem Cell
Transplantation (HSCT) dan kemoterapi.
Pada 35 tahun sudah pernah dilakukan pengobatan yaitu mephalan
dan prednison yang menghasilkan respon rate 50% tapi complete response
rate kurang dari 10%, jadi angka rata-rata hidupnya 3 tahun, bila dengan
HSCT rata-rata kehidupannya 5 tahun. Adapula pengobatan dengan VBMCP
(vincristine, carmustine, mephalan,cyclophosphamide, prednisone) dan VAD
(vincristin, doxorubisin, dexamethasone) yang menghasilkan respon rate 60-
70%, tetapi angka harapan hidup tak jauh berbeda dengan MP. Ada 2 tipe
transplantasi sel sumsum tulang yaitu autologous dan allogeneic. Autologous
stem cell transplant menggunakan sel sumsum tulang penderita sendiri,
cukup aman dan risiko rendah untuk timbulnya komplikasi serius.
Disamping pengobatan di atas sudah ada obat baru, yang
pembagiannya dan penjelasannya akan di jabarkan di bawah ini.
1. Thalidomide

Pengobatan yang sudah dikenal sejak tahun 1960, namun pada tahun
1961 di tarik karena terkena kasus teratogenik. Setelah itu kembali
25

digunakan pada pengobatan AIDS, Aphotous ulcer dan berbagai


penyakit solid tumor serta tumor darah. Pada tahun 1999, peneliti
Singnal, et al memperkenalkan Thalidomide sebagai obat MM yang
mengandung angiogenik dan di berikan secara oral. Namun ada juga
peneliti yang mengembangkan asumsinya bahwa apabila di campur
dengan dexamethason maka akan meningkatkan harapan hidup pasien.

Pada MM masih tidak begitu jelas, diduga sebagai imunomodulator,


anti inß amasi dan anti angiogenik. Thalidomide ini mempengaruhi baik
langsung maupun tidak langsung dalam mencegah adhesi dan proliferasi
sel-sel mieloma, diduga menghambat angiogenesis dengan cara
mencegah pembentukan pembuluh darah kecil dengan menghambat
pelepasan faktor-faktor pertumbuhan (hepatic growth factor, vascular
endothelial growth factor, basic " broblast growth factor) yang mana
semuanya ini mempunyaiperan penting dalam angiogenesis dari sel-sel
plasma.Pengaruh secara langsung merangsang apoptosis atau kematian
G1 selama siklus sel, yang diaktifasioleh sitotoxic T (CD8) dan NK sel
dan menyebabkanlisisnya sel plasma, menghambat interaksi sel ke sel
danmenghambat pelepasan IL-6 (yang merupakan faktorpertumbuhan
mayor yang menyebabkan proliferasi dankelangsungan hidup sel
plasma).

Pada pengobatan ini efek samping yang paling sering dijumpai


adalah nausea, konstipasi, ruam, fatigue, somnolen dan neuropati perifer
(bila penggunaan jangka panjang), kelemahan otot dan mempunyai
kecendrungan meningkatkan risiko terjadinya Deep Venous Thrombosis
(DVT) bila dikombinasi dengan dexamethasone,6 efek samping yang
lain, edema, bradikardia, netropeni, impoten, hipotiroid, tremor. Dosis
tinggi thalidomide dapat menyebabkan edema pulmonal, atelektasis,
aspirasi pneumonia dan hipotensi yang refrakter.
2. Bortezomib

Dahulu dikenal dengan PS-341 dan merupakan penghambat


proteasome pertama dalam penelitian. Obat ini telah disetujui oleh FDA
untuk pengobatan MM stadium lanjut sejak bulan Mei 2003. Bortezomib
adalah asam boronat dipeptida yang merupakan penghambat spesiÞ k
dari proteasome 26S yang reversibel, yang mempunyai aktifitas sebagai
antiproliferatif, proapoptotik (yang berkaitan dengan aktifasi caspase-8/9
dan caspase-3), anti angiogenik, anti tumor.30 Proteasome adalah
kompleks enzim ubiquitous yang berfungsi dalam degradasi protein
(dikatalase oleh 3 enzim E1, E2, E3) dan berguna untuk regulasi siklus
sel dan menyebabkan proteolisis IkB (suatu inhibitor faktor nuclear
26

kappa beta yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup sel,


merangsang pertumbuhan, menghambat apoptosis). Pada penelitian
terakhir menyebutkan bortezomib mencegah aktiÞ tas dari caveolin-1 sel
MM. Caveolin -1 adalah suatu protein yang berfungsi dalam pergerakan
sel atau perpindahan sel MM dalam jaringan dan membutuhkan
posporilasi, dalam hal ini bortezomib menghambat posporilasi caveolin-1
oleh Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang merupakan
sitokin proangiogenik dan traskripsi NF-kB sehingga dengan demikian
bortezomib menghambat migrasi selsel kanker maupun angiogenesis
tumor, menghambat nuclear factor kappa B (NF-kB) yang berimplikasi
terhadap resisten terapi.

Efek samping yang muncul pada pengobatan ini yang tersering


gejala gastrointestinal (nausea, anoreksia, muntah diare, konstipasi)
trombositopenia yang sifatnya sementara, bila obatdihentikan nilai
trombosit akan kembali normal, fatigue, malaise dan neuropati perifer,
efek samping lain yang jarang yakni demam, ruam, sakit kepala,dan
dizziness.
3. Lenalidomide

Pada awalnya dikenal dengan CC-5013 dan merupakan suatu derivat


thalidomide yang diperkenalkan pada tahun 2004, dan merupakan
golongan imunomodulator,25,33,36 baru disetujui oleh FDA sejak 29
Juni 2006. Meskipun belum jelas, lenalidomide mempunyai efek
antiangiogenik, menghambat sekresi sitokin proinß amasi dan
meningkatkan sekresi sitokin anti inß amasi dari sel-sel mononuklear
darah tepi, menghambat prolifersi sel, menghambat ekspresi
cyclooxigenase-2(COX-2), menyebabkan apoptosis dan menurunkan
ikatan sel mieloma degan sel-sel stroma dalam sumsum tulang,
meningkatkan efek sitotoksik melalui sel-sel Natural Killer (NK).
Diduga mekanisme kerja dari lenalidomide pada MM adalah
sitotoksisitas melalui apoptosis(A); menghambat adhesi molekul sel
seperti Intercellular Adhesion Molecule 1 (ICAM-1) dan Vascular Cell
Adhesion Molecule 1 (VCAM-1) yang menurunkan signal pertumbuhan
dari sel-sel MM (B); menghambat signal pertumbuhan untuk
meningkatkan angiogenesis sumsum tulang seperti VEGF, TNF-#, dan
IL-6. Menstimulasi sel T helper yang meningkatkan produksi IL-2 dan
IFN-$ dan dengan demikian memperbaiki aktifasi sel NK dan sel NK
yang tergantung pada sitotoksisitas.

Efek samping dari lenalidomide antara lain menyebabkan Venous


Thromboembolism (VTE), menurut Bennet, et al. penderita MM yang
27

mendapat terapi thalidomide atau lenalidomide yang dikombinasi dengan


dexametason, mephalan atau doxorubisin mempunyai risiko tinggi untuk
timbul VTE (dengan median 14%, rerata 3 ! 75%), penderita tersebut
dianjurkan untuk diberikan proÞ laksis dengan aspirin, dan ternyata
dijumpai risiko untuk terjadi VTE lebih rendah.

Gambar 3. Pendekatan penatalaksanaan pada pasien baru terdiagnosis multiple


myeloma (MM).
Terapi suportif Bertujuan untuk memelihara kualitas hidup pasien
multipel mieloma :
1. Fungsi ginjal : ditimbulkan karena paraprotein yang abnormal tertimbun
dalam ginjal, dapat menyebabkan gagal ginjal, dehidrasi, hiperkalsemia,
dan urea yang tinggi. Semua pasien mieloma harus minum sedikitnya 3
liter cairan perhari.
2. Hiperkalsemia : konsekuensi dari destruksi tulang yang masuk dalam
sirkulasi. Menyebabkan rasa mual dan muntah, juga poliuria, konstipasi
dan mulut kering. Diberikan larutan salin intravena dan bisfosfonat.
28

3. Hiperviskositas : kondisi dimana plasma mengandung paraprotein yang


banyak. Kekentalan plasma akan menyebabkan aliran darah menurun
(viscous) yang ditnadai dengan nafas pendek, confusion, sakit kepala,
dan penglihatan yang terganggu. Terapi dengan transfusi tukar atau
transfusi plasma tukar. Hiperviskositas juga dapat menyebabkan
gangguan koagulasi dan perdarahan, dapat diobati dengan plasma feresis
berulang.
4. Infeksi : pengobatan cepat terhadap semua infeksi sangat penting. Pada
infeksi berulang perlu diberikan konsentrat imunoglobulin profilaktik
bersama dengan antibiotik spektrum luas dan obat anti-jamur.
5. Anemia : lebih dari dua pertiga pasien mengalami anemia. Pada anemia
berat diberikan transfusi dengan melihat keadaan apakah pasien dalam
keadaan hiperviskositas, dapat pula diberikan eritropoetin jika ginjalnya
sudah mengalami kerusakan.

6. Masalah psikologis : pasien mieloma biasanya mengalami depresi dan


kecemasan, sehingga butuh dukungan dari psikiatri atau tim psikologi
klinik.

K. KOMPLIKASI
Komplikasi multiple myeloma termasuk [ CITATION Bla07 \l 1057 ]:
1. Insufisiensi renal
2. Hematologi
Anemia, kegagalan sumsum tulang belakang, gangguan perdarahan
3. Infeksi
4. Tulang
Fraktur patologi, hipercalcemia
5. Neurologi
Kompresi medulla spinalis dan saraf, plasmasitomas intrakranial,
leptomeningeal

L. PROGNOSIS
1. Usia
Pasien dengan usia lebih muda memiliki prognosis lebih baik
2. Beta 2 imunoglobulin
Kadar beta 2 imunoglobulin yang tinggi menyebabkan prognosis menjadi
lebih buruk
3. Albumin
Kadar albumin yang tinggi menyebabkan prognosis menjadi lebih baik
4. LDH
Kadar LDH yang tinggi menyebabkan prognosis lebih buruk
5. Kreatinin
Kadar kreatinin yang tinggi menyebabkan prognosis menjadi lebih buruk
6. Faktor risiko
29

Risiko rendah  8-10 tahun bertahan


Risiko sedang  5 tahun bertahan
Risiko tinggi  <2 tahun bertahan
7. Stadium
I  62 bulan (5 tahun)
II  44 bulan (3,5 tahun)
III  29 bulan (2,5 tahun)
8. Komplikasi
Adanya komplikasi menyebabkan prognosis menjadi lebih buruk
BAB III
PEMBAHASAN

Multiple myeloma adalah keganasan sel B dari sel plasma yang memproduksi
protein imunoglobulin monoklonal. Hal ini ditandai dengan adanya proliferasi clone
dari sel plasma yang ganas pada sumsum tulang, protein monoklonal pada darah atau
urin, dan berkaitan dengan disfungsi organ. Multiple myeloma dapat menyebabkan
beberapa manifestasi klinis lainnya, diantaranya: gejala yang umum pada multiple
myeloma adalah lemah, nyeri pada tulang dengan atau tanpa fraktur ataupun infeksi.
Anemia terjadi pada sekitar 73% pasien yang terdiagnosis. Lesi tulang berkembang
pada kebanyakan 80% pasien.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan beberapa kriteria berikut:
1. Hiperkalsemia: serum kalsium >0,25 mmol/L (>1mg/dL) lebih tinggi dari
batas atas nilai normal atau >2.75 mmol/L (>11 mg/dL)
2. Insufisiensi ginjal: kreatinin serum >177 mol/L (>2mg/dL) atau creatinine
clearance <40 mL permenit
3. Anemia: hemoglobin <100g/dL atau hemoglobin >20g/L lebih rendah
dari batas bawah normal

4. Lesi tulang: satu atau lebih lesi osteolitik melalui gambaran radiologi.
Jika sumsum tulang memiliki <10% sel plasma monoklonal, diperlukan
lebih dari satu lesi tulang untuk membedakan dari plasmasitoma soliter
dengan pemeriksaan sumsum tulang.
Kriteria pada poin satu membahas mengenai peningkatan klasium, pada
pasien ini nilai kalsiumnya masih cenderung normal namun dalam batas atas, yaitu
10,1. Pasien dengan multiple myeloma dapat mengalami gangguan saraf yang
berhubungan dengan gangguan metabolik. Gangguan metabolik tersebut dapat
berupa hiperuremia, hiperkalsemia, hiperamonia karena insufisiensi ginjal. Selain itu,
kalsium yang tinggi dalam darah disebabkan oleh peningkatan fungsi osteoklas yang
abnormal. Keluhan utama dari pasien ini adalah kejang lebih dari 20 kali yang dapat
diakibatkan oleh hal tersebut di atas.
Kelemahan anggota gerak sebelah kanan pada pasien ini dapat disebabkan
oleh gangguan serebrovaskuler akibat dari hiperviskositas darah melalui jalur
peningkatan imunoglobulin. Pada pasien ini diperiksa hasil globulinnya yaitu 3,6.
Peningkatan globulin dapat mengganggu fungsi fibrin dalam fibrinolitik. Sehingga
dapat timbul keluhan fokal defisit neurologi, perdarahan, dan nyeri kepala.
Kriteria pada poin kedua mengenai nilai kreatinin serum, pada pasien ini juga
mengalami peningkatan, walaupun belum >2mg/dL. Kriteria ketiga, nilai
hemoglobin pasien awalnya adalah 7,2 g/dL (anemia), namun setelah diberi terapi
PRC 2 kolf hemoglobin pasien naik menjadi 10,5 g/dL. Keadaan anemia ini dapat
31

disebabkan oleh defisiensi eritropoietin karena supresi dari IL-1 dan TNF, dapat pula
disebabkan oleh insufisiensi ginjal.
Untuk melakukan diagnosis pasti, diperlukan pemeriksaan patologi anatomi
pada sumsum tulang dengan aspirasi sumsum tulang. Namun, pada kasus ini pasien
belum melakukan pemeriksaan tersebut. Selain itu, pasien sudah melakukan
pemeriksaan CT-scan kepala dan tengkorak kepala. Didapatkan hasil osteolisis pada
tulang tengkorak kepala, sedangkan pada ensefalon tidak didapatkan lesi, sesuai
dengan kriteria empat.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan medikamentosa berupa infus
asering 16 tpm, kemudian injeksi fenitoin 100 mg/8 jam yang berfungsi dalam
menangani kejang, injeksi phenitoin 100 mg/8 jam diberikan untuk mengatasi kejang
pada pasien, injeksi citicolin 500mg/12 jam untuk vitamin otak, injeksi asam
traneksamat untuk mengatasi perdarahan, drip pantoprazol 40mg/malam dalam
100ml NaCl dan sucralfat sirup 3x1 sendok untuk melindungi lambungnya.
Prognosis pada pasien ini dubia ad malam karena sudah terdapat komplikasi
neurologik.
32

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. 2011. Multiple Myeloma. http://www.cancer.org (13


Desember 2011)

American Cancer Society., 2018. Risk Factors for Multiple Myeloma. [Online]
Available at: https://ww w.cancer.org/cancer/multiple-myeloma/causes-risks-
prevention/risk-factors.html [Accessed 15 Februari 2019].

Bladé, J. & Rosiño, L., 2007. Complications of Multiple Myeloma. Hematology/


Oncology Clinics of North America, 21(6), pp. 1231-46.

Canadian Cancer Society., 2019. Multiple Myeloma. [Online] Available at:


http://www.cancer.ca/en/cancer-information/cancer-type/multiple-myeloma/progno
sis-and-surviva [Accessed 12 Februari 2019].

Center, H. I. C. C., 2018. Multiple Myeloma. [Online] Available at:


http://cancer.columbia.edu/multiple-myeloma-about-multiple-myeloma [Accessed 15
Februari 2019].

Dwitya KP. Makalah patologi sistem imun “multiple myeloma”. Jurusan ilmu
kesehatan masyarakat. Semarang: Universitas Negeri Semarang; 2011 : 1-3.

Lestarini AL. Multipel mieloma. Bagian Patologi Klinik FK UNRAM/ RSU Propinsi
NTB. Jurnal kedokteran. Mataram. 2010 (6): 7-11.

Mittelman, M., 2003. The Implication of Anemia in Multiple Myeloma. Clin


Lymphoma, 4(1), pp. 23-9.

Anda mungkin juga menyukai