Anda di halaman 1dari 8

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PANDANGAN ISLAM DALAM


PENGELOLAAN TANAH

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam

Dosen Pembimbing : Endang Switri, M.Pd.I

Disusun Oleh
Ahmad Khairul Zidane (05101381823039)
Karinda Dwi Paserena (05101381823056)
Riska Apriliyani (05101381823041)

PROGRAM STUDI ILMU TANAH


JURUSAN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
PANDANGAN ISLAM DALAM PENGELOLAAN TANAH

Tanah merupakan salah satu unsur dari ekosistem tempat hidup manusia,
tanaman, dan hewan serta tempat penyimpanan air. Dalam pengelolaan tanah
perasan, hidup perlu mendapat perhatian khusus dengan kelestarian kehidupan di
biosfer. Masalah banjir dan tanah longsor merupakan masalah yang cukup berat
yang disebabkan oleh pengikisan tanah atau erosi. Umumya tanah yang terkikis
oleh air hujan adalah lapisan tanah yang subur dan berhumus yang sangat
dibutuhkan bagi tanaman pertanian. Untuk itu perlu adanya penanaman kembali,
sesuai hadis Rasul bahwasanya kita selaku umat manusia di perintahkan untuk
menanami tanaman di lahan yang kosong, agar tetap terjaganya bumi yang asri
(Taufik, Ahmad, 2010).
Tanah dan alam adalah salah satu faktor produksi yang sangat penting.
Oleh karena itu, sangatlah tepat jika Islam memberikan perhatian yang besar
terhadapnya. Orang Arab memberikan selogan “tanah adalah ibu dari produksi,
sementara ayahnya adalah tenaga kerja”. Keunikan dari faktor produksi tanah
dibanding yang lainnya Tanah adalah pemberian langsung dari Allah SWT. Maka
penggunaannya tidak boleh sembarangan, kita sebagai manusia tugasnya adalah
menjaga, memanfaatkan dan melestarikan. Tetapi penggunaanya juga harus sesuai
dengan ketentuan yang Allah berikan, sesuai firman Allah surat Al-A‟raf ayat 128
(Taufik, Ahmad, 2010).
Eksistensi dari tanah adalah sesuatu yang sangat kompleks, dilihat dari
sumber daya yang diberikan oleh tanah adalah yang ada didalam dan yang ada
dipermukaan tanah itu sendiri, dibawah tanah memberikan bahan-bahan mineral
dan tambang yang bermanfaat bagi manusia, sedang dari permukaan tanah
memberikan manfaat yang luar buasa. Penyediaan atau penawaran tanah relatif
terbatas, dalam artian bahwa tanah telah memiliki jumlah keseluruhan yang
tertentu, tidak dapat ditambah maupun dikurangi (Taufik, Ahmad, 2010).
Tanah merupakan tempat kita berpijak dan menggantungkan kehidupan
selama kita bernafas hingga akhir hidup kita. Tanah juga merupakan tempat bagi
manusia untuk mencari makan dengan menanam tanaman yang dapat diolah
sedemikian rupa guna kelangsungan hidup umat manusia. Selain itu tanah juga
merupakan tempat kita untuk mendirikan rumah, bangunan, tempat beribadah,
toko, perkantoran, jalan raya serta banyak hal lainnya. Oleh karena itu fungsi
tanah bagi manusia sangatlah penting dan tidak dapat dianggap sebelah mata.
Dalam pandangan Islam, tanah merupakan anugerah Allah yang harus
dimanfaatkan secara optimal bagi pencapaian kesejahteraan manusia (Herlinda, et
all, 2013).
Tanah tidak boleh ditelantarkan sebagaimana pula tidak boleh
dieksploitasi secara berlebihan sehingga merusaknya. Setiap orang yang
mempunyai tanah pertanian dia diharuskan mengolahnya agar tanah tersebut dapat
menghasilkan sesuatu yang dapat dinikmatinya, sekaligus juga agar kepemilikan
tanah tersebut dapat terus menjadi miliknya (Herlinda, et all, 2013).

‫ض‬ٌ ‫َت لَهُ أ َ ْر‬ ْ ‫ « َم ْن َكان‬:‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ قَا َل‬،‫ع ْن َجا ِب ٍر‬ َ
‫ َو ََل‬،‫ فَ ْل َي ْمن َْح َها أَخَاهُ ْال ُم ْس ِل َم‬،‫ع َجزَ َع ْن َها‬ َ ‫ فَإ ِ ْن لَ ْم َي ْست َ ِط ْع أ َ ْن َي ْز َر‬،‫فَ ْل َي ْز َر ْع َها‬
َ ‫ع َها َو‬
)‫اج ْرهَا ِإيَّاهُ»( َر َواهُ ُم ْس ِل ٌم‬
ِ ‫ي َُؤ‬

Artinya: Dari Jabir RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa


mempunyai sebidang tanah, maka hendaklah ia menanaminya. Jika ia tidak bisa
atau tidak mampu menanami, maka hendaklah diserahkan kepada orang lain
(untuk ditanami) dan janganlah menyewakannya (HR. Muslim).
Setiap Muslim yang mempunyai lahan pertanian sudah seharusnya
mengelolanya agar tanah tersebut dapat menghasilkan sesuatu yang dapat
memberikannya suatu keuntungan baik berupa materi di dunia maupun manfaat di
akhirat kelak, sekaligus juga agar kepemilikan tanah tersebut dapat terus lestari
menjadi kepunyaan kita. Kita sering kali melihat tanah-tanah yang tidak ada
fungsinya atau dibiarkan begitu saja, padahal hal yang seperti itu yang sebanarnya
tidak diperbolehkan dalam agama Islam, setiap tanah seharusnya dikelola, namun
pengelolaan tanah haruslah sesuai dengan ketentuan agama dan syariat Islam.
Sehingga nantinya tanah kita dapat menghasilkan suatu hal yang berkah dan di
ridhoi oleh Allah SWT (Guardyan, Alwafi, 2015).
Berkaitan dengan pengelolaan tanah pertanian ini, syariat Islam
menetapkan hukum-hukum yang memperbolehkan kita dalam mengelolanya
dengan cara-cara tertentu. Hukum-hukum yang membolehkan bentuk-bentuk
pengelolaan tanah pertanian sangat banyak dalam Islam, dimulai dari mengelola
tanah tersebut sendiri, menyewakan untuk dikelola orang lain untuk mengerjakan
lahannya, serta melakukan berbagai syirkah atau kerjasama yang berkaitan dengan
pengelolaan tanah-tanah agar menjadi lebih produktif. Hal ini tidak lain dan tidak
bukan karena Islam sangat menekankan tentang produktifitas bagi umatnya,
sehingga persoalan tanah pun kita diwajibkan untuk membuatnya produktif
sehingga dapat bermanfaat (Guardyan, Alwafi, 2015).
Hukum Islam melarang secara tegas pengelolaan tanah pertanian dengan
sistem bagi hasil antara pihak pemilik lahan pertanian dengan penggarap lahannya
yang disebut dengan muzara’ah atau mukhabarah. Hukumnya tidak diperbolehkan
dilakukan menurut hukum syariat Islam. Bagi hasil dalam sistem musaqat berbeda
dengan bagi hasil dalam sistem muzara’ah atau mukhabarah )Guardyan, Alwafi,
2015).
Musaqah berbeda dengan muzara’ah atau mukhabarah dari segi bahwa
dalam musaqah aktivitas yang dilakukan hanya mengenai segala hal yang
berkaitan dengan permasalahan pengairan dan tidak ada kaitannya dengan
aktivitas di luar itu, jadi aktivitas pengelolaan dalam musaqah lebih bersikap
ringan dan lebih mudah dilakukan. Sedangkan penggarap dalam muzara’ah atau
mukhabarah aktivitasnya mencakup keseluruhan pengelolaan sawah mulai dari
membajak, menanami, memupuki, menyirami, meyiangi, memupuk, termasuk
juga memeliharanya dari gangguan hama dan penyakit serta selain itu juga
memanen tanaman tersebut. Sehingga aktivitas yang dilakukan oleh kita dalam
muzara’ah lebih susah bagi pengelola tanahnya. Dari sini terlihat perbedaan yang
nyata antara musaqah dengan bagi hasil antara pemilik lahan dengan penggarap
(Fadoli, et all, 2011).
Landasan atau dasar ketidakbolehan dilakukannya bagi hasil tanah
pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap adalah nash-nash dalam hadits
yang menunjukkan larangan tersebut. Dalam sebuah riwayat hadits, Rafi’ bin
Hudaij mengatakan sebagai berikut, “mengarapkan tanah lahan kepada orang
lain atas perjanjian bagi hasil (mukhabarah semakna dengan muzara’ah). Pada
suatu hari ia didatangi oleh salah seorang pamannya yang memberitahu bahwa
Rasulluah SAW melarang suatu perbuatan yang sebenarnya bermanfaat bagi kita.
Jika mentaati larangan dari Rasulullah tersebut beliau pasti akan memperoleh
manfaat yang lebih besar.”
Dahulu banyak orang yang membagi hasil tanah lahan dengan sepertiga,
seperempat, atau setengah, tetapi kemudian Rasullulah SAW
bersabda “Barangsiapa yang mempunyai tanah lahan hendaknya ia menaminya
atau memberikannya kepada orang lain. Jika ia tidak mau melakukan hal itu
hendaknya ia menahan tanahnya.” Hal ini jelas sebagai larangan kita dalam
membagi lahan pertanian dalam sistem muzara’ah atau mukhabarah. Oleh karena
itu penting bagi kita dalam mengelola lahan pertanian dengan memperhatikan
hadits-hadits dari Nabi Muhammad SAW (Fadoli, et all, 2011).
Hukum Islam secara tegas menjelaskan bahwa seorang yang memiliki
tanah pertanian apakah pemilikan berupa zat tanah ataupun kegunaannya karena
tidak mampu dan atau tidak mau mengelolanya dilarang oleh Rasullah untuk
menyewakannya. Larangan penyewaan tanah pertanian ini berlaku umum baik
tanah tersebut statusnya tanah kharajiyah maupun usyriyah, baik sewanya berupa
uang maupun berupa barang yang lain seperti makanan, hasil pertanian, atau
dengan apapun yang termasuk ke dalam penyewaan lahan pertanian (Fadoli, et all,
2011).
Walaupun larangan penyewaan tanah pertanian datang dengan jelas dan
tegas, namun masih saja terdapat beberapa ulama-ulama baik sala fmaupun khalaf
membolehkannya dengan berbagai argumentasi yang mereka kemukakan. Kalau
kita cermati apa yang dianggap ‘dalil’oleh sebagian ulama yang membolehkan
penyewaan tanah pertanian adalah tidak tepat dan cenderung lemah sehingga tidak
dapat dijadikan alasan hukum untuk membolehkan penyewaan tanah pertanian.
Sementara hadits-hadits yang melarang dengan tegas dan tanpa ada kesamaran
dan keraguan untuk dijadikan landasan hukum (Fadoli, et all, 2011).
Sebagai seorang Muslim kita seharusnya menyakini bahwa apapun
ketentuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya adalah pasti memberikan
manfaat bagi kita semua. Hanya saja manfaat yang dimaksud mungkin dapat kita
indera dengan akal kita, namun banyak sekali hukum-hukum yang pasti
bermanfaat namun kita tidak mampu menjangkaunya dengan akal kita sebagai
manusia yang terbatas. Yang pasti kita harus berkeyakinan bahwa dimana ada
ketetapan syara’ maka disitu pasti ada manfaat bagi kita semua umat Muslim,
bukan kita berkeyakinan dimana ada manfaat disitulah hukum syariat berada
(Fitriani, Rahma, 2009).
Selain itu juga jika dikaitkan dengan hukum kewajiban pengelolaan maka
akan menjamin adanya optimalisasi sumber daya manusia dalam pengolahan
tanah tersebut. Sebab kepada setiap orang hanya dapat memiliki dan menguasai
tanah pertanian sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dalam hal mengelola
tanah tersebut. Sebaliknya kepada orang-orang yang mampu mengelola tetapi
tidak mempunyai tanah pertanian akan memperolehnya secara gratis dari negara.
Dengan demikian sumber daya manusia yang ada benar-benar dapat dimanfaatkan
secara optimal (Fitriani, Rahma, 2009).
Dengan kondisi ini juga Islam berusaha untuk menjamin adanya distribusi
kekayaan di tengah masyarakat, khusunya masyarakat Muslim. Sebab dengan
dibolehkannya penyewaan tanah pertanian, maka orang-orang yang menguasai
tanah pertanian yang sangat luas tentunya akan tetap menguasainya dalam artian
meskipun dia sendiri tidak mampu mengolahnya (Fitriani, Rahma, 2009).
Sebaliknya orang-orang yang mampu mengolah selamanya tidak akan
dapat memiliki tanah pertanian. Dari sinilah kita dapat mengetahui bahwasannya
salah satu hikmah tentang dilarangannya penyewaan tanah pertanian adalah dalam
rangka menjamin adanya distribusi kekayaan yang merata ditengah masyarakat
dan agar harta kekayaan termasuk tanah tidak hanya beredar diantara orang-orang
yang berkecukupan dan kaya saja (Fitriani, Rahma, 2009).
Surat Al-A’raf Ayat 58

ُ ‫ب َو ْالبَلَد‬ َ ‫َك َٰذَ ِل َك ۚ نَ ِكدًا ِإ ََّل َي ْخ ُر ُج ََل َخب‬


َّ ‫ُث َوالَّذِي ۖ َر ِب ِه ِبإ ِ ْذ ِن َنبَاتُهُ يَ ْخ ُر ُج‬
ُ ‫الط ِي‬
‫ف‬
ُ ‫ص ِر‬ ِ ‫يَ ْش ُك ُرونَ ِلقَ ْو ٍم ْاْليَا‬
َ ُ‫ت ن‬
Artinya :
“ Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah;
dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.
Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang
yang bersyukur “.
Kandungan dari Surat Al-A’raf ayat 58 ini kita dapat mengambil makna
bahwa kemudian Allah memberikan perumpamaan dengan tanah baik dan subur
serta tanah yang buruk dan tidak subur untuk menjelaskan sifat dan tabiat
manusia. Orang yang baik sifatnya akan dapat menerima kebenaran, sementara
orang yang buruk sifat dan tabiatnya tidak dapat menerima kebenaran. Dan jika
hujan turun pada tanah yang baik, tanaman-tanamannya akan tumbuh subur
dengan izin tuhan; dan adapun jika hujan turun pada tanah yang buruk, ia tidak
akan dapat menumbuhkan tanaman yang baik melainkan hanya akan
menumbuhkan tanaman-tanamannya yang tumbuh merana (Hadi, Sutrisno, 2016).
Demikianlah dijelaskan berulang-ulang tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
bagi orang-orang yang bersyukur. Setelah pada ayat yang lalu diterangkan tentang
nikmat Allah SWT. berupa hujan yang bisa menumbuhkan tanah tandus dan
tanaman-tanaman sebagai bukti keesaan Allah SWT. untuk menghidupkan orang-
orang yang telah mati pada hari kiamat, pada ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya
Allah SWT. menyebutkan kisah beberapa nabi terdahulu dan umatnya sebagai
pelajaran bagi umat nabi Muhammad (Hadi, Sutrisno, 2016).
Penyebutan kisah-kisah nabi ini dimulai dari kisah nabi nuh, rasul pertama
yang mengajarkan ajaran tauhid. Sungguh, kami benar-benar telah mengutus nabi
nuh kepada kaumnya untuk mengajak mereka mengesakan Allah dan memurnikan
ibadah hanya kepada-Nya, lalu dia berkata dengan lemah lembut dan sopan
“Wahai kaumku! sembahlah Allah yang maha esa! tidak ada tuhan atau sembahan
yang layak disembah bagimu selain dia. Sesungguhnya jika kamu durhaka dan
tetap menyembah berhala-berhalamu, aku takut kamu akan ditimpa azab yang
pedih akibat kekufuranmu pada hari yang dahsyat, yakni hari kiamat” (Hadi,
Sutrisno,2016).
DAFTAR PUSTAKA

Fadoli, et all. 2011. Hukum Mukhabarah dan Muzara’ah. Jurnal Islam. Vol. 4 No.
2 : 48-59.
Fitriani, Rahma. 2009. Ilmu Pengetahuan Dalam Mengelola Tanah Dalam Islam.
Jurnal Pengetahuan. Vol. 6 No. 3 : 123-134.
Guardyan, Alwafi. 2015. Sistem Pengelolaan Tanah Dan Kaitannya Dalam Islam.
Jurnal Unsyiah. Vol. 6 No. 4 : 36-50.
Hadi, Sutrisno. 2016. Kandungan-Kandungan Yang Terdapat Dalam Al-Quran
Dan Hadist. Jurnal Islam Indonesia. Vol. 3 No. 2 : 16-28.
Herlinda, et all. 2013. Pengelolaan Tanah. Jurnal Uinsu. Vol 3 No. 2 : 129-137.
Taufik, Ahmad. 2010. Sistem Pengelolaan Tanah Menurut Hukum Islam. Jurnal
Islami. Vol. 5 No. 2 : 87-94.

Anda mungkin juga menyukai