Anda di halaman 1dari 7

Institusi

Konservasi Dalam
Syariat Islam  
Oleh:
Mujahidin A
Hima’ = Cagar alam
 Hima’ adalah kawasan hukum dimana dilarang untuk
diolah dan dimiliki seseorang (pribadi), sehingga ia
tetap menjadi wilayah yang dipergunakan bagi
siapapun sebagai tempat tumbuhnya padang rumput
dan tempat mengembalakan hewan.
 Al Mawardi dalam Al Ahkaamus-sulthaaniyah
menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah
menetapkan suatu tempat seluas 6 mil menjadi hima’
bagi kuda-kuda kaum muslimin dari kalangan Muhajirin
dan Anshar.  
Menurut As Suyuti dan para fuqoha,
sebuah kawasan dapat menjadi
hima’ dengan empat syarat, yaitu :
1. Ditentukan berdasarkan keputusan
pemerintah 
2. Dibangun berdasarkan ajaran Allah SWT –
untuk tujuan-tujuan yang berkaitan dengan
kesejahtraan umum 
3. Tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi
masyarakat sekitar 
4. Harus mewujudkan manfaat yang nyata
bagi masyarakat 
Maka, hima’ adalah istilah yang paling tepat untuk
mewakili istilah daerah konservasi dalam Islam.
Berdasarkan kekhususannya ada 5 jenis Hima’ : 

 Wilayah dimana menggembalakan hewan tidak diperbolehkan 


 Wilayah dimana menggembalakan hewan diperbolehkan hanya pada musim tertentu 
 Wilayah perlindungan lebah; menggembalakan hewan dilarang pada musim bunga/semi 
 Wilayah hutan; dilarang menebang pohon 
 Wilayah suaka lingkungan untuk daerah/komunitas tertentu (kota, desa, dusun atau suku
tertentu), misalnya hutan kota, hutan adat dll 
 Hima’ – yang telah diakui oleh FAO – memiliki ukuran berbeda-beda. Hima’ Al- Rabadha,
yang dibangun oleh Khalifah Umar ibn Khatan dan kemudian diperluas oleh Khalifah
Utsman, adalah salah satu yang terbesar. Membentang dari Ar Rabadhah di barat Najd
hingga ke daerah sekitar kampung Dariyah. Pada tahun 1965 ada kurang lebih 3000
hima’ di Arab Saudi. Sebagai peninggalan Islam, sampai sekarang banyak hima’-hima’ di
Arab Saudi yang masih memiliki keanekaragaman hayati dan habitat-habitat biologi
penting.
IQTA’=LAHAN GARAP
 Iqta merupakan lahan (garap) yang dipinjamkan oleh negara kepada
para investor atau pengembang dengan pernjanjian kesanggupan untuk
mengadakan reklamasi (perbaikan lahan yang digarap).
 Oleh karena itu dalam menggarap Iqta, harus ada jaminan tanggung
jawab dan keuntungan baik untuk investor penggarap maupun untuk
masyarakat sekitarnya.
 Apabila penggarap telah membangun lahan tersebut menjadi
produktif, maka dia tidak bisa memindahtangankan lahan tersebut
kepada orang lain. Apabila lahan tersebut selama 3 tahun
ditelantarkan, maka penguasa negara bisa mencabut hak pakai
penggarap lahan dan mengalihkannya kepada pihak lain yang ingin
menghidupkan tanah tersebut. Lahan yang digunakan untuk Iqta adalah
lahan yang di dalamnya tidak ada kepentingan umum, misalnya sumber
daya air, kepentingan ekosistem dan tidak menimbulkan masalah baru
bagi daerah sekitar pada masa penggarapan.
 Dalam kawasan tersebut juga harus dipastikan tidak terdapat sumber
daya mineral atau keuntungan umum lain yang seharusnya dikuasai
oleh pemerintah untuk kemaslahatan orang banyak. 
Harim 
 Harim adalah lahan atau kawasan yang sengaja dilindungi untuk
melestarikan sumber-sumber air.
 Harim dapat dimiliki atau dicadangkan oleh kelompok atau individu
ataupun kelompok. Biasanya harim terbentuk bersamaan dengan
keberadaan ladang dan persawahan, tentu saja luas kawasan ini
berbeda.
 Di dalam sebuah desa, harim dapat difungsikan untuk menggembalakan
hewan ternak atau mencari kayu bakar. Akses masyarakat ke tempat
ini pun dimudahkan; dapat ditempuh tidak lebih dari satu hari pada
hari yang sama. Yang penting dalam harim ini adalah adanya kawasan
yang masih asli (belum dirambah), tidak dimiliki individu namun
menjadi hak milik umum.
 Pemerintah dapat mengadministrasikan atau melegalisasi kawasan ini
untuk keperluan bersama. Pada era Turki Utsmani harim digunakan
untuk menunjukkan suatu area (di sekitar rumah) yang terlarang bagi
laki-laki asing (untuk memasukinya). Kata harim sendiri berarti suatu
hal yang pribadi, sangat dihormati dan dimulyakan. 
Ihya al-Mawat 
 Tanah sebagai unsur lingkungan paling mendasar
mendapat perhatian lebih dalam Islam. Semangat
menghidupkan (Ihya) kawasan mati/tidak produktif (al
mawat) merupakan anjuran kepada setiap muslim untuk
mengelola lahan supaya tidak ada kawasan yang
terlantar. Menghidupkan di sini termasuk juga menjaga
dan memelihara kawasan tertentu untuk kemaslahatan
umum dan mencegah bencana.
 Semangat menghidupkan lahan ini penting sebagai
landasan untuk memakmurkan bumi. Tentu saja
pemerintah dan perundang-undangan harus akomadatif
dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan
lahan secara konsisten. 

Anda mungkin juga menyukai