1. Tanah tak bertuan di Arafah, Mudzalifah dan Mina Karena tana-tanah tersebut adalah hak
para jamaah haji dan umroh, dan ketika di gunakan/di garap akan mengganggu ibadah
jma’ah.
3. Tanah atau kawasan hutan lindung , tidak boleh di garap karena sudah di tetapkan oleh
pemerintah sebagai milik umum, dan tidak dimilki/ di garap kecuali dengan izin
pemimpin/wakilnya.
4. Kawasan terlarang (harim) untuk di kelola, yaitu tanah yang perlu di manfaatkan meskipun
sebenarnya sudah ada manfaatnya namun tanpa usaha pemanfaatan tidak akan maksimal.
Obyek yang berkaitan dengan
Ihya’ al-mawat
Obyek yang berkaitan dengan Ihya’ al-mawat ialah hanya berlaku untuk tanah yang mati
dan bukan tanah yang lain. Tanah-tanah tidak mati, tidak boleh dimiliki karena ia mempunyai
pemilik kecuali bila tanah tersebut diberikan oleh pemiliknya (khalifah).
Muhammad Anwar dalam bukunya Fiqh Islam berpendapat apabila tanah tersebut
dikauasai oleh pemerintah maka yang akan mengelola harus meminta ijin kepada pemerintah.
Selanjutnya dikatakan apabila ada tanah kosong yang tidak diketahui oleh pemiliknya dan
tidak diketahui pula tempat tinggalnya, tetapi tanda-tanda secara jelas menunjukan bahwa
tanah tersebut sudah ada yang mengelolanya, tanah tersebut harus dikuasai oleh negara.
Syarat-syarat Ihya’ al-mawat
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat Ihya’ al-mawat ada 3 yaitu:
Proses penggarapan.
Syarat yang terkait dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak
menggarap lahan umat Islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa. Jika kaum dzimmi atau
orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik orang
Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam. Oleh
sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim
merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang
akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan orang muslim.Kemudian mereka (jumhur ulama)
menyatakan bahwa Ihya’ al-mawat merupakan salah satu pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak
perlu dibedakan antara muslim dan non-muslim.
Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah Islam, akan tetapi jumhur ulama’
berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di negara Islam maupun bukan,
bukan lahan yang dimilki seseorang, baik muslim maupun dzimmi.
Menurut Imam Abu Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak
mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu. Lahan itu harus
sudah digarap dalam waktu tiga tahun, jika selama tiga tahun itu, tidak digarap secara intensif
maka pihak pemerintah berhak mengambil lahan itu serta memberikannya kepada orang lain,
Cara-cara Ihya’ al-mawat
Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah yang gersang yakni daerah di mana
tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik
maupun pupuk kandang sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil
sesuai dengan yang diharapkan;
Menanam, cara ini dilakukan untuk didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh
tangan-tangan manusia, maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai atau telah
ada yang memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman
Menggarisi atau membuat pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas,
sehingga tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang
menyuburkannya, maka dia harus membuat pagar atau garis batas tanah yang
akan dikuasai olehnya.