Anda di halaman 1dari 32

REFRAT

SYSTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi

Salah Satu Syarat dalam Menempuh

Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Disusun Oleh :

Maritsatun Nisa’

30101407235

Pembimbing :

dr. Nurul Aisiyah, SpPD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi autoimun sistemik


yang ditandai dengan temuan autoantibodi pada jaringan dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan manifestasi klinis diberbagai sistem organ.1,2 Faktor genetik, imunologik dan
hormonal serta lingkungan berperan dalam patofisiologi penyakit LES.2

Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di
dunia.1 Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus per 100.000 penduduk
dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per 100.000 penduduk.3 Di Asia, prevalensi
LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi
terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.4 Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di
poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi.3

90% pasien LES adalah perempuan usia muda dengan insiden puncak pada usia 15-40
tahun selama masa reproduksi.1 Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1.3
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi.3 Dilaporkan survival rate 5
tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari
tahun 1990-2002.3

Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif dan memiliki risiko kematian yang tinggi,
oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang tepat. 1 Untuk
menegakkan diagnosis LES dilakukan melalui kriteria yang ditetapkan oleh American College
of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997, ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria.1
Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika mentosa dan
medika mentosa. Untuk penatalaksanaan awal pasien LES yang baru terdiagnosis, penyuluhan
dan intervensi psikologis sangat diperlukan.1 Sedangkan untuk pemilihan terapi ditentukan
berdasarkan derajat beratnya LES dengan tujuan terapi yaitu untuk mengontrol serangan akut,
severe flare, dan mengontrol gejala sehingga bisa ditoleransi oleh pasien.2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik adalah gangguan
jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan hingga fulminans
dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang komponen sitoplasma dan inti sel,
ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis, nefritis, pleuritis, pericarditis,
leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik, lesi organ, manifestasi neurologik,
limfadenopati, demam dan berbagai gejala konstitusional lainnya.5 Sedangkan menurut
buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, LES adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh
produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan
manifestasi klinis yang luas.1 Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai
dengan periode tenang dan eksaserbasi.6
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa yunani
yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan
pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash.4
2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di dunia
dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga kali lipat karena kemajuan
ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis LES melalui kriteria ACR.1,7 Di
Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus per 100.000 penduduk dengan
insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per 100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik,
prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3 kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai
negara dengan prevalensi tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia,
prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara Cina
memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.4
Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh wilayah
Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 % kasus LES
pada tahun 1998-1990.1 Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien
(10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi.3
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia 16 tahun
dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES adalah perempuan usia muda dengan
insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.1,7 Rasio penyakit LES pada
perempuan dan laki-laki adalah 9:1.3 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rupert W.Jakes, dilaporkan prevalensi LES pada perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus
per 100.000 penduduk dengan insidensi 1.4-5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-
laki 0.8-7.0 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap tahunnya.4
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana angka
kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.3
Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan 108
orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3 Sedangkan berdasarkan usia, angka
survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-
85%, 64-80%, dan 53-64%.3 Hasil studi yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012
menyatakan survival rate LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94%
dalam 10 tahun.4 Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas
penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa),
sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis
Penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-Pasifik yaitu
30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40% keterlibatan
kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.4
Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis LES tampak lebih
baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam 5 tahun), Hong Kong (survival
rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10 tahun), Korea Selatan (survival rate 94% dalam
5 tahun), akan tetapi di negara Australia survival rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.4
2.3 Etiologi
Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai etiologi LES,
yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan hormon berperan
sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor lingkungan yang dianggap
sebagau pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress
mental maupun fisik.8
a. Antibodi Antinuklear (ANA)9
ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat dikelompokkan
menjadi empat kategori:
1. Antibodi terhadap DNA
2. Antibodi terhadap histon
3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA
4. Antibodi terhadap antigen nucleolus
b. Faktor Genetik 7,9
1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan kembar
dizigotik (1-3%).
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita LES dan
hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena dapat
menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara kandung memiliki risiko 30
kali lebih besar untuk menderita penyakit LES.
3. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat hubungan positif
antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-DQ.
4. Beberapa pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi komponen komplemen
yang diturunkan. Kekurangan komplemen akan mengganggu pembersihan
kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi jaringan, yang
menimbulkan jejas jaringan
Tabel 2.1 Antibodi Antinuklear pada berbagai penyakit autoimun
c. Faktor Lingkungan 2,7,9
Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat tertentu,
seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu ekspresi dari sel T
CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan menstimulus ekspresi antigen LFA-1
sehingga memicu autoreaktivasi pada LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita
yang diobati dengan prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA
disertai gambaran LES yang muncul 15% - 20% pada pasien tersebut.
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien LES akan
mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet dapat
meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan meningkatkan jejas jaringan
yang akan melepaskan pembentukan kompleks imun DNA / anti-DNA yang dapat
menstimulus respon autoimun pada LES.
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat meningkatkan
terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan menstimulus interferon α
(IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik yang akan memicu respon imun.
Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam amino yang menyerupai untaian asam
amino manusia yang akan menstimulus respon autoimun pada LES.
d. Faktor Imunologis 9
Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B pada
pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai penyebab.
Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda member petunjuk bahwa
antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan acak sel B aktif poliklonal, tetapi lebih
banyak berasal dari respon sel-B oligoklonal yang lebih selektif terhadap antigennya
sendiri. Sebagai contoh, antibodi anti-DNA pathogen pada pasien LES adalah kationik,
sedangkan antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal
adalah anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas pada
LES telah beralih ke sel T helper CD4+.
e. Faktor Hormonal 2
Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi. Perempuan
yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan estrogen atau yang
menggunakan hormone replacement therapy memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES.
Estradiol akan berikatan pada reseptor sel T dan sel limfosit B, meningkatkan aktivasi
sel T dan sel limfosit B tersebut.

Gambar 2. 1Keterkaitan antara factor genetik, epigenetic dan lingkungan pada LES.

2.4 Patogenesis
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi-diri.
Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara
langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Antibodi tersebut melawan
komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak spesifik terhadap organ.9 Proses ini
diawali dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar
ultraviolet atau bahan kimia. Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh
yaitu 8:

a. Sel T dan sel B menjadi autorektif


b. Pembentukan sitokin yang berlebihan
c. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain:
i. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
sitokin di dalam tubuh
ii. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
iii. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen kerena adanya mimikri molekuler
Gambar 2. 2Model pathogenesis LES

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang
disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan membentuk kompleks imun.
Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.8
Karakteristik patogenesis dari LES yaitu
sistem imun yang menyerang nuklear endogen
yang dianggap sebagai autoantigen. Autoantigen
dikeluarkan oleh sel yang mengalami apoptosis
kemudian akan dipresentasikan oleh sel
dendritik ke sel T. Sel T mensekresikan sitokin
yaitu interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang
mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Nukleosome endogen dapat berikatan dengan
molekular patogen reseptor dan dapat menstimulus pengeluaran interferon α (IFN α)
sehingga memicu terjadinya inflamasi. Selain
itu juga nucleosome dapat berikatan dengan
reseptor permukaan sel seperti BCR (B cell
antigen reseptor) dan TLR (Toll like
reseptor). Pada pasien dengan SLE yang aktif
terdapat peningkatan ekspresi TLR9.7
Pada LES sebagian besar autoantibodi
yang dihasilkan akan langsung menyerang
kompleks DNA/protein atau RNA/protein
seperti nukleosome, nukleolar RNA,
spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis,
antigen tersebut bermigrasi ke permukaan sel
dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi
autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T dan
sel limfosit B pada LES ditandai dengan
meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan
CD40L. Hasil akhir dari ini yaitu produksi
autoantibodi dan pembentukan kompleks
imun yang terdeposisi di jaringan sehingga
Gambar 2. 3Tiga tahap patogenesis penyakit membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel
kompleks imun sistemik
yang diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi,
(2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3) pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan
enzim-enzim yang mendestruksi jaringan.2
2.5 Patofisiologi

Gambar 2. 4 Mekanisme sistemik pada LES


Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a) meningkatnya serum
antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b) terbentuknya kompleks imun pada organ
target yang menyebabkan kerusakan organ.11 Defek mekanisme regulasi imun seperti
klirens apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor pada LES. LES ditandai
dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan aktivasi
komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen dan faktor
lingkungan sehingga menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri
dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan
mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal. 2
Gambar 2. 5Patofisiologi LES
Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa gangguan klirens
kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati dan penurun uptake
kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap
pada berbagai macam organ dan terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa
ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya
reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala
pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan
sebagainya.2
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga
menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya
sistem imun.12
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun. Penyakit
ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit dapat spontan
atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi
virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.. 12
a. Gejala Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling


sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,
limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-
menerus. 13

b. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa
athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling
sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis
dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada
beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi
dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan
dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat.
Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam
pengobatan kortikosteroid. 13
c. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.
1. Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit
edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam
kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada
erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam
mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar
matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat
bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.13
Gambar 2. 6Lupus eritematosus kutaneus akut
2. Lesi Kulit Sub Akut

Gambar 2. 7Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3. Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15
tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun,
sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium
menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam diskoid
adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung,
dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-
10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3 tahap,
yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai
bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak.
Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari LES
daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari
semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.14

Gambar 2. 8 Facial discoid


4. Livido Retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema
periungual.13

Gambar 2. 9 A) Livido retikularis B) eritema periungual.


5. Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis.14

d. Kelainan pada Ginjal


Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis.
Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya
LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah:
a. Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
b. Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
c. Kelas III: focal lupus nephritis
d. Kelas IV: diffuse lupus nephritis
e. Kelas V: membranous lupus nephritis
f. Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus LES. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu
nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan
kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta
gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang
ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta
perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.2,13
e. Serositis (pleuritis dan perikarditis)
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan
radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering
unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang
dengan pemberian terapi yang adekuat.13
f. Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak
dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.13
g. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut abdomen,
muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis. Gejala
menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat pengobatan yang
adekuat. 13
h. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai
ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal. 13
i. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa
limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada
60% kasus LES. 13
j. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya
bersifat sementara. 15
k. Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan
dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa
lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif,
infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi
antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan
kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala
aktif LES pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi
disamping gejala khas kelainan organik otak.10 Kejang-kejang yang timbul biasanya
termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia
karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic
meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan
sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas.
Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin
di pleksus koroideus. 15
l. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-
positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia, dan lekopenia. 13
m. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat.
Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi
komplemen lokal. 13
n. Kardiovaskuler
LES dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina pektoris, valvulitis,
vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa manifestasi lainnya.13
2.7 Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of Rheumatology 1997
yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika ditemukan 4 dari 11 kriteria
yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.3
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifiitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil
tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.3
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan anemia nomositer,
leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang cepat, hiperglobulinemia dan bila
terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah. Biasanya kelainan faal hepar dan
penurunan komplemen serum juga ada. Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria,
merupakan gejala penting. Faktor rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa untuk
mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk
menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES.
Berikut pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
LES3 :
a. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
b. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila diperlukan pemeriksaan
kreatinin darah
c. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)
d. PT dan aPTT
e. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4
f. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)
Rekomendasi 3
 Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE

 Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE

 Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE

Fenomena Sel S.E dan tes sel S.E


Sel L.E terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan nuclear basofilik
yang telah difagositosis, segmen nuklearnya berpindah ke perifer. Fenomena ini
disebabkan oleh factor antinuclear (factor L.E dan yang lain) yang menyerang bahan
nuclear di dalam sel yang rusak. Bahan nuclear yang berubah dikelilingi neutrofil (bentuk
rosette) yang memfagositosis bahan tersebut. Tes sel L.E kini tidak penting karena
pemeriksaan antibodi antinuclear lebih sensitif.

Antibodi antinuclear (ANA)


Pada pemeriksaan imunofluoresensi tak langsung dapat ditunjukkan (ANA) pada
90% kasus.12 Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody yang mampu
menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga
berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody spesifik. Pola ANA dapat
diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di bawah lampu ultraviolet.13 Terdapat
4 pola ANA ialah membranosa (anular, peripheral), homogen, berbintik dan nuclear. Yang
dianggap spesifik untuk L.E.S ialah pola membranosa, terutama jika titernya tinggi. Pola
berbintik juga umum terdapat pada L.E.S. Pada homogen kurang spesifik.16

Lupus band test


Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung dapat dilihat pita terdiri atas deposit
granular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut epidermal-dermal
yang disebut lupus band. Caranya disebut lupus band test, specimen diambil dari kulit yang
normal. Tes tersebut positif pada 90-100% kasus L.E.S dan 90-95% kasus L.E.D.16
Anti-ds-DNA
Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk
S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai hubungan
dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan kadar komplemen yang rendah
dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau proteinuria.16

Anti-Sm
Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm,
tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada penyakit
lain.16

2.9 Diagnosa Banding


Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang
serupa dengan LES yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat g. Artritis reumatoid dini
g. Vaskulitis

Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-gejala yang dapat
menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura
trombositopenik.12

1) Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Pola
karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada persendian kecil di tangan,
pergelangan, dan kaki. Awitannya biasanya akut, bilateral, dan simetris. Persendian
dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30
menit.14
2) Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik. Skleroderma
merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuning-
kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu disekitarnya. Sklerosis
sistemik seperti skleroderma sirkumskripta tetapi secara berturut-turut mengenai alat-
alat viseral.12
3) Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka (terutama pada
palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah ungu kadang-kadang juga
livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai paralisi otot-otot ekstraokular. Pada
fase berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan yang menetap dan menyerupai
Lupus Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke leher, toraks, lengan bawah, dan
lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul Gottron yaitu papul keunguan di bagian
dorsolateral sendi interfalangeal dan atau metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam
intermiten, takikardi, hiperhidrosis, dan penurunan berat badan.12
4) Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom Moschowite
dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan susunan saraf pusat.
Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa ekimosis, ikterus, pembesaran
limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis, fenomena Raynaud, nyeri perut, dan
pembesaran hati.15
2.10 Derajat SLE
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan
saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.

Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:


1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,infark
paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, thrombosis
vena atau arteri.

2.11 Pengelolaan
Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan
dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah
a)mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit
seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar
aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik adalah 1) Edukasi dan konseling,
2)Program rehabilitasi, 3) Pengobatan medikamentosa (OAINS, Anti malaria,
steroid, Imunosupresan / Sitotoksik).3
Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.3
a. Pengobatan LES Ringan
Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar
tujuan di atas tercapai, yaitu:
1) Obat-obatan
i. Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila
diperlukan.
ii. Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan
diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.
iii. Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan
preparat dengan potensi ringan)
iv. Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1
tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa)
catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan
dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5-
6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap
6-12 bulan.
v. Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg /
hari atau yang setara .
vi. Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection
faktor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).3
b. Pengobatan LES Sedang
Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali
pada pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan
tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada
serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada
penggunaan obat-obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa
diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum pada bagan .3
Gambar 2. 10 Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat beratnya .
Tabel 2.2 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE
Kortikortikosteroid
Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid tetap
merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi dan imunosupresi. Dosis
kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi.
Indikasi Pemberian Kortikortikosteroid ;
Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik.
Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai
tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis
akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.Efek samping
kortikortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan meminimalkan jumlah
kortikortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko efek samping.3

Obat Imunosupresan atau Sitotoksik


Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan
pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada
keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia,
seringkali diberikan gabungan antara kortikortikosteroid dan imunosupresan /sitotoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.3
Pencegahan17
Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang sangat dingin
dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
 Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah

 Memakai pakaian yang menutup ekstremitas

 Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.

 Istirahat

 Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus diobati
dengan segera.

 Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress oksidatif

 Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.

 Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi
kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan
mampu mengubah gaya hidup.

 Hindari Merokok

 Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi

 Hindari stres dan trauma fisik

 Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia

 Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00

 Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.

2.12 SLE dan Kehamilan


Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES. Beberapa
penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun umumya ringan,
tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka 50-60% eksaserbasi,
sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-
10% yang mengalami kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan
eklampsia juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor predisposisi
yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS). Penanganan penyakit LES sebelum,
selama kehamilan dan pasca persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan
adalah:
 Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah 6 bulan
aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada lupus
nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini dapat
mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
 Medikamentosa:
o Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak melebihi 7,5
mg/hari prednison.
o DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan penuh
kehati-hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan obat-obat.

Kontraindikasi untuk hamil pada wanita dengan LES

Sebaiknya penderita lupus tidak hamil dalam kondisi berikut ini:

 Hipertensi pulmonal yang berat (Perkiraan PAP sistolik >50 mm Hg atau


simptomatik)

 Penyakit paru restriktif (FVC <1 l)

 Gagal jantung

 Gagal ginjal kronis (Kr >2.8 mg/dl)

 Adanya riwayat preeklamsia berat sebelumnya atau sindroma HELLP (Hemolitic


anemia, elevated liver function test, low platelet) walaupun sudah diterapi dengan
aspirin dan heparin

 Stroke dalam 6 bulan terakhir

 Kekambuhan lupus berat dalam 6 bulan terakhir.


BAB III
KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit inflamasi autoimun


sistemik, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi penyakit LES
merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor imunologis, faktor lingkungan, dan faktor
hormonal. Pada LES interaksi antar keempat faktor tersebut merespon tubuh untuk membentuk
autoantibodi, selanjutnya membentuk kompleks imun yang terdeposisi pada jaringan atau
organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Diagnosis LES
menurut American College of Rheumatology (ACR) ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4
dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash, bercak diskoid, fotosensitf, ulkus mulut,
arthritis, serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan
gangguan antinuklear.
Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika mentosa
dan medika mentosa. Tujuan dari terapi LES yaitu untuk meningkatkan kesintasan dan kualitas
hidup pasien LES melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2009.
2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper D.L,
Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012. H 2724-35.
3. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.
4. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus
erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical features, and
mortality. Americam College of rheumatology 2012; 64(2) : 159-68.
5. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28th ed. Hartanto YB, editor.
Jakarta: EGC; 2012.
6. Rosani S. Lupus eritematosus sistemik dalam kapita selekta kedokteran ed IV. Jakarta
: Media Aesculapius; 2014.h 842-45.
7. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical features.
Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.
8. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas Airlangga;
2007. h 235-41.
9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed. Jakarta: EGC;
2009.
10.Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of north
America. Elsevier 2010; 36(1).
11. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus erythematosus:
lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) : 1-9.
12. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family physician
2003; 68(11) : 1-6.
13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
14.Bartels C, et al. Systemic lupus erythematosus (SLE) [Internet]. Medscape; 2014
[cited 2015 Mei 19]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/332244-
overview
15.Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus
Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
16. Budianti WK. Lupus eritemarosus kutan dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin Ed
7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.300-302.
17. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5th edition. 2005. h
384-7.

Anda mungkin juga menyukai