Disusun Oleh :
Maritsatun Nisa’
30101407235
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di
dunia.1 Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus per 100.000 penduduk
dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per 100.000 penduduk.3 Di Asia, prevalensi
LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi
terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.4 Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di
poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi.3
90% pasien LES adalah perempuan usia muda dengan insiden puncak pada usia 15-40
tahun selama masa reproduksi.1 Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1.3
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi.3 Dilaporkan survival rate 5
tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari
tahun 1990-2002.3
Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif dan memiliki risiko kematian yang tinggi,
oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang tepat. 1 Untuk
menegakkan diagnosis LES dilakukan melalui kriteria yang ditetapkan oleh American College
of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997, ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria.1
Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika mentosa dan
medika mentosa. Untuk penatalaksanaan awal pasien LES yang baru terdiagnosis, penyuluhan
dan intervensi psikologis sangat diperlukan.1 Sedangkan untuk pemilihan terapi ditentukan
berdasarkan derajat beratnya LES dengan tujuan terapi yaitu untuk mengontrol serangan akut,
severe flare, dan mengontrol gejala sehingga bisa ditoleransi oleh pasien.2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik adalah gangguan
jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan hingga fulminans
dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang komponen sitoplasma dan inti sel,
ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis, nefritis, pleuritis, pericarditis,
leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik, lesi organ, manifestasi neurologik,
limfadenopati, demam dan berbagai gejala konstitusional lainnya.5 Sedangkan menurut
buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, LES adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh
produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan
manifestasi klinis yang luas.1 Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai
dengan periode tenang dan eksaserbasi.6
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa yunani
yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan
pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash.4
2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di dunia
dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga kali lipat karena kemajuan
ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis LES melalui kriteria ACR.1,7 Di
Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus per 100.000 penduduk dengan
insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per 100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik,
prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3 kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai
negara dengan prevalensi tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia,
prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara Cina
memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.4
Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh wilayah
Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 % kasus LES
pada tahun 1998-1990.1 Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien
(10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi.3
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia 16 tahun
dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES adalah perempuan usia muda dengan
insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.1,7 Rasio penyakit LES pada
perempuan dan laki-laki adalah 9:1.3 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rupert W.Jakes, dilaporkan prevalensi LES pada perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus
per 100.000 penduduk dengan insidensi 1.4-5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-
laki 0.8-7.0 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap tahunnya.4
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana angka
kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.3
Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan 108
orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3 Sedangkan berdasarkan usia, angka
survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-
85%, 64-80%, dan 53-64%.3 Hasil studi yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012
menyatakan survival rate LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94%
dalam 10 tahun.4 Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas
penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa),
sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis
Penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-Pasifik yaitu
30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40% keterlibatan
kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.4
Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis LES tampak lebih
baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam 5 tahun), Hong Kong (survival
rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10 tahun), Korea Selatan (survival rate 94% dalam
5 tahun), akan tetapi di negara Australia survival rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.4
2.3 Etiologi
Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai etiologi LES,
yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan hormon berperan
sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor lingkungan yang dianggap
sebagau pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress
mental maupun fisik.8
a. Antibodi Antinuklear (ANA)9
ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat dikelompokkan
menjadi empat kategori:
1. Antibodi terhadap DNA
2. Antibodi terhadap histon
3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA
4. Antibodi terhadap antigen nucleolus
b. Faktor Genetik 7,9
1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan kembar
dizigotik (1-3%).
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita LES dan
hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena dapat
menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara kandung memiliki risiko 30
kali lebih besar untuk menderita penyakit LES.
3. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat hubungan positif
antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-DQ.
4. Beberapa pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi komponen komplemen
yang diturunkan. Kekurangan komplemen akan mengganggu pembersihan
kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi jaringan, yang
menimbulkan jejas jaringan
Tabel 2.1 Antibodi Antinuklear pada berbagai penyakit autoimun
c. Faktor Lingkungan 2,7,9
Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat tertentu,
seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu ekspresi dari sel T
CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan menstimulus ekspresi antigen LFA-1
sehingga memicu autoreaktivasi pada LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita
yang diobati dengan prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA
disertai gambaran LES yang muncul 15% - 20% pada pasien tersebut.
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien LES akan
mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet dapat
meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan meningkatkan jejas jaringan
yang akan melepaskan pembentukan kompleks imun DNA / anti-DNA yang dapat
menstimulus respon autoimun pada LES.
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat meningkatkan
terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan menstimulus interferon α
(IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik yang akan memicu respon imun.
Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam amino yang menyerupai untaian asam
amino manusia yang akan menstimulus respon autoimun pada LES.
d. Faktor Imunologis 9
Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B pada
pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai penyebab.
Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda member petunjuk bahwa
antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan acak sel B aktif poliklonal, tetapi lebih
banyak berasal dari respon sel-B oligoklonal yang lebih selektif terhadap antigennya
sendiri. Sebagai contoh, antibodi anti-DNA pathogen pada pasien LES adalah kationik,
sedangkan antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal
adalah anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas pada
LES telah beralih ke sel T helper CD4+.
e. Faktor Hormonal 2
Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi. Perempuan
yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan estrogen atau yang
menggunakan hormone replacement therapy memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES.
Estradiol akan berikatan pada reseptor sel T dan sel limfosit B, meningkatkan aktivasi
sel T dan sel limfosit B tersebut.
Gambar 2. 1Keterkaitan antara factor genetik, epigenetic dan lingkungan pada LES.
2.4 Patogenesis
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi-diri.
Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara
langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Antibodi tersebut melawan
komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak spesifik terhadap organ.9 Proses ini
diawali dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar
ultraviolet atau bahan kimia. Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh
yaitu 8:
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang
disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan membentuk kompleks imun.
Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.8
Karakteristik patogenesis dari LES yaitu
sistem imun yang menyerang nuklear endogen
yang dianggap sebagai autoantigen. Autoantigen
dikeluarkan oleh sel yang mengalami apoptosis
kemudian akan dipresentasikan oleh sel
dendritik ke sel T. Sel T mensekresikan sitokin
yaitu interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang
mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Nukleosome endogen dapat berikatan dengan
molekular patogen reseptor dan dapat menstimulus pengeluaran interferon α (IFN α)
sehingga memicu terjadinya inflamasi. Selain
itu juga nucleosome dapat berikatan dengan
reseptor permukaan sel seperti BCR (B cell
antigen reseptor) dan TLR (Toll like
reseptor). Pada pasien dengan SLE yang aktif
terdapat peningkatan ekspresi TLR9.7
Pada LES sebagian besar autoantibodi
yang dihasilkan akan langsung menyerang
kompleks DNA/protein atau RNA/protein
seperti nukleosome, nukleolar RNA,
spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis,
antigen tersebut bermigrasi ke permukaan sel
dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi
autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T dan
sel limfosit B pada LES ditandai dengan
meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan
CD40L. Hasil akhir dari ini yaitu produksi
autoantibodi dan pembentukan kompleks
imun yang terdeposisi di jaringan sehingga
Gambar 2. 3Tiga tahap patogenesis penyakit membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel
kompleks imun sistemik
yang diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi,
(2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3) pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan
enzim-enzim yang mendestruksi jaringan.2
2.5 Patofisiologi
b. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa
athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling
sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis
dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada
beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi
dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan
dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat.
Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam
pengobatan kortikosteroid. 13
c. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.
1. Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit
edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam
kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada
erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam
mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar
matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat
bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.13
Gambar 2. 6Lupus eritematosus kutaneus akut
2. Lesi Kulit Sub Akut
3. Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15
tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun,
sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium
menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam diskoid
adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung,
dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-
10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3 tahap,
yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai
bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak.
Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari LES
daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari
semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.14
Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE
Anti-Sm
Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm,
tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada penyakit
lain.16
Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-gejala yang dapat
menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura
trombositopenik.12
1) Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Pola
karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada persendian kecil di tangan,
pergelangan, dan kaki. Awitannya biasanya akut, bilateral, dan simetris. Persendian
dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30
menit.14
2) Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik. Skleroderma
merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuning-
kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu disekitarnya. Sklerosis
sistemik seperti skleroderma sirkumskripta tetapi secara berturut-turut mengenai alat-
alat viseral.12
3) Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka (terutama pada
palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah ungu kadang-kadang juga
livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai paralisi otot-otot ekstraokular. Pada
fase berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan yang menetap dan menyerupai
Lupus Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke leher, toraks, lengan bawah, dan
lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul Gottron yaitu papul keunguan di bagian
dorsolateral sendi interfalangeal dan atau metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam
intermiten, takikardi, hiperhidrosis, dan penurunan berat badan.12
4) Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom Moschowite
dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan susunan saraf pusat.
Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa ekimosis, ikterus, pembesaran
limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis, fenomena Raynaud, nyeri perut, dan
pembesaran hati.15
2.10 Derajat SLE
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan
saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
2.11 Pengelolaan
Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan
dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah
a)mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit
seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar
aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik adalah 1) Edukasi dan konseling,
2)Program rehabilitasi, 3) Pengobatan medikamentosa (OAINS, Anti malaria,
steroid, Imunosupresan / Sitotoksik).3
Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.3
a. Pengobatan LES Ringan
Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar
tujuan di atas tercapai, yaitu:
1) Obat-obatan
i. Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila
diperlukan.
ii. Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan
diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.
iii. Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan
preparat dengan potensi ringan)
iv. Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1
tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa)
catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan
dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5-
6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap
6-12 bulan.
v. Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg /
hari atau yang setara .
vi. Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection
faktor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).3
b. Pengobatan LES Sedang
Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali
pada pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan
tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada
serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada
penggunaan obat-obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa
diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum pada bagan .3
Gambar 2. 10 Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat beratnya .
Tabel 2.2 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE
Kortikortikosteroid
Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid tetap
merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi dan imunosupresi. Dosis
kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi.
Indikasi Pemberian Kortikortikosteroid ;
Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik.
Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai
tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis
akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.Efek samping
kortikortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan meminimalkan jumlah
kortikortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko efek samping.3
Istirahat
Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus diobati
dengan segera.
Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi
kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan
mampu mengubah gaya hidup.
Hindari Merokok
Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.
Gagal jantung
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2009.
2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper D.L,
Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012. H 2724-35.
3. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.
4. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus
erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical features, and
mortality. Americam College of rheumatology 2012; 64(2) : 159-68.
5. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28th ed. Hartanto YB, editor.
Jakarta: EGC; 2012.
6. Rosani S. Lupus eritematosus sistemik dalam kapita selekta kedokteran ed IV. Jakarta
: Media Aesculapius; 2014.h 842-45.
7. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical features.
Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.
8. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas Airlangga;
2007. h 235-41.
9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed. Jakarta: EGC;
2009.
10.Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of north
America. Elsevier 2010; 36(1).
11. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus erythematosus:
lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) : 1-9.
12. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family physician
2003; 68(11) : 1-6.
13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
14.Bartels C, et al. Systemic lupus erythematosus (SLE) [Internet]. Medscape; 2014
[cited 2015 Mei 19]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/332244-
overview
15.Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus
Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
16. Budianti WK. Lupus eritemarosus kutan dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin Ed
7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.300-302.
17. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5th edition. 2005. h
384-7.