Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN EWING’S SARCOMA

DI POLI ORTHOPEDI RUMAH SAKIT DR.SOETOMO SURABAYA

Disusun Oleh :
Handini Indah Rahmawati
131611133122

Pembimbing klinik :
Erfandi Eka Putra, S.Kep., Ns., M.Kep
Pembimbing Akademik :
Ariana Qona’ah, M.,Kep

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
A. Definisi
Ewing’s sarcoma adalah suatu tumor ganas yang jarang terjadi dimana sel kanker
dapat ditemukan pada tulang maupun jaringan lunak. Biasanya penyakit ini menyerang
tulang panjang seperti pelvis, femur, humerus dan tulang rusuk. Ewing Sarcoma juga dapat
bermetastasis ke tempat lain seperti sumsum tulang, paru-paru, ginjal, hati, kelenjar
adrenal dan jaringan lunak lainnya.

B. Etiologi
Penyebab Ewing’s sarcoma masih belum dapat dipastikan. Namun, beberapa
peneliti menemukan bahwa penyakit ini disebabkan karena perubahan sel kromoson pada
DNA yang akhirnya menyebabkan timbulnya penyakit ini. Ewing’s sarcoma termasuk
penyakit dengan kelainan genetik akibat kesalahan rekombinasi kromosom yang dapat
menyebabkan sel normal berubah menjadi sel ganas. Kondisi lain yang menyebabkan
peningkatan resiko kerusakan dan regenerasi tulang dalam jangka waktu tertentu juga
meningkatkan resiko berkembangnya tumor tulang. Hal ini menjadi penjelasan mengapa
sarkoma ewing sering terjadi pada anak-anak, karna pertumbuhan tulang mereka yang
cepat. Ada beberapa faktor resiko yang mempengaruhi insidensi sarcoma Ewing, yaitu :
1. Faktor Usia
Insidensi sarkoma Ewing meningkat dengan cepat dari mendekati 0 pada umur
5 tahun dan mencapai puncaknya pada umur 10 -18 tahun. Sesudah umur 20
tahun insidensinya menurun kembali dan mendekati 0 pada umur 30 tahun.
2. Faktor jenis kelamin
Resiko pria sedikit lebih tinggi dibandingkan wanita, tetapi setelah umur 13
tahun insidensinya antara pria dan wanita hampir sama.
3. Faktor ras
Penyakit ini jarang didapatkan pada orang kulit hitam
4. Faktor genetik yang dikenal meliputi:
a. Riwayat keluarga. Faktor resiko pada garis keturunan pertama tidak
meningkat. Tidak ada sindroma familia yang berhubungan dengan sarcoma
Ewing.
b. Anomali genetik, terdapatnya anomali pada kromosom 22, translokasi atau
hilangnya kromosom ini terdeteksi pada 85 % penderita sarcoma Ewing.
c. Riwayat penyakit tulang, anomali congenital tertentu dari skeletal, yaitu
aneurisma kista tulang dan enchondroma meningkatkan resiko sarcoma
Ewing, juga anomali genitourinary seperti hipospadia dan duplikasinya juga
berhubungan dengan sarcoma Ewing.

C. Patofisiologi
Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor.
Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses destruksi atau
penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses pembentukan tulang. Pada proses
osteoblastik, karena adanya sel tumor maka terjadi penimbunan periosteum tulang yang
baru dekat tempat lesi terjadi, sehingga terjadi pertumbuhan tulang yang abortif. Kelainan
congenital, genetic, gender / jenis kelamin, usia, rangsangan fisik berulang, hormon,
infeksi, gaya hidup, karsinogenik (bahan kimia, virus, radiasi) dapat menimbulkan tumbuh
atau berkembangnya sel tumor. Sel tumor dapat bersifat benign (jinak) atau bersifat
malignant (ganas). Disamping itu sel kanker dapat (metastasis) ke bagian alat tubuh lain
yang jauh dari tempat asalnya melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan
tumbuh kanker baru di tempat lain. Penyusupan sel kanker ke jaringan sehat pada alat
tubuh lainnya dapat merusak alat tubuh tersebut sehingga fungsi alat tersebut menjadi
terganggu.

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sarkoma Ewing dapat berupa manifestasi lokal maupun
sistemik.
1. Manifestasi lokal meliputi: nyeri dan bengkak pada daerah femur atau pelvis.
Masa tulang dan jaringan lunak di daerah sekitar tumor sering dan bisa teraba
fluktuasi dan terlihat eritema yangberasal dari perdarahan dalam tumor. Kulit
disekitar lesi tampak kemerahan dan hangat.
2. Manifestasi sistemik biasanya meliputi: malaise, berat badan menurun, dan
demam kadang terjadi disertai peningkatan LED (laju endap darah) serta dapat
ditemukan adanya masa paru yang merupakan metastase.

E. Klasifikasi
Ewing tumor terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu
1. Ewing tumor pada tulang
Biasanya ditemukan pada tulang lengan, kaki, dada, tubuh, punggung, atau
kepala. Tumor pada tulang ini dibagi lagi menjadi 3 jenis, yaitu : Ewing
sarcoma, primitif neuroektodermal tumor (PNET), dan askin tumor (PNET
pada dinding dada)
2. Ekstraosseus ewing sarcoma
Tumor yang tumbuh pada jaringan lunak. Tumor jenis ini ditemukan pada tubuh,
lengan, kaki, kepala, dan leher
Menurut National Cancer Institute, stadium pada Ewing sarkoma dapat
digolongkan sebagai berikut:
1. Stadium Lokal
Sel-sel kanker tidak menunjukkan adanya penyebaran ke organ/jaringan sekitar
tulang dimana sel kanker mulai tumbuh
2. Stadium Metastasis
Sel-sel kanker telah menyebar dari tempat awal timbulnya sel kanker ke bagian
tubuh lainnya. Sel kanker biasanya lebih sering bermetastasis ke hepar, tulang
lainnya dan sum-sum tulang belakang. Penyebaran sel kanker ke limfonodus dan
sistem saraf sangat jarang ditemukan.
3. Stadium Rekurensi
Rekurensi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel kanker muncul kembali setelah
mendapatkan pengobatan. Rekurensi sel kanker dapat muncul pada tempat dimana
lesi pertama kali muncul atau pada bagian tubuh lainnya.
Selain itu, terdapat pula jenis penentuan stadium lainnya yang digunakan pada
Ewing sarkoma yaitu:
1. Stadium 1A - Low-grade tumor yang hanya ditemukan pada mantel tulang yang
keras.
2. Stadium 1B - Low-grade tumor disertai perluasan lokal pada jaringan lunak.
3. Stadium 2A - High-grade tumor yang hanya ditemukan pada mantel tulang yang
keras.
4. Stadium 2B - High-grade tumor disertai perluasan lokal pada jaringan lunak.
5. Stadium 3 – Low atau high-grade tumor yang telah mengalami metastasis ke organ
lain

F. Pemeriksaan Penunjang
Test dan prosedur diagnostik berikut ini harus dilakukan pada semua pasien yang
dicurigai sarcoma Ewing :
1. Pemeriksaan darah :
a. Pemeriksaan darah rutin.
b. Transaminase hati.
c. Laktat dehidrogenase.
2. Pemeriksaan radiologis :
a. Foto rontgen.
b. CT scan : Pada daerah yang dicurigai neoplasma (misal : pelvis, ekstremitas,
kepala) dan penting untuk mencatat besar dan lokasi massa dan hubunganya
dengan struktur sekitarnya dan adanya metastase pulmoner. Bila ada gejala
neorologis, CT scan kepala juga sebaiknya dilakukan.
3. Pemeriksaan invasif :
a. Biopsi dan aspirasi sumsum tulang. Aspirasi dan biopsi sample sumsum tulang
pada jarak tertentu dari tumor dilakukan untuk menyingkirkan adanya
metastase.
b. Biopsi. Biopsi insisi atau dengan jarum pada massa tumor sangat penting untuk
mendiagnosis Ewing’s Sarkoma. Jika terdapat komponen jaringan lunak, biopsi
pada daerah ini biasanya lebih dimungkinkan.

G. Penatalaksanaan
1. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pilihan pertama dalam penanganan Ewing sarkoma.
Pemberian kemoterapi biasanya dilakukan setiap interval 3 minggu menggunakan
kombinasi obat kemoterapi yang ada
2. Radioterapi
Radioterapi dapat diberikan bersamaan dengan pembedahan dan atau kemoterapi
3. Pembedahan
Pada mulanya, pembedahan pada Ewing sarkoma terbatas pada reseksi dari
perluasan tumor pada tulang, seperti pada proximal fibula atau lesi tulang iga
H. WOC

KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, pendidkan, pekerjaan, status perkawinan, alamat, dan
lain-lain.
2. Riwayat kesehatan
a. Pasien mengeluh nyeri pada daerah tulang yang terkena.
b. Klien mengatakan susah untuk beraktifitas/keterbatasan gerak
c. Mengungkapkan akan kecemasan akan keadaannya
3. Pengkajian fisik
a. Pada palpasi teraba massa pada derah yang terkena. \
b. Pembengkakan jaringan lunak yang diakibatkan oleh tumor.
c. Pengkajian status neurovaskuler; nyeri tekan
d. Keterbatasan rentang gerak
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan proses patologik dan pembedahan (amputasi).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…jam masalah nyeri akut
teratasi seluruhnya dengan Kriteria Hasil :
a. Klien mengatakan nyeri hilang dan terkontrol,
b. Klien tampak rileks, tidak meringis, dan mampu istirahat/tidur dengan tepat,
c. Tampak memahami nyeri akut dan metode untuk menghilangkannya, dan
d. Skala nyeri 0-2.
Intervensi:
a. Catat dan kaji lokasi dan intensitas nyeri (skala 0-10). Selidiki perubahan
karakteristik nyeri.
b. Berikan tindakan kenyamanan (contoh ubah posisi sering, pijatan lembut).
c. Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.
d. Berikan lingkungan yang tenang.
e. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian analgetik, kaji efektifitas dari
tindakan penurunan rasa nyeri.

2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan muskuluskletal,


nyeri, dan amputasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam masalah
kerusakan mobillitas fisik teratasi seluruhnya. Kriteria Hasil :
a. Pasien menyatakan pemahaman situasi individual, program pengobatan, dan
tindakan keamanan,
b. Pasien tampak ikut serta dalam program latihan / menunjukan keinginan
berpartisipasi dalam aktivitas,
c. Pasien menunjukan teknik / perilaku yang memampukan tindakan
beraktivitas
d. Pasien tampak mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat
optimal
Intervensi :
a. Kaji tingkat immobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien tentang
immobilisasi tersebut.
b. Dorong partisipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca koran dll ).
c. Anjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun
yang tidak.
d. Bantu pasien dalam perawatan diri.
e. Berikan diet Tinggi protein Tinggi kalori , vitamin , dan mineral.

3. Kerusakan integritas kulit atau jaringan berhubungan dengan penekanan pada


daerah tertentu dalam waktu yang lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam masalah
kerusakan integritas kulit / jaringan teratasi seluruhnya. Kriteria Hasil :
a. Klien Menunjukkan prilaku / tehnik untuk mencegah kerusakan kulit tidak
berlanjut
Intervensi :
a. Kaji adanya perubahan warna kulit.
b. Pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.
c. Ubah posisi dengan sesering mungkin.
d. Beri posisi yang nyaman kepada pasien.
e. Kolaborasi dengan tim kesehatan dan pemberian zalf / antibiotic.

4. Resiko infeksi berhubungan dengan ewing sarcoma


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam masalah
resiko infeksi tidak terjadi. Kriteria Hasil :
a. Tidak ada tanda-tanda Infeksi,
b. Leukosit dalam batas normal, dan
c. Tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji keadaan luka (kontinuitas dari kulit) terhadap adanya: edema, rubor, kalor,
dolor, fungsi laesa.
b. Anjurkan pasien untuk tidak memegang bagian yang luka.
c. Rawat luka dengan menggunakan tehnik aseptic
d. Mewaspadai adanya keluhan nyeri mendadak, keterbatasan gerak, edema lokal,
eritema pada daerah luka.
e. Kolaborasi pemeriksaan darah : Leukosit
Daftar Pustaka

Alakeel., Abdurrahman., et al. (2018). “Ewing’s Sarcoma Of Temporal Bone:


Case. Report” Journal of Hospital Medicine, 7(1), 2310-2314.

Doengoes, Marilynn E. Et al. 2016, Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC

Mulatsih, S., & Vicka, F. (2009). “Gambaran Klinis Osteomielitis Kronik Pada
Ewing Sarcoma: Laporan Kasus. Sari Pediatri, 11(1)

Sari, T.T., Djajadiman, G., et al. (2011). “Ewing’s Sarcoma Family Tumors Pada
Anak (Keganasan Kelompok Sarkoma Ewing) di RS Cipto Mangunkusumo. Sari
Pediatri, 13(2).
LAPORAN PENDAHULUAN CANAL STENOSIS
DI POLI ORTHOPEDI RUMAH SAKIT DR.SOETOMO SURABAYA

Disusun Oleh :
Handini Indah Rahmawati
131611133122

Pembimbing klinik :
Erfandi Eka Putra, S.Kep., Ns., M.Kep
Pembimbing Akademik :
Ariana Qona’ah, M.,Kep

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
A. Definisi
Canal stenosis atau stenosis kanal adalah merupakan penyempitan osteoligamentous
kanalis vertebralis dan atau foramen intervertebralis yang menghasilkan penekanan pada
akar saraf sumsum tulang belakang. Penyempitan kanal tulang belakang atau sisi kanal
yang melindungi saraf sering mengakibatkan penekanan dari akar saraf sumsum tulang
belakang. Saraf menjadi semakin terdesak karena diameter kanal menjadi lebih sempit.
Stenosis tulang belakang lumbal (penyempitan pada ruang saraf) adalah penyakit yang
terutama mengenai usia paruh baya dan usia lebih tua, dan terjadi akibat penyempitan
kanal spinal secara perlahan, mulai dari gangguan akibat penebalan ligamen kuning, sendi
faset yang membesar, dan diskus yang menonjol. Biasanya seseorang dengan stenosis
tulang belakang memiliki keluhan khas nyeri yang luar biasa pada tungkai atau betis dan
punggung bagian bawah bila berjalan. Hal ini biasanya terjadi berulang kali dan hilang
dengan duduk atau bersandar. Saat tulang belakang dibungkukkan, akan tersedia ruang
yang lebih luas bagi kanal spinal, sehingga gejala berkurang. Meskipun gejala dapat
muncul akibat penyempitan kanal spinal, tidak semua pasien mengalami gejala. Belum
diketahui mengapa sebagian pasien mengalami gejala dan sebagian lagi tidak. Karena itu,
istilah stenosis tulang belakang bukan merujuk pada ditemukannya penyempitan kanal
spinal, namun lebih pada adanya nyeri tungkai yang disebabkan oleh penekanan saraf yang
terkait

B. Etiologi
Ada 3 faktor yang berkontribusi terhadap lumbal spinal canal stenosis, antara lain:
1. Pertumbuhan berlebih pada tulang.
2. Ligamentum flavum hipertrofi
3. Prolaps diskus
Sebagian besar kasus stenosis kanal lumbal adalah karena progresif tulang dan
pertumbuhan berlebih jaringan lunak dari arthritis. Risiko terjadinya stenosis tulang
belakang meningkat pada orang yang:
1. Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
2. Jenis kelamin wanita lebih beresiko daripada pria
3. Usia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan
pertambahan usia)
4. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya
C. Patofisiologis
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air, kolagen, dan
proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen tersusun dalam lamina,
membuat diskus mampu berekstensi dan membuat ikatan intervertebra. Proteoglikan
berperan sebagai komponen hidrodinamik dan elektrostatik dan mengontrol turgor jaringan
dengan mengatur pertukaran cairan pada matriks diskus. Komponen air memiliki porsi
sangat besar pada berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung beban mekanis yang
diberikan pada segment tersebut. Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut
berkurang, akibatnya nukleus pulposus mengalami dehidrasi dan kemampuannya
mendistribusikan tekanan berkurang, memicu robekan pada annulus.
Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus tersusun
secara eksklusif oleh kolagen tipe-II, yang membantu menyediakan level hidrasi yang lebih
tinggi dengan memelihara cairan, membuat nucleus mampu melawan beban tekan dan
deformitas. Annulus terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam jumlah yang
sama, namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih tua dari 50 tahun
kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus.
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding pada
sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai keratin sulfat dan kondroitin
sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus berkaitan dengan proteoglikan, pada nuleus lebih
padat daripada di annulus. Sejalan dengan penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan
sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat kolagen yang kurang padat dan
kurang terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan nukleus dan membentuk jaringan
yang renggang dengan nukleus pulposus.
Patofisiologi nyeri tidak semata-mata diakibatkan oleh kompresi akar saraf spinalis
atau cauda equina, beberapa penelitian menyebutkan bahwa nyeri diakibatkan oleh
klaudikasi neurogenik. Harus ada inflamasi dan iritasi pada akar saraf agar gejala muncul
pada ekstremitas bawah. Kompresi pada akaf saraf normal memunculkan gejala
paraestesia, defisit sensoris, penurunan motorik, dan reflex abnormal, tapi nyeri biasanya
tidak timbul. Iritasi dan inflamasi bisa juga terjadi selama pergerakan ekstremitas bawah
atau spina saat saraf dipaksa untuk memanjang dan menyimpang dari posisi istirahatnya.
WOC
Daftar Pustaka

Apsari, P.I.B., et all. Lumbal Spinal Canal Stenosis Diahnosis dan Tatalaksanan.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82591&val=970 (diakses pada
tanggal 13 November 2018)

Ayuni, A.Z., 2016. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Pre Operative Canal Stenosis
Akibat Spondylolisthesis VertebraLumbal IV dan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai