LATAR BELAKANG
Defisiensi zat gizi mikro terjadi hampir di semua golongan umur, mulai dari anak-anak hingga
dewasa. Salah satu masalah gizi mikro di Indonesia adalah Kurang Vitamin A (KVA). Walaupun
Indonesia bukan lagi merupakan negara dengan masalah xerophthalmia, tetapi proporsi balita
yang mempunyai kadar retinol serum yang < 20 ugcukuptinggi. Iniartinya, anak balita tersebut
mempunyai risiko tinggi untuk jatuh ke dalam keadaan kurang vitamin A akut, termasuk
menderita xeropthalmia yang berisiko kebutaan, bila tiba-tiba anak tersebut menderita sakit
infeksi seperti campak, infeksi pernafasan akut dan diare. Di Negara dimana konsumsi
populasinya rendah sumber vitamin A dan rendah protein,seperti di Indonesia, biasanya
prevalensi KVAnya tinggi. Program suplementasi vitamin A telah diimplementasikan secara
nasional sejak tahun 1985, untuk anak 6-59 bulan dan 2003 untuk ibu nifas. Namun, efektivitas
program ini dalam mengurangi kekurangan vitamin A belum dievaluasi secara komprehensif
(Atmarita, 2016). Riskesdas (2013) melaporkan bahwa cakupan suplemen masih 75,5% dan
bervariasi di dalam provinsi dan kabupaten. Cakupan program terkendala oleh antara lain
keterbatasan system distribusi dalam mencapai populasi yang berada di daerah terpencil. Oleh
karena itu, diperlukan upaya lain agar prevalensi KVA dapat diturunkan, mengingat
implikasinya yang sangatserius, tidak hanya terhadap kebutaan tetapi terhadap kematian anak.
Program fortifikasi vitamin A akan mengatasi masalah kekurangan vitamin A terutama pada
kelompok miskin yang aksesnya terhadap sumber makanan kaya vitamin A dan protein, rendah.
Fortifikasi telah terbukti mampu memenuhi kebutuhan vitamin A pada semua populasi dengan
menggunakan minyak goring sebagai medianya. Karena minyak goring dikonsumsi oleh hamper
semua populasi, vitamin A dalam minyak secara otomatis akan dikonsumsi oleh penduduk.
Padatahun 2012 pemerintah mengeluarkan Standar Nasional Minyak Sawit (SNI 7709 - 2012),
yang mensyaratkan kelapa sawit mengandung 45 IU / g vitamin A di level produksi, serta
Keputusan Menteri Perindustrian yang menetapkan paling sedikit 20 IU / g vitamin A pada level
distribusi. Sosialisasi SNI dan persiapan telah dilakukan sejak 2012 untuk menerapkan status
wajib pada tahun 2016. Namun wajib SNI ini ditunda sampai awal 2018 karena alasan yang
kurang spesifik
Sejak tahun 2012, Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) bekerjasama dengan BPOM telah
melakukan serangkain studi yang salah satunya bertujuan melakukan asesmen terhadap kesiapan
industry dalam menerapkan SNI wajib. Dilanjutkan dengan beberapa studi dengan skala yang
lebih besar dan menggandeng berbagai pihak, termasuk instansi pemerintah terkait dan NGO di
sekitar tahun 2015-2017. Dari studi-studi tersebut, ditemukan bahwa di tahun 2015 lebih dari
50% industry minyak goring telah mengandung lebih dari 20 IU/g vitamin A pada level
distribusi. Survei pasar yang dilakukan 2016 juga menunjukkan trend yang serupa sehingga
dapat disimpulkan bahwa pihak industry pada dasarnya telah siap mendukung pemberlakukan
SNI wajib.
Berbagai langkah advokasi dan edukasi telah dilakukan untuk menyampaikan kepada pemerintah
mengenai pentingnya fortikasi minyak goring sebagai salah satu strategi menanggulangi
defisiensi vitamin A. Namun demikian, sampai saat ini ketegasan dari penentu kebijakan masih
belum terlihat. Atas dasar kondisi tersebut, Institut Gizi Indonesia (IGI), bersama KFI,
bermaksud untuk mengundang perwakilan organisasi profesi kesehatan dan gizi di Indonesia
untuk berdiskusi dan menyusun strategi nyata dalam mendorong diberlakukannya SNI wajib.
TUJUAN
1. Paparan masalah Defisiensi Vitamin A dan pola konsumsi makanan kaya vitamin di
Indonesia
2. Paparan situasi terkini perkembangan fortifikasi pangan, khususnya fortifikasi Vitamin A
di dalam minyak goreng di Indonesia
3. Perumusan strategi nyata dalam mendorong diberlakukannya fortifikasi Vitamin A di
dalam minyak goreng di Indonesia
PESERTA
AGENDA PERTEMUAN