Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga
tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of
Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang
sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah
patah (Sumariyono, 2009).
Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Umur
dan densitas tulang merupakan faktor risiko osteoporosis yang berhubungan erat
dengan risiko terjadinya fraktur osteoporotik (Setiyohadi, 2009).
Kehilangan kepadatan tulang pada pria dan wanita berbeda. Pria hanya
kehilangan 20-30% massa tulang selama hidupnya, sedangkan wanita
kehilangannya bisa lebih tinggi lagi, yaitu 30-40%. Pada usia 70 tahun,
kehilangan kepadatan tulang pada wanita dapat mencapai 50%, sedangkan pada
pria usia 90 tahun kehilangannya baru mencapai 25% (Hartono, 2004).
Tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke-4 dunia sebagai negara yang
mempunyai penduduk lanjut usia paling banyak setelah Cina, India, dan Amerika
Serikat karena jumlah lansia telah mencapai 15,2 juta jiwa dari total populasi.
Tahun 2004, jumlah lansia telah mencapai 16,5 juta jiwa, 52,6 persen adalah
perempuan. Kontribusi penduduk perempuan dalam populasi penduduk lansia
yang lebih tinggi, didukung oleh kenyataan bahwa penduduk perempuan
mempunyai angka harapan hidup yang lebih panjang dari pada laki-laki(Susenas,
2004)
Pada osteoporosis, terjadi penurunan kualitas dan kuantitas kepadatan
tulang, padahal keduanya sangat menentukan kekuatan tulang sehingga penderita
osteoporosis mudah mengalami patah tulang atau fraktur. Lokasi kejadian patah
tulang osteoporosis yang paling sering terjadi adalah pada patah tulang vertebra
(tulang punggung), tulang leher femur, dan tulang gelang tangan (Helmi, 2012).
2

Penderita osteoporosis beresiko mengalami fraktur yang meningkatkan


beban sosioekonomi berupa perawatan biaya yang besar. Selain itu juga
menyebabkan kecacatan, ketergantungan pada orang lain yan menyebabkan
gangguan aktivitas hidup, fungsi sosial, dan gangguan psikologis sehingga terjadi
penurunan kualitas hidup bahkan sampai kematian (Tandra, 2009).
Menurut Anita Hutagalung, Ketua Perkumpulan Warga Tulang Sehat
Indonesia (Perwatusi) dalam harian Republika (3 Agustus 2011), sebanyak 41,8
persen pria dan 90 persen wanita di Indonesia menunjukkan gejala osteoporosis.
Sedangkan 28,8 persen pria dan 32,2 persen wanita telah menderita osteoporosis
(Holistic Health Solution, 2011).
Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit
degeneratif dan metabolik, termasuk osteoporosis akan menjadi problem
muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-negara
berkembang,termasuk Indonesia. Pada survei kependudukan tahun 1990, ternyata
jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih mencapai 9,2% meningkat
50% dibandingkan survei tahun 1971. Dengan demikian, kasus osteoporosis
dengan berbagai akibat, terutama fraktur diperkirakan akan juga meningkat
(Sumariyono, 2009).
Berdasarkan data yang telah dipaparkan diatas maka penulis ingin melihat
Beberapa Faktor Karakteristik Fraktur Osteoporotik di Medan khususnya di Poli
Ortopedi Rumah Sakit Murni Teguh Medan Tahun 2016.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka masalah penelitian ini
adalah untuk mengetahui Beberapa Faktor Karakteristik Fraktur Osteoporotik di
Rumah Sakit Murni Teguh Medan Tahun 2016.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Beberapa Faktor
Karakteristik Fraktur Osteoporotik di Rumah Sakit Murni Teguh Medan Tahun
2016.
3

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat
umum, khususnya yang terlibat dalam bidang medis. Berikut manfaat yang
diharapkan :
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat memberikan tambahan ilmu, wawasan dan
pengalaman baru yang sangat berharga terhadap pengembangan ilmu
penetahuan khususnya pada bidang kedokteran baik secara konten maupun
metodologi penelitian.
2. Bagi Masyarakat
Dapat dijadikan sumber informasi atau pengetahuan masyarakat mengenai
Beberapa Faktor Karakteristik Fraktur Osteoporotik di Rumah Sakit Murni
Teguh Medan Tahun 2016 .
3. Bagi Bidang Ilmiah
Hasil penelitian ini dapat menjadi ilmu dan informasi tentang Beberapa
Faktor Karakteristik Fraktur Osteoporotik dan juga bisa dijadikan sebagai
dasar penelitian selanjutnya.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Osteoporosis


Istilah osteoporosis menjadi terminologi kedokteran pertama kali pada
Abad ke-19 di Perancis dan Jerman. Istilah tersebut mendeskripsikan porositas
penampakan histologis tulang manusia lanjut usia. Sebelumnya, publikasi dari Sir
Astley Cooper meyakinkan bahwa fraktur tipe tertentu terjadi akibat penurunan
massa atau kualitas tulang terkait usia.
Pada tahun 2000, NIH Statement on Osteoporosis, Diagnosis and
Therapy meluncurkan definisi osteoporosis, yakni “kelainan skeletal yang ditandai
oleh gangguan kekuatan tulang yang menjadi predisposisi peningkatan risiko
fraktur”. Definisi terbaru ini mendalami perubahan dari paradigma yang
berkembang pada dekade sebelumnya, yakni pengukuran kekuatan tulang sangat
penting untuk prediksi fraktur, dengan Densitas Massa Tulang (DMT) adalah
pengganti kekuatan tulang. Berdasarkan definisi ini, DMT hanya menjadi bagian
dari kekuatan tulang (Helmi, 2012).
Penyakit ini mengancam 28 juta penduduk Amerika, 80 persen
diantaranya adalah wanita. Pada kenyataannya, hampir 40 persen dari wanita kulit
putih dan 13 persen dari pria kulit putih di Amerika Serikat akan mengalami
penyakit osteoporosis dalam hidup mereka (Lane, 2001).
Osteoporosis atau keropos tulang adalah suatu penyakit metabolik tulang
yang ditandai dengan penurunan densitas tulang sehingga tulang mudah patah.
Wanita lebih sering mengalaminya daripada pria terutama setelah menopause,
perbandingan wanita dengan pria adalah dua dibanding satu (Helmi, 2012).
2.1.1 Kriteria Diagnostik
Secara in vivo, DMT diukur dengan dual X-ray absorptiometry (DXA)
untuk diagnosis osteoporosis, penilaian risiko fraktur, dan monitor perubahan
DMT. Mengukur DMT merupakan teknologi standar terbaik karena DMT dan
kekuatan tulang berkorelasi sangat kuat, akurasi dan presisinya baik sekali, radiasi
rendah, klasifikasi diagnostik berdasarkan DMT, dan pasien yang mendapatkan
5

perbaikan akibat terapi pada semua uji klinis diseleksi dengan DMT (Helmi,
2012).
Kriteria Diagnostik T-score DMT
Normal >1 1 SD dewasa muda
normal
Osteopenia -1 sampai -2,5 1-2,5 SD dewasa muda
normal
Osteoporosis <-2,5 >2,5 SD dibawah
dewasa muda normal
Osteoporosis Berat <-2,5 dan ≥ 1 rentan >2,5 SD dibawah
fraktur
dewasa muda normal

Tabel 2.1 Diagnosis Osteoporosis menurut World Health Organization (Gass


& Dawson-Hudges, 2006)
2.2 Fraktur
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan,
baik yang bersifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum, fraktur
adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak di sekitar tulang
akan menetukan apakah fraktur yang terdiri lengkap atau tidak lengkap.
Salah satu klasifikasi penyebab fraktur adalah fraktur patologis. Fraktur
patologis disebabkan oleh kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis
di dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah
menjadi lemah karena tumor atau proses patologis lainnya. Tulang sering kali
menunjukkan penurunan densitas. Penyebab paling sering dari fraktur-fraktur
semacam ini adalah tumor, baik primer maupun metastasis (Helmi, 2012).
6

2.3 Fraktur Osteoporotik


2.3.1 Definisi
Osteoporosis berasal dari kata osteo yang berarti tulang dan porous yang
berarti keropos. Jadi, osteoporosis berarti tulang yang keropos (Holistic Health
Solution, 2011).
Definisi standar oleh WHO (World Health Organzation) adalah “a skeletal
disorder characterized by compressed bone strength predisposing a person to an
increased risk of fracture”, dengan kata lain, fraktur osteoporotik adalah kelainan
tulang yang terdapat penurunan atau pengurangan kekuatan tulang sehingga
terjadi peningkatan risiko patah tulang (Tandra, 2009).
Pada osteoporosis, terjadi penurunan kualitas tulang dan kuantitas
kepadatan tulang, padahal keduanya sangat menentukan kekuatan tulang sehingga
penderita osteoporosis mudah mengalami patah tulang atau fraktur (Helmi, 2014).
2.3.2 Epidemiologi
Di negara maju seperti Amerika Serikat, kira-kira 10 juta orang usia di atas
50 tahun menderita osteoporosis dan hampir 34 juta dengan penurunan massa
tulang yang selanjutnya berkembang menjadi osteoporosis. 4 dari 5 orang
penderita osteoporosis adalah wanita, tapi kira-kira 2 juta pria di Amerika Serikat
menderita osteoporosis, 14 juta mengalami penurunan massa tulang yang menjadi
risiko untuk osteoporosis. 1 dari 2 wanita dan 1 dari 4 pria diatas 50 tahun akan
menjadi fraktur yang berhubungan dengan fraktur selama hidup mereka. Di
negara berkembang seperti Cina, osteoporosis mencapai proporsi epidemik,
terjadi peningkatan 300% dalam waktu 30 tahun. Selain itu berdasarkan hasil The
Asia Audit Epidemiology Costs and Burden Osteoporosis in Asia 2009, pada
tahun 2050 diperkirakan 50% dari kasus osteoporosis di dunia akan terjadi di Asia
dan menjadi beban ekonomi sosial yang cukup tinggi bagi masyarakat dan
pemerintah. Hal ini semakin diperburuk dengan data yang menyatakan bahwa
rata-rata sebagian besar wanita Indonesia kekurangan 50% kebutuhan kalsium
harian mereka.Wanita berusia diatas 50 tahun paling rentan terkena osteoporosis.
Berdasarkan hasil analisis data risiko osteoporosis pada tahun 2005 yang
telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Gizi dan
7

Makanan Depkes yang bekerja sama dengan salah satu perusahaan nutrisi di 16
wilayah Indonesia, telah terjadi prevalensi osteopenia (osteoporosis dini) di
Indonesia sebesar 41,7%. Data ini berarti bahwa 2 dari 5 penduduk Indonesia
memiliki risiko untuk terkena osteoporosis (Noor, 2014).

Jumlah fraktur yang dipredikasi (ribuan) Seluruh


fraktur
osteoporosis
Wilayah Panggul Vertebra Humerus Lengan Jumlah %
WHO Bawah
Afrika 8 12 6 16 75 0,8
Amerika 311 214 111 248 1406 15,7
Asia 221 253 121 306 1562 17,4
Tenggara
Eropa 620 490 250 574 3119 34,8
Mediterania 35 43 21 52 261 2,9
Timur
Pasifik 432 405 197 464 2536 28,6
Barat
Total 1672 1416 706 1660 8959 100

Tabel 2.2 Perkiraan Jumlah Fraktur Osteoporosis menurut Wilayah


WHO (Helmi, 2012).
2.3.3 Etiologi
Penyebab primer dari osteoporosis adalah defisiensi estrogen dan
perubahan yang berhubungan dengan penuaan, sedangkan penyebab sekundernya
terdapat beberapa predisposisi, yaitu sebagai berikut:
1. Sejarah keluarga. Sejarah keluarga juga memengaruhi penyakit ini, pada
keluarga yang mempunyai sejarah osteoporosis, anak-anak yang dilahirkannya
cenderung akan mempunyai penyakit yang sama.
8

2. Gangguan endokrin, meliputi : hiperparatiroidism, hipogonadism,


hipertiroidism, diabetes mellitus, cushing syndrome, prolaktinoma, akromegali,
insufisiensi adrenal.
3. Gangguan nutrisi dan gastrointestinal, meliputi : penyakit inflamasi usus besar,
celiac disease, malnutrisi, riwayat pembedahan gastric bypass, penyakit hari
kronis, anoreksia nervosa, vitamin D atau kalsium defisiensi.
4. Penyakit ginjal, meliputi : gagal ginjal kronik (GGK) dan idiopatik
hiperkalsiuria.
5. Penyakit rematik, meliputi : rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, lupus
eritematus sistemik.
6. Gangguan hematologi, meliputi : myeloma multiple, talasemia,leukemia,
limfoma, haemophilia, sickle cell disease, dan mastositosis sistemik.
7. Gangguan genetic, meliputi : cystic fibrosis, osteogenesis imperfekta,
hemocystinuria, sindrom Ehlers-Danlos, sindrom Marfan, hemokromatosis,
hipofosfatasia.
2.3.4 Faktor Resiko
Osteoporosis adalah penyakit yang sering terjadi tetapi masih sulit untuk
dipahami, osteoporosis terjadi akibat penurunan densitas tulang yang
menyebabkan tulang mudah fraktur. Kondisi ini paling mungkin terjadi pada
orang tua atau wanita pasca menopause. Kehilangan massa tulang biasanya
dimulai pada usia 40 tahun, diperkirakan wanita usia diatas 65 tahun memiliki
bukti osteoporosis, dan 30% wanita diatas 75 tahun mengalami fraktur
osteoporotik (Solomon, 2010).
Pada wanita kejadian osteoporosis diakibatkan angka estrogen, penurunan
estrogen akibat henti kerja ovarium saat menopause, yang mana biasanya menurut
angka harapan hidup wanita akan menghabiskan hidup selama 30 tahun tanpa
suplai estrogen dari ovarium. Penurunan estrogen dapat memicu
ketidakseimbangan antara pembentukan dan resorbsi sel tulang, sehingga akan
terjadi penurunan massa tulang secara permanen (Lindsay, 2008).
Sejumlah faktor risiko telah diidentifikasi untuk fraktur osteoporosis.
Faktor risiko yang kuat untuk fraktur meliputi fragilitas fraktur sebelumnya, kadar
9

estrogen yang rendah, menopause premature, amenorea sekunder jangka panjang,


tetapi glukokortikoid (prednison > 7,5 mg/hari [atau ekuivalen]) selama 6 bulan,
riwayat fraktur panggul maternal, dan indeks massa tubuh yang rendah (Helmi,
2012).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penurunan massa tulang pada
lanjut usia yang dapat mengakibatkan fraktur osteoporotik, pada dasarnya semua
seperti pada faktor-faktor yang mempengaruhi massa tulang yaitu:
a. Faktor genetik
Faktor genetik berpengaruh terhadap risiko terjadinya fraktur. Pada
seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko
fraktur daripada seseorang dengan tulang yang besar.
b. Faktor mekanis
Di lain pihak, faktor mekanis mungkin merupakan faktor yang
terpenting dalam proses penurunan massa tulang sehubungan dengan
lanjutnya usia. Pada umumnya aktivitas fisik akan menurun dengan
bertambahnya usia dan karena massa tulang merupakan fungsi beban
mekanis, massa tulang tersebut pasti akan menurun dengan bertambahnya
usia.
c. Faktor makanan dan hormon
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang
cukup (protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal
sesuai dengan pengaruh genetik yang bersangkutan (Rosyidi, 2013).
10

Penuaan Menopause Faktor resiko lain

Puncak massa
Kehilangan tulang tulang yang
meningkat Kepadatan rendah
tulang rendah

Kecenderungan Kualitas tulang


untuk tinggi yang buruk

Fraktur
Gambar 2.1: Faktor yang menyebabkan Fraktur Osteoporotik
(Lindsay, 2008).
2.3.5 Patogenesis
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar
42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke delapan dan
sembilan kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana
resopsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun.
Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang perubahan mikroarsitektur
tulang dan peningkatan risiko fraktur (Helmi, 2012).
Mekanisme bagaimana penurunan estrogen terhadap densitas tulang
dikarenakan penurunan estrogen menyebabkan peningkatan produksi RANKL
(Receptor for Activation of nuclear factor kappa B ligan), yang mana peningkatan
produksi tersebut menyebabkan penurunan produksi osteoprogerin dan
peningkatan osteoklas, sehingga aktivitas dan massa hidup osteoklas meningkat
(Lindsay, 2008).
Pada laki-laki yang lanjut usia, penurunan hormone androgen
menyebabkan penurunan densitas tulang laki-laki sama seperti wanita pasca
menopause tetapi hal ini akan terjadi dengan perbedaan rentan waktu 15 tahun
disbanding wanita pasca menopause kecuali ada permasalahan di testis (Solomon,
2010).
11

Hasil interaksi kompleks yang menahun


antara faktor genetik dan faktor lingkungan

Faktor usia, Melemahnya daya serap sel terhadap kalsium Merokok, alkohol,
jenis kelamin, dari darah ke tulang. kopi, defisiensi
ras, keluarga, Peningkatan pengeluaran kalsium bersama vitamin dan gizi,
bentuk tubuh urine. gaya
dan tidak hidup(immobilitas)
Tidak tercapainya massa tulan yag maksimal.
pernah , anoreksia nervosa
melahirkan Resorpsi tulang menjadi lebih cepat. dan penggunaan
obat-obatan

Penyerapan tulang lebih banyak daripada


pembentukan baru

Penurunan massa tulang


total
Osteoporosis

Tulang menjadi rapuh dan Kolaps bertahap tulang


mudah patah vertebra

Fraktur Fraktur Fraktur Fraktur Kifosis progresif


Colles Femur kompresi kompresi
vertebra vertebra
lumbalis torakalis
Penurunan tinggi
Gangguan fungsi
badan
ekstremitas atas dan
Kompresi saraf Perubahan
bawah.
pencernaan postural
Pergerakan fragmen ileus paralis Perubahan
tulang,spasme otot. postural
Deformitas
Konstipasi
skelet

Gambar 2.2 : Patofisologi Osteoporosis (Helmi, 2012).


12

2.3.6 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur berdasarkan lokasi terjadinya:
1. Fraktur panggul
Fraktur panggul mewakili konsekuensi paling berbahaya dari osteoporosis
karena memerlukan perawatan di rumah sakit dan menyebabkan morbiditas
serta mortalitas yang bermakna. Pada sebagian besar populasi, insidensi
fraktur panggul meningkat secara eksponensial sesuai usia. Diperkirakan 20%
pasien fraktur panggul akan meninggal dalam setahun dengan sebagian besar
kematian terjadi pada enam bulan pertama setelah fraktur.
2. Fraktur vertebra
Sampai sekarang, studi epidemiologi fraktur vertebra yang akurat sangat
terbatas, sebagian disebabkan oleh kejadian fraktur yang asimtomatik dan
kurangnya konsensus teknik yang berkenaan dengan definisi deformitas
vertebra. Meskipun demikian, datangnya teknik deskripsi morfometrik dan
visual semikuantitatif mampu memberikan prevalensi fraktur vertebra. Hanya
sepertiga deformitas vertebra yang tercatat dengan radiografi datang ke
pelayanan medis, dan hanya kurang dari 10% yang memerlukan perawatan di
rumah sakit.
3. Fraktur lengan
Fraktur bagian distal lengan atas hampir selalu terjadi sebagai konsekuensi
dari jatuh dengan tangan terjulur. Fraktur ini menunjukkan peningkatan
insidensi yang curam pada periode perimenopause, akan tetapi cenderung
mendatar selebihnya. Pada pria tidak terdapat peningkatan insidensi yang
bermakna dari fraktur lengan sesuai umur. Pada wanita kulit putih,
insidensinya meningkat pada usia 40-65 tahun kemudian stabil, sedangkan
insidensi pada pria meningkat pada usia 20-80 tahun.
4. Fraktur lain
Angka insiden fraktur humerus proksimal, pelvis, dan tibial proksimal juga
meningkat drastis sesuai usia, dan lebih besar pada wanita dibanding pria. Hal
ini sering diistilahkan sebagai fraktur kelemahan yang secara khas terjadi pada
wanita yang kehilangan berat badan tanpa sengaja (Helmi, 2012).
13

2.3.7 Manifestasi Klinis


Pada penyakit osteoporosis, pasien tersering adalah wanita dengan umur
lebih dari 60 tahun.Osteoporosis ditemukan tanpa gejala dan dapat di temukan
secara kebetulan. Dalam kasus lain, adanya rasa nyeri pada bagian belakang. Rasa
nyeri terjadi dalam dua bentuk; nyeri umum ringan, dan rasa nyeri yang lebih
tajam dengan onset yang mendadak menunjukkan terjadinya fraktur kompresi
(Crawford, 2012).
Selain itu berkurangnya tinggi badan juga merupakan salah satu
manifestasi klinis yang sering terjadi pada penderita osteoporosis. Wanita
menyadari bahwa tubuhnya semakin bulat dan mengalami sakit punggung yang
kronis. Hilangnya kepadatan tulang vertebral menyebabkan tulang vertebral
menonjol dengan ditandai adanya fraktur kompresi pada T12 dan L1. Selain itu,
fitur tambahan yang sering terlihat pada pasien osteoporosis adalah kalsifikasi
aorta (Solomon, 2010).
2.3.8 Pemeriksaan
Kelainan osteoporosis sebetulnya dapat diketahui lebih awal melalui
pemeriksaan radiologi tulang khusus, yakni dengan teknik osteo CT-scan (lihat
Tabel 2.3), selain pemeriksaan laboratorium.
Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan tepat untuk
menilai densitas massa tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor
prognosis, prediksi fraktur, dan bahkan diagnosis osteoporosis (Setiyohadi, 2014).
14

Teknik Bagian yang diperiksa


- Single Photon Absorptiometry (SPA) - Tulang bagian lengan bawah
- Dual Photon Absorptiometry (DPA) - Tulang belakang dan bongkol tulang
- Quatitative Computed Tomography paha
(QCT) - Tulang belakang
-Dual Energy X-Ray Absorptiometry - Tulang belakang, lengan bagian
(DEXA) (paling sering digunakan) bawah, panggul
-Total Energy X-Ray Absoptiometry - Jumlah seluruh kalsium yang terdapat
(TBNAA) dalam tubuh dan jumlah kalsium yang
hilang dari tubuh satu tahun kemudian

Tabel 2.3. Macam Pemeriksaan Osteo CT-Scan (Hartono, 2004).

Pemeriksaan laboratorium berfungsi sebagai pelengkap yang sangat


mendukung. Melalui pemeriksaan tersebut dapat diketahui latar belakang
penyakit. Pemeriksaan laboratorium sangatlah beragam. Beberapa pemeriksaan
untuk mendeteksi osteoporosis, adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan darah rutin.
2. Pemeriksaan kimia darah.
3. Pemeriksaan hormon tiroid.
4. Pemeriksaan 25-hydroxyvitamin D [25(OH)D].
5. Urinalisis untuk mendeteksi adanya hiperkalsiuria.
6. Kadar testoteron.
7. Biopsi tulang.
Untuk mengetahui densitas tulang pada osteoporosis dipakai standar dari
Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ), tulang normal T-Score >-1, osteopenia <-1,
osteoporosis <-2,5 (tanpa fraktur), osteoporosis berat <-2,5 (dengan fraktur)
(Sudoyo, 2009).
15

2.3.9 Tatalaksana
A. Konservatif
Pengobatan osteoporosis difokuskan pada usaha memperlambat atau
menghentikan kehilangan mineral, meningkatkan kepadatan ulang, dan
mengontrol nyeri sesuai dengan penyakit. Kebanyakan 40% dari perempuan akan
mengalami patah tulang akibat dari osteoporosis selama hidupnya. Dengan
demikian tujuan dari pengobatan ini adalah mencegah terjadinya fraktur (patah
tulang). Intervensi tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Diet: dewasa muda harus mencapai kepadatan tulang yang normal dengan
mendapatkan cukup kalsium (1.000 mg/hari) dalam dietnya (minum susu
atau makan makanan tinggi seperti salmon), berolahraga seperti jalan kaki
atau aerobik dan menjaga berat badan normal.
2. Spesialis: orang dengan fraktur tulang belakang, pinggang, atau
pergelangan tangan harus dirujuk ke spesialis ortopedi untuk manajemen
selanjutnya.
3. Olahraga: modifikasi gaya hidup harus menjadi salah satu pengobatan.
Olahraga yang teratur akan mengurangi patah tulang akibat osteoporosis.
Olahraga yang direkomendasikan termasuk diantaranya adalah jalan kaki,
bersepeda, dan jogging (Helmi, 2012).
B. Medikamentosa
Dari tata laksana diatas, obat-obatan juga dapat diberikan seperti dibawah
ini.
1. Estrogen: untuk perempuan yang baru menopause, penggantian estrogen
merupakan salah satu cara untuk mencegah osteoporosis. Estrogen dapat
mengurangi atau mengehntikan kehilangan jaringan tulang. Apabila
pengobatan estrogen dimulai pada saat menopause, maka akan mengurangi
kejadian fraktur pinggang sampai 55%. Estrogen dapat diberikan melalui
oral (diminum) atau ditempel pada kulit.
2. Kalsium: asupan kalsium pada penduduk Asia pada umumnya lebih
rendah dari kebutuhan kalsium yang direkomendasikan oleh Institute of
Medicine, National Academy of Science (1997), yaitu sebesar 1200 mg.
16

kalsium sebagai monoterapi, ternyata tidak mencakup untuk mencegah


fraktur pada penderita osteoporosis. Preparat kalsium yang terbaik adalah
kalsium karbonat, karena mengandung kalsium elemen 400 mg/gram,
disusul kalsium fosfat yang mengandung kalsium elemen 230 mg/gram,
kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemen 211 mg/gram, kalsium
laktat yang mengandung kalsium elemen 130 mg/gram dan kalsium
glukonat yang mengandung kalsium elemen 90 mg/gram.
3. Vitamin D: vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di
usus. Vitamin D dikonsumsi sebanyak 600-800 IU diperlukan untuk
meningkatkan kepadatan tulang.
4. Bifosfonat: pengobatan lain estrogen yang ada: alendronate, risedonate,
ibandronat, zoledronat. Obat-obat ini memperlambat kehilangan jaringan
tulang dan beberapa kasus meningkatkan kepadatan tulang. Pengobatan ini
dipantau dengan memeriksa DXAs setiap 1 sampai 2 tahun.
5. Kalsitonin.
6. Strontium ranelat.
7. Kalsitriol.
8. Fitoestrogen (Setyohadi, 2014).
C. Intervensi Bedah
Intervensi bedah dilakukan untuk penatalaksanaan osteoporosis dengan
fraktur melalui imobilisasi ketat dan pengembalian fungsi dan aktivitas tulang
(Helmi, 2012).
2.3.10 Komplikasi
Secara umum komplikasi fraktur terdiri atas komplikasi awal dan
komplikasi lama:
Komplikasi awal pada fraktur osteoporotik adalah sebagai berikut:
1. Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Hal
ini biasanya terjadi pada fraktur. Pada beberapa kondisi tertentu, syok
17

neurogenik sering terjadi pada fraktur femur karena rasa sakit yang hebat
pada pasien.
2. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh CRT (Capillary
Refill Time) menurun; sianosis bagian distal; hematoma yang lebar serta
dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
pembidaian, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan
pembedahan.
3. Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut
akibat suatu pembengkakan dari edema atau perdarahan yang menekan
otot, saraf, dan pembuluh darah. Kondisi sindrom kompartemen akibat
komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat dengan
persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang.
Komplikasi lama pada fraktur osteoporotik adalah sebagai berikut:
1. Delayed Union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk sembuh atau tersambung
dengan baik. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5
bulan (tiga bulan untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota
gerak bawah).
2. Non-union
Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara
6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis
(sendi palsu).
3. Mal-union
Mal-union adalah keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya, tetapi
terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, pemendekan,
atau menyilang, misalnya pada fraktur radius-ulna (Helmi, 2012).
18

2.3.11 Prognosis
Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan mengulang
pemeriksaan densitometri setelah 1-2 tahun pengobatan dan dinilai peningkatan
densitasnya. Bila dalam waktu 1 tahun tidak terjadi peningkatan maupun
penurunan densitas massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap berhasil,
karena resorpsi tulang sudah dapat ditekan.
Penggunaan petanda biokimia tulang, dapat menilai hasil terapi lebih cepat
yaitu dalam waktu 3-4 bulan setelah pengobatan. Yang dinilai adalah penurunan
kadar berbagai petanda resorpsi dan formasi tulang (Setyohadi, 2014).
19

2.4 Kerangka konsep


Kerangka konsep merupakan bagian penelitian yang menyajikan konsep
dalam bentuk kerangka yang mengacu pada masalah yang akan diteliti atau
berhubungan dengan penelitian dan dibuat dalam bentuk diagram (Notoatmodjo,
2010). Masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
Beberapa Faktor Karakteristik Fraktur Osteoporotik di Rumah Sakit Murni Teguh
Medan Tahun 2016.

1. Usia
Fraktur Osteoporosis
2. Jenis Kelamin
20

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif, yaitu
untuk menggambarkan Beberapa Faktor Karakteristik Fraktur Osteoporotik di
Rumah Sakit Murni Teguh Medan Tahun 2016.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah di Rumah Sakit Murni
Teguh Medan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari tahun 2016.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang menderita fraktur
osteoporotik di Rumah Sakit Murni Teguh Medan Tahun 2016 yang berjumlah
515 orang.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah objek yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi, dalam penentuan sampel, peneliti menggunakan rumus Slovin
(Notoatmodjo, 2010), teknik untuk pengambilan sampel ini ditentukan dengan
cara simple random sampling, sebagai berikut.
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁(𝑑 2 )

Diketahui:
n= jumlah sampel
d= derajat kesalahan yang di inginkan
N= jumlah populasi

515
𝑛=
1 + 515 (0,1²)
21

515
𝑛=
1 + 5,51

515
𝑛=
6,15

𝑛 = 83,7 orang

𝑛 = 84 orang

3.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi


3.4.1. Kriteria Inklusi
Semua penderita fraktur osteoporotik di Rumah Sakit Murni Teguh Medan
Tahun 2016 yang bersedia mengikuti penelitian.
3.4.2. Kriteria Ekslusi
Penderita fraktur osteoporotik di Rumah Sakit Murni Teguh Medan Tahun
2016 yang tidak bersedia mengikuti penelitian.
3.5.Variabel penelitian
Variabel penelitian ini adalah:
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Fraktur Osteoporotik
22

3.6 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Hasil ukur Skala


ukur ukur
Umur Penggolongan umur Rekam <50 tahun, >51 Ordinal
penderita fraktur medik tahun
osteoporotik
berdasarkan hasil
survei awal
Jenis Jenis kelamin Rekam Laki-laki, Nominal
kelamin penderita fraktur medik Perempuan
osteoporotik yang
dicantumkan dalam
data rekam medic
Fraktur Patah tulang yang Rekam -Normal : 1 SD Ordinal
osteoporotik diakibatkan oleh medik dewasa muda
penurunan densitas normal
tulang -Osteopenia: 1-
2,5 SD dewasa
muda normal
-Osteoporosis:
>2,5 SD
dibawah
dewasa muda
normal
-Osteoporosis
berat: >2,5 SD
dibawah
dewasa muda
normal
23

3.7 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian yang digunakan adalah berupa densitometri yang
disediakan oleh poli ortopedi Rumah Sakit Murni Teguh Medan.

3.8 Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari pengukuran
bone mass density menggunakan alat densitometri yang disediakan oleh poli
ortopedi di Rumah Sakit Murni Teguh Medan.
3.9 Pengolahan Data dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian akan diolah:
a. Editing, yaitu memeriksa validitas data yang masuk.
b. Coding, yaitu memberikan tanda atau kode tertentu terhadap data yang
telah di edit.
c. Entry, yaitu memasukkan data untuk diolah ke dalam program
komputer yang telah ditetapkan.
d. Cleaning data, yaitu pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan
ke dalam komputer gun a menghindari terjadinya kesalahan dalam
memasukkan data.
2. Analisa Data
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan data Univariate (Analisis
Deskriptif) bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian.
24

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dari penelitian yang dilakukan
di Rumah Sakit Murni Teguh Medan pada tahun 2016 didapat jumlah pasien yang
terdaftar memeriksakan dirinya sebanyak 515 orang yang merupakan jumlah
populasi dan pada penelitian ini peneliti mengambil 84 responden sebagai sampel.
Dibawah ini akan dijelaskan seluruh data hasil penelitian berdasarkan usia
dan jenis kelamin dari fraktur osteoporotik yang akan disajikan dalam bentuk
table distribusi frekuensi.
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Nama Murni Teguh Memorial Hospital diambil dari nama ibu dr. Mutiara,
MHA, MKT. Ibu Murni Teguh, yang selama hidupnya adalah seorang wanita
dermawan yang selalu mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhan.
Selain menjadi sejarah, Murni Teguh Memorial Hospital juga menjadi
perwujudan dari dr. Mutiara, MHA, MKT dan rekan-rekan yang ideal untuk
membantu orang lain.
Penelitian ini dilakukan di Poli Bedah Ortopedi Rumah Sakit Murni
Teguh, Memorial Hospital yang terletak di Jalan Jawa No. 2, (Sp. Jalan Veteran)
Kota Medan, Sumatera Utara 20231.
4.1.2 Karakteristik Berdasarkan Usia
No Usia N %
1 < 50 tahun 30 35,7
2 > 50 tahun 54 64,2
Total 84 100

Tabel 4.1 Distribusi Pasien Fraktur Osteoporotik Berdasarkan Usia

Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa dari 84 pasien yang
melakukan pemeriksaan BMD (Bone Mineral Density) di Poli Bedah Ortopedi
Rumah Sakit Murni Teguh, Medan Sumatera Utara bulan Januari 2016
25

berdasarkan usia yaitu yang berumur <50 tahun terdapat 30 orang (35,7 %), dan
yang berumur > 50 tahun terdapat 54 orang (64,2%).
4.1.3 Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin N %

1 Laki-laki 33 39,2

2 Perempuan 51 60,7

Total 84 100

Tabel 4.2 Distribusi Pasien Fraktur Osteoporotik Berdasarkan Jenis


Kelamin
Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa dari 84 pasien yang
melakukan pemeriksaan BMD (Bone Mineral Density) di Poli Bedah Ortopedi
Rumah Sakit Murni Teguh, Medan Sumatera Utara bulan Januari 2016
berdasarkan jenis kelamin laki-laki berjumlah 33 responden (39,2%) sedangkan
perempuan berjumlah 51 responden (60,7%).
4.1.4 Karakteristik Berdasarkan BMD

No Nilai BMD N %

1 Osteopenia 53 63,1

2 Osteoporosis 31 36,9

Total 84 100

Tabel 4.3 Distribusi Pasien Fraktur Osteoporotik Berdasarkan BMD


(Bone Mineral Density)

Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa dari 84 pasien yang
melakukan pemeriksaan BMD (Bone Mineral Density) di Poli Bedah Ortopedi
Rumah Sakit Murni Teguh, Medan Sumatera Utara bulan Januari 2016
berdasarkan bone mineral density menunjukan 53 responden masuk dalam
26

golongan Osteopenia (63,1%) dan 31 responden masuk dalam golongan


Osteoporosis (36,9%).

4.2 Pembahasan
Angka kejadian Osteoprosis yang tinggi menjadi salah satu masalah dalam
dunia kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor
karakteritik fraktur osteoporotik berdasarkan densitas massa tulang di Rumah
Sakit Murni Teguh Medan Tahun 2016. Dalam penelitian ini didapatkan sampel
sebanyak 84 orang.
Osteoporosis didefenisikan sebagai penurunan massa tulang. Tulang
memilliki komposisi normal tetapi jumlahnya berkurang. Massa tulang tumbuh
cepat pada masa anak-anak dan sangat cepat pada masa remaja : separuh
kepadatan tulang pada masa telah tercapai selama perkembangan masa remaja.
Massa tulang puncak dicapai pada usia sekitar 25 tahun. Massa tulang kemudian
relatif stabil sepanjang masa dewasa diikuti oleh pengurangan cepat massa sejalan
dengan bertambahnya usia (Stephen J. McPhee & William F. Ganong, 2002).
Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan usia dengan
osteoporosis karena patogenesis pengurangan tulang dimulai setelah usia 30
tahun, relatif lambat, dan terjadi mula-mula dengan kecepatan yang setara tanpa
memandang jenis kelamin atau ras. Dahulu diperkirakan bahwa pasien lansia
dengan osteoporosis, berkisar dari keadaan dengan tingkat pergantian rendah,
yang ditandai oleh penurunan mencolok aktivitas osteoblas hingga keadaan
tingkat pergantian tinggi yang mirip dengan fase akselerasi pada pengurangan
tulang pasca menopause.
Keseimbangan aktivitas sel berubah, dengan penurunan respon osteoblas
terhadap resorpsi tulang yang kontinu sehingga rongga-rongga resorpsi tidak terisi
secara sempurna oleh pembentukan tulang baru sewaktu siklus.
Pada awalnya, proses remodelling tulang ini berlangsung seimbang,
sehingga tidak ada kekurangan maupun kelebihan massa tulang. Tetapi dengan
bertambahnya usia, proses formasi menjadi tidak adekuat sehingga mulai terjadi
defisit massa tulang. Proses ini diperkirakan mulai pada dekade ketiga kehidupan
atau beberapa tahun sebelum menopause. Sampai saat ini, belum diketahui secara
27

pasti, apa penyebab penurunan formasi tulang pada usia dewasa, mungkin
berhubungan dengan penurunan aktifitas individu pada usia dewasa, mungkin
berhubungan dengan penurunan aktifitas individu yang bersangkutan, atau umur
osteoblas yang memendek, atau umur osteoklas yang memanjang atau sinyal
mekanik dari osteosit yang abnormal (PEROSI, 2012).
Osteoporosis timbul bila pembentukan matriks tak sempurna, juga
walaupun konsentrasi kalsium dan fosfat plasma adekuat untuk kalsifikasi : ini
terlihat jika ada cacat fungsi osteoblas atau pada gangguan metabolisme protein
tertentu (Stephen J. McPhee & William F. Ganong, 2002).
Penelitian ini juga didukung oleh Nancy E. Lane (2001) yaitu, pada
osteoporosis yang berkaitan dengan usia, terdapat “pelepasan” atau
ketidakseimbangan siklus remodelling tulang. Seiring dengan bertambahnya usia
kita, penyerapan kalsium menjadi lebih sulit. Vitamin D membantu kita menyerap
kalsium, tapi semakin tua, penyerapan ini tidak bekerja dengan baik.
Pada umumnya, penuaan memperlambat tingkat formasi tulang pada
siklus remodelling tulang. Akibatnya, lebih banyak tulang yang hilang daripada
terbentuk; sehingga semakin lama, lebih banyak massa tulang yang hilang
daripada dibuat (Nancy E. Lane, 2001).
Secara umum wanita memiliki resiko osteoporosis empat kali lebih banyak
dari pria. Hal ini terjadi antara lain karena massa tulang wanita lebih kecil dari
pria. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Fatmah (2008) dimana didapatkan temuan lansia wanita 4 kali lebih beresiko
mengalami osteoporosis dibanding laki – laki. Pada perempuan, hormon estrogen
sangat berpengaruh dalam mempertahankan kepadatan tulang. Saat kadar estrogen
menurun pasca menopause, maka penurunan kepadatan tulang akan semakin
cepat. Selama 5-10 tahun pertama setelah menopause, perempuan bisa mengalami
penurunan massa tulang sebesar 2 – 4% per tahun. Artinya, mereka akan
kehilangan massa tulang sebesar 25 – 30% dalam masa ini.
28

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Poli Bedah Ortopedi
Rumah Sakit Murni Teguh, Medan, maka dapat ditarik kesimpulan :
1. Didapati gambaran fraktur osteoporotik berdasarkan karakteristik
golongan usia di Poli Bedah Ortopedi Rumah Sakit Murni Teguh, Medan
Sumatera Utara dengan kriteria terbanyak adalah > 50 tahun.
2. Didapati gambaran fraktur osteoporotik berdasarkan karakteristik jenis
kelamin di Poli Bedah Ortopedi Rumah Sakit Murni Teguh, Medan Sumatera
Utara dengan kriteria terbanyak adalah perempuan.
3. Didapati gambaran fraktur osteoporotik berdasarkan karakteristik nilai
BMD (Bone Mineral Density) berdasarkan T-score di Poli Bedah Ortopedi Rumah
Sakit Murni Teguh, Medan Sumatera Utara dengan kriteria terbanyak adalah
golongan osteoporosis.

5.2 Saran
1. Rumah Sakit
Bagi Poli Bedah Ortopedi Rumah Sakit Murni Teguh, Medan Sumatera Utara
perlu melakukan program pemberdayaan kesehatan bagi pasien untuk
menghindari terjadinya peningkatan angka kejadian fraktur osteoporotik.
2. Pasien
Diharapkan agar lebih meningkatkan pengetahuan mengenai faktor penyebab
terjadinya penurunan massa tulang untuk mencegah terjadinya penyakit
osteoporosis.
3. Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber bacaan untuk penelitian
selanjutnya atau dijadikan referensi untuk peningkatan kualitas pendidikan
kedokteran khususnya tentang osteoporosis.
29

4. Peneliti selanjutnya
Diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ini
dengan lebih baik.
30

DAFTAR PUSTAKA

Crawford,J. (2012). Outline of Orthopaedics 7th ed.London:Churcill Livingstone.

Hartono, M. (2001). Mencegah & Mengatasi Osteoporosis. Jakarta: Puspa Swara.

Helmi, Z. (2012). Buku Ajar Gangguan Musculoskeletal. Jakarta: Penerbit


Salemba Medika.

Holistic Health Solutio. (2011). Osteoporosis di Usia Muda. Jakarta: Penerbit


Grasindo.

Lane, N.E., 2001. Osteoporosis: Rapuh Tulang. Jakarta: PT Raja Graffindo


Persada, 9 - 18.

Lindsay, R, et al. (2008). Osteoporosis.In:Fauci, et al.Horrison’s Principles of


Internal Medicine 17th ed. \Mc Grow-Hill USA.

McPhee, Stephen J, and Ganong, William F, 2010. Patofisiologi Penyakit.


Jakarta: EGC, 547-549.

Notoatmodjo, S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Rosyidi, K. (2013). Muskuloskeletal. Jakarta ; TransInfoMedia.

Setyohadi, B. Pendekatan Diagnosis Osteoporosis. In: Setiati, S., dkk. (2009).


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Setyohadi, B, Nuhonni, S. (2012). Osteoporosis & Penyakit Tulang Metabolik.


Jakarta: Perosi.

Solomon,L, et al. (2010). Apley’s System of Orthopaedics and Fractures 9th


ed.New York:Oxford university press.

Sudoyo, A. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing.

Sumariyono. Antrosentesis dan Analisis Cairan Sendi. In: Setiati, S., dkk. (2009).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Susenas. (2004). Karakteristik Penduduk Lanjut Usia Indonesia Masa Kini.Warta


Demografi tahun 35,No.3. Dikutip oleh:Halimah, et al.2009. Analisis
Survival Peningkatan Densitas Mineral Tulang Pasien Perempuan yang
Menderita Osteoporosis Primer dengan Terapi sesuai Tata Laksana Klinik
MTIE.Buletin Penelitian Kesehatan.
31

Lane, N. (2001). Lebih Lengkap Tentang Osteoporosis (Rapuh Tulang). Jakarta:


Penerbit Raja Grafindo Persada.

Tandra, H. (2009). Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang


Osteoporosis. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Zairin, N. (2014). Buku Ajar Osteoporosis. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai