BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
perbaikan akibat terapi pada semua uji klinis diseleksi dengan DMT (Helmi,
2012).
Kriteria Diagnostik T-score DMT
Normal >1 1 SD dewasa muda
normal
Osteopenia -1 sampai -2,5 1-2,5 SD dewasa muda
normal
Osteoporosis <-2,5 >2,5 SD dibawah
dewasa muda normal
Osteoporosis Berat <-2,5 dan ≥ 1 rentan >2,5 SD dibawah
fraktur
dewasa muda normal
Makanan Depkes yang bekerja sama dengan salah satu perusahaan nutrisi di 16
wilayah Indonesia, telah terjadi prevalensi osteopenia (osteoporosis dini) di
Indonesia sebesar 41,7%. Data ini berarti bahwa 2 dari 5 penduduk Indonesia
memiliki risiko untuk terkena osteoporosis (Noor, 2014).
Puncak massa
Kehilangan tulang tulang yang
meningkat Kepadatan rendah
tulang rendah
Fraktur
Gambar 2.1: Faktor yang menyebabkan Fraktur Osteoporotik
(Lindsay, 2008).
2.3.5 Patogenesis
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar
42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke delapan dan
sembilan kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana
resopsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun.
Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang perubahan mikroarsitektur
tulang dan peningkatan risiko fraktur (Helmi, 2012).
Mekanisme bagaimana penurunan estrogen terhadap densitas tulang
dikarenakan penurunan estrogen menyebabkan peningkatan produksi RANKL
(Receptor for Activation of nuclear factor kappa B ligan), yang mana peningkatan
produksi tersebut menyebabkan penurunan produksi osteoprogerin dan
peningkatan osteoklas, sehingga aktivitas dan massa hidup osteoklas meningkat
(Lindsay, 2008).
Pada laki-laki yang lanjut usia, penurunan hormone androgen
menyebabkan penurunan densitas tulang laki-laki sama seperti wanita pasca
menopause tetapi hal ini akan terjadi dengan perbedaan rentan waktu 15 tahun
disbanding wanita pasca menopause kecuali ada permasalahan di testis (Solomon,
2010).
11
Faktor usia, Melemahnya daya serap sel terhadap kalsium Merokok, alkohol,
jenis kelamin, dari darah ke tulang. kopi, defisiensi
ras, keluarga, Peningkatan pengeluaran kalsium bersama vitamin dan gizi,
bentuk tubuh urine. gaya
dan tidak hidup(immobilitas)
Tidak tercapainya massa tulan yag maksimal.
pernah , anoreksia nervosa
melahirkan Resorpsi tulang menjadi lebih cepat. dan penggunaan
obat-obatan
2.3.6 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur berdasarkan lokasi terjadinya:
1. Fraktur panggul
Fraktur panggul mewakili konsekuensi paling berbahaya dari osteoporosis
karena memerlukan perawatan di rumah sakit dan menyebabkan morbiditas
serta mortalitas yang bermakna. Pada sebagian besar populasi, insidensi
fraktur panggul meningkat secara eksponensial sesuai usia. Diperkirakan 20%
pasien fraktur panggul akan meninggal dalam setahun dengan sebagian besar
kematian terjadi pada enam bulan pertama setelah fraktur.
2. Fraktur vertebra
Sampai sekarang, studi epidemiologi fraktur vertebra yang akurat sangat
terbatas, sebagian disebabkan oleh kejadian fraktur yang asimtomatik dan
kurangnya konsensus teknik yang berkenaan dengan definisi deformitas
vertebra. Meskipun demikian, datangnya teknik deskripsi morfometrik dan
visual semikuantitatif mampu memberikan prevalensi fraktur vertebra. Hanya
sepertiga deformitas vertebra yang tercatat dengan radiografi datang ke
pelayanan medis, dan hanya kurang dari 10% yang memerlukan perawatan di
rumah sakit.
3. Fraktur lengan
Fraktur bagian distal lengan atas hampir selalu terjadi sebagai konsekuensi
dari jatuh dengan tangan terjulur. Fraktur ini menunjukkan peningkatan
insidensi yang curam pada periode perimenopause, akan tetapi cenderung
mendatar selebihnya. Pada pria tidak terdapat peningkatan insidensi yang
bermakna dari fraktur lengan sesuai umur. Pada wanita kulit putih,
insidensinya meningkat pada usia 40-65 tahun kemudian stabil, sedangkan
insidensi pada pria meningkat pada usia 20-80 tahun.
4. Fraktur lain
Angka insiden fraktur humerus proksimal, pelvis, dan tibial proksimal juga
meningkat drastis sesuai usia, dan lebih besar pada wanita dibanding pria. Hal
ini sering diistilahkan sebagai fraktur kelemahan yang secara khas terjadi pada
wanita yang kehilangan berat badan tanpa sengaja (Helmi, 2012).
13
2.3.9 Tatalaksana
A. Konservatif
Pengobatan osteoporosis difokuskan pada usaha memperlambat atau
menghentikan kehilangan mineral, meningkatkan kepadatan ulang, dan
mengontrol nyeri sesuai dengan penyakit. Kebanyakan 40% dari perempuan akan
mengalami patah tulang akibat dari osteoporosis selama hidupnya. Dengan
demikian tujuan dari pengobatan ini adalah mencegah terjadinya fraktur (patah
tulang). Intervensi tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Diet: dewasa muda harus mencapai kepadatan tulang yang normal dengan
mendapatkan cukup kalsium (1.000 mg/hari) dalam dietnya (minum susu
atau makan makanan tinggi seperti salmon), berolahraga seperti jalan kaki
atau aerobik dan menjaga berat badan normal.
2. Spesialis: orang dengan fraktur tulang belakang, pinggang, atau
pergelangan tangan harus dirujuk ke spesialis ortopedi untuk manajemen
selanjutnya.
3. Olahraga: modifikasi gaya hidup harus menjadi salah satu pengobatan.
Olahraga yang teratur akan mengurangi patah tulang akibat osteoporosis.
Olahraga yang direkomendasikan termasuk diantaranya adalah jalan kaki,
bersepeda, dan jogging (Helmi, 2012).
B. Medikamentosa
Dari tata laksana diatas, obat-obatan juga dapat diberikan seperti dibawah
ini.
1. Estrogen: untuk perempuan yang baru menopause, penggantian estrogen
merupakan salah satu cara untuk mencegah osteoporosis. Estrogen dapat
mengurangi atau mengehntikan kehilangan jaringan tulang. Apabila
pengobatan estrogen dimulai pada saat menopause, maka akan mengurangi
kejadian fraktur pinggang sampai 55%. Estrogen dapat diberikan melalui
oral (diminum) atau ditempel pada kulit.
2. Kalsium: asupan kalsium pada penduduk Asia pada umumnya lebih
rendah dari kebutuhan kalsium yang direkomendasikan oleh Institute of
Medicine, National Academy of Science (1997), yaitu sebesar 1200 mg.
16
neurogenik sering terjadi pada fraktur femur karena rasa sakit yang hebat
pada pasien.
2. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh CRT (Capillary
Refill Time) menurun; sianosis bagian distal; hematoma yang lebar serta
dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
pembidaian, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi dan
pembedahan.
3. Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut
akibat suatu pembengkakan dari edema atau perdarahan yang menekan
otot, saraf, dan pembuluh darah. Kondisi sindrom kompartemen akibat
komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat dengan
persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang.
Komplikasi lama pada fraktur osteoporotik adalah sebagai berikut:
1. Delayed Union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk sembuh atau tersambung
dengan baik. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5
bulan (tiga bulan untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota
gerak bawah).
2. Non-union
Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara
6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis
(sendi palsu).
3. Mal-union
Mal-union adalah keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya, tetapi
terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, pemendekan,
atau menyilang, misalnya pada fraktur radius-ulna (Helmi, 2012).
18
2.3.11 Prognosis
Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan mengulang
pemeriksaan densitometri setelah 1-2 tahun pengobatan dan dinilai peningkatan
densitasnya. Bila dalam waktu 1 tahun tidak terjadi peningkatan maupun
penurunan densitas massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap berhasil,
karena resorpsi tulang sudah dapat ditekan.
Penggunaan petanda biokimia tulang, dapat menilai hasil terapi lebih cepat
yaitu dalam waktu 3-4 bulan setelah pengobatan. Yang dinilai adalah penurunan
kadar berbagai petanda resorpsi dan formasi tulang (Setyohadi, 2014).
19
1. Usia
Fraktur Osteoporosis
2. Jenis Kelamin
20
BAB III
METODE PENELITIAN
Diketahui:
n= jumlah sampel
d= derajat kesalahan yang di inginkan
N= jumlah populasi
515
𝑛=
1 + 515 (0,1²)
21
515
𝑛=
1 + 5,51
515
𝑛=
6,15
𝑛 = 83,7 orang
𝑛 = 84 orang
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa dari 84 pasien yang
melakukan pemeriksaan BMD (Bone Mineral Density) di Poli Bedah Ortopedi
Rumah Sakit Murni Teguh, Medan Sumatera Utara bulan Januari 2016
25
berdasarkan usia yaitu yang berumur <50 tahun terdapat 30 orang (35,7 %), dan
yang berumur > 50 tahun terdapat 54 orang (64,2%).
4.1.3 Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin N %
1 Laki-laki 33 39,2
2 Perempuan 51 60,7
Total 84 100
No Nilai BMD N %
1 Osteopenia 53 63,1
2 Osteoporosis 31 36,9
Total 84 100
Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa dari 84 pasien yang
melakukan pemeriksaan BMD (Bone Mineral Density) di Poli Bedah Ortopedi
Rumah Sakit Murni Teguh, Medan Sumatera Utara bulan Januari 2016
berdasarkan bone mineral density menunjukan 53 responden masuk dalam
26
4.2 Pembahasan
Angka kejadian Osteoprosis yang tinggi menjadi salah satu masalah dalam
dunia kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor
karakteritik fraktur osteoporotik berdasarkan densitas massa tulang di Rumah
Sakit Murni Teguh Medan Tahun 2016. Dalam penelitian ini didapatkan sampel
sebanyak 84 orang.
Osteoporosis didefenisikan sebagai penurunan massa tulang. Tulang
memilliki komposisi normal tetapi jumlahnya berkurang. Massa tulang tumbuh
cepat pada masa anak-anak dan sangat cepat pada masa remaja : separuh
kepadatan tulang pada masa telah tercapai selama perkembangan masa remaja.
Massa tulang puncak dicapai pada usia sekitar 25 tahun. Massa tulang kemudian
relatif stabil sepanjang masa dewasa diikuti oleh pengurangan cepat massa sejalan
dengan bertambahnya usia (Stephen J. McPhee & William F. Ganong, 2002).
Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan usia dengan
osteoporosis karena patogenesis pengurangan tulang dimulai setelah usia 30
tahun, relatif lambat, dan terjadi mula-mula dengan kecepatan yang setara tanpa
memandang jenis kelamin atau ras. Dahulu diperkirakan bahwa pasien lansia
dengan osteoporosis, berkisar dari keadaan dengan tingkat pergantian rendah,
yang ditandai oleh penurunan mencolok aktivitas osteoblas hingga keadaan
tingkat pergantian tinggi yang mirip dengan fase akselerasi pada pengurangan
tulang pasca menopause.
Keseimbangan aktivitas sel berubah, dengan penurunan respon osteoblas
terhadap resorpsi tulang yang kontinu sehingga rongga-rongga resorpsi tidak terisi
secara sempurna oleh pembentukan tulang baru sewaktu siklus.
Pada awalnya, proses remodelling tulang ini berlangsung seimbang,
sehingga tidak ada kekurangan maupun kelebihan massa tulang. Tetapi dengan
bertambahnya usia, proses formasi menjadi tidak adekuat sehingga mulai terjadi
defisit massa tulang. Proses ini diperkirakan mulai pada dekade ketiga kehidupan
atau beberapa tahun sebelum menopause. Sampai saat ini, belum diketahui secara
27
pasti, apa penyebab penurunan formasi tulang pada usia dewasa, mungkin
berhubungan dengan penurunan aktifitas individu pada usia dewasa, mungkin
berhubungan dengan penurunan aktifitas individu yang bersangkutan, atau umur
osteoblas yang memendek, atau umur osteoklas yang memanjang atau sinyal
mekanik dari osteosit yang abnormal (PEROSI, 2012).
Osteoporosis timbul bila pembentukan matriks tak sempurna, juga
walaupun konsentrasi kalsium dan fosfat plasma adekuat untuk kalsifikasi : ini
terlihat jika ada cacat fungsi osteoblas atau pada gangguan metabolisme protein
tertentu (Stephen J. McPhee & William F. Ganong, 2002).
Penelitian ini juga didukung oleh Nancy E. Lane (2001) yaitu, pada
osteoporosis yang berkaitan dengan usia, terdapat “pelepasan” atau
ketidakseimbangan siklus remodelling tulang. Seiring dengan bertambahnya usia
kita, penyerapan kalsium menjadi lebih sulit. Vitamin D membantu kita menyerap
kalsium, tapi semakin tua, penyerapan ini tidak bekerja dengan baik.
Pada umumnya, penuaan memperlambat tingkat formasi tulang pada
siklus remodelling tulang. Akibatnya, lebih banyak tulang yang hilang daripada
terbentuk; sehingga semakin lama, lebih banyak massa tulang yang hilang
daripada dibuat (Nancy E. Lane, 2001).
Secara umum wanita memiliki resiko osteoporosis empat kali lebih banyak
dari pria. Hal ini terjadi antara lain karena massa tulang wanita lebih kecil dari
pria. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Fatmah (2008) dimana didapatkan temuan lansia wanita 4 kali lebih beresiko
mengalami osteoporosis dibanding laki – laki. Pada perempuan, hormon estrogen
sangat berpengaruh dalam mempertahankan kepadatan tulang. Saat kadar estrogen
menurun pasca menopause, maka penurunan kepadatan tulang akan semakin
cepat. Selama 5-10 tahun pertama setelah menopause, perempuan bisa mengalami
penurunan massa tulang sebesar 2 – 4% per tahun. Artinya, mereka akan
kehilangan massa tulang sebesar 25 – 30% dalam masa ini.
28
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Poli Bedah Ortopedi
Rumah Sakit Murni Teguh, Medan, maka dapat ditarik kesimpulan :
1. Didapati gambaran fraktur osteoporotik berdasarkan karakteristik
golongan usia di Poli Bedah Ortopedi Rumah Sakit Murni Teguh, Medan
Sumatera Utara dengan kriteria terbanyak adalah > 50 tahun.
2. Didapati gambaran fraktur osteoporotik berdasarkan karakteristik jenis
kelamin di Poli Bedah Ortopedi Rumah Sakit Murni Teguh, Medan Sumatera
Utara dengan kriteria terbanyak adalah perempuan.
3. Didapati gambaran fraktur osteoporotik berdasarkan karakteristik nilai
BMD (Bone Mineral Density) berdasarkan T-score di Poli Bedah Ortopedi Rumah
Sakit Murni Teguh, Medan Sumatera Utara dengan kriteria terbanyak adalah
golongan osteoporosis.
5.2 Saran
1. Rumah Sakit
Bagi Poli Bedah Ortopedi Rumah Sakit Murni Teguh, Medan Sumatera Utara
perlu melakukan program pemberdayaan kesehatan bagi pasien untuk
menghindari terjadinya peningkatan angka kejadian fraktur osteoporotik.
2. Pasien
Diharapkan agar lebih meningkatkan pengetahuan mengenai faktor penyebab
terjadinya penurunan massa tulang untuk mencegah terjadinya penyakit
osteoporosis.
3. Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber bacaan untuk penelitian
selanjutnya atau dijadikan referensi untuk peningkatan kualitas pendidikan
kedokteran khususnya tentang osteoporosis.
29
4. Peneliti selanjutnya
Diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ini
dengan lebih baik.
30
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, A. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing.
Sumariyono. Antrosentesis dan Analisis Cairan Sendi. In: Setiati, S., dkk. (2009).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.