Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

Herpes Simpleks Genitalis

Pembimbing :

dr. Ika Soelistina, Sp.KK

Oleh:

Herlin Indah Bangalino

112017192

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RS BHAYANGKARA H.S SAMSOERI MERTOJOSO SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 6 Mei 2019 – 8 Juni 2019

1
BAB 1
LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Presentasi Kasus: Senin, 20 Mei 2019
SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT POLRI BHAYANGKARA SURABAYA
=================================================================
Nama : Herlin Indah Bangalino Tanda Tangan

Nim : 112017192

Pembimbing : dr. Ika Soelistina, Sp.KK

=================================================================

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.Y

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 64 tahun

Alamat : Surabaya

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status menikah : Menikah

=================================================================

B. ANAMNESA
Autoanamnesa dari pasien

Dilakukan tanggal 14 Mei 2019

Keluhan utama : Pasien mengeluh nyeri di lipatan paha kiri sejak 5 hari yang
lalu

Keluhan tambahan :-

2
Riwayat perjalanan penyakit

Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Polri Bhayangkara Surabaya
dengan keluhan nyeri di lipatan paha kiri sejak 5 hari yang lalu. Awalnya timbul satu lentingan
kemudian timbul berkelompok. Keluhan tersebut disertai rasa panas pada daerah lentingan
dan terasa gatal. Lama kelamaan lentingan tersebut pecah dan pasien masih merasakan nyeri,
panas dan gatal. Demam, lemas, nyeri saat berkemih, mual dan muntah disangkal. Pasien
mengatakan sudah tidak rutin lagi berhubungan seksual dengan suami pasien. Riwayat
berhubungan seksual selain dengan suami disangkal. Pasien sudah berobat ke Puskesmas dan
diberi obat antivirus tetapi keluhan masih hilang timbul.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sejak 1 tahun terakhir. Keluhan muncul setiap
bulan di lipatan paha kiri.

Riwayat Penyakit Keluarga

Suami pasien tidak mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Tidak ada anggota
keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien.

- STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Pasien tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 36,5 C
Tekanan darah :-
Status gizi : Baik

Berat badan :-
Mata : Dalam batas normal
Gigi : Dalam batas normal
THT : Dalam batas normal

- STATUS DERMATOLOGI
Distribusi : Regional
Lokasi : Regio Inguinalis Sinistra

3
Efloresensi : Terdapat vesikel berkelompok dengan dasar eritema, bentuk
bulat, berbatas tegas, diameter 0,5 cm disertai erosi.

- LABORATORIUM
Tidak ada
- RESUME
Seorang perempuan berusia 64 tahun datang ke Poli Kulit dan Kelamin Rumah Sakit
Polri Bhayangkara Surabaya dengan keluhan nyeri di lipatan paha kiri sejak 5 hari yang lalu.
Awalnya timbul satu lentingan kemudian timbul berkelompok. Keluhan tersebut disertai rasa
panas pada daerah lentingan dan terasa gatal. Lama kelamaan lentingan tersebut pecah dan
pasien masih merasakan nyeri, panas dan gatal. Pasien mengatakan sudah tidak rutin lagi
berhubungan seksual dengan suami pasien. Pasien sudah berobat ke Puskesmas dan diberi
obat antivirus tetapi keluhan masih hilang timbul. Pasien pernah mengalami keluhan yang
sama sejak 1 tahun terakhir. Keluhan muncul setiap bulan di lipatan paha kiri. Pada
pemeriksaan fisik di regio inguinalis sinistra ditemukan vesikel berkelompok dengan dasar
eritema, bentuk bulat, berbatas tegas, diameter 0,5 cm disertai erosi.

- DIAGNOSIS BANDING
- Herpes simpleks genitalis
- Sifilis stadium 1
- Ulkus mole (Chancroid)
- Limfogranuloma venereum

4
- Granuloma inguinal
- ANJURAN PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan tes Tzank
- Kultur jaringan
- Pemeriksaan dengan imunofluoresensi, imunoperoksidase dan ELISA
- DIAGNOSIS KERJA
Herpes simpleks genitalis

- PENATALAKSANAAN
- Non medikamentosa
1. Pasien diberi edukasi tentang perjalanan penyakit yang mudah
menular terutama bila ada lesi, dan infeksi ini dapat berulang; karena
itu indikasi abstinens; lakukan penapisan untuk IMS lain dan HIV,
notifikasi pasangan tetapnya.
2. Istirahat yang cukup serta makan dan minum yang bergizi.
3. Daerah yang gatal atau nyeri tidak boleh digaruk
4. Menjaga kebersihan kulit dengan tetap mandi 2 kali sehari.
5. Proteksi individual, anjurkan penggunaan kondom dan busa
spermisidal.
6. Sedapat mungkin hindari faktor pencetus.
7. Bila pasien sudah merasa terganggu dengan kekerapan infeksi dan ada
kecurigaan terjadi penurunan kualitas hidup, indikasi untuk konsul
psikiatri.
- Medikamentosa
- Asam mefenamat 3x500 mg/hari
- Asiklovir 2x400 mg/hari, selama 7 hari.

- PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan

Infeksi Herpes simpleks virus (HSV) dapat berupa kelainan pada daerah orolabial atau
herpes orolabialis serta daerah genital dan sekitarnya atau herpes genitalis, dengan gejala khas
berupa adanya vesikel berkelompok di atas dasar makula eritematosa. Herpes simpleks
genitalis merupakan salah satu Infeksi Menular Seksual (IMS) yang paling sering menjadi
masalah karena sukar disembuhkan, sering berulang (rekuren), juga karena penularan
penyakit ini dapat terjadi pada seseorang tanpa gejala atau asimtomatis. Kata herpes dapat
diartikan sebagai merangkak atau maju perlahan (creep or crawl) untuk menunjukkan pola
penyebaran lesi kulit infeksi herpes simpleks genitalis.1

Definisi2
Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks virus (virus herpes hominis)
tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang
sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung
baik primer maupun rekurens.

Sinonim2

Fever blister, cold store, herpes febrilis, herpes labialis, herpes progenitalis (genitalis).

Etiologi2,3

VHS tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus DNA.
Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenic
marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi). Secara serologik, biologik, dan sifat fisiokimia
HSV-1 dan HSV-2 sukar dibedakan.

Epidemiologi 1,2,3

Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (V.H.S) tipe 1
biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi VHS tipe II biasanya terjadi pada
dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Dari data yang

6
dikumpulkan WHO dapat diambil kesimpulan bahwa antibody terhadap HSV-2 rata-rata baru
terbentuk setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kelompok remaja didapatkan kurang dari
30%, pada kelompok wanita diatas umur 40 tahun naik sampai 60%, dan pada pekerja seks
wanita (PSW) ternyata antibody HSV-2 10 kali lebih tinggi daripada orang normal.

Data WHO tahun 2012, di Asia Tenggara diperkirangan sejumlah 59% wanita dan
58% pria dengan herpes simpleks genitalis. Di Eropa, prevalesi herpes simpleks genitalis pada
wanita sejumlah 69% dan pria sejumlah 61%. Hal ini disebabkan karena perbedaan anatomi
yang menyebabkan luas permukaan mukosa di area genital yang terkena pada wanita lebih
besar dibanding pada pria sehingga persepsi yang lebih tinggi dari ketidaknyamanan terhadap
lesi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria.

Patogenesis3

Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode I infeksi primer
(inisial), episode I non infeksi primer, infeksi rekurens, asimtomatik atau tidak terjadi infeksi
sama sekali. Pada infeksi I infeksi primer, virus yang berasal dari luar masuk ke dalam tubuh
hospes. Kemudian terjadi penggabungan dengan DNA hospes di dalam tubuh hospes tersebut
dan mengadakan multiplikasi/replikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada waktu
itu hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, ini bisa mengakibatkan timbulnya lesi pada
daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar melalu serabut
saraf sensorik ke ganglion saraf regional (ganglion sakralis), dan berdiam di sana serta bersifat
laten.

Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi belum
menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu terjadinya
episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer.

Bila pada suatu waktu ada factor pencetus (trigger factor), virus akan mengalami
reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi rekurens. Pada saat ini di dalam
tubuh hospes ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya
tidak seberat pada waktu infeksi primer. Trigger factor tersebut antara lain adalah trauma,
koitus yang berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stress emosi, kelelahan, makanan
yang merangsang, alcohol, obat-obatan (imunosupresif, kortikosteroid), dan pada beberapa
kasus sukar diketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa pendapat mengenai terjadinya
infeksi rekurens;

7
1. Faktor pencetus akan mengakibatkan reaktivasi virus dalam ganglion dan virus
akan turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang dipersarafinya dan
disana akan mengalami replikasi dan multiplikasi serta menimbulkan lesi.
2. Virus secara terus-menerus dilepaskan ke sel-sel epitel dan adanya faktor pencetus
ini menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi rekurens.
Gejala Klinis2
Infeksi VHS berlangsung dalam 3 tingkat.

1. Infeksi primer
Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah
mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak inokulasi dapat terjadi secara
kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang sering
mengigit jari (herpetic whit-low). Virus ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis.
Infeksi primer oleh VHS tipe II mempunyai tempat predileksi didaerah pinggang ke
bawah, terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi
neonatus. Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti
oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadang-kadang disebabkan
oleh VHS tipe 1 sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut dapat disebabkan oleh VHS
tipe II.

Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan
sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise dan anoreksia, dapat ditemukan
pembengkakan kelenjar getah bening regional.

Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit
yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulent,
dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya
sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat
timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas. Umunya didapati
pada orang yang kekurangan antibody virus herpes simpleks. Pada wanita ada laporan
yang mengatakan bahwa 80% infeksi VHS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada
serviks.

2. Fase Laten

8
Tidak ditemukan gejala klinis, tetapi VHS Dapat ditemukan dalam keadaan
tidak aktif pada ganglion dorsalis.

3. Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif,
dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala
klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur,
hubungan seksual, dsb), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula
timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang. Gejala klinis yang timbul
lebih ringan dari pada infeksi primer dan berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering
ditemukan gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan
nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain
(non loco)

Kriteria Diagnostik4
Berdasarkan Perdoski, kriteria diagnosa dari herpes simpleks yaitu
HG episode pertama lesi primer

- Vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar eritematosa, disertai rasa nyeri


- Pasien lebih sering datang dengan lesi berupa ulkus dangkal multipel atau berkrusta
- Dapat disertai disuria
- Dapat disertai duh tubuh vagina atau uretra
- Dapat disertai keluhan sistemik, demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri dan
pembengkakan kelenjar getah bening inguinal
- Keluhan neuropati (retensi urin, konstipasi, parestesi)
- Pembentukan lesi baru masih berlangsung selama 10 hari
- Lesi dapat berlangsung selama 12-21 hari
HG episode pertama lesi non primer

- Gambaran lesi sama seperti HG episode pertama primer


- Umumnya lesi lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan infeksi primer
- Lesi yang tidak diobati dapat berlangsung 10-14 hari
- Jarang disertai duh tubuh genital atau disuria, keluhan sistemik, dan neuropati.
HG rekuren

- Lesi lebih sedikit dan lebih ringan

9
- Bersifat lokal, unilateral
- Kelainan berlangsung lebih singkat dan dapat menghilang dalam waktu 5 hari
- Dapat didahului oleh keluhan parestesi 1-2 hari sebelum timbul lesi
- Umumnya mengenai daerah yang sama dapat di penis, vulva, anus, atau bokong
- Riwayat pernah berulang
Terdapat faktor pencetus:

- Stres fisik/psikis
- Senggama berlebihan
- Minuman beralkohol
- Menstruasi
- Kadang-kadang sulit ditentukan
HG atipikal menyerang kulit seperti Herpes Whitlow di lokasi daerah jari, puting susu,
bokong, dsb. HG subklinis hanya berupa lesi kemerahan atau erosi yang ringan kadang-
kadang tampak vesikel. Keluhan nyeri radikulopati. Pada HG asimtomatik tidak ada gejala
klinis, hanya reaksi serologis (antibodi herpes) reaktif. Pada pasien imunokompromais
manifestasi lesi dapat bermacam-macam yaitu berupa manifestasi ulkus yang atipikal hingga
ulkus yang besar dan dalam.

Pemeriksaan Penunjang3
Pemeriksaan laboratorium yang paling sederhana adalah pemeriksaan tes Tzank yang
diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, akan terlihat sel raksasa berinti banyak.
Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini umumnya rendah. Pemeriksaan langsung dengan
mikroskop elektron, hasilnya sudah dapat dilihat dalam waktu 2 jam, tetapi tidak spesifik
karena dengan teknik ini kelompok virus herpes tidak dapat dibedakan.
Cara yang paling baik adalah dengan melakukan kultur jaringan, karena paling sensitif
dan spesifik dibandingkan dengan cara yang lain. Bila titer virus dalam spesimen cukup
tinggi, maka hasil positif dapat dilihat dalam jangka waktu 24-48 jam. Pertumbuhan virus
dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik, degenerasi balon dan sel
raksasa berinti banyak. Namun cara ini memiliki kekurangan karena waktu pemeriksaan yang
lama dan biaya yang mahal.
Tes secara imunologik memakai antibodi poliklonal atau monoklonal, misalnya teknik
pemeriksaan dengan imunofluoresensi, imunoperoksidase dan ELISA. Deteksi antigen secara

10
langsung dari spesimen sangan potensial, cepat, dan dapat merupakan deteksi paling awal
pada infeksi HSV.
Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi langsung
memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif palsu dan negatif palsu.
Dengan memakai antibodi monoklonal pada pemeriksaan imunofluoresensi, dapat ditentukan
tipe virus. Pemeriksaan antibodi monoklonal dengan cara mikroskopik imunofluoresen tak
langsung dari kerokan lesi, sensitivitasnya 78% sampai 88%.
Pemeriksaan dengan cara ELISA (enzyme linked imunosorbent assays) adalah
pemeriksaan untuk menemukan antigen HSV. Pemeriksaan ini sensitivitasnya 95% dan
sangat spesifik, tapi dapat berkurang jika spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini memerlukan
waktu 4,5 jam. Tes ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap HSV dalam
serum penderita. Tes ELISA ini merupakan tes alternatif yang terbaik di samping kultur
karena mempunyai karena mempunyai beberapa keuntungan seperti hasilnya cepat dibaca,
dan tidak memerlukan tenaga ahli.

Diagnosa Banding

1. Sifilis stadium 12,4


Penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum, bersifat
kronis, sejak awal merupakan infeksi sistemik, dalam perjalanan penyakitnya dapat mengenai
hampir seluruh struktur tubuh, dengan manifestasi klinis yang jelas namun terdapat masa laten
yang sepenuhnya asimtomatik, mampu menyerupai berbagai macam penyakit, dapat
ditularkan kepada janin dalam kandungan, dan dapat disembuhkan. Sifilis dapat
diklasifikasikan menjadi sifilis didapat dan sifilis kongenital. Sifilis didapat terdiri atas
stadium primer, sekunder, dan tersier, serta periode laten di antara stadium sekunder dan
tersier.
Masa tunas biasanya dua sampai empat minggu. T.pallidum masuk ke dalam selaput
lender atau kulit yang telah mengalami lesi/mikro-lesi secara langsung, biasanya melalui
senggama. Treponema tersebut akan berkembang biak, kemudian terjadi penyebaran secara
limfogen dan hematogen. Kelainan kulit dimulai sebagai papul lentikular yang permukaannya
segera menjadi erosi, umumnya kemudian menjadi ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat,
solitar, dasarnya ialah jaringan granulasi berwarna merah dan bersih, di atasnya hanya tampak
serum. Dindingnya tak bergaung, kulit di sekitarnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang
akut. Yang khas ialah ulkus tersebut indolen dan teraba indurasi karena itu disebut ulkus

11
durum. Kelainan tersebut dinamakan afek primer dan umumnya berlokasi pada genitalia
eksterna, Pada pria tempat yang sering dikenal ialah sulkus koronarius, sedangkan pada
wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya di lidah,
tonsil, dan anus. Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu
Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional
di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar,
indolen, tidak lunak, besarnya biasanya lenticular, tidak supuratif, dan tidak terdapat
periadenitis. Kulit diatasnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut.

2. Chancroid2
Ulkus mole atau sering disebut chancroid ialah penyakit ulkus genital akut,, setempat,
dapat berinokulasi sendiri (autoinoculation), disebabkan oleh Haemophilusducreyi, dengan
gejala klinis khas berupa ulkus di tempat masuk kuman dan seringkali disertai supurasi
kelenjar getah bening regional. Masa inkubasi ulkus mole pendek, berkisar antara 3 sampai 7
hari dan tanpa gejala prodromal. Masa inkubasi bisa memanjang pada pengidap HIV. Diawali
dengan papul inflamasi yang cepat berkembang menjadi ulkus nyeri dalam 1-2 hari. Tidak
dijumpai gejala sistemik. Ulkus multiple, dangkal, tidak terdapat indurasi, sangat nyeri.
Bagian tepi bergaung, rapuh, tidak rata, kulit atau mukosa sekeliling ulkus eritematosa. Dasar
ulkus dilapisa oleh eksudat nekrotik kuning keabu-abuan dan mudah berdarah jika lapisan
tersebut diangkat. Tidak terdapat stadium vesikel.Tempat masuk kuman merupakan daerah
yang seringa tau mudah mengalami abrasi, erosi, atau ekskoriasi akibat trauma, atau iritasi
yang berkaitan dengan higiene perorangan yang kurang baik. Ulkus dapat menyebar ke
perineum, anus, skrotum, tungkai atas, atau abdomen bagian bawah sebagai akibat inokulasi
sendiri. Ulkus pada pasien laki-laki berlokasi di preputium, frenulum, dan sulkus koronarius
sedangkan pada pasien perempuan terdapat di introitus, vestibulum dan labia minora. Ulkus
multiple kadang-kadang membentuk kissing lesions, yaitu lesi yang timbul pada permukaan
yang saling berhadapan. Pada 50% pasien dapat dijumpai bobo inguinal dan umumnya
unilateral. Bubo seringkali berfluktuasi dan mudah pecah. Terdapat beberapa varian ulkus
mole, satu diantaranya menyerupai herpes genital yaitu Dwarf chancroid dengan lesi kecil,
dangkal, dan relatif tidak nyeri.

12
3. Limfogranuloma venereum2
Limfogranuloma venereum ialah infeksi menular seksual sistemik yang disebabkan
oleh Chlamydia trachomatis serovar L1, L2 dan L3. Bentuk tersering adalah sindrom inguinal
berupa limfadenitis dan periadenitis.

Masa tunas penyakit ini ialah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul sebelum
penyaktnya dan biasanya menetap selama sindrom inguinal. Gejala tersebut berupa malese,
nyere artralgia, anoreksia, nausea, dan demam Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi
bentuk dini, yang terdiri atas afek primer serta sindrom inguinal, dan bentuk lanjut yaitu
sindrom genital, anorektal, dan uretral. Waktu terjadinya afek primer hingga sindrom inguinal
3-6 minggu, sedangkan dari bentuk dini hingga bentuk lanjut satu tahun sampai beberapa
tahun.

Afek primer

Berbentuk tak khas dan tak nyeri dapat berupa erosi, papul miliar, vesikel, pustul dan
ulkus yang tidak nyeri. Umumnya soliter dan cepat hilang. Pada laki-laki umumnya afek
primer berlokasi di genitalia eksterna, terutama di sulkus koronarius, batang penis dan dapat
pula di uretra. Pada perempuan biasanya afek primer tidak terdapat pada genitalia eksterna,
tetapi pada vagina bagian dalam dan serviks.

Sindrom inguinal

Sindrom inguinal merupakan sindrom yang sering dijumpai. Sindrom tersebut terjadi pada
laki-laki jika afek primemya di genitalia eksterna. Pada perempuan sindrom terjadi jika afek
primer ada di genitalia ekstema dan vagina 1/3 bawah. Jika afek primer pada vagina 2/3 atas,
maka yang mengalami peradangan bukan kelenjar inguinal medial, tetapi kelenjar Gerota.
Pada sindrom ini yang tersering ialah kelenjar getah bening inguinal medial, karena kelenjar
tersebut merupakan kelenjar regional bagi genitalia eksterna. Karena LG.V. merupakan
penyakit subakut, maka terlihat kelima tanda radang akut yakni dolor rubor tumor, kalor, dan
fungsio lesa. Selain limfadenitas terjadi pula periadenitis yang menyebabkan perlekatan
dengan jaringan sekitamya kemudian terjadi perlunakan yang tidak serentak, yang
mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacam- macam, yakni keras, kenyal, dan lunak
(abses). Perlunakan biasanya tengah, dapat terjadi abses dan fistel yang multiple. Sering
terlihat pula 2 atau 3 kelompok kelenjar yang berdekatan dan memanjang seperti sosis di
bagian proksimal dan distal ligamentum Pouparti dan dipisahkan oleh lekuk (sulkus). Gejala

13
tersebut GREENBLATT disebut stigma of groove. Pada stadium lanjut terjadi penjalaran ke
kelenjar getah bening di fosa iliaka dan dinamai bubo bertingkat, kadang dapat di fosa
femoralis. Ada kalanya terdapat limfangitis yang tampak sebagai tali yang keras dan bubonuli.

Sindrom genital

Jika sindrom inguinal tidak diobati, maka terjadi fibrosis pada kelenjar inguinal
medial, sehingga aliran getah bening terbendung terjadi edema dan elefantiasis. Elefantiasis
tersebut dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus. Pada laki-laki,
elefantiasis terdapat di penis dan skrotum, sedangkan pada perempuan di labia dan klitoris,
disebut estiomen. Jika meluas terbentuk elefantiasis genito-anorektalis dan disebut sindrom
Jersild.

Sindrom anorektal

Sindrom tersebut dapat terjadi pada laki-laki yang melakukan kontak seksual
anogenital dengan laki-laki. Pada perempuan hal yang sama dapat terjadi dengan dua cara.
Pertama, jika kontak seksual secara anogenital. Kedua, jika afek primer terdapat pada vagina
2/3 atas atau serviks sehingga terjadi penjalaran ke kelenjar perirektal (kelenjar Gerota) yang
terletak antara uterus dan rektum. Pembesaran kelenjar tersebut hanya dapat diketahui dengan
palpasi secara bimanual. Proses berikutnya hampir sama dengan sindrom inguinal, yakni
terjadi limfadenitis dan periadenitis, lalu mengalami perlunakan hingga terbentuk abses.
Kemudian abses memecah sehingga menyebabkan gejala keluanya darah dan pus pada waktu
defekasi, kemudian terbentuk fistel. Abses- abses dan fistel-fistel dapat berlokasi di perianal
dan perirektal Selanjutnya muara fistel meluas menjadi ulkus, yang kemudian menyembuh
dan menjadi sikatriks, terjadilah retraksi hingga mengakibat- kan striktura rekti. Kelainan
tersebut umumnya mengenai seluruh lingkaran rektum sepanjang 4-10 cm dan berlokasi 3-6
cm atau lebih di atas anus. Keuhannya ialah obstipasi, tinja kecil-kecil disertai perdarahan
waktu defekasi. Akibat lain ialah terjadi proktitis yang menyebabkan gejala tenesmus dan
keluanya darah dan pus dari rektum. Kecuali kelenjar Gerota, dapat pula terjadi penjalaran ke
kelenjar iliaka dan hipogastrika.

Sindrom uretral

Sindrom tersebut terjadi, jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian
menjadi abses, lalu memecah dan menjadi fistel. Dapat terjadi striktur, hingga orifisium uretra

14
eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan dan disebut fist mouth urethra dan penis
melengkung seperti pedang Turki.

4. Granuloma inguinal2
Granuloma inguinale merupakan penyakit yang mengenai daerah genitalia, perianal,
dan inguinal dengan gambaran klinis berupa ulkus yang granulomatosa, progresif dan tidak
nyeri. Penyebab granuloma inguinale yaitu Calymmatobacterium granulomatis atau disebut
juga Klebsiella granulomatis, merupakan batang, kadang-kadang berupa kokobasil, Gram-
negatif. Penularan terjadi melalui kontak seksual, namun sebagian besar pasangan seksual
tidak terinfeksi. Kemungkinan penularan melalui jalur non-seksual dikemukakan karena
ditemukan di daerah endemis. Beberapa kasus dapat tertular melalui kontak antara feses
dengan kulit yang tidak utuh.

Masa inkubasi sulit ditentukan, berkisar antara minggu sampai 3 bulan, dapat pula
sampa tahun. Umumnya tidak dijumpai demam atau gejala sistemis lain. Penyakit diawali
dengan nodus subkutan tunggal atau multipel, kemudian mengalami erosi, menimbulkan
ulkus berbatas tegas berkembang lambat dan mudah berdarah. Ulkus dapat dijumpai di daerah
penis (glans, preputium, batang penis. pertemuan penis-skrotum), vulva, labia mayora,
serviks, mons pubis, kadang- kadang perianal, jarang dapat mengenai daerah di luar genitalia.
Ulkus di daerah mukokutan yang progresif lambat dan dapat meluas Ulkus tanpa rasa nyeri,
tunggal, kadang-kadang multipel. Tepi ulkus dapat meninggi, tidak teratur, batas tegas, dan
ber- indurasi. Dasar ulkus yang masih baru dipenuhi oleh cairan berwama merah darah. Pada
ulkus yang sudah lama, dasar ulkus berupa jaringan granulasi, berwarna merah daging, mudah
berdarah, dengan cairan seropurulen yang berbau busuk, sedikit atau tidak ada eksudat
purulen; pus menandakan terjadi infeksi sekunder. Ulkus yang luas dapat menetap dan
bertambah luas selama beberapa tahun, menyerupai kanker Tidak terdapat limfadenopati.
Kadang-kadang pembengkakan subkutan terlihat di daerah inguinal membentuk massa yang
disebut pseudobubo, tidak akibat perluasan inflamasi subkutan. Dapat terjadi penyebaran
sistemik meskipun jarang, berupa lesi-lesi di hepar dan tulang.

Terdapat empat varian klinis:

- Ulsero granulomatosa atau nodular: jaringan granulasi merah dan


hipertropik yang mudah berdarah
- Hipertropik: lesi-lesi eksofitik menyerupai veruka (verruciformis) dalam
jumlah banyak

15
- Nekrotik: ulkus dalam dengan destruksi jaringan yang luas
- Sklerotik: terutama fibrosis, kadang-kadang disertai dengan striktura
uretra
Tatalaksana

Non medikamentosa3

a. Penderita diberi penerangan tentang sifat penyakit yang dapat menular terutama bila
sedang terkena serangan, karena itu sebaiknya melaksanakan abstinensia.
b. Proteksi individual. Digunakan dua macam alat perintang, yaitu busa spermisidal dan
kondom. Kombinasi tersebut, bila diikuti dengan pencucian alat kelamin memakai air
dan sabun pasca koitus, dapat mencegah trasnmisi herpes genitalis hampir 100%. Busa
spermisidal secara in vitro ternyata mempunyai sifat virisidal, dan kondom dapat
mengurangi penetrasi virus.
c. Faktor-faktor pencetus sedapat mungkin dihindari.
d. Konsultasi psikiatrik dapat membantu karena faktor psikis mempunyai peranan untuk
timbulnya serangan.
Medikamentosa
Obat-obat simtomatik: 4
1. Pemberian analgetika, antipiretik dan antipruritus disesuaikan dengan kebutuhan individual
2. Penggunaan antiseptik sebagai bahan kompres lesi atau dilanjutkan dalam air dan dipakai
sebagai sit bath misalnya povidon jodium yang bersifat mengeringkan lesi, mencegah infeksi
sekunder dan mempercepat waktu penyembuhan.
HG lesi episode pertama lesi primer4

1. Asiklovir: 5x200 mg/hari selama 7-10 hari atau asiklovir: 3x400 mg/hari selama 7-10
hari.
2. Valasiklovir: 2x500-1000 mg/hari selama 7-10 hari
3. Famsiklovir 3x250 mg/hari selama 7-10 hari
4. Kasus berat perlu rawat inap: asiklovir intravena 5 mg/kgBB tiap 8 jam selama 7-10
hari.
HG rekuren4
1. Lesi ringan: terapi simtomatik
2. Lesi berat:

16
- Asiklovir 5x200 mg/hari, per oral selama 5 hari atau asiklovir: 3x400 mg/hari selama 5
hari, atau asiklovir 3x800 mg/hari selama 2 hari
- Valasiklovir 2x500 mg selama 5 hari
- Famsiklovir 2x125 mg/hari selama 5 hari
3. Rekurensi 6 kali/tahun atau lebih: diberi terapi supresif
- Asiklovir 2x400 mg/hari
- Valasiklovir 1x500 mg/hari
- Famsiklovir 2x250 mg/hari
HG pasien imunokompromais4
1. Pengobatan untuk kasus ini memerlukan waktu yang lebih lama, pengobatan diberikan
hingga gejala klinis menghilang.
2. Asiklovir oral dapat diberikan dengan dosis 5x400 mg/hari selama 5-10 hari atau hingga
tidak muncul lesi baru.
3. Valasiklovir 2x1000 mg/hari
4. Famsiklovir 2x500 mg/hari.
Pada pasien yang berisiko tinggi untuk menjadi diseminata, atau yang tidak dapat menerima
pengobatan oral, maka asiklovir diberikan secara intravena 5 mg/kgBB/hari tiap 8 jam selama
7-14 hari atau lebih lama. Bila terdapat bukti terjadinya infeksi sistemik, dianjurkan terapi
asiklovir intravena 3x10 mg/kgBB/hari selama paling sedikit 10 hari.
Untuk pasien dengan infeksi HIV simtomatik atau AIDS, digunakan asiklovir oral 5x400
mg/hari hingga lesi sembuh, setelah itu dapat dilanjutkan terapi supresif. Pada pasien
imunokompromais, kelainan akan sangat mudah terjadi rekurensi, sehingga pengobatan
supresif lebih dianjurkan, dengan dosis asiklovir 2x400 mg/hari atau valasiklovir 2x500
mg/hari.
Penatalaksanaan wanita hamil dengan herpes genitalis3
Wanita hamil yang menderita herpes genitalis primer dalam 6 minggu terakhir masa
kehamilannya dianjurkan untuk dilakukan seksio sesarea sebelum atau dalam 4 jam sesudah
pecahnya ketuban. Seksio sesarea tidak dilakukan secara rutin pada wanita yang menderita
herpes genitalis rekurens. Hanya wanita dengan viral shedding pada saat atau hampir
melahirkan memerlukan seksio sesarea. Disarankan untuk melakukan pemeriksaan virologik
dan sitologik sejak kehamilan 32 dan 36 minggu. Selain itu, sekurang-kurangnya setiap
minggu dilakukan kultur secret serviks dan genitalia eksterna. Bila kultur virus yang
diinkubasi minimal 4 hari. Memberikan hasil negatif dua kali berturut-turut, serta tidak ada
lesi genital pada saat melahirkan, maka dapat dianjurkan partus pervaginam.

17
Kontak yang lama dengan secret yang infeksius, secara relative dapat meningkatkan
resiko penularan penyakit. Oleh karena itu dianjurkan sebaiknya seksio sesarea dilakukan
sebelum atau dalam 4 jam sesudah ketuban pecah untuk mencegah bayi ditulari.
Pemberian asiklovir pada wanita hamil dapat dipertimbangkan, terutama pada infeksi
primer. Episode awal herpes genitalis pada kehamilan dengan gejala berat, dianjurkan untuk
diberikan asiklovir oral 5x200 mg/hari selama 7-10 hari. Asiklovir oral dosis supresif secara
rutin tidak dianjurkan untuk herpes genitalis rekurens selama kehamilan atau dekat akhir
kehamilan.
Penatalaksanaan bayi lahir dari ibu dengan herpes genitalis3
Kultur virus, pemeriksaan fungsi hati dan cairan serebrospinalis harus dilakukan, serta
bayi harus diawasi ketat dalam satu bulan pertama kehidupannya. Spesimen untuk
pemeriksaan kultur virus diambil dari konjungtiva, umbilicus, nasofaring, dan setiap lesi kulit
yang dicurigai, pada 24-48 jam pertama.
Bila ibu mengidap herpes genitalis primer pada saat persalinan per vaginam harus
diberikan profilaksis asiklovir intravena kepada bayi selama 5-7 hari dengan dosis 3x10
mg/kgBB tiap 8 jam selama 10-21 hari, atau Ara-A 30 mg/kgBB/hari menurunkan angka
kematian dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat pengobatan. Cara pengobatan
ini juga dapat mencegah progresivitas penyakit (infeksi herpes pada susunan saraf pusat atau
infeksi diseminata). Oleh karena itu identifikasi lesi kulit sangat penting untuk menentukan
ada/tidaknya infeksi HSV pada neonatus.

Komplikasi3

Komplikasi yang paling sering ditakutkan adalah akibat penyakit ini pada bayi yang
baru lahir. Herpes genitalis pada permulaan kehamilan bisa menimbulkan abortus/malformasi
kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita herpes
genitalis pada waktu kehamilan dapat ditemukan kelainan berupa hepatitis, infeksi berat,
ensefalitis, keratokonjungtivitis, erupsi kulit berupa vesikel herpetiformis dan bahkan bisa
lahir mati.

Pada orang tua, hepatits karena HSV jarang ditemukan, sedangkan meningitis dan
ensefalitis pernah dilaporkan. Pada orang tua meningitis herpetika biasanya disebabkan oleh
HSV-2 sedangkan ensefalitis oleh HSV-1. Disamping itu juga ditemukan hipersensitivitas
terhadap virus, sehingga timbul reaksi pada kulit berupa eritema eksudativum multiforme.

18
Dapat juga timbul ketakutan dan depresi terutama bila terjadi salah penanganan pada
penderita.

Prognosis3
Meskipun kematian yang disebabkan oleh infeksi HSV-2 jarang terjadi, akan tetapi
selama belum ada pengobatan yang efektif, perkembangan penyakit sulit diramalkan. Infeksi
primer dini yang segera diobati mempunyai prognosis lebih baik, sedangkan infeksi rekuren
hanya dapat dibatasi frekuensi kambuhnya.

Kesimpulan
Infeksi Herpes simpleks virus (HSV) dapat berupa kelainan pada daerah orolabial atau
herpes orolabialis serta daerah genital dan sekitarnya atau herpes genitalis, dengan gejala khas
berupa adanya vesikel berkelompok di atas dasar makula eritematosa. Pemeriksaan
laboratorium yang paling sederhana adalah pemeriksaan tes Tzank yang diwarnai dengan
pengecatan Giemsa atau Wright, akan terlihat sel raksasa berinti banyak. Diagnosis banding
herpes simpleks adalah sifilis stadium 1, ulkus molle, limfogranuloma venerium, dan
granulona inguinale. Penatalaksanaan herpes simpleks dapat diberikan terapi simtomatik serta
antivirus.

19
Daftar Pustaka

1. Bonita L, Murtiastutik D. Penelitian retrospektif:gambaran klinis herpes simpleks


genitalis. FK Universitas Airlangga. Surabaya; 2017.h.30-31.
2. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-
7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta;2015.h.455-88.
3. Daili SF, Judanarso J. Herpes simpleks. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta; 2005.h.111-121.
4. Perhimpunan dokter spesialis kulit dan kelamin Indonesia. Jakarta; 2017.h.354-77.

20

Anda mungkin juga menyukai