Anda di halaman 1dari 50

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI
Nama : Muhammad Fahri
Umur : 1 tahun 3 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Abdul Karim
Nama Ibu : Yuliana
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Pemulutan Kab. Ogan Ilir
MRS : 17 Juli 2013

B. ANAMNESA
(Alloanamnesis dengan ibu penderita, 31 Juli 2013)
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
Keluhan Tambahan : Demam dan kejang

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak ± 1 bulan SMRS, penderita mengalami demam, tidak terlalu tinggi,
hilang timbul disertai batuk (+), pilek (-). Penderita dibawa berobat ke
puskesmas dan diobati oleh dokter umum, keluhan berkurang namun timbul
lagi.
Sejak ± 2 hari SMRS penderita demam (+) tinggi, demam tidak turun,
menggigil (-), batuk (-). Penderita juga mengalami BAB cair, frekuensi
3x/hari, lebih banyak air daripada ampas, ada lendir, dan tidak ada darah.
Penderita dibawa berobat ke dokter umum, diberi 3 macam obat sirup, BAB
cair tidak lagi namun demam masih ada.

1
Sejak 1 hari SMRS, penderita masih mengalami demam tinggi, kejang (+),
frekuensi 3x/24 jam, fokal (+) (pada tangan kanan dan mulut), lama ±5 menit,
post iktal penderita tidak sadar. Penderita dibawa ke RS Bari Palembang, lalu
dirujuk ke RSMH Palembang dan dirawat di bagian anak divisi neurologi
RSMH Palembang.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat menderita sakit yang sama sebelumnya (+), kejang dengan
demam pada usia 5 bulan
- Riwayat batuk berulang (+)
- Riwayat kontak dengan penderita TB (+) → tetangga sebelah rumah
- Riwayat sering berkeringat pada malam hari (-)
- Riwayat sering demam sejak 1 bulan yang lalu (+)
- Riwayat berat badan tertinggi saat usia 1 tahun → 8,9 kg

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat sakit yang sama dalam keluarga disangkal

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa kehamilan : Cukup bulan
Partus : Spontan (G2P1A0)
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 14 april 2012
Berat badan lahir : 3000 gram
Panjang badan lahir : 50 cm
Keadaan saat lahir : Langsung menangis

Riwayat Makan
ASI : Lahir – sekarang
Bubur susu : 6 bulan – 1 tahun
Nasi biasa : 1 tahun - sekarang

2
Riwayat Perkembangan
Berbalik : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Merangkak : 6 bulan
Duduk : 7 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 1 tahun
Berbicara : 1 tahun (beberapa suku kata)
Kesan : Perkembangan motorik dalam batas normal

Riwayat Imunisasi
BCG : 1 kali, usia 1 bulan (scar positif)
DPT :-
Polio : 2 kali
Hepatitis B :-
Campak :-
Kesan : Imunisasi dasar belum lengkap

 Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Ayah penderita
berumur 30 tahun, pendidikan SMP dan bekerja sebagai petani. Ibu penderita
berumur 27 tahun, pendidikan SMP dan bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Secara ekonomi, keluarga penderita tergolong tingkat ekonomi menengah ke
bawah.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 31 Juli 2013
Keadaan Umum
Kesadaran : E4M6V5

3
Nadi : 120 x/menit, reguler, isi dan tegangan: cukup
Pernapasan : 28 x/menit
Suhu : 36,6 °c
Berat Badan : 7,3 kg
Tinggi Badan : 71 cm
Anemis : Ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Dispnea : tidak ada
Edema : tidak ada

Status Gizi: BB/U : 7,3/11 x 100% = 66,3% antara -3SD sampai -2SD
PB/U : 71/79 x 100% = 89,87% antara -3SD sampai -2SD
BB/PB : 7,3/10 x 100% = 73% antara -3SD sampai -2SD
Kesan : gizi kurang

Keadaan Spesifik
 Kepala
Bentuk : Mikrosefali, simetris, lingkar kepala 43 cm
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Cekung (-), Pupil bulat isokor ø 3 mm, reflek cahaya +/+
normal, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema
palpebra -/-
Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-).
Telinga : Sekret (-)
Mulut : mulut dan bibir kering (-), sianosis (-).
Tenggorokan : T1-T1 hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat.
 Thorak
Paru-paru
 Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi subcostal (-)

4
 Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-), stridor (-)
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat, voussure cardiac tidak terlihat
 Palpasi : Thrill tidak teraba, iktus tidak teraba
 Perkusi : Dalam batas normal
 Auskultasi : HR: 120 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, murmur
(-), gallop (-).
 Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Lipat paha dan genitalia : Pembesaran KGB (-)
 Ekstremitas : Akral dingin (-), sianosis (-), edema pretibial (-), spastik
(+), CRT < 2 detik

Pemeriksaan Neurologis
 Fungsi motorik
Pemeriksaan Tungkai Tungkai Lengan Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Terbatas Terbatas Terbatas Terbatas
Kekuatan 3 4 3 4
Tonus Hipertoni Hipertoni Hipertoni Hipertoni
Klonus - -
Reflek fisiologis Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat
Reflek patologis Babinsky + Babinsky + - -
 Fungsi sensorik : Dalam batas normal
 Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal
 GRM : Kaku kuduk (-) , Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)

5
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

17 Juli 2013
Pemeriksaan Hematologi
No Parameter Hasil Rujukan
1 Hb 7,9 g/dl 11,3-14,1 g/dl
2 Ht 26 % 37-41 %
3 Leukosit 25.300 / mm3 6.000-17.500 / mm3
4 Eritrosit 3.700.000 / mm3 5.330.000-5.470.000 / mm3
5 Trombosit 562.000 / µL 217.000 – 497.000 / µL
6 MCV 71,1 fL 81 – 95 fL
7 MCH 21 pg 25 - 29 pg
8 MCHC 30 g/dl 29 - 31 g/dl
9 LED 120 mm/jam < 15 mm/jam
10 Diff count 0/2/2/65/20/11 0-1/1-6/2-6/50-70/25-40/2-8 %
11 Retikulosit 2,9 0,5-1,5 %
12 BSS 116 mg/dl <200 mg/dl
13 Natrium (Na) 144 mEq/L 135-155 mEq/L
14 Kalsium (Ca) 9,1 mg/dl 8,4 – 10,4 mg/dl
15 Phospor 5,2 mg/dl 2,5 – 7,0 mg/dl
16 Feritin 468,50 ng/ml 13-400 ng/ml
17 Besi 63 µg/l 61-157 µg/l
18 TIBC 341 µd/dl 112-346 µd/dl

Pemeriksaan LCS
No Parameter Hasil Pemeriksaan Rujukan
LCS
Makroskopi
1 Volume 2 cc
2 Warna Tidak berwarna Transudat : kekuningan
Eksudat : kuning sd merah
3 Kejernihan Jernih Transudat : jernih

6
Eksudat : keruh
4 Bau Tidak berbau Transudat : tidak berbau
Eksudat : berbau busuk
5 Berat jenis 1.010 Transudat : < 1.016
Eksudat : > 1.016
6 Bekuan Negatif Transudat : negatif
Eksudat : positif
7 pH 8,0 Transudat : 7,4-7,6
Eksudat : <7,3
Mikroskopi
8 Jumlah 253,0 sel/µl Transudat : <500
leukosit Eksudat : >500
9 PMN cell 81 % Transudat : lebih sedikit
Eksudat : lebih banyak
10 MN cell 19 % Transudat : lebih banyak
Eksudat : lebih sedikit
11 Nonne Negatif Transudat : jernih
Eksudat : keruh
12 Pandy Positif Transudat : jernih
Eksudat : keruh
13 Protein 0,1 g/dl Transudat : <2,5
Eksudat : >3
14 LDH 238 U/L Transudat : <200
Eksudat : >200
15 Glukosa 37 mg/dl Transudat : = kadar di
serum
Eksudat : < kadar di serum
16 Klorida 117 mEq/L 98 – 107

Gambaran Darah Tepi (17 Juli 2013)


- Eritrosit : Mikrositik hipokrom
- Leukosit : Jumlah meningkat, bentuk normal
- Trombosit : Jumlah meningkat, bentuk normal
Kesan : Anemia mikrositik hipokrom disertai leukositosis dan
trombositosis ec anemia penyakit kronis disertai infeksi
bakteri

7
Pemeriksaan Rontgen Thorax (17 Juli 2013)

Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan :


- Cor tidak membesar
- Corakan bronkoaskular meningkat
- Hilus kiri menonjol dengan kalsifikasi
- Diafragma licin
- Sinus costophrenicus lancip
- Jaringan lunak baik
Kesan : Pembesaran limfonodi hilus kiri, cenderung TB primer

Pemeriksaan Biakan (29 Juli 2013)


 Hasil Mikroskopis: Gram (+) Coccus (+)
Leukosit 3-4/lp
Epitel 2-4/lp
 Hasil Biakan : Staphylococcus aureus

8
E. DIAGNOSIS BANDING
 Meningitis bakterialis
 Meningitis tuberkulosis
 Meningitis aseptik/viral
 Ensefalitis virus

F. DIAGNOSIS KERJA
Meningitis bakterialis + TB paru + Gizi kurang + Mikrosefali + Anemia
hipokrom mikrositer disertai leukositosis dan trombositosis ec anemia
penyakit kronis dan infeksi bakteri.

G. PENATALAKSANAAN
 IVFD D5 ¼ NS , gtt 7 x / menit makro
 O2 canul 2 L/m
 Ceftriaxone 1 x 750 mg (iv)
 Dexametasone 3 x 2 mg (iv)
 Parasetamol syrup 10-15 mg/kgbb; 3 x ¾ cth (7,5ml),
bila T ≥ 38,5 0 C
 Ambroxol syrup 2 x 2,5 ml (1/2 cth)
 R/H/Z 100 mg/75 mg/20 mg
 Fenitoin maintenance 2 mg/kgBB
 Diet : F100 8x150 cc
 Rencana transfusi PRC

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

Follow Up
Tanggal Keterangan

9
1 S: Keluhan : demam menurun
Agustus O: Keadaan Umum
2013 Sens: E4M6V5
RR : 30 x/menit
N : 134 x/menit T : 37 oC
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-), pupil bulat
isokor, ø 3 mm, reflek cahaya +/+ , edema palpebra
(-) , nafas cuping hidung (-), mikrosefali
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorak : simetris, retraksi (-)
Cor : bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler normal, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik,

Status neurologikus
Fungsi Motorik
Pemeriksaan Tungkai Tungkai Lengan Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Terbatas Terbatas Terbatas Terbatas
Kekuatan 3 4 3 4
Tonus Hipertoni Hipertoni Hipertoni Hipertoni
Klonus - -
Reflek Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat
fisiologis
Reflek Babinsky Babinsky - -
patologis + +

Fungsi sensorik : dalam batas normal


Fungsi nervi craniales : dalam batas normal
GRM : (-)

10
M1 : Meningitis bakterialis
M2 : TB paru
M3 : Gizi kurang
M4 : Mikrosefali
M5 : Anemia hipokrom mikrositer dengan leukosistosis dan
trombositosis

P: IVFD D5 ¼ NS , gtt 7 x / menit makro


O2 canul 2 L/m
Ceftriaxone 1 x 750 mg (iv)
Dexametasone 3 x 2 mg (iv)
Parasetamol syrup 10-15 mg/kgbb; 3 x ¾ cth (7,5ml),
bila T ≥ 38,5 0 C
Ambroxol syrup 2 x 2,5 ml (1/2 cth)
R/H/Z 100 mg/75 mg/20 mg
Fenitoin maintenance 2 mg/kgBB
Diet : F100 8x150 cc
Rencana transfusi PRC

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MENINGITIS

2.1.1 DEFENISI

Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk dura, arachnoid
dan pia mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh
beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh
peningkatan kadar leukosit dalam likuor cerebrospinal (LCS).3

12
Gambar 1. Meningitis

2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen
spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12
bulan); 95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi
pada setiap umur. Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri
patogen, kontak erat dengan individu yang menderita penyakit invasif, perumahan
padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan pada bayi
yang tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari
kontak orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran pernafasan.7

Meningitis Bakterial
Secara umum, mortalitas dari meningitis bacterial bervariasi menurut usia
dan jenis pathogen, dengan angka tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada
neonatus tinggi dan meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae
yang menyebabkan morbiditas pada periode neonatal. Mortalitas tertinggi yakni
pada tahun pertama kehidupan, menurun pada pertengahan (mid life) dan
meningkat kembali di masa tua. Insidens lebih banyak pada kulit hitam. Bayi laki
– laki lebih sering terkena meningitis gram negatif, bayi perempuan lebih rentan
terhadap infeksi L.monocytogenes , sedangkan Streptococcus agalactiae (GBS)
mengenai kedua jenis kelamin.8

13
Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun.
Umumnya terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah.
Insidens meningitis bakterialis pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000
kelahiran hidup. Insidens meningitis pada bayi berat lahir rendah tiga kali lebih
tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal. Streptococcus group B dan
E.coli merupakan penyebab utama meningitis bakterial pada neonatus. Penyakit
ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40%
diantaranya mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit
neurologis.9-11

Meningitis Tuberkulosis
Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5%
dari seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai
frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk.
Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena
morbiditas tuberkulosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai
pada anak terutama bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih
rendah. Angka kejadian jarang dibawah usia 3 bulan dan mulai meningkat dalam
usia 5 tahun pertama, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian
berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18%
pasien yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis
tuberkulosis yang tidak diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka
kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa.6,9,10

Meningitis Viral
Insidens meningitis viral di Amerika serikat yang secara resmi dilaporkan
berjumlah lebih dari 10.000 kasus, namun pada kenyataannya dapat mencapai
75.000 kasus. Kekurangan dalam pelaporan data ini disebabkan oleh gejala klinis
yang tidak khas dan inabilitas beberapa virus untuk tumbuh dalam kultur. Menurut
data yang dilaporkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), pasien
rawat inap dengan meningitis viral sekitar 25.000 – 50.000 tiap tahunnya.12

14
Di seluruh dunia, penyebab meningitis viral termasuk enterovirus, mumps
virus mumps (gondongan), virus measles (campak), virus varicella zoster (VZV)
dan HIV. Gejala meningitis dapat timbul hanya pada 1 dari 3000 kasus. Mumps
menyebabkan 10-20% meningitis dan meningoencephalitis di bagian negara
dimana akses vaksin sulit. Insidens 20 kali lebih besar pada tahun pertama
kehidupan. Pada neonatus lebih dari 7 hari, meningitis aseptik sering disebabkan
oleh enterovirus. Vaksinasi mengurnagi insidens dari meningitis oleh virus
mumps, polio dan measles. Virus mumps dan measles sering menyebabkan
meningitis pada anak usia sekolah sampai kuliah. Enterovirus 1,3 – 1,5 kali lebih
sering lebih sering menyebabkan meningitis pada laki-laki dibanding perempuan ,
sedangkan virus mumps 3 kali lebih sering menyerang laki-laki dibanding
perempuan. Menurut WHO tahun 1997, meningitis enteroviral dengan sepsis
merupakan penyebab tersering ke-5 kematian pada neonatus. Diluar periode
neonatal mortalitas kurang dari 1%, begitu juga dnegan morbiditasnya.12
Meningitis virus lebih sering dijumpai pada anak daripada orang dewasa.
Di negeri tropis dan subtropis tingginya frekuensi meningitis virus tidak
bergantung kepada musim seperti pada negeri beriklim dingin yang angka
kejadian tertingginya dijumpai pada musim panas dan musim rontok.9

2.1.3. ETIOLOGI
Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, jamur maupun
parasit :
 Virus :
Meningitis virus umumnya tidak terlalu berat dan dapat sembuh secara alami
tanpa pengobatan spesifik. Kasus meningitis virus di Amerika serikat terutama
selama musim panas disebabkan oleh enterovirus; walaupun hanya beberapa
kasus saja yang berkembang menjadi meningitis. Infeksi virus lain yang dapat
menyebabkan meningitis, yakni :

Virus Mumps

Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes simplexs, varicella-
zoster, Measles, and Influenza

15

Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya (Arboviruses)

Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (lymphocytic choriomeningitis
virus), disebarkan melalui tikus.5

 Bakteri :
Salah satu penyebab utama meningitis bakteri pada anak-anak dan orang dewasa
muda
di Amerika Serikat adalah bakteri Neisseria meningitidis. Meningitis disebabkan
oleh bakteri ini dikenal sebagai penyakit meningokokus. Bakteri penyebab
meningitis juga bervariasi menurut kelompok umur.5
Selama usia bulan pertama, bakteri yang menyebabkan meningitis pada
bayi normal merefleksikan flora ibu atau lingkungan bayi tersebut (yaitu,
Streptococcus group B, basili enterik gram negatif, dan Listeria monocytogenes).
Meningitis pada kelompok ini kadang -kadang dapat karena Haemophilus
influenzae dan patogen lain ditemukan pada penderita yang lebih tua.

Meningitis bakteri pada anak usia 2 bulan – 12 tahun biasanya karena H.


influenzae tipe B, Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis.
Penyakit yang disebabkan oleh H.influenzae tipe B dapat terjadi segala umur
namun seringkali terjadi sebelum usia 2 tahun.
Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas, Treponema pallidum, dan
Mycobacterium tuberculosis dapat juga mengakibatkan meningitis. Citrobacter
diversus merupakan penyebab abses otak yang penting.

Risk and/or Predisposing Factor Bacterial Pathogen


Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (group B streptococci)
E coli K1
Listeria monocytogenes

16
Age 4-12 weeks S agalactiae
E coli
H influenzae
S pneumoniae
N meningitides
Age 3 months to 18 years N meningitidis
S pneumoniae
H influenza
Age 18-50 years S pneumoniae
N meningitidis
H influenza
Age older than 50 years S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Immunocompromised state S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Intracranial manipulation, including Staphylococcus aureus
neurosurgery Coagulase-negative staphylococci
Aerobic gram-negative bacilli, including
P aeruginosa
Basilar skull fracture S pneumoniae
H influenzae
Group A streptococci
CSF shunts Coagulase-negative staphylococci
S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes
Tabel 1. Bakteri penyebab tersering menurut umur dan faktor predisposisi 2

Mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis berdasarkan usia :3


a. 0 – 3 bulan :
Pada grup usia ini meningitis dapat disebabkan oleh semua agen termasuk
bakteri, virus, jamur, Mycoplasma, dan Ureaplasma. Bakteri penyebab
yang tersering seperti Streptococcus grup B, E.Coli, Listeria, bakteri usus
selain E.Coli ( Klebsiella, Serratia spesies, Enterobacter), streptococcus

17
lain, jamur, nontypeable H.influenza, dan bakteri anaerob. Virus yang
sering seperti Herpes simplekx virus (HSV), enterovirus dan
Cytomegalovirus.

b.3 bulan – 5 tahun


Sejak vaksin conjugate HIB menjadi vaksinasi rutin di Amerika Serikat,
penyakit yang disebabkan oleh H.influenza tipe B telah menurun. Bakteri
penyebab tersering meningitis pada grup usia ini belakangan seperti
N.meningitidis dam S.Pneumoniae. H. influenza tipe B masih dapat
dipertimbangkan pada meningitis yang terjadi pada anak kurang dari 2
tahun yang belum mendapat imunisasi atau imunisasi yang tidak lengkap.
Meningitis oleh karena Mycobacterium Tuberculosis jarang, namun harus
dipertimbangkan pada daerah dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi
dan jika didapatkan anamnesis, gejala klinis, LCS dan laboratorium yang
mendukung diagnosis Tuberkulosis. Virus yang sering pada grup usia ini
seperti enterovirus, HSV, Human Herpesvirus-6 (HHV-6).

c. 5 tahun – dewasa
Bakteri yang tersering menyebabkan meningitis pada grup usia ini seperti
N.meningitidis dan S.pneumoniae. Mycoplasma pneumonia juga dapat
menyebabkan meningitis yang berat dan meningoencephalitis pada grup
usia ini. Meningitis virus pada grup ini tersering disebabkan oleh
enterovirus, herpes virus, dan arbovirus. Virus lain yang lebih jarang
seperti virus Epstein-Barr , virus lymphocytic choriomeningitis, HHV-6,
virus rabies, dan virus influenza A dan B.

Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi selain dapat


disebabkan oleh pathogen seperti di atas, harus juga dipertimbangkan oleh
pathogen lain seperti Cryptococcus, Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV.

18
Tabel 3. Etiologi Meningitis pada Anak

2.1.4 PATOGENESIS

Meningitis Bakterial 1
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti
faringitis, tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan
ini sering didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai
dengan kuman yang ada dalam cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh
infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi
lumbal dan mielokel.
4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
 Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau
oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir
 Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.

19
Gambar 2. Patogenesis Meningitis Bakterial

Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran


hematogen. Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab
meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur
hematogen mempunyai tahap-tahap sebagai berikut :
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)
2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel
fagosit dan aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.

Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu


melampaui semua tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme
virulensi yang berbeda-beda, dan masing-masing mekanisme mempunyai peranan
yang khusus pada satu atau lebih dari tahap-tahap tersebut. Terjadinya meningitis
bacterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor, yaitu host yang rentan,
bakteri penyebab dan lingkungan yang menunjang.

Faktor Host

20
Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis:
1. Telah dibuktikan bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis
dibandingkan dengan wanita. Pada neonates sepsis menyebabkan
meningitis, laki-laki dan wanita berbanding 1,7 : 1
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature lebih mudah
menderita meningitis disbanding bayi cukup bulan
3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama
kehamilan, adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah
terjadinya sepsis dan meningitis
4. Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari leukosit,
defisiensi beberapa komplemen serum, seperti C1, C3. C5, rendahnya
properdin serum, rendahnya konsentrasi IgM dan IgA ( IgG dapat di
transfer melalui plasenta pada bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit atau sama
sekali tidak di transfer melalui plasenta), akan mempermudah terjadinya
infeksi atau meningitis pada neonates. Rendahnya IgM dan IgA berakibat
kurangnya kemampuan bakterisidal terhadap bakteri gram negatif.
5. Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia
atau dysgammaglobulinemia), kekurangan jaringan timus kongenital,
kekurangan sel B dan T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya
meningitis
6. Keganasan seperti system RES, leukemia, multiple mieloma, penyakit
Hodgkin menyebabkan penurunan produksi immunoglobulin sehingga
mempermudah terjadinya infeksi.
7. Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah
terjadinya infeksi
8. Malnutrisi

Faktor Mikroorganisme
Penyebab meningitis bakterial terdiri dari bermacam-macam bakteri.
Mikroorganisme penyebab berhubungan erat dengan umur pasien. Pada periode
neonatal bakteri penyebab utama adalah golongan enterobacter terutama

21
Escherichia Coli disusul oleh bakteri lainnya seperti Streptococcus grup B,
Streptococcus pneumonia, Staphylococuc sp dan Salmonella sp. Sedangkan pada
bayi umur 2 bulan sampai 4 tahun yang terbanyak adalah Haemophillus influenza
type B disusul oleh Streptococcus pneumonia dan Neisseria meningitides. Pada
anak lebih besar dari 4 tahun yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia,
Neisseria meningitides. Bakteri lain yang dapat menyebabkan meningitis bakterial
adalah kuman batang gram negative seperti Proteus, Aerobacter, Enterobacter,
Klebsiella Sp dan Seprata Sp.

Faktor Lingkungan
Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan
sosial ekonomi rendah memgang peranan penting untuk mempermudah terjadinya
infeksi. Pada tempat penitipan bayi apabila terjadi infeksi lebih mudah terjadi
penularan. Adanya vektor binatang seperti anjing, tikus, memungkinkan suatu
predisposisi, untuk terjadinya leptospirosis.

Meningitis Tuberkulosis 9
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis
primer, biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya
selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder
melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang
atau vertebra yang kemudian pecah ke dalam rongga arachnoid (rich dan
McCordeck). Kadang-kadang dapat juga terjadi per-kontinuitatum dari mastoiditis
atau spondilitis.
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan
meningo-ensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak,
terutama batang otak (brain stem) tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat
yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna
basalis dan mengakibatkan hidrocephalus serta kelainan saraf pusat. Tampak juga
kelainan pembuluh darah seperti Arteritis dan Phlebitis yang menimbulkan

22
penyumbatan. Akibat penyumbatan ini terjadi infark otak yang kemudian
mengakibatkan perlunakan otak.

Meningitis Viral
Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya
virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah
masuk ke dalam tubuh virus tersebut akan menyebar keseluruh tubuh dengan
beberapa cara:1
 Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan
atau organ tertentu.
 Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian
menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
 Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah
pertama kali masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke
organ lain.
 Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput
lender dan menyebar melalui system saraf.
Berikut contoh cara transmisi virus :12
 Enterovirus : biasanya melalui rute oral-fekal, namun dapat juga melalui
rute saluran respirasi
 Arbovirus : melalui artropoda menghisap darah, biasanya nyamuk
 Virus limfositik koriomeningitis – melalui kontak dengan tikus dan
sejenisnya ataupun bahan eksresinya.

Pada umumnya, virus masuk ke sistem limfatik, melalui penelanan


enterovirus; pemasukan membran mukosa oleh campak, rubela, VVZ atau HSV;
atau dengan penyebaran hematogen dari nyamuk atau gigitan serangga lain.
Ditempat tersebut, mulai terjadi multiplikasi dan masuk alirann darah
menyebabkan infeksi beberapa organ. Pada stadium ini (fase ekstraneural) ada
sakit demam, sistemik, tetapi tidak terjadi multiplikasi virus lebih lanjut pada
organ yang ditempati, penyebaran sekunder sejumlah virus dapat terjadi. Invasi

23
SSP disertai dengan bukti klinis penyakit neurologis. HSV-1 mungkin mencapai
otak dengan penyebaran langsung sepanjang akson saraf.
Kerusakan neurologis disebabkan (1) oleh invasi langsung dan
penghancuran jaringan saraf oleh pembelahan virus secara aktif dan atau (2) oleh
reaksi hospes terhadap antigen virus. Kebanyakan penghancuran saraf mungkin
karena invasi virus secara langsung, sedangkan respon jaringan hospes yang hebat
mengakibatkan demielinasi dan penghancuran vaskuler serta perivaskuler dan (3)
oleh reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat laten.1,7
Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen atau
neural. Hematogen merupakan jalur tersering dari patogen viral yang diketahui.
Penetrasi neural menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas
pada virus Herpes (HSV-1, HSV-2, dan varicella zoster virus [VZV] B virus),
dan kemungkinan beberapa enterovirus. Pertahanan tubuh mencegah
inokulum virus dari penyebab infeksi yang signifikan secara klinis. Hal ini
termasuk respon imun sistemik dan lokal, barier mukosa dan kulit, dan blood-
brain barrier (BBB). Virus bereplikasi pada sistem organ awal ( seperti mukasa
sistem respiratorius atau gastrointestinal ) dan mencapai akses ke pembuluh darah.
Viremia primer memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen
dan kelenjar limfe / limfonodus) jika replikasinya timbul disamping pertahanan
imunologis, viremia sekunder dapat timbul, dimana dipikirkan untuk bertanggung
jawab dalam SSP . Replikasi viral cepat tampaknya memainkan peranan dalam
melawan pertahanan host.
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam SSP tidak sepenuhnya
dimengerti. Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler
atau melalui defek natural (area post trauma dan tempat lainyang kurang BBB).
Respon inflamasi terlihat dalam bentuk pleositosis; leukosit polimorfonuklear
(PMN) menyebabkan perbedaan jumlah sel pada 24-48 jam pertama, diikuti
kemudian dengan penambahan jumlah monosit dan limfosit. Limfosit CSS telah
dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga merupakan pertahanan dalam
melawan beberapa virus.

24
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke SSP
dengan transport retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis
HSV-1 adalah melalui akar saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa
oleh serat olfaktori ke basal frontal dan lobus temporal anterior.

2.1.5 MANIFESTASI KLINIS


Meningitis mempunyai karakteristik yakni onset yang mendadak dari demam,
sakit kepala dan kaku leher (stiff neck). Biasanya juga disertai beberapa gejala
lain, seperti :
 Mual
 Muntah
 Fotofobia (sensitif terhadap cahaya)
 Perubahan atau penurunan kesadaran

Meningitis Bakterial
Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9
1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).

2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.


a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.

25
f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.
g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis,
Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang
lebih besar).

3. Gejala ransangan meningeal.


a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala
di atas terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan
punggung.
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat
diandalkan sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu
dilakukan pungsi lumbal untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).

Gambar 3. Tanda Brudzinski dan Gambar 4. Tanda Kernig

26
Gambar 5. Manifestasi klinis pada bayi / neonatus

Gambar 6. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa

Meningitis Tuberkulosis 9,10


Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun
selaput otak sudah terkena. Hal demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris
sehingga pada penyebaran miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun
gejala meningitis belum tampak.

27
Meningitis Viral 5,9
Biasanya gejala dari meningitis viral tidak seberat meningitis dan dapat sembuh
alami tanpa pengobatan yang spesifik.
Umumnya permulaan penyakit berlangsung mendadak, walaupun kadang-
kadang didahului dengan panas selama beberapa hari. Gejala yang ditemukan
pada anak besar ialah panas dan nyeri kepala mendadak yang disertai dengan kaku
kuduk. Gejala lain yang dapat timbul ialah nyeri tenggorok, nausea, muntah,
penurunan kesadaran, nyeri pada kuduk dan punggung, fotophobia, parestesia,
myalgia. Gejala pada bayi tidak khas. Bayi mudah terangsang dan menjadi
gelisah. Mual dan muntah sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang didapati.
Bila penyebabnya Echovirus atau Coxsackie, maka dapat disertai ruam dengan
panas yang akan menghilang setelah 4-5 hari. Pada pemeriksaan ditemukan kaku
kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski kadang-kadang positif.

Variasi lain dari infeksi viral dapat membantu diagnosis, seperti :


 Gastroenteritis, rash, faringitis dan pleurodynia pada infeksi enterovirus
 Manifestasi kulit, seperti erupsi zoster dari VZV, makulopapular rash dari
campak dan enterovirus, erupsi vesikular dari herpes simpleks dan
herpangina dari infeksi coxsackie virus A
 Faringitis, limfadenopati dan splenomegali mengarah ke infeksi EBV

28
 Immunodefisiensi dan pneumonia, mengarah ke infeksi adenovirus, CMV
atau HIV
 Parotitis dan orchitis ke arah virus Mumps

2.1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pungsi Lumbal 1
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling sering
dilakukan pada segala umur, dan relatif aman
Indikasi
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang divurigai meningitis
9. Sepsis

Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya
dah pada pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan
dilakukan pada meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis.
Cairan serebrospinal dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit
kepala dan sakit pinggang. Pungsi lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada
tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn intracranial hypertension), pungsi
lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat tertentu.

Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar
tempat pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses
desak ruang dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan
yang belum diobati. Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena
infeksi (meningitis) bukan kontraindikasi tetapi harus dilakukan dnegan hati-hati.

29
Gambar 7. Lumbal Pungsi

Pengukuran Tekanan Cairan Serebrospinal


Bila tusukan jarum pungsi lumbal tepat dan LCS mengalir keluar, manometer
pengukur tekanan LCS dihubungkan dengan pangkal jarum pungsi lumbal
tersebut. LCS dibiarkan mengalir mengisi manometer, dan tingginya cairan yang
mengisi manometer diukur dalam milimeter air. Nilai normal tekanan LCS 50-200
mm pada keadaan tenang. Pada anak yang berontak, menangis atau batuk tekanan
akan meningkat.

Pemeriksaan LCS
Biasanya pada LP yang berhasil LCS yang keluar ditampung dalam botol steril
untuk pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan kejernihan dan
warnanya, kemudian ditentukan adanya protein yang meninggi dengan
menggunakan uji Pandy dan Nonne.
Pada uji Pandy 1-2 tetes LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya telah diisi dengan 1 ml larutan fenol jenuh (carbolic acid). Bila kadar
protein meninggi akan didapatkan warna putih keruh atau endapan putih dalam
tabung reaksi tersebut.
Pada uji Nonne, 0,5 ml LCS dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya telah diisi dengan 1 ml larutan amonium-sulfat jenuh. Bila kadar
protein LCS meningkat didapati cincin putih pada perbatasan kedua cairan
tersebut.

30
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar
protein, glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada
keadaan normal LCS berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa
xantokrom.

Sel
Untuk menghitung jumlah sel LCS harus segar, harus sudah dihitung dalam waktu
1 jam sesduah pungsi, karena jika terlalu lama sebagia sel menempel di dinding
tabung/botol, sebagian sudah lisis sehingga mempengaruhi perhitungan. Jumlah
sel leukosit normal pada bayi sampai umur 1 tahun adalah 10 sel/ µl, 1-4 tahun 8
sel/ µl, reamaj dan dewasa 2,59 ± 1,73 leukosit /µl. Eritrosit biasanya tidak
terdapat pada anak dan orang dewasa, kecuali pada pungsi traumatik. Adanya sel
neoplastik, plasmasit, sel stem dan eosinofil dalam LCS selalu abnormal.
Sel eritrosit berlebihan dalam LCS menunjukkan adanya perdarahan atau
pungsi traumatik, untuk membedakannya segera lakukan pemutaran (centrifuge)
dan perhatikan supernatanya. Apabila supernatan berwarna xantokrom berarti
perdarah lama, jika jernih berarti pungsi traumatik.
Apabila terdapat peninggian jumlah sel dan terutama PMN, maka
kemungkinan pasien menderita meningitis bakterial, atau pada meningitis virus
dini atau neoplasma.di Bagian ilmu kesehatan anak FKUI dipakai patokan jumlah
sel LCS normal pada anak 20/3 per µl dan pada neonatus minggu pertama 100/3
per µl, tetapi tergantung juga pada keadaan klinis pasien dan diferensiasi sel.

Protein
Kadar protein normal 20-40 mg/dl. Kadar ini meningkat pada sindrom Guillain
Barre, tumor intrakranial atau intraspinal, perdarah intrakranial, penyakit
degeneratif dan meningitis.
Pada neonatus kadar protein agak lebih tinggi, yaitu 40-80 mg/dl pada
umur 0-2 minggu, dan 30-50 mg/dl pada umur 2-4 minggu. Pada neonatus dengan
berat badan lahir rendah kadar protein lebih tinggi lagi rata-rata 100 mg/dl. Kadar
protein yang tinggi pada neonatus mungkin disebabkan oleh fungsi sawar darah
otak yang belum matang dan adanya perdarahan-perdarahan kecil saat partus.

Glukosa

31
Kadar normal glukosa dalam LCS antara ½ - 2/3 kadar glukosa plasma, biasanya
50-90 mg/dl. Bila memeriksa kadar glukosa LCS perlu pula ditentukan kadar
glukosa plasma dan kedua nilai ini dibandingkan. Bila kadar glukosa LCS kurang
dari 50% kadar glukosa plasma, maka dapat dikatakan bahwa kadar glukosa
dalam LCS merendah. Penurunan kadar glukosa dalam LCS didapati pada pasien
dengan meningitis bakterial, karsinomatosis selaput otak dan lain-lain.
Mikroorganisme
Pemeriksaan mikroorganisme perlu dilakukan yang pertama-tama dengan
pewarnaan gram. Dengan melihat bentuk kuman dan gram dapat diduga
diagnosisnya secara cepat. Biakan LCS dalam media dan uji sensitivitas terhadap
obat dapat menentukan kuman penyebab yang sebenarnya dan obat yang serasi.

Meningitis bakterial 10
-
Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan
elektrolit jika ada indikasi.
-
Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan etiologi :
 Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan
Pandy (+)/(++).
 Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan
polimorfonuklear, protein 200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada
stadium dini jumlah sel dapat normal dengan predominan limfosit.
 Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat
tidak spesifik.
-
Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan
pemberian antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai
diagnostik kecuali identifikasi kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif)
-
Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-
tanda peningkatan tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat
dilakukan asalkan berhati-hati. Pemakaian jarum spinal dapat
meminimalkan komplikasi terjadinya herniasi.
-
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan
gejala peningkatan tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.

32
-
Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat
atau curiga ada komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan
abses otak)
-
Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan
umum.

Meningitis Tuberkulosis 10
-
Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah, dan gula
darah. Leukosit darah tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm3).
Sering ditemukan hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi
antidiuretik hormon yang tidak adekuat.
-
Pungsi lumbal :
 Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau xantokrom
 Jumalh sel meningkat antara 10-250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500
sel/mm3. Hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium
awal dapat dominan polimorfonuklear.
 Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun
dibawah 35 mg/dl, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal
 Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M.Tbc tetap
dilakukan.
 Jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal
ulangan dapat memperkuat diagnosis dengan interval 2 minggu.
-
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) dan Latex particle agglutination dapat
mendeteksi kuman Mycobacterium di cairan serebrospinal (bila
memungkinkan).
-
Pemeriksaan pencitraan CT-Scan atau MRI kepala dengan kontras dapat
menunjukkan lesi parenkim pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma,
maupun hidrosefalus.
-
Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit Tuberkulosis.
-
Uji Tuberkulin dapat mendukung diagnosis
-
Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika memungkinkan dapat
menunjukkan perlambatan gelombang irama dasar.9

Meningitis Viral
-
Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan

33
-
Pemeriksaan LCS merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan
penyebab meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan
dengan tanda neurologis abnormal untuk menyingkirkanlesi intrakranial atau
hidrosefalus obstruktif sebelum pungsi lumbal (LP). Kultur LCSD tetap
kriteria standar pada pemeriksaan bakteri atau piogendari meningitis aseptic.
Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari meningitis bakteri dapat timbul
dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul aseptic. Hal berikut ini
merupakan karakteristik LCS yangdigunakan untuk mendukung diagnosis
meningitis viral:
 Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000x
109/L darah telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear
predominan merupakan aturannya, tetapi PMN dapat merupakan sel utama
pada 12-24 jam pertama; hitung sel biasanya kemudian didominasi oleh
limfosit pada pola LCS klasik meningitisviral. Hal ini menolong untuk
membedakan meningitis bakterial dari viral, dimana mempunyai lebih
tinggi hitung sel dan predominan PMN pada sel pada perbedaan sel; hal ini
merupakan bukan merupakan aturan yang absolute bagaimanapun.
 Protein: Kadar protein LCS biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat
bervariasi dari normal hingga setinggi 200 mg/dL.
-
Studi Pencitraan : Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis
dapat termasuk CT Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI
otak dengan gadolinium. CT scan dengan contrast menolong dalam
menyingkirkan patologi intrakranial. Scan contrast harus didapatkan untuk
mengevaluasi untuk penambahan sepanjang mening dan untuk menyingkirkan
cerebritis, abses intrakranial, empyema subdural, atau lesi lain. Secara
alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium dapat dilakukan.
MRI dengan contrast merupakan standar kriteria pada memvisualisasikan
patologi intrakranial pada encephalitis viral. HSV-1 lebih sering
mempengaruhi basal frontal dan lobus temporal dengan gambaran sering lesi
bilateral yang difus.
-
Tes Lain : Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis
dalam24-48 jam harus dilakukan rencana kerja untuk mengetahui penyebab

34
meningitis. Dalam kasus ensefalitis yang dicurigai, MRI dengan penambahan
kontras dan visualisasi yang adekuat dari frontal basal dan area temporal
adalah diperlukan. EEG dapat dilakukan jika ensefalitis atau kejang subklinis
dicurigai pada pasien yang terganggu, Periodic lateralized epileptiform
discharge (PLEDs) seringkali terlihat pada ensefalitis herpetic.
-
Prosedur : Pungsi Lumbal merupakan prosedur penting yang digunakan dalam
mendiagnosis meningitis viral. Prosedur potensial lain, tergantung pada
indikasi individu dan keparahan penyakit, termasuk monitoring tekanan
intrakranial, biopsi otak, dan drainase ventricular atau shunting.

Tabel 4. Kadar Normal Cairan Cerebrospinal

35
Tabel. 5. Gambaran Cairan Serebrospinal pada meningitis berdasarkan
agen etiologinya 2
2.1.7 DIAGNOSIS
Meningitis Bakterial
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala
dan tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku
kuduk dan adanya tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada
meningismus, meningitis TBC dan meningitis aseptic. Hamper semua penulis
mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat dengan
pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh Karena itu setiap
pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.1
Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi
pada stadium dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy
umumnya didapatkan positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter
kubik cairan yang sebagian besar terdiri dari sel polimorphonuclear (PMN). Pada
stadium dini didapatkan jumlah sel hanya ratusan permilimeter kubik dengan
hitung jenis lebih banyak limfosit daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan
sedemikian, pungsi lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk menegakkan
diagnosis yang pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium

36
penyembuhan meningitis purulenta. Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar
gula menurun tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida
kadang-kadang merendah.9
Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat
ditemukan kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Diferensiasi
kuman yang dapat dipercaya hanya ditentukan secara pembiakan (kultur) dan
percobaan binatang. Tidak ditemukan kuman pada sediaan langsung bukanlah
kontra-indikasi terhadap diagnosis. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan
leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri (Shift to the left). Umumnya
terdapat anemia megaloblastik.9

Meningitis Tuberkulosis
Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah
gambaran CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman
tuberkulosis dalam CSS. Uji tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang
tampak pada foto roentgen thorak dan terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga
hanya dapat menyokong diagnosis. Uji tuberkulin pada Meningitis tuberkulosis
sering negatif karena reaksi anergi (false-negative), terutama dalam stadium
terminalis.9

Meningitis Viral
Diagnosis etiologis hanya dapat dibuat dengan isolasi virus. Dalam prakteknya,
pemeriksaan serologis tidak dikerjakan berhubung dengan banyaknya jenis virus
yang dapat menyebabkan penyakit ini.
Diagnosis biasanya dapat dibuat berdasarkan gejala klinis, kelainan CSS
dan perjalanan penyakit yang self-limited. Biakan CSS terhadap kemungkinan
penyebab mikroorganisme lain harus dikerjakan (fungus, leptospira,
mikobakterium) agar kemungkinan mikroorganisme penyebab lain dapat
disingkirkan.
Selain biakan CSS, pemeriksaan lain seperti uji tuberkulin, foto Roentgen
thorak, mencari sumber tuberkulosis harus dikerjakan agar dapat menyingkirkan
kemungkinan meningitis tuberkulosa.

37
2.1.8 DIAGNOSIS BANDING 1
 Abses otak
 Encephalitis
 Herpes Simplex
 Herpes Simplex Encephalitis
 Neoplasma
 Kejang demam
 Subarachnoid Hemorrhage

2.1.9 KOMPLIKASI 1-2


Komplikasi dini :
 Syok septik, termasuk DIC  Septic arthritis
 Koma  Efusi pericardial
 Kejang (30-40% pada anak)  Anemia hemolitik
 Edema serebri

Komplikasi lanjut :
 Gangguan pendengaran  Defisit intelektual
samapi tuli  Ataksia
 Disfungsi saraf kranial  Buta
 Kejang multipel  Waterhouse-Friderichsen
 Paralisis fokal syndrome
 Efusi subdural  Gangren periferal
 Hidrocephalus

2.1.10 TATA LAKSANA

Meningitis bakterial

38
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum
antibiotik yang diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan
penilaian klinis menunjukkan pungsi lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda
hingga bayi stabil. Pungsi lumbal yang dilakukan beberapa hari pengobatan awal
berikut masih menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun hasil kultur bisa
negatif.8
Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan
memeriksa tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan
jenis yang dan volume cairan, risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus
menerima cairan cukup untuk menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm
Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi jaringan yang memadai. Meskipun
menghindari SIADH adalah penting, mengurangi hidrasi pasien dan risiko
penurunan perfusi serebral sama-sama penting juga.
Dopamin dan agen inotropik lain mungkin diperlukan untuk mempertahankan
tekanan darah dan sirkulasi yang memadai.8

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik
untuk neonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut :11
 Umur 0-7 hari
-
Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100
mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau
-
Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau
-
Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5
mg/kgBB/hari setiap 12 ajm IV.
 Umur >7 hari
-
Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5
mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau
-
Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau
-
Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.

39
Bayi dan anak

Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi
dan anak dnegan meningitis bakterial sebagai berikut : 10
 Usia 1 – 3 bulan :
-
Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +
Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
-
Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
 Usia > 3 bulan :
-
Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
-
Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
-
Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +
Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan
hasil kultur dan resistensi.

Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of


bacterial meningitis adalah sebagai berikut :8
 N meningitidis - 7 hari
 H influenzae - 7 hari
 S pneumoniae - 10-14 hari
 S agalactiae - 14-21 hari
 Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu
 L monocytogenes - 21 hari atau lebih

Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial
yang menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi,
penurunan edema serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan
kerusakan otak.8

40
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae
tipe B yang mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan
insidens gejala sisa neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki
gangguan pendengaran. Oleh karena itu IDSA merekomendasikan penggunaan
deksametason pada kasus meningits oleh H.influenza tipe B 10 – 20 menit
sebelum atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 – 0,6 mg/kg setiap 6
jam selama 2-4 hari.1,8
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik
ke SSP. Oleh karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang
berdasarkan kasus, resiko dan manfaatnya.8

Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti
empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus.10
Meningitis Tuberkulosis 9
Berdasarkan rekomendasi American Academic of Pediatrics 1994 diberikan 4
macam obat selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin
selama 10 bulan.
Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi
obat anti-tuberkulosa ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik
bila terdapat kejang, koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau
muntah-muntah dan fisioterapi.

Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut:


1. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300
mg/hari.
2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari.
3. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000
mg/hari.
4. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500
mg/hari.

41
5. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu dilanjutkan dengan
tappering off untuk menghindari terjadinya rebound phenomenon.

Meningitis Viral 2
Kebanyakan meningitis viral jinak dan self-limited. Biasanya hanya perlu terapi
suportif dan tidak memerlukan terapi spesifik lainnya. Pada keadaan tertentu
antiviral spesifik mungkin diperlukan.
Pada pasien dengan defisiensi imun ( seperti agammaglobulinemia),
penggantian imunoglobulin dapat digunakan sebagai terapi infeksi kronik
enterovirus.

Herpes simplex meningitis


Manajemen antivirus HSV meningitis adalah kontroversial. Acyclovir (10 mg / kg
IV q8h) telah diberikan untuk HSV-1 dan HSV-2 meningitis. Beberapa ahli tidak
menganjurkan terapi antivirus kecuali bila diikuti dengan ensefalitis.
CMV meningitis
Gansiklovir (dosis induksi 5 mg / kg q12h IV, dosis pemeliharaan 5 mg /kg q24h)
dan foskarnet (dosis induksi 60 mg / kg q8h IV, pemeliharaan dosis 90-120 mg /
kg q24h IV) digunakan untuk CMV meningitis pada host yang
immunocompromised.

HIV meningitis
Terapi antiretroviral (ART) mungkin diperlukan untuk pasien dengan meningitis
HIV yang terjadi selama sindrom serokonversi akut.

2.1.11 PROGNOSIS
Meningitis bakterial 1
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain:
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme
3. Berat ringannya infeksi
4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan

42
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir
yang menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai
DIC mempunyai prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat
ataupun kurang adekuat dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen.
Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang
adekuat dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat
diturunkan. Walaupun kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif masih sulit diturunkan, tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-
bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan meningokok angka kematian dapat
diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens sequele Meningitis bakterialis
9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan setelah
pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain
disesuaikan dengan temuan klinis pada saat itu.1,9
Meningitis Tuberkulosis 9
Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas meningitis
tuberkulosis hampir 100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas dapat
diturunkan walaupun masih tinggi yaitu berkisar antara 10-20% kasus.
Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat. Gejala sisa masih tinggi pada anak
yang selamat dari penyakit ini, terutama bila datang berobat dalam stadium lanjut.
Gejala sisa yang sering didapati adalah gangguan fungsi mata dan pendengaran.
Dapat pula dijumpai hemiparesis, retardasi mental dan kejang. Keterlibatan
hipothalamus dan sisterna basalis dapat menyebabkan gejala endokrin. Saat
permulaan pengobatan umumnya menentukan hasil pengobatan.

Meningitis Viral 9
Penyakit ini self-limited dan penyembuhan sempurna dijumpai setelah 3-4 hari
pada kasus ringan dan setelah 7-14 hari pada keadaan berat

2.2. ANEMIA HIPOKROM MIKROSITER14


Anemia hipokrom mikositer dapat disebabkan karena
a. Kehilangan besi (perdarahan menahun)
b. Asupan yang tidak adekuat / absorbsi besi yang kurang

43
c. Kebutuhan besi yang meningkat (pada masa kehamilan dan prematuritas)

Kemungkinan yang terjadi pada anemia mikrositik hipokrom adalah


a. anemia defisiensi besi (gangguan besi)
b. anemia pada penyakit kronik (gangguan besi)
c. thalasemia (gangguan globin)
d. anemia sideroblastik (gangguan protoporfirin)

Patofisiologi anemia mikrositik hipokrom


Tergantung dari penyebabnya
1. Anemia defisiensi besi terjadi dalam 3 tahap
Tahap 1 (tahap prelaten), dimana yang terjadi penurunan hanya kadar feritin
(simpanan besi)
Tahap 2 (tahap laten), dimana feritin dan saturasi transferin turun (tetapi Hb masih
normal)
Tahap 3 (tahap def. besi), dimana feritin, saturasi transferin dan Hb turun (eritrosit
menjadi mikrositik hipokrom)

2. Anemia pada penyakit kronis


Anemia ini biasanya bersifat sekunder, dalam arti ada penyakit primer yang
mendasarinya. Perbedaan anemia ini dengan anemia defisiensi besi tampak pada
feritin yang tinggi dan TIBC yang rendah

3. Anemia sideroblastik
Terjadi karena adanya gangguan pada rantai protoporfirin. Menyebabkan besi
yang ada di sumsum tulang meningkat sehingga besi masuk ke dalam eritrosit
yang baru terbentuk dan menumpuk pada mitokondria perinukleus.

4. Thalasemia
Terjadi karena gangguan pada rantai globin. Thalasemia dapat terjadi karena

44
sintesis hb yang abnormal dan juga karena berkurangnya kecepatan sintesis rantai
alfa atau beta yang normal.

BAB III
ANALISA KASUS

Seorang anak laki-laki usia 1 tahun 3 bulan, berat badan 7,3 kg, panjang
badan 71 cm, beragama Islam, alamat Pemulutan Kab. Ogan Ilir, MRS 17 Juli
2013 pukul 20.00 WIB dengan keluhan utama penurunan kesadaran dan keluhan
tambahan demam disertai kejang.
Dari alloanamnesa Sejak ± 1 bulan SMRS, penderita mengalami demam,
tidak terlalu tinggi, hilang timbul disertai batuk (+), pilek (-). Penderita dibawa
berobat ke puskesmas dan diobati oleh dokter umum, keluhan berkurang namun
timbul lagi. Sejak ± 2 hari SMRS penderita demam (+) tinggi, demam tidak turun,
menggigil (-), batuk (-). Penderita juga mengalami BAB cair, frekuensi 3x/hari,
lebih banyak air daripada ampas, ada lendir, dan tidak ada darah. Penderita
dibawa berobat ke dokter umum, diberi 3 macam obat sirup, BAB cair tidak ada
namun demam masih ada. Sejak 1 hari SMRS, penderita masih mengalami
demam tinggi, kejang (+), frekuensi 3x/24 jam, fokal (+) (pada tangan kanan dan
mulut), lama ±5 menit, post iktal penderita tidak sadar. Penderita dibawa ke RS
Bari Palembang, lalu dirujuk ke RSMH Palembang dan dirawat di bagian anak
divisi neurologi RSMH Palembang.
Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan riwayat menderita sakit yang
sama sebelumnya (+), kejang dengan demam pada usia 5 bulan, riwayat batuk

45
berulang (+), riwayat kontak dengan penderita TB (+) tetangga sebelah rumah,
riwayat sering berkeringat pada malam hari (-), riwayat sering demam sejak 1
bulan yang lalu (+), riwayat berat badan tertinggi saat usia 1 tahun, 8,9 kg.
Riwayat sakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik penderita nampak sakit sedang, kesadaran kompos
mentis E4M6V5, nadi 120 x/menit dengan isi dan tegangan cukup , pernafasan 28
x/menit, suhu 36,6 º C, berat badan 7,3 kg, panjang badan 71 cm. Pada keadaan
spesifik didapatkan anemis (+), sklera ikterik (-), mata cekung tidak ada, cor dan
pulmo dalam batas normal, abdomen datar, lemas dan cubitan kulit kembali cepat,
dan pada ekstremitas akral dingin tidak ada. Pada pemeriksaan neurologikus
didapatkan fungsi motorik pada tungkai dan lengan berupa gerakan terbatas,
kekuatan 3 untuk tungkai dan lengan kanan serta 4 untuk tungkai dan lengan kiri,
hipertoni pada keempat ekstremitas, refleks fisiologis yang meningkat, dan pada
tungkai didapatkan refleks babinsky positif. Fungsi sensorik dan nervus craniales
dalam batas normal. Gejala rangsang meningeal berupa kaku kuduk
(-),Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-). Dari hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan adanya anemia hipokrom mikrositer disertai leukositosis,
trombositosis, LED meningkat. Pada hasil pemeriksaan lumbal pungsi didapatkan
warna cairan cerebrospinal tidak berwarna, jernih, dan tidak berbau. Jumlah
leukosit 253 sel/µl dengan sel PMN 81% dan sel MN 19%. Pandy (+), protein 0,1
dan glukosa 37 mg/dl. Pada hasil biakan didapatkan bakteri gram (+) coccus (+)
yaiitu Staphylococcus aureus.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda infeksi intrakranial seperti
gangguan kesadaran, gangguan neurologis berupa refleks fisiologis yang
meningkat dan refleks babinsky + pada kedua tungkai. Hasil ini dapat
memperkuat kemungkinan terjadinya infeksi intrakranial berupa meningitis dan
dapat menyingkirkan kemungkinan kejang demam kompleks. Pada pemeriksaan
fisik juga terdapat demam, sehingga kemungkinan penyakit seperti epilepsi dapat
disingkirkan.
Pada hasil pemeriksaan lumbal pungsi, didapatkan warna cairan
cerebrospinal jernih, tidak berwarna, tidak berbau, jumlah leukosit 253,0 sel/µ,

46
pandy (+), Nonne (-) dan glukosa 37 mg/dl. Hal ini memperkuat kemungkinan
meningitis bakterialis dimana reaksi pandy +, jumlah sel ratusan sampai ribuan,
kadar glukosa menurun < 40 mg/dl, kadar protein meningkat. Selain dari hasil
lumbal pungsi, diagnosis pasti meningitis bakterialis didapat dari hasil biakan
dimana ditemukan bakteri gram (+) coccus.
Pada hasil rontgen toraks didapatkan kesan pembesaran limfonodi hilus
kiri cenderung TB primer.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini antara lain antibiotik
ceftriaxone dengan dosis 100 mg/kgbb/hari yaitu diberikan 1 x 750 mg iv untuk
mengatasi infeksi dan profilaksis pada pasien ini. Diberikan pula golongan
glukokortikoid seperti kortikosteroid dexametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali
diberikan 3 kali sehari selama 4–5 hari . Pada pasien ini diberikan deksametason 3
x 2 mg iv, antipiretik berupa parasetamol sirup dengan dosis 10-15 mg/kgbb, pada
pasien diberikan 3x ¾ cth untuk mengatasi demam, ambroxol sirup 2 x 2,5 ml
(1/2 cth). Penderita diberikan rifampisin 100 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid
20 mg sebagai tatalaksana TB paru. Karena penderita sudah tidak kejang maka
penderita diberikan fenitoin dosis maintenance 2mg/kgbb. Penderita diberikan
diet berupa F100 8x150 cc untuk memperbaiki status gizi penderita.
Pada kasus ini,diagnosis banding meningitis bakterialis adalah meningitis
tuberkulosis, meningitis aseptik/viral dan ensefalitis viral. Ada pun perbedaan
antara meningitis bakterialis dengan ketiga penyakit ini adalah:
- Meningitis bakterialis
Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk
dan adanya tanda rangsang meningeal . Umumnya cairan serebrospinal
berwarna opalesen sampai keruh. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya
didapatkan positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter
kubik cairan yang sebagian besar terdiri dari sel polimorphonuclear
(PMN). Kadar glukosa < 40 dan kadar protein meningkat yakni 200-
500 mg/dl. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis yang
tinggi dengan pergeseran ke kiri (Shift to the left).

47
- Meningitis tuberkulosis
Gejala yang paling umum adalah demam yang tinggi, sakit kepala,
pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu biasanya penderita merasa
sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta
penglihatan menjadi kurang jelas. Selain itu, juga terdapat riwayat
kontak dengan penderita TB. Uji tuberkulin yang positif, kelainan
radiologis yang tampak pada foto roentgen thorak dan terdapatnya
sumber infeksi dalam keluarga hanya dapat menyokong diagnosis.
Pada hasil pemeriksaan lumbal pungsi, didapatkan warna jernih,
jumlah sel meningkat MN > PMN, protein meningkat diatas 100
mg/dl dan glukosa < 35 mg/dl.

- Ensefalitis
Pada ensefalitis terdapat trias yakni demam tinggi, penurunan
kesadaran, dan kejang. Pada meningitis terdapat trias juga yakni
demam kejang dan kaku kuduk. Pada pasien ini tidak terdapat kaku
kuduk karena pada usia < 1 tahun, kaku kuduk nya tidak khas.

Prognosis pada meningitis bakterialis ditentukan dari beberapa faktor yaitu


umur pasien, jenis mikroorganisme, berat ringannya infeksi, lamanya sakit
sebelum mendapat pengobatan dan kepekaan bakteri terhadap antibiotik yang
diberikan. Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik maka pengobatan
antibiotik yang adekuat dan pengobatan suportif yang baik dapat diberikan
sehingga dapat menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat meningitis
bakterialis. Maka prognosis pada pasien ini quo ad vitam dubia ad bonam dan quo
ad fungsionam dubia ad bonam.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS,


Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999.
h. 40-6, 339-71
2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Accessed May
29th,2011.
3. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting.
Pediatric Hospital Medicine, textbook of inpatient management.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.
4. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-
mega2.pdf. Accessed June 1st, 2011.
5. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
Updated: August 6th, 2009 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html. Accessed May 29th,
2011.
6. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier
saunders; 2005. h. 106-13.

49
7. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman,
Kliegman, Jenson, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-
17. Philadelphia: Saunders; 2004. h. 2038-47.
8. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed
May 29th, 2011.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2.
Jakarta: Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
10. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid 1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2010. h. 189-96.
11. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi
ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.
12. Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview. Accessed May
29th, 2011.
13. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
Updated: August 6th, 2009 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/ prevention.html. Accessed June 1st,
2011.
14. Bakta, M. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC

50

Anda mungkin juga menyukai