Anda di halaman 1dari 6

KEAGAMAAN ASLI INDONESIA

5.1 Tata alam sakral


Mereka yang menganut agama asli Indonesia percaya akan adanya suatu aturan tetap,
yang mengatasi segala apa yang terjadi dalam alam dunia yang dilakukan oleh
manusia. Aturan suprakosmis ini bersifat stabil, selaras dan kekal. Aturan itu
merupakan sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia Dari padanyalah
berasal kaidah-kaidah untuk membuat utuh hidup manusia. Di dalamnya tercantum
pola dasar tetap dan tentu, yang memberi makna kepada segala apa yang tidak tetap
dan tidak tentu Makna masing-masing perbuatan manusia itu pada diri sendiri hanya
relatif dan sementara, tetapi perlu sesuaikan dengan tata alam mutlak. Apa yang sesuai
atau selaras dalam hidup manusia dengan latar belakang mutlak itu adalah beres. Apa
yang menyimpang, tidak cocok atau menentangnya, adalah disfungsional, salah, sesat
dan merupakan dosa. Partisipasi tingkah laku manusia dalam aturan raya itu
mengangkat hidup manusia menjadi otentik, berarti dan bernilai. Demikianlah
perbuatan manusia selalu berdimensi dua (dwimatra). Satu dimensi khusus dari
perbuatan kongkret hic et nunc; satu dimensi yang memprabayangkan. latar-belakang
kekal. Dengan itu setiap perbuatan khusus bersifat simbolis, melambangkan
kenyataan yang mengatasinya. Nilai immanen mengarah ke nilai transenden. Tanda
lambang bukanlah sesuatu yang timbul di luar perbuatan manusia. Lebih penuh dan
kaya daripada mungkin dalam abstraksi atau konseptualisasi, keseluruhan eksistensi
manusia pada asalnya bersifat rujukan (referensi) kepada pola asasi dan abadi itu.
Rujukan ini tidak berdasarkan deduksi logis, tetapi lebih menyerupai intuisi. Untuk
mengungkapkan kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai lambang atau
tanda. Melalui lambang, materi menjadi pelahiran alam rohani dan hubungan manusia
dengan alam itu. Alam perlambangan memperlihatkan dan mengisyaratkan suatu
kenyataan yang mengatasi alam empiris/fenomenal. Akan tetapi pengungkapan dan
pengisyaratan lahir itu tidak melulu memberitakan adanya isi hati batin; bukanlah
merupakan pencerminan pasifa posteriori. Tanggapan atas tata batin itu sendirilah,
sesuai dengan kesatuan jiwa-badan manusia, menyatakan dan memperkembangkan
tata batin itu. Tanpa lambang lahir, hidup batin tinggal samar-samar dan merana. Itu
pun berlaku baik bagi manusia perseorangan, maupun bagi manusia dalam ikatan
kemasyarakatan.

Demikian pula tanda-tanda berlambang merupakan unsur mutlak dalam sikap


manusia terhadap hakekat terakhir hidupnya. Terdapat dua macam tanda penting:
mitos asal, yaitu cerita yang menafsirkan makna hidup berdasarkan kejadian purba.
Mitos asal suku bangsa atau mitos asal padi dan lain-lain memberi petunjuk untuk tata
kelakuan. Ritus atau upacara adalah kelakuan simbolis yang mengkonsolidasi atau
memulihkan tata alam dan menempatkan manusia dan perbuatannya dalam tata
tersebut.Dalam ritus dipergunakan kata-kata, doa dan gerak-gerik tangan atau badan.
Baik mitos maupun ritus bermakna mengokohkan tata-rencana alam raya semula dan
diharapkan akan mempartisipasikan hidup seluruh umat dalam tata keselamatan.
Kelakuan simbolis manusia yang mengharapkan keselamatan itu punya banyak
bentuk: menceriterakan kembali mitos asal, mementaskan isi mitos, melakukan
upacara adat, menghadirkan tata alam dalam tari-menari, cara khusus menanam atau
mengetampadi, beraneka perayaan, kurban, makan bersama (selamatan), penegasan
jenjang peralihan dalam hidup dan lain-lain. Sebenarnya seluruh jemaah
berpartisipasi; tiada perbedaan antara suku bangsa sebagai kesatuan sosio-ekonomis
dan sebagai kesatuan beriman dan berbakti. Bangsa menjadi umat, masyarakat
menjadi kaum beriman. Karena kesatuan itu bersifat rapuh dan genting, sering kali
timbullah ahli keagamaan yang secara profesional menjamin berlangsungnya
keselamatan. Spesialisasi itu menyebabkan mereka menjadi imam atau pengantara
antara umat dan hakekat abadi, sehingga umat hanya berpartisipasi melalui wakil,
tidak secara langsung. Dalam perayaan besar seluruh umat merayakan
keselamatannya secara bersama.

5.2 Tata alam serba dua namun bersatu

pengakuan akan adanya tata alam yang menaungi itu ada kalanya sampai mengganti
paham ketuhanan, ada kalanya dipegang bersama dengan iman kepada Tuhan yang
berpribadi. Tetapi kedua kepercayaan itu mengendalikan adanya tata kosmis sakral
yang berlainan dari tata hidup profan; berlainan, namun berhubungan. Dalam agama
asli itu terdapat kerinduan eksistensial manusia untuk mengarah ke keselarasan,
keseimbangan, kerukunan, harmoni dan damai, tanpa meleburkan pribadi ke
dalamnya. Manusia mengalami celah dalam hidupnya, ketegangan dan perceraian
antara cita-cita mulia dan realitas bengis. Karena itu ia harap agar hidupnya disinari
dan ditingkatkan oleh kontak dan partisipasi pada kenyataan yang lebih tinggi. Ini
memang mengarah kepada suatu unifikasi atau penyatuan, tetapi bukanlah kesatuan.
Ujud abadi dan ujud insani tidak luluh atau lebur Pola sakral meresapi tata profan,
tidak menggantinya.

Corak dwitunggal dalain melaksanakan tugas hidup itu adalah khas Indonesia. Dalam
alam pikiran India, misalnya, hasrat untuk mencapai kesatuan mutlak mengorbankan
kepribadian manusia. Jiwa manusia lebur dalam aturan universal. Ujud keinginan
masing-masing aliran keagamaan Hindu adalah kesatuan saja tanpa dualitas,
ekagrhabuddhi, eka advaytian, isolasi purusa dari prakrti anatta dan nirvana. Di
Indonesia kedwiragaman insani memang dipertanyakan oleh kesatuan atas, tetapi
tidak hapus. Baru kemudian diartikan dan diterapkan kepada dunia profan.Dengan
demikian manusia menghayati eksistensinya dalam dua dimensi, dua arah, yang tidak
disamakan namun tetap terjalin satu dengan yang lain. Arahnya ke atas menuju
kepada yang inggi, yang surgawi, yang ilahi. Yang atas itu digabungkan dengan
kehidupan, kebebasan, cahaya, kekal, yang baik dan yang suci. Sepadan dengan
pengarahan itu manusia dan dunia. Dimensi rendah dan merata. sama manusia
sepatutnya.

Polarisasi antara dimensi vertikal dan horisontal membuat manusia menjadi parah
keadaannya dan merana ibarat burung yang sayapnya lumpuh ataupun awan tinggi
yang tidak dapat menyuburkan bumi. Tetapi bila kedua dimensi bersatu padu, manusia
selamat Manusia mengiakan kedwiartian hidupnya dengan simbol, dengan ritus,
dengan upacara kecil sehari-hari, dan dengan perayaan upacara besar dan men1a ah
secara periodik. Perpaduan dua dimensi itu lazim dikiaskan oleh hierogami,
perkawinan surga dan dunia.

5.3 Perayaan upacara dasar (Core-ritual)

Pada kebanyakan agama asli indonesia sewaktu-waktu dirayakan suatu upacara besar
untuk konsolidasi tata alam yang berganda dua itu berkat konsolidasi itu manusia
menginkorporasi hidupnya yang penuh duka nestapa ini kedalam dimensi vertikal ke
mana dia dipanggil. Itulah konsolidasi progresif baik untuk orang-seorang maupun
untuk seluruh umat. Selain itu diperlakukan konsolidasi insidental bila hubungan baik
antara manusia di bumi dan tata tertib di atas terbengkalai. Hubungan baik itu hancur
oleh kesalahan manusia, disusul oleh azab dari surga yang nampak dalam bencana
alam, wabah, gempa bumi, kemarau panjang dan lain-lain. Situasi kritis itu disebut
pralaya, ktayuga, gara-gara, kisa Upacara besar ini berdaya untuk memperbaharui
dunia, melukat (meruwat) segala apa yang usang dan lapuk Berkat upacara besar
seluruh tata alam dan seluruh umat dipulihkan bersama-sama. Dari arti Dalam semua
perayaan itu diperbedakan tiga tahap: acara ini, maka upacara-upacara kecil dalam
lingkungan rumah tangga dan dalam peralihan jenjang hidup perorangan memperoleh
khasiatnya. Begitulah upacara dasar itu (core-ritual) mengesahkan upacara lain
(derivated rituals). Di berbagai daerah core-ritual punya nama sendiri, misalnya:
Bali :Karya Pusa Pancawalikrama,Melelasti
Batak :Horja Bius mangase taon
Dayak :Siwak, Tiwah, Wara, Helat nyelo,
Jawa :Craddha (kuno, Merti desa, Riyaya
NgadaFlores) :Reba
Nias. :Boro N'adu
Sawu :Woru Hanga Dimu
Toraja :Ma'bua, Merok, Alok to Mate, Mesalia
Nusa Teng :Poreka, Worru hanga dimu, Katoda Paraingu
Gara Timur

Dalam semua perayaan itu dibedakan tiga tahap yaitu:

1. masa berkabung, menyesal kesalahan dan mohon ampun (metanonia)


2. pementasan, penghadiran tata dunia aslinya baik, mengingatkan kembali atau
menceritakan asal, disertai doa dan kurban (katharsis);
3. kegembiraan dan hiburan karena umat ditebus dari malapetaka dan berhubungan
baik kembali Dengan tata dalam sakral (paripatua)

5.4 contoh upacara besar


5.4.1. dalam kurban perayaan besar pada orang toraja-Sa'dan bakti
manusia kepada Tuhan (Puang Matua) dan keselamatan bagi umat
terjalin. Kurban bakti disebut rambu tuka, (asap mendaki), mengrambu
langi (menyelubung langit). Pada persiapan kurban itu umat mengaku
dosanya dan mohon ampun kepada Tuhan (Ma'pallin) dengan doa syukur
(ma'totumbang). Dengan cara itu tata damai antara Tuhan dan umat
dipulihkan yang disimbolkan dalam rambu solo' (asap meluas kepada
semua hadirin).
5.4.2. Di istana para sultan di jawa secara periodik diadakan tarian sakral
yang namanya bedhoyo ketawang (tarian langit), suatu pemujaan atau
persembahan kepada Allah untuk memohon restu dan berkat dari raja dan
kawulannya. Sebelum tarian dipentaskan diadakan sebuah ritual labuh
atau warung (korban) pada keempat ujung kerajaan. Bedhoyo Ketawang
besar hany dilakukan sekali Sewidu yang kecil pada kesempatan
penobatan raja baru atau perkawinannya, ditambahkan dengan symbol-
simbol yang sesuai. Semua symbol, gunung, pohon, dimensi diatas dan
dibawah kosmos, mendapatkan tempatnya. Dengan demikian upacara ini
mempralambangkan keselamatan definitif dan penuh sebagai bayangan
dari kenyataan.

5.5 Contoh upacara harian

Tamasya upacara-upacara keagamaan asli terlalu luas, sehingga tidak dapat dinikmati
dalam waktu singkat. Cukup diberi beberapa contoh saja sebagaimana seseorang
pramuwisata menunjukan beberapa tempat indah yang sanggup menghasilkan kesan
umum.

5.5.1. Upacara mulai panen padi


diseluruh Indonesia saat orang mulai mengetam padi dirayakan secara
meriah. Orang Jawa menyebut upacara itu wiwit. Pada malam sebelum
mulai pemtongan padi (wiwit panen), yang harus terjadi ada hari ang
tumbuh ‘satu dari petangan antara suku-watu-gajah-buta, para petani
mengadakan upacara wiwit, menghormati dewi padi (Dewi Sri, mBok
Sri, Ni Pohaci Sangyang Sri, Dewi Tisnawati). Pawai para petani
diadakan bersama seorang ahli mantera (pawing puluh, balian) dan anak-
anak kecil. Alat (ubarampe) seperti janur kuning, bunga, kembang
setamaan, kemenyan, kaca, suri, kendi, api, pembelian pasar (garut,
midra, gembili, uwi, kacang, slondok), bungkusan nasi pisang dibawa
sambil bakar kemenyan, sambil pawing mengucapkan mantra.
5.5.2. Upacara membuat rumah
Bila didaerah Sikka dibuat rumah, semua alat, parang, kapak dan pahat
dilumasi dahulu dengan kurban darah babi. Bahkan bangunan diruwat
juga. Doa diucapkan untuk mengusir roh jahat dari tempat rumah akan
didirikan. Upacara sekitar pembangunan tempat kediaman dikenai di
seluruh kepulauan. Digunakan persembelihan, penanaman kepala kerbau,
keduri, walaupun sekedar formalitas akan tetapi meliputi pembangunan
dengan suasana sakral asli.
5.5.3. Pemberkatan desa

Didaerah Manggarai (Flores Barat) didirikan desa baru, orang-orang


mengadakan upacara Sese Sosok. Penduduk kampung bersama-sama
membeli seekor kerbau jantan, dua babi jantan dan tiga ayam merah.
Seorang pemuka agama yang disertai tiga pengurus untuk masing-masing
jenis hewan korban bersama pengurus tuak, memimpin upacara.
Tugasnya menunjukan tempat di muka dan di belakang kampung untuk
kedua naga pelindung desa.

5.6 Doa dan Sembahyang


Sebagaimana halnya disetiap agama, demikianpun agama asli di Indonesia mengenai
doa sebagai unsure utama dalam upacara keagamaan. Doa dalam suasana Deisme
jarang mengungkapkan cetusan hati atau percikan cahaya iman kepada Tuhan yang
berpribadi. Sudah menjadi kebiasaan doa diucapkan dalam bahasa gaib, kuno, padat
dengan kata pungutan yang sudah tidak dimengerti.

5.7 Upacara peralihan


Ritus asasi (Core-ritual) yang diperagakan dalam upacara dasar secara periodik dan
kolektif, diulangi dan diterapkan dalam sejumlah ritus khusus yang bersifat insidental
dan perorangan. Ritus-ritus ini disebut life-cycle rituals, rites de passage, upacara
peralihan, tapi peranui, aluk tau, manusayajna, upacara, upakara, sanskara.

5.7.1 Upacara peralihan dan ketujuh sakramen


Hayat fisiologis manusia melalui beberapa taraf : orok-bayi, akil-balig,
dewasa, suami, tua renta, dan mati. Bersama dengan sikap manusia terhadap
kenyataan hidup. Sepadan dengannya sikap terhadap kenyataan rohani. Hal itu
dalam alam pikiran dilukis di sini berarti manusia dalam setiap taraf hidup
wajib mengintegrasikan diri semakin erat dalam tata tertib azali. Oleh karena
itu perayaan dasar dimaksudkan untuk konsolidasi atau pemulihan seluruh
jemaat di bawah naungan langit bagaimanapun pemahamannya. Setiap
upacara merupakan tempat mengarah ke kelepasan, pemudaran, pemulangan
dan realisasi diri, yang dapat diperbandingkan dengan penebusan dosa. Pada
tiap taraf kehidupan jasmani manusia menghadapi bahaya, kesialan,
kegagalan, musibah.

5.7.2 Unsur-unsur umum


Ada beberapa unsur yang terdapat dalm beberapa agama yaitu untur agama
dan unsur profan, unsur perseorangan dan unsur sosial. Doa menyertai semua
upacara. Puasa, tapa, pantang, jaga semalam, tirakat, nyepi, dan berbagai
matiraga larangan, pepali yang dilakukan, menekankan bahwa pelaku masuk
dalam kondisi sacral. Ziarah menyadarkan kondisi manusia sebagai
pengembara didunia yang hanya mampir ngombe (singgah minum) disini.
Ziarah itu menuju tempat suci, pepuden, pura, watu kelupang, watu mahang,
pohon beringin ataupun makam para leluhur, nenek moyang. Padusa
pembersihan, permandian yang melambangkan bagaimana manusia kembali
kepada status kelahiran semula, agar bersih dari noda dan kesalahannya, lahir
kembali sebagai manusia baru.

Anda mungkin juga menyukai