Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali merupakan salah satu pulau diantara beribu pulau yang ada di Indonesia, Bali
cukup memiliki nama di dunia Pariwisata, sebelum menjadi Bali seperti sekarang
jauh beribu tahun yang lalu Bali mengalami masa-masa peralihan dari masa pra-
aksara ke masa Bali Kuno ke masa Bali Madya dan Bali Modern. Pada masa Bali
Kuno, Bali sudah memiliki hubungan cukup baik dengan pulau yang berada di luar
Bali bahkan hubungan perdagangan dengan Luar Negeri seperti India, Cina, dan
beberapa negara di Kawasan Asia Tenggara. Berbagai kelompok sosial diperkirakan
telah ada pada zaman Bali Kuno antara lain sebagai berikut: kelompok sosial yang
bergerak di bidang pertanian (kasuwakan/subak), kelompok pertukangan(undahagi),
kelompok pande, kelompok seniman, kelompok perajin, dan lain-lain. Selain sudah
muncul kelompok sosial adapun hal-hal menarik seperti pembagaian warisan dan
gender. Aturan pembagian harta waris tanggungan dalam kehidupan keluarga Bali
Kuno itu, berlaku cukup konsisten hingga Perbedaan pembagian harta waris tersebut
secara implisit mencerminkan aspek gender, di mana kedudukan atau status sosial
kaum laki-laki (purusa) dipandang lebih tinggi atau lebih penting daripada wanita
(pradana) atau dapat dikatakan terjadi hegemoni laki-laki terhadap wanita.
Salah satu bidang pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat Bali Kuno adalah
perdagangan. Masyarakat melakukan aktivitas perdagangan didorong oleh kebutuhan
barang-barang yang tidak terdapat di suatu tempat, namun terdapat kelebihan barang
di tempat lain. Beberapa istilah perdagangan yang disebutkan dalam prasasti
diantaranya: pken ‘pasar’, menghalu ‘pedagang keliling’, pamanehan pamli’pajak
atau iuran jual beli’ dan lain-lain. Pada masa Bali Kuno sudah dikenal adanya kata
“peken” pada beberapa buah prasasi yang telah dibaca memberikan jawaban, bawa
penduduk telah mengenal perdagangan . kata “peken” sampai sekarang masih
dipergunakan penduduk Bali, dan berarti pasar. Di pasar terjadinya persetujuan
pertukaran diantara penjual dengan pembeli dengan tidak merasa merugikan kedua
belah pihak.Zaman Bali Kuno pertanian dengan sistem irigasipun cukup berkembang
sehingga hasil pertanian yang diperoleh akan dimanfaatkan sebagai bahan makanan
serta dijual. Ada dua jenis pertanian pada zaman ini yaitu pertanian Lahan kering
meliputi : pertanian di ladang, pertanian di tegalan, pertanian di kebun dan ada
pertanian lahan basah seperti sawah, pada pertanian lahan bahas mmeiliki proses
yang sangat panjang, seperti amabaki,amaluku dan lain-lain. Perikanan dan
peternakan pun masuk ke dalam sub sektor pertanian. Alat pembayaran pada zaman
ini berupa uang emas, perak dan uang kepeng.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat ditarik beberapa rumusan
masalah, sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimanaaspeksosialpadamasyarakatbalikuno ?
1.2.2 Bagaimanaapekekonomipadamasyarakatbalikuno ?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu :
1.3.1 untukmengetahuiaspeksosialpadamasyarakatbalikuno
1.3.2 untukmengetahuiapekekonomipadamasyarakat bali kuno
1.4 Manfaat
Manfaatdaripenulisanmakalah ini adalah
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis makalah ini berdasarkan sumber-sumber atau referensi-
referensi yang menyangkut pada pemahaman mengenaiaspek sosial ekonomi
msyarakat bali kuno
1.4.1 Manfaat Praktis
Dengan makalah ini pembaca dapat memahami konsep aspek sosial
ekonomimasyarakatbalikuno

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aspek Sosial Pada Masyarakat Bali Kuno

2.1.1 Kelompok sosial

Berbagai kelompok sosial diperkirakan telah ada pada zaman bali kuno antara
lain sebagai berikut: kelompok sosial yang bergerak di bidang pertanian
(kasuwakan/subak), kelompok pertukangan (undahagi), kelompok pande, kelompok
seniman, kelompok perajin, dan lain-lain.

Terkait dengan keberadaan lembaga subak, dalam prasasti raja purana


klungkung yang berasal dari zaman raja anak wungsu ada disebutkan istilah
kasuwakan yang diperkirakan berasal dari kata dasar suwakatau subak. Subak
merupakan pertanian tradisional yang mempunyai tugas pokok mengurus dan
mengatur sistem pengairan disawah. Kelompok pertuka ganundahagi dibagi menjadi
beberapa kelompok yang lebih khusus sesuai dengan keahlian atau keterampilan yang
dimilikinya, seperti undahgi pengarung (tukang membuat trowongan bawah tanah
untuk saluran irigasi) undhagi watu (tukang memasang batu untuk membuat tembok
bangunan) undahgi kayu (tukang kayu) undahagi lancing (tukang membuat
lancing/jukung, danun dahagi rumah (arsitek rumah)

Kelompok pande bergerak di bidang pegerjaan logam untuk membuat


perbagai perkakas pertanian senjata dan perhiasan. Dalam prasasti kuno di sebutkan
pande Besi, pande mas, pande tambra (pande tembaga) dan pande kangsa (pande
perunggu) sementara kelompok seniman terdiri atas seni suara, seni musik dan seni
petunjukan. Terkait dengan seni suara dalam prasasti disebutkan agending
(menyanyi), pagending (penyanyi/pasinden). Seni music diantaranya asuling (peniup
seruling, abonjing, banjur, paradaha ( penabuh gendang) dan lain-lain. Kelompok seni
pertunjukan diantaranya, atapukan (penari topeng) pelawk, wayang, dan seni
pertunjukan lainnya.

Semua kelompok-kelompok seniman tersebut tampanya terorganisir


sedemikian rupa dalam sistem pengupahan, dan juga dikenakan pajak penghasilan
dari pemerintah.

2.1.2 Lapisan Sosial

Strata sosial (lapisansosial) merupakan sistem tata kelakuan dan  hubungan


yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam

3
masyarakat. Apabila dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai maka hal itu akan
menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam
masyarakat (stratifikasi sosial). Sesuatu yang dihargai di dalama syarakat itu mungkin
berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin juga berupa tanah,
kekuasaan, ilmu pengetahuan atau juga keturunan dari keluarga yang terhormat Lebih
lanjut dinyatakan, stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat kedalam kelas-
kelas sosial secara bertingkat.

Walaupun pada zaman Bali Kuno belum disebutkan tentang stratifikasi sosial secara
ekplisit, namun lapisan sosial tersebut tentu juga sudah dikenal. Lapisan sosial pada
masa itu dapat diidentifikasikan dari gelar yang dipakai oleh para pejabat
pemerintahan, maupungelar spiritual (kependetaan) atau terminolog stratifikasi sosial
lain yang lazim dikenal dalam masyarakat Hindu seperti halnya kasta. Mengingat
pada Zaman Bali Kuno sudah dikenal sistem pemerintahan yang berlampis lapis,
yaitu tingkat pusat, daerah dan tingkat desa, tentu hal ini mempengaruhi penggunaaan
gelar dan peranan mereka dalam istem pemerintahan yang secara implisit
mencerminkan stra sosial dalam bidang kekuasaan.

Lapisan sosial dalam bidang agama tercermin darı gelar kependetaan yang
digunakan oleh para tokoh agama seperti dang acaryya sebagai gelar tertinggi untuk
pendeta Ciwa, sedangkan gelar dang upadhyaya lazim digunakan oleh para tokoh
pendeta Budha. Mereka tentu sangat dihormati karena kesucian dan pengetahuannya
di bidang agama, ketatanegaraan (politik), dan astronomi yang menempati posisi
penting dalammasyarakat. Terkait dengan keberadaan stratifikasi sosial yang lazim
dikenal dalam komunitas Hindu yaitu kasta, sebelum pemerintahan Raja Udayana
sebenarnya sudah disebutkan terminologi brahmawangsa (wangsa brahmana), tetapi
belum dapat dipastikan apakah pada saat itu sudah dikenal catur kasta secara utuh
dala masyarakat. Sementara itu, ungkapan tentang kasta secara utuh dan eksplisit baru
muncul pada zaman pemerintahan Raja Anak wungsu (tahun 971-999 ska atau 1049-
1077 masehi)

Dibawah lapisan catur kasta, khususnya di bawah komunitas sudra tersebut,


tampaknya masih ada lapisan sosial yang lebih rendah, yaitu kelompok sosial yang
hak asasinya tergadaikan akihat berbagai hal. Dinyatakan empat macam
hamba/budak, yakni

1) Grehaja : yaitu menjadi hamba karena kelahiran


2) Dwajaherta : menjadi hamba karena penaawanan (kalah dalam
peperangan)
3) Bhakta dasa : menjadi amba untuk memperoleh makanan

4
4) Danda dasa : yaitu mereka menjadi hamba karena tidak mampu
membayar denda (utang)

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap teks prasasti tampakknya kebanyakan


kelompok masyarakat yang tergolong hadyan hulun rbwang (budak) pada zaman bali
kuno terjadi karenakasus utangpiutang.

2.1.3 Pembagian Harta Warisan Dan Gender

 Hak-hak pembagian waris pada zaman Bali Kuno cukup sering disebutkan
dalam prasasti, khususnya pembagian harta waris dalam kehidupan berumah tangga.
Kehidupan berumah mencerminkan unit terkecil kehidupan sosial ekonomi dalam
masyarakat Bali Kuno. Sehubungan dengan itu, Murdock kan bahwa keluarga inti
merupakan pengelompokan sia yang paling universal, terdapat di segala tempat dalam
segala zaman, meskipun bentuknya mungkin sedikit berbeda-beda. Fungsi keluarga
inti selalu sama, yaitu hubungan seksual yang mendapatkan pengesahan masyarakat,
fungsi ekonomi, fungsi pengembangan keturunan, dan fungsi pendidikan bagi anak-
anak ilahirkan di dalam lingkungan keluarga tersebut.

Dalam mengarungi kehidupan berkeluarga, tidak selalu berjalan mulus dan


sesuai dengan harapan. Terkadang satu di antara pasangan suami-istri itu meninggal,
atau keluarganya putung, sehingga menimbulkan permasalahan dalam menentukan
penghibahan harta kekayaan keluarga (gono-gini). Untuk mencegah terjadinya
permasalahan dalam menentukan pembagian harta waris enn àn (dalam kehidupan
keluarga, pemerintah kerajaan pada Zaman Bali Kuno telah menentukan aturannya
Sejak awal zaman Bali Kuno, seperti terekam dalam prasasti Trunyan AI Caka 833
atau tahun 911 M sudah disebutkan pembagian harta waris dalam kehidupan
keluarga. Dalam ketentuan itu, di antaranya diuraikan, jika ada kematian (uparata) di
desa atau keluarga, yang menyebabkan terjadinya janda/duda ( krangan mavalu)
maka ditentukan pembagian harta h warisnya dengan istilah suhunan -tanggungan,
yaitu perbandingan nshak waris satu bagian ( suhunan- habhagi) untuk istri (babini)
dan dua bagian (tanggungan atau dwang bhagi) untuk suami (maruhani/ laki-laki).
Jika suami yang meninggal, 2 bagian akan diambil oleh lembaga desa (lembaga adat)
untuk upacara kematiannya, dan satu bagian untuk istrinya yang menjadi janda (balu
luh).

Demikian yang meninggal, satu bagian (habhagi) diambil oleh lembaga desa


(lembaga adat) untuk beaya upacara dan beaya lainnya, dan dua bagian (duang bhagi)
menjadi hak menduda (balu mu ada referens dalam pawarisnya Kemudian
diungkapkan, jika keluarga itu cuput ng ainnya, an), Dalam hal ini kita kehilangan
jejak atau praasasti yang dapat diacu bagaimana hak ahli ampung), maka harta

5
kekayaan keluarga itu akan jatn menjadi kas lembaga adat atau pemerintah, setelah
terlebih dahu dikurangi dengan beaya upacara kematian ruh Aturan pembagian harta
waris tanggungan dalam kehidupan keluarga Bali Kuno itu, berlaku cukup konsisten
hingga sosial yang khi. Perbedaan pembagian harta waris tersebut secara implisit
mencerminkan aspek gender, di mana kedudukan atau status sosial kaum laki-laki
(purusa) dipandang lebih tinggi atau lebih penting daripada wanita (pradana) atau
dapat dikatakan terjadi hegemoni laki-laki terhadap wanita. Perlu dipertanyakan
mengapa status sosial kaum laki-laki dipandang lebih penting atau lebih tinggi
daripada zaman Bali Kuno. Dari pada Sehubungan dengan itu, ada pemikiran yang
menyatakan bahwa hegemoni kaum laki-laki terhadap wanita diperkirakan
mempunyai akar sejarah yang telah lama dan sangat "dalam" Munculnya hegemoni
laki-laki terhadap wanita diawali oleh adanya pembagian kerja secara seksual.
seorang Fungsionalis, menjelaskan seperti berikut Peran yang didasarkan atas
perbedaan seksual selalu terjadi.

Hal ini sudah menjadi kenyataan yang tidak bisa dibantah dan terjadi di mana-
mana, meskipun bentuknya mungkin tidak selalu sama Pada setiap kebudayaan,
wanita dan laki-laki diberi peran dan pola tingkahlaku yang berbeda-beda untuk
saling melengkapi perbedan badaniah dari kedua makhluk ini. Pembagian peran ini
berfungsi melengkapi kekurangan kedua jenis manusia ini, agar persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat dapat dipecahkan dengan cara yang lebih baik.
Diungkapkan bahwa dalam satu keluarga, ada dua fungsi yang harus dikembangkan
secara khusus, yakni mendidik anak-anak dan memproduksi makanan. Karena
keluarga selalu terdiri atas seorang laki laki seorang wanita. Maka akan sangat
menguntungkan.

Terkait dengan sistem pembagian waris dalam kehidupan keluarga,


diperkirakan mulai terjadi ketika teknologi manusia sudah mulai berkembang dan
keahlian untuk beternak dan bertani 20). Pada masa ini, tanah menjadi sesuatu yang
penting sebagai alat produksi. Keadaan ini memungkinkan terjadinya pengumpulan
harta benda sebagai kekayaan pribadi. Dalam pembagian kerja pada keluarga, laki-
laki mendapatkan tugas untuk mengurusi makanan. Laki-laki menguasai alat-alat
produksi dan mempunyai peluang untuk mengumpulkan kekayaan secara berlebihan.
Pada saat ini muncul bentuk keluarga baru, yakni perkawinan pasangan 2 Seorang
laki-laki atau wanita merasa perlu untuk memiliki satu istri atau satu suami utama
(monogami), walaupun terkadang terjadi penyelewengan seksual. Bersamaan dengan
dipaksakannya sistenm monogami, juga dipaksakan sistem patriarkal, yaitu suatu
sistem di mana laki-laki kemudian menguasai wanita dalam segala bidang, termasuk
pewarisan harta kekayaannya menurut garis keturunan laki-laki (purusa).

6
2.1.4 Kesenian

Kesenian merupakan 7 unsur universal kebudayaan. Kesenian selalu


mempunyai peranan tertentu di dalam masarakat penduungnya. Secara sederhana
dapat pula di artikan bahwa seni tidak dapat dilepaskan dari unsure keindahan, dan
keindahan merupakan bentuk penampilan alam.

Jhon Hospers memberikan tentang seni berbagai lawan dari alam, dalam
artian yan seni meliputi setiap benda yang dibuat oleh manusia seni juga disampaikan
oleh Leo Tolstio yang menyatak senantiasa dikaitkan dengan sesuatu produk
kesenian, ata seni adalah aktivitas manusia secara sadar dengan perantar tanda-tanda
lahiriah tertentu menyampaikan perasaan-perasaan lain, sehingga orang lain yang
telah dihayatinya kepada orang itu ikut merasakan perasaan-perasaan seperti yang ia
alami karya seni adalah karya manusia yang memuat imajinasi dan dengan
menggunakan teknik tertentu yang didapat melalui upaya.menyatakan, imajinasi
tersebut melalui bentuk-bentuk terancang pencarian yang disengaja Kesenian dapat
dipandang sebagai pelbagai bentuk perasaan indah yang dapat menimbulkan
kepuasan bagi diri sendiri maupun orang lain. Ekspresi perasaan indah seperti
terwujud dalam bangunan, arca, gambar, bunyi-bunyian atau suara, gerakan, sastra
dan lain sebagainya. Dimensi estetis kehidupan manusia memberi ruang seluas-
luasnya untuk mewujudkan dan menyatakan segala sesuatu yang dialami dan
dirasakan.

Pengalaman dari perasaan manusia adalah universal dengan bentuk


ekspresinya beraneka ragam Di sen menurut corak dan gaya tersern diri atau khusus.
Kekhususan ini menunjukkan watak tertentu dari kebudayaan dan kepribadiannya.
Jelaslah bahwa seni pada hakikatnya menjadi lambang identitas ser per per par
kelompok yang memilikinya Berbagai tinggalan arkeologi yang tersebar di Bali
seperti arca arca dewa, arca perwujudan leluhur, lingga yoni, candi petirtaan, dan
berbagai bangunan lainnya. Pembuatan suatu arca yang dipaka sebagai media
pemujaan harus mengikuti aturan-aturan dan perhitungan yang tepat. Ketentuan-
ketentuan mengenai pembuatan arca dimuat dalam kitab-kitab India Kuno seperti
Nirukta, Kanika Karanagama, Silvasastra dan sebagainya. Sementara itu, ketentuan
pe ba untuk membuat bangunan keagamaan termuat dalam Manasara, Silpaprakasa,
Brhat Samhita, Bravistya Purana, dan yang kitab lainnya.

Pembuatan arca-arca dan bangunan pemujaan pada satu merupakan


seperangkat media untuk melaksanakan ibadah dan pada sisi lain juga dipandang
sebagai benda yang dalam penggarapannya melibatkan banyak pihak terutama para

7
seniman misalnya para pemahat. Mercka yang memiliki keterampilan pahat-
memahat atau seniman ukir dalam prasasti lazim disebut salupika atau sulpika 
Bahkan ada pula salupika yang khusus menggarap emas yang disebut dengan
salupika mas yang khusus menggarap tembaga disebut sulpika tambra, dan penggarap
besi uap Pat disebut sulpika wsi Di samping seniman dengan media garap berupa
material seperti di atas justru sumber-sumber tertulis berupa prasasti lebih banyak
yang mengacu kepada seni pertunjukan. Untuk menyebut keseluruhan kelompok seni
pertunjukan digunakan istilah bhandagina. Mereka yang menyandang predikat
bhandagina, yakni gera mereka yang pada dewasa ini dikenal sebagai seniman ata Di
antaranya, ada yang terampil dalam seni suara, seni tabuh seni gerak atau seni tari,
dan seni pedalangan.

Di dalam prasasti keberadaan kelompok-kelompok sosial atau seniman-


seniman aktivitas mereka yakni agending (menyanyi) menunjukkan adanya penyanyi
asuling (meniup seruling) menunjukkan adanya juru suling (pemiup
seruling),abonjing (memukulbonjing) menunjukkanadanyapemukul/ penabuh
bonjing, atapukan (menarikan topeng) menunjukkan adanya penari topeng, abanwal
dan pirus menunjukkan adanya pelawak, isepert parpadaha (permainan kendang)
menunjukkan adanya juru kendang atau penepak kendang, dan apukul (menabuh)
menunjukkan adanya vangdpenabuh gamelan. Terdapat pula petunjuk bahwa di Bali
pada waktu itu telah ada orang-orang yang terampil menabuh calung (sejenis
perangkat alat musik yang terbuat dari perunggu atau bambu), menabuh galunggang
ptung (sejenis perangkat alat bunyi- bunyian yang terbuat dari bambu betung), dan
menabuh salunding wsi (perangkat alat musik yang sumber bunyinya terbuat dari
besi) Mereka yang terampil dalam seni suara atau sebagai penyanyi (pagending),
mereka yang terampil dalam dunia pewayangan.

2.2 Aspek Ekonomi Masyarakat Bali Kuno


Kegiatan ekonomi merupakan salah satu perwujudan adaptasi manusia
terhadap lingkungannya. Sejak masa prasejarah manusia telah menyelenggarakan
kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun kebutuhan yang
mendorong perkembangan ekonomi, pada awalnya hanya bersumber pada masalah
untuk memenuhi kebutuhan hidup/biologis, akan tetapi seiring berjalannya waktu
kegiatan ekonomi meluas menjadi kebutuhan sosial.

2.2.1. Hak Raja Atas Tanah pada Masa Bali Kuno

Prasasti merupakan sumber tertulis yang memberikan berbagai informasi


tentang sosial budaya dan ekonomi masyarakat Bali Kuno. Berbagai ketentuan

8
mengenai pembebasan pajak yang semula harus dibayar oleh penduduk kepada raja
untuk suatu daerah yang ditetapkan sebagai sima ataupun jataka. Kewajiban pajak
yang semula harus dibayar kepada raja melalui penjabat kerajaan, selanjutnya
dialihkan untuk kepentingan upacara atau pemeliharaan bangunan suci. Pajak yang
warus di bayar oleh rakyat sesungguhnya terkait dengan hak raja atas seluruh
wilayah kerajaan. Dalam kitab wanawa Dharmasastra disebut bahwa raja berhak
menetapkan dan memungut pajak atas seluruh tanah kerajaan, dan wajib melindungi
rakyat dari segala ancaman dan bahaya (pudja dan sudarta, 1977/1978:389, 393).
Dengan kata lain, kitab Wanawa Dharmasastra tidak secara eksplisit menyebutkan
tentang Hak milik raja atas seluruh tanah kerajaan.

Kepemilikan atas tanah pada masa Bali Kuno menjadi sangat penting untuk
diketahui karena merupakan sumber produksi dalam masyarakat agraris. Beberapa
prasasti Bali Kuno menyebutkan tentang adanya keterangan mengenai anugerah dan
penjualan sebidang tanah milik raja kepada penduduk desa untuk keperluan pertanian,
di sisi lain raja juga membeli tanah untuk ditetapkan sebagai jatakal sima atau
perdikan untuk bangunan suci. Fenomena ini mengatakan bahwa raja tidak memiliki
seluruh tanah kerajaan, karena sebagai penguasa ia juga harus memebeli tanah untuk
tujuan tertentu.

2.2.2 Pertanian
Bali pada masa lalu marupakan salah satu kerajaan agraris yang ada di bumi
Nusantara ini. Dikatakan demikian, karena sebagian besar kehidupan penduduknya
tergantung dari hasil tanah, sehingga tanah pada waktu itu bahkan mungkin sampai
saat ini merupakan sumber subsistansi atau sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dalam kehidupan manusia. Oleh karena
sedemikian pentingnya keberadaan tanah dalam kehidupan manusia, maka sudah
semestinya dalam pemanfaatannhya dikelola dengan baik, agar tidak menimbulkan
ujuan konflik kepentingan. Salah satu pemanfaatan tanah yang akan di bahas di sini
yakni pemanfaatan untuk kepentingan pertanian Praktik pertanian sesungguhnya
merupakan bagian dari ataan teknologi, dalam arti teknik pemanfaatan sumberdaya
lingkungarn cara mengembangkan potensi sumberdaya manusia Dengan demikian,
pertanian juga dapat dianggap sebagai proses adaptasi manusia dengan
lingkungan. Adapun penggolongan sektor pertanian seperti: pertanian yang terdiri
dari pertanian lahan kering dan pertanian lahan basah; peternakan dan perikanan.

1. Pertanian Lahan Kering

9
pertanian tertua di membangan sistem pertanian selanjutnya Pertanian jenis
ini merupakan praktik muka bumi ini. Dalam perke pertanian lahan kering atau
bercocok tanam pada lahan kering itu terdiri atas beberapa jenis, yakni pertanian di
ladang; pertanian di tegalan dan pertanian di kebun.
a. Pertanian di ladang
praktik pertanian jenis ini biasanya dilakukan di lahan yang mungkin berasal
dari semak belukar atau sabana bahkan kin hutan rimba. Agar dapat ditanami oleh
para petani, maka ih dahulu hutan tersebut dibuka dengan cara merabas hutan semak-
semak yang akan dijadikan ladang. Hasil tebangan kayu dan semak belukar tersebut
kemudian dibakar, dan abunya dibiarkan beberapa lama dan diolah sedikit untuk
dijadikan pupuk. Lahan yang akan dijadikan ladang atau yang akan ditamani tidak
diolah terlebih dahulu, tetapi langsung ditanami tanaman yang menghasilkan untuk
pemenuhan kebutuhan konsumsi para petani. Biji-biji dan atau bibit tanaman yang
akan ditanam dimasukan ke dalam lubang-lubang tanah yang telah dipersiapkan
dengan menggunakan tugal atau tajuk (bahasa Balibaru) Oleh karena tanahnya tidak
diolah, maka lama kelamaan tingkat kesuburannya akan semakin berkurang.
Diperkirakan setelah dua tiga kali panen lahan tersebut ditinggalkan dan selanjutnya
para petani peladang akan mencari lahan baru. Demikian seterusnya mereka selalu
berpindah, tetapi akhirnya kembali ke lahan semula, apabila sudah dianggap layak
untuk ditanami kembali. Praktik pertanian seperti ini kemudian dikenal dengan istilah
shifting cultivation atau slash and burn agriculture. Dalam kehidupan masyarakat
Bali Kuno teknik pertanian di ladang mungkin sudah diapahami walaupun tidak ada
informasi tentang bagaimana teknik pengerjaan lahan seperti itu. Hal ini diketehui
dari istilah kata parlak yang terdapat di beberapa prasasti yang dikeluarkan pada
masa itu, parlak sama artinya dengan ‘ladang’. Istilah parlak ini sudah dimuat dalam
prasasti tertua yakni Prasasti Sukawana AI yang berangka tahun 804 Saka/882 M.
b. Pertanian di tegalan
Selain pertanian di ladang, masyarakat Bali Kuno mengenal praktik pertanian
di tegalan. Jenis pertanian ini dengan istilah padang dantgal. Kata padang
mempunyai bebera arti yakni 'tegalan', 'rumput, padang rumput, lapangan dan dalam
beberapa prasasti yang diterbitkan kemudian kata untuk arti yang hampir sama
disebut tegal. Kata padang juga termuat dalam prasasti Sukawana AI. Berdasarkan
tradisi bertani yang masih di praktikan di daerah-daerah pegunungan di Bali,
khususnya di pegunungan Kintamani kiranya dapat memberikan gambaran praktik
pertanian di tegalan pada masa Bali Kuno. Perbedaan mendasar antara pertanian di
ladang dan pertanian di tegalan antara lain: luas lahan, sistem penggarapan atau
pengerjaan lahan dan jenis tanaman. Luas lahan untuk pertanian di tegalan lebih
sempit dengan pertanian di ladang Sistem penggarapan atau pengerjaan lahan di

10
tegalan terlebih dahulu diolah sebelum ditanami. Hal itu bertujuan untuk menjaga
kesuburan tanahnya. Tetapi penggarapan lahan pada sistem pertanian di ladang tidak
diolah terlebih dahulu Kuno  Jenis tanaman yang ditanam di tegalan lebih bervariasi
atau lebih banyak dan kebanyakan tanaman musiman, sesuai dengan kebutuhan hidup
sehari-hari dari para petani, walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa jenis
tanaman yang ditanam di ladang juga di tanam di tegalan. Beberapa jenis tanaman
yang ditanam di tegalan antara lain: byu (pisang/musaparadisiaca) kapulaga
(kapulaga Amonum cardamonum), gaga (padi gaga) hartak/sarwawija (pelbagai jenis
biji-bijian seperti kacang-kacangan, jagung, kedela dan sejenisnya (sarwaphala
(tanaman buah-buahan) dan beberapa jenis tumbuhan lainnya.
c. Pertanian di kebun
Seperti halnya kedua jenis pertanian tersebut di atas, praktik rtanian di kebun
pun sudah dikenal sejak abad awal abad IX Masehi. Dikatakan demikian karena
istilah mmal yang dimuat di alam ketiga prasasti yang berbahasa Bali Kuno tersebut
berarti kebun'. Selain itu, dalam beberapa prasasti lain yang berbahasa awa Kuno
ditemukan istilah-istilah kebuan/kbwan dan kbon yang juga berarti kebun'. Namun
dari sejumlah prasasasti tersebut tidak ada yang menyabutkan secara jelas tentang
proses penggarapan lahan dari praktik pertanian di kebun tersebut. Walaupun
demikian praktik pertanian tersebut kiranya dapat ditelusuri melalui studi
etnoarkeologi, terutama di daerah-daerah yang disebutkan dalanm prasasti dan masih
melakukan aktivitas berkebun sabagai salah satu matapencaharian hudupnya, seperti
di daerah Kintamani yang disebut-sebut dalam bebrapa prasasti. Dalam praktiknya
pertanian di kebun dibedakan dengan pertanian di tegalan. Perbedaan tersebut
berdasarkan atas lokasi dan situasi lingkungannya. Bila tegalan merupakan suatu
komplek lahan yang berada di luar tempat-tempat penghunian dan fungsi utamanya,
yakni sebagai tempat usaha pertanian yang situasi lingkungannya lebih terbuka,
sedangkan kebun merupakan suatu lahan yang menjadi bagiar empat dan bangunan
hunian atau letaknya berdekatan dengan tempat hunian. Fungsi kebun di samping
sebagai usaha pertaniarn juga sebagai peneduh tempat hunian, bahkan kini berfungsi
untuk memperindah tempat hunian. Di beberapa daerah di Bali antara lain di daerah
Kintamani, Blanjong Sanur dan sekitarnya lahan pertanian semacam itu masih disebut
mmel sampai sekarang. Di Jawa pengertian kebun sering dikonotasikan dengan
karang, yakni suatu lahan yang berada di sekeliling bangunan rumah tinggal sayur-
mayur dan buah buahan
2. Pertanian lahan basah 
Munurut beberapa ahli pada masa Bali kuno yang dikatagorikan sebagai masa
klasik, ditandai dengan teknik baru dalam mengolah tanah dan mulai dikenal strategi
efisien dalam memanfaatkan sumber air yang ada di sekitarnya. Dengn penerapan
strategi tersebut, maka siatem pertanian lahan basah itu kemudian dikenal dengan

11
sebutan pertanian dengan sistem irigasi.Untuk memahami sistem pertanian irigasi di
Bali, kiranya dapat dikaji dari tiga dimensi pokok, yaitu dimensi fisik; dimensi
kelembagaan; dan dimensi keagamaan. Kajian terhadap ketiga dimensi tersebut lebih
mudah dilakukan bila mengkaji kondisi pertanian masa kini karena para pelaku
pertanian yang sekarang masih hidup, sehingga informasi mengenai hal itu dapat
diketahui secara langsung, Namun, bila kajian serupa dipakai intuk memahami masa
lalu akan lebih sulit karena informasi yang diperoleh melalui tinggalan masa lalu
sangat terbatas.
a. Dimensi Fisik
Informasi awal tentang praktik pertanian dengan irigasi pada masa Bali Kuna
termuat dalam Prasasti Sukawana AI yang berangka tahun 804 Saka/882 M. Dalam
prassasti tersebut ditemukan istilah huma yang berarti sawah dengan sistem irigasinya
dan padi merupakan tanaman yang dibudidayakan di huma. Dalam perkembangan
selanjutnya sawah atau huma dibuat berpetak-petak seperti bentuk sawah pada saat
ini, karena di dalam beberapa prasasti ditemukan kata galeng yang artinya
‘pematang’. Hal ini sesuai dengan kondisi sawah saat ini, yang masing-masing
petakannya dibatasi oleh pematang. Dalam praktik pertanian lahan basah atau bertani
di sawah, diperlukan suatu strategi bertani seperti pengolahan dan pemeliharaan
lahan, pemeliharaan tanaman, dan pengaturan air untuk mendapat hasil yang sesuai
dengan harapan. Berdasarkan keterangan dari beberapa prasasti dapat dikatakan
bahwa strategi pengolahan lahan sampai dengan pengolahan hasil pertanian diawali
dengan Amabhakti/babaden (membuka lahan baru, dan membuat pundukan atau
pematang), Amaluku/mluku (metekap atau membajak untuk menggemburkan tanah,
tahap terakhir dari proses pengolahan tanah adalah mangrapua atau meratakan lahan.
Dalam praktik pertanian saat ini meratakan tanah lazim disebut dengan istilah
nglampit atau melasah), Mamula/atanem (menanam padi), Majukut, amatun
(membersihkan rumput di sela-sela tanaman padi), Mengharanyi, ahani, hanyan
(menghentam padi) kegiatan ini merupakan kegiatan terakhir dari praktik pertanian
tanah basah. Dalam pertanian tradisisonal istilah ini dikenal dengan sebutan
‘Manyi/ngampung’. Setelah padi di panen lalu dikeringkan dan disimpan di lumbung
atau glebeg. Manutu adalah kegiatan atau upaya memproses bulir-bulir padi sampai
menjadi beras.
b. Irigasi
Selain tanah sebagai faktor produksi, air juga memegang peranan penting yang
harus mendapat perhatian dalam praktik pertanian di sawah. Pengelolaan atau
pengaturan dalam arti perencanaan, pengawasan dalam pengadaan dan pemanfaatan
air dalam praktik pertanian disebut irigasi. Manfaat Irigasi dalam pertanian antara
lain: sebagai pelarut zat makanan agar mudah diserap oleh tanaman, menetralisir
racun dalam tanah sekaligus dapat mematikan gulma yang tumbuh, mempertahankan

12
suhu sesuai dengan kebutuhan tanaman dan dapat juga melunakan dan meratakan
lapisan tanah yang diolah. Kali merupakan bangunan irigasi yang dapat dikategorikan
bangunan produktif dan berfungsi sebagai saluran air, dan terjadi secara alami.
Wluran merupakan saluran air terbuka sengaja dibuat oleh para petani untuk
menyalurkan air dari dawuhan sampai ke petak-petak persawahan, dibuat di
permukaan tanah yang datar atau sedikit miring ke hilir. Selain wluran, bangunan
penyalur air lainnnya yakni arungan atau terowongan, ini dibangun di bawah tanah
bangunan ini akan dibangun apabila saluran irigasi terbuka (wluran) tidak dapat
dimanfaatkan secara optimal. Temuku, dalam sistem pertanian di bali, pada
prinsipnya temuku dibangun dengan konsep proporsional mulai dari hulu saluran
yang disebut dengan temuku aya sampai pada bangunan bagi irigasi yang menuju
pada petakan sawah yang disebut pangalapan. Pada temuku pangalapan dibuatkan
lubang untuk saluran air dengan ukuran tertentu. Galng atau pematang (pundukan)
adalah bangunan yang berfungsi sebgai pembendung air agar setiap petak sawa
mendapatkan air secara merata.
Berdasarkan penjelasan istilah-istilah tersebut dapat diduga lintasan air dalam
sistem irigasi sawah pada masa lalu tidak jauh berbeda dengan sistem irigasi sawah
sekarang.
c. Dimensi Kelmbagaan dan Keagamaan
Informasi mengenai kelembagaan yang mengurus kelangsungan praktik pertanian
pada masa Bali Kuno sesungguhnya hanya samar-samar diketahui. Dalam prasasti
Pengotan AII (991 Saka/1069 M) memuat istilah makaser yang berarti ‘sebagai
pemimpin’. Jika arti kata tersebut betul, mungkin kata seratau makaser yang berati
‘penghulu’ atau ‘pemimpin’ itu kemudian berkembang menjadi kata pekaseh saat ini
yang bertugas mengkoordinir urusan irigasi pertanian termasuk memungut pajak pada
beberapa subak, dan sedahan yeh di bawah sedahan agung. Subak brarti ‘daerah
pengairan’. Subak berarti organisasi sosial tradisional terutama dalam bidang
pengairan di sawah, dengan mendapat pengairan secara adil dari sumber atau cabang-
cabangnya.
Aktivitas keagamaan terkait dengna praktik pertanian sesungguhnya belum
diketahui secara pasti. Walaupun demikian banyak ahli dipercaya bahwa aktivitas
perolehan sumber makanan terutama pertanian selalu diikuti oleh aktivitas
keagamaan. Kemungkinan pada tahun 804 Saka/882 M- 897 Saka/975 M adanya
usaha dari masyarakat Bali Kuna untuk membangun sarana fisik yang bersifat
permanen untukn kepentingan upacara keagamaan yang ditemukan di dekat air, yaitu
di dekat mata air atau tepisan sungai khususnya pakerisan dan petanu sebagai indikasi
adanya upacara keagamaan pada masa itu.

13
3. Peternakan dan perikanan
Peternakan dan perikanan juga merupakan sub sektor pertanian,
dikategorikannya kedua sub sektor tersebut sebagai sektor pertanian karena dalam
praktik dilakukan oleh para petani sebagai pekerjaan sela atau sampingan. Tempat
pemeliharaan dan pembudidayaan hewan ternak dan ikan khususnya perikanan darat,
juga menggunakan lahan pertanian dan tergantung pada air. Hasil produksi dari kedua
sub sektor tersebut pada awalnya sebanyak-banyaknya digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan para petani. Berdasarkan seju,lah prasasti diketahui bahwa pada masa Bali
Kuno telah diupayakan untuk memelihara dan membudidayakan berbagai jenis
binatang ternak. Untuk sub sektor perikanan, selain dibudidayakan di lahan pertanian
juga diperkirakan dibudidayakan di danau dan di laut. Hasil-hasil dari sub sektor
perikanan terutama dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, yakni untuk
dikonsumsi. Dengan cara pengolahan dikeringkan guna menghindari kebusukan
apabila disimpan terlalu lama. Manfaat lainnya untuk upacara.
2.2.3 Perdagangan Lokal
Salah satu bidang pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat Bali Kuno adalah
perdagangan. Masyarakat melakukan aktivitas perdagangan didorong oleh kebutuhan
barang-barang yang tidak terdapat di suatu tempat, namun terdapat kelebihan barang
di tempat lain. Beberapa istilah perdagangan yang disebutkan dalam prasasti
diantaranya: pken ‘pasar’, menghalu ‘pedagang keliling’, pamanehan pamli’pajak
atau iuran jual beli’ dan lain-lain. Pada masa Bali Kuno sudah dikenal adanya kata
“peken” pada beberapa buah prasasi yang telah dibaca memberikan jawaban, bawa
penduduk telah mengenal perdagangan . kata “peken” sampai sekarang masih
dipergunakan penduduk Bali, dan berarti pasar. Di pasar terjadinya persetujuan
pertukaran diantara penjual dengan pembeli dengan tidak merasa merugikan kedua
belah pihak. Kehidupan masyarakat Bali Kuno selain sektor pertanian, nampaknya
perdagangan juga telah menjadi salah satu aspek kehidupan yang cukup menonjol.
Mengacu pada isi prasasti yang memuat data tentang perdagangan, prasasti ynag
memuat data itu baik prasasti yang berbahasa Bali Kuno maupun Jawa Kuno, perlu
diketahui memang tidak ada prasasti secara uruh yang memuat data mengenai
perdagangan tersebut. Data tersebut antara lain seperti menyebut hari-hari pasaran,
lokasi pasar, pasar desa, bangunan-bnaguna n sarana pra sarana pasar, pejabat yang
mengurus perdagangan, cukai, pajak jual beli, komoditi perdagangan, sarana
transportasi perdagangan, para pelaku perdagangan dan jenis-jenis mata uang. Selain
prasasti sebagai data utama ditemukan berupa bangunan-bangunan pelinggih yang
antara lain disebut dengan Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Ulang Ali. Mengngatkan
pada kata ‘Syahbandar’ bahasa Persia yang berati “Raja Pelabuhan “ sedangkan kata
“ulang alu” mengingatkan pada kata pangalu yakni mengacu pada para pedagang di

14
Bali pada masa lalu yang menjajakan barang dari pasar ke pasarbaik berjalan kaki
maupun menggunakan kuda.
a. Hari Pasaran dan Komoditas Dagang
Rotasi hari pasaran pada Zaman Bali Kuno didasarkan atas perhitungan tiga hari
pasaran yaitu, wijayakranta, wijayamanggala, dan wijayapura yang di Bali kini
diasumsikan dengan hari pasaran yang didasarkan atas perhitungan Triwara, yaitu
hari pasaran Pasah, Beteng dan Kajeng.pemilihan lokasi pasar cenderung dilakukan
pada tempat yang berbeda dan tempat yang dipandang strategis, aksebilitasnya ramai
dan mudah dikunjungi. Pasaran pada tempat-tempat tertentu pada zaman Bali Kuno
dibuka setiap tiga hari sekali, demikian seterusnya hari pasaran diatur secara
bergiliran setiap tiga hari sekali, sehingga pertukaran komoditas masyarakat dapat
berjalan dengan lancar dan ekonomi masyarakat tumbuh dan berjalan dengan stabil.
Adapun komoditas yang dipasarkan untuk pasaran lokal, yaitu dalam prasasti
sering disebutkan, diantaranya berbagai hasil pertanian dalam arti luas terdiri atas
hasil sawah seperti beras, hasil perkebunan (kapir/kapuk, kapas, cabai, kacang hijau,
jeruk, asam, camalagi, tingkir) dan hasil perternakan (kerbau, sapi, kambing, kulit
binatang untuk alat musik kendang)dan binatang hasil hutan (babi hutan, puyuh,
besara, pencayan), hasil industri rumah tangga atau kerajinan tangan (tikar, benang,
gerabah, minyak, dan benda-benda lainnya). Prasasti Maharaja Haji Ekajaya Lancana
(112 Saka/1200M), menyebutkan pemberian izin bagi penduduk desa-desa yang ada
di Kintamani untuk menjual kapas, menjual hasil pertanian seperti kesumba, bawang
merah, bawang putih dan jamuju.
b. Perdagangan antar Pulau
Transaksi perdagangan tidak terbatas dilakukan antar pedagang lokal Bali, akan
tetapi dilakukan pula dengan pedagang dari luar pulau, bahkan dengan pedagang
negara luar. Gejala hubungan perdagangan Bali Kuno dan pedagang luar juga
diekspresikan dalam beberapa sumber prasasti Diantaranya prasasti Bebetin AI (896
M) menyebutkan banyaga yang artinya saudagar dari seberang laut, Prasasti Pengotan
AI (942 M) “juru Wanyaga” yang artinya petugas pemerintah yang khusus mengurusi
para saudagar asing yang ada di Bali pada saat itu. Tampaknya perdagangan jalur
laut yang bersifat Internasional cukup ramai di pelabuhan-pelabuhan pesisir Bali
Utara. Tampaknya pelabuhan besar pada Zaman Bali Kuno pada abad X berkembang
di pesisir Bali Utara bagian Timur (Julah) , kemudian pada abad XI M pusat
pelabuhan bergeser ke arah barat (sekitar Bungkulan sekarang), namun tidak
diketahui faktor penyebab perpindahan pelabuhan pusat perdagangan itu.
Berdasarkan kutipan prasasti Sembiran A IV tampaknya para banyaga sudah
bermukim di Kota Pelabuhan Julah. Hal ini juga merupakan suatu gejala bahwa pada
abad X M tampaknya sudah ada pemukiman bagi penduduk asing di sekitar kota-kota
pelabuhan yang ada di pesisir Bali. Asumsi ini juga diperkuat dengan adanya

15
ungkapan Juru kling seperti terekam pada prasasti Bulian A (1181 M) . juru kling
artinya petugas pemerintah lokal yang khusus mendata atau mencatat penduduk asing
yang berkewarganegaraan India. Pencatatan ini kemengkinan ada kaitannya dengan
kewajiban penduduk asing untuk membayar pajak dan hak untuk izin tinggal dan
melakukan jual beli barang-barang dagangan di Bali saat itu. Komoditas yang
menjadi barang ekspor Nusantara pada umumnya berupa hasil ladang atau hasil-hasil
pertanian, yaitu kayu cendana, cengkeh, merica, kopi, gula, kemiri, dan hasil bumi
lainnya. Khusus dari Bali, yang menjadi barang-barang dagangan komoditas eksport
diantaranya : beras, kopi, sapi, babi, kuda, benang/kapas.
c. Mata Uang
Dalam perdagangan pada masa Bali Kuno baik perdagangan antar pulau maupun
inter pulau sudah dikenal atau digunakan uang sebagai alat tukar. Penggunaan mata
uang muncul karena ada kebutuhan akan benda-benda yang dapat dihitung untuk
tujuan tukar menukar secara tidak langsung. Perdagangan jarak jauh sebagai
pertukaran eksternal bertanggung jawab bagi munculnya uang. Prasasti tertua Bali
Kuno Prasasti Sukawana AI 886 M menyebutkan penggunaan mata uang mas dengan
satuan suarna (su), masaka (Ma), dan kupang (Ku) sebgaai alat tukar dan standar
nilai. Selain mata uang emas juga ada mata uang pirak (perak). Demikian juga
dengan prasasti lainnya penggunaan uang emas/perak cukup sering disebutkan
sebagai alat pembayaran, denda dan sebagai kompensasi atau standar nilai dalam
kegiatan sosial budaya lainnya. Selain penggunaan mata uang tersebut, peredaran
uang kepeng (pis bolong) tampaknya juga dikenal sebagai alat tukar yang sah. Hal ini
dibuktikan dari banyaknya temuan uang kepeng baik yang ditemukan secara sengaja
dalam ekskavasi arkeologi maupun secara tidak sengaja oleh masyarakat. Keberadaan
mata uang emas atau kepeng atau pis bolong di Bali merupakan suatu gejala adanya
hubungan perdagangan Bali dengan dunia luar sejak masa silam, baik secara
langsung maupun tidak langsung.

16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berbagai kelompok sosial diperkirakan telah ada pada zaman bali kuno antara
lain sebagai berikut: kelompok sosial yang bergerak di bidang pertanian
(kasuwakan/subak), kelompok pertukangan(undahagi), kelompok pande, kelompok
seniman, kelompok perajin, dan lain-lain. Lapisan sosialmerupakan sistem tata
kelakuan dan  hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi
kebutuhan khusus dalam masyarakat.
Jika dilihat dari segi ekonomi, perkembangan ekonomi yang terjadi pada era
Bali Kuno sudah cukup berkembang pesat dan menjadi salah satu sektor yang cukup
menonjol pada era tersebut, hal ini dibuktikan dengan adanya hubungan perdagangan
antar pulau seperti dengan India, negara di kawasan Asia Tenggara dan Cina. Bali
pada masa inipun sudah mampu mengekspor komoditas dagangan seperti kapas ke
luar pulau. Hari pasaran pada Zaman Bali Kuno didasarkan atas perhitungan tiga hari
pasaran yaitu, wijayakranta, wijayamanggala, dan wijayapura yang di Bali kini
diasumsikan dengan hari pasaran yang didasarkan atas perhitungan Triwara, yaitu
hari pasaran Pasah, Beteng dan Kajeng.

3.2 Saran

Makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan atau dasar yang
harus dipahami oleh mahasiswa calon guru atau pendidik yang lainnya pada
khususnya dan pada masyarakat, pada umumnya agar apa yang di pelajari dari
pembahasan makalah ini dapat di jadikan pembelajaran yang baik agar lebih bijak
menjadi manusia.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan., dkk. 2007. Sejarah Bali. Denpasar: Udayana Press

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Bali. 1978. Sejarah


Daerah Bali. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Suarbhawa, I Gusti Made. 2010. “Perdagangan Masa Bali Kuna : Berdasarkan


Sumber-sumber Prasasti”. Denpasar: Balai Arkeologi

Gusti made warsika.2017.runtuhnya kerajaan majapahit dan pengaruhnya


terhadap bali. Pustaka balim post.

Ardika,I wayan,dkk.2015.perajin pada masa bali kuno. . Denpasar: Udayana


Press

Sutarya, I gede. 2013. Bangle tempo doeloe. Bangli. Yayasan wikarman jalan
brigjen Ngurah rai gang VIII no.4 Bangli-Bali

18

Anda mungkin juga menyukai