PROPOSAL
NPM.16090016
FAKULTAS PERTANIAN
BENGKULU
2019
Judul : PEMBESARAN IKAN SANGKURIANG (Clarias gariepinus)
DIKOLAM TERPAL DENGAN SISTEM BIOFLOK
Nama : Fenti Duwi Santika
Npm : 16090016
Menyetujui,
Komisi Pemimbing
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Penulis
Menyetujui,
Komisi Pemimbing
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL --------------------------------------------------------------------
HALAMAN PENGESAHAN----------------------------------------------------------
KATA PENGANTAR--------------------------------------------------------------------
ISI DAFTAR TABEL--------------------------------------------------------------------
DAFTAR GAMBAR---------------------------------------------------------------------
DAFTAR LAMPIRAN------------------------------------------------------------------
BAB I PENDAHULUAN---------------------------------------------------------------
A. Latar Belakang---------------------------------------------------------------------
B. Rumusan Masalah ----------------------------------------------------------------
C. Tujuan PKL------------------------------------------------------------------------
BAB II TINJAUAN PUSTAKA-------------------------------------------------------
A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Lele Sangkuriang---------------------------
B. Padat Tebar -----------------------------------------------------------------------
C. Pertumbuhan----------------------------------------------------------------------
D. Kualitas Air------------------------------------------------------------------------
E. Bioflok-----------------------------------------------------------------------------
F. Faktor Pembentuk Bioflok-------------------------------------------------------
BAB III METODELOGI --------------------------------------------------------------
A. Waktu dan Tempat----------------------------------------------------------------
B. Alat dan Bahan--------------------------------------------------------------------
C. Langkah Kerja --------------------------------------------------------------------
D. Variabel yang diamati------------------------------------------------------------
E. Instrumen Kegiatan---------------------------------------------------------------
F. Teknik Pelaksanaan Kegiatan----------------------------------------------------
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang
dilimpahkan-Nya, sehingga Proposal Praktek Kerja Lapangan dengan Judul
“PEMBESARAN IKAN SANGKURIANG (Clarias gariepinus) DIKOLAM
TERPAL DENGAN SISTEM BIOFLOK” dapat terselesaikan. Penulis
menyadari bahwa Proposal PKL ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
penulis menerima kritik dan saran untuk kesempurnaan Proposal PKL ini. Atas
segala bantuan dan saran dari berbagai pihak penulis mengucapkan terimakasih
khususnya kepada :
1. Bapak Suharun Martudi S.Pi,. M.Si, selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. Bengkulu
2. Bapak Dedi Pardiansyah, S.Pi, M.Si, selaku Ketua Jurusan Budidaya Perairan
Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. Bengkulu
3. Ibuk Dra. Andriyeni, M.Si dan ibuk Ir. Zulkhasyni, M.Si, selaku Dosen
Pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan Proposal dan Praktek Kerja Lapangan ini.
Akhir kata, penyususn berharap Proposal Praktek Kerja Lapangan ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikan lele sangkuriang merupakan salah satu spesies ikan air tawar yang
mengandung sumber protein hewani dan bernilai ekonomis. Lele telah
menjadi salah satu bahan pangan komoditas perikanan yang menjadi menu
makanan wajib di Indonesia. Kebutuhan sumber protein hewani khususnya
komoditas perikanan terus meningkat setiap tahunnya sehingga perlu
adanya inovasi agar produksi meningkat.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pertumbuhan ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus)
pembesaran dengan Sistem Bioflok.
C. Tujuan PKL
Tujuan dari Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini adalah mengetahui
pembesaran ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) dengan Sistem
Bioflok.
D. Batasan Masalah
Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini adalah hanya sebatas pembesaran
ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) dengan system bioflok mulai
dari ukuran 8-12 cm selama 2 bulan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morpologi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus)
Klasifikasi ikan lele sangkuriang menurut Kordi (2010) adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub ordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus
B. Habitat
D. Padat Tebar
Padat tebar adalah banyaknya jumlah (ikan) yang akan ditebar
berdasarkan per luas dan volume. Jumlah padat tebar ikan dapat ditentukan
dengan beberapa metode, antara lain dengan produktivitas alami, volume
air kolam atau debit air, luas kolam dan lama pemeliharaan (Hermawan
dkk 2012).
Menurut Effendi (2004) padat penebaran ikan adalah jumlah ikan atau
biomassa yang ditebar persatuan luas atau volume wadah pemeliharaan,
Hal ini sesuai dengan (1972) yang menyatakan, pertumbuhan ikan yang
menurun dalam kepadatan tinggi lebih disebabkan oleh kompetisi dalam
pakan dibandingkan kompetisi dalam ruang. Di dalam kolam, factor utama
yang membatasi produksi pada kepadatan ikan yang tinggi adalah oksigen
terlarut yang rendah , limbah metabolic (Bardach et al., (1972) kompetisis
dalam pakan (Huet, 19722) dan konsumsi pakan yang rendah (Kebus et
al., 1992). Untuk benih Ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) ukuran 5-7 bisa
ditebarkan 250 ekor/m2 (Pardiansyah et all. 2013).
E. Pertumbuhan
F. Kualitas Air
Alat pernafasan ikan lele sangkuriang sama dengan ikan lele pada
umumnya berupa insang yang berukuran kecil sehingga mengalami
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan oksigen. Saat ikan lele
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan oksigen, ikan lele
akan mengambil oksigen dengan muncul ke permukaan. Alat
pernafasan tambahan terletak di rongga insang bagian atas yang biasa
disebut arborescent organ (Lukito, 2002).
G. Bioflok
1. Prinsip Dasar Bioflok
Bioflok merupakan sekumpulan berbagai jenis mikroorganisme (bakteri
pembentuk flok, bakteri filamen, fungi), partikel-partikel tersuspensi,
berbagai koloid dan polimer organik, berbagai kation dan sel-sel mati (de
Schryver et al.,2008). Menurut Avnimelech (2009), dalam sistem bioflok
bakteri berperan sangat dominan sebagai organisme heterotrof yang
menghasilkan polyhydroxy alkanoat sebagai pembentuk ikatan bioflok.
Pembentukan bioflok oleh bakteri terutama bakteri heterotrof secara umum
bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan nutrien, menghindari stress
lingkungan dan predasi.
Menurut Mcintosh (2000), prinsip dasar bioflok yaitu mengubah
senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa karbon (C),
hydrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N) dan sedikit fosfor (P) menjadi masa
sludge berupa bioflok dengan memanfaatkan bakteri pembentuk flok yang
mensintesis biopolimer sebagai bioflok. Teknologi bioflok dalam budidaya
perairan yaitu memanfaatkan nitrogen anorganik dalam kolam budidaya
menjadi nitrogen organik yang tidak bersifat toksik. Sistem bioflok dalam
budidaya perairan menekankan pada pertumbuhan bakteri pada kolam untuk
menggantikan komunitas autotrofik yang di dominasi oleh fitoplankton.
Bioflok mengandung protein bakteri dan polyhydroxybutyrate yang
dapat meningkatkan partumbuhan ikan. Pada umumnya, bakteri memiliki
ukuran kurang dari 5 mikron. Ukuran bakteri yang sangat kecil ini tidak
dapat dimanfaatkan oleh ikan. Namun bakteri dalam bentuk bioflok dapat
dimanfaatkan ikan sebagai pakan karena ukurannya mampu mencapai 0,5
mm hingga 2 mm .
2. Rasio C:N
Bakteri heterotrof dapat tumbuh dengan baik apabila persyaratan
lingkungan hidup harus terpenuhi berupa perbandingan antara unsur karbon
(C) dengan nitrogen (N) atau dikenal dengan istilah C:N rasio. Rasio C:N
yang ideal untuk pertumbuhan bioflok adalah 15:1 sampai dengan 20:1,
artinya ada 15 molekul karbon untuk setiap 1 molekul nitrogen (Maulina,
2009).
Menurut Avnimelech (2009), bahwa bioflok akan terbentuk jika rasio
C:N dalam kolam lebih dari 15. Pakan buatan yang digunakan dalam
kegiatan budidaya umumnya mengandung protein yang cukup tinggi
dengan kisaran 18 - 50% dengan rasio C:N kurang dari 10 (Azim et al.,
2007). Hal ini tentunya berdampak pada keseimbangan rasio C:N dalam
media budidaya, sehingga untuk penerapan teknologi bioflok, rasio C:N
perlu ditingkatkan lagi. Avnimelech (2007), menyatakan bahwa
peningkatan rasio C:N dalam air untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri
heterotrof dapat dilakukan dengan mengurangi kandungan protein dan
meningkatkan kandungan karbohidrat dalam pakan atau dengan
penambahan sumber karbohidrat secara langsung ke dalam air. Sumber
karbohidrat dapat berupa gula sederhana seperti gula pasir, molase, atau
bahan-bahan pati seperti tepung tapioka, tepung jagung, tepung terigu dan
sorgum. Jika unsur C dan N tidak seimbang maka bakteri heterotrof tidak
mampu mengubah unsur organik dalam air menjadi protein sebaliknya
menghasilkan senyawa ammonia yang bersifat toksik (Maulina, 2009).
H. Faktor – Faktor Pembentuk Bioflok
1. Bakteri Pembentuk Bioflok
Dalam sistem bioflok, bakteri berperan dominan sebagai organisme
heterotrof yang menghasilkan polyhydroxy alkanoat yang berguna dalam
pembentuk ikatan bioflok (Avnimelech, 2009). Menurut Hargreves (2013)
dan Supono (2014) pertumbuhan bakteri heterotrof dipengaruhi oleh adanya
kandungan karbon organik yang terlarut dalam air. Unsur karbon organic
akan mengikat nitrogen anorganik yang dapat digunakan untuk
pertumbuhan sel bakteri heterotrof.
Bakteri yang mampu membentuk bioflok antara lain Zooglea ramigera,
Escherichia intermedia, Paracolobacterium aerogenoids, Bacillus subtilis,
Bacillus cereus, Flavobacterium, Pseudomonas alcaligenes, Sphaerotillus
natans, Tetrad dan Tricoda (Ayuroshita, 2009; Maharani, 2012). Ciri khas
bakteri pembentuk bioflok yaitu kemampuannya untuk mensintesa senyawa
Polihidroksi alkanoat (PHA), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi
butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan
ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk bioflok (Aiyushirota,
2009; Maharani, 2012).
Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. merupakan genera bakteri yang dapat
memanfaatkan komponen karbon dan juga memiliki kemampuan untuk
mengoksidasi substrat yang mengandung rantai C (Stolp , 1988; Maharani,
2012). Menurut Moriarty (1996), bakteri Bacillus sp. dapat menghasilkan
enzim dengan kisaran yang luas dan paling efektif untuk merombak protein.
2. Sumber Karbon
Purnomo (2012) menyatakan bahwa ada beberapa sumber karbohidrat
yang dapat digunakan sebagai sumber karbon (C) untuk pembentukan
bioflok seperti tepung tapioka, tepung singkong, gula pasir, molase. Molase
adalah hasil samping yang berasal dari pembuatan gula tebu (Saccharum
officinarum L). United Molases mendefinisikan molase sebagai “end
product” pembuatan gula yang tidak mengandung lagi gula yang dapat
dikristalkan dengan cara konvensional. Molase sendiri berupa cairan kental
dan diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula. Molase tidak dapat lagi
dibentuk menjadi sukrosa namun masih mengandung gula dengan kadar
tinggi, asam amino dan mineral. Kandungan gula dalam cairan molase
sebesar 75% dan bahan kering sebesar 62% (Dellweg, 1983).
3. Sumber Nitrogen
Nitrogen di perairan biasanya ditemukan dalam bentuk ammonia
(NH3), ammonium (NH4+), nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-) serta beberapa
senyawa nitrogen organik lainnya. Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat
dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan
oksigen rendah nitrogen berubah menjadi ammonia (NH3) dan saat
kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3) (Welch,
1980).
Secara garis besar konversi N oleh organisme akuatik yang terdapat
dalam air dan sedimen dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu konversi
secara fotoautotrofik oleh alga dan tanaman air, secara kemoautotrofik
melalui oksidasi oleh bakteri nitrifikasi dan secara immobilisasi melalui
heterotrofik oleh bakteri heterotrof (Ebeling et al., 2006). Secara teoritis,
menyatakan bahwa konversi nitrogen melalui proses immobilisasi bakteri
heterotrof berlangsung 40 kali lebih cepat daripada melalui proses
fotoautotrofik alga/tanaman air dan kemoautotrofik oleh bakteri nitrifikasi.
Nitrogen dalam sistem akuakultur terutama berasal dari pakan buatan
yang biasanya mengandung protein dengan kisaran 13 - 60% (2 - 10% N)
tergantung pada kebutuhan dan stadia organisme yang dikultur . Protein
dalam pakan akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari total nitrogen dalam
pakan dimanfaatkan menjadi biomassa ikan, sisa nitrogen pada pakan
berupa sisa metabolisme berupa urine dan feses serta pakan yang tidak
termakan (Brune et al., 2003).
Katabolisme protein dalam tubuh organisme akuatik menghasilkan
ammonia sebagai hasil akhir dan diekskresikan dalam bentuk ammonia
(NH3) tidak terionisasi melalui insang. Pada saat yang sama, bakteri
memineralisasi nitrogen organik dalam pakan yang tidak termakan dan feses
menjadi ammonia (Gross and Boyd, 2000). Sebagai akibat dari
berlangsungnya kedua proses ini, aplikasi pakan berprotein tinggi dalam
sistem budidaya akan menghasilkan akumulasi ammonia baik sebagai hasil
ekskresi dari organisme yang dikultur maupun hasil mineralisasi bakteri.
Keberadaan ammonia tidak terionisasi (NH3) di dalam media budidaya
sangat dihindari karena bersifat toksik bagi organisme akuatik bahkan pada
konsentrasi yang rendah.
Stickney (2005) menyatakan bahwa konsentrasi ammonia dalam media
budidaya harus lebih rendah dari 0,8 mg/L untuk menghindari munculnya
efek toksik ammonia pada organisme akuatik.
4. Ketersediaan Aerasi
Ekasari (2009) menyatakan bahwa kepadatan bakteri yang tinggi dalam
air akan menyebabkan kebutuhan oksigen yang lebih tinggi sehingga aerasi
untuk penyediaan oksigen dalam penerapan teknologi bioflok merupakan
hal yang sangat diperlukan. Selain berperan dalam penyediaan oksigen,
aerasi juga berfungsi untuk mengaduk air agar bioflok yang tersuspensi
dalam kolom air tidak mengendap. Pengendapan bioflok di dasar wadah
harus dihindari selain untuk mencegah terjadinya kondisi anaerobik di dasar
wadah akibat akumulasi bioflok, juga untuk memastikan bahwa bioflok
tetap dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya.
I. Manajemen Kualitas Air
Ada beberapa parameter kualitas air yang harus diperhatikan serta
dijaga agar pertumbuhan dan perkembangan benih ikan berjalan dengan
optimal. Azim dan Little (2008) mengemukakan bahwa kualitas air di
wadah pemeliharaan dengan perlakuan teknologi bioflok pada pemeliharaan
ikan nila cenderung tidak stabil. Tingginya aktivitas respirasi mikroba dalam
sistem bioflok juga menyebabkan terjadinya fluktuasi pada pH dan
alkalinitas. Meningkatnya kekeruhan akibat tingginya padatan tersuspensi
juga mempengaruhi kemampuan melihat pada ikan, sehingga berpengaruh
pada jumlah pakan yang dimakan. Laju akumulasi bahan organik, laju
peningkatan biomassa bakteri, serta laju konsumsi bioflok oleh organisme
budidaya merupakan faktor yang harus diketahui untuk mengontrol
konsentrasi flok yang optimal agar sejalan dengan manajemen kualitas air
yang baik (Azim et al., 2008).
J. Bentuk-bentuk Kolam Pemeliharaan
Menurut Bentuknya Bentuk kolam yang lazim dikenal masyarakat ada
4 macam (Heru Susanto, 2009), yaitu persegi panjang, bujur sangkar,
lingkaran, dan segitiga.
1. Bentuk Persegi Panjang
Kolam berbentuk persegi panjang sering kita temukan di masyarakat
sebagai kolam pemeliharaaan ikan tradisional. Mungkin pada mulanya
masyarakat hanya melihat se "pantas" nya saja. Namun, ternyata dari hasil
penelitian dan pengalaman, kolam berbentuk persegi panjang ini memang
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan kolam yang berbentuk bujur
sangkar.
3. Bentuk Lingkaran/Bulat
Tiga puluh tahun yang lalu, kolam berbentuk bulat tidak lazim dibuat.
Namun dengan adanya perkembangan budidaya ikan, di daerah Jawa Barat
telah dikembangkan kolam air deras yang berbentuk bulat. Kolam ini
mempunyai pembuangan air di bagian poros (tengah).
4. Bentuk Segitiga
1. Alat :
No Nama alat Kegunaan Satuan
1 Thermometer
2 Ph-meter
3 DO-meter
4 CO2-meter
5 Mistar Untuk mengukur laju panjang ikan
6 Timbangan Untuk menimbang berat ikan
7 Alat tulis Untuk mencatat proses pengamatan
8 Selang aerasi
9 Batu aerasi
10 Kamera Untuk dokumentasi
11 Seser halus Untuk menangkap ikan
12 Baskom Untuk penampung ikan pengamatan
13 Tisu untuk membersihkan alat-alat
2. Bahan :
C. Pelaksanaan Penelitian
Adapun tahapan-tahapan kerja dalam melaksanakan penelitian yaitu:
1. Masa Persipan
Kolam dipersiapkan sebagai tempat pembesaran ikan lele dengan
ukuran panjang 100 cm, lebar 100 cm dan tinggi 80 cm dengan kedalaman
air 60 cm.
2. Pengisian Air
Sebelum dilakukan pengisian air, Air yang digunakan dalam
pembesaran ikan lele adalah air yang berasal dari Lab. Budidaya Perairan
yang sudah di diendapkan beberapa hari dan di isi setinggi 60 cm.
3. Penebaran Benih
Setelah kolam diisi air dan dibiarkan selama 3-5 hari dan telah
diberikan sedikit molase agar ikan tidak kaget dengan perubahan
lingkungan, benih ikan lele ditebar dengan ukuran 8-12 cm dengan beras
dan sebanyak 250 ekor. Benih ikan dipilih/disorter dengan kondisi yang
lincah dan tidak cacat.
Penebaran benih ke dalam kolam dengan cara benih dalam keadaan
kantong plastic masih terikat dan dibiarkan mengapung selama kurang lebih
10 menit lalu dibuka ikatannya dan dibiarkan ikan dengan sendirinya keluar
dari kantong plastik. Proses ini dinamakan proses Aklimatisasi. Pelepasan
benih itu sendiri dilakukan pada pagi hari atau sore hari karena suhu air
tidak begitu panas sehingga ikan mudah beradaptasi.
4. Pemberian Pakan
Dalam PKL ini pakan yang digunakan adalah PF-1000, serta frekuensi
pemberian pakan tiga kali sehari dengan dosis 5% dari berat biomassa ikan
uji. Pakan diberikan dengan cara ditebar, yaitu pada pukul 09.00, 14.00, dan
19.00 WIB.
5. Pemberian Molase
Pemberian molase dilakukan pada satu jam sesudah pemberian pakan di
waktu pagi yang dilakukan selama PKL setiap hari. Pakan yang diberikan
dikalikan dengan kadar protein sebesar 39% lalu dikalikan dengan 16%
(jumlah N dalam pakan). Setelah itu, dikalikan dengan rasio C/N yang
ditentukan (15/20), setelah mendapatkan hasilnya lalu dikalikan dengan
kandungan C organic dalam sumber karbon 58,09% (Avnimelech 1999).
Hasilnya ini adalah jumlah karbon/molase yang harus di berikan.
Uji C organik pada sumber karbon yang digunakan sebagai perlakuan
dilakukan dengan menggunakan metode Walkley and Black (1934).
Keterangan :
Wt = Rata- rata bobot ikan pada akhir penelitian (gram)
Wo = Rata- rata bobot ikan pada awal penelitian (gram)
t = Waktu pemeliharaan (hari)
g = Laju pertumbuhan harian (% per hari)
b. Rasio Konversi Pakan
Rasio Konversi Pakan dihitung menggunakan rumus (Tacon, 1987) :
Keterangan :
Wt= Bobot Biomassa Ikan pada Akhir Penelitian (g)
W0= Bobot Biomassa Ikan pada Awal Penelitian(g)
D = Bobot Ikan yang Mati Selama Penelitian (g)
F = Jumlah Pakan Ikan yang Diberikan Selama Penelitian (g)
c. Kelangsungan Hidup
Menurut Effendie (1997) kelangsungan hidup dapat dirumuskan sebagai
berikut :
Keterangan :
SR = Kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian (ekor)
No = Jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian (ekor)
d. Kualitas air
Kualitas air yang di amati dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:
oksigen Terlarut, suhu dan pH. Suhu di amati setiap hari pukul 08.00 wib,
13.00 wib dan 17.00 wib, pengukuran pH, Oksigen Terlarut dan Suhu di
lakukan pada awal, tengah dan akhir pemeliharaan.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Azim, M.E., Little, D.C., Bron, .I.E., 2007. Microbial protein production in
activated suspension tanks manipulating C/N ratio in feed and implications
for fish culture. Bioresource Technology 99, 3590-3599.
De Schryver P., Crab, R. Detroit, T. Boon, N., Verstrate, W. 2008. The Basic of
Biofloc Technology: The Added Value For Aquaculture, 227: 125- 137.
Welch, E.B. and T. Lindell. 1980. Ecological Effect of Waste Water. Cambridge
University Press. Cambridge. London.