Anda di halaman 1dari 24

PEMBESARAN IKAN SANGKURIANG (Clarias gariepinus) DIKOLAM

TERPAL DENGAN SISTEM BIOFLOK

PROPOSAL

PRAKTEK KERJA LAPANGAN

FENTI DUWI SANTIKA

NPM.16090016

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PROF. DR. HAZAIRIN, S.H.

BENGKULU

2019
Judul : PEMBESARAN IKAN SANGKURIANG (Clarias gariepinus)
DIKOLAM TERPAL DENGAN SISTEM BIOFLOK
Nama : Fenti Duwi Santika

Npm : 16090016

Prodi : Budidaya Perairan

Menyetujui,

Komisi Pemimbing
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dra. Andriyeni, M.Si Ir. Zulkhasyni, M.Si


NPP. NPP.
Mengetahui,

Ketua Jurusan Budidaya Perairan

Dedi Pardiansyah, S.Pi, M.Si


NIK.
HALAMAN PENGESAHAN

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN

Judul Penelitian : PEMBESARAN IKAN SANGKURIANG


(Clarias gariepinus) DIKOLAM TERPAL
DENGAN SISTEM BIOFLOK
Bidang Ilmu : Jurusan Budidaya Perairan

Penulis

a. Nama Lengkap : Fenti Duwi Santika


b. NPM : 16090016
c. Program Studi : Budidaya Perairan
d. Nomor HP : 085768362177
e. Alamat Surat (E-mail) : fentidwi1998@gmail.com
f. Alamat Rumah : Jl. Teratai 2 RT.04 Bengkulu

Menyetujui,

Komisi Pemimbing
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dra. Andriyeni, M.Si Ir. Zulkhasyni, M.Si


NPP. NPP.

Mengetahui,

Ketua Jurusan Budidaya Perairan

Dedi Pardiansyah, S.Pi, M.Si


NIK.

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL --------------------------------------------------------------------
HALAMAN PENGESAHAN----------------------------------------------------------
KATA PENGANTAR--------------------------------------------------------------------
ISI DAFTAR TABEL--------------------------------------------------------------------
DAFTAR GAMBAR---------------------------------------------------------------------
DAFTAR LAMPIRAN------------------------------------------------------------------
BAB I PENDAHULUAN---------------------------------------------------------------
A. Latar Belakang---------------------------------------------------------------------
B. Rumusan Masalah ----------------------------------------------------------------
C. Tujuan PKL------------------------------------------------------------------------
BAB II TINJAUAN PUSTAKA-------------------------------------------------------
A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Lele Sangkuriang---------------------------
B. Padat Tebar -----------------------------------------------------------------------
C. Pertumbuhan----------------------------------------------------------------------
D. Kualitas Air------------------------------------------------------------------------
E. Bioflok-----------------------------------------------------------------------------
F. Faktor Pembentuk Bioflok-------------------------------------------------------
BAB III METODELOGI --------------------------------------------------------------
A. Waktu dan Tempat----------------------------------------------------------------
B. Alat dan Bahan--------------------------------------------------------------------
C. Langkah Kerja --------------------------------------------------------------------
D. Variabel yang diamati------------------------------------------------------------
E. Instrumen Kegiatan---------------------------------------------------------------
F. Teknik Pelaksanaan Kegiatan----------------------------------------------------
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang
dilimpahkan-Nya, sehingga Proposal Praktek Kerja Lapangan dengan Judul
“PEMBESARAN IKAN SANGKURIANG (Clarias gariepinus) DIKOLAM
TERPAL DENGAN SISTEM BIOFLOK” dapat terselesaikan. Penulis
menyadari bahwa Proposal PKL ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
penulis menerima kritik dan saran untuk kesempurnaan Proposal PKL ini. Atas
segala bantuan dan saran dari berbagai pihak penulis mengucapkan terimakasih
khususnya kepada :
1. Bapak Suharun Martudi S.Pi,. M.Si, selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. Bengkulu

2. Bapak Dedi Pardiansyah, S.Pi, M.Si, selaku Ketua Jurusan Budidaya Perairan
Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. Bengkulu

3. Ibuk Dra. Andriyeni, M.Si dan ibuk Ir. Zulkhasyni, M.Si, selaku Dosen
Pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan Proposal dan Praktek Kerja Lapangan ini.

Akhir kata, penyususn berharap Proposal Praktek Kerja Lapangan ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.

Bengkulu, Mei 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ikan lele sangkuriang merupakan salah satu spesies ikan air tawar yang
mengandung sumber protein hewani dan bernilai ekonomis. Lele telah
menjadi salah satu bahan pangan komoditas perikanan yang menjadi menu
makanan wajib di Indonesia. Kebutuhan sumber protein hewani khususnya
komoditas perikanan terus meningkat setiap tahunnya sehingga perlu
adanya inovasi agar produksi meningkat.

Intensifikasi merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan


produksi komoditas perikanan yang didasarkan dengan meningkatkan padat
penebaran dengan penggunaan lahan yang terbatas, manajemen lingkungan
yang baik dan penggunaan pakan buatan. Intensifikasi budidaya khususnya
peningkatan padat penebaran membawa dampak kurang baik terhadap
kelestarian dan kesehatan lingkungan yang berupa penurunan kualitas
lingkungan budidaya. Penurunan kualitas lingkungan disebabkan limbah
organik dari sisa pakan dan kotoran, limbah tersebut umumnya didominasi
oleh senyawa nitrogen anorganik yang beracun. Tingginya penggunaan
pakan buatan berprotein tinggi pada budidaya intensif menyebabkan
pencemaran lingkungan budidaya dan memberi peluang terjadinya penyakit.

Teknologi bioflok menjadi salah satu alternatif pemecah masalah limbah


budidaya intensif, teknologi ini yang paling menguntungkan karena selain
dapat menurunkan limbah nitrogen anorganik dari sisa pakan dan kotoran,
teknologi ini juga dapat menyediakan pakan tambahan berprotein untuk
hewan budidaya sehingga dapat menaikkan pertumbuhan dan efisiensi
pakan. Teknologi bioflok dilakukan dengan menambahkan karbohidrat
organik kedalam media pemeliharaan untuk meningkatkan rasio C/N dan
merangsang pertumbuhan bakteri heterotrof yang dapat mengasimilasi
nitrogen anorganik menjadi biomass bakteri (Crab et al., 2007). Bakteri
heterotrof akan mengasimilasi ammonia-nitrogen jika rasio C/N pada media
seimbang dengan baik (Schneider et al., 2005).
Bioflok memiliki potensi sebagai pakan alami bagi larva ikan karena
memiliki kandungan protein, asam lemak tak jenuh serta imunostimulan.
Teknologi bioflok terbukti sangat bermanfaat pada budidaya ikan, baik
secara ekonomis maupun ekologis. Purnomo (2012) menyatakan bahwa
penambahan sumber karbohidrat mampu meningkatkan kelimpahan bakteri
pada media budidaya dan berpengaruh terhadap hasil produksi.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana pertumbuhan ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus)
pembesaran dengan Sistem Bioflok.
C. Tujuan PKL
Tujuan dari Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini adalah mengetahui
pembesaran ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) dengan Sistem
Bioflok.
D. Batasan Masalah
Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini adalah hanya sebatas pembesaran
ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) dengan system bioflok mulai
dari ukuran 8-12 cm selama 2 bulan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morpologi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus)
Klasifikasi ikan lele sangkuriang menurut Kordi (2010) adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub ordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus

Sebagaimana halnya ikan lele, lele sangkuriang (Clarias


gariepinus) memiliki ciri-ciri identik dengan lele dumbo sehingga sulit
untuk dibedakan. Secara umum, ikan lele sangkuriang dikenal sebagai
ikan berkumis atau catfish. Tubuh ikan lele sangkuriang ini berlendir
dan tidak bersisik serta memiliki mulut yang relatif lebar yakni ¼ dari
panjang total tubuhnya. Ciri khas dari lele sangkuriang adalah adanya
empat pasang sungut yang terletak di sekitar mulutnya. Keempat
pasang sungut tersebut terdiri dari dua pasang sungut maxiral/ rahang
atas dan dua pasang sungut mandibula/rahang bawah (Lukito, 2002).

Fungsi sungut bawah adalah sebagai alat peraba ketika berenang


dan sebagai sensor ketika mencari makan. Sirip lele sangkuriang terdiri
atas lima bagian yaitu sirip dada, sirip perut, sirip dubur, sirip ekor, dan
sirip punggung. Sirip dada lele sangkuriang dilengkapi dengan patil
(sirip yang keras) yang berfungsi untuk alat pertahanan diri (Lukito,
2002).

Menurut Djoko (2006) ikan lele sangkuriang mempunyai bentuk


badan yang berbeda dengan jenis ikan lainya. Seperti ikan mas, gurami
dan tawes. Alat pernafasan lele sangkuriang berupa insang yang
berukuran kecil sehingga lele sangkuriang sering mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan oksigen. Ikan lele sangkuriang mengalami
kesulitan dan memenuhi kebutuhan oksigen, akibatnya lele
sangkuriang sering mengambil oksigen dengan muncul ke permukaan.
Alat pernafasan tambahan terletak di rongga insang bagian atas, alat
berwarna kemerahan penuh kapiler darah dan mempunyai tujuk pohon
rimbun yang biasa disebut “arborescent organ”. Untuk memudahkan
berenang, lele sangkuriang (Clarias gariepinus var) dilengkapi sirip
tunggal dan sirip berpasangan. Sirip tunggal adalah sirip punggung dan
sirip ekor . Sedangkan sirip berpasangan adalah sirip perut dan sirip
dada. Sirip dada yang keras disebut patil (Khairuman dan Amri, 2009).

B. Habitat

Habitat atau lingkungan hidup lele sangkuriang adalah air tawar,


meskipun air yang terbaik untuk memelihara lele sangkuriang adalah
air sungai, air saluran irigasi, air tanah dari mata air, maupun air
sumur, tetapi lele sangkuriang relatif tahan terhadap kondisi air yang
menurut ukuran kehidupan ikan dinilai kurang baik. Lele sangkuriang
juga dapat hidup dengan padat penebaran tinggi maupun dalam kolam
yang kadar oksigennya rendah, karena ikan lele sangkuriang
mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut arborescent yang
memungkinkan lele sangkuriang mengambil oksigen langsung dari
udara untuk pernapasan (Himawan, 2008).

Djoko (2006), faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan


hidup ikan senantiasa harus dijaga dan diperhatikan. Faktor-faktor
tersebut antara lain adalah: suhu berkisar antara 24 – 30 0C, pH 6,5 –
7,5, oksigen terlarut 5 – 6 mg/l. Dengan kondisi perairan tersebut di
atas ikan lele dapat hidup dengan baik mengenai kepesatan tubuhnya
maupun kemampuan dalam menghasilkan benih ikan.

C. Pakan dan Kebiasaan Makan

Ikan lele Sangkuriang memiliki tubuh yang lebih panjang


dibandingkan lele Dumbo biasa. berwarna hitam, hitam keunguan, atau
hitam kehijauan pada bagian punggung dan putih kekuningan pada
bagian perut serta bagian samping totol-

totol. Lele sangkuriang memiliki empat pasang sungut yang berfungsi


penting sebagai alat penciuman dan alat peraba. Hal ini merupakan ciri
khas golongan catfish. dan memiliki sirip dengan jumlah yang sama
dengan sirip lele Dumbo pada umumnya, terdiri dari tiga sirip tunggal
dan dua sirip berpasangan (Warisno dan Dahana 2009).

Menurut Mahyudin (2008), ikan lele Sangkuriang termasuk dalam


golongan pemakan segala, tetapi cenderung pemakan daging
(karnivora). Ikan lele Sangkuriang merupakan jenis ikan yang
memiliki kebiasaan makan di dasar perairan atau kolam (bottom
feeder).

Ikan lele Sangkuriang seperti ikan lele lainnya bersifat nokturnal,


yaitu mempunyai kecenderungan beraktivitas dan mencari makan pada
malam hari tetapi dalam usaha budidaya akan beradaptasi (diurnal).
Pada siang hari lele lebih suka berdiam atau berlindung di bagian
perairan yang gelap. Pada kolam pemeliharaan, terutama pada
budidaya intensif, lele dapat dibiasakan diberi pakan pelet pada pagi
hari atau siang hari, walaupun nafsu makannya tetap lebih tinggi jika
diberikan pada malam hari (Puslitbang Perikanan 1992). Ikan lele
Sangkuriang tahan hidup di perairan yang mengandung sedikit oksigen
dan relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik
(Mahyudin, 2008).

Menurut Khairuman (2002), kualitas air yang layak untuk ikan


lele Sangkuriang yaitu dengan suhu 20-27ºC, oksigen terlarut (DO)
kurang dari 2 ppm, kandungan karbon dioksida (CO 2) lebih dari 15
ppm, kandungan NO2 sebesar 0,25 ppm, kandungan NO3 sebesar 250
ppm dan pH sebesar 6,5-8.

Menurut Kordi (2010) bahwa ikan lele sangkuriang termasuk ikan


pemakan segala bahan makanan (omnivor), baik bahan hewani
maupun nabati. Pakan alami lele sangkuriang adalah binatang-binatang
renik, seperti kutu air dari kelompok Daphnia, Cladocera, atau
Copepoda.

Sementara itu, lele sangkuriang juga memakan larva jentik


nyamuk, serangga atau siput-siput kecil. Meskipun demikian, jika telah
dibudidayakan misalnya dipelihara di kolam lele dapat memakan
pakan buatan seperti pellet, limbah peternakan ayam, dan limbah-
limbah peternakan lainnya (Himawan, 2008).

Menurut Lukito (2002) bahwa pakan buatan pabrik dalam bentuk


pellet sangat digemari induk lele, tetapi harga pellet relatif mahal
sehingga penggunaannya harus diperhitungkan agar tidak rugi. Lele
sangkuriang dapat memakan segala macam makanan, tetapi pada
dasarnya bersifat karnivora (pemakan daging), maka pertumbuhannya
akan lebih pesat bila diberi pakan yang mengandung protein hewani
dari pada diberi pakan dari bahan nabati.

D. Padat Tebar
Padat tebar adalah banyaknya jumlah (ikan) yang akan ditebar
berdasarkan per luas dan volume. Jumlah padat tebar ikan dapat ditentukan
dengan beberapa metode, antara lain dengan produktivitas alami, volume
air kolam atau debit air, luas kolam dan lama pemeliharaan (Hermawan
dkk 2012).
Menurut Effendi (2004) padat penebaran ikan adalah jumlah ikan atau
biomassa yang ditebar persatuan luas atau volume wadah pemeliharaan,
Hal ini sesuai dengan (1972) yang menyatakan, pertumbuhan ikan yang
menurun dalam kepadatan tinggi lebih disebabkan oleh kompetisi dalam
pakan dibandingkan kompetisi dalam ruang. Di dalam kolam, factor utama
yang membatasi produksi pada kepadatan ikan yang tinggi adalah oksigen
terlarut yang rendah , limbah metabolic (Bardach et al., (1972) kompetisis
dalam pakan (Huet, 19722) dan konsumsi pakan yang rendah (Kebus et
al., 1992). Untuk benih Ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) ukuran 5-7 bisa
ditebarkan 250 ekor/m2 (Pardiansyah et all. 2013).
E. Pertumbuhan

Menurut Effendie (1997) pertumbuhan adalah penambahan ukuran


panjang atau bobot ikan dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi
oleh pakan yang tersedia, jumlah ikan, suhu, umur dan ukuran ikan.
Laju pertumbuhan tubuh ikan yang dibudidayakan bergantung dari
pengaruh fisika dan kimia perairan dan interaksinya.Faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan yaitu tingkat kelangsungan hidup ikan
dipengaruhi oleh manejemen budidaya yang baik antara lain padat
tebar, kualitas pakan, kualitas air, parasit atau penyakit (Fajar, 1988).

Menurut Mudjiman (2000) kelangsungan hidup dan pertumbuhan


ikan akan dapat dipercepat jika pakan yang diberikan memiliki nutrisi
yang cukup. Pertumbuhan ikan dapat terjadi jika jumlah nutrisi pakan
yang dicerna dan diserap oleh ikan lebih besar dari jumlah yang
diperlukan untuk pemeliharaan tubuhnya.

Ikan akan mengalami pertumbuhan yang lambat dan kecil ukurannya


bila pakan yang diberikan kurang memadai (Lovell, 1989).

Ikan yang berukuran kecil memerlukan energi yang lebih besar


dari pada ikan yang lebih besar dan mengkonsumsi pakan relatif lebih
tinggi berdasarkan persen bobot tubuh (Brett dan Groves, 1979).
Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi: keturunan, umur, ketahanan terhadap
penyakit, dan kemampuan memanfaatkan makanan, sedangkan faktor
eksternal meliputi suhu, kualitas dan kuantitas makanan, serta ruang
gerak (Gusrina, 2008).

F. Kualitas Air

Menurut Bramasta (2009) bahwa dalam pemeliharaan di kolam,


lele sangkuriang tidak memerlukan kualitas air yang jernih atau
mengalir seperti ikan-ikan lainnya. Meskipun demikian, para ahli
perikanan menyebutkan syarat dari kualitas air, baik secara kimia
maupun fisika yang harus dipenuhi jika ingin sukses membudidayakan
lele.

Kualitas air yang dianggap baik untuk kehidupan lele sangkuriang


tersebut sebagai berikut. Suhu air optimum dalam pemeliharaan ikan
lele sangkuriang secara intensif adalah 25 – 30 oC. suhu untuk
pertumbuhan benih ikan lele sangkuriang 26 – 30oC (Himawan, 2008).

Umumnya ikan lele hidup normal di lingkungan yang memiliki


kandungan oksigen terlarut 4 mg/l. Sering kandungan oksigen berubah
secara mendadak, misalnya akibat penguraian bahan organik.
Keasaman atau pH yang baik bagi lele sangkuriang adalah 6,5 – 9, pH
yang kurang dari 5 sangat buruk bagi lele sangkuriang, karena bisa
menyebabkan penggumpalan lendir pada insang, sedangkan pH 9 ke
atas akan menyebabkan berkurangnya nafsu makan lele sangkuriang
(Himawan, 2008).

Terdapat empat pasang sungut yang terletak di sekitar mulutnya.


Keempat sungut terdiri dari dua pasang sungut rahang atas dan dua
pasang sungut pada rahang bawah. Fungsi sungut bawah sebagai alat
peraba ketika berenang dan sebagai sensor ketika mencari makan. Sirip
lele sangkuriang terdiri atas lima bagian yaitu sirip dada, sirip perut,
sirip dubur, sirip ekor, dan sirip punggung. Sirip dada lele sangkuriang
dilengkapi dengan patil (sirip yang keras) yang memiliki fungsi
sebagai alat pertahanan diri (Nasrudin, 2010).

Alat pernafasan ikan lele sangkuriang sama dengan ikan lele pada
umumnya berupa insang yang berukuran kecil sehingga mengalami
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan oksigen. Saat ikan lele
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan oksigen, ikan lele
akan mengambil oksigen dengan muncul ke permukaan. Alat
pernafasan tambahan terletak di rongga insang bagian atas yang biasa
disebut arborescent organ (Lukito, 2002).

G. Bioflok
1. Prinsip Dasar Bioflok
Bioflok merupakan sekumpulan berbagai jenis mikroorganisme (bakteri
pembentuk flok, bakteri filamen, fungi), partikel-partikel tersuspensi,
berbagai koloid dan polimer organik, berbagai kation dan sel-sel mati (de
Schryver et al.,2008). Menurut Avnimelech (2009), dalam sistem bioflok
bakteri berperan sangat dominan sebagai organisme heterotrof yang
menghasilkan polyhydroxy alkanoat sebagai pembentuk ikatan bioflok.
Pembentukan bioflok oleh bakteri terutama bakteri heterotrof secara umum
bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan nutrien, menghindari stress
lingkungan dan predasi.
Menurut Mcintosh (2000), prinsip dasar bioflok yaitu mengubah
senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa karbon (C),
hydrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N) dan sedikit fosfor (P) menjadi masa
sludge berupa bioflok dengan memanfaatkan bakteri pembentuk flok yang
mensintesis biopolimer sebagai bioflok. Teknologi bioflok dalam budidaya
perairan yaitu memanfaatkan nitrogen anorganik dalam kolam budidaya
menjadi nitrogen organik yang tidak bersifat toksik. Sistem bioflok dalam
budidaya perairan menekankan pada pertumbuhan bakteri pada kolam untuk
menggantikan komunitas autotrofik yang di dominasi oleh fitoplankton.
Bioflok mengandung protein bakteri dan polyhydroxybutyrate yang
dapat meningkatkan partumbuhan ikan. Pada umumnya, bakteri memiliki
ukuran kurang dari 5 mikron. Ukuran bakteri yang sangat kecil ini tidak
dapat dimanfaatkan oleh ikan. Namun bakteri dalam bentuk bioflok dapat
dimanfaatkan ikan sebagai pakan karena ukurannya mampu mencapai 0,5
mm hingga 2 mm .
2. Rasio C:N
Bakteri heterotrof dapat tumbuh dengan baik apabila persyaratan
lingkungan hidup harus terpenuhi berupa perbandingan antara unsur karbon
(C) dengan nitrogen (N) atau dikenal dengan istilah C:N rasio. Rasio C:N
yang ideal untuk pertumbuhan bioflok adalah 15:1 sampai dengan 20:1,
artinya ada 15 molekul karbon untuk setiap 1 molekul nitrogen (Maulina,
2009).
Menurut Avnimelech (2009), bahwa bioflok akan terbentuk jika rasio
C:N dalam kolam lebih dari 15. Pakan buatan yang digunakan dalam
kegiatan budidaya umumnya mengandung protein yang cukup tinggi
dengan kisaran 18 - 50% dengan rasio C:N kurang dari 10 (Azim et al.,
2007). Hal ini tentunya berdampak pada keseimbangan rasio C:N dalam
media budidaya, sehingga untuk penerapan teknologi bioflok, rasio C:N
perlu ditingkatkan lagi. Avnimelech (2007), menyatakan bahwa
peningkatan rasio C:N dalam air untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri
heterotrof dapat dilakukan dengan mengurangi kandungan protein dan
meningkatkan kandungan karbohidrat dalam pakan atau dengan
penambahan sumber karbohidrat secara langsung ke dalam air. Sumber
karbohidrat dapat berupa gula sederhana seperti gula pasir, molase, atau
bahan-bahan pati seperti tepung tapioka, tepung jagung, tepung terigu dan
sorgum. Jika unsur C dan N tidak seimbang maka bakteri heterotrof tidak
mampu mengubah unsur organik dalam air menjadi protein sebaliknya
menghasilkan senyawa ammonia yang bersifat toksik (Maulina, 2009).
H. Faktor – Faktor Pembentuk Bioflok
1. Bakteri Pembentuk Bioflok
Dalam sistem bioflok, bakteri berperan dominan sebagai organisme
heterotrof yang menghasilkan polyhydroxy alkanoat yang berguna dalam
pembentuk ikatan bioflok (Avnimelech, 2009). Menurut Hargreves (2013)
dan Supono (2014) pertumbuhan bakteri heterotrof dipengaruhi oleh adanya
kandungan karbon organik yang terlarut dalam air. Unsur karbon organic
akan mengikat nitrogen anorganik yang dapat digunakan untuk
pertumbuhan sel bakteri heterotrof.
Bakteri yang mampu membentuk bioflok antara lain Zooglea ramigera,
Escherichia intermedia, Paracolobacterium aerogenoids, Bacillus subtilis,
Bacillus cereus, Flavobacterium, Pseudomonas alcaligenes, Sphaerotillus
natans, Tetrad dan Tricoda (Ayuroshita, 2009; Maharani, 2012). Ciri khas
bakteri pembentuk bioflok yaitu kemampuannya untuk mensintesa senyawa
Polihidroksi alkanoat (PHA), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi
butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan
ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk bioflok (Aiyushirota,
2009; Maharani, 2012).
Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. merupakan genera bakteri yang dapat
memanfaatkan komponen karbon dan juga memiliki kemampuan untuk
mengoksidasi substrat yang mengandung rantai C (Stolp , 1988; Maharani,
2012). Menurut Moriarty (1996), bakteri Bacillus sp. dapat menghasilkan
enzim dengan kisaran yang luas dan paling efektif untuk merombak protein.
2. Sumber Karbon
Purnomo (2012) menyatakan bahwa ada beberapa sumber karbohidrat
yang dapat digunakan sebagai sumber karbon (C) untuk pembentukan
bioflok seperti tepung tapioka, tepung singkong, gula pasir, molase. Molase
adalah hasil samping yang berasal dari pembuatan gula tebu (Saccharum
officinarum L). United Molases mendefinisikan molase sebagai “end
product” pembuatan gula yang tidak mengandung lagi gula yang dapat
dikristalkan dengan cara konvensional. Molase sendiri berupa cairan kental
dan diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula. Molase tidak dapat lagi
dibentuk menjadi sukrosa namun masih mengandung gula dengan kadar
tinggi, asam amino dan mineral. Kandungan gula dalam cairan molase
sebesar 75% dan bahan kering sebesar 62% (Dellweg, 1983).
3. Sumber Nitrogen
Nitrogen di perairan biasanya ditemukan dalam bentuk ammonia
(NH3), ammonium (NH4+), nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-) serta beberapa
senyawa nitrogen organik lainnya. Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat
dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan
oksigen rendah nitrogen berubah menjadi ammonia (NH3) dan saat
kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3) (Welch,
1980).
Secara garis besar konversi N oleh organisme akuatik yang terdapat
dalam air dan sedimen dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu konversi
secara fotoautotrofik oleh alga dan tanaman air, secara kemoautotrofik
melalui oksidasi oleh bakteri nitrifikasi dan secara immobilisasi melalui
heterotrofik oleh bakteri heterotrof (Ebeling et al., 2006). Secara teoritis,
menyatakan bahwa konversi nitrogen melalui proses immobilisasi bakteri
heterotrof berlangsung 40 kali lebih cepat daripada melalui proses
fotoautotrofik alga/tanaman air dan kemoautotrofik oleh bakteri nitrifikasi.
Nitrogen dalam sistem akuakultur terutama berasal dari pakan buatan
yang biasanya mengandung protein dengan kisaran 13 - 60% (2 - 10% N)
tergantung pada kebutuhan dan stadia organisme yang dikultur . Protein
dalam pakan akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari total nitrogen dalam
pakan dimanfaatkan menjadi biomassa ikan, sisa nitrogen pada pakan
berupa sisa metabolisme berupa urine dan feses serta pakan yang tidak
termakan (Brune et al., 2003).
Katabolisme protein dalam tubuh organisme akuatik menghasilkan
ammonia sebagai hasil akhir dan diekskresikan dalam bentuk ammonia
(NH3) tidak terionisasi melalui insang. Pada saat yang sama, bakteri
memineralisasi nitrogen organik dalam pakan yang tidak termakan dan feses
menjadi ammonia (Gross and Boyd, 2000). Sebagai akibat dari
berlangsungnya kedua proses ini, aplikasi pakan berprotein tinggi dalam
sistem budidaya akan menghasilkan akumulasi ammonia baik sebagai hasil
ekskresi dari organisme yang dikultur maupun hasil mineralisasi bakteri.
Keberadaan ammonia tidak terionisasi (NH3) di dalam media budidaya
sangat dihindari karena bersifat toksik bagi organisme akuatik bahkan pada
konsentrasi yang rendah.
Stickney (2005) menyatakan bahwa konsentrasi ammonia dalam media
budidaya harus lebih rendah dari 0,8 mg/L untuk menghindari munculnya
efek toksik ammonia pada organisme akuatik.
4. Ketersediaan Aerasi
Ekasari (2009) menyatakan bahwa kepadatan bakteri yang tinggi dalam
air akan menyebabkan kebutuhan oksigen yang lebih tinggi sehingga aerasi
untuk penyediaan oksigen dalam penerapan teknologi bioflok merupakan
hal yang sangat diperlukan. Selain berperan dalam penyediaan oksigen,
aerasi juga berfungsi untuk mengaduk air agar bioflok yang tersuspensi
dalam kolom air tidak mengendap. Pengendapan bioflok di dasar wadah
harus dihindari selain untuk mencegah terjadinya kondisi anaerobik di dasar
wadah akibat akumulasi bioflok, juga untuk memastikan bahwa bioflok
tetap dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya.
I. Manajemen Kualitas Air
Ada beberapa parameter kualitas air yang harus diperhatikan serta
dijaga agar pertumbuhan dan perkembangan benih ikan berjalan dengan
optimal. Azim dan Little (2008) mengemukakan bahwa kualitas air di
wadah pemeliharaan dengan perlakuan teknologi bioflok pada pemeliharaan
ikan nila cenderung tidak stabil. Tingginya aktivitas respirasi mikroba dalam
sistem bioflok juga menyebabkan terjadinya fluktuasi pada pH dan
alkalinitas. Meningkatnya kekeruhan akibat tingginya padatan tersuspensi
juga mempengaruhi kemampuan melihat pada ikan, sehingga berpengaruh
pada jumlah pakan yang dimakan. Laju akumulasi bahan organik, laju
peningkatan biomassa bakteri, serta laju konsumsi bioflok oleh organisme
budidaya merupakan faktor yang harus diketahui untuk mengontrol
konsentrasi flok yang optimal agar sejalan dengan manajemen kualitas air
yang baik (Azim et al., 2008).
J. Bentuk-bentuk Kolam Pemeliharaan
Menurut Bentuknya Bentuk kolam yang lazim dikenal masyarakat ada
4 macam (Heru Susanto, 2009), yaitu persegi panjang, bujur sangkar,
lingkaran, dan segitiga.
1. Bentuk Persegi Panjang
Kolam berbentuk persegi panjang sering kita temukan di masyarakat
sebagai kolam pemeliharaaan ikan tradisional. Mungkin pada mulanya
masyarakat hanya melihat se "pantas" nya saja. Namun, ternyata dari hasil
penelitian dan pengalaman, kolam berbentuk persegi panjang ini memang
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan kolam yang berbentuk bujur
sangkar.

Kelebihannya ada dalam hal sirkulasi air dan penyediaan makanan


alami ikan. Hal ini disebabkan oleh kolam berbentuk persegi panjang
mempunyai sisi atau pinggiran yang lebih banyak dibandingkan dengan
kolam berbentuk bujur sangkar. Dari pengalaman penulis di lapangan,
makanan alami ikan (moina, daphnia) lebih banyak tumbuh di pinggiran
kolam yang dangkal dibandingkan di tengah kolam yang relatif lebih dalam.

2. Bentuk Bujur Sangkar


Seperti telah dikemukakan oleh Heru Susanto, 2009 kolam berbentuk
bujur sangkar mempunyai kelemahan dalam hal sirkulasi air dan penyediaan
makanan alami ikan. Kolam berbentuk bujur sangkar biasanya dipilih
sebagai alternatif terakhir karena adanya kelebihan tanah.

3. Bentuk Lingkaran/Bulat
Tiga puluh tahun yang lalu, kolam berbentuk bulat tidak lazim dibuat.
Namun dengan adanya perkembangan budidaya ikan, di daerah Jawa Barat
telah dikembangkan kolam air deras yang berbentuk bulat. Kolam ini
mempunyai pembuangan air di bagian poros (tengah).

Kolam berbentuk bulat ini dapat ditemukan di Balai benih Ikan di


Leuwisari, Tasikmalaya. Menurut pengalaman dan pengamatan, kapasitas
kolam ini lebih banyak dengan sirkulasi air dan pembuangan kotorannya
lebih terjamin. Model kolam semacam ini seluruhnya terbentuk dari
pasangan batu kali.

4. Bentuk Segitiga

Bentuk kolam segitiga lebih fleksibel dibandingkan kolam yang


berbentuk persegi panjang maupun bujur sangkar. Kolam ini biasanya
merupakan bentuk umum dari kolam air deras yang disarankan. Dengan
bentuk tersebut, kotoran air (sampah dan lumpur) tidak akan mengendap di
dasar kolam. Kualitas air tetap baik karena sirkulasi air yang sempurna.
Selain itu, makanan ikan yang tidak habis termakan akan hanyut sehingga
tidak menyebabkan racun bagi ikan. Sama seperti bentuk kolam lingkaran,
kolam berbentuk segitiga juga biasanya terbuat dari pasangan batu kali.
BAB III
METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat

Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini direncankan selama 2 Bulan dari


bulan September-Oktober 2019 yang berlokasi di Lab. Budidaya Perairan
Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH. Bengkulu.

B. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pelaksanaan Praktek


Kerja Lapangan (PKL) ini antara lain:

1. Alat :
No Nama alat Kegunaan Satuan
1 Thermometer
2 Ph-meter
3 DO-meter
4 CO2-meter
5 Mistar Untuk mengukur laju panjang ikan
6 Timbangan Untuk menimbang berat ikan
7 Alat tulis Untuk mencatat proses pengamatan
8 Selang aerasi
9 Batu aerasi
10 Kamera Untuk dokumentasi
11 Seser halus Untuk menangkap ikan
12 Baskom Untuk penampung ikan pengamatan
13 Tisu untuk membersihkan alat-alat

2. Bahan :

No Nama alat Volume Satuan


1 Bibit ikan lele Ukuran 8-12 250 ekor
2 Kolam terpal Ukuran 1 m x 1 m x 0,8 m 1 buah
3 Air Tinggi air 60 cm -
4 Pakan Pf-1000 1 karung
5 Molase 1 5 kg

C. Pelaksanaan Penelitian
Adapun tahapan-tahapan kerja dalam melaksanakan penelitian yaitu:
1. Masa Persipan
Kolam dipersiapkan sebagai tempat pembesaran ikan lele dengan
ukuran panjang 100 cm, lebar 100 cm dan tinggi 80 cm dengan kedalaman
air 60 cm.
2. Pengisian Air
Sebelum dilakukan pengisian air, Air yang digunakan dalam
pembesaran ikan lele adalah air yang berasal dari Lab. Budidaya Perairan
yang sudah di diendapkan beberapa hari dan di isi setinggi 60 cm.
3. Penebaran Benih
Setelah kolam diisi air dan dibiarkan selama 3-5 hari dan telah
diberikan sedikit molase agar ikan tidak kaget dengan perubahan
lingkungan, benih ikan lele ditebar dengan ukuran 8-12 cm dengan beras
dan sebanyak 250 ekor. Benih ikan dipilih/disorter dengan kondisi yang
lincah dan tidak cacat.
Penebaran benih ke dalam kolam dengan cara benih dalam keadaan
kantong plastic masih terikat dan dibiarkan mengapung selama kurang lebih
10 menit lalu dibuka ikatannya dan dibiarkan ikan dengan sendirinya keluar
dari kantong plastik. Proses ini dinamakan proses Aklimatisasi. Pelepasan
benih itu sendiri dilakukan pada pagi hari atau sore hari karena suhu air
tidak begitu panas sehingga ikan mudah beradaptasi.
4. Pemberian Pakan
Dalam PKL ini pakan yang digunakan adalah PF-1000, serta frekuensi
pemberian pakan tiga kali sehari dengan dosis 5% dari berat biomassa ikan
uji. Pakan diberikan dengan cara ditebar, yaitu pada pukul 09.00, 14.00, dan
19.00 WIB.
5. Pemberian Molase
Pemberian molase dilakukan pada satu jam sesudah pemberian pakan di
waktu pagi yang dilakukan selama PKL setiap hari. Pakan yang diberikan
dikalikan dengan kadar protein sebesar 39% lalu dikalikan dengan 16%
(jumlah N dalam pakan). Setelah itu, dikalikan dengan rasio C/N yang
ditentukan (15/20), setelah mendapatkan hasilnya lalu dikalikan dengan
kandungan C organic dalam sumber karbon 58,09% (Avnimelech 1999).
Hasilnya ini adalah jumlah karbon/molase yang harus di berikan.
Uji C organik pada sumber karbon yang digunakan sebagai perlakuan
dilakukan dengan menggunakan metode Walkley and Black (1934).

D. Variabel yang Diamati


a. Laju Pertumbuhan Harian
Perhitungan laju pertumbuhan harian ikan menggunakan rumus (Effendie
1997) sebagai berikut:

Keterangan :
Wt = Rata- rata bobot ikan pada akhir penelitian (gram)
Wo = Rata- rata bobot ikan pada awal penelitian (gram)
t = Waktu pemeliharaan (hari)
g = Laju pertumbuhan harian (% per hari)
b. Rasio Konversi Pakan
Rasio Konversi Pakan dihitung menggunakan rumus (Tacon, 1987) :

Keterangan :
Wt= Bobot Biomassa Ikan pada Akhir Penelitian (g)
W0= Bobot Biomassa Ikan pada Awal Penelitian(g)
D = Bobot Ikan yang Mati Selama Penelitian (g)
F = Jumlah Pakan Ikan yang Diberikan Selama Penelitian (g)
c. Kelangsungan Hidup
Menurut Effendie (1997) kelangsungan hidup dapat dirumuskan sebagai
berikut :

Keterangan :
SR = Kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian (ekor)
No = Jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian (ekor)
d. Kualitas air
Kualitas air yang di amati dalam pelaksanaan penelitian ini adalah:
oksigen Terlarut, suhu dan pH. Suhu di amati setiap hari pukul 08.00 wib,
13.00 wib dan 17.00 wib, pengukuran pH, Oksigen Terlarut dan Suhu di
lakukan pada awal, tengah dan akhir pemeliharaan.
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Aiyushirota.2009.Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri Heterotrof dengan


Bioflocs. Dikutif dari www.aiyushirota.com diakses pada 9 februari 2013.

Angka SL, Mokoginta I, Hamid H. 1990. Anatomi dan Histologi Banding


Beberapa Ikan Air Tawar yang Dibudidayakan di Indonesia. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Institut
Pertanian Bogor.

Avnimcleeh,Y., 2007, Feeding with microbial flocs by tilapia in minimal


discharge bio-flocs technology ponds.Aquaculture 264,140-147.

Avnimelech. 2009. Biofloc Technology: A Practical Guide Book. World


Aquaculture Society: Louisiana, USA. 120p

AvnimelechYoram. 1999. Carbonr nitrogen ratio as a control element


inaquaculture systems . Aquaculture 176: 227-235.

Azim, M.E., Little, D.C., Bron, .I.E., 2007. Microbial protein production in
activated suspension tanks manipulating C/N ratio in feed and implications
for fish culture. Bioresource Technology 99, 3590-3599.

Boyd, Harper W. dkk, (2000), Manajemen Pemasaran – Suatu Pendekatan


Strategis Dengan Orientasi Global edisi 2 jilid 2, Jakarta : Erlangga

Brune, D.E., Schawertz, G, Eversole, A.G, Collier, J. A. &Schwedler , T.E. 2003.


Intensifications Of Pond Aquaculture And High Rate Photosynthetic
Systems Aquacultural Engineering, 28: 65-86.

Crab R, Avnimelech Y, Defoirdt T, Bossier P, Verstraete W. 2007. Nitrogen


removal techniques in aquaculture for a sustainable production.
Aquaculture,270: 1-14

De Schryver P., Crab, R. Detroit, T. Boon, N., Verstrate, W. 2008. The Basic of
Biofloc Technology: The Added Value For Aquaculture, 227: 125- 137.

Dellweg, 1983, (ed) “Biotechnology”, Vol 3, Chemie, Weinheim,

Effendi, M.I. 1978. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara,


Yogyakarta, 112 hlm
Ekasari. 2009. Teknologi Bioflok: Teori dan Aplikasi dalam Perikanan Budidaya
Sistem Intensif. Jurnal Akuakultur Indonesia 8(2): 117 – 126 (2009).

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Cetakan


pertama. Rineka Putra. Jakarta.

Kordi, K. M. G. H. 2010. Budidaya ikan lele di kolam terpal. Andi. Yogyakarta.


Hal. 1-22

Lukito, A. M. 2002. Lele Ikan Berkumis Paling Populer. Agromedia.Jakarta


Macmillan Publisher. London.

Maulina,2009. Aplikasi Teknologi Bioflok Dalam Budidaya Udang Putih


(Litopenaeus vannamei Boone) Tesis School of Life Science and
Technology. ITB. Bandung.

Maulina,2009. Aplikasi Teknologi Bioflok Dalam Budidaya Udang Putih


(Litopenaeus vannamei Boone) Tesis School of Life Science and
Technology. ITB. Bandung.

McIntosh RP. 2000. Changing paradigms in shrimp farming : establishment of


heterotrophic bacterial communities. Global Aquaculture Alliance : April
2000

Purnomo BB. 2012. Buku kuliah dasar–dasar urologi. Jakarta: CV Infomedika.

Schneider O, Sereti V, Eding EH, Verreth JAJ. 2005b. Protein production by


heterotrophic bacteria using carbon supplemented fish waste. Presentation in
World Aquaculture 2005. Bali, Indonesia. (Abstract).

Stickney, R. R. 1979. Principle of Warmwater Aquaculture. Jhon Willy and Sons


Inc. New York.

Walkley, A. dan I. A. Black. 1934. An Examination of The Degtjareff Method for


Determining Soil Organic Matter and A Proposed Modification of The
Chromic Acid Titration Method. Soil Sci. 37: 29-38.

Welch, E.B. and T. Lindell. 1980. Ecological Effect of Waste Water. Cambridge
University Press. Cambridge. London.

Anda mungkin juga menyukai